Anda di halaman 1dari 32

enelitian : ANALISIS MENGENAI KETENTUAN PAJAK PADATRANSAKSI E-COMMERCE

DAN PENERAPANNYA

2. Identitas Peneliti :
Lengkap : Hendra Wiratno
: 02053100023
: A

3. Abstrak
Electronic-Commerce (E-Commerce) adalah bentuk transaksi perdagangan di era modern ini
yang mmpergunakan kecanggihan teknologi seperti komputer dan jaringan internet. Pihak
penjual dapat menjual barangnya tanpa harus membuka toko di daerah ataupun di negara lainnya
sehingga dapat menghemat biaya sedangkan pihak pembeli dapat membeli barang yang
ditawarkan di toko virtual meskipun barang tersebut di jual di luar negeri dan belum tersedia di
toko-toko di Indonesia dan pembeli juga tidak capek untuk berkeliling toko hanya untuk mencari
suatu barang, cukup dengan megklik mouse dan mengetik nomor kartu kredit di keyboard,
pembeli dapat melakukan transaksi di toko-toko virtual. E-commerce merupakan suatu hal yang
unik dan menimbulkan beberapa permasalahn hukum. Permasalahan yang timbul dengan
munculnya e-commerce adalah permasalahan pengenaan pajak dan permasalahan yurisdiksi.
Muncul pertanyaan apakah transaksi e-commerce dapat dikenakan pajak mengingat antara
pembeli dan penjual tidak selalu berada dalam satu negara dan tunduk pada satu hukum yang
sama, dan apakah sistem pemungutan pajakIndonesia telah siap untuk mengantisipasi hal
tersebut dan apakah asas-asas pemungutan pajak yang terdapat dalam undang-undang pajak
dapat diterapkan dalam transaksi e-commerce
Keyword: E-Commerce, pajak, yurisdiksi

4. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi yang sedemikian pesatnya


telah menyebabkan terjadinya globalisasi. Munculnya teknologi satelit, komputer, dan internet
merupakan sebagian contoh hasil dan juga penyebab dari globalisasi [1], sehingga dengan adanya
teknologi ini membuat dunia seolah-olah menjadi tanpa jarak.
Sangat sulit untuk mendefinisikan apa arti globalisasi. Akan tetapi pengertian
globalisasi dapat disimpulkan secara singkat dari pendapat Manfred B Steger dalam
bukunyaGlobalization : A Very Short Introduction sebagaimana dikutip oleh Syahmin AK,
bahwa globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses transformasi sosial yang akan
membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan terpencar-pencar di banyak wilayah
Negara di dunia ini ke satu kondisi tunggal yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah.[2]
Munculnya teknologi komputer yang kemudian diikuti dengan munculnya teknologi
internet mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Jika meminjam istilah Dimitri
Mahayana sebagaimana dikutip oleh Agus Rahardjo dalam disertasinya, dikemukakan
bahwa internet merupakan suatu big bang kedua setelah material big bangyang dikemukakan
Stephen Hawking. Big bang kedua merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan)
yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh
eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang
sedang dan akan diluncurkan. Internet merupakan simbolmaterial embrio masyarakat global dan
merupakan suatu ledakan besar dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan.[3]
Internet telah membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia sehingga banyak
para ahli yang berpendapat bahwa internet telah menciptakan suatu dunia yang kedua bagi
kehidupan manusia selain dunia nyata yang selama ini dihuni manusia. Dunia ini dinamakan
dunia maya atau dunia siber (cyberspace) dimana dengan memasuki dunia ini maka kita akan
dibawa ke suatu dunia yang seolah tanpa batas dan terjadi globalisasi, sehingga ungkapan
Kenichi Ohmae mengenai borderless-worldnya seolah menjadi kenyataan pada cyberspace[4].
Fenomena internet telah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Beberapa
tahun terakhir ini penggunaan jasa internet terutama di Indonesia meningkat dengan pesat.
Berdasarkan data dan perkiraan resmi dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) terhadap jumlah pelanggan dan pemakai internet selama ini dan perkiraan sampai akhir
tahun 2006 adalah sesuai dengan tabel berikut ini:[5]
Tabel 1.
Perkembangan Jumlah Pelanggan dan Pemakai Internet (Kumulatif)
TA PELA PEMAKAI
HU NGGA
N N
199 134.000 512.000
8
199 256.000 1.000.000
9
200 400.000 1.900.000
0
200 581.000 4.200.000
1
200 667.002 4.500.000
2
200 865.706 8.080.534
3
200 1.087.4 11.226.143
4 28
200 1.500.0 16.000.000
5 00
200 1.700.0 20.000.000
6 00
200 2.000.0 25.000.000
7* 00
Ket : * perkiraan s/d akhir 2007

Meningkatnya penggunaan internet khususnya diIndonesia juga memberikan dampak


yang besar bagi dunia bisnis. Jika dahulu, orang-orang berdagang hanya di tingkat lokal di suatu
negara, dan ketika hendak mengembangkan usahanya di luar negara tersebut, maka pedagang itu
harus memiliki modal yang sangat besar, untuk mengurus berbagai hal, mulai dari perizinan,
sewa gedung, upah para pekerjanya.
Saat ini jika seorang ingin berdagang atau ingin mempromosikan barang dagangannya
sampai keluar negeri, pedagang itu cukup membuat situs dan menampilkan barang dagangannya
di halaman situsnya, para calon pembeli yang ada di luar negeri dapat melihat barang yang
ditawarkannya dan jika si calon pembeli tertarik, maka dia dapat memesan barang tersebut cukup
hanya dengan beberapa klik pada mouse dan ketikan nomor kartu kredit pada tombol keyboard.
Tidak lagi diperlukan biaya yang besar untuk mengurus perizinan, biaya untuk mendirikan toko
di luar negeri, tidak perlu sewa gedung, dan juga membayar upah pekerja. Para pihak dalam
transaksi tidak perlu bertemu face to face cukup melalui peralatan komputer dan telekomunikasi.
Hal ini menurut Heru Soepraptomo merupakan pertanda telah dimulainya era siber dalam dunia
bisnis[6].
Perdagangan elektronik memang memberikan keuntungan baik bagi pedagang maupun
para konsumen/ pembeli sehingga penggunaan internet dalam melakukan transaksi masih
diminati dan diprediksi akan menggantikan transaksi yang masih menggunakan pola
konvensional yaitu transaksi di mana pembeli dan penjual saling berhadapan atau bertemu
muka, untuk pembayaran dan penyerahan barang, Beberapa keuntungan penggunaan internet
sebagai media perdagangan, antara lain yaitu :[7]

a) Keuntungan bagi konsumen/ pembeli :


1. Menurunkan harga jual produk;
2. Meningkatkan daya kompetisi penjual;
3. Meningkatkan produktivitas pembeli;
4. Manajemen informasi yang lebih baik;
5. Mengurangi biaya dan waktu pengadaan barang;
6. Kendali inventory yang lebih baik.
b) Keuntungan bagi penjual :
1. Identifikasi target pelanggan dan definisi pasar yang lebih baik;
2. Manajemen cash flow yang lebih baik;
3. Meningkatkan kesempatan berpartisipasi dalam pengadaan barang atau jasa (tender);
4. Meningkatkan efisiensi;
5. Kesempatan untuk melancarkan proses pembayaran pesanan barang;
6. Mengurangi biaya pemasaran.
Meskipun perdagangan elektronik memberikan keuntungan baik kepada pihak penjual
maupun pihak pembeli, namun perdagangan elektronik juga menimbulkan berbagai
permasalahan. Menurut Sutan Remy Syahdeini, ada 12 (sebelas) permasalahan dalam
perdagangan elektronik. Kedua belas permasalahan itu meliputi :[8]
1. Berlakukah Hukum Bagi Dunia Maya (Virtual World) ?
2. Penggunaan Domain Name;
3. Alat Bukti;
4. Pengakuan Pemberitahuan E-mail sebagai pemberitahuan tertulis;
5. Pembajakan Internet (Internet Piracy);
6. Perlindungan bagi konsumen;
7. Perpajakan;
8. Hubungan Hukum antara para pihak;
9. Perlindungan terhadap The Right to Privacy:
10. Pembatasan Tanggung Jawab;
11. Pilihan Hukum (Choice of Law);
12. Yurisdiksi pengadilan.
Selain itu juga masalah kejahatan dalam internet atau yang lebih kita kenal dengan
nama cyber crime ( kejahatan siber) yang muncul karena lemahnya pengaturan mengenai hal ini
dalam hukum Indonesia.
Dari sejumlah permasalahan di atas, yang menimbulkan keingintahuan penulis adalah
mengenai permasalahan pengenaan pajak pada transaksi e-commerce. Masalah pengenaaan pajak
ini menjadi menarik selain menyangkut masalah potensi penerimaan negara disebabkan besarnya
peredaran uang di dunia maya (cyberspace) juga karena menyangkut beberapa aspek
permasalahan lainnya seperti masalah yurisdiksi dan masalah apakah hukum itu berlaku
pada cyberspace.
Hubungan antara pemajakan dengan masalah yurisdiksi ini adalah mengenai siapa yang
berhak mengenakan pajak atas transaksi e-commerce. Seperti yang kita ketahui bahwa pada
transaksi e- commerce, para pihak (pihak penjual maupun pihak pembeli) tidak semuanya berada
di satu negara, kadang penjual dan pembeli berasal dari Negara yang berbeda dan tunduk pada
sistem hukum yang berbeda pula. Hal inilah yang menimbulkan kerumitan dalam pemungutan
pajak pada transaksi e- commerce karena dapat menimbulkan double taxation (pengenaan pajak
ganda) dan merugikan para pihak baik pihak penjual maupun pihak pembeli.
Hubungan antara pemajakan dengan masalah apakah hukum itu berlaku
pada cyberspace adalah mengenai apakah dalam cyberspace juga berlaku hukum yang selama
ini berlaku di dalam dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa hukum yang berlaku di
dunia nyata tidak berlaku pada transaksi yang terjadi di dunia maya (cyberspace). Pendapat ini
didasari pada suatu kenyataan bahwa tidak ada pemilik tunggal dari internet karena sifatnya yang
lintas batas atau transnasional sehingga suatu negara dengan hukumnya tidak boleh dan tidak
seharusnya masuk ke dunia maya (cyberspace)[9]. Mekanisme perdagangan yang telah ada
di cyberspace sebaiknya tidak dicampuri oleh negara dan sebaiknya diserahkan kepada
mekanisme pasar karena dikhawatirkan akan menyebabkan runtuhnya bisnis perusahaan-
perusahaan yang menjalankan bisnis melalui internet[10]. Yang menjadi pertanyaan, jika
dalam cyberspace tidak berlaku hukum dunia nyata, apakah transaksi yang terjadi di dunia maya
(cyberspace), dapat dikenakan pajak oleh Negara, apakah ketentuan-ketentuan pajak yang
diberlakukan oleh Negara dapat diterapkan untuk transaksi e-commerce.
Jika kita memperbandingkan hal ini dengan negara-negara lain maka diketahui bahwa
banyak negara yang juga mengenakan pajak pada transaksi e-commerce seperti Kanada, Amerika
Serikat, Uni Eropa dan Jepang[11]. Jepang bahkan membentuk Cyber Tax Office dan tim yang
dinamakanProfessional Team for E-Commerce Taxation (PROTECT)khusus untuk mengatasi
masalah perpajakan pada transaksi e-commerce.
Cyber tax office bertugas memeriksa transaksi perdagangan yang dilakukan melalui
internet oleh perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan untuk mempelajari dan mengawasi
kemungkinan adanya penghindaran pajak dalam perdagangan elektronik di Jepang dan yang
dilakukan melintasi wilayah perbatasan negara merupakan kewenangan PROTECT, yang juga
memiliki tugas untuk memeriksa perusahaan kecil termasuk individu-individu dengan
memfokuskan pada transaksi B2C (businesss to customer) yang dilakukan melalui penyedia
internet, internet shopping mall dan penyedia portallainnya. Pemeriksaan pajak tidak terbatas
untuk barang-barang berwujud , melainkan juga barang-barang lainnya, seperti software, music,
dan hak milik intelektual lainnya.[12]
Hanya saja yang menjadi pertanyaan apakah Indonesia juga mengenakan pajak pada
transaksi e-commerce, apa saja pajak yang dikenakan oleh Indonesia dan apakah jenis pajak yang
dikenakan sama dengan pajak pada transaksi perdagangan konvensional ataukah ada
penambahan jenis pajak yang baru untuk transaksi e-commerce ini, dan bagaimana penerapan
ketentuan pajak tersebut, dilihat dari potensi dan kendala-kendala dalam pengenaan pajak pada
transaksi tersebut, dan bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh petugas pajak terhadap
transaksi e-commerce.
Hal-hal inilah yang menimbulkan keinginan penulis untuk mengkajinya lebih lanjut
dalam bentuk skripsi yang berjudul Analisis Mengenai Ketentuan Pajak pada Transaksi E-
Commerce dan Penerapannya.
5. Perumusan masalah
1. Pajak apakah yang dibebankan pada transaksi e-commerce?
2. Apakah yang menjadi landasan pemikiran pembebanan pajak pada transaksi e-commerce?
3. Bagaimanakah penerapan ketentuan pajak Indonesia pada transaksi
e-commerce?
6. Kegunaan dan Tujuan Penelitian
1. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Kegunaan teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan bagi para pembacanya yang selama ini
juga bertanya-tanya mengenai pengenaan pajak pada transaksi e-commerce dan diharapkan dapat
menyumbangkan ilmu yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum
bisnis karena penulis menyadari bahwa penelitian mengenai pajak pada transaksi e-commerce
belum pernah dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya sehingga
diharapkan skripsi ini dapat mengisi kekosongan pengetahuan yang selama ini terjadi.
b. Kegunaan Praktis
Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat khususnya kalangan dunia
bisnis bahwa transaksi e-commerce juga berlaku ketentuan-ketentuan pajak dan diharapkan dapat
menjawab anggapan dalam masyarakat selama ini bahwa transaksi melalui dunia siber tidak
dapat dikenakan pajak
2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai oleh penulis adalah :
a. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan pajak pada transaksi e-commerce yang
diberlakukan diIndonesia;
b. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan ketentuan pajak tersebut pada transaksi e-
commerce.

7. TINJAUAN UMUM TENTANG E-COMMERCE DAN PAJAK


A. Tinjauan Umum tentang E-commerce

1. Definisi E-Commerce

E-Commerce terdiri dari dua kata dalam bahasa Inggris


yaitu Electronic dan Commerce yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti Elektronik dan Perdagangan. Adapun yang dimaksud perdagangan adalah
pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual
barang itu di tempat lain atau pada waktu berikut dengan maksud memperoleh
keuntungan.[13]

Yang dimaksud dengan elektronik adalah alat yang dibuat berdasarkan


prinsip elektronika, hal atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau
bekerja atas dasar elektronik[14]. Jadi secara sederhana E-Commerce dapat diartikan
pekerjaan atau kegiatan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu
dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu berikut dengan maksud
memperoleh keuntungan dengan menggunakan alat-alat yang dibentuk atau
bekerja atas dasar prinsip elektronika yaitu komputer dan jaringan internet.

Sampai sekarang belum ada satu pengertian mengenai E-


Commerce karena belum terjadinya kesepakatan di antara pakar dunia mengenai
hal ini. Definisi dari beberapa pakar di bawah ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai e-commerce sehingga dapat memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif.

Albarda sebagaimana dikutip oleh M Fikri Salman , Antonius Suhadi, dkk


mengatakan bahwa e-commerce merupakan salah satu bentuk transaksi
[15]
perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh teknologi informasi.

Kalalota dan Whinston memberikan definisi e-commerce ditinjau dari aspek


sosio-ekonomi yaitu sebuah metodologi bisnis modern yang berupaya memenuhi
kebutuhan organisasi-organisasi, para pedagang dan consumer untuk
mengurangi cost (biaya), meningkatkan kualitas barang dan jasa serta
meningkatkan kecepatan jasa layanan pengantaran barang [16].

Berdasarkan pendapat dari Amir Hartman yang dikutip oleh Richardus Eko
Indrajit, dikemukakan bahwa e-commerce sebagai suatu jenis dari mekanisme
bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis
individu dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau
jasa baik antara dua buah institusi (B to B) maupun antar institusi dan konsumen
langsung (B to C).[17]

Definisi yang lengkap dikemukakan oleh ECEG (Electronic Commerce Expert


Group) yang mendefinisikan e-commerce sebagai[18]

a broad concept that covers any commercial transaction that is effected via
electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI, Internet
and telephone. For the purpose of this report the term is limited to those trade and
commercial transaction involving computer to computer communication whether
utilizing an open or closed network.
Secara yuridis, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik[19] dalam pasal 1 angka 2 memberikan definisi mengenai
transaksi elektronik sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya

2. Hubungan Hukum antara Pihak-Pihak dalam Perjanjian E-Commerce

Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi e-commerce adalah


hubungan hukum perikatan yang timbul karena adanya suatu perjanjian.
Transaksi E-Commerce melibatkan banyak pihak, baik yang bertindak secara
langsung maupun yang tidak terlibat secara langsung dalam perjanjiannya.
Budhiyanto mengatakan bahwa setidaknya terdapat lima pihak yang terlibat
yaitu[20]:

a. Penjual/merchant, yaitu produsen/perusahaan yang menawarkan produknya


melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka harus mendaftarkan diri
sebagai merchant account pada sebuah bank agar merchant dapat menerima
pembayaran dalam bentuk credit card/kartu kredit, dikarenakan salah satu jenis
pembayaran yang sering dipakai pada transaksi e-commerce adalah pembayaran
melalui kartu kredit[21].
b. Konsumen/card holder yaitu orang atau badan yang ingin memperoleh produk
(barang atau jasa) melalui pembelian secara on-line.
c. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan antara penjual dengan penerbit, dan
perantara pembayaran antara pemegang kartu dan penerbit. Acquirer sebagai
perantara penagihan meneruskan tagihan yang masuk kepadanya dari penjual
kepada penerbit kartu kredit (issuer). Acquirer sebagai perantara pembayaran
menerima uang pembayaran dari pemegang kartu kredit, dan meneruskan
pembayaran yang diterima kepada issuer. Yang dimaksud dengan acquirer ini
adalah pihak bank, jadi pihak bank yang meneruskan tagihan
dari merchant kepada issuer dan menerima pembayaran dari card holder kemudian
meneruskan pembayaran kepada issuer. Posisi bank dalam rangkaian transaksi
kartu kredit terbagi menjadi dua yaitu:[22]
1. Bank sebagai Marketing Channel
Bank sebagai marketing channel ini hanya bertanggung jawab pada segi
pemasaran, sedangkan hal-hal mengenai penyelesaian semua keluhan pemegang
kartu kredit, dispute transaction dan berbagai hal yang berkaitan dengan
operasional kartu kredit menjadi tanggung jawab issuer. Bank hanya sebagai
penengah atau perantara.

2. Bank sebagai kreditor


Bank mengadakan perjanjian dengan Visa Internasional tanpa melalui perusahaan
lain yang telah mendapatkan lisensi dari Visa Internasional, kartu kredit yang
dikeluarkan oleh bank tersebut berfungsi sebagai alat pembayaran transaksi
pada merchant dengan logo Visa Elektron atau transaksi pada mesin ATM dengan
logo Plus[23]. Bank yang berkedudukan sebagai kreditor tidak hanya bertindak
sebagai perantara akan tetapi juga bertindak sebagai:

1. Penerbit kartu kredit;


2. Mencetak dan mengirimkan lembar tagihan (billing statement);
3. Mengadakan perjanjian dengan merchant;
4. Menyelesaikan keluhan pemegang kartu kredit, termasuk kredit macet, dan lain
sebagainya.
d. Issuer, yaitu perusahaan yang menerbitkan kartu kredit. Tidak semua perusahaan
yang dapat menerbitkan kartu kredit, di Indonesia terdapat beberapa lembaga yang
diizinkan untuk menerbitkan kartu kredit yaitu:
1) Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memperoleh izin
dari Card International atau Visa International seperti Master dan Credit Card;
2) Perusahaan non bank yaitu PT Dinner Jaya Indonesia Internasional yang membuat
perjanjian dengan perusahaan di luar negeri;
3) Perusahaan Internasional yang membuka cabang di Indonesia seperti American
Express.
e. Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang memegang hak untuk
mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer, dan dalam beberapa hal
diberikan pula kepada card holder.
Menurut Annalisa Y dengan mengutip pendapat Joni Emirzon pada
transaksi e-commerce terdapat perjanjian segitiga[24] yang merupakan perjanjian
yang berdiri sendiri yang merupakan karakteristik sistem pembayaran kartu
kredit[25] yaitu antara:

1. Pihak perusahaan/bank penerbit kartu dengan card holder;


Dasar hubungan hukum antara card holder dengan issuer adalah perjanjian,
yaitu perjanjian untuk menerbitkan kartu kredit yang harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPer dan perjanjian yang telah
memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1320 KUHPer berlaku dan mengikat para pihak
seperti undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 1338 KUHPer. Pada
umumnya perjanjian ini dibuat dalam bentuk kontrak baku yang klausul dari
perjanjian telah ditentukan/dibakukan[26] oleh pihak issuer. Menurut Mohjan, bahwa
mengacu pada pasal 1320 ayat (1) serta pasal 1337 KUHPer maka perjanjian baku
diterima melalui cara dengan lisan atau dalam bentuk perilaku atau dengan tulisan
dalam bentuk pernyataan tanda tangan yang mengandung arti telah terjadi
pertemuan kehendak (meeting of mind)[27], asalkan klausula baku bukan merupakan
klausula baku yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) maka perjanian
ini telah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau dengan kata lain diakui berlaku
dan mengikat oleh undang-undang[28].

2. Perusahaan/bank penerbit kartu (bank issuer) dengan merchant;


Hubungan hukum yang terjadi antara issuer dengan merchant adalah
berdasarkan perjanjian yang sifat hubungan hukumnya adalah untuk melakukan
pekerjaan tertentu[29].

3. Card holder dengan merchant yang menerima pembayaran dengan kartu kredit.
Hubungan hukum yang terjadi antara card holder dengan merchant adalah
perjanjian yang sifatnya insidental dan sementara. Perjanjian yang terjadi adalah
perjanjian timbal balik (wederkeriq overeenkomst), karena perjanjian yang terjadi
antara card holder dengan merchant adalah merupakan perjanjian jual beli
sehingga masing-masing pihak dalam beberapa hal merupakan pihak yang
berwajib dan di lain pihak merupakan pihak berhak[30].

Pihak card holder mempunyai kewajiban untuk membayar barang yang


dibelinya dan mempunyai hak untuk menerima barang yang telah dibelinya
dari merchant, dan sebaliknya merchant mempunyai kewajiban untuk mengirim
barang itu dalam keadaan baik dan spesifikasinya sesuai dengan yang dipesan
oleh card holder dan berhak untuk menerima pembayaran.

Apabila pembayaran yang dilakukan tidak menggunakan kartu kredit


melainkan dengan mekanisme transfer ke rekening penjual maka perjanjian yang
terjadi adalah perjanjian antara konsumen dengan pihak bank untuk pembukaan
rekening, dan perjanjian antara pihak penjual dengan pihak bank untuk membuka
rekening atas nama penjual, serta perjanjian jual-beli antara pihak penjual dengan
pihak konsumen, dan juga terdapat perjanjian pengangkutan antara pihak penjual
dengan perusahaan pengiriman barang.

Ditinjau dalam konteks pengembangan dan/ atau pembuatan konstruksi


sistem informasi, terdapat beberapa macam perikatan yakni [31]:

1. perjanjian yang berkenaan dengan perangkat keras (hardware contract), baik jual
beli (purchasing) maupun sewa-menyewa (leasing) yang juga mencakup
pemasangan (installation) dan perawatannya (maintenance);
2. perjanjian yang berkenaan dengan perangkat lunak (software contract), baik untuk
software yang dibuat secara khusus berdasarkan pesanan si pengguna jasa
(bespoke/customized software) maupun yang telah dibuat umum oleh para vendor
dalam bentuk paket-paket aplikasi ataupun tools yang telah beredar umum (off the
self software);
3. perjanjian yang berkenaan dengan jasa-jasa teknologi (services contract) yang
mencakup :
a. Perjanjian pendidikan dan pelatihan (training/educational services contract);
b. Perjanjian perawatan dan pemeliharaan (maintenance contract).

Ketiga perjanjian ini dapat dilakukan secara terpisah maupun diadakan dan
dikombinasikan bersama-sama, contohnya perjanjian jual beli hardware ditambah
perjanjian maintenance atau disertai pula dengan perjanjian pengembangan sistem
ditambah perjanjian pelatihan dan perawatan, jika dilakukan sebagai suatu
kesatuan dalam satu proyek maka dikategorikan sebagai turn key contract, dimana
pengguna jasa telah menyerahkan semua urusan kepada penyedia jasa sehingga ia
hanya tinggal menggunakan perangkat maupun sistem yang telah dirancang
tersebut.[32]

3. Jenis Transaksi pada E-commerce


Pada umumnya transaksi e-commerce dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu
transaksi Business to Business (B to B) dan Business to Customer (B to C)[33], selain
juga transaksi dari customer to customer dimana antar individu saling menjual
barang melalui internet satu sama lain seperti transaksi pada situs e-bay.com serta
transaksi dari customer to business yang memungkinkan individu menjual barang
pada perusahaan seperti pada priceline.com dan transaksi customer to
[34]
government seperti transaksi pembayaran pajak melalui internet . Yang akan
dibahas adalah transaksi dari B to B dan B to C karena jenis transaksi ini lebih
banyak diterapkan.

Transaksi B to B mempunyai karakteristik sebagai berikut [35]:

a. Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin
hubungan yang berlangsung cukup lama. Pertukaran data dan informasi dilakukan
diantara trading partners ini atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;
b. Pertukaran data dilakukan berulang-ulang dan berskala dengan format data yang
disepakati. Sistem yang dipakai sama dan menggunakan standard yang sama;
c. Salah satu pihak tidak harus menunggu pihak lain untuk mengirim data;
d. Model yang umum digunakan adalah pear-to pear dimana processing
intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
Transaksi B to C memiliki karakteristik sebagai
berikut[36]:

a. Terbuka untuk umum;


b. Service yang dilakukan bersifat umum sehingga mekanismenya dapat
digunakan oleh banyak orang dan tidak menggunakan standar tertentu;
c. Services yang diberikan berdasarkan permintaan dimana konsumen yang
berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon terhadap
keinginan konsumen;
d. Pendekatan yang dilakukan adalah client-server dimana konsumen di
pihak client menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan pihak
penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada pihak server.

B. Tinjauan Umum Tentang Pajak

1. Pengertian Pajak

Menurut UU No 28 Tahun 2007[37] Tentang Perubahan Ketiga Undang-undang


Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam
pasal 1 angka 1 menyatakan

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai pembanding, maka dikemukakan pula beberapa pendapat dari para


sarjana mengenai pengertian pajak.

Menurut Rochmat Soemitro sebagaimana yang dikutip oleh Mardiasmo [38] :

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang(yang


dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.

Definisi ini diperbarui lagi oleh Rochmat Soemitro sebagaimana dikutip oleh
Sugianto[39] :

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment.
Menurut Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul
Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong sebagaimana dikutip oleh R Santoso
Brotodihardjo menyatakan bahwa[40] :

Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Menurut PJA Adriani sebagaimana yang dikutip oleh Bohari definisi pajak
adalah[41]:

Pajak adalah iuran negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali,
yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas pemerintahan.

Berbagai definisi tentang pajak baik yang ada dalam peraturan perundang-
undangan maupun yang diuraikan oleh para sarjana, dapat memberikan gambaran
bahwa pajak itu adalah suatu pungutan berupa uang [42] yang dibebankan oleh
negara kepada orang atau badan berdasarkan peraturan perundang-undangan
sehingga dapat dipaksakan oleh negara dengan tidak adanya imbalan secara
langsung (kontraprestasi) kepada wajib pajak dan hasil dari pembayaran pajak
tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

2. Ciri-ciri Pajak

Setelah dikemukakan beberapa pengertian pajak yang dikutip dari undang-


undang maupun dari pendapat para ahli maka dapat kita simpulkan ciri-ciri yang
melekat dari beberapa pengertian tersebut yaitu: [43]:

a. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan


pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan;
b. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh Pemerintah pusat maupun Pemerintah
Daerah;
c. Iuran yang dibayarkan tersebut berupa uang dan bukan barang; [44]
d. Tidak adanya jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung yang diterima oleh
pembayar pajak;
e. Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang
bermanfaat bagi masyarakat luas, yang apabila dari pemasukan tersebut masih
terdapat surplus, maka akan dipergunakan untuk membiayai public investment;
f. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang
[45] [46]
tidak budgeter yaitu regulerend (mengatur) .

3. Syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo, agar tidak menimbulkan hambatan ataupun perlawanan,


maka dalam pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: [47]

a. Pemungutan pajak harus adil (memenuhi syarat keadilan)


Pengenaan pajak harus dilakukan secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing, sedangkan dalam pelaksanaan pemungutan
pajak harus diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus memenuhi syarat yuridis yaitu bahwa pemungutan pajak
harus dilakukan berdasarkan undang-undang, sebagaimana diatur dalam pasal 23 A
UUD 1945 untuk memberikan jaminan hukum dan keadilan baik bagi negara
maupun warganya.
c. Pemungutan pajak harus memperhatikan syarat ekonomis, bahwa pemungutan
pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan,
sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil), maksudnya adalah bahwa sesuai
dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga
lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sehingga akan memudahkan dan
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

4. Kedudukan Hukum Pajak dalam Hukum Indonesia

Hukum Pajak mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Dalam


hukum nasional, hukum pajak menempati titik silang pelbagai bagian hukum klasik
yaitu hukum publik dan hukum privat. Yang termasuk bidang hukum publik seperti
antara lain hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi, hukum
internasional publik[48], hukum lingkungan, hukum sosial ekonomi. Sedangkan yang
termasuk bidang hukum privat atau perdata [49]antara lain hukum perkawinan,
hukum kewarisan, hukum perjanjian, hukum dagang, hukum internasional
perdata[50].

Menurut Rochmat Soemitro, Hukum Pajak merupakan bagian dari hukum


[51]
publik yang terpisah dengan hukum publik lainnya. Hal ini dapat dari pembagian
hukum yang dilakukan oleh Rochmat Soemitro yaitu sebagai berikut :

1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya;
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum
ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
a. Hukum Tata Negara;
b. Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif);
c. Hukum Pajak;
d. Hukum Pidana;
Sedangkan menurut R Santoso Brotodihardjo hukum pajak adalah merupakan
anak dari bagian hukum administratif karena merupakan bagian dari tertib hukum
yang mengatur hubungan antara penguasa dengan pemerintah dalam hal
mengenai cara-cara mengatur pemerintahan[52].

Menurut P.J.A Adriani, Hukum Pajak dapat diberikan otonomi (otonomi hukum
pajak) dan berdiri sendiri serta terlepas dari Hukum Tata Usaha Negara [53] dengan
alasan bahwa hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain dibandingkan
dengan hukum administrasi yaitu bahwa hukum pajak juga dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian juga karena hukum pajak umumnya
mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri.

Penulis sependapat dengan pendapat P.J.A Adriani yang mengatakan bahwa


hukum pajak adalah bidang hukum yang berdiri sendiri karena mempunyai tugas
yang berbeda dengan bidang hukum lainnya khususnya dengan bidang hukum
administratif dan juga karena dalam peristilahan juga dipergunakan istilah yang
berbeda dengan bidang hukum lainnya, akan tetapi jika menggunakan istilah
otonomi hukum pajak dirasakan tidaklah tepat karena istilah otonomi berarti bahwa
hukum pajak itu bebas dan terlepas dari bidang-bidang hukum lainnya, tidak hanya
terlepas dari bidang hukum administrasi akan tetapi juga terlepas dari unsur hukum
pidana dan juga hukum perdata, padahal hukum pajak tidak terlepas dari bidang-
bidang hukum lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam pembahasan mengenai
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana dan juga Hubungan Hukum Pajak
dengan Hukum Perdata.

4.1. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata


Hukum pajak memiliki hubungan dengan hukum perdata yang merupakan
hukum yang mengatur hubungan antara orang atau badan hukum dengan orang
atau badan hukum lainnya. Oleh dikarenakan adanya suatu kejadian-kejadian,
keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam bidang
hukum perdata seperti antara lain pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan,
pemindahan hak karena warisan, dan sebagainya merupakan dasar bagi
pemungutan pajak. Kejadian, keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum ini
merupakan tatbestand yang dituangkan dalam UU Pajak.

Menurut pendapat W.F. Prins dalam bukunya yang berjudul Het


Belastingrecht Van Indonesie sebagaimana dikutip oleh Waluyo menyatakan bahwa
hubungan erat antara Hukum Pajak dan Hukum Perdata, karena banyak istilah-
istilah hukum Perdata dipergunakan dalam hukum pajak dengan prinsip yang harus
dipegang bahwa pengertian-pengertian dalam hukum perdata tidaklah akan selalu
dianut dalam hukum pajak.[54] Contoh penggunaan istilah hukum Perdata dalam
Hukum Pajak yaitu:

a. Pasal 17 B.W.[55] : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal di mana ia


menempatkan pusat kediamannya, dalam hal tak adanya tempat tinggal yang
demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
b. Istilah tempat tinggal ini dapat kita temukan pada pasal 2 ayat (6) UU Nomor 17
Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan[56], Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) menurut keadaan yang sebenarnya.
Dengan memperhatikan kedua ketentuan di atas terlihat bahwa ketentuan
pajak yang dianut fiskus merupakan ketentuan khusus (lex specialis). Oleh karena
itu sesuai dengan asas lex specialis derogate lex generale maka adanya pengaruh
hukum pajak terhadap hukum perdata, setiap undang-undang penafsiran yang
harus dianut pertama kali yaitu berada dalam ketentuan khusus. Hal ini dapat kita
lihat dalam pasal 1602 BW yang menyatakan bahwa Majikan diwajibkan membayar
kepada buruh, upah seluruhnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan
pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2000[57] menyatakan

Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan


dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib
dilakukan oleh:

1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan


pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau bukan pegawai;
Berdasarkan contoh di atas jelas bahwa ketentuan yang ada dalam undang-
undang pajak adalah ketentuan yang khusus (lex specialis) sehingga diterapkan
lebih dahulu daripada ketentuan-ketentuan umum (lex generalis) dalam hukum
perdata.

4.2. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana

Hubungan antara hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat


dengan adanya ketentuan tindak pidana dan juga sanksi pidana dalam UU Pajak
seperti antara lain yang tertuang dalam pasal 38 sampai dengan pasal 43A UU
Nomor 28 Tahun 2007, pasal 24 sampai dengan pasal 27 UU Nomor 12 Tahun 1985
sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan[58] serta pasal 13 dan pasal 14 UU No 13 Tahun 1985 Tentang Bea
Materai[59].

5. Asas asas pemungutan Pajak

1. Asas Menurut Para Sarjana


Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam smith
dalam bukunya An Inquiri into the nature and cause of the Wealth of
Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada [60]:

a. Equality
Pemungutan pajak harus adil dan merata yang berarti bahwa pajak dikenakan
kepada orang pribadi harus sebanding dengan kemampuan keuangannya dalam
membayar pajak atau ability to pay dan harus sesuai dengan manfaat yang
diterima oleh wajib pajak walaupun manfaat tidak langsung diterima si wajib pajak.
Asas ini menghendaki tidak diperbolehkannya suatu Negara mengadakan
diskriminasi di antara Wajib Pajak[61]. Seorang Wajib Pajak dalam keadaan yang
sama harus diperlakukan sama dan dalam keadaan yang berbeda Wajib Pajak juga
harus diperlakukan berbeda[62] contohnya jika Wajib Pajak dalam keadaan kesulitan
keuangan, tentu pengenaan pajak juga berbeda ketika kondisi keuangannya baik.

b. Certainty
Penetapan pajak tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu Wajib Pajak
harus mengetahui secara jelas berapa besar pajak yang terutang, kapan serta batas
waktu pembayaran.

c. Convenience
Pembayaran pajak hendaknya disesuaikan waktunya dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan wajib pajak, umumnya pemungutan pajak dilakukan pada saat Wajib
Pajak memperoleh penghasilan.

d. Economy
Biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban pajak yang dipikul oleh
Wajib Pajak juga harus diterapkan seminimum mungkin sesuai kemampuan Wajib
Pajak.

2. Asas Menurut Falsafah Hukum


Sebagaimana diketahui bahwa pajak harus dipungut berdasarkan
keadilan dan oleh karenanya hukum pajak harus mengabdi kepada keadilan [63].
Sejak lama orang-orang berpikir dan berusaha mencari jawaban atas dasar apa
negara seakan-akan memberikan hak kepada diri sendiri untuk membebani
rakyatnya dalam bentuk pengenaan pajak. Sejak abad ke 18 timbul berbagai teori
yang berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dan memberikan dasar
kepada negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Teori-teori pajak yang
dikemukakan sejak abad ke 18 hingga sekarang yang memberikan dasar bagi
negara dalam melakukan pemungutan pajak akan diuraikan sebagai berikut [64]:

1. Teori Asuransi
Teori ini menyatakan adalah tugas dari negara untuk melindungi rakyat
dan juga kepentingannya seperti keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak
lainnya. Seperti halnya perjanjian asuransi (pertanggungan) maka untuk
mendapatkan perlindungan tersebut rakyat harus membayar pajak kepada negara
dan pajak ini dianggap seperti premi dalam perjanjian asuransi.

Teori yang menyamakan pajak sama dengan premi dalam perjanjian


asuransi tidaklah tepat karena jika timbul suatu kerugian, maka tidak ada suatu
penggantian kerugian dari negara sebagaimana halnya jika terjadi
suatu evenemen maka perusahaan pertanggungan akan memberikan penggantian
kerugian, selain alasan-alasan di atas juga tidak terdapat hubungan antara pajak
yang dibayarkan dengan penyelenggaraan jasa maupun fasilitas-fasilitas dari
negara, karena jasa maupun fasilitas yang diberikan ditujukan pada umum bukan
untuk kepentingan perorangan.

2. Teori Kepentingan
Teori ini menyatakan bahwa tugas negara adalah untuk melindungi
kepentingan rakyatnya, dan oleh karenanya adalah suatu kewajaran negara
membebankan biaya pada rakyatnya untuk mengganti biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh negara untuk melaksanakan kewajibannya itu. Semakin besar
kepentingan seseorang maka semakin besar pula biaya yang dibebankan padanya.

Terhadap teori ini menurut R Santoso Brotodihardjo, tidaklah benar dan


banyak para ahli yang menyanggah teori ini karena dalam teori ini pajak
dikacaukan dan dicampurkan pula dengan retribusi karena menyebutkan bahwa
berdasarkan kepentingan yang lebih besar misalnya perlindungan terhadap harta
benda maka si kaya akan membayar biaya yang lebih besar daripada si miskin,
padahal si miskin juga memiliki kepentingan yang lebih besar misalnya dalam hal
mendapatkan jaminan sosial sehingga si miskin harus membayar lebih besar, dan
juga apa yang dijadikan alat untuk mengukur kepentingan seseorang dan juga
menurut penulis bahwa teori ini tidaklah mengabdi kepada prinsip-prinsip keadilan
karena jika kepentingan seseorang yang dijadikan dasar pemungutan pajak maka
negara akan cenderung mengutamakan dan melindungi orang-orang kaya dan
meninggalkan kepentingan orang-orang miskin, hal mana yang tidak seharusnya
terjadi dan memang pada kenyataannya teori ini sudah semakin ditinggalkan
karena tidak sesuai dengan kenyataan.

3. Teori Gaya Pikul/ Teori Daya Pikul[65]


Menurut teori ini beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya
yang artinya harus dibayar sesuai gaya pikul. Dasar keadilan pemungutan pajak
terletak pada jasa-jasa yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya, yaitu
untuk melindungi jiwa dan harta bendanya. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
negara ini dipikul oleh seluruh orang yang menikmati perlindungan ini.

Teori ini juga tidak dapat diukur dengan pasti dan juga selalu berubah
dengan berubahnya zaman. Meskipun ajaran ini dapat menjelaskan hubungan
antara jumlah pajak yang harus dipungut dengan besarnya gaya pikul sehingga
dapat memuaskan dari sisi keadilan namun masih juga menimbulkan pertanyaan
bagaimana caranya, jika sesuatu yang harus dikenakan pajak sudah diketahui, tarif
manakah yang harus diberlakukan, apakah tarif yang proporsional, yang degresif
ataukah yang progresif dan berapa besar persentase pajak yang akan digunakan
untuk tarifnya. Hal ini akan sangat tergantung dari rasa keadilan dari zaman ke
zaman.

Kecenderungan para ahli pajak saat ini, untuk menetapkan jumlah pajak
berdasar besar penghasilan dengan juga memperhatikan besarnya tanggungan
keluarga. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan yang digunakan oleh Mardiasmo
untuk mengukur daya pikul seseorang yaitu [66]

1. Unsur obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
oleh seseorang.
2. Unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.
Contoh :

Tabel 2

Perbandingan antara penghasilan dengan kebutuhan materiil

Tuan A Tuan B

Penghasilan/bulan Rp 2 juta Rp 2 juta

Status Menikah dengan 3 bujangan


anak

PPh tuan A sama besarnya dengan tuan B, karena mempunyai penghasilan yang
sama besarnya, hal ini jika dilihat dari unsur obyektif, sedangkan jika dilihat dari
unsur subyektif PPh untuk tuan A lebih kecil daripada tuan B karena kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi tuan A lebih besar.

4. Teori Bakti

Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer sehingga diajarkan


bahwa karena sifat negara inilah maka timbul hak mutlak untuk memungut pajak.
Orang-orang tidak berdiri sendiri, tanpa ada persekutuan maka juga tidak akan ada
individu dan oleh karenanya negara sebagai wujud dari persekutuan itu berhak atas
satu dan yang lainnya.

Menurut W. H. van de Berge sebagaimana dikutip oleh R Santoso


Brotodihardjo mengatakan bahwa negara sebagai groepsverband dengan
memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan
umum, dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan termasuk tindakan-tindakan dalam pemungutan pajak. Dasar keadilan
pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai
wujud bakti kepada negara, maka rakyat harus membayar pajak.
5. Teori Asas Daya Beli

Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan dari pemungutan pajak


adalah pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat. Negara mengambil gaya
beli dari rumah-rumah tangga dalam masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesehatan masyarakat.

3. Asas Yuridis
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum pajak harus mengabdi
kepada keadilan, dan karenanya harus ada jaminan hukum dari negara kepada
warga negaranya agar negara tidak sewenang-wenang dalam menentukan
besarnya pajak. Landasan yuridis pemungutan pajak di Indonesia dapat kita lihat
dalam pasal 23 A UUD 1945.

4. Asas Ekonomis
Asas ekonomis ini menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat
terus meningkat dan kemajuan ekonomi tidak terhambat karena pemungutan pajak.
Oleh karena itu pemungutan pajak harus diupayakan agar tidak mengganggu
kelancaran ekonomi.

5. Asas Pemungutan Pajak dalam Undang-undang


Terdapat beberapa asas yang dgunakan untuk memungut pajak
sebagaimana yang dapat kita lihat dalam UU yaitu [67]:

1. Asas Tempat tinggal (asas domisili)


Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang bertempat
tinggal di wilayahnya, baik berasal dari dalam maupun berasal dari luar negeri.

2. Asas Sumber

Negara berhak untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di


wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Contoh; Orang asing
yang memperoleh penghasilan di Indonesia dikenai pajak walaupun dia tidak
bertempat tinggal di Indonesia.

3. Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan seseorang. Asas ini


diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal dalam suatu
wilayah negara untuk membayar pajak kepada negara tersebut.

6. Sistem Pemungutan Pajak


Sistem pemungutan pajak di Indonesia dibagi menjadi 3 sistem yaitu [68]:

1. Official Assesment System


Sistem ini memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya wajib pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment system adalah:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;


b. Wajib pajak bersifat pasif;
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh fiskus;
2. Self Assesment System

Suatu sistem yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan
sendiri besarnya pajak yang terutang. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besar pajak
yang harus dibayar.

3. Withholding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak. Pihak ketiga menyetor dan melaporkan besarnya pajak
yang harus dibayar kepada fiskus, tugas fiskus hanya mengawasi pelaksanaan
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga [69].

Indonesia menganut self assessment system yang mempercayakan


penghitungan pajak yang harus dibayar kepada wajib pajak, hal tersebut dapat
dilihat dalam penjelasan Umum UU No 6 Tahun 1983 yang menyatakan bhawa
anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan
membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment) dan pasal 12 ayat 2 UU
No 28 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa

Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat


Pemberitahuanyang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yan
g terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Selain menganut self assessment system Indonesia juga menganut


sistem withholding dalam UU Pajak Penghasilan, hal tersebut dapat kita lihat dalam
ketentuan pasal 21 ayat 1, pasal 22, pasal 23 UU Pajak Penghasilan.

Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan


dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib
dilakukan oleh:

a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,


dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,


dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;

c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran
lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;

d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan


sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas;

e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan


pelaksanaan suatu kegiatan.

Adapun pihak ketiga yang diberi wewenang memungut PPh pasal 22 [70] adalah:

a Bank devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang;
b Direktorat Jendral Anggaran, bendaharawan pemerintah baik di tingkat pusat
maupun pemerintah daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
c Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang
melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara
dan atau belanja daerah;
d Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan urusan
Logistik (Bulog), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik negara
(PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-
bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari
APBN maupun non-APBN;
e Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
f Pertamina serta badan usaha usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang
bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil
produksinya.
g Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh kepala KPP atas pembelian bahan-
bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Pihak ketiga yang diberikan wewenang untuk memotong PPh pasal 23 [71] yaitu:

a Badan pemerintah;
b Subjek pajak badan dalam negeri;
c Penyelenggara kegiatan;
d Bentuk usaha tetap
e Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
f Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan
dari Direktur jenderal Pajak (DJP) untuk memotong PPh pasal 23 yang meliputi:
1. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT
tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan
bebas[72].
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
7. Timbulnya Utang Pajak
Rochmat Soemitro mengibaratkan Pajak sebagai Utang dalam Hukum
Perdata, akan tetapi menurutnya pajak atau utang pajak adalah utang dalam arti
sempit yang mewajibkan wajib pajak untuk membayar suatu jumlah uang dalam
kas negara (kreditur), yang timbulnya secara khusus karena negara (kreditur)
terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya,
hal ini terjadi karena utang pajak hanya timbul karena suatu undang-undang dan
tidak timbul karena suatu perjanjian, hal mana yang sangat berbeda dengan yang
ditentukan dalam pasal 1233 KUHPer yang menyatakan perikatan dapat timbul
karena perjanjian atau karena undang-undang. [73]

Utang pajak hanya timbul jika undang-undang yang menjadi dasar untuk
pungutannya telah ada dan harus memenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat-
syarat objektif. Syarat objektif dipenuhi apabila tatbestand (perbuatan, keadaan,
dan peristiwa) yang disebutkan dalam UU terpenuhi. Contoh : jika pada tahun 2000
telah ada UU Pajak Penghasilan, dan A pada tahun 2000 memiliki penghasilan yang
melebihi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) maka A memenuhi ketiga syarat dia
atas untuk menjadi Wajib Pajak dan harus membayar Pajak Penghasilan [74].

Mengenai timbulnya utang pajak ada dua ajaran yang menjelaskan hal ini
yaitu ajaran material dan ajaran formil. Ajaran material menyatakan bahwa utang
pajak timbul dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan atau perbuatan dari
pejabat pajak (fiskus) karena pada saat yang ditentukan oleh UU sekaligus dipenuhi
syarat subyektif dan juga syarat obyektif terpenuhi. Ajaran Material ini menurut
Mardiasmo diterapkan pada Self Assesment System [75]. Ajaran formil menyatakan
bahwa utang pajak timbul karena UU pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan
Pajak oleh DJP selama belum dikeluarkan .
Timbulnya utang pajak mempunyai peranan dalam menentukan [76] :

a. Pembayaran/penagihan pajak;
b. Memasukkan surat keberatan;
c. Penentuan bermula dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa;
d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Tambahan.

8. Hapusnya Utang Pajak


Setiap utang termasuk pula utang pajak akan berakhir, dan cara-cara
berakhirnya utang pajak akan diuraikan sebagai berikut [77]:

1. Pembayaran
Utang pajak akan hapus apabila dibayar lunas sesuai dengan cara yang diterima
dan ditentukan dalam UU yaitu apabila telah dibayarkan ke kas negara.

2. Kompensasi Pembayaran
Kompensasi berarti perjumpaan utang piutang, apabila debitor mempunyai tagihan
terhadap kreditornya maka dengan kompensasi utang piutang itu saling mematikan
sampai jumlah yang sama, kompensasi hanya mungkin apabila utang piutang itu
mengenai uang atau barang yang sejenis [78]. Kompensasi dalam pembayaran pajak
terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran
pajak. Jika Wajib Pajak tidak mempunyai utang pajak lainnya maka Wajib Pajak
berhak mengajukan permohonan untuk meminta kembali kelebihan dari
pembayaran pajak sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 UU Nomor 28 Tahun
2007.[79]

3. Daluwarsa
Daluarsa dimaksudkan daluwarsa penagihan pajak.

Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan
biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali.

4. Pembebasan
Pembebasan ini umumnya diberikan terhadap sanksi administrasi bukan terhadap
pokok pajaknya. Jadi yang dihapus bukannya jumlah pajak yang terutang akan
tetapi sanksi yang berupa denda, bunga dan kenaikan dari pajak yang terutang dan
hal tersebut merupakan kewenangan DJP sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat
(1) huruf a yang menyatakan bahwa

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi


administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undanganperpajakan dalam hal sanksi
tersebutdikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya.
5. Penghapusan
Pada intinya penghapusan ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikan
karena keadaan Wajib Pajak yang mengalami kerugian atau karena wajib pajak
meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta waris, atau karena wajib pajak
tidak dapat ditemukan lagi maupun karena dokumen tidak dapat ditemukan lagi
karena disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran dan
bencana alam[80].

8. Tempat Melakukan penelitian

Penelitian akan dilakukan pada instansi Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kanwil DJP Sumatera Selatan
dan Kepulauan Bangka Belitung.

9. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif namun juga terkandung unsur
penelitian hukum empirik . Oleh karena dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian terhadap
keberlakuan azas-azas hukum pajak pada perdagangan elektronik (e-commerce), juga akan
dilakukan perbandingan hukum mengenai pajak pada transaksi e-commerce yang diterapkan di
Indonesia dengan yang diterapkan oleh negara lain baik dalam bentuk peraturan perundang-
undangan maupun konvensi-konvensi internasional mengenai pajak e-commerce dengan
menggunakan bahan-bahan kepustakaan kemudian dilihat penerapannya. Jika menggunakan
istilah Sutandyo maka penelitian ini menggunakan metodenon-doctrinal[81] karena penelitian ini
menganalisis dahulu peraturan-peraturan pajak yang berlaku pada e-commerce dan kemudian
dilihat penerapannya di masyarakat
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi :[82]
a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku
referensi, majalah hukum, dan lain-lain.
c) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum tambahan selain bahan hukum primer dan sekunder
yang juga turut membantu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
3. Analisis data
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu menerangkan dan menjelaskan gejala-
gejala dari suatu permasalahan yang kemudian selanjutnya diuraikan dalam bentuk kalimat-
kalimat sehingga menjadi suatu konklusi.
4. Ruang Lingkup
Penulis menyadari bahwa transaksi elektronik sangat besar ruang lingkupnya, transaksi
perdagangan surat berharga di Bursa Efek juga merupakan transaksi elektronik, oleh karena itu
penulis membatasi penelitian ini hanya kepada transaksi perdagangan dengan menggunakan
elektronik (e-commerce) dimana pihak penjual menawarkan barang dagangannya di situs internet
dan pembeli membeli melalui situs internet tersebut dan tidak termasuk perdagangan surat
berharga melalui Bursa Efek dan penelitian ini akan difokuskan pada ketentuan pajak pada
transaksi elektronik (e-commerce) dan penerapannya.

9. Daftar Pustaka
Asril Sitompul, Asril. 2004. Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace.Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Bohari. 1993. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Brotodihardjo, R. Santoso. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT Refika Aditama.
Fidel. 2008. Pajak Penghasilan (Pembahasan UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan dengan
Komentar Pasal per Pasal). Jakarta: Carofin Publishing.
Hutagaol, John et al. 2006. Kapita Selekta Perpajakan,Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Indrajit, Richardus Eko. 2001. E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya. Jakarta:Elex-
Media Komputindo.
Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mansur, Dikdik M Arief dan Elisatris Gultom. 2005. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi
Informasi. Bandung:Refika Aditama.
Mardiasmo. 2006. Perpajakan Edisi Revisi 2006.Yogyakarta: Penerbit Andi.
------. 2008. Perpajakan Edisi Revisi 2008. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Poesoko, Herowati. 2008. Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma
dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: Penerbit LaksBang PRESSindo.
Prodjodikoro, Wirjono. 1991. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung:
Penerbit Sumur Bandung.
Sanusi, M Arsyad.2001. E-Commerce Hukum dan Solusinya. Jakarta: PT Mizan Grafika Sarana.
Soekanto, Soerjono .2006. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: Penerbit UI Press.
Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Sugianto.2008. Pengantar Kepabeanan dan Cukai. Jakarta: PT Grasindo.
Ustadianto, Riyeke.2002. Framework e- Commerce.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia Edisi 2005. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
-----. 2007. Perpajakan Indonesia Edisi 2007. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Widiyono, Try. 2006. Aspek hukum Operasionalisasi Transaksi Produk Perbankan di Indonesia:
simpanan, jasa dan kredit. Bogor: Ghalia Indonesia

Artikel dan Jurnal


Ak, Syahmin. Arus Balik Globalisasi Ekonomi (Peran SertaIndonesia dalam Dinamika Pasar Bebas),
Makalah, dipresentasikan pada hari Sabtu, 24 Februari 2007.
Mohjan, Perjanjian Baku dalam Kegiatan Bisnis, Makalah, disampaikan dalam Seminar kerjasama HEDS
(Higher Education Development Support) dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Inderalaya
tanggal 24 Mei 2007.
Sjahdeini, Sutan Remy.E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis Volume 12
Tahun 2001.
Soepraptomo, Heru. Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di
Indonesia.Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001.
Y, Annalisa. Karakteristik Sistem Pembayaran Kartu Kredit Pada Transaksi E-Commerce Berbasis
Internet, Simbur Cahaya Nomor 26 Tahun IX September 2004.
Internet
Perkembangan Jumlah Pelanggan dan Pemakai Internet (Kumulatif) Diakses
dari http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind pada hari Rabu 27 Agustus 2008.
Raharjo, Agus . MODEL HIBRIDA HUKUM CYBERSPACE (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas
Manusia Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia), Ringkasan Disertasi,
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008, diakses dari
www.jimly.com pada link artikel pakar bagian hukum.
Kamus
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka: Jakarta, Cetakan Ketiga, 2002.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik..

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[1]
Syahmin Ak, Arus Balik Globalisasi Ekonomi (Peran Serta Indonesia dalam Dinamika Pasar Bebas),
Makalah, dipresentasikan pada hari Sabtu, 24 Februari 2007, halaman 2.
[2]
Ibid, halaman 2
[3]
Agus Raharjo, MODEL HIBRIDA HUKUM CYBERSPACE (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas
Manusia Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia), Ringkasan Disertasi, PROGRAM
DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008, diakses dari www.jimly.com pada
link artikel pakar bagian hukum halaman. 5.
[4]
Ibid, halaman 6
[5]
Diakses dari http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind pada hari Rabu 27 Agustus 2008
Pukul. 09. 30 W.I.B.
[6]
Heru Soepraptomo , Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di
Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001, halaman 1.
[7]
Riyeke Ustadianto, Framework e- Commerce, Cet. Kedua, Penerbit Andi : Yogyakarta, 2002, halaman 73-
74.
[8]
Sutan Remy Sjahdeini, E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis Volume
12 Tahun 2001, halaman 17-24.
[9]
Magdalena Yeil dalam Sutan Remy Sjahdeini, E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum, Jurnal
hukum Bisnis Volume 12 Tahun 2001, halaman 18.
[10]
Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, Elex-Media
Komputindo: Jakarta, 2001, halaman 247
[11]
John Hutagaol, et al, Kapita Selekta Perpajakan, Penerbit Salemba Empat : Jakarta, 2006, hal 130.
[12]
Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti
: Bandung, 2004, halaman 61.
[13]
M. Fikri Salman, Antonius Suhadi, et.al. Bahan Ajar Hukum Dagang, Hukum dan
Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya: Inderalaya, 2006, halaman 27.
[14]
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Penerbit Balai Pustaka: Jakarta, Cetakan Ketiga, 2002.
[15]
M. Fikri Salman, Antonius Suhadi, et.al. Op.Cit, halaman. 47
[16]
M Arsyad Sanusi, E-Commerce Hukum dan Solusinya, PT Mizan Grafika Sarana,
Jakarta, 2001 , halaman 15
[17]
Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, Elex-
Media Komputindo: Jakarta, 2001, halaman 247
[18]
M Arsyad Sanusi, Op.Cit, halaman 16
[19]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843, selanjutnya disebut dengan UU ITE.
[20]
Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Refika Aditama: Bandung, Cetakan Kedua, 2005, halaman 152
[21]
Mariam Darus Badrulzaman dalam Annalisa Y, Karakteristik Sistem Pembayaran
Kartu Kredit Pada Transaksi E-Commerce Berbasis Internet, Simbur Cahaya Nomor 26 Tahun
IX September 2004.
[22]
Try Widiyono, Aspek hukum Operasionalisasi Transaksi Produk Perbankan di
Indonesia: simpanan, jasa dan kredit, Ghalia Indonesia: Bogor, 2006, halaman 205-209.
[23]
Visa Elektron merupakan produk kartu debit dari Visa internasional dengan
sistem real time online, sedangkan tanda Plus adalah jaringan ATM dunia yang dikelola oleh
Visa Internasional. Ibid, halaman 208.
[24]
Menurut penulis, pendapat Annalisa Y yang menyatakan bahwa hanya ada
perjanjain segitiga pada transaksi e-commerce tidaklah tepat, karena ada juga bank yang
tidak berkedudukan sebagai bank issuer, bank ini melakukan perjanjian terlebih dahulu
dengan perusahaan lain yang mendapat izin dari Visa Internasional, dan hanya memasarkan
kartu kredit dari perusahaan penerbit kartu tersebut serta meneruskan tagihan
dari merchant kepada issuer dan menerima pembayaran dari card holder kemudian
mengirimkan uang tersebut kepada issuer. Baca di halaman 16. Mengenai para pihak yang
terlibat dalam penerbitan kartu kredit dapat dilihat juga dalam Munir Fuady, Hukum
Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek (Leasing, Factoring, Modal Ventura,
Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 1995, halaman 218-
222. Oleh karena itu seharusnya ada beberapa perjanjian lagi yaitu perjanjian antara Bank
dengan Perusahaan yang telah mendapat lisensi dari Card/Visa Internasional (issuer) dan
perjanjian antara Bank yang berkedudukan sebagai acquirer dengan merchant.
[25]
Annalisa Y, Op.Cit, halaman 353
[26]
Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, dalam Mohjan, Perjanjian Baku
dalam Kegiatan Bisnis, Makalah, disampaikan dalam Seminar kerjasama HEDS (Higher
Education Development Support) dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Inderalaya
tanggal 24 Mei 2007, halaman 3.
[27]
Terjadinya meeting of mind atau pertemuan kehendak ini merupakan istilah lain
dari istilah konsesualisme yang berasal dari perkataan consensus yang berarti kesepakatan.
Yang dimaksud kesepakatan itu adalah apa yang dikehendaki oleh yang satu dikehendaki
pula oleh yang lain. Kedua kehendak ini bertemu dalam sepakat atau meeting of
mind tersebut, lihat dalam R Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit PT Citra Aditya Bakti:
Bandung, 1995, halaman 3.
[28]
Ibid, halaman 7.
[29]
Lihat dalam pasal 1234 BW yang menyatakan bahwa Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan
sesuatu tersebut disebut sebagai prestasi. Lihat dalam Herowati Poesoko, Parate Executie
Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam
UUHT), Penerbit LaksBang PRESSindo: Yogyakarta, 2008, halaman 151.
[30]
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Penerbit Sumur Bandung: Bandung, 1991, halaman 20.
[31]
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta,
2005, halaman 252.
[32]
Ibid, halaman 253
[33]
Esther Dwi Magfirah dalam Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit,
halaman 150.
[34]
Edmon Makarim, Op.Cit, halaman 259-260.
[35]
Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit, halaman 151
[36]
Ibid, halaman 152.
[37]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4740, selanjutnya disebut UU Nomor 28 Tahun 2007.
[38]
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2006, Penerbit Andi : Yogyakarta, 2006,
halaman 1.
[39]
Sugianto, Pengantar Kepabeanan dan Cukai, PT Grasindo : Jakarta, 2008,
halaman 2.
[40]
R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Refika Aditama:
Bandung, Edisi Keempat, 2003, halaman 5.
[41]
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 1993, halaman
19
[42]
Meskipun ada salah satu sarjana yang mengatakan bahwa iuran pajak yang harus
dibayar dapat juga berupa barang, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan
ditentukan bahwa pajak yang harus dibayar itu berupa uang dan bukan berupa barang, hal
tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 22 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007
menyatakan bahwa Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasukbunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak Bunga, denda dan biaya menunjukkan bahwa
pajak yang harus dibayar itu adalah berupa uang, karena istilah-istilah tersebut tidak dapat
digunakan apabila pajak yang harus dibayar adalah berupa barang,
[43]
Waluyo, Perpajakan Indonesia Edisi 2007, Penerbit Salemba Empat : Jakarta,
2007, halaman.3.
[44]
Mardiasmo, Op. Cit, halaman 1.
[45]
Pajak memiliki fungsi budgeter maksudnya adalah bahwa pajak berfungsi sebagai
sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
sedangkan pajak memiliki fungsi mengatur (regulerend) maksudnya adalah bahwa pajak
adalah alat bagi negara untuk melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi,
contohnya dapat kita lihat pada pengenaan pajak yang tinggi pada minuman keras untuk
mengurangi peredaran minuman keras. Ibid, halaman
[46]
R. Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, halaman 7
[47]
Mardiasmo, Op.Cit. halaman 2.
[48]
Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum internasional menjadi hukum
internasional publik dan hukum internasional perdata (lebih dikenal dengan Hukum Perdata
Internasional) karena menurut Mochtar ada kalanya suatu negara melakukan hubungan
perdata dan juga orang perseorangan menurut Hukum Internasional modern adakalanya
dianggap mempunyai hak dan kewajiban sehingga lebih tepat mengadakan pembagian
berdasarkan kriteria tersebut dibandingkan apabila membedakan hukum internasional
berdasarkan pelaku (subjek hukumnya). Lihat keterangan yang lebih jelas dalam Mochtar
Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni: Bandung,
2005, halaman 2.
[49]
Satjipto Raharjo menggunakan istilah hukum perdata untuk hukum privat.
[50]
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti : Bandung, Cetakan Keenam
2006, halaman 75.
[51]
Lihat dalam Mardiasmo, Op.Cit halaman. 4
[52]
R. Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, halaman 10
[53]
Waluyo, Op.Cit, halaman 8, bandingkan dengan R Santoso Brotodihardjo, Loc.Cit
[54]
Waluyo, Loc.Cit
[55]
B.W. adalah singkatan dari Burgerlijk Wetboek atau yang lebih kita kenal dengan
nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hingga saat ini belum ada terjemahan resmi
B.W/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[56]
Selanjutnya disebut dengan UU Nomor 17 Tahun 2000.
[57]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985.
[58]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3569, Selanjutnya disebut UU PBB
[59]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3313, selanjutnya disebut UU Bea Materai
[60]
Fidel, Pajak Penghasilan (Pembahasan UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan
dengan Komentar Pasal per Pasal), Carofin Publishing: Jakarta, 2008, halaman 5
[61]
Bohari, Op.Cit, halaman 32.
[62]
Erly Suandy, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat: Jakarta, 2002, halaman 27
[63]
R. Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, halaman 29
[64]
Ibid, halaman 30-36
[65]
Mardiasmo dan Bohari menggunakan istilah Daya Pikul sedangkan R Santoso
Brotodihardjo dan Waluyo menggunakan istilah Teori Gaya Pikul.
[66]
Mardiasmo, Op.cit, halaman 3
[67]
Waluyo, Perpajakan Indonesia Edisi 2005, Penerbit Salemba Empat: Jakarta, 2005,
halaman 16 selanjutnya disebut Waluyo II.
[68]
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2008, Penerbit Andi: Yogyakarta, 2008,
halaman 7, selanjutnya disebut Mardiasmo II.
[69]
Wirawan B Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak Edisi 4, Penerbit Salemba
empat, 2008, halaman 33.
[70]
Mardiasmo, Op.Cit, halaman 202.
[71]
Penghasilan yang dipotong PPh pasal 23 adalah dividen; bunga termasuk
premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; royalty;
hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21; bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Lihat lebih jelas dalam Pasal 23 UU
No 17 Tahun 2000
[72]
Yang dimaksud pekerjaan bebas
adalah pekerjaan bebasadalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi
yang mempunyaikeahlian khusus sebagai
usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Lihat pasal 1 angka 25 UU No 28 Tahun 2007.
[73]
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Refika Aditama: Bandung,
Cetakan Kelima 1998, halaman 2.
[74]
Ibid, halaman 3.
[75]
Mardiasmo, Op.Cit, halaman 8.
[76]
Rochmat Soemitro,Op.Cit, halaman 4.
[77]
Waluyo, Op.Cit, halaman 19.
[78]
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT Pradnya Paramita: Jakarta,
Cetakan Ketujuh belas 2008, halaman 67.
[79]
Selanjutnya baca di Penjelasan Pasal 11 ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2007.
[80]
Wirawan B Ilyas dan Richard Burton, Op.Cit, halaman 38.
[81]
Dikutip dari kuliah mata kuliah Metode Penelitian Hukum yang disampaikan oleh Fahmi Yoesmar Ar
[82]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta: 2006,
halaman 51.

Anda mungkin juga menyukai