Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana ovum yang telah

dibuahi tidak terimplantasi pada tempat yang seharusnya (endoterium cavum

uteri). Sebagian besar kehamilan ektopik tumbuh diberbagai segmen anatomik

pada tuba fallopi, termasuk bagian interstitialis, isthmus, ampularis dan

infundibularis. Namun sangat jarang pada kanalis sevikalis uteri, ovarium, tanduk

uterus yang rudimeter dan divertikel pada uterus. Bila kehamilan ektopik tersebut

berakhir dengan abortus atau ruptur disebut kehamilan ektopik terganggu. Ruptur

kehamilan ektopik merupakan masalah kegawatdaruratan kesehatan serius, yang

memerlukan penanganan yang segera dan intervensi yang agresif secara dini.

Rupturnya dinding tuba merupakan salah satu penyebab kematian paling sering

oleh ibu, vili koriales yang menembus lapisan muskularis tuba terus ke

peritoneum. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-

kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.

Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba.

Oleh sebab itu dibutuhkan diagnosis secara dini untuk mencegah kematian pada

ibu. Namun, gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak terlalu jelas,

sehingga sulit untuk di diagnosis.1

Meningkatnya prevalensi infeksi mengakibatkan semakin tinggi pula

insiden dan prevalensi kehamilan ektopik. Keberhasilan alat kontrasepsi dalam

1
rahim (AKDR) juga meningkatkan kejadian kehamilan ektopik. Selain itu,

perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut ber-

kontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik.2,3

Kehamilan ektopik dapat terjadi dimana saja di luar kavum uteri.

Kehamilan ektopik sangat jarang terjadi pada abdomen. The Centers for Disease

Control and Prevention mencatat terjadinya kehamilan abdominal hanya berkisar

1 dari 10000 kehamilan hidup, bahkan laporan dari rumah sakit Parkland

menyebutkan lebih ekstrem lagi, yaitu hanya berkisar 1 dari 25000 kelahiran

hidup.1

Berikut dilaporkan kasus seorang ibu hamil berusia tiga puluh tiga tahun

yang mengalami kehamilan abdominal dengan partus pervaginam. Kasus ini

dilaporkan dengan harapan agar tenaga kesehatan dapat melakukan diagnosis dini

kehamilan ektopik, khususnya kehamilan abdominal, sehingga dapat dilakukan

penatalaksanaan yang tepat dan secepatnya.2

Oleh karena itu penulis tertarik untuk melihat prevalensi kehamilan

ektopik terganggu di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sitti Khadijah 1

Makassar pada periode 2012-2014.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam proposal ini adalah Bagaimana

prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar pada

periode 2012-2014?

2
1.3.1 Tujuan
1.3.2 Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti

Khadijah 1 Makassar pada periode 2012-2014.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Khadijah

1periode 2012 2014 berdasarkan usia ibu.


2. Mengetahui prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Khadijah 1

periode 2012 2014 berdasarkan paritas ibu.


3. Mengetahui prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Khadijah 1

periode 2012-2014 berdasarkan riwayat abortus ibu


4. Mengetahui prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Khadijah 1

periode 2012-2014 berdasarkan mortalitas ibu.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Pendidikan dan Tenaga Kesehatan.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada

institusi terkait sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan-

kebijakan dalam usaha pencegahan kehamilan ektopik terganngu.

1.4.2 Masyarakat Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacan bagi

masyarakat khususnya para ibu untuk menambah pengetahuan dan informasi yang

tepat tentang kehamilan ektopik terganggu.

1.4.3 Penelitian

Diharapkan bagi peneliti lain dapat menjadikan penelitian ini sebagai

acuan dan dasar serta dapat melanjutkan dan mengembangkan penelitian ini

3
menjadi penelitian yang mengkaji lebih dalam mengenai Kehamilan Ektopik

Terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar.

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tuba

Tuba fallopii ialah saluran telur yang berasal (seperti juga uterus) dari

duktus Mulleri. Rata-rata panjang tuba 11-14cm. Bagian tuba yang berada di

dinding uterus dinamakan pars interstisialis, lateral dari itu kearah ujung tuba (3-

6cm) terdapat pars ismika yang masih sempit (diameter 2-3mm) dan lebih ke arah

distal lagi disebut pars ampularis yang lebih lebar (diameter 4-10mm). Tuba

mempunyai ujung terbuka menyerupai anemon yang disebut infundibulum dan

fimbria yang merupakan tangan-tangannya, diliputi oleh peritoneum viseral, yang

merupakan bagian dari ligamentum latum. Otot polos dinding tuba terdiri atas 2

lapis (dari luar ke dalam) yaitu lapisan otot longitudinal dan otot sirkuler. Lebih ke

dalam lagi terdapat mukosa yang berlipat-lipat kearah longitudinal dan terutama

dapat ditemukan dibagian ampula. Mukosa tuba terdiri atas epitel selapis kubik

sampai silindrik, yang pada permukaannya mempunyai bagian-bagian seperti

rambut yang bergetar (silia) dan bagian yang bersekresi. Permukaan mukosa yang

bersekresi mengeluarkan getah, sedangkan yang berambut dengan getarannya

menimbulkan suatu arus ke arah kavum uteri.3

2.2 Proses Awal Kehamilan

5
Ovum berada dalam stadium oosit primer. Sesaat sebelum dilepaskan dari

folikel ovarium, nukleusnya membelah dengan cara miosis dan dari nukleus oosit

tersebut dilepaskan badan polar pertama. Oosit primer kemudian menjadi oosit

sekunder. Dalam proses ini, setiap pasang 23 kromosom akan kehilangan satu

pasangannya yang akan bergabung dengan seluruh badan polar yang dikeluarkan.

Hal ini membuat 23 kromosom yang tidak berpasangan berada dalam oosit

sekunder. Pada saat inilah ovum, yang masih berada dalam stadium sekunder,

berovulasi kedalam rongga perut. Lalu, dalam seketika, ovum tersebut memasuki

bagian ujung salah satu tuba fallopi yang berfimbria.2

Masuknya ovum kedalam tuba fallopi (oviduk). Ketika terjadi ovulasi,

ovum, bersama dengan beratus-ratus atau lebih sel-sel granulosa yang melekat

padanya, yang membentuk korona radiata, dikeluarkan langsung kedalam rongga

peritoneum dan selanjutnya harus masuk kedalam salah satu tuba fallopi untuk

mencapai kavum uteri. Ujung fimbria dari masing-masing tuba fallopi secara

alami jatuh disekitar ovarium. Permukaan dalam tentakel fimbria dibatasi oleh

epitel bersilia, dan silia tersebut teraktivitasi oleh estrogen dari ovarium sehingga

menyebabkan silia secara terus menerus bergerak kearah pembukaan atau ostium,

dari tuba fallopi yang terlibat kita dengan jelas dapat melihat arus cari yang

lambat mengalir kearah ostium. Dengan cara ini ovum memasuki salah satu tuba

fallopi.2

Pembuahan ovum. Setelah seorang pria mengejekulasikan semen ke dalam

vagina pada saat berhubungan seksual, dalam waktu 5-10 menit, beberapa sperma

dari vagina akan dihantarkan keatas, melalui uterus dan tuba fallopi, ke ampulla

6
tuba fallopi di dekat tuba yang berujung ivarium. Penghantaran sperma tersebut

dibantu dengan kontraksi uterus dan tuba fallopi yang dirangsang oleh

prostaglandin dalam carian semen pria, dan juga oleh oksitosin yang dilepaskan

dari kelenjar hipofisis posterior wanita selama wanita tersebut mengalami

orgasme. Dari hampir setengah milyar sperma yang di deposit dalam vagina,

beberapa ribu sperma tersebut berhasil mencapai ampulla.2

Pembuahan ovum umumnya terjadi di ampulla dari salah satu tuba fallopi,

segera setelah sperma dan ovum memasuki ampulla. Namun, sebelum sperma

dapat memasuki ovum, pertama-tama sperma harus menembus berlapis-lapis sel

granulosa yang melekat di sisi luar ovum (korona radiata) dan lalu berikatan

dengan dan menembus zona pelusida yang mengelilingi ovum itu sendiri.2

Sekali sebuah sperma telah masuk kedalam ovum (yang masih berada

dalam stadium perkembangan oosit sekunder), oosit membelah kembali untuk

membentuk ovum matang ditambah mengeluarkan badan polar kedua.Ovum yang

matang itu masih membawa nukleusnya (sekarang disebut sebagai pronukleus

wanita) yang mengandung 23 kromosom. Salah satu dari kromosom itu adalah

kromosom wanita dikenal sebagai kromosom X.2

Pada saat yang bersamaan, sperma yang membuahi juga berubah. Ketika

memasuki ovum, kepala sperma akan membengkak untuk membentuk sebuah

pronukleus pria. Kemudian ke 23 kromosom yang tidak berpasangan dari

pronukleus pria dan ke 23 kromosom yang tidak berpasangan dari pronukleus

wanita berikatan bersama-sama untuk membentuk kembali komplemen

7
menyeluruh dengan 46 kromosom (23 pasang) dalam sebuah ovum yang sudah

dibuahi.2

Transport ovum yang dibuahi di dalam tuba fallopi. Setelah pembuahan

terjadi, untuk mentransport ovum yang telah dibuahi melalui sisa bagian tuba

fallopi kedalam kavum uteri. Biasanya perlu waktu 3-5 hari. Transport ini

terutama dipengaruhi oleh arus cairan yang lemah didalam tuba akibat kerja

sekresi epitel ditambah kerja bersilia yang melapisi tuba. Silia tersebut selalu

bergerak ke arah uterus. Kontraksi yang lemah dari tuba fallopi juga mungkin

membantu lewatnya ovum.2

Tuba fallopi dilapisi oleh permukaan kriptoit yang tidak rata sehingga

menghalangi jalannya ovum walaupun ada arus cairan. Selain itu, istmus tuba

fallopi (2 cm terakhir sebelum masuk ke uterus) tetap berkontraksi secara spastik

selama 3 hari pertama setelah ovulasi. Setelah saat ini, peningkatan progesteron

yang cepat yang disekresi oleh korpus luteum ovarium pertama-tama akan

memacu peningkatan reseptor progesteron pada sel-sel otot polos tuba fallopi.

Lalu progesteron tersebut akan mengaktivasi reseptor-reseptor, melepaskan suatu

efek relaksasi tuba yang memungkinkan masuknya ovum kedalam uterus.2

Transport ovum terbuahi yang tertunda melalui tuba fallopi ini,

memungkinkan terjadinya beberapa tahap pembelahan sel sebelum ovum yang

sudah membelah itu sekarang disebut blastokista, yang mengandung kira-kira 100

sel memasuki uterus. Selama waktu tersebut, sel sekretori tuba fallopi membentuk

sejumlah besar sekret yang digunakan untuk nutrisi perkembangan blastokista.2

8
Implantasi blastokista didalam uterus. Setelah mencapi uterus, blastokista

yang sedang berkembang biasanya tetap tinggal di kavum uteri selama 1-3 hari

lagi sebelum berimplantasi di endometrium. Jadi implantasi biasanya terjadi kira-

kira pada hari ke 5-7 setelah ovulasi.Sebelum implantasi blastokista mendapat

makanan dari sekresi endometrium uterus yang disebut susu uterus. Sekali

implantasi terjadi, sel-sel trofoblas dan sel-sel yang berdekatan lainnya (dari

blastokista dan endometrium uterus) berproliferasi dengan cepat, membentuk

plasenta dan berbagai membran kehamilan.2

2.3 Kehamilan Ektopik

2.3.1 Definisi

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi

berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik

merupakan suatu keadaan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan,

berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan

yang gawat ini dapat terjadi apabila Kehamilan Ektopik Terganggu (KET).2

2.3.2 Epidemiologi

Jacrcho (1949) menganalisis 1225 kasus kehamilan ektopik berbagai jenis

dari sembilan penulis dan mendapatkan lokalisasi sebagai berikut ; ampulla 578,

istmus 265, fimbria 71, pars interstisialis tuba 45, infundibulum 31, seluruh tuba

(termasuk hematosaping yang mengandung hasil konsepsi) 31, abdomen 17,

setengah distal tuba 10, dua pertiga distal tuba 6, ligamentum latum 5, seluruh

tuba dan ovarium 5, tubo ovarial 2, dan tanduk rudimenter 1. Pada 164 kasus

loklisasi tidak disebut atau bila dinyatakan, tidak dibuktikan.1

9
Dirumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1987 terdapat 153

kehamilan ektopik diantara 4.007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam

kepustakaan frekuensi kehamilan ektopik dilaporkan antara 1:28 sampai 1: 329

tiap kehamilan.1

2.3.3 Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar

penyebabnya tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan pembuahan telur

dibagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus telur mengalami hambatan

sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau nidasinya dituba dipermudah.1

Faktor-faktor yang memegang peranan dalam halin ialah sebagai berikut :

1. Faktor dalam lumen tuba:


a. Endosalpingitis dapat menyebabkan perlekatan endosalping sehingga lumen

tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.1


b. Pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan hal ini

sering disertai gangguan fungsi silia endosalping.1


c. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab

lumen tuba menyempit.1


2. Faktor pada dinding tuba :
a. Endometriosis tuba dapat memudahkan impalntasi telur yang dibuahi dalam

tuba.1
b. Divertikel tuba kongenital atau ostima asseorius tubae dapat menahan telur

yang dibuahi ditempat itu.1


3. Faktor diluar dinding tuba:
a. Perlekatan-perlekatan peritubal dengan distorsi atau letukan tuba dapat

menghambat perjalanan telur.1


b. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan dinding tuba.1
4. Faktor lain :
a. Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ketuba kiri atau

sebaliknya dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.

10
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi

prematur.1
b. Fertilisasi invitro.1

2.3.4 Klasifikasi.

Sarwono Prawirohardjo dalam bukunya mengklasifikasikan kehamilan

ektopik berdasarkan lokasinya antara lain1:

1. Tuba Fallopii
a. Pars-interstisialis
b. Isthmus
c. Ampula
d. Infundibulum
e. Fimbrae

2. Uterus
a. Kanalis servikalis
b. Divertikulum
c. Kornu
d. Tanduk rudimenter
3. Ovarium
4. Intraligamenter
5. Abdominal
a. Primer
b. Sekunder.1

2.3.5 Patogenesis

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya

sama dengan halnya dikavum uteri. Telur dituba bernidasi secara kolumneir atau

interkolumneir. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot

endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya

vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian di resorbsi. Pada

nidasi secara interkolumneir telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah

11
tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahakan dari lumen tuba oleh lapisan

jaringan yang menerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena

pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak

tampak, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk kedalam

lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.

Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat

implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh

invasi trofoblas.1

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

graviditis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium dapat

pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada

endometrium yang disebut fenomena arias-stella. Sel epitel membesar dengan

intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma

sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis.

Perubahan tersebut hanya ditemukan ada sebagian kehamilan ektopik.1

Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan

kemudian dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan secara

utuh. Perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari

uteus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif.1

Mengenai nasib kehamilan dalam tuba, terdapat beberapa kemungkinan.

Karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin

dapat bertumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba

terganggu pada umur kehamilan antara 6-10 minggu.1

12
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumneir, ovum yang dibuahi cepat mati karena

vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini

penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.1

2. Abortus kedalam lumen tuba


Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah

oleh villi korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan

mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.

Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung pada derajat

perdarahan yan timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah denan selaputnya

dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium

tuba abdominalis.1
Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur yang

dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars

ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koliaris kearah

peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini

disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti

lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian istmus

dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tak sempurna pada

abortus, perdarhan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah,

sehingga berubah menjadi molakruenta. Perdarahan yang berlangsung terus

menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan selanjutnya

darah mengalir kerongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul

dikavum douglas dan membentuk hematokelreutrouterina.1


3. Ruptur dinding tuba

13
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimpantasi pada istmus dan

biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi

pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah

penembusan villi kolearis kedalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.

Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus dan

pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarah pada rongga perut,

kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan

kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam

lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba

abdominal.1
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat

terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invas trofoblas, pecah

karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah

ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan

ligamentum itu. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.1


Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba tetapi bila

robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari

tuba.Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggalkarena perdrahan, nasib

janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin

mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya. Bila besar, kelak dapat diubah

menjadi litopedion.1
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong

amion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga

perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi

kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implanasinya

14
ke jaringan sekitarnya misalnya kesebagian uterus, ligamentum latum, dasar

panggul, dan usus.1

2.3.6 Gejala Klinik dan Diagnosis


1. Akut
Gambaran klasik kehamilan ektopik adalah adanya riwayat amenorea,

nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari uterus. Nyeri abdomen

umumnya mendahului keluhan perdarahan pervaginam, biasanya dimulai dari

salah satu sisi abdomen bawah, dan dengan cepat menyebar ke seluruh abdomen

yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen. Adanya darah di

rongga perut menyebabkan iritasi subdiafragma yang ditandai dengan nyeri pada

bahu dan kadang-kadang terjadi sinkop.1


Periode amenorea umumnya 6-8 minggu, tetapi dapat lebih lama jika

implantasi terjadi di pars interstisial atau kehamilan abdominal. Pemeriksaan

klinik ditandai dengan hipotensi bahkan sampai syok, takikardia dan gejala

peritonism seperti distensi abdomen dan rebound tenderness.1


Pada pemeriksaan bimanual ditemukan nyeri saat porsio digerakkan,

forniks posterior vagina menonjol karena darah terkumpul di kavum douglasi,

atau teraba massa dibagian satu sisi uterus.1


2. Subakut
Setelah fase amenorea yang singkat, pasien mengeluh adanya perdarahan

pervaginam dan nyeri perut yang berulang. Sebaiknya, setiap perempuan yang

mengalami amenorea disertai nyeri perut bagian bawah dicurigai adanya

kemungkinan kehamilan ektopik. Pada keadaan subakut, dapat teraba massa di

salah satu sisi forniks vagina.1


Diagnosis kehamilan ektopik akut tidak sulit untuk ditegakkan. Yang sulit

adalah kehamilan ektopik subakut. Keadaan tersebu kadang sulit dibedakan

dengan abortus iminens atau abortus inkomplit. Selain itu, dapat pula dikacaukan

15
dengan salpingitis akut atau apendisitis dengan peritonitis pelvik. Demikian pula

dengan kista ovarium yang mengalami perdarahan atau pecah.1


Kadar hemoglobin akan turun akibat perdarahan di rongga abdomen, tetapi

kadar lekosit umumnya normal atau sedikit meningkat. Hasil negatif pada

pengurukuran beta-hCG akan menyingkirkan kehamilan ektopik dengan spesifitas

lebih 99%. Pada 85% kasus, kehamilan dengan janin intrauterina akan

menunjukkan peningkatan kadar beta-hCG dua kali lipat dalam 48 jam.

Pengukuran kadar beta-hCG serum bersama dengan pemeriksaan USG dapat

membantu untuk membedakan abortus dan kehamilan ektopik sampai 85% kasus,

laparoskopi umumnya digunakan untuk konfirmasi. Gambaran USG panggul

menunjukkan kehamilan tuba 2% kasus atau bila terdapat gambaran cairan bebas

intraperitoneal, tetapi terutama untuk membantu menyingkirkan kehamilan

intrauterin. Bila tidak ditemukan gambaran kehamilan ektopik, dapat dilakukan

kuret dan bila hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya reaksi

desidua dan fenomena arias-stella, menjadi dasar untuk melakukan laparoskopi.1


2.3.7 Diagnosis
1. Pemeriksaan umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga

perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Pada jenis tidak mendadak perut bagian

bawah hanya sedikit mengembung dan nyeri tekan.1


2. Pemeriksaan ginekologi
Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks

menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit

memesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang

sukar ditentukan. Kavum douglas yang menonjol dan nyeri raba menunjukkan

16
adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang naik sehingga menyukarkan

perbedaan dengan infeksi pelvik.1


3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam

menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada

tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus jenis tidak

mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa

penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.1


Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila

leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi

pelvik, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi

20.000 biasanya menunjukkan pada keadaan yang terakhir.1


b. Tes kehamilan berguna apabila postif. Akan tetapi, tes negatif tidak

menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian

hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi human

chorionicgonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif.1


c. Kuldosentesis. Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk

mengetahui apakah dalam kavum douglas ada darah. Cara ini amat berguna

dalam membantu membuat diagnosis kehamilan etopik terganggu.1


d. Ultrasonografi. Ultrasonografi berguna dalam diagnostik kehamilan ektopik.

Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantong gestasi diluar uterus yang

di dalamnya tampak denyut jantung janin. Hal ini hanya terdapat pada

kurang lebih 5% kasus kehamilan ektopik. Walaupun demikian, hasil ini

masih harus diyakini lagi bahwa ini bukan berasal dari kehamilan

intrauterina pada kasus uterus bikornis.1


e.
Laparoskopi. Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik

terakhir untuk kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur

17
diagnostik yang lain meragukan. Secara sistematis dinilai keadaan uterus,

ovarium, tuba, kavum douglas dan ligamentum latum. Adanya darah dalam

rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan.1


2.3.8 Terapi

Pada kehamilan ektopik terganggu, walaupun tidak selalu ada bahaya

terhadap jiwa penderita dapat dilakukan terapi konservatif tetapi sebaiknya tetap

dilakukan tindakan operasi. Kekurangan dari terapi konservatif (non-operatif)

yaitu walaupun darah berkumpul di rongga abdomen lambat laun dapat diresorbsi

atau untuk sebagian dapat dikeluarkan dengan kolpotomi (pengeluaran melalui

vagina dari darah di kavum douglas), sisa darah dapat menyebabkan perlekatan-

perlekatan dengan bahaya ileus. Operasi terdiri dari salpingektomi ataupun

salpingo-ooforektomi. Jika penderita sudah memiliki anak cukup dan terdapat

kelainan pada tuba tersebut dapat dipertimbangkan untuk mengangkat tuba.

Namun jika penderita belum mempunyai anak, maka kelainan tuba dapat

dipertimbangkan untuk dikoreksi supaya tuba berfungsi.4

Tindakan laparatomi dapat dilakukan pada ruptur tuba, kehamilan dalam

divertikulum uterus, kehamilan abdominal dan kehamilan tanduk rudimenter.

Perdarahan sedini mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksia yang

menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah

dari rongga abdomen sebanyak mungkin dikeluarkan. Serta memberikan transfusi

darah.4

Untuk kehamilan ektopik terganggu dini yang berlokasi di ovarium bila

dimungkinkan dirawat, namun apabila tidak menunjukkan perbaikan maka dapat

dilakukan tindakan sistektomi ataupun oovorektomi. Sedangkan kehamilan

18
ektopik terganggu berlokasi di servik uteri yang sering mengakibatkan perdarahan

dapat dilakukan histerektomi, tetapi pada nulipara yang ingin sekali

mempertahankan fertilitasnya diusahakan melakukan terapi konservatif.4

2.3.9 Prognosis

Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu

turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang

cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya

bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan)

setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami

kehamilan ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain.1

Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai

resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang

sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat

kemungkinan 50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang .1

Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas

wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%

kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih

10% mengalami kehamilan ektopik berulang.1

19
2.4 Kerangka Teori Penelitian

Usia (>30) Paritas Riwayat Perubahan


(infertilitas) Abortus anatomi

Konsumsi
Perubahan Tidak steril Massa tumor
obat pemicu
hormonal
hormonal

infeksi
Perubahan Menekan
pergerakan silia tuba

hasil fertilisasi lambat Lumen tuba menyempit


dibawa ke uterus

Hasil implantasi sulit


Implantasi di tuba melewati uba

KEHAMILAN
EKTOPIK

Vaskularisasi ke hasil Pembukaan pembuluh Penembusan vili


implantasi berkurang darah oleh vili korialis korealis kedalam
lapisan muskularis
terus ke peritoneum
Di resorbsi total Pengeluaran hasil
konsepsi dari lumen
tuba Ruptur
Pasien tidak
mengalami keluhan Abortus dinding tuba

Perdarahan

Kurangnya aliran
darah ke organ vital

mortalitas

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelit

20
2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Usia Ibu

Kehamilan Ektopik
Paritas Ibu Mortalitas Ibu
Terganggu

Riwayat Abortus Ibu

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

21
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif, yaitu pengumpulan data

dengan melihat kebelakang (backward looking). Dengan melihat dan mencatat

kembali data rekam medik pasien yang pernah dirawat di RSIA Sitti Khadijah 1

Makassar periode 2012-2014.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 - Agustus 2015.

Penelitian dilaksanakan di bagian Rekam Medik RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Semua pasien yang datang ke RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar periode

2012-2014.

3.3.2 Sampel

Semua pasien yang didiagnosis kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti

Khadijah 1 Makassar periode 2012-2014.

3.4 Teknik Sampling

Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel

adalah total sampling atau semua populasi yang memenuhi kriteria untuk

dijadikan sebagai sampel dalam penelitian.

22
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu

berupa rekam medik yang yang tercatat di bagian Rekam Medik RSIA Khadijah 1

Makassar periode 2012-2014.

Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang prevalensi

kehamilan ektopik di RSIA Khadijah 1 Makassar periode 2012-2014. Dalam

penelitian ini dilakukan tahapan sebagai berikut :

a Tahap Persiapan
1. Memilih populasi
2. Menentukan jumlah sampel
3. Menentukan waktu pengambilan data
b Tahap Pelaksanaan
1. Membuat/meminta surat izin penelitian dari fakultas
2. Memasukkan surat izin penelitian di tempat penelitian
3. Mengolah data yang telah diperoleh
4. Menyajikan hasil penelitian
c Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft

Excel 2010. Data yang telah diolah kemudian disajikan dalam bentuk diagram,

tabel distribusi frekuensi dan tulisan lisan.

3.6 Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kehamilan Ektopik

Definisi Operasional : Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana

ovum yang telah dibuahi tidak terimplantasi pada tempat yang seharusnya

(endoterium cavum uteri).1

23
2. Usia

Definisi Operasional : Usia ibu saat menderita kehamian ektopik. Biasanya

terjadi pada Ibu yang hamil pada usia 30 tahun keatas.1

Kriteria Objektif : 15-20 tahun

21 24 tahun

26 29 tahun

30 tahun

3. Paritas

Definisi Operasional : Paritas didefinisikan sebagai keadaan melahirkan anak

baik hidup ataupun mati, tetapi bukan aborsi, tanpa melihat jumlah anaknya.1

Kriteria Objektif : 0

4. Abortus

Definisi Operasional : Abortus adalah dikeluarkanya hasil konsepsi sebelum

mampu hidup di luar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000 gram

atau umur hamil kurang dari 28 minggu.1

Kriteria Objektif : 0

5. Mortalitas

24
Definisi Operasional : Mortalitas adalah Angka kematian Ibu yang disebabkan

oleh kehamilan ektopik terganggu turun sejalan dengan ditegakkannya

diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup.1

Kriteria Objektif : Hidup

Meninggal

3.7 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

3.7.1 Kriteria Inklusi

Semua penderita yang dirawat di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar yang

telah sebagai penderita kehamilan ektopik terganggu pada tahun 2012-2014 dan

memiliki catatan rekam medik yang di dalamnya mencakup variabel penelitian :

1. Jumlah kasus kehamilan ektopik terganggu

2. Umur Ibu

3. Paritas Ibu

4. Riwayat Abortus Ibu

5. Mortalias Ibu

3.7.2 Kriteria Eksklusi

1 Semua pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi

3.8 Alur Penelitian

Prevalensi Kehamilan Ektopik di RSIA Sitti Khadijah 1


Makassar pada periode 2012-2014

Melakukan koordinasi dengan lokasi penelitian berupa izin


penelitian, waktu penelitian dan administrasi

25
Memilih populasi penelitian, menentukan jumlah sampel
berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi.

Memperoleh data rekam medik berupa jumlah KET, usia


kehamilan Ibu, paritas Ibu, riwayat abortus Ibu, dan
mortalitas ibu.

Melakukan tabulasi terhadap data yang diperoleh dengan


menggunakan Ms. Excel 2010

Melakukan analisa data dan membandingkan dengan teori


dan penelitian terkait

Gambar 3.1 Alur Penelitian

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAN LOKASI TEMPAT PENELTIAN

26
Gambar 4.1 RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

4.1 Profil RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

4.1.1. Visi

Rumah sakit ibu dan anak sitti khadijah 1 muhammadiyah cabang

makassar menjadi rumah sakit pusat pelayanan kesehatan paripurna dengan

rahmatan lil alamin.

4.1.2. Misi

1. Memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak secara paripurna, bermutu, dan

terjangkau oleh semua lapisan masyarakat


2. Sebagai tempat pendidikan, pelatihan tenaga kesehatan dan tempat penelitian

dalam konsep kemuhammadiyahan.

4.2 Sejarah Singkat RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Rumah Sakit Ibu dan Anak ( RSIA ) Sitti Khadijah 1 Muhammadiyah

Cabang Makassar adalah salah satu bidang usaha kesehatan Persyarikatan

27
Muhammadiyah yang terletak di jalan R.A.Kartini No.15-17 Makassar Sulawesi

Selatan. Didirikan pada tanggal 18 November 1962 dengan status Balai Kesehatan

Ibu dan Anak ( BKIA ) dan pada tanggal 26 Mei 1976 berubah status menjadi

Rumah Bersalin ( RB ) kemudian pada tanggal 17 Mei 1994 menjadi Rumah

sakit Bersalin ( RSB ) selanjutnya pada tanggal 17 Mei 2002 ditingkatkan

statusnya menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak ( RSIA) dengan izin sementara dari

Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor : 2866 / DK-VI/PTK-

2/V/2002 dan telah mendapatkan izin tetap dari Direktur Jenderal Pelayanan

Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor : YM. 02. 04. 2. 2. 487

tanggal 2 Juli 2003.

Latar belakang berdirinya, Rumah Sakit ini didirikan oleh tokoh-tokoh

Muhammadiyah Cabang Makassar pada waktu itu supaya ada sumber dana yang

bisa menunjang kegiatan-kegiatan Persyarikatan Muhammadiyah yang tidak

produktif. Disamping itu untuk dapat menolong ummat pada umumnya dan warga

Muhammadiyah pada khususnya yang memerlukan pertolongan khususnya

bidang kesehatan.

Rumah sakit ini didirikan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah

Makassar yang pada waktu itu dirintis oleh KH.Fathul Muin Dg.Maggading,

H.Abd.Razak Dg.Sako, H.hanafi dan lain-lain pengurus pada waktu itu. Rumah

sakit ini didirikan pada tanggal 18 November 1962.

Rumah sakit ini didirikan dengan tujuan :

1. Memberikan pelayanan kesehatan khususnya Ibu dan Anak bagi masyarakat

umum dan khususnya warga Muhammadiyah.

28
2. Mendapatkan sumber dana unutk kegiatan persyarikatan yang tidak ada sumber

dana atau tidak produktif


3. Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan serta tempat

penelitian dan pengembangan Muhammadiyah dalam rangka meningkatkan

peransertanya.
4. Sebagai rumah sakti rujukan pelayanan kesehatan ibu dan anak

muhammadiyah di kota Makassar khususnya dan Sulawesi selatan umummnya.

4.3 Legalitas RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Piagam Pendirian Amal Usaha Muhammadiyah Dari Pimpinan Pusat

Muhammadyah Majelis.

No: 04/XXIII/38/KES/88 Tanggal 30 Zulqaidah 1408 H/15 Juli 1988 M

1 Surat Izin Walikota Makassar Tentang Izin Gangguan (SITU).


No: 503/0312/IG-P/02/KPAP Tanggal 15 November 2013
2 Tanda Daftar Perusahaan Dari Walikota Makassar (TDP).

No: 503/0223/TDPPO-P/01/KPAP Tanggal 15 November 2013

3 Surat Izin Walikota Makassar Tentang Izin Usaha Perdagangan Menengah

(SIUP).
No: 503/0219/SIUPM-B/01/KPAP Tanggal 15 November 2013
4 Izin Perpanjangan Operasional S/D tanggal
No : 440/23.05/RSIA/PSDK-DKK/II/2014. Tgl 25 Februari 2019
5 Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Penetapan Kelas

Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Sitti Khadijah 1 Makassar Sebagai Rumah

Sakit Khusus Kelas C.


No : HK.03.03/1/2215/2011 Tanggal 26 Agustus 2011
6 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
No: 01.815.451.8-804.000

4.4 Lokasi RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

29
Rumah sakit Ibu dan Anak Sitti Khadijah terletak di pusat kota,

berhadapan dengan lapangan karebosi. Tepatnya di Jalan RA. Kartini no.1517

Makassar, Sulawesi Selatan.

4.5 Pelayanan RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Perawatan rawat jalan poliklinik rawat jalan yang dilaksanakan oleh

Rumah Sakit Ibu dan Anak Sitti Khadijah 1 Makassar adalah poliklinik umum,

poliklinik anak dan poliklinik spesialis obsetri dan ginekologi. Adapun pelayanan

rawat jalan yang ada dirumah sakit ini sebagai berikut :

1. Unit Gawat Darurat (UGD)


2. Rawat Jalan
3. Poliklinik Kebidanan & Penyakit Kandungan
4. Poliklinik Kesehatan Anak
5. Poliklinik Umum
6. Poliklinik Gigi
7. Klinik Keluarga Berencana

4.6 Pelayanan Rawat Inap RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Fasilitas rawat inap yang ada di rumah sakit ini adalah terdapatnya 53

tempat tidur inap di rumah sakit ini, 24 termasuk di kamar kelas III. Rumah sakit

ini juga tersedia tempat tidur di semua kelas kamar, dari kelas I sampai kelas

VVIP.

30
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

31
5.1. Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian di bagian Rekam Medik dapat diketahui

prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Khadijah periode 2012 2014

yang dapat dilihat pada tabel berikut :

5.1.1. Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu Periode 2012-2014

Tabel 5.1 Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu Periode 2012-2014

Tahun Frekuensi Frekuensi Persentase (%)


Persalinan Kehamilan Ektopik

2012 2162 6 0.28%


2013 2260 6 0.27%
2014 4336 5 0.12%

Jumlah 8758 17 0.19%


Sumber: rekam medik di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Dari tabel 5.1 diketahui bahwa prevalensi kehamilan ektopik terganggu di

RSIA Sitti Khadijah 1 terbanyak pada tahun 2012 yaitu sebanyak 6 kasus

kehamilan ektopik terganggu (0,28%) dari 2162 pasien yang datang ke RSIA Sitti

Khadijah 1dan pada tahun 2013 yaitu sebanyak 6 kasus kehamilan ektopik

terganggu (0,27%) dari 2260 pasien dan terendah pada tahun 2014 yaitu sebanyak

5 kasus kehamilan ektopik terganggu (0,12%) dari 4336 pasien. Jadi terdapat 17

kasus kehamilan ektopik terganggu (0,19%) dari 8758 pasien yang datang ke

RSIA Sitti Khadijah 1selama 3 tahun.

32
5.1.2. Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Usia Ibu

Tabel 5.2 Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Usia Ibu

Usia (tahun) Frekuensi Presentase (%)


15-20 2 12%
21-24 2 12%
25-29 6 35%
30 7 41%
Total 17 100%
Sumber: rekam medik di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Berdasarkan tabel 5.2 terlihat bahwa terdapat variasi umur penderita

kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar periode 2012-

2014. Kelompok usia terbanyak yang menderita kehamilan ektopik terganggu

yaitu kelompok usia 30 tahun dengan proporsi 41% (7 orang), kemudian pada

kelompok usia 25-29 terdapat 6 orang (35%) sedangkan yang terendah adalah

kelompok usia 15-20 dan 21-24 masing-masing terdapat 2 orang (12%).

5.1.3. Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Paritas Ibu

Tabel 5.3 Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Paritas Ibu

Kehamilan Frekuensi Presentase (%)


0 10 59%

33
1 4 24%
2 2 12%
3 1 6%
Total 17 100%
Sumber: rekam medik di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Berdasarkan tabel 5.3 di atas dapat diketahui bahwa prevalensi kehamilan

ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar periode 2012-2014

berdasarkan paritas yang tertinggi adalah pada paritas ke-0 dengan proporsi 59%

(10 orang), kemudian paritas ke-1 dengan proporsi 24% (4 orang), paritas ke-2

dengan proposi 12% (2 orang) dan paritas yang terendah yang menderita

kehamilan ektopik terganggu adalah pada paritas ke-3 dengan proporsi 6% (1

orang).

5.1.4. Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Riwayat

Abortus Ibu

Tabel 5.4 Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan

Riwayat Abortus ibu

Abortus Frekuensi Persentasi


0 8 47%

34
1 7 41%
2 1 6%
3 1 6%
Total 17 100%
Sumber: rekam medik di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Berdasarkan tabel 5.3 di atas dapat diketahui bahwa prevalensi kehamilan

ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar periode 2012-2014

berdasarkan riwayat abortus paling banyak dialami oleh pasien yang belum

pernah mengalamiabortus dengan proporsi 47% (8 orang), kemudian pasien yang

pernah 1 kali abortus dengan proposi 41% (7 orang) dan yang paling rendah

dialami pasien dengan riwayat abortus 2 kali dan 3 kali dengan proporsi masing-

masing 6% (1 orang).

5.1.5. Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Mortalitas

Ibu

Tabel 5.5 Prevalensi Kehamilan Ektopik Terganggu berdasarkan Mortalitas Ibu

Mortalitas Frekuensi Persentase (%)


Hidup 17 100%
Meninggal 0 0%

Total 17 100%
Sumber: rekam medik di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

Berdasarkan tabel 5.5 di atas dapat diketahui bahwa pasien kehamilan

ektopik di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar periode 2012-2014 angka mortalitas

35
pada ibu paling tinggi adalah hidup dengan jumlah 100% (17 orang) dan angka

mortalitas paling rendah adalah meninggal dengan proporsi 0% (0 orang) atau

dengan kata lain tidak ada ibu dengan kehamilan ektopik terganggu yang

meninggal.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Analisis Prevalensi Pasien dengan Kehamilan Ektopik Terganggu

Periode 2012-2014

Pada penelitian ini diketahui bahwa terdapat 17 kasus kehamilan ektopik

terganggu (0,19%) dari 8758 pasien yang datang ke RSIA Sitti Khadijah 1 selama

3 tahun yaitu tahun 2012-2014 dan terbanyak pada tahun 2012 yaitu sebanyak 6

kasus kehamilan ektopik terganggu (0,28%) dari 2162 pasien yang datang dan

terendah pada tahun 2014 yaitu sebanyak 5 kasus kehamilan ektopik terganggu

(0,12%) dari 4336 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa tiap tahun prevalensi

kehamilan ektopik terganggu semakin menurun dikarenakan diagnosis yang tepat

dan cepat. Diagnosis kehamilan ektopik secara umum ditegakkan berdasarkan

beberapa faktor yaitu : 1. Deteksi dini kelompok resiko tinggi (Ibu dengan usia

36
tua, wanita yang infertil dan mempunyai riwayat penggunaan obat-obat pemicu

ovulasi dan fertilisasi, dan wanita yang memiliki riwayat abotus), 2. Riwayat

obsetrik dan pemeriksaan fisik, 3. Pemeriksaan laboratorium (tes kehamilan),

kuldosintesis, USG dan laparoskopi.5

5.2.2 Analisis Prevalensi Pasien dengan Kehamilan Ektopik Terganggu

berdasarkan Usia Ibu

Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa prevalensi kehamilan ektopik

terganggu terbanyak terdapat pada kelompok usia 30 tahun sebanyak 7 orang

(41%) dan kelompok usia dengan jumlah pasien kehamilan ektopik terganggu

paling sedikit adalah kelompok usia 15-20 dan 21-25 tahun dengan proporsi 12%

(2 orang).

Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-

40 tahun dengan rata-rata umur 30 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia

tersebut sering terjadi infeksi panggul dikarenakan riwayat penyakit ginekologis,

perubahan hormonal yang berakibat terganggunya pergerakan silia yang

disebabkan oleh penggunaan alat kontrasepsi pada usia tua, riwayat operasi tidak

steril menyebabkan infeksi panggul yang menyebabkan perubahan pada

endosalping sehingga menghambat zygote menuju endometrium. Pada umur <20

tahun organ reproduksi wanita belum matang sepenuhnya dan pada usia 40

seorang wanita tidak produktif lagi.5

Hasil ini sesuai dengan penelitian Aloysius et al. (2006) yang melakukan

penelitian di Rumah Sakit Imanuel Bandung dari tanggal 1 Januari 2003 sampai

37
31 Desember 2004 diperoleh 47 kasus kehamilan ektopik terganggu, berdasarkan

kelompok usia 30-34 tahun paling tinggi yaitu 19 orang (40,4%), diikuti oleh

kelompok usia 25-29 yaitu 14 orang (29,8%), kelompok usia 20-24 tahun yaitu 10

orang (21,3%) dan kelompok usia paling rendah yaitu kelompok usia 35-39 tahun

sebanyak 4 orang (8,5%) .5

Penelitian Harri (2008) di RSUB Arifin Achmad Pekanbaru periode 1

Januari 2003-31 Desember 2005 terdapat varietas umur penderita kehamilan

ektopik terganggu, kelompok usia yang terbanyak yaitu 30-34 tahun terdapat 54

orang (40,60%), kelompok usia 25-29 tahun terdapat 29 orang (21,80%) dan

kelompok usia dengan jumlah kasus KET terendah yaitu kelompok usia 20-24 dan

35 tahun terdapat 25 orang (18,80%).6

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Rospida (2009) di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2003-2008 proporsi ibu

penderita KET yang terbanyak adalah pada kelompok umur 20-39 tahun yaitu

sebesar 92,1% sedangkan proporsi terkecil terdapat pada kelompok umur <20

tahun dan 40 tahun yaitu sebesar 7,9%.7

5.2.3 Analisis Prevalensi Pasien dengan Kehamilan Ektopik Terganggu

berdasarkan Paritas Ibu

Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa paritas tertinggi ibu yang

mengalami kehamilan ektopik terganggu adalah paritas ke-0 dengan proporsi 59%

(10 orang) dan paritas yang terendah adalah pada paritas ke-3 dengan proporsi 6%

(1 orang).

38
Salah satu faktor risiko ringan kehamilan ektopik adalah infertil. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (1997) yang menyatakan

bahwa frekuensi terjadinya kehamilan ektopik terganggu terbanyak pada ibu

dengan paritas 0-3, ini dikarenakan oleh obat-obat pemicu ovulasi atau fertilisasi

in vitro, dimana diketahui bahwa obat-obat tersebut menyebabkan gangguan

hormonal yang mengakibatkan gangguan pergerakan silia di tuba.2,6,9

Berdasarkan Penelitian Harri (2008) di RSUB Arifin Achmad Pekanbaru

periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 dengan paritas 0 sebanyak 39 orang

(29,33%), paritas penderita 1 sebanyak 47 orang (35,34%), paritas 2 sebanyak 26

orang (19,55%), paritas penderita 3 sebanyak 12 orang (9,02%), paritas 4

sebanyak 4 orang (3,00%), paritas 5 sebanyak 3 orang (2,26%) dan paritas yang

lebih atau sama dengan 6 sebanyak 2 orang (1,50%).6

Penelitian Aloysius et al. (2006) di Rumah Sakit Imanuel Bandung dari

tanggal 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2004 dengan 47 kasus kehamilan

ektopik terganggu, yang paling sering didapatkan pada paritas 1 yaitu 19 orang

(36,17%), kemudian paritas 2 yaitu 17 orang (36,2%) dan yang terendah pada

paritas lebih dari 3 yaitu 11 orang (23,4%).5

Penelitian Sri et al di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode 1

januari 2010-31 Desember 2011 kehamilan ektopik terganggu paling banyak

terdapat pada kelompik dengan paritas satu, yaitu sebanyak 14 kasus (34,15%).

Sedangkan angka kejadian kehamilan ektopik terganggu paling rendah ditemukan

pada kelompok dengan paritas empat yaitu satu kasus (2,44%). Dan pada wanita

dengan kelompok paritas 0 (nulipara) sebanyak delapan kasus (19,51%).8

39
5.2.4 Analisis Prevalensi Pasien dengan Kehamilan Ektopik Terganggu

berdasarkan Riwayat Abortus Ibu

Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa pasien dengan kehamilan

ektopik terganggu paling banyak dialami oleh pasien yang memiliki riwayat

abortusdengan proposi 41% (7 orang) dan yang paling rendah dialami pasien

dengan riwayat abortus 2 kali dan 3 kali dengan proporsi masing-masing 6% (1

orang).
Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang beriwayat

pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim termasuk seksio sesarea. Pada

umumnya abortus provokatus yang paling sering menyebabkan kehamilan ektopik

dikarenakan tidak sterilnya sehingga menyebabkan tingginya salpingitis pada

abortus provokatus namun tidak menutup kemungkinan abortus spontan dapat

menyebabkan salpingitis. Kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat

bilateral. Sebagian wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik,

atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka

kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan 0% sampai 14,6%.1,9,10


Hal ini sesuai dengan penelitian Sri et al di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou

Manado paling banyak terdapat pada kelompok tanpa riwayat abortus, yaitu

sebanyak 32 kasus (78,05%). Sedangkan angka kejadian kehamilan ektopik

dengan riwayat abortus sebanyak 21,95% dan terbanyak diantaranya adalah kasus

dengan riwayat abortus sebanyak satu kali, yaitu 17,07% dan riwayat abortus

lebih dari tiga kali tidak ada yang mengalami kehamilan ektopik terganggu.8

5.2.5 Analisis Prevalensi Pasien dengan Kehamilan Ektopik Terganggu

berdasarkan Mortalitas Ibu

40
Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa mortalitas pada Ibu dengan

kehamilan ektopik terganggu terbanyak adalah hidup yaitu sebesar 17 orang

(100%) dan tidak ada ibu yang meninggal sebesar 0%.

Penurunan dramatis angka kematian akibat kehamilan ektopik terganggu

dan banyaknya proporsi ibu dengan kehamilan ektopik terganggu yang hidup

mungkin disebabkan oleh membaiknya diagnosis dan penatalaksanaannya

meliputi tindakan mengatasi kegawatan dengan memberikan transfusi darah

sebagai tindakan untuk mengatasi anemia, tindakan operasi untuk menghilangkan

sumber perdarahan dan tindakan yang mempercepat penyembuhan luka operasi

dengan memberikan suntikan antibiotik, anti anemia atau suplementasi

vitamin/mineral untuk mempercepat penyembuhan luka operasi dan pemulihan

kesehatan. Sebagai contoh, perdarahan massif yang menyebabkan kematian

seringkali terjadi pada kehamilan abdominal dan tuba intertisial, yang mungkin

menjadi simtomatik belakangan pada kehamilan.11

Oleh karena itu, kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung

turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk.,

(1971) melaporkan 1 kematian diantara 826 kasus, dan Willson dkk. (1971) 1

antara 591.Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi.Sjahid

dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus,

sedangkan Tarjamin dkk. (1973) 4 dari 138 kehamilan ektopik.1

Hasil ini sesuai dengan penelitian Rospida (2009) di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2003-2008, diperoleh bahwa ibu penderita

41
KET terbanyak adalah hidup yaitu sebesar 61 orang (96,8%) dan yang terkecil

adalah tidak ada ibu yang meninggal sebesar 2 orang (3,2%).7

Dari penelitian Harri (2008) di RSUD Aridin Achmad Pekanbaru periode 1

Januari 2003 31 Desember 2005 bahwa 131 orang (98,50%) ibu hidup dan 2

orang (1,5%) ibu dengan KET meninggal dunia.6

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai

prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

periode 2012-2014, dapat ditarik kesimpulan yaitu:


1. Prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

periode 2012-2014 semakin tahun semakin mengalami penurunan.


2. Prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

periode 2012-2014 paling banyak dialami oleh kelompok usia 30 tahun.


3. Prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

periode 2012-2014 terbayak terdapat pada paritas ke-0 atau ibu yang belum

pernah melahirkan sebelumnya.


4. Prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

periode 2012-2014 paling banyak dialami oleh ibu yang tidak memiliki riwayat

abortus.

42
5. Prevalensi kehamilan ektopik terganggu di RSIA Sitti Khadijah 1 Makassar

periode 2012-2014 dari semua kasus adalah semua ibu hidup.

6.2 Saran

1. Diharapkan agar meningkatkan kualitas pendidikan serta keterampilan tenaga-

tenaga kesehatan agar dapat menegakkan diagnosis kehamilan ektopik

terganggu lebih dini sehingga dapat mengurangi kematian ibu.


2. Diharapkan tenaga kesehatan dapat melakukan penjelasan dan penyuluhan

kesehatan pada ibu hamil mengenai gejala yang timbul akibat kehamilan yang

tidak normal sehingga ibu dapat segera memeriksakan kehamilannya di

puskesmas atau rumah sakit terdekat.


3. Diharapkan ibu yang memiliki faktor-faktor resiko untuk terjadinya kehamilan

ektopik terganggu agar waspada dan rutin memeriksakan kehamilannya pada

tenaga ahli secara teratur.


4. Diharapkan untuk setiap wanita agar menjaga hegine untuk menghindari

terjadinya kehamilan ektopik terganggu setelah menikah.


5. Diharapkan agar lebih menjaga kelengkapan data rekam medik untuk

mempermudah penelitian selanjutnya .


6. Diharapkan setelah membaca karya tulis ilmiah ini banyak pemikiran-

pemikiran dari teman-teman sekalian untuk membuat penelitian lanjutan

berkaitan dengan penelitian kami.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Rachimhadhi, Trijatmo. Ilmu Kebidanan, edisi keempat. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014; 474-487


2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan, edisi ketiga. Jakarta: PT. Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011; 11-17, 73-89, 203-206


3. Guyton, C Arthur dan Hall, E John, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11,

Jakarta: EGC. 2007; 1066-1068, 1080-1082


4. Schwart SI, Shires TS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Intisari Prinsip-Prinsip

Ilmu Bedah, edisi VI. Editor: Spencer FC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. 2000; 599-606


5. Suryawan, Aloysius et al. Profil Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu

Periode 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2004 di RS Immanuel Bandung.

Artikel Penelitian-Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha,

Bandung. 2007;6-9
6. Prawira, Hari. Gambaran Kasus KET Bagian Obgin RSUB Arifin Achmad

Pekanbaru Periode Januari 2003 31 Desember 2005. Skripsi-Fakultas

Kedokteran Universitas Riau. 2008; 23-32


7. Bangun, Rospida. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu

(KET) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2003-

2008. Skripsi-USU, Medan. 2009; 44-71

44
8. Cynthia, Sri. Et al. Tinjauan Kasus Kehamilan Ektopik di BLU RSUP Prof.

Dr. R. D Kandou Manado Periode 1 Januari 2010-31 Desember 2011. Skripsi-

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2012; 42-43


9. Wirakusumah, Firman F. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi,

Universitas Padjajaran, edisi 2. Bandung; EGC. 2005;16-17


10. Prawirohardjo, Sarwono, Ilmu Bedah Kebidanan, edisi pertama, Jakarta: PT

Bina Pustaka. 2000; hal 199


11. Gary F Cunningham dkk. Kehamilan Ektopik. dalam: Obstetri William

(Williams Obstetri). Edisi 21 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. 2006; 985-986

45

Anda mungkin juga menyukai