Anda di halaman 1dari 11

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi lensa dan zonula zinni

Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks ,transparan, dan terletak di

belakang iris dan di depan humor vitreus. Lensa memiliki dua permukaan, yaitu permukaan

anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior.

Lensa dipertahankan di tempatnya oleh serat zonula zinii yang berada di antara lensa dan

badan siliar. Serat zonula ini, yang bersal dari ephitel siliar, adalah serat kaya fibrilin yang

mengelilingi lensa secara sirkular. (AAO, 2017)

Gambar 2.1. Anatomi lensa dan struktur di sekitarnya

Sumber : slideshare.net

Lensa terus bertumbuh sepanjang usia. Diameter lensa adalah 9-10 mm dan ketebalan

lensa adalah 3,5 mm saat lahir hingga 5 mm saat usia lanjut. Berat lensa 135 mg pada usia 0-

9 tahun hingga 255 mg pada usia 40-80 tahun dengan laju pertumbuhan sebesar 1,3 mg/tahun

antara usia 10-90 tahun (Khurana,2007) semakin lanjut usia seseorang, semakin tebal

kelengkungan lensanya sehingga lensa pada usia lanjut lensa cenderung meningkat kekuatan

refraksinya. Tetapi semakin lanjut usia seseorang, indeks refraksi juga akan menurun
4

sehingga mata pada usia lanjut dapat cenderung miopia atau hipermetropi bergantung

keseimbangan kedua hal tersebut (AAO, 2017).

Komponen lensa berupa kapsul, epitel, dan korteks serta ditahan oleh zonula zinii.

a. Kapsul lensa

Lensa dibungkus oleh kapsul elastis dan transparan setebal (10-20 m) yang terdiri

dari collagen tipe IV dan glikoprotein. Kapsul lensa paling tebal berada di ekuator (14

m) dan paling tipis pada kutub posterior (2-4 m). (AAO,2017)

b. Epitel lensa

Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan

anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah menjadi

kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk serat lensa.

Saat sel kuboid berubah menjadi serat lensa, sel akan kehilangan beberapa organelnya

yaitu nukleus, mitokondria, dan ribosom. Saat kehilangan organel, serat lensa menjadi

transparan sehingga cahaya yang masuk tidak terbiaskan oleh organel-organel yang

ada. Karena kehilangan organel yang berfungsi untuk proses metabolik, maka setelah

sel kuboid berubah menjadi serat lensa, sel-sel ini akan bergantung pada proses

glikolisis untuk produksi energinya (AAO,2017).

c. Nukleus dan korteks lensa

Nukleus lensa terbentuk dari serat lensa yang berkembang saat fase embrionik dan

berada di tengah korteks. Korteks lensa terbentuk setelah kelahiran dan akan

berkembang selama hidup sehingga semakin lanjut usia seseorang korteks lensa akan

semakin menebal.

d. Zonula zinii
5

Lensa ditahan di tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial yang disebut

zonula zinii. Sistem ini penting untuk proses akomodasi, yang dapat memfokuskan

objek dekat dan jauh dengan mengubah kecembungan lensa.

2.2 Subluksasi lensa

2.2.1 Definisi

Subluksasi lensa merupakan suatu malposisi kristalin lensa mata dari posisi

normalnya akibat sebagian zonula yang mengalami kelemahan/kerusakan sehingga lensa

bergeser dari tempat asalnya.(Bowling, 2016).

2.2.2 Patofisiologi

Gangguan atau disfungsi dari serat zonular lensa, apapun penyebabnya (baik trauma

maupun kondisi yang diturunkan), adalah patofisiologi yang mendasari terjadinya

perpindahan posisi lensa, baik dilokasi maupun subluksasi. Tingkat kerusakan zonular

menentukan tingkat perpindahan lensa (Bowling, 2016). Penyebab subluksasi lensa dapat

dibagi menjadi dua yaitu subluksasi lensa yang didapat dan subluksasi lensa herediter yang

terbagi dalam subluksasi lens dengan dan tanpa kelainan sistemik. Pada kelainan herediter,

subluksasi biasanya terjadi karena kelemahan zonula zinii (Hoffman 2013; Gururaj 2013).

Subluksasi lensa yang didapat terbagi menjadi subluksasi lensa karena trauma dan

subluksasi lensa spontan. Pada trauma subluksasi lensa terjadi karena trauma tumpul yang

mengenai segmen anterior sehingga humor aquos menekan iris ke belakang kemudian

terjadi recoil dari cairan vitreus yang mendorong zonula zinii ke depan. Kedua hal tersebut

akan menjadikan kerusakan zonula zinii dengan berbagai derajat sehingga terjadi dislokasi

maupun subluksasi lensa (Albal, 1976). Subluksasi lensa spontan dapat terjadi karena

penarikan mekanik seperti pada buftalmos, miopia tinggi, stafiloma, tumor intraokuler.
6

Subluksasi lensa spontan juga dapat terjadi karena proses inflamasi seperti pada katarak

hipermatur, proses inflamasi dengan destruksi zonula zinii, Cyclitic adhesions, Vitreous

traction band, dan sindroma pseudoeksfoliasi. Sindroma pseudoeksfoliasi merupakan suatu

sindroma yang disebabkan oleh keabnormalan metabolisme matriks ekstraseluler pada mata

sehingga menyebabkan endapan berwarna keputihan yang berada pada kapsul dan epitel

lensa, pinggir pupil, epitel siliar, epitel pigmen iris, stroma iris, pembuluh darah iris, dan

jaringan subkonjungtiva. Pada sindroma ini, terkadang ditemukan kelemahan zonula zinii

akibat degradasi zonular yang progresif, tetapi subluksasi spontan biasanya jarang

didapatkan. Glaukoma yang terjadi pada sindroma ini disebabkan oleh tersumbatnya

trabekular meshwork oleh material pseudoexfoliasi (Bowling, 2016; Hoffman, 2013).

Subluksasi lensa herediter tanpa kelainan sistemik terbagi menjadi dua yaitu simple

ectopia lentis dan ectopia lentis et puppilae. Simple ectopia lentis merupakan kelainan yang

diturunkan secara autosomal dominan berupa dilokasi lensa spontan yang terjadi kongenital

maupun saat dewasa. Dislokasi lensa biasanya terjadi bilateral simetris dengan arah

dislokasi kerah superotemporal. Pada beberapa kasus dijumpai pula spherofakia dan miopia

lentikular. Subluksasi spontan yang terjadi setelah dewasa biasanya terjadi antara usia 20-65

tahun disertai iregularitas dan degenerasi zonula zinii. Dapat terjadi herniasi vitreus

dikarenakan degenerasi zonula zinii yang terjadi. Simple ectopia lentis baik yang terjadi

secara kongenital maupun spontan berhubungan erat dengan katarak dan retinal detachment.

Glaukoma lebih sering terjadi pada tipe spontan (Gururaj, 2014)

1. Marfan syndrome
Merupakan suatu kelainan autosomal dominan dengan sindroma yang ditandai

dengan kelainan pada


7

- Muskuloskeletal : Postur tubuh yang tinggi dan kurus , jari-jari yang panjang,

kifoskoliosis, abnormalitas strenum, sendi yang lentur, otot yang kurang

berkembang sehingga lebih tinggi predisposisi terhadap hernia


- Jantung : Dilatasi aorta, prolaps katub mitral, aneurisma aorta
- Kelainan mata : ectopia lentis bilateral berupa subluksasi lensa (yang paling

sering pada superotemporal), anomali sudut yang dapat menyebabkan

glaukoma, dan degenerasi lattice pada retina yang akan menyebabkan retinal

detachment. Padasindroma marfan zonula zinii masih intak sehingga pasien

masih dapat berakomodasi (Bowling, 2016).

Gambar 2.2 .Subluksasi lensa pada sindroma marfan


Subluksasi superotemporal dengan zonula zinii yang intak pada sindroma
marfan
(sumber : Kanskis clinical ophtalmology edisi 8 halaman 300)
2. Homosisteinuria
Merupakan suatu kelainan autosomal resesif yang menyebabkan penurunan

metabolisme methionin sehingga mengakibatkan penumpukan metionin dan sistin

pada berbagai macam organ, dengan manifestasi klinis :


- Sistemik : rambut kasar berwarna pirang, iris berwarna biru, malar

flush,penampakan seperti sindroma marfan, perkembangan mental yang

terhambat, dan arterosklerosis dini.


- Subluksasi lensa, biasanya pada daerah inferonasal dan terjadi pada usia 25

pada kasus-kasus yang tidak tertangani. Hal ini terjadi karena zonula zinii

yang rusak karena sistein yang rendah. Zonula zinii biasanya terdisintegrasi

sehingga kemampuan akomodasi juga akan terganggu. Gangguan mata lain


8

berupa atrofi iris, atrofi papil, katarak, myopia, dan retinal detachment

(Bowling, 2016)
3. Ehlers-Danlos syndrome
Merupakan gangguan yang mempengaruhi jaringan ikat, terutama di kulit,

persendian dan dinding pembuluh darah. Ektopia lentis berupa subluksasi maupun

dislokasi lensa dapat ditemukan pada pasien ini, walaupun frekuensinya jarang

(Malfait, 2010).
4. Hyperlysinemia
Gangguan yang diturunkan secara autosomal resesif terhadap metabolisme asam

amino lisin sejak lahir, disebabkan oleh mutasi gen AASS yang mensintesis enzim

-aminoadipic semialdehyde . gejala dan tanda hiperlisinemia adalah gangguan

neurologi dan retardasi mental, ectopia lentis juga dapat terjadi walaupn

frekuensinya jarang (Houten, 2013).


5. Defisiensi sulfit oksidase
Merupakan suatu kelainan autosomal resesif yang biasanya muncul saat neonatus,

gejala yang timbul adalah kejang, ensefalopati, dan dan iskemik neonatus

sehingga pasien biasanya meninggal pada usia muda. Terdapat pula dislokasi lensa

bilateral sebagai ciri khas dari sindroma sulfit oksidase. Dislokasi lensa

diperkirakan terjadi karena rantai disulfid merupakan pembentuk rantai

intramolekular pada glikoprotein fibrilin yang membentuk zonula zinii (Rocha,

2012; Gururaj 2014).


6. Simple primary ectopia lentis
7. Trauma

2.2.3 Derajat subluksasi lensa

Menurut hoffman, et al, derajat subluksasi lensa terbagi atas 3 golongan yaitu

minimal to mild dimana tepi lensa tampak tidak menutupi 0-25% dari pupil yang berdilatasi

maksimal, moderate dimana tepi lensa tampak tidak menutupi 25-50% dari pupil yang

berdilatasi maksimal, dan severe dimana tepi lensa tampak tidak menutupi >50% dari pupil

yang berdilatasi maksimal (hoffman, 2013)


9

Gambar 2.3. Grading subluksasi lensa

Sumber : Management of the Subluxated Crystalline Lens, halaman 2

2.3 Glaukoma sekunder karena subluksasi lensa

Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi karena didasari oleh penyakit

mata maupun sistemik lainnya. Glaukoma karena kelemahan atau tidak adanya support dari

zonula zinii sehingga menyebabkan dislokasi lensa terjadi karena dislokasi lensa ke depan

dan menyebabkan blok pupil dan glaukoma sudut tertutup sekunder. Derajat kelemahan

zonula menentukan derajat dislokasi lensa (Yamamoto, 2007)

2.3. 1 Diagnosis

Pasien glaukoma sekunder karena dilokasi lensa biasanya datang ke dokter dengan

keluhan serangan glaukoma sudut tertutup akut berupa diantaranya mata merah yang disertai

nyeri dan mual muntah. Sebelumnya dapat terjadi trauma. Pasien juga dapat datang dengan

keluhan pandangan berupa pandangan kabur karena miopia atau astigmatisme, penurunan

penglihatan jarak dekat karena hilangnya fungsi akomodatif, atau diplopia monokuler bila

dislokasi atau subluksasi lensa sangat besar. Selain anamnesa gangguan penglihatan, kita juga

harus menanyakan riwayat keluarga serta kelainan sistemik terutama yang berhubungan

dengan jantung dan muskuloskeletal (Yamamoto, 2007).


10

Tajam penglihatan pada pasien glaukoma sekunder karena dislokasi lensa sangat

bervariasi, tergantung derajat perpidahan lensa. Pada tahap awal, kelainan ketajaman

penglihatan berupa derajat astigmatisme yang berubah-ubah dengan pemeriksaan

keratometri. Bila hal ini terjadi, pemeriksa harus mencurigai adanya kelainan kearah

subluksasi lensa. Gambaran subluksasi lensa juga bervariasi mulai dari bilik mata depan yang

dangkal pada sebagian quadran sampai fakodenesis yang dapat dilihat secara jelas. Karena itu

perlu dilakukan gonioskopi dengan pupil lebar untuk mengkonfirmasi seberapa berat

penyempitan sudut yang diakibatkan. Tekanan intraokuli dapat normal ataupun meningkat

tergantung dari posisi lensa dan pengobatan yang sedang dipakai pasien.

Gambar 2.4. Subluksasi lensa akibat trauma


Suatu contoh subluksasi lensa ringan akibat trauma, tanda subluksasi lensa hanya berupa bilik
mata depan yang lebih dangkal pada bagian inferior dan serat vitreus yang tipis pada bagian
inferior
(Sumber : Angle closure glaucoma, halaman 166)
11

Gambar 2.5. Subluksasi lensa pada sindroma marfan


Suatu contoh subluksasi lensa yang jelas pada pasien dengan sindroma marfan, dengan
zonula zinii yang tampak jelas dan tampak bagian inferior dari lensa.
(sumber : Angle closure glaucoma, halaman 166)
2.3.2 Penatalaksanaan

Terapi medikamentosa yang haru sdiberikan adalah penggunaan obat antiglaukoma

jenis hiperosmotik untuk mengurangi vitreus sehingga memungkinkan lensa untuk mundur ke

belakang. Bila lensa terperangkap pada pupil atau bilik mata depan, pasien dapat diberi obat

midriatikum ringan , apabila zonula zinii diyakini intak, maka diberikan obat-obatan

siklopegik dan pasien diposisikan dalam posisi telentang. Ketiga hal ini diharapkan akan

membuat lensa kembali pada posisinya di bilik mata belakang. Setelah lensa berhasil

kembali pada posisinya, pupil dikonstriksikan dengan obat-obatan miotikum dan dilakukan

peripheral iridiotomi. Penanganan definitif pada kebanyakan kasus glaukoma sekunder

karena subluksasi lensa adalah laser iridiotomi, apabila subuksasi terjadi bilateral, maka harus

dilakukan iridiotomi laser perifer pencegahan pada mata jiran. Indikasi dilakukannya

ekstraksi lensa pada adalah :


12

1. Lensa yang tidak dapat kembali ke tempatnya (biasanya sering terjadi pada dislokasi

lensa arah anterior)


2. Tekanan intraokuli yang meningkat setelah laser iridektomi perfer
3. Terdapat diplopia monokuler yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien
4. Penurunan visus progresif karena katarak maupun astigmatisme
5. Glaukoma fakolitik

Beberapa teknik operasi yang dipakai untuk ekstraksi lensa pada glaukoma sekunder karena

subluksasi lensa adalah :

1. Teknik ekstraksi katarak intrakapsular diikuti vitrektomi anterior dan pemasangan

lensa intraokular pada bilik mata depan atau fiksasi sklera


2. Fakoemulsifikasi dengan memasukkan capsular tension ring dan pemasangan lensa

intraokular in-the-bag
3. Fakoemulsifikasi dengan memasukkan capsular tension ring modifikasi atau cionni

dan pemasangan lensa intraokular in-the-bag


4. Fakoemulsifikasi dengan pemasangan lensa intraokular in the sulcus dengan metode

fiksasi small incision pada sklera.


5. Mennghancurkan lensa di cavum vitreus, kemudian memasang lensa intraokular pada

bilik mata depan atau skleral fiksasi


6. Pars plana lensektomi dengan atau tanpa lensa intraokular
(Yamamoto, 2007)

Perencanaan operasi pada subluksasi lensa harus dilakukan secara maksimal. Segala

operasi dengan subluksasi lensa sebaiknya menggunakan anestesi umum. Untuk subluksasi

lensa dengan area kurang dari 3 jam, teknik operasi yang dipilih adalah fakoemulsifikasi

dengan setting rendah. Untuk subluksasi dengan area 3-5 jam, teknik operasi yang dipilih

adalah fakoemulsifikasi dan penggunaan capsular tension ring (CTR) sementara pada

subluksasi dengan area 5-7 jam penggunaan CTR yang dijahit pada sklera adalah teknik

operasi utama. Apabila kantong lensa dirasa tidak stabil sebaiknya digunakan teknik operasi

intra capsular cataract extraction (ICCE) atau lensektomi. Insisi utama harus dilakukan di

seberang area subluksasi, bila tidak memungkinkan, inisisi utama dilakukan pada 90o dari

area subluksasi. Apabila di tengah operasi terdapat vitreus yang keluar melalui zonula zinii
13

yang lemah dan memasuki bilik mata depan, vitrektomi harus dilakukan diikuti pemasangan

barier viskoelastis sebagai tamponade vitreus pada daerah zonula zinii yang lemah. Lokasi

kapsuloreksis utama sebaiknya dilakukan jauh dari area subluksasi. Bila terdapat subluksasi

lensa, tekanan yang biasa dilakukan mungkin tidak seimbang seperti pada operasi pada lensa

normal. Untuk menyeimbangkan gaya sentripetal dapat dilakukan kapsuloreksis dengan sudut

15o atau menggunakan forseps sebagai penyeimbang saat instrumen kedua membuat robekan

pada kapsul lensa. Teknik ini juga akan mengurangi tekanan ke posterior, sehingga lebih

aman untuk zonula. Sebelum melakukan hidrodiseksi sebagian cairan harus dikeluarkan

melalui insisi utama Untuk mencegah pengisian bilik mata depan yang berlebihan, selama

proses hidrodiseksi, kanula harus diarahkan kearah area zonula terlemah (Kaplowitz, 2013)

Bila menggunakan teknik fakoemulsifikasi, sebaiknya digunakan setting terendah

utnuk mencegah tekanan yang berlebihan pada zonula zinii. Menurut Osher, teknik yang

dapat digunakan adalah slow motion phacoemulsification yaitu menggunakan ketinggian

botol 30-50 cm, aspiration rate 12 cc/menit, kekuatan vacuum kurang dari 30 mmHg, dan

power ultrasound yang rendah sehingga fluktuasi yang berlebihan dan pendangkalan bilik

mata depan dapat dihindari. Memaksa memecah lensa dan teknik flipping lensa harus

dihindari dan sebaiknya menggunakan teknik pendorongan pecahan lensa menggunakan

viskoelastik agar tekanan pada bag lensa dapat diminimalkan. Lensa intraokular sebaiknya

dimasukkan menggunakan injektor agar mengurangi tekanan yang diakibatkan oleh

perputaran atau penyesuaian posisi haptik(Kaplowitz, 2013)

Bila kapsul lensa tidak stabil untuk dilakukan fakoemulsifikasi, penggunaan capsular

tension ring (CTR) dapat dilakukan. CTR dapat menstabilkan daerah zonula zinii yang lemah

dan mendistribusikan kekuatan sama pada semua regio zonula, menstabilkan kantong

kapsuler dan lensa intraokular (IOL) selama dan setelah operasi katarak. CTR dapat

dimasukkan setiap saat setelah kapsuloreksis dan hidrodiseksi (Ma,2014; Kaplowitz, 2013).

Anda mungkin juga menyukai