Anda di halaman 1dari 7

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS TENTANG KRIMINALISASI MASYARAKAT


ADAT DALAM KASUS SENGKETA HUTAN ADAT
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
35/PUU-X/2012
Oleh:
Dr. Jusup Jacobus Setyabudhi, S.H., M.S.
Agustin Widjiastuti, S.H., M.Hum
1. Latar Belakang
Konggres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V, yang baru diselenggarakan oleh
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dari tanggal 13 sampai dengan 17 Maret 2017
di Medan, bertujuan untuk melaksanakan perubahan negara dan secara organisasi melakukan
tindakan nyata. Tema Konggres AMAN V adalah, Tata Negara dan Reorganisasi
Kelembagaan Negara. KMAN V merupakan momentum untuk melakukan refleksi dan
konsolidasi Organisasi menuju gerakan masyarakat adat yang terpimpin dalam mewujudkan
cita-cita untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya.
Tindakan nyata yang dilakukan antara lain,
a. Mengkaji perkembangan organisasi dan pelaksanaan keputusan-keputusan KMAN
IV, serta melakukan penataan struktur gerakan.
b. Merumuskan perubahan Anggaran Dasar Organisasi, Garis-Garis Besar Program
Kerja, Pernyataan sikap/resolusi dan pandangan masyarakat adat tentang tatanan
baru hubungan negara dengan masyarakat adat menuju kedaulatan dan otonomi
untuk menentukan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi dan religius
masyarakat adat di Indonesia dan maklumat masyarakat adat.
c. Mengkonsolidasikan gerakan masyarakat adat di Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat sipil dan membangun hubungan sinergis dengan kelompok-kelompok
gerakan yang lebih luas, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, untuk
mendorong percepatan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
masyarakat adat sebagai hak asasi manusia, demokratisasi dan pelestarian
lingkungan hidup.
d. Melakukan dialog-dialog yang konstruktif dengan pemerintah dan kekuatan-
kekuatan politik nasional lainnya untuk membangun kesepahaman mengenai hak-
hak masyarakat adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan
bermartabat secara budaya.
e. Membangun mekanisme informasi dan komunikasi antar komunitas adat maupun
dengan pihak luar mengenai issue-issue penting yang berkaitan dengan eksistensi
dan dukungan terhadap masyarakat adat di seluruh nusantara.1
1 http://kmanv.aman.or.id/

1
Selain simposium, kegiatan KMAN V yang berlangsung 15-19 Maret 2017 akan diisi
pula dengan 17 Sarasehan Tematik yang tersebar di 17 tempat berbeda di seputar Kampung
Tanjung Gusta. Dari 17 sarasehan, 8 sarasehan sudah berlangsung. Sarasehan yang sudah
berlangsung yaitu Sarasehan bertemakan Mencari Format Pembelaan dan Pendampingan
Hukum untuk Masyarakat Adat, Partisipasi Politik Masyarakat Adat dalam Sistem Demokrasi
di Indonesia, Janji Nawacita : Realitas Masyarakat Adat dan Perempuan Adat, Pembangunan
Infrastruktur dan Layanan Sosial untuk Masyarakat Adat. Selain itu juga terdapat sarasehan
bertemakan Masyarakat Adat Mengurus dan Memanfaatkan Kekayaan Titipan Leluhur,
Gerakan Rakyat Penunggu : Sejarah dan Perjuangan Menyintas Berbagai Bentuk Rezim
Penakluk serta Pendidikan untuk Masyarakat Adat. Sarasehan pada hari Kamis 16 Maret
2017, akan bertema Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019, Menggugat Posisi Perempuan
Adat dalam Negara dan Masyarakat Adat, Disabilitas ditengah-tengah Masyarakat Adat,
Mitigasi dan Adaptasi Bencana dan Mewujudukan Kedaulatan Wilayah Adat. Spiritualitas
dan Kebudayaan, Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Adat, Kepemimpinan Generasi Penerus
Masyarakat Adat dan Rencana Kehidupan Wilayah Adat juga masuk dalam tema saresehan
yang akan dilaksanakan.2
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 yang dimusyawarahkan
oleh para hakim MK pada tanggal 26 Maret 2013, dan diucapkan pada hari Kamis 16 Mei
2013, mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia.
Amar Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 itu ialah,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi Hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat;
1.3. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,

2 https://m.tempo.co/read/news/2017/03/15/173856359/17-sarasehan-tematik-di-kongres-masyarakat-adat-
nusantara-ke-5

2
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
1.4. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
1.5. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan
adat;
1.6. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Hutan negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat;
1.7. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.8. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
1.9. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.10. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
1.11. Frasa dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.12. Frasa dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi Pemerintah
menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

3
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada saat itu, kemudian menerbitkan Surat
Edaran nomor SE.1/Menhut.2/2013 tanggal 16 Juli 2013, Tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia,
Bupati/WaliKota di seluruh Indonesia, dan Kepala Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota yang
membidangi kehutanan di seluruh Indonesia. Gubernur di seluruh Indonesia,
Bupati/WaliKota di seluruh Indonesia, dan Kepala Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota yang
membidangi kehutanan di seluruh Indonesia dengan demikian dipastikan mengetahui tentang
amar Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, dan Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 jo.
UU No. 19 Tahun 2004 yang dimintakan pengujian konstitusionalitas.
Sesudah terbitnya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, ternyata masih saja terjadi
sengketa mengenai tanah hutan adat antara masyarakat adat dengan perusahaan
pertambangan/perkebunan, dan masih ada bupati yang tidak mau tahu mengenai Putusan MK
No. 35/PUU-X/2012, dan mendasarkan pewndapatnya pada izin yang dirilis oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahkan menyatakan bahwa, kalau memang
ada tanah adat, seharusnya saya dapat SK-nya (Surat Keputusannya) mana yang tanah
ulayat. Bupati itu lupa bahwa pada tanggal 7 Juli 2014, Menteri Dalam Negeri saat itu,
Gamawan Fauzi, menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 Tahun
2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pasal 6 ayat
(2) Permendagri No. 52 Tahun 2014 berbunyi, Bupati/walikota melakukan penetapan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia
Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah. Pejabat yang berwenang
melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat adalah
Bupati/Wlikota.
2. Rumusan Masalah
Didasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut, apakah masih ada sengketa mengenai hutan adat setelah Putusan MK No. 35/PUU-
X/2012?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat kepentingan akredetasi
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Surabaya yang setiap lima tahun akan
diselenggarakan, yang akan jatuh pada tahun 2019. Selain tujuan utama tersebut, manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut di bawah ini.

4
a. Untuk mengetahui, implementasi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 karena masih banyak
diberitakan sengeta tentang hutan adat antara MHA dengan berbagai perusahaan.
b. Untuk mengetahui bagaimana Pemerintah Kabupaten/Kota menerapkan Permendagri No.
52 Tahun 2014.
c. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat, terutama berbagai perusahaan yang
terlibat dalam sengeta mengenai hutan adat dengan MHA.
d. Untuk mengembangkan bahan kuliah dalam penyajian mata kuliah Hukum Adat di
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Surabaya.
e. Untuk memastikan bahwa Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dapat diimplementasikan
secara efektif dan ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk berbagai perusahaan
yang terlibat dalam sengeta mengenai hutan adat dengan MHA.
4. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian socio legal karena yang diteliti adalah implementasi
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Penelitian ini oleh karena itu bersifat explanatoris.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian socio legal ini adalah :
a. Pendekatan undang-undang (statute approach), yang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan hutan adat dan sengketa mengenai
hutan adat..
b. Pendekatan historis (historical approach), yang dilakukan dengan menelaah latar belakang apa
yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai hak ulayat dan hutan adat.
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut di
bawah ini.
a. Bahan hukum primer berupa semua peraturan positif yang berkaitan dengan hak ulayat dan
hutan adat.
b. Bahan hukum sekunder berupa berbagai buku referensi dan pendapat para pakar mengenai
hak ulayat dan hutan adat melalui studi kepustakaan.
c. Bahan hukum tersier berupa berbagai fakta yang didapatkan dan ditemukan di lapangan.
Metode yang dipergunakan untuk melakukan analisis terhadap fakta yang didapatkan
dan ditemukan di lapangan melalui obervasi dan interview, adalah metode silogisme, metode
induktif, dan metode deduktif.
5. Daftar Pustaka
1. Bahan Hukum Primer
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

5
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013.
Surat Edaran Menteri Kehutanan nomor SE.1/Menhut.2/2013 tanggal 16 Juli 2013.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples
2. Bahan Hukum Sekunder
Arief, Barda Nawawi. 1995. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorientasi
Pemahaman). Makalah Penataran Metodologi Penelitian Hukum di UNSOED
tanggal 11 - 15 September 1995. Purwokerto.
Cahyono, Eko, dkk. 2016. Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di
Kawasan Hutan. Cetakan pertama. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Campbell, Enid et al. 1988. Legal Research Materials And Methods. Third edition.
Melbourne : The Law Book Company Limited.
Cohen, Morris L. & Kent C. Olson. 1992. Legal Research in a nut shell. St. Paul Minn. :
West Publishing Co.
Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi Hukum. Cetakan Kedua.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Heroepoetri, Arimbi, Aflina Mustafainah, dan Saur Timiur Situmorang. 2016. Pelanggaran
Hak Perempuan Adat Dalam Pengelolaan Kehutanan - Laporan Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Untuk Inkuiri Nasional
Komnas Ham: Hak masyarakat Hukum adat atas Wilayahnya di kawasan Hutan.
Cetakan pertama. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
ICRAF, LATIN dan P3AE-UI. 2001. Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di
Indonesia; Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan Dalam Era Otonomi Daerah.
Jakarta : ICRAF, LATIN dan P3AE-UI.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Prenada Media.
Nuraini, Atikah. 2016. Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional Membuka Jalan bagi
Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Cetakan pertama. Jakarta : Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara.
Jakarta : PT Grasindo.

6
Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM. 2016. Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.
Cetakan pertama. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
3. Bahan Hukum Tertier
http://kmanv.aman.or.id/
https://m.tempo.co/read/news/2017/03/15/173856359/17-sarasehan-tematik-di-kongres-
masyarakat-adat-nusantara-ke-5
http://ewintribengkulu.blogspot.com/2012/11/pengertian-masyarakat-adat.html

Anda mungkin juga menyukai