ABSTRAK
ABSTRACT
Indonesian identify elderly as the most special person. Thus, elderly becomes
depending on other people, especially their family. The latest data from The Center
of Statistic Bureau (BPS) in 2004, the total of elderly in Indonesia are 16.522.311
person or 7.6 percent. From this amount, 15 percent or 2.426.190 person are
isolated and 28 percent or 4.658.280 person are almost isolated. By illustrating this
reality, we have to be focus on the problem to provide more valid data so action will
be applicable as soon as possible. The method of writing this paper is study
literature. The objective is to know the problem of elderly in Indonesia and kind of
actions that can be done to empower elderly, especially real action that has strong
relationship with Indonesians culture. By optimizing Indonesians culture that can be
applicable to home care concept, the problem of geriatric in Indonesia will be
handled well because all Indonesia have the same contribution to our development.
Pendahuluan
Upaya peningkatan kesehatan masyarakat yang dicanangkan
pemerintah dapat dikatakan mulai membuahkan hasil. Salah satu
parameter yang dapat dilihat yaitu meningkatnya usia harapan hidup
(life expectancy) penduduk. Namun perlu disadari bahwa dampak
positif ini juga mempunyai efek yang secara tidak langsung membawa
permasalahan baru yaitu jumlah penduduk lanjut usia (lansia) yang
semakin bertambah. Menurut Susenas tahun 1999, proporsi penduduk
lansia Indonesia telah mencapai 7,5% dan menurut proyeksi tahun
2000-2005 diperkirakan menjadi 7,58% dan 8,13% dari total
penduduk. 1
Transisi demografi hampir terjadi di seluruh dunia di mana
proporsi penduduk berusia lanjut bertambah sedangkan jumlah
penduduk muda menetap atau bahkan berkurang. Pertambahan
jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-2025,
tergolong tercepat di dunia. Mantan Sekretaris Jenderal Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB), Kofi Annan, dalam peringatan Hari Lanjut Usia
Internasional pada 1 Oktober 2000, mengeluarkan deklarasi yang
mengandung peringatan, khususnya Indonesia di tahun 2050 akan
mencapai sepuluh juta jiwa. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga telah
memperhitungkan pada tahun 2025, Indonesia akan mengalami
peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4% yang merupakan
sebuah peningkatan tertinggi di dunia.2,3
Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta
dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun 2020
atau sebesar 11,37 % penduduk dan ini merupakan peringkat keempat
dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Sedangkan umur
harapan hidup berdasarkan sensus Badan Pusat Stastistik (BPS) tahun
1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun.
Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), di mana usia
harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan
menempati urutan ke-103 dunia.4
Proses menua memang suatu kondisi alami yang tidak dapat
diintervensi. Proses ini sudah merupakan bagian dari siklus hidup (life
cycle) manusia. Banyak hal yang dapat berubah mengiringi proses
menua ini baik dari sisi fisik, mental psikologis, kondisi ekonomi, sosial
budaya dan sebagainya. Dalam dunia medis diketahui bahwa
penurunan tingkat kesehatan berhubungan dengan proses degeneratif
dimana terjadi penurunan fungsi anatomi maupun fisiologi. Penurunan
fungsional organ tubuh inilah yang menyebabkan terjadinya kondisi
patologis pada orang lanjut usia. Dengan beberapa alasan itulah maka
orang lanjut usia ditempatkan pada posisi khusus di masyarakat. 5
Budaya Indonesia yang menganut tradisi ketimuran memiliki
beberapa perbedaan dalam memandang lansia jika dibandingkan
dengan budaya barat. Masyarakat Indonesia pada umumnya
menempatkan lanjut usia pada posisi yang dihormati. Hal ini bukan
saja karena sesuai dengan nilai budaya yang hidup dan berkembang di
masyarakat tetapi juga karena lansia tergolong ke dalam kelompok
rentan. Penghormatan itu dapat berdampak pada pemberian fasilitas
dan pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan
hak-hak lansia. Dengan demikian memang sudah selayaknya jika
budaya bangsa yang luhur ini dilestarikan untuk membangun lansia
Indonesia yang sehat dan sejahtera.
Konsep home care usia lanjut sebagai adaptasi dari tradisi
budaya Indonesia seharusnya sudah mulai dipikirkan sebagai suatu
alternatif perawatan serta pemberdayaan lansia mengingat
permasalahan yang dihadapi Indonesia di mana telah terjadi transisi
demografi. Jumlah penduduk lansia yang meledak tidak akan menjadi
problem yang berarti, bila kuantitas yang besar tersebut diimbangi
dengan kualitas yang baik pula. Hal ini bisa dilihat dengan beberapa
parameter di antaranya berhasilnya upaya pemberdayaan lansia serta
munculnya lansia yang peduli dengan konsep healthy aging. 3
Pembahasan
Tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tetapi tetap sehat (healthy
aging) yang merupakan dambaan setiap insan. Healthy aging artinya
menjadi tua dalam keadaan sehat.3 Dalam hal ini, yang terpenting
adalah promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang juga harus
dimulai sedini mungkin dengan cara dan gaya hidup sehat. Active
Agieng adalah proses untuk mengoptimalkan kesempatan, kesehatan,
partisipasi dan keamanan untuk meningkatkan kualitas hidup sejalan
dengan pertambahan usia. Melalui healthy aging berarti mencegah
agar proses menua tadi tidak disertai dengan proses patologi atau
paling tidak meminimalkan kondisi patologi pada usia lanjut. Healthy
aging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1. endogenic aging, dimulai dengan cellular aging lewat tissue dan
anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh. Proses ini
seperti jam yang terus berputar.
2. exogenic factor, dibagi dalam penyebab lingkungan (environment)
dimana seseorang hidup dan faktor sosio-ekonomi, sosio budaya
atau yang paling tepat disebut gaya hidup (life style). Faktor
exogenic aging tadi, kini lebih dikenal dengan sebutan faktor
risiko.
Di tengah iklim budaya timur yang sebagian besar masih berada pada
extended family, memelihara ibu atau ayah di lingkungan keluarga
sendiri, masih sangat memungkinkan. Masyarakat Indonesia masih
menganut pola kolektivitas jadi jarang yang sampai hati membiarkan
orangtuanya di luar tanggung jawabnya. Berbeda dengan budaya
barat yang bergaya individualistik. Karena memelihara orang tua tidak
dianggap sebagai suatu penghargaan, mereka cenderung mengambil
jalan praktis dengan cara memisahkannya di lingkungan khusus.
Bahkan tidak lagi menjadi pemandangan aneh lagi jika pihak orang
tuanya sendiri merasa tidak asing kala si anak mengantarkan mereka
ke panti wreda atau panti jompo.6
Diamati dari sisi positif, lingkungan panti dapat memberikan
kesenangan bagi orang tua yang telah lanjut usia. Sosialisasi di
lingkungan yang memiliki tingkat usia sebaya akan menjadi hiburan
tersendiri sehingga kebersamaan ini dapat mengubur kesepian yang
biasanya mereka alami. Akan tetapi mungkin jauh di lubuk hati,
mereka merasa jauh lebih nyaman berada di dekat keluarganya.
Apalagi di negara kita yang masih menjunjung tinggi kekeluargaan,
tinggal di panti menjadi suatu hal yang tidak natural lagi,
bagaimanpun alasannya.6
Ketergantungan penduduk lansia terhadap penduduk
produktif nampaknya akan terus meningkat, diperkirakan pada tahun
2005 sebesar 8,11 yang artinya setiap 100 penduduk produktif harus
menanggung 8 penduduk lansia (tabel 2).
2. Kesehatan
Keluarga merupakan satu-satunya tempat yang sangat penting
untuk memberikan dukungan, pelayanan serta kenyamanan bagi
usia lanjut. Beberapa studi menyimpulkan bahwa proporsi usia
lanjut yang tinggal bersama keluarga masih sangat tinggi.
Perawatan kesehatan di rumah oleh keluarga atau kader tidak
saja membantu menekan biaya perawatan bagi usila tetapi juga
dapat menimbulkan kenyamanan bagi usila karena mereka
dirawat di rumah sendiri sehingga diharapkan dapat
mempercepat proses penyembuhannya. 12
Demensia sebagai salah satu dari sekian banyak sindroma
geriatri yang lazim dialami oleh orang lanjut usia ternyata
mempunyai metode perawatan kesehatan yang sejalan dengan
konsep home care lansia. Pada Deklarasi Kyoto sebagai hasil
Konferensi Alzheimers Disease Internasional ke-20 yang
diadakan di Jepang (2004) terdapat rekomendasi untuk tetap
memberikan perawatan yang maksimal bagi lansia di rumah. Hal
ini dapat dilihat pada dua dari sepuluh rekomendasi yang
terdapat pada tindakan minimal yang diperlukan untuk
perawatan penderita demensia yaitu :
a. Berikan perawatan dalam masyarakat
(1) Tetapkan prinsip bahwa yang terbaik bagi penderita
demensia adalah dinilai dan diobati di rumahnya
sendiri.
(2) Kembangkan dan galakkan penilaian kebutuhan rutin
untuk digunakan dalam perawatan primer dan
sekunder.
(3) Prakarsai pilot project pengembangan tim perawatan
masyarakat yang bersifat multidisiplin, perawatan
sepanjang hari dan perawatan jangka pendek agar
pemberi perawatan dapat beristirahat.
(4) Keluarkan penderita demensia dari wisma-wisma
yang kurang tepat.
b. Libatkan masyarakat, keluarga dan konsumen
Upaya ini bertujuan untuk memahami serta mengerti
kebutuhan para penderita alzheimer dari lingkungan
terdekat penderita.
3. Psikologi
Para lansia yang hidup di suasana panti, dari sisi psikologi sangat
rentan terkena gejala etena syndrom. Pada saat orang tua
terpisah dari anak serta cucunya maka timbullah perasaan
useless dan kesepian. Padahal, mereka yang sudah tua masih
mampu mengaktualisasikan potensinya secara optimal. Bila
dijadikan kendala, kondisi fisik serta daya ingat merupakan
gangguan kecil pada masa tua. Namun jika lansia dapat
mempertahankan pola hidup serta cara dia memandang suatu
makna kehidupan maka sampai ajal menjemput mereka masih
dapat berbuat banyak bagi kepentingan semua orang.13
4. Kesejahteraan Sosial
Secara umum, lanjut usia cenderung tinggal bersama dengan
anaknya yang telah menikah. Tingginya penduduk lanjut usia
yang tinggal dengan anaknya menunjukkan masih kuatnya
norma bahwa kehidupan orang tua merupakan tanggungjawab
anak-anaknya. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI, 1993) terhadap
400 penduduk usia 60-69 tahun, yang terdiri dari 329 pria dan 71
wanita menunjukkan bahwa hanya sedikit penduduk lanjut usia
yang tinggal sendiri (1,5 %), diikuti oleh yang tinggal dengan
anak (3,3 %), tinggal dengan menantu (5 %), tinggal dengan
suami atau istri dan anak (29,8%), tinggal dengan suami, istri
dan menantu (19,5%) serta penduduk lanjut usia yang tinggal
dengan pasangannya sebesar 18,8 %.
Hasil temuan Yulmardi (1995) juga menunjukkan bahwa
masyarakat lanjut usia di Sumatera, khususnya di pinggiran kota
Jambi sebagian besar tinggal dalam keluarga luas. Menurut
Rudkin (1993) penduduk lanjut usia yang hidup sendiri secara
umum memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah
dibandingkan dengan lanjut usia yang tinggal dengan
keluarganya.
Dengan melihat kondisi tersebut maka sudah
selayaknyalah upaya perawatan lansia di rumah diberdayakan
untuk mendukung lansia yang sehat jasmani dan mental.
Kesimpulan
1. Pemberdayaan lansia bertujuan untuk memperpanjang usia
harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan
kesejahteraannya, terpeliharanya sistem nilai budaya dan
kekerabatan bangsa Indonesia serta lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan.
2. Pemberdayaan lansia dapat dilakukan dengan konsep home care
yang sesuai dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia.
3. Pelaksanaan home care lansia dilaksanakan dengan koordinasi
antara keluarga, masyarakat serta wakil pemerintah dalam strata
pemberi pelayanan primer pertama yaitu puskesmas. Beberapa
program yang dapat dilaksanakan dalam upaya perawatan lansia
yaitu :
a. patients joint health care team atau Self-help course
b. pemeriksaan osteoporosis, kardiovaskuler dan gula darah secara
periodik
c. collaborating on care
d. membangun forum kebersamaan lansia.
4. Perawatan serta pemberdayaan lansia dengan konsep home care
dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya :
a. Ekonomi
Melalui home care lansia pengendalian biaya pemeliharaan
kesehatan lansia akan menjadi lebih cost effective, baik dari sisi
institusi maupun lansia itu sendiri.
b.Kesehatan
Home care lansia dapat menimbulkan kenyamanan bagi usila
karena mereka dirawat di rumah sendiri sehingga diharapkan
dapat mempercepat proses penyembuhannya
c. Psikologi
Para lansia yang hidup di suasana panti, dari sisi psikologi
sangat rentan terkena gejala etena syndrom. Pada saat orang
tua terpisah dari anak serta cucunya maka timbullah perasaan
useless dan kesepian. Melalui home care lansia kondisi tersebut
dapat diminimalkan.
d.Kesejahteraan sosial
Berdasarkan penelitian orang lanjut usia yang hidup sendiri
secara umum memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah
dibandingkan dengan lanjut usia yang tinggal dengan
keluarganya.
Saran
1. Mengingat penduduk lanjut usia merupakan sosok yang unik di
masyarakat baik ditinjau dari aspek fisik, mental, psikologis, medis,
ekonomi, sosial serta budaya maka kepada pemerintah diharapkan
untuk segera merealisasikan terbentuknya Komite Nasional Lanjut
Usia Indonesia, menciptakan strategi dan program-program
pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) lansia, menciptakan
fasilitas dan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan ilmu dan
ketrampilan untuk pra lansia maupun lansia serta meningkatkan
upaya-upaya terpadu pemberdayaan SDM lansia.
2. Kepada masyarakat diharapkan memberikan lingkungan yang
ramah lansia, menciptakan dan memberikan peluang bagi para
lansia untuk menambah ilmu dan ketrampilan melalui sarana-
sarana, kursus-kursus maupun pendidikan berkelanjutan agar para
lansia dapat lebih mandiri dalam kehidupan sehari-hari.
3. Harapan kepada keluarga yaitu agar tetap menghormati orang tua
yang telah lanjut usia sesuai budaya tanpa memberikan proteksi
yang berlebihan, menciptakan suasana kondusif bagi terpeliharanya
kesehatan jasmani dan rohani lansia.
Penghargaan
Artikel ini berpartisipasi dalam Acara Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa
Kedokteran seluruh Indonesia di Denpasar, Bali, Agustus 2007
Daftar pustaka
1. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2006. Peningkatan
Ketahanan Keluarga dalam Mewujudkan Keluarga Kecil Berkualitas.
Available from www.bkkbn.go.id
2. Setiyabudi, Tony. Gerontologi dan Permasalahannya di Indonesia.
Available www.cigp.org
3. World Health Organization. 2003. Ageing and Health ; A Health
Promotion Approach for Developing Countries. Available from
www.wpro.who.int
4. Kementerian Koordinator Tentang Kesejahteraan Rakyat. 2007.
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Lanjut Usia. Available
from www.menkokesra.go.id
5. Darmojo, Boedhi, dkk. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 1999.
6. Suyono, Haryono. 2007. Membangun Lansia Bersama Masyarakat.
Available from www.pelita.or.id
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Kesejehteraan
Lansia. Available from www.depkes.go.id
8. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2001. Prosiding
Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pusat Pelayanan Lanjut
Usia. Available from www.pkbi.or.id
9. Kim Dung Do-Le dan Yulfita Raharjo. Community Based Support for
The Elderly in Indonesia: The Case of Pusaka. [paper]. Paper
presented at the 2002 IUSSP Regional Population Conference on
Southeast Asias Population in a changing Asian Context,
Bangkok, Thailand, 10-14 June 2002
10. Elisabeth Schhrder- Butterfill. 2002. Pillars of The Family,
Support Provided By The Elderly in Indonesia. Available from
www.ageing.ox
11. American Geriatry Society. 2005. Caring for Older Americans : The
Future of Geriatric Medicine. Available from
www.americangeriatrics.org
12. Rizkiyana. 2004. Pemeliharaan Kesehatan Usila PUK Boja Kab.
Kendal. Health. LRC.
13. Budiman,Dini. 2004. Lansia di Panti, Bagai Dua Sisi Mata Uang.
Available from www.pikiranrakyat.com
Catatan: data-data demografi dan tabel diperoleh dari : Biro Pusat
Statistik .1998. Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi 1995-2005.
BPS, Jakarta.