Diajukan untuk memenuhi syarat Kepaniteran Klinik Senior SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Embung Fatimah
Disusun oleh :
SILVIA CHRISTIANI
Pembimbing :
dr. Laila Sylvia, Sp.K.J.
dr. Lenni C. Sihite
BAB I
PENDAHULUAN
Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam
fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar dalam
gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda
dalam menghasilkan gerakan.
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang harus dilakukan,
sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan
volunter yang terampil dan mahir.
Sistem Piramidal
Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang berasal dari korteks
motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord.
Sistem ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal ganglia, batang otak, spinal
cord yang keluar dari traktus piramidal.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat
antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine.
Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala
tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan
jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya
inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus
striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi
motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa
Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
B. EPIDEMIOLOGI
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang
mendapat pengobatan dengan neuroleptik haloperidol dan flufenarizin.
Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah menggunakan antipsikotik
tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya
5% pasien yang memperlihatkan gejala nyata.
Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien
dengan medikasi neuroleptik. Umumnya pada pasien muda.
Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki =
2:1.
Sindrom Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.
C. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka waktu
singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi
asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala
ekstrapiramidalnya sebagai berikut:
Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. 2 Namun ada beberapa sumber menyebutkan
bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
Reaksi Distonia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa
menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang
abnormal.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping,
grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir) , seluruh otot tubuh
(opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik). Distonia juga dapat terjadi pada
glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan
kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan
sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian..
Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah
kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi
dapat terjadi kapan saja.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah
sebagai berikut:
1 Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik
(atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan
medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau
dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan
untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya
gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi
neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan
setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau
medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut
: gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal
yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu
keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.
Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas
atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat
parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari
gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan
mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan,
akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas,
apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai
rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan
otot.
Tardive Dyskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di
puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak,
balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan
kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan
pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul
dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis
banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea
Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova,
stimulant, dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan
reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan
sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi.
Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi
evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas.
Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi
sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk
pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.
F. DIAGNOSIS
Diagnosa awal dilakkan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di
antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda tanda vital dan kondisi fisik
seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.
H. PENATALAKSANAAN
Farmakologis
Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari dengan total dosis
maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh madopar, sinemet.
I. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung
dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal
yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat
menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya
menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
K. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas
penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita
terjatuh dan mengalami fraktur.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi
yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan
ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan
jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya
inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa
Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau
postur yang abnormal.
Akatisia merupakan keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu
keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.
Sindrom Parkinson merupakan kumpulan tanda tanda berupa akinesia, tremor, dan
bradikinesia.
Diagnosis awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di
antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda tanda vital dan kondisi fisik
seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.
Diagnosis banding : sindrom putus obat, parkinson disease, distonia primer, tetanus, gangguan
gerak ekstrapiramidal primer, penyakit huntington, chorea syndenham, anxietas, dan gejala
psikotik yang memburuk.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik.
Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian obat obat seperti :L-dopa , dopamine antagonist, antihistamin,
antikolinergik, n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor, enzyme inhibitor : Monoamine
Oxidase Type B inhibitor MAO B, COMT I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) ,
epinefrin atau norepinefrin .
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis.
Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang
irreversibel hingga kematian
B. Saran
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis.
Namun penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang
irreversibel hingga kematian