Anda di halaman 1dari 14

SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL

Diajukan untuk memenuhi syarat Kepaniteran Klinik Senior SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Embung Fatimah

Disusun oleh :
SILVIA CHRISTIANI

Pembimbing :
dr. Laila Sylvia, Sp.K.J.
dr. Lenni C. Sihite

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH BATAM
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam
fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar dalam
gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda
dalam menghasilkan gerakan.

Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang harus dilakukan,
sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan
volunter yang terampil dan mahir.
Sistem Piramidal
Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang berasal dari korteks
motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord.

Mekanisme kerja sistem piramidal


Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls gerakan yang
diinginkan di teruskan menuju bagian posterior kapsula interna,kapsula interna meneruskan
impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai medulla oblongata impuls diteruskan menuju
medula spinalis substansi kelabu, yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali
diteruskan menuju ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang
sadar.

Traktus piramidal dibagi 2:


Traktus piramidal (kortikospinal) lateral
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan
antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 85% serabut kortikospinal akan berdekusasi dan
terus memanjang sampai tanduk posterior untuk bersinapsis langsung atau melalui interneuron
dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi pada lempeng
ujung motorik otot rangka.
Traktus piramidal (kortikospinal) ventral / anterior
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan
antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 15% serabut kortikospinal akan menyilang, lalu
secara langsung atau melalui interneuron dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior.
Akson akan berterminasi pada lempeng ujung motorik otot rangka.

Fungsi sistem piramidal adalah:


1. Memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau suatu gerak sadar yang bersifat halus.
2. Kontraksi otot distal, khususnya pada tangan dan jari.

Sistem ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal ganglia, batang otak, spinal
cord yang keluar dari traktus piramidal.

Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi:


Traktus retikulospinal, dari formasio reticular dan berujung pada sisi yang sama di neuron
motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
Traktus vestibulospinal lateral, dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama
di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
Traktus vestibulospinal medial, dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama
di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis. Tanduk ini tidak
berdescenden ke bawah area serviks.
Traktus rubrospinal, dari nucleus merah otak tengah, traktus olivispinal dari olive inferior
medulla, traktus tektospinal dari tektum otak tengah.

Fungsi sistem ekstrapiramidal untuk :


1. mempertahankan tonus otot
2. gerakan kasar.
3. Perencanaan suatu gerakan

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat
antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine.
Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala
tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan
jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya
inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus
striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi
motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa
Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.

B. EPIDEMIOLOGI

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang
mendapat pengobatan dengan neuroleptik haloperidol dan flufenarizin.
Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah menggunakan antipsikotik
tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya
5% pasien yang memperlihatkan gejala nyata.
Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien
dengan medikasi neuroleptik. Umumnya pada pasien muda.
Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki =
2:1.
Sindrom Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.

C. ETIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka waktu
singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi
asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala
ekstrapiramidalnya sebagai berikut:
Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal


Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:


Ketidakseimbangan degeneratif
Ketidakseimbangan metabolik
Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
Inflamasi
Racun
Tumor atau SOL
Anoxia
D. PATOFISIOLOGI

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal Beberapa


neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Penggunaan beberapa
neuroleptik tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung
banyak reseptor D1 dan D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti
haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan
sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. 2 Namun ada beberapa sumber menyebutkan
bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.

Reaksi Distonia

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa
menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang
abnormal.

Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping,
grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir) , seluruh otot tubuh
(opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik). Distonia juga dapat terjadi pada
glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan
kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan
sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian..
Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah
kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi
dapat terjadi kapan saja.

Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah
sebagai berikut:
1 Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik
(atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).

a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan
medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.

b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau
dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan
untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).

c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya
gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi
neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan
setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau
medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut
: gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal
yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.

Akatisia

Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu
keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.
Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas
atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.

Sindrom Parkinson

Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat
parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.

Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari
gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan
mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan,
akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas,
apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai
rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan
otot.

Tardive Dyskinesia

Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di
puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak,
balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan
kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan
pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul
dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis
banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea
Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova,
stimulant, dan lain-lain.

Gambar 2. Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia

Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan
reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan
sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi.
Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi
evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas.
Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi
sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk
pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.

F. DIAGNOSIS

Diagnosa awal dilakkan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di
antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda tanda vital dan kondisi fisik
seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.

Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit,


pemeriksaan potassium, asam urat, keratin kinase-MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin
darah, glukosa darah, mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi
ginjal, status asam basa, kerusakan otot dan hipoglikemi .
G. DIAGNOSIS BANDING

Sindroma putus obat


Parkinson Disease
Distonia primer
Tetanus
Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
Penyakit Huntington,
Chorea Syndenham
Anxietas
gejala psikotik yang memburuk

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :


Non-farmakologis :
Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang efektif

Farmakologis
Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari dengan total dosis
maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh madopar, sinemet.

Pada pasien muda diberikan da (dopamine antagonist)


Pemberian dopamine agonist , dibagi menjadi ergot da dan non-ergot da
Contoh ergot da:
Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari
terbagi dalam 3-5 dosis.
pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x
beri
Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari
Contoh Non-ergot da
Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari

Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine


Pemberian antikolinergik seperti :
trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan
secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.
n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100 mg. Dosis umumnya
300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis
enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO B contoh selegiline, selegos
5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.
COMT I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) : entacapone, comtan 200mg dosis
maksimal 1600 mg, tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan
efek L-dopa.
Pemberian epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi
antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala
ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya
lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia
gunakan benztropin 2 mg IM.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian
proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

I. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung
dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal
yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat
menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya
menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

K. KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas
penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita
terjatuh dan mengalami fraktur.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi
yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan
ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan
jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya
inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa
Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau
postur yang abnormal.

Akatisia merupakan keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu
keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.

Sindrom Parkinson merupakan kumpulan tanda tanda berupa akinesia, tremor, dan
bradikinesia.

Tardive dyskinesia merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak,


balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan
kadang mengganggu.

Diagnosis awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di
antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda tanda vital dan kondisi fisik
seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.

Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit,


pemeriksaan potassium, asam urat, keratin kinase-MM , nitrogendan urea darah, kreatinin
darah, glukosa darah, mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi
ginjal, status asam basa, kerusakan otot .

Diagnosis banding : sindrom putus obat, parkinson disease, distonia primer, tetanus, gangguan
gerak ekstrapiramidal primer, penyakit huntington, chorea syndenham, anxietas, dan gejala
psikotik yang memburuk.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik.
Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian obat obat seperti :L-dopa , dopamine antagonist, antihistamin,
antikolinergik, n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor, enzyme inhibitor : Monoamine
Oxidase Type B inhibitor MAO B, COMT I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) ,
epinefrin atau norepinefrin .
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis.
Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang
irreversibel hingga kematian

B. Saran

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis.
Namun penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang
irreversibel hingga kematian

Anda mungkin juga menyukai