Laporan Penelitian
DISUSUN OLEH
1111103000059
JAKARTA
2014 M/1435 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada
waktunya. Saya menyadari tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak, mustahil
bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu saya mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang selalu membimbing dan memberikan
kesempatan kepada saya untuk berkuliah di Program Studi Pendidikan
Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Witri Ardini, M. Gizi, Sp. GK selaku Ketua Program Studi dan kepada
seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan memberikam ilmu
kepada saya slama menjalani perkuliahan di Program Studi Pendidikan
Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D dan dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-
KL selaku dosen pembimbing riset saya yang tidak bosan - bosannya dan
tidak kenal lelah untuk membimbing saya sehingga penelitian ini dapat
saya selesaikan dengan tepat pada waktunya.
4. Kedua orang tua tersayang dan tercinta, Bambang Trimo Sumarwoto dan
Sofni Wardhani serta kakak kandung saya tersayang Agita Tunjung Sari
yang selalu mendukung dan menyayangi saya sehingga saya dapat
menyelesaikan penelitian ini.
5. Hanindyo Riezky Beksono, Muhammad Fahreza Kautsar, Dimas Bagus
Pamungkas, Andhika Pangestu, Muhammad Arif Rahman, Nurul Khafidz
Subekti, dan Lintang Suryaning Bumi selaku teman satu kontrakan GPL
v
F45 yang selalu mendukung, membantu dan menyemangati saya dalam
melakukan penelitian ini.
6. Andhika Pangestu, Dimas Bagus Pamungkas, Madinatul Munawwaroh,
dan Ahmad Muslim Hidayat selaku kelompok riset yang selalu
memberikan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
7. Nadisha Refira, Nissa Rizkiani Basri, Ratu Windi Prihadi, yang selalu
menyemangati dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini.
8. Seluruh mahasiswa PSPD 2011 serta teman teman yang tidak bisa saya
sebutkan namanya satu persatu
Saya menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna. Maka, penulis
menerima adanya kritik dan saran yang berguna untuk penelitian ini.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga bermanfaat bagi masyarakat
dan para pembaca pada umumnya.
Penulis
vi
ABSTRAK
Bimo Dwi Pramesta. Program Studi Pendidikan Dokter. Deteksi Derajat
Keasaman (pH) Saliva pada Perokok dan Non Perokok.
Tujuan: Penelitian ini mendeteksi derajat keasaman (pH) pada saliva pria
perokok dan melihat perbedaannya dengan saliva pria non perokok. Metode:
Penelitian ini melibatkan 30 subjek yang dibagi rata menjadi dua kelompok pria
perokok dan non perokok, sebagai kontrol. Seluruh subjek melewati tahap
pemeriksaan fisik gigi dan mulut oleh dokter gigi dan pengumpulan saliva yang
tidak distimulasi. Pengukuran derajat keasaman (pH) saliva dilakukan dengan
menggunakan pH meter LAQUAtwin Horiba. Hasil: Parameter klinis dari
kesehatan gigi dan mulut (OHIS, PI, CI, GI, dan DMFT) lebih tinggi pada
kelompok perokok dibanding non perokok. Derajat keasaman (pH) secara
signifikan (p<0.05) lebih rendah pada saliva perokok dibanding non perokok.
Kesimpulan: Merokok dapat mempengaruhi kesehatan mulut dan menurunkan
pH saliva.
Kata kunci: merokok, saliva, derajat keasaman, kesehatan mulut
ABSTRACT
Bimo Dwi Pramesta. Medical Education Study Program. Detection of
Salivary pH in Male Smokers and Non Smokers
Objectives: This study was to detect and compare salivary pH in male smokers
and non-smokers. Methods: This study comprised of 30 participants divided
equally between male smokers and non-smokers, as a control group. All
participants completed the physical examination of mouth and teeth by the dentist
and unstimulated whole saliva were collected. Measurement of salivary pH were
done using the pH meter LAQUAtwin Horiba. Results: The clinical parameters of
oral health (OHIS, PI, CI, GI, DMFT) were higher in smokers than non-smoker.
Salivary pH was significantly lower in smokers than non-smokers (p<0.05).
Conclusions: Smoking can affect the oral health and decrease salivary pH.
Keywords: smoking, saliva, salivary pH, oral health
vii
DAFTAR ISI
viii
2.1.1. Saliva ................................................................................................. 4
2.1.11. Efek Merokok Tembakau Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut .... 17
3.2.1 Tempat............................................................................................. 25
ix
3.9. Manajemen dan Analisis Data ................................................................ 29
4.1. Hasil........................................................................................................ 30
LAMPIRAN .......................................................................................................... 43
x
DAFTAR TABEL
Halaman
jenis tembakau..............................................................................10
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan organ pertama yang terpapar oleh rokok. Salah
satu sistem pertahanan dalam rongga mulut yaitu saliva. Saliva disekresikan
oleh tiga pasang kelenjar liur utama, yaitu kelenjar parotis, submandibula, dan
sublingual, serta kelenjar saliva kecil lainnya. Saliva mengandung 99,5% H2O,
dan 0,5% elektrolit dan protein. Saliva juga mengandung beberapa enzim dan
glikoprotein. Enzim yang terkandung di saliva diantaranya lipase dan -
amilase saliva. Sedangkan glikoprotein yang terkandung di saliva yaitu musin.
1
2
Reibel, dkk tahun 2001 melaporkan bahwa pH saliva akan meningkat saat
merokok namun setelah jangka waktu panjang pH saliva ada perokok
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan non perokok. Sedangkan
pada tahun 2013, Kanwar, dkk, melakukan penelitian di India mengenai
derajat keasaman (pH) pada kelompok perokok dan non perokok dengan 20
sampel pada masing-masing kelompok. Dan didapatkan hasil bahwa pH
saliva pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan dengan pH saliva
kelompok non perokok. (9) (12)
1.3. Hipotesis
pH pada saliva pria perokok lebih rendah jika dibandingkan dengan pH
pada pria non-perokok.
Terdapat perbedaan bermakna antara pH saliva perokok dan non perokok
3
2.1.1. Saliva
Liur atau saliva, merupakan suatu sekresi yang berkaitan dengan mulut,
terutama dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar liur utama yang terletak di luar
rongga mulut dan mengeluarkan saliva melalui duktus pendek ke dalam
mulut. Saliva mengandung 99,5% H2O, dan 0,5% elektrolit dan protein.
Konsentrsi NaCl (garam) pada saliva hanya sepertujuh dari konsentrasi di
plasma, yang penting dalam mempersepsikan rasa asin. Di sisi lain,
diskriminasi rasa manis ditingkatkan oleh tidak adanya glukosa di liur. Di
dalam saliva itu sendiri terdapat beberapa protein yang berperan penting yaitu
amilase, mukus, dan lizosim. (10) (11) (13)
Sekresi saliva normalnya antara 800 sampai 1500 mililiter dengan rata-
rata sekitar 1000 mililiter. Untuk pH, saliva memiliki pH antara 6,0 sampai
7,0, yang merupakan pH yang baik untuk mengaktifkan ptyalin (-amilase).
Pada saliva sendiri, pH yang di keluarkan dapat dipengaruhi saat aktivitas
kelenjar itu sendiri. Pada keadaan saat kelenjar sedang istirahat, pH saliva
sedikit lebih rendah dari 7,0, sedangkan saat kelenjar sedang aktif melakukan
sekresi, pH pada saliva dapat mencapai 8,0. (13)
4
5
Sebagian besar saliva di sekresikan oleh kelenjar saliva mayor yang terdiri
dari 3 kelenjar yaitu: (14) (15)
1. Kelenjar Parotis
Merupakan kelenjar saliva terbesar yang terletak diantara mastoid dan
m.sternocleidomastoid. kelenjar parotis terdiri dair dua bagian, yaitu
pars superfacial dan pars profunda. Terdapat beberapa hal yang
melewati kelenjar parotis, yaitu saraf facialis, vena retromandibular,
arteri karotis eksterna. Keluarnya saliva dari kelenjar ini melalui duktus
parotis (Stensen) yang berasal dari bagian anterior kelenjar parotis.
2. Kelenjar Submandibula
Merupakan kelenjar saliva yang terletak di hampir seluruhnya di bawah
mylohyoid. Duktus yang mengalirkan saliva keluar dari kelenjar ini
yaitu kelenjar submandibula (Wharton).
3. Kelenjar Sublingual
Merupakan kelenjar saliva dengan tipe saliva yang disekresikannya
yaitu mukus. Kelenjar sublingual berada di bawah dari dasar mulut dan
berada di depan dari pars profunda kelenjar submandibular. Kelenjar ini
memiliki beberapa duktus drainase, yaitu duktus sublingual mayor
sebagai yang utama dan duktus sublingual minor yang terdiri dari
sekitar 40 duktus kecil.
Tabel 2.2. Kelenjar saliva beserta jenis histologik, sekresi, dan persentase total
saliva
Kelenjar Jenis Histologik Sekresi Persentase total
saliva (1,5L/hr)
Sedangkan pada saat ada rangsangan parasimpatis seperti pada saat ada
makanan, maka saliva akan menjadi lebih banyak dan cair. Ketika ada bahan
kimia makanan merangsang taste bud kita yang ada di lidah, maka hal itu
akan di lanjutkan berupa impuls ke nukleus salivasi yang ada di batang otak.
tidak hanya bahan kimia makanan saja yang dapat merangsang parasimpatis
dari proses salivasi, tapi juga bau, suara, visual, dan juga ketika kita
memikirkan suatu makanan dapat menjadi stimulus dari sekresi saliva. (8) (10)
(11)
8
Kadar bikarbonat itu sendiri paling tinggi di saliva yang dihasilkan oleh
kelenjar parotid dan paling rendah pada saliva yang dihasilkan oleh kelenjar
saliva kecil. Dalam keadaan tidak terstimulasi, bikarbonat dan fosfat berperan
dalam pengaturan keasaaman saliva. Sedangkan dalam keadaan terstimulasi,
bikarbonat memiliki peran hampir 90% dalam pengaturan derajat keasamaan
saliva. Sedangkan dalam keadaan pH saliva yang sangat rendah atau dibawah
5, peran utama dalam pengaturan keasamaan saliva yaitu protein dan
derivatnya. (17) (18)
2.1.5. Tembakau
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tembakau merupakan
tumbuhan berdaun lebar yang diracik halus dan dikeringkan untuk bahan
rokok. Tembakau memiliki nama latin Nikotiana tabacum. (5)
berbeda dan khas. Berikut merupakan kandungan gula dan nikotin pada setiap
jenis tembakau. (5)
Tabel 2.3. Kandungan gula total dan nikotin berdasarkan jenis tembakau
Jenis tembakau Gula total (%) Nikotin (%)
Virginia FC 12-25 1,5-3,5
Virginia rajangan 5-20 1,0-2,5
Temanggung 0,5-7 3,0-8,0
Madura 10-15 1,0-3,5
Weleri 1-11 1,0-3,0
Cerutu - 0,9-2,68
Lumajang VO 0,75-1,75 0,5-0,7
Sumber: Samsuri, 2009
2.1.6. Rokok
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rokok adalah gulungan
tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas. Sedangkan
berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, rokok
adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar,
dan/atau dihisap termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk
lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana rustica,
11
dan spesies lainnya atau sintesis yang asapnya mengandung nikotin dan tar,
dengan atau tanpa bahan tambahan. (5)
Rokok merupakan bentuk dari hasil olahan tembakau. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2007, prevalensi merokok di
Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sekitar 65,6% laki-laki
di Indonesia merokok. Sedangkan berdasarkan data Global Adult Tobacco
Survey tahun 2011, 34,8% penduduk berumur >15 tahun merupakan perokok
aktif dengan 67% laki-laki dan 2,7% wanita. (2) (3) (4) (5)
Selain itu juga terdapat jenis rokok yang dibagi berdasarkan bahan baku
dan isi rokok. Untuk klasifikasi ini jenis rokok dibagi menjadi 4 macam,
yaitu:
a. Rokok putih
Rokok yang bahan baku atau isinya hanya mengandung tembakau
saja tanpa campuran bahan lain. Untuk jenis tembakaunya bisa
bermacam-macam.
12
b. Rokok kretek
Rokok jenis ini mengandung bahan baku atau isi berupa campuran
tembakau dan cengkeh. Rokok jenis memiliki ciri khas yaitu akan
timbul bunyi kretek-kretek ketika dihisap.
c. Rokok klembak
Pada rokok ini mengandung bahan baku atau isi berupa campuran
tembakau, cengkeh dan juga kemenyan yang akan memberi aroma
khas.
d. Cerutu
Cerutu merupakan jenis rokok yang pada bagian luarnya adalah
daun tembakau dengan bentuk lembaran dan bagian dalam atau
isinya berupa campuran tembakau tanpa adanya tambahan bahan
lain. (21) (22)
Diantara banyak bahan kimia pada suatu rokok diantaranya yaitu bahan
karsinogen. Secara umum berdasarkan the International Agnecy for Research
on Cancer (IARC) terdapat 36 daftar bahan karsinogen, dan pada rokok
terdapat 10 jenis bahan karsinogen dari 36 bahan karsinogen secara umum.
Selain 10 jenis bahan tersebut yang ada pada rokok, ada juga bahan pada
rokok yang termasuk klasifikasi probably carcinogenic atau possibly
carcinogenic. (6) (7)
Pada rokok terkandung beberapa macam bahan kimia. Dan secara garis
besar terdapat 2 kelompok besar yang terkandung dalam rokok yaitu nikotin
sebesar 24% dan hirokarbon sebesar 15%. Selain 2 hal tersebut, didalam
rokok juga terkandung seperti karbon monoksida sekitar 5-23mg/batang
rokok, asam nitrat yaitu 0,1-1,6mg/batang rokok, asetaldehid sebesar 0,2-
1,3mg/batang rokok, asam format sebesar 0,1-1,1 mg/batang rokok, metil
klorida yaitu 0,1-0,8mg/batang rokok, asam sianida sekitar 0,03-
0,7mg/batang rokok, dan sekitar 50 macam senyawa lainnya yang tergolong
karsinogen. (23)
Selain itu juga terdapat beberapa bahan kimia yang tergandung dalam
rokok. Pada rokok yang siap pakai mengandung beberapa bahan, yaitu:
Selulose 7-16
Gula 0-22
Trigliserida 1
Protein 3,5-20
14
Nikotin 0,6-5,5
Pati 2-7
Lilin 2,5-8
Pada asap rokok terdapat banyak komponen kimia, dan dari yang telah
diidentifikasi terdapat 4.800 komponen kimia pada asap rokok. Bahan kimia
pada asap rokok diantaranya bersifat karsinogen, antara lain:
1. Benzene
2. Formaldehid
3. Pestisida
4. Tar
5. Vinyl Chloride
6. TSNAs
Pada hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2009
yang merupakan survey yang dilakukan untuk melihat prevalensi merokok
pada anak sekolah usia 13-15 tahun menunjukkan bahwa 30,4% anak sekolah
pernah merokok dan 20,3% anak sekolah merupakan perokok aktif. (24)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tri Ayu Hidayani dan Juni
Handajani mengenai efek merokok terhadap status pH dan volume saliva
pada laki-laki usia dewasa dan usia lanjut menunjukkan bahwa terjadi
penurunan pH pada pria perokok yang berusia lanjut (>60 tahun). Proses
pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari, setelah subyek penelitian
merokok sekitar 60 menit dan menggunakan metode tidak terstimulasi. (28)
enzim amilase dan peroksidase. Penelitian pada tahun 1998 yang dilakukan
oleh Trudgill menunjukkan terjadinya penurunan kadar bikarbonat saliva
pada sampel yang merokok selama 28 hari. (29) (30)
Secara umum rokok, baik dari kandungan kimia atau asap rokoknya,
dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan pada kelenjar saliva sehingga
dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan salivanya itu sendiri yang pada
akhirnya terjadi penurunan pH saliva. Ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan hal itu, yang pertama efek dari paparan rokok saat menghisap
rokok yang dapat mengiritasi mukosa mulut secara langsung. Selain itu bahan
kimia pada rokok dan asap rokok dapat merangsang pelepasan zat kimia dari
sel makrofag dan neutrofil aktif seperti IL-1, Prostaglandin 2, Elastase
proteinase 3, katepsin G yang pada tubuh yang dapat merusak sel dan
jaringan kelenjar saliva. Dan hal tersebut di pengaruhi juga oleh lamanya
merokok dan jumlah batang perhari yang dapat memperburuk keadaan saliva.
index (PI) digunakan untuk mengukur ketebalan plak pada permukaan gigi.
Gingival index (GI) digunakan untuk menilai keadaan gusi seseorang dengan
melihat keparahan gingivitis berdasarkan warna gusi, konsistensi dan
kecenderungan untuk berdarah. Decayed, missing, and filled teeth (DMFT)
digunakan untuk melihat jumlah gigi yang berlubang, hilang dan jumlah gigi
yang ditambal. (31) (32)
Sampai saat ini sudah ada penelitian yang melihat efek rokok terhadap
kesehatan gigi dan mulut. Arowojolu, dkk, tahun 2013 melakukan penelitian
di India pada kelompok perokok dan non perokok untuk melihat efek
merokok pada kesehatan gingival dan status kesehatan mulut responden.
Arowojolu, dkk, menggunakan metode potong lintang dengan membagi
responden dalam 2 kelompok, yaitu kelompok perokok dan non perokok,
sebagai kontrol. Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa OHIS dan GI
pada kelompok perokok lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non
perokok. Di Indonesia pun sudah ada penelitian mengenai efek rokok
terhadap kesehatan mulut, Emilia, 2009 melakukan penelitian efek rokok
terhadap kondisi periodontal pada tukang becak di kelurahan Tanjung Reji
kota Medan yang salah satunya dinilai dengan indeks OHIS. Dan hasilnya
menunjukkan indeks OHIS pada perokok lebih tinggi dibandingkan pada
kelompok non perokok. (33) (34)
2.2.Kerangka Teori
Perokok
Rokok
Elastase proteinase
3, katepsin G
pH saliva turun
2.3.Kerangka Konsep
Variabel terikat
Variabel perancu
23
2.4.Definisi Operasional
25
26
Keterangan:
Z = kesalahan tipe I sebesar 5% = 1,645
Z = kesalahan tipe II sebesar 5% = 1,645
(X1 X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 0,23
S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:
Sg = 0,126
Setelah dimasukkan kedalam rumus:
Pengolahan data
29
Data hasil pengukuran pH saliva pada saliva subjek dan data dari
kuesioner yang telah didapatkan dikumpulkan kemudian dimasukkan ke
dalam komputer dan dianalisis menggunakan software SPSS v16. Data yang
diperoleh dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui rata-rata dan standar
deviasi. Normalitas distribusi data di uji dengan Uji Shapiro Wilk karena
jumlah sampel kurang dari 50.
Uji hipotesis untuk membandingkan pH saliva pada perokok dengan non
perokok diuji dengan menggunakan uji unpaired t-test dan untuk data dengan
distribusi data tidak normal diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney.
Jika nilai p<0.05 maka terdapat perbedaan signifikan pH saliva pada saliva
perokok dibandingkan dengan non perokok.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini melibatkan 30 orang laki-laki sebagai subjek penelitian,
yang terdiri dari 15 orang perokok dan 15 orang bukan perokok yang
seharusnya melibatkan 40 orang laki-laki pada setiap kelompoknya.
4.1. Hasil
Pendidikan
SD 2 6.7 6 20
SMP 2 6.7 8 26.7
SMA 10 33.3 1 3.3
Perguruan Tinggi 1 3.3 0 0
Lama Merokok
tidak ada 15 50 0 0
<5 tahun 0 0 2 6.7
6 - 10 tahun 0 0 2 6.7
>10 tahun 0 0 11 36.7
Jumlah Rokok
Perhari
0 15 50 0 0
<10 batang 0 0 7 23.3
11 - 20 batang 0 0 8 26.7
* = median (minimal-maksimal)
30
31
Untuk mengukur status kesehatan gigi dan mulut, dinilai dari beberapa
indeks yang berdasarkan hasil pemeriksaan fisik gigi dan mulut. Oral higiene
index simplified (OHIS) adalah indeks untuk menentukan status kebersihan
mulut seseorang yang dinilai dari Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI)
yang menunjukkan adanya sisa makanan/debris dan kalkulus (karang gigi)
pada permukaan gigi. Plaque index (PI) digunakan untuk mengukur ketebalan
plak pada permukaan gigi. Gingival index (GI) digunakan untuk menilai
32
Hasil penelitian didapatkan nilai rerata OHIS pada subjek perokok lebih
tinggi dibanding subjek non perokok yaitu 2.46 berbanding 1.74, hal itu
menunjukkan status kesehatan mulut pada subjek perokok lebih buruk
dibandingkan dengan subjek non-perokok. Nilai CI pada subjek perokok juga
lebih tinggi yaitu 1.60 dan pada subjek non-perokok 1.12, hal tersebut
menunjukkan bahwa karies pada gigi perokok lebih banyak dibanding subjek
non-perokok. Pada nilai rerata PI subjek perokok lebih tinggi yaitu 0.86
dibanding 0.62 pada non-perokok, hal tersebut menunjukkan ketebalan plak
pada gigi perokok lebih tebal daripada subjek non-perokok. Status gusi
perokok memiliki kecenderungan lebih mudah berdarah daripada subjek non-
perokok, hal tersebut dilihat dari nilai GI yang lebih tinggi pada perokok yaitu
1.02 dibanding 0.77 pada subjek non-perokok. Jumlah gigi yang berlubang,
hilang dan yang ditambal pada subjek perokok lebih banyak dibandingkan
pada subjek non-perokok, dibuktikan berdasarkan nilai DMFT yang lebih
tinggi pada subjek perokok yaitu 10.13 dibanding 6.73 pada subjek non-
perokok. Secara keseluruhan pada penelitian ini, status kesehatan gigi dan
mulut pada subjek perokok lebih buruk dibandingkan subjek non-perokok,
dilihat dari nilai OHIS, PI, CI, GI, dan DMFT yang lebih tinggi pada subjek
perokok dibanding subjek non-perokok.
4.2. Pembahasan
Pada penelitian ini, kelompok pria perokok memiliki rata rata usia
33,4 tahun 9,2, dengan jumlah perokok terbanyak terdapat pada kelompok
usia 25 34 tahun yaitu 6 orang ( 20 % ). Hal ini hampir sesuai dengan
prevalensi pria perokok berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Riskesdas
pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa pada rentang usia 25 34 tahun
didapatkan prevalensi perokok sebesar 31,1 % ( 1,1 % lebih rendah dari
prevalensi perokok tertinggi pada rentang usia 45 54 tahun ) dan menempati
34
Pada tabel 4.2 kita dapat menentukan status kesehatan gigi dan mulut
subjek penelitian berdasarkan beberapa indeks. Pada tabel tersebut rerata OHIS
pada perokok lebih tinggi dibandingkan non perokok, yang artinya status
kesehatan mulut pada perokok lebih buruk dibandingkan non perokok. Begitu
juga dengan PI, CI, GI, dan DMFT Index dimana pada kelompok perokok lebih
tinggi dibandingkan kelompok non perokok. Nilai rerata OHIS dan GI pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arowojolu, dkk,
tahun 2013 mengenai perbedaan status kebersihan mulut pada perokok dan non
perokok di Ibadan, Oyo State, Nigeria dengan memperhatikan OHIS dan GI.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa rerata indeks OHIS dan GI lebih
tinggi pada kelompok perokok dibandingkan non perokok. (31) (33)
Nilai rerata DMFT Index yang lebih tinggi pada perokok di penelitian
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Al-Weheb pada tahun 2005
melakukan penelitian untuk melihat hubungan merokok dengan karies gigi dan
jumlah lactobacillus saliva, yang hasilnya menunjukkan DMFT Index pada
perokok lebih tinggi dibanding non perokok. (35)
5.1 Simpulan
Hasil rerata derajat keasaman (pH) pada saliva pria perokok lebih
rendah dibandingkan dengan pria non perokok.
Terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p<0.05 antara pH
saliva pria perokok dan pria non perokok.
5.2 Saran
38
39
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Tobacco, Key Facts. [Online].; 2013. diunduh tanggal 3 Juli 2013.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/.
3. KKRI. Rokok Membunuh Lima Orang Setiap Tahun.; 2009. di unduh tanggal
3 Juli 2013. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/458-
rokok-membunuh-lima-juta-orang-setiap-tahun.html.
4. WHO. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011. Jakarta: World
Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2012. Report No.:
ISBN 978-92-9022-424-2: p. 14-24.
8. Tortora GJ. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. Roesch B, editor.:
John Wiley & Sons; 2011: p. 929-931.
10. Sherwood ,L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 7th ed. Jakarta: EGC;
2011: p. 650-651.
11. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. 22nd ed. Jakarta: EGC; 2008.
12. Reibel J. Tobacco and Oral Diseases. Update on the Evidence, with
Recommendations. 2001 October: p. 22-28.
13. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Jakarta:
Elsevier; 2006: p. 792-794.
14. Feneis H, Dauber W. Pocket Atlas of Human Anatomy. 4th ed. Stuttgart:
Thieme; 2000: p. 208-210.
15. Ellis H. Clinical Anatomy. 11th ed. USA: Blackwell; 2006: p. 289-293.
17. Almeida PDVd, Gregio AMT, Machado MAN, Lima AASd, Azevedo LR.
Saliva Composition and Functions: A Comprehensive Review. The Journal of
Contemporary Dental Practice. 2008 March; 9(3): p. 3-7
19. Hall HD. Protective and Maintenance Functions of Human Saliva. Oklahama
City: University of Oklahama, Department of Periodontics; 1993.
20. Palomares CF. Unstimulated salivary flow rate, pH and buffer capacity of
saliva in healthy volunteers. 2004 June; 96(11): p. 773-777.
21. Kusuma DA, Yuwono SS, Wulan SN. Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan
Merk Rokok Kretek Filter yang Beredar di Wilayah Kabupaten Nganjuk. ;
5(3): p. 151-152.
22. Haris A, Ikhsan M, Rogayah R. Asap Rokok sebagai Bahan Pencemar dalam
41
24. WHO. Global Youth Tobacco Survey: Indonesia Report 2009. Jakarta: World
Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2009: p.15-18.
26. Kusuma ARP. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut. Majalah
Ilmiah Sultan Agung. 2011 Juli; 49.
27. Suryadinata A. Kadar Bikarbonat Saliva Penderita Karies dan Bebas Karies.
Sainstis. 2012 September; 1(1): p. 35-36.
28. Hidayani TA, Handajani J. Efek merokok terhadap status ph dan volume
saliva pada laki-laki usia dewasa dan usia lanjut. 2007;: p. 145.
29. Fujinami Y. The effects of cigarette exposure on rat salivary proteins and
salivary glands. NCBI. 2009 Juni; 15(7).
31. Muller HP. Periodontology : the essentials New York: Thieme; 2005.
32. Notohartojo IT, Halim FXS. Gambaran kebersihan mulut dan gingivitis pada
murid sekolah dasar di Puskesmas Sepatan, Kabupaten Tangerang. Media
Litbang Kesehatan. 2010; 10(4).
33. Arowojolu MO, Fawole OI, Dosumu EB, Opeodu OI. A comparative study of
the oral hygiene status of smokers and non-smokers in Ibadan, Oyo state.
42
34. Emilia P. Efek merokok terhadap kondisi periodontal pada tukang becak di
kelurahan Tanjung Rejo Kota Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. 2009.
35. Al-Weheb AM. Smoking and its relation to caries experience and salivary
lactobacilli count. Journal college dentistry. 2005; 17(1): p. 92-95.
37. Indriana T. Perbedaan laju aliran saliva dan pH karena pengaruh stimulus
kimiawi dan mekanis. Jurnal Kedokteran Meditek. 2011 Agustus; 17(44): p.
2-5.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1
Gambar Proses Penelitian
Gambar 6.1 Alat dan Bahan Penelitian Gambar 6.2 Alat dan Bahan
Penelitian
Lampiran 2
Kuesioner dan Inform Consent
45
(lanjutan)
46
(lanjutan)
47
(lanjutan)
48
(lanjutan)
49
(lanjutan)
50
(lanjutan)
51
Lampiran 3
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : Bimo Dwi Pramesta
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 26 November 1993
Agama : Islam
Alamat : Jl. Cipinang Baru Bunder No.30, Kompleks
Kehakiman, Jakarta-Timur
Email : bpramesta@gmail.com
Riwayat Pendidikan
1999 - 2005 : Sekolah Dasar Muhammadiyah 24 Jakarta
2005 - 2008 : Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 31
Jakarta
2008 2011 : Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Jakarta
2011 sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta