Disusun oleh:
Kelas A 2012
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
Theory Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun
1980 . Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku
dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia.
Model tindakan yang masuk akal tentang faktor-faktor yang menentukan perilaku
seseorang, yang dijelaskan Fishbein dan Ajzen dalam skema di bawah ini:
Behavioural Belief
(Keyakinan seseorang
bahwa setiap perilaku Sikap terhadap
menimbulkan hasil tertentu, perilaku
dan penilaian orang akan
hasil tersebut)
Niat Perilaku
Normative Belief
(Keyakinan seseorang bahwa
individu atau kelompok
tertentu berpikir apakah dia Norma subyektif
sebaiknya melakukan suatu
perilaku tertentu atau tidak,
serta motivasi untuk
mengikutinya)
Contoh : Orang tua mempunyai harapan tentang keikutsertaan dalam program ini
imunisasi bagi anak-anaknya. Mereka mungkin percaya bahwa
imunisasi melindungi serangan-serangan penyakit (keuntungan), tetapi
juga menyebabkan rasa sakit atau tidak enak badan dan juga mahal
(kerugian). Orang tua akan mempertimbangkan mana yang lebih
penting antara perlindungan kesehatan atau tangisan, mungkin anak
panas dan mengeluarkan uang.
Pertanyaan yang sering muncul ialah atas dasar apa seseorang mempunyai
keyakinan dan norma sosial? Pertanyaan ini mencakup peran variabel eksternal,
seperti variabel demografis, jenis kelamin, usia, yang tidak muncul secara
langsung dalam theory of reasoned action. Menurut Fishbein & Middlestadt
variabel ini bukannya kurang penting, tetapi efeknya pada intensi (kehendak)
dianggap diperantai oleh sikap, norma subyektif, dan berat relatif dari komponen-
komponen ini.
Intensi
Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975), merupakan komponen dalam
diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku
tertentu. ntensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu
dalam kaitan antara diri dan perilaku. Bandura (1986), menyatakan bahwa intensi
merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau
menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi menurutnya adalah
bagian vital dari Self regulation individu yang dilatarbelakangi oleh motivasi
seseorang untuk bertindak. Merangkum pendapat di atas, Santoso (1995)
beranggapan bahwa intensi adalah hal-hal yang diasumsikan dapat menjelaskan
faktor-faktor motivasi serta berdampak kuat pada tingkah laku. Hal ini
mengindikasikan seberapa keras seseorang berusaha dan seberapa banyak usaha
yang dilakukan agar perilaku yang diinginkan dapat dilakukan.
Menurut Theory of Planned Behavior, seseorang dapat bertindak
berdasarkan intensi atau niatnya hanya jika ia memiliki kontrol terhadap
perilakunya (Ajzen, 2002). Teori ini tidak hanya menekankan pada rasionalitas
dari tingkah laku manusia, tetapi juga pada belief bahwa target tingkah laku
berada di bawah kontrol kesadaran individu tersebut. Suatu tingkah laku tidak
hanya bergantung pada intensi seseorang, melainkan juga pada faktor lain yang
tidak ada dibawah kontrol dari individu, misalnya ketersediaan sumber dan
kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005).
Intensi merupakan sebuah istilah yang terkait dengan tindakan dan
merupakan unsur yang penting dalam sejumlah tindakan, yang menunjukan pada
keadaan pikiran seseorang yang diarahkan untuk melakukan sesuatu tindakan,
yang senyatanya dapat atau tidak dapat dilakukan dan diarahkan entah pada
tindakan sekarang atau pada tindakan yang akan datang. Intensi memainkan
peranan yang khas dalam mengarahkan tindakan, yakni menghubungkan antara
pertimbangan yang mendalam yang diyakini dan diinginkan oleh seseorang
dengan tindakan tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwaintensi adalah kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau
memunculkan suatu perilaku tertentu.
Berdasarkan Theory Of Planned Behavior, intensi terbentuk dari attitude
toward behavior, subjective norms, dan perceived behavioral control yang
dimiliki individu terhadap suatu perilaku.
Subjective Norms
Subjective Norms merupakan faktor dari luar individu yang berisi persepsi
seseorang tentang apakah orang lain akan menyetujui atau tidak menyetujui suatu
tingkah laku yang ditampilkan (Baron & Byrne, 2000). Norma subjektif
ditentukan oleh adanya keyakinan normatif (normative belief) dan keinginan
untuk mengikuti (motivation to comply) (Ajzen, 2005). Keyakinan normatif
berkenaan dengan harapan-harapan yang berasal dari referent atau orang dan
kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua,
pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya, tergantung pada perilaku yang
terlibat. Subjective Norms didefinisikan sebagai adanya persepsi individu terhadap
tekanan sosial yang ada untuk menunjukkan atau tidak suatu perilaku. Individu
memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok tertentu akan menerima atau
tidak menerima tindakan yang dilakukannya. Apabila individu meyakini apa yang
menjadi norma kelompok, maka individu akan mematuhi dan membentuk
perilaku yang sesuai dengan kelompoknya.
Subjective Norms tidak hanya ditentukan oleh referent, tetapi juga
ditentukan oleh motivation to comply. Secara umum, individu yang yakin bahwa
kebanyakan referent akan menyetujui dirinya menampilkan perilaku tertentu, dan
adanya motivasi untuk mengikuti perilaku tertentu, akan merasakan tekanan sosial
untuk melakukannya. Sebaliknya, individu yang yakin bahwa kebanyakan
referent akan tidak menyetujui dirinya menampilkan perilaku tertentu, dan tidak
adanya motivasi untuk mengikuti perilaku tertentu, maka hal ini akan
menyebabkan dirinya memiliki subjective norm yang menempatkan tekanan pada
dirinya untuk menghindari melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
Dalam Theory of Planned Behavior, Subjective Norms juga diidentikan
oleh dua hal, yaitu: belief dari seseorang tentang reaksi atau pendapat orang lain
atau kelompok lain tentang apakah individu perlu, harus, atau tidak boleh
melakukan suatu perilaku, dan memotivasi individu untuk mengikuti pendapat
orang lain tersebut (Michener, Delamater, & Myers, 2004).
Perceived Behavioral Control
Perceived Behavioral Control menggambarkan tentang perasaan self
efficacy atau kemampuan diri individu adalam melakukan suatu perilaku. Hal
senada juga dikemukakan oleh Ismail dan Zain (2008), yaitu Percieved Behavior
Control merupakan persepsi individu mengenai kontrol yang dimiliki individu
tersebut sehubungan dengan tingkah laku tertentu. Percieved Behavior Control
merupakan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang memfasilitasi
dan menghalangi individu untuk melakukan suatu perilaku. Percieved Behavior
Control ditentukan oleh pengalaman masa lalu individu dan juga perkiraan
individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan suatu perilaku.
Pengalaman masa lalu individu terhadap suatu perilaku bisa dipengaruhi oleh
informasi yang didapat dari orang lain, misalnya dari pengalaman orang-orang
yang dikenal seperti keluarga, pasangan dan teman.
Ajzen (dalam Ismail & Zain, 2008) menjelaskan bahwa perilaku seseorang
tidak hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri, tetapi juga membutuhkan kontrol,
misalnya berupa ketersediaan sumber daya dan kesempatan bahkan keterampilan
tertentu. Perceived Behavioral Control merepresentasikan kepercayaan seseorang
tentang seberapa mudah individu menunjukkan suatu perilaku. Ketika individu
percaya bahwa dirinya kekurangan sumber atau tidak memiliki kesempatan untuk
menunjukkan suatu perilaku, (kontrol perilaku yang rendah) individu tidak akan
memiliki intensi yang kuat untuk menunjukkan perilaku tersebut (Engel,
Blackwell, & Miniard, 1995).
Dalam beberapa situasi, satu atau dua faktor saja dapat digunakan untuk
menjelaskan intensi, dan kebanyakan ketiga faktor ini masing-masing berperan
dalam menjelaskan intensi. Sebagai tambahan, tiap individu memiliki perbedaan
bobot dari antara ketiga faktor tersebut mana yang paling mempengaruhi individu
tersebut dalam berperilaku (Ajzen, 2005). Sehingga kesimpulannya seseorang
akan melakukan suatu perilaku tertentu jika orang tersebut mengevaluasi perilaku
tersebut secara positif, ditambah individu tersebut mendapatkan tekanan dari
sosial untuk melakukan perilaku tersebut, serta individu tersebut percaya bisa dan
memiliki kesempatan untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
Perceived Behavioral Control dapat diukur menggunakan dua skala, yaitu:
a. Skala yang mengukur control belief subjek (Indirect Perceived Behavioral
Control) yaitu mengenai kemampuan individu untuk mengontrol perilakunya
terhadap faktor dari luar individu yang menghambat atau mendukung individu
untuk menampilkan perilaku yang berasal dari luar individu.
b. Skala yang mengukur perceived power (Direct Perceived Behavioral Control)
yaitu mengenai kemampuan individu untuk mengontrol perilakunya terhadap
factor dari dalam individu yang menghambat atau mendukung individu untuk
menampilkan perilaku yang berasal dari dalam diri individu.
Masa dewasa muda (Early Adulthood) dimulai pada usia 18 tahun sampai
40 tahun. Secara biologis masa dewasa muda merupakan masa puncak
perumbuhan fisik yang prima dan usia tersehat dari populasi manusia secara
keseluruhan (healthiest people in population) karena didukung oleh kebiasaan-
kebiasaan positif atau pola hidup yang sehat. Secara psikologis, cukup banyak
yang kurang mampu mencapai kematangan akibat banyaknya masalah dihadapi
dan tidak mampu diatasi baik sebelum maupun setelah menikah. Misalnya
ketidakmampuan memenuhi harapan orangtua, ketidakmampuan untuk
mendapatkan prestasi akademis yang baik, dan ketidakmampuan mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan harapan. Tugas-tugas perkembangan (development
task) pada usia dewasa muda meliputi pengamalan ajaran agama, memasuki dunia
kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup berkeluarga,
merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga, memperoleh karier yang
baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok sosial yang menyenangkan
(Hurlock, 1968).
Mahasiswa sebagai individu dewasa muda memiliki tugas dan tuntutan
untuk mendapatkan keberhasilan atau prestasi akademis yang merupakan salah
satu kebutuhan dasar dalam hidupnya.
Dalam Theory Planned of Behavior Ajzen (1988), menyatakan bahwa
seseorang dapat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tergantung dari
niat yang dimiliki oleh orang tersebut. Berarti dapat dikatakan bahwa sikap
mahasiswa untuk berprestasi atau tidak berprestasi tergantung dari niatnya untuk
mendapatkan prestasi tersebut. Semakin kuat niat mahasiswa untuk berprestasi,
maka semakin baik prestasinya. Begitu pula sebaliknya, semakin lemah niat
mahasiswa untuk beprestasi, maka semakin rendah prestasi belajar yang
diperoleh.
Dalam Theory of Planned Behavior niat atau intensi memiliki tiga
komponen, yaitu Attitude Toward Behavior, Subjective Norms, Indirect Perceived
Behavioral Control, dan Direct Perceived Behavioral Control (Fishbein & Ajzen,
1975). Keempat komponen tersebut menjadi indikator dalam menentukan
mahasiswa memiliki intensi atau niat untuk berprestasi atau tidak.
Salah satu faktor pendukung seorang mahasiswa untuk berprestasi selain
intensi atau niat dari dalam diri mahasiswa tersebut adalah metode belajar. Saat ini
banyak metode belajar yang ditawarkan oleh perguruan tinggi yang ada di
Indonesia. Dari metode konfensional atau dengan belajar di kelas sampai dengan
metode belajar menggunakan media Teknologi Informasi (IT) untuk
melaksanakan perkuliahan. Salah satu contoh penggunakan Teknologi Informasi
pada dunia pendidikan adalah model belajar online learning. Model belajar
online learning adalah salah satu metode belajar yang tergolong baru, sedangkan
selama ini di Indonesia masih mengandalkan model belajar dengan cara bertatap
muka di kelas pada setiap sesi pembelajarannya. Oleh karena itu banyak orang
yang belum tentu mengerti mekanisme model pembelajaran online learning dan
belum tentu siap untuk menjalankan proses belajar mengajar dengan
menggunakan model online learning (Darmawan, 2011).
Sesuai dengan yang dikatakan oleh McCleland (1961) bahwa berprestasi
merupakan salah satu kebutuhan dasar dari manusia maka dapat diasumsikan
bahwa setiap mahasiswa ingin mendapatkan prestasi yang baik dengan tujuan
untuk dapat memenuhi salah satu kebutuhan dasar dalam hidupnya.
Kesimpulan
Machfoedz, Ircham dan Eko Suryani. 2007. Pendidikan Kesehatan Bagian dari
Promosi Kesehatan. Yogyakarta : Fitramaya.
Ajzen, Icek, 2005, Attitudes, Personality, and Behavior, Edisi kedua, New York:
Open University Press.
Anwar, Khairul, Abu Bakar, & Harmaini, 2005, Hubungan antara Komitmen
Beragama dengan Intensi Prososial Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN
Suska Riau, dalam Jurnal Psikologi, Volume 1, Nomor 2, Desember 2005,
Pekan Baru: Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Chaplin, J.P., 2004, Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, Penerjemah: Dr. Kartini
Kartono,Jakarta: Rajawali Pers.
Echols, John M., & Hassan Shadily, 2000, Kamus Inggris Indonesia, cet. ke-25,
Jakarta:Gramedia.
Fishbein, Martin, & Icek Ajzen, 1975, Belief, Attitude, Intention, dan Behavior:
An Introductionto Theory and Research, Massachusetts: Addison-Wesley
Publishing Company
Ajzen, I., Fishbein, M. (1975) Keyakinan, Sikap, Niat, dan Perilaku: Sebuah
Pengantar Teori dan Penelitian Reading, MA:. Addison-Wesley.
Judith A G, John P, & Elizabeth, 1996, Kominikasi untuk Kesehatan dan Ilmu
Perilaku, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/49970/I11dtr_BAB%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=6. Diakses Minggu, 09 Maret 2014.