Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN ELIMINASI URINE & FEKAL

I. Konsep Kebutuhan Eliminasi Urine dan Fekal


1.1 Definisi kebutuhan Eliminasi Urine dan Fekal
a. Eliminasi Urine
Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari
plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin. Sebagian besar hasil
filtrasi akan diserap kembali di tubulus ginjal untuk dimanfaatkan oleh tubuh
(Tarwoto & Wartonah, 2010).
b. Eliminasi Fekal
Defekasi atau eliminasi fekal adalah pengeluaran feses melalui anus secara
berkala yang sebelumnya disimpan di dalam rectum. Usus besar
mengeluarkan zat sisa kearah rectum dengan gerakan peristaltic yang kuat
disebut gerakan massa yang terkait dengan reflex gastrokolik dan terjadi
setelah makan. Rectum terisi feses yang pada akhirnya memulai adanya
desakan untuk defekasi (Chris booker, 2008).

Eliminasi fekal bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sphincter ani.
Kedua faktor tersebut dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan
kolon meliputi tiga gerakan yaitu gerakan mencampur, gerakan peristaltic
dan gerakan massa kolon. Gerakan massa kolon ini dengan cepat mendorong
feses makanan yang tidak dicerna (feses) dari kolon ke rectum (Asmadi,
2009).

1.2 Fisiologi sistem/ Fungsi normal kebutuhan eliminasi


a. Fisiologi eliminasi urin
Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah
ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah
utama yaitu : Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di
dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan
langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal,
setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih.
b. Fisiologi eliminasi fekal
1) Saluran gastrointestinal bagian atas
Makanan yang masuk akan dicerna secara mekanik dan kimiawi dimulut
dan dilambuung dengan bantuan enzim, asam lambung. Selanjutnya
makanan yang sudah dalam bentuk chyme didorong ke usus halus.

2) Saluran gastrointestinal bagian bawah


Saluran gastrointestinal bawah meliputi usus halus dan usus besar. Usus
halus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum yang panjangnya kira-
kira 6 meter dan diameter 2,5 cm. Usus besar terdiri atas cecum, colon,
dan rectum yang kemudian bermuara pada anus. Panjang usus besar
sekitar 1,5 meter dan diameternya kira-kira 6 cm. Usus menerima zat
makanan yang sudah berbentuk chyme (setengah padat) dari lambung
untuk mengabsorrpsi air, nutrien, dan elektrolit. Usus sendiri mensekresi
mucus, potassium, bikarbonat, dan enzim.

Chyme bergerak arena adanya peristaltik usus dan akan berkumpul


menjadi feses di usus besar. Dari makan sampai mencapai rektum
normalnya diperlukan waktu 12 jam. Gerakan haustral adalah gerakan
untuk mendorong materi cair dan semipadat sepanjang kolon, gerkan
peristaltik adalah berupa gelombang, gerakan maju ke anus. (Tarwoto
Wartonah, 2006)

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi eliminasi


a. Eliminasi urin
1) Pertumbuhan dan perkembangan
Usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urine.
Pada usia lanjut, volum bladder berkurang, demikian juga wanita hamil
sehingga frekuensi berkemih juga akan lebih sering.
2) Sosiokultural
Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat miksi pada
tempat tertutup dan sebaliknya pada masyarakat yang dapat miksi pada
lokasi terbuka.
3) Psikologis
Pada keadaan cemas dan stress akan meningkatkan stimulasi berkemih.
4) Kebiasaan Seseorang
Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet sehingga ia tidak dapat
berkemih menggunakan pot urin.
5) Tonus otot
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot bladder, otot abdomen, dan
pelvis untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus otot, dorongan untuk
berkemih juga akan kurang.
6) Intake cairan dan makanan
Alcohol menghambat antideuretik hormon (ADH) untuk meningkatkan
pembuangan urin. Kopi, teh, coklat, cola (mengandung Cafeine) dapat
meningkatkan pembuangan dan ekskresi urin.
7) Kondisi penyakit
Pada pasien yang demam terjadi penurunan produksi urin karena banyak
cairan yang dikeluarkan melalui kulit. Radangan dan iritasi organ kemih
menimbulkan retensi urin.
8) Pembedahan
Penggunaan anastesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi
urin akan menurun.
9) Pengobatan
Penggunaan duritik meningkatkan output urin, anti kolinergik, dan anti
hipertensi menimbulkan retensi urin.
10) Pemriksaan diagnostik
Intravenus pyelogram dimana pasien dibatasi intak sebelum prosedur
untuk mengurangi output urine. Cystocospy dapat menimbulkan edema
lokal pada uretra, spasme, dan spinter bladder sehingga dapat
menimbulkan urine.

b. Eliminasi fekal
1) Usia
Setiap tahap perkembangan/usia memiliki kemampuan mengtrol
defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol
secara penuh dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah
memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dan pada usia lanjut
proses pengontrolan tersebut mengalami penurunan.
2) Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat
membantu proses percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsipun
dapat mempengaruhinya.
3) Intake cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat defekasi menjadi
keras karena proses absorpsi kurang sehingga dapat mempengaruhi
kesulitan defekasi
4) Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivita
tonus otot abdomen, pelvis dan diagfragma dapat membantu kelancaran
proses defekasi, sehingga proses pergerakan peristaltic pada daerah
kolon dapat bertambah baik dan memudahkan dalam membantu proses
kelancaran proses defekasi
5) Pengobatan
Pengobatan dapat mempengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan
laksansia atau antasida yang terlalu sering
6) Gaya hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses defekasi. Hal ini
dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan
melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet. Maka,
ketika orang tersebut buang air besar ditempat terbuka atau tempat yang
kotor, ia mengalami kesulitan dalam proses defekasi
7) Prosedur diagnostik
Prosedur diagnostik tertentu, seperti sigmoidoscopy, membutuhkan agar
tidak ada makanan dan cairan setelah tengah malam sebagai persiapan
pada pemeriksaan, dan sering melibatkan enema sebelum pemeriksaan.
Pada tindakan ini klien biasanya tidak akan defekasi secara normal
sampai ia diizinkan makan.
Barium (digunakan pada pemeriksaan radiologi) menghasilkan masalah
yang lebih jauh. Barium mengeraskan feses jika tetap berada di colon,
akan mengakibatkan konstipasi dan kadang-kadang suatu impaksi
8) Penyakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi proses defekasi, biasanya
penyakit-penyakit yang berhubungan langsung pada siste, pencernaan,
seperti gatroenteristis atau penyakit infeksi lainnya
9) Nyeri
Pengalaman nyeri waktu buang air besar seperti adanya hemoroid,
fraktur ospubis, epesiotomi akan mengurangi keinginan untuk buang air
besar
10) Kerusakan sensorik dan motorik
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat mempengaruhi proses
defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris
dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada
tulang belakang atau kerusakan saraf lainnya
11) Tonus otot
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi.
Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan
chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada
peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada
pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari
berkurangnya latihan (exercise), imobilitas atau gangguan fungsi syaraf.
12) Anastesi dan pembedahan
Anastesi umum menyebabkan pergerakan colon yang normal menurun
dengan penghambatan stimulus parasimpatik pada otot colon. Klien
yang mendapat anastesi lokal akan mengalami hal seperti itu juga.
Pembedahan yang langsung melibatkan intestinal dapat menyebabkan
penghentian dari pergerakan intestinal sementara. Hal ini
disebut paralytic ileus, suatu kondisi yang biasanya berakhir 24 48
jam. Mendengar suara usus yang mencerminkan otilitas intestinal adalah
suatu hal yang penting pada manajemen keperawatan pasca bedah.
13) Iritan
Zat seperti makanan pedas, toxin baklteri dan racun dapat mengiritasi
saluran intestinal dan menyebabkan diare dan sering menyebabkan flatus

1.4 Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada eliminasi


a. Eliminasi urin
1) Retensi Urine
Merupakan penumpukan urine dalam bladder dan ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih. Penyebab distensi bladder adalah urine
yang terdapat dalam bladder melebihi 400 ml. Normalnya 250-400 ml.
2) Inkontinensia Urine
Ketidakmampuan otot spinter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urine. Ada 2 jnis inkontinensia :
Pertama, stress inkontinensia yaitu stress yang terjadi pada saat tekanan
intra-abdomen meningkat seperti pada saat batuk atau tertawa
Kedua, urge inkontinensia yaitu inkontinensia yang terjadi saat klien
terdesak ingin berkemih, hal ini terjadi akibat infeksi saluran kemih
bagian bawah atau spasme bladder.

3) Enurisis
Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan karena ketidakmampuan untuk mengendalikan spinter
eksterna. Biasanya terjadi pada anak-anak atau orang jompo.

b. Eliminasi fekal
1) Konstipasi
Deskripsi :
Keadaan individu yang mengalami atau berisiko tinggi mengalami stasis
usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau
keluarnya tinja terlalu kering dan keras.
Penyebab :
Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cedera
serebrospinalis, CVA dan lain-lain
Pola defekasi yang tidak teratur
Nyeri saat defekasi karena hemoroid
Menurunnya perstaltik karena stress psikologis
Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantif, atau
anaestesi
Proses penuaan
Gejala :
Adanya feses yang keras
Defekasi kurang dari 3 kali seminggu
Menurunnya bising usus
Adanya keluhan pada rectum
Nyeri saat mengejan dan defekasi
Adanya persaan masih ada sisa feses

2) Fecal imfaction
Deskripsi :
Kumpulan feses yang mengeras.mengendap di dalam rectum yang tidak
dapat dikeluarkan. Pada kasus impaksi berat, massa dapat lebih jauh
masuk ke dalam kolon sigmoid. Klien yang menderita kelemahan,
kebingungan atau tidak sadar adalah klien yang paling berisiko mengalami
impaksi. Mereka terlalu lemah atau tidak sadar akan kebutuhannya untuk
melakukan defekasi.
Penyebab : Akibat dari konstipasi yang tidak diatasi

Gejala :
ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses selama beberapa hari,
walaupun terdapat keinginan berulang untuk melakukan defekasi
kehilngan nafsu makan
distensi
kram abdomen
nyeri rektum

3) Diare
Deskripsi :
Peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses yang cair
dan tidak berbentuk. Atau arti lain adalah keadaan individu yang
mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare adalah gejala
gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi, dan sekresi di
dalam saluran GI. Isi usus terlalu cepat keluar melalui usus halus dan
kolon sehingga absorpsi cairan yang biasa tidak dapat berlangsung. Iritasi
di dalam kolon dapat menyebabkan peningkatan sekresi lendir. Akibatnya
feses menjadi lebih encer sehingga klien menjadi tidak mampu
mengontrol keinginan untuk defekasi.
Penyebab :
o Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi
o Peningkatan peristaltic karena peningkatan metabolisme
o Efek tindakan pembedahan usus
o Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotic dan lain-
lain
o Stress psikologis
Gejala :
o Adanya pengeluaran feses cair
o Frekuensi lebih dari 3 kali sehari
o Nyeri/kram abdomen
o Bising usus meningkat
4) Inkontinensia
Deskripsi :
Ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan gas dari anus. Kondisi
fisik yang merusakkan fungsi atau control sfingter anus dapat
menyebabkan inkontinensia. Pengertian lain mengenai inkontinensia
adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan defekasi
normal dengan pengeluaran feses tanpa disadari, atau juga dapat dikenal
dengan inkontinensia alvi yang merupakan hilangnya kemampuan otot
untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui sfingter akibat
kerusakan sfingter.
Penyebab :
o Gangguan sfingter rectal akibat cedera anus, pembedahan, dan
lain-lain
o Distensi rectum berlebih
o Kurangnya control sfingter akibat cedera medulla spinalis, CVA,
dan lain-lain
o Kerusakan kognitif
Gejala :
Pengeluaran fese yang tidak dikehendaki

5) Flatulen
Deskripsi :
Suatu keadaan dimana gas terakumulasi di dalam lumen usus, dinding
usus meregang dan berdistensi. Flatulen adalah penyebab umum abdomen
menjadi penuh , terasa nyeri, dan kram.
Penyebab :
Penurunan motilitas usus akibat penggunaan opiate
Agens anestesi umum
Bedah abdomen
Imobilisasi
Gejala :
Tidak terjadinya sendawa dan pengeluaran flatus

6) Hemorroid
Deskripsi :
Keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat
peningkatan tekanan di daerah anus. Ada dua jenis hemoroid, yakni
hemoroid internal dan hemoroid eksternal.
Penyebab :
- Konstipasi
- Peregangan saat defekasi
- dan lain-lain
Gejala :
Terlihat penonjolan kulit, apabila vena mengeras akan terjadi perubahan
menjadi keunguan

II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Kebutuhan Eliminasi


Eliminasi Urine
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
a. Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
b. Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola.
c. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur.
d. Diet : makanamempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,
makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau tidak.
e. Cairan : jumlah dan jenis minuman/hari
f. Aktivitas : kegiatan sehari-hari
g. Kegiatan yang spesifik.
h. Sters : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi
atau bagaimana menerima.
i. Pembedahan/penyakit menetap.

2.1.2 Pemeriksaan fisik : data fokus


a. Inspeksi
Perawat menginspeksi keempat kuadran abdomen untuk melihat warna,
bentuk, kesimetrisan dan warna kulit. Inspeksi juga mencakup
pemeriksaan adanya massa, gelombang peristaltik. Dalam kondisi
normal, gelombang peristaltic tidak terlihat, namun gelombang
peristaltik yang terlihat dapat merupakan tanda adanya obstruksi usus.
b. Auskultasi
Perawat mengauskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop
untuk mengkaji bising usus di setiap kuadran. Bising usus normal
terjadi setiap 5 sampai 15 detik dan berlangsung selama sampai
beberapa detik. Tidak adanya bising usus atau bising usus yang
hipoaktif dapat terjadi jika klien menderita ileus paralitik.
c. Palpasi
Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area
nyeri yang ditekan.
d. Perkusi bertujuan untuk mendeteksi adanya lesi, cairan atau gas di
dalam abdomen.
Pemeriksaan fisik rectumdan anus
Pemeriksaan rectum dan anus meliputi inspeksi.

2.1.3 Pemeriksaan penunjang


a. Anuskopi
b. Proktosigmoidoskopi
c. Rontgen dengan kontras

Eliminasi Fekal
2.2 Pengkajian
2.2.1 Riwayat keperawatan
Pola berkemih
Gejala dari perubahan berkemih
Faktor yang memengaruhi berkemih

2.2.2 Pemeriksaan fisik : data fokus


a. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.
b. Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi
jaringan vagina.
c. Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, terderness, adanya pembesaran skrotum.

2.2.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan urine (urinalisis):
Warna (N : jernih kekuningan)
Penampilan (N: jernih)
Bau (N: beraroma)
pH (N:4,5-8,0)
Berat jenis (N: 1,005-1,030)
Glukosa (N: negatif)
Keton (N:negatif)
Kultur urine (N: kuman patogen negatif).

2.3 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : inkontinensia urinarius fungsional
2.2.1 Definisi
Ketidakmampuan individu yang biasanya kontinen untuk mencapai toilet
tepat waktu menghindari kehilangan urine tanpa disengaja.
2.2.2 Batasan karakteristik
a. Mampu mengosongkan kandung kemih dengan komplit jumlah waktu
yang diperlukan untuk mencapai toilet melebihi lama waktu antara
merasakan dorongan untuk berkemih dan tidak dapat mengontrol
berkemih
b. Mengeluarkan urine sebelum mencapai toilet
c. Mungkin inkontinensia hanya pada dini hari
d. Merasakan perlunya untuk berkemih
2.2.3 Faktor yang berhubungan
a. Faktor lingkungan yang berubah
b. Gangguan kognisi
c. Gangguan penglihatan
d. Keterbatasan neuromuskuler
e. Faktor psikologis
f. Kelemahan struktur panggul pendukung

Diagnosa 2 : gangguan eliminasi urine


2.2.4 Definisi
Disfungsi pada eliminasi urine
2.2.5 Batasan karakteristik
a. Disuria
b. Sering berkemih
c. Anyang-anyangan
d. Inkontinensia
e. Nokturia
f. Retensi
g. Dorongan
2.2.6 Faktor yang berhubungan
a. Obstruksi anatomi
b. Penyebab multiple
c. Gangguan sensori motorik
d. Infeksi saluran kemih

Diagnosa 3 : retensi urine


2.2.7 Definisi
Pengosongan kandung kemih tidak komplit
2.2.8 Batasan karakteristik
a. Tidak ada haluaran urine
b. Distensi kandung kemih
c. Menetes
d. Disuria
e. Sering berkemih
f. Inkontinensia aliran berlebih
g. Residu urine
h. Sensasi kandung kemih penuh
i. Berkemih sedikit
2.2.9 Faktor yang berhubungan
a. Sumbatan
b. Tekanan ureter tinggi
c. Inhibisi arkus reflex
d. Sfingter kuat

Diagnosa 4 : diare
2.2.10 Definisi
Pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk
2.2.11 Batasan karakteristik
a. Nyeri abdomen sedikitnya 3 kali defekasi per hari
b. Kram
c. Bising usus hiperaktif
d. Ada dorongan
2.2.12 Faktor yang berhubungan
a. Psikologis
Ansietas
Tingkat stress tinggi
b. Situasional
Efek samping obat
Penyalahgunaan alkohol
Penyalahgunaan laksatif
Radiasi, toksin
Melakukan perjalanan
c. Fisiologis
Proses infeksi dan parasit
Inflamasi dan iritasi
malabsorbsi

2.4 Perencanaan
Diagnosa 1 : inkontinensia urinarius fungsional
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria):
NOC :
a. Perawatan diri: eliminasi
b. Kontinensia urune
c. Eliminasi urine
Kriteria hasil :
a. Mengidentifikasi keinginan berkemih
b. Berespon tepat waktu terhadap dorongan berkemih
c. Melakukan eliminasi secara mandiri
d. Mengosongkan kandung kemih secara tuntas
e. Menonsumsi jumlah cairan dalam jumlah adekuat
f. Tidak terjadi hematuri
g. Tidak ada rasa sakit saat berkemih
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional :
a. Identifikasi multifaktor yang menyebabkan inkontinensia
R : dengan mengetahui faktor penyebab maka dapat menghindari hal
tersebut
b. Anjurkan pasien untuk minum minimum 1500 cc perhari
R : minum yang banyak dapat memperbanyak produsi urin
c. Sediakan ruangan yang tenang dan privasi untuk prosedur eliminasi
R : meningkatkan kenyamanan dala proses eliminasi
d. Tetapkan interval jadwal eliminasi dengan rutinitas yang dilakukan
setiap hari
R : menghindari kegagaln toileting
e. Kurangi konsumsi yang menyebabkan iritasi pada bledder
R : menghindari ISK
Diagnosa 2 : gangguan eliminasi urine
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria):
NOC :
a. Eliminasi urin
b. Urin kontinens
Kriteria hasil:
a. Kandung kemih kosong secara penuh
b. Tidak ada residu urine
c. Bebas dari ISK
d. Tidak ada spasme bledder
e. Balance cairan seimbang
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional :
a. Gunakan kekuatan sugesti dengan menjalankan air
R : sugesti dapat merangsang keluarnya urin
b. Masukan kateter urin
R : tindakan invasif
c. Memantau asupan dan keluaran
R : monitir intake dan output pasien
d. Memantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
R : Distensi kandung kemih adalah tanda bledder telah penuh
e. Kolaborasi pemberian obat deuretik
R : terapi untuk memudahkan eliminasi urin

Diagnosa 3: retensi urin


2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria):
NOC:
a. Eliminasi urin
b. Urin kontinens
Kriteria hasil :
a. Kandung kemih kosong secara penuh
b. Tidak ada residu urine
c. Bebas dari ISK
d. Tidak ada spasme bledder
e. Balance cairan seimbang
2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional :
a. Monitor intake dan output
R : mengetahui balance cairan
b. Monitor penggunaan obat antikolinergik
R : antikolinergik menyebabkan retensi urine
c. Monitor derajat distensi abdomen
R : distensi abdomen tanda bahwa bledder telah penuh
d. Stimulasi refleks bladder dengan kompres dingin pada abdomen
R : stimulasi bledder dapat mempermudah eliminasi urin
e. Kateterisasi jika perlu
R : tindakan invasif elimiasi urin
f. Monitor tanda-tanda ISK
R : menghindari terjadinya ISK

Diagnosa 4 : diare
2.3.7 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria):
NOC :
a. Eliminasi fekal
b. Feses kontinens
Kriteria hasil :
a. Feses berbentuk, BAB sehari sekali-tiga hari
b. Menjaga daerah sekitar rektal dari iritasi
c. Tidak mengalami diare
d. Menjelaskan penyebab diare dan rasional tindakan
e. Mempertahankan turgor kulit
2.3.8 Intervensi keperawatan dan rasional :
Menejemen diare:
a. Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal
R : menghindari efek yang lebih lanjut dari pengobatan
b. Ajarkan pasien untuk mengguanakn obat diare
R : sebagai terapi medikasi
c. Identifikasi faktor penyebab diare
R : Mnghindari faktor yang menyembakan diare
d. Observasi turgor kulit seara rutin
R : memantau terjadinya dehidrasi
e. Monitor tanda gejala diare
R : dengan mengetahui tanda dan gejala diare maka diare dapat diatasi
sedini mungkin
f. Intruksikan untuk menghindari laksatif
R : laksatif dapat menyebabkan diare
g. Ajarkan teknik menurunkan stress
R : stress memperparah diare
h. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet dendah serat, tinggi protein

III. Daftar Pustaka

Asmadi. (2009). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: Salemba Medika
Alimul, Aziz. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta:Salemba Medika
Chris booker. (2008). Ensiklopedia keperawatan.penerbit buku kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Dochterman dan Bulecheck. (2004). Nursing Intervention Classification (NIC). United States
of America : Mosby.Edi S. Tehuteru, Badriul Hegar, Agus Firmansyah. (2001). Sari
Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001.
Moorhead S,dkk. (2006). Nursing Outcomes Classification (NOC). United States of
America : Mosby
Nurarif, A.H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis: Berdasarkan Penerapan Diagnosa
Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Jilid 1 & 2. Yogyakarta: Mediaction.
Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
Potter, Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2 Edisi 4. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Banjarmasin, November 2016


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(.............................................................) (.................................................................)

Anda mungkin juga menyukai