Pajak PPH Badan PDF
Pajak PPH Badan PDF
Badan yaitu:
Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penghasilan Badan dalam negeri dan
penghasilan Badan luar negeri (BUT maupun tidak). Pada prinsipnya Objek PPh adalah penghasilan itu sendiri
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak.
Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan
tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini
diatur: dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi perusahaan dengan
melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang ditetapkan INDRA, IBRA, dan Prakarsa
Jakarta diatur dalam KEP 28/PJ/1999, SE-05/PJ.42/1999, SE-2.2/PJ-42/2000 yang menetapkan
bahwaWajib Pajak tersebut dapar memilih pengakuan penghasilan :
sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang
dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar (20 % per tahun)
Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah disediakan, selambat-
lambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke KPP, tidak memberitahukan berarti diakui
sekaligus
Laba komersial (accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia
bisnis baik untuk kepentingan pasar modal (bursa efek), perbankan, Rapat Umum Pemegang Saham,
dan kepentingan lainnya.
Laba komersial ini dihitung berdasarkan standar akuntansil yang berlaku. Sejak tahun 1995 standar
akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Penghitungan laba
komersial bertumpu pada prinsip matching cost against revenue (persandingan antara pendapatan
dengan biaya-biaya yang terkait). Dalam salah satu prinsip tersebut terdapat konsep bahwa
pengeluaran perusahaan yang tidak mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang, bukanlah
merupakan aset sehingga harus dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian dalam akuntansi seluruh
pengeluaran/beban perusahaan sepanjang memang harus dikeluarkan oleh perusahaan diakui sebagai
biaya/beban.
Laba Kena Pajak/Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income] merupakan laba yang dihitung
berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah
UU No. 7/1983 yang diubah dengan UU No. 10/1994 dan diubah terakhir dengan UU No. 17/2000
mengenai Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya.
Penghitungan laba kena pajak dalam kaitannya dengan karyawan didasarkan atas prinsip
umum taxability deductibility. Dengan prinsip ini, biaya-biaya baru dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto apabila pihak/orang yang menerima pengeluaran uang atas biaya
perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan
pajak (taxable). Dengan demikian akan selalu ada pihak dapat dikenakan pajak sebagaimana
dijelaskan di atas. ,
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa laba komersial yang lazim digunakan dalam
dunia bisnis berbeda dengan laba kena pajak. Banyak sekali biaya-biaya yang diakui oleh akuntansi
tetapi tidak diakui oleh perpajakan, seperti: sumbangan, pemberian natura kepada karyawan, biaya
representasi tertentu, biaya kelancaran dan sebagainya.
Agar dapat melakukan penghitungan PhKP dengan benar dan tepat, Wajib Pajak perlu memahami:
1. Penghasilan yang menjadi obyek (taxable) dan bukan obyek pajak (non taxable).
2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final.
3. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses).
4. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible exepneses).
Penghasilan yang bukan obyek pajak (diatur dalam Pasal 4 ayat 3):
a. (1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
(2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN/P, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN/D yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK);
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan KMK; dan .
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila penghasilan bruto setelah dikurangi biaya fiskal didapat kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
(lima) tahun.
Jika melihat hak dan kewajiban masing-masing pihak semestinya, pihak yang dipotong tetap
memiliki hak untuk rnengkreditkan PPh atau PPN tersebut. Tidak selayaknya pihak lain yang
melakukan kesalahan, tetapi risiko atau sanksinya dikenakan kepada Wajib pajak yang dipotong
atau dipungut. Hal tersebut akan menjadi tidak adil karena akan menimpakan kesalahan pihak
lain kepada WP. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang benar mengenai subyek pajak dan
subyek pajak-pengganti sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Jadi walaupun
konfirmasi yang dijawab negatif (tidak ada), namun pihak yang dipotong/dipungut pajak tetap
berhak melakukan pengkreditan.
Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi
penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial/pembukuan dengan laba/rugi
menurut SPT Tahunan.
Terdapat beberapa point penting/perubahan yang diatur dalam UU PPh yang baru, khususnya
yang berkaitan dengan biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
seperti :
a. Pemasukan kriteria piutang yang tidak dapat ditagih yang diberlakukan sebagai biaya, (pasal 6 ayat
(1) huruf h UU No. 17 Tahun 2000 ) yaitu:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan R/L komersial.
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau BUPLN atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antar debitur
dan kreditur yang bersangkutan.
3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus
4) Wajib Pajak .harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP,
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Kep Dirjen.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk
usaha.
Bank dan SGU dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.