Anda di halaman 1dari 3

PSHT(1922) & STK(1903)

Sejarah SH Terate dan Sh Tunas Muda Winongo

SH Terate adalah perguruan silat legendaris yang berperan menyebarkan pencak silat ke berbagai
daerah (bahkan manca negara). Di pusatnya, Madiun, terdapat ribuan pendekar SH terate yang
tersebar sampai pelosok-pelosok kampung. Bagi pemuda-pemuda di daerah Madiun, menjadi
anggota SH terate adalah tradisi yang mereka laksanakan secara turun temurun. Bahkan banyak
keluarga yang dari Kakek buyut sampe cicit, semua adalah anggota PS SH Terate. Hal ini
membuat SH Terate sebagai organisasi, cukup disegani di kawasan Madiun karena memiliki
massa yang sangat besar.

Sayang, di Madiun sering terjadi perkelahian massal antara anggota SH Terate dan anggota SH
Tunas Muda (Winongo). Sebenarnya pendiri kedua perguruan silat tersebut berasal dari
perguruan yang sama. Menurut hikayat, asal muasal pencak silat di Madiun adalah dari seorang
pendekar bernama Suro (Mbah Suro). Konon, sewaktu masih sangat muda Mbah Suro ini adalah
salah satu prajurit tangguh yang dimiliki Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro
kalah dari Belanda, mbah Suro melarikan diri ke Madiun, dan mendirikan sebuah perguruan silat
sendiri.

Perguruan silat ini kemudian berkembang cukup pesat. Mbah Suro memiliki banyak sekali
murid. Namun diantara sekian ratus muridnya, ada dua yang paling menonjol. Yang satu
kemudian mendirikan perguruan silat sendiri di daerah Winongo Madiun, dan kemudian di
kemudian hari menjelma menjadi SH Tunas Muda. Sementara yang satunya meneruskan
perguruan silat mbah Suro dan kemudian menjelma menjadi SH Terate.

Awalnya, kedua perguruan tersebut saling berdampingan dengan damai satu sama lain. SH
Winongo memiliki pengaruh di daerah madiun kota, sementara SH Terate mengakar di daerah
madiun pinggir/pedesaan. Benih perpecahan dimulai ketika antara tahun 1945-1965 an, banyak
pendekar SH Winongo yang berafiliasi dengan PKI. SH Terate yang menganggap ilmu SH (Setia
Hati) yang diturunkan oleh mbah Suro merupakan ilmu yang berbasis ajaran Islam, merasa SH
Winongo mulai keluar dari jalur tersebut.

Perselisihan semakin menjadi-jadi antara tahun 1963-1967, dimana banyak pendekar dari kedua
perguruan yang terlibat bentrok fisik dalam peristiwa-peristiwa politik. Meski banyak
anggotanya yang berafiliasi kiri, namun secara organisasi SH Winongo tidak terlibat dalam
aktivitas kekirian tersebut. Hal inilah yang kemudian menyelamatkan perguruan silat ini dari
pembubaran oleh pemerintah.

Setelah masa pembersihan anggota PKI yang berlangsung antara tahun 1967-1971 di daerah
Madiun, SH Winongo sedikit demi sedikit mulai kehilangan pamornya. Puncaknya, pada era
1980-an bisa dikatakan perguruan silat ini dalam keadaan mati suri. Konon, banyak pendekar SH
Terate yang berperan sebagai eksekutor para anggota PKI (termasuk beberapa pendekar SH
Winongo yang terlibat PKI) di kawasan Madiun. Hal inilah yang kemungkinan memicu dendam
pendekar SH Winongo yang non-PKI tapi merasa memiliki solidaritas pada kawan-kawannya
yang dieksekusi tersebut.
Entah kebetulan atau tidak, seiring dengan munculnya PDI sebagai kekuatan politik yang cukup
kuat pada era 1990-an, pamor SH Winongo sedikit demi sedikit mulai naik kembali. Banyak
pemuda dari kawasan perkotaan Madiun yang masuk menjadi anggota SH Winongo. Madiun
kota sendiri merupakan basis PDI yang cukup kuat. Sementara Madiun kabupaten merupakan
basis NU dan Muhammadiyah. Banyak yang mengatakan bahwa situasi tersebut mirip dengan
situasi di zaman 60-an, dimana PKI berkuasa di Madiun kota dan NU berkuasa di Madiun
Kabupaten.

Seiring dengan perkembangan tersebut, mulai sering terjadi perkelahian antar pendekar di
berbagai pelosok Madiun. Perkelahian yang juga melibatkan senjata tajam tersebut tak jarang
berakhir dengan kematian salah satu pihak. Pada waktu itu, Madiun bagaikan warzone para
pendekar silat (termasuk dengan senjata tajam dan senjata lainnya). Di berbagai sudut kota dan
kampung terdapat grafiti yang menunjukkan identitas kelompok pendekar yang menguasai
kawasan tersebut. Pendekar SH Terate menggunakan istilah SHT (Setia Hati Terate) atau TRD
(Terate Raja Duel) untuk menandai basisnya. Sementara SH Winongo menggunakan istilah STK,
yang kemudian diplesetkan menjadi Sisa Tentara Komunis, untuk menandai kawasan mereka.

Pada kurun waktu 1990-2000, STK mengalami perkembangan jumlah anggota yang sangat pesat.
Desa Winongo sebagai markas besar mereka, pada awalnya masih mudah diserang oleh pendekar
SHT dari wilayah tetangga. Namun karena kekuatan mereka yang semakin besar membuat
Winongo menjadi untouchable area. Hampir seluruh pemuda dan lelaki di desa ini menjadi
anggota STK yang militan, sehingga penyerbuan SHT ke wilayah ini menjadi semakin sulit
dilakukan.

STK menggunakan taktik populis dalam merekrut anggota baru. Mereka masuk ke SMP dan
SMU di kota Madiun dan menawarkan status pendekar secara instan kepada pemuda-pemuda
yang mau bergabung. Sementara untuk meraih status pendekar di SHT, persyaratannya cukup
berat dan memakan waktu cukup lama. Tawaran menjadi pendekar instan tersebut tentu saja
mendapat sambutan yang besar dari para pemuda yang belum mengetahui esensi sebenarnya
sebuah panggilan pendekar. Di Madiun, menjadi pendekar adalah sebuah kehormatan yang
diimpi-impikan para pemuda. Predikat pendekar menjadi sangat elit karena harus dicapai dengan
susah payah. Seorang Pendekar dipastikan memiliki kemampuan silat dan fisik yang prima, serta
pemahaman agama yang dalam.

Akibat taktik populis yang dilakukan STK, kode etik pertarungan antar pendekar yang selama ini
terjaga, sedikit demi sedikit mulai pudar. Anak-anak muda yang naif (pendekar instan) mulai
menggunakan cara-cara yang kurang etis dalam berkelahi. Misalnya mereka mengeroyok lawan,
menculik lawan di rumah, tawuran (lempar-lemparan batu), menyerang dari belakang, dan cara-
cara yang tidak terhormat lainnya. Awalnya pendekar-pendekar SHT yang memegang teguh kode
etik pertarungan pencak silat, masih berupaya sabar. Namun, akhirnya mereka kehilangan
kesabaran setelah korban di pihak mereka mulai berjatuhan.

Tercatat, terjadi beberapa kali pertarungan yang memakan korban jiwa akibat tindakan yang
tidak sportif. Pernah terjadi kasus dimana dua orang pendekar yang sedang berboncengan sepeda
ontel, di tebas dari belakang oleh lawan bersepeda motor dengan menggunakan clurit. Kemudian
ada juga kasus seorang pendekar yang sedang menggarap sawah, ditebas dari belakang oleh
lawannya dengan menggunakan pacul.

Kejadian-kejadian tersebut merupakan gambaran betapa etika pertarungan sportif satu lawan satu
yang selama ini dipegang erat oleh para pendekar, mulai pudar.

Cikal bakal dua perguruan silat terbesar di Madiun, SH Terate dan SH Winongo, adalah sebuah
perguruan pencak silat puritan bernama SH Putih. SH Putih didirikan oleh seorang pendekar silat
bernama Mbah Suro pada tahun 1903. Mbah Suro adalah seorang pengembara, dia telah
melanglang buana sampai ke Tiongkok dan India untuk mempelajari berbagai ilmu bela diri.

Setelah merasa cukup ilmu, Mbah Suro pulang ke tanah kelahirannya, dan mendirikan sebuah
perguruan pencak silat tanpa nama. Berdasarkan ilmu yang didapatkannya selama mengembara,
ia mengembangkan jurus-jurus silat baru yang kemudian membawa pembaharuan dalam ilmu
beladiri asli nusantara ini.

Setelah Mbah Suro meninggal pada tahun 1923, terdapat dua orang muridnya yang berebut
pengaruh untuk menjadi pimpinan perguruan silat tersebut. Perebutan ini kemudian berakibat
pada terpecahnya mereka ke dalam dua kubu.
Kubu pertama kemudian mendirikan perguruan silat baru bernama Setia Hati Winongo
(Kenanga),
dan kubu yang lain mendirikan Setia Hati Terate (Teratai). Perebutan tersebut akhirnya
tereskalasi menjadi konflik terbuka, ketika masing-masing perguruan tersebut sudah memiliki
banyak pengikut. Konflik masih terus terjadi sampai hari ini, dengan dinamika yang berbeda,
sesuai dengan perkembangan jaman.

Sementara, SH Putih kemudian menutup diri karena tidak mau terlibat dalam perseteruan antara
keduanya. Sampai saat ini SH Putih masih ada, dan yang diperbolehkan menjadi murid di
perguruan silat ini hanyalah anggota keluarga dan keturunan Mbah Suro saja. SH Putih menjadi
semacam dewan guru besar, untuk menentukan apakah seorang pendekar dari SH Winongo dan
SH Terate yang telah mencapai level tertinggi bisa naik tingkat atau tidak (dalam karate
istilahnya DAN I, DAN II, dst, untuk sabuk hitam). Saat ini pendekar dengan tingkat tertinggi
(Tingkat III) masih dipegang oleh pendekar dari SH Winongo. Sementara dari SH Terate belum
ada (Paling tinggi Tingkat II).

Antara SH Winongo dengan SH Terate menganut prosedur yang berbeda dalam penetapan
seorang murid menjadi WARGA. Di SH Winongo, seorang murid yang baru masuk, harus
segera disahkan sebagai WARGA agar ikatan emosional dan fisik yang bersangkutan dengan
perguruan tidak terlepas lagi. Sementara di SH Terate, untuk menjadi WARGA seorang murid
harus menjalani proses yang panjang dan sangat keras. Seorang WARGA dalam filosofi SH
Terate haruslah pendekar yang benar-benar telah memahami esensi dari ilmu pencak silat itu
sendiri, terutama kegunaannya bagi masyarakat. Sehingga, sedikit sekali dalam satu angkatan,
seorang murid SH Terate akhirnya dapat mencapai level menjadi WARGA.

Anda mungkin juga menyukai