Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Air

a. Air Baku

Air adalah unsur yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup

termasuk manusia. Fungsi air bagi kehidupan tidak dapat digantikan

oleh senyawa lain. Salah satu penggunaan air yaitu untuk memenuhi

keperluan rumah tangga, misalnya untuk minum, masak, mandi, cuci

dan pekerjaan lainnya. Selain sebagai kebutuhan utama untuk

kelangsungan hidup manusia, air juga berperan sebagai penentu

kesehatan masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16

Tahun 2005, bahwa yang dimaksud dengan Air baku untuk air minum

rumah tangga, yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat

berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan atau air

hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air

minum.

Menurut Chandra dalam Cut Khairunnisa (2012), berdasarkan

letaknya air baku dapat diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya

adalah air angkasa (hujan), air permukaan, air laut, dan air tanah. Di

Indonesia sendiri, sumber air yang sering dipergunakan oleh sebagian

9
besar masyarakat adalah air tanah, baik air tanah dangkal maupun air

tanah dalam.

b. Air Tanah

Menurut definisi Undang-undang Sumber Daya Air, air tanah

merupakan air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di

bawah permukaan tanah (Sujana, 2006). Air tanah (ground water)

berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang kemudian

mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami

proses filtrasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air

hujan tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah, membuat air

tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan dengan air

permukaan.

Air tanah adalah air yang berada di dalam tanah. Air tanah

diperoleh dengan cara menggali tanah. Air tanah yang sebagian besar

berasal dari air permukaan dan air hujan relatif lebih bersih, hanya saja

di sebagian wilayah Indonesia air tanah dimungkinkan terlalu banyak

mengandung bahan kimia tertentu. Contohnya pada daerah berpasir,

maka kemungkinan kandungan besi dalam air tinggi, pada daerah

berkapur maka kemungkinan kandungan kalsium dalam air akan

berlebihan (Nur Hidayati, 2006). Skema lapisan air tanah ditunjukkan

pada Gambar 1.

10
Gambar 1. Skema Lapisan Air Tanah

Menurut Sutrisno dalam C. Khairunnisa (2012), air tanah

terdiri atas :

1) Air tanah dangkal yaitu air yang terjadi karena proses peresapan air

dari permukaan tanah. Lumpur akan tertahan juga bakteri sehingga

air tanah akan mengandung zat kimia karena melalui lapisan tanah

yang mempunyai unsur-unsur kimia tertentu untuk masing-masing

lapisan tanah. Pengotoran juga masih terus berlangsung terutama

pada muka air yang dekat dengan muka tanah. Air tanah ini

digunakan sebagai sumber air minum melalui sumur-sumur

dangkal. Sebagai sumber air minum, ditinjau dari segi kualitas agak

baik. Tetapi dari segi kuantitas cukup kurang dan tergantung pada

musim.

2) Air tanah dalam yaitu air tanah yang terdapat setelah lapisan rapat

air yang pertama. Pengambilan air tanah dalam ini tidak semudah

11
pengambilan air tanah dangkal. Biasanya air tanah dalam ini berada

pada kedalaman (200 300) meter. Kualitas air tanah dalam lebih

baik dari air tanah dangkal karena penyaringannya lebih sempurna

dan bebas dari bakteri.

c. Air Bersih Sebagai Air Minum

Air tanah yang bisa dikonsumsi sebagai air bersih untuk air

minum harus memenuhi standar air yang layak. Menurut Tri Joko

(2010), secara umum ada beberapa persyaratan utama yang harus

dipenuhi dalam sistem penyediaan air bersih, antara lain : persyaratan

kualitatif, mudah diperoleh oleh konsumen dan harga air relatif lebih

murah.

Persyaratan kualitatif menggambarkan mutu/kualitas dari air

bersih. Parameter-parameter yang digunakan sebagai standar kualitas

air antara lain parameter fisik, parameter kimia dan parameter biologi.

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berwarna, tidak

berbau, dan tidak berasa. Jernih berarti air bebas atau sedikit sekali

tercampur lumpur. Tidak berwarna artinya tidak mengandung bahan

organik dan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Tidak berbau

artinya tidak terjadi pelapukan di dalam air oleh mikroorganisme,

karena bau yang kadang tercium dalam air merupakan ciri terjadinya

proses pelapukan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme dalam air

(Nur Hidayati, 2006).

12
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, yang dimaksud dengan air minum

adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses

pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung

diminum. Secara umum persyaratan kualitas air minum terbagi menjadi

beberapa parameter, yaitu parameter mikrobiologi, parameter fisik,

parameter kimiawi dan parameter radioaktivitas.

Parameter mikrobiologi merupakan parameter yang membatasi

jumlah maksimum E.coli dan total bakteri koliform per 100 ml sampel.

Parameter fisik adalah parameter yang berkaitan dengan kondisi fisik

air seperti bau, warna, total zat padat terlarut (TDS), kekeruhan, rasa

dan suhu. Parameter kimiawi adalah parameter yang bersangkutan

dengan kandungan unsur atau zat kimia yang berbahaya bagi manusia,

yang terdiri dari kimia organik dan anorganik, diantaranya adalah besi

dan pH. Kandungan kimia dalam air harus ditekan seminimal mungkin

karena beberapa diantaranya sangat berhubungan langsung dengan

kesehatan. Parameter radioaktivitas membatasi kadar maksimum

aktivitas sinar alfa dan beta yang diperbolehkan dalam air minum.

13
2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasamaan atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. pH

adalah singkatan dari power of Hydrogen. Secara umum pH normal

memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut

memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH < 7 menunjukkan keasaman. pH 0

menunjukkan derajat keasaman yang tinggi, dan pH 14 menunjukkan

derajat kebasaan tertinggi (Tri Joko, 2010).

Nilai pH normal untuk air tanah biasanya antara 6 sampai dengan

8,5. Nilai ambang batas pH untuk air minum sesuai dengan Permenkes No

492/Menkes/Per/IV/2010 yaitu 6,5 8,5. Air dengan pH rendah (<6,5)

berupa asam, mengandung padatan rendah, dan korosif. Air dengan

kondisi seperti ini dapat mengandung besi, dan lain-lain. Hal ini dapat

menyebabkan kerusakan pada pipa transmisi, selain itu juga menimbulkan

rasa yang asam, noda pada baju, noda pada kloset, dan lain sebagainya,

serta menimbulkan dampak buruk pada kesehatan. Sedangkan untuk air

dengan pH tinggi (>8,5) berupa basa. Air tersebut tidak terlalu berdampak

buruk pada kesehatan, akan tetapi dapat menimbulkan masalah berupa rasa

basa pada air.

Selain menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat

diukur dengan pH meter (Gambar 2) yang bekerja berdasarkan prinsip

elektrolit atau konduktivitas suatu larutan. pH meter yang digunakan pada

penelitian ini adalah tipe pH-009 IA Pen Type pH Meter Digital Tester

14
Hydro. Cara pengoperasian dari alat ukur pH meter yaitu menggeser

tombol on pada alat, kemudian alat langsung dicelupkan pada larutan yang

akan diukur, selanjutnya ditunggu kurang lebih 1 menit, dan secara

otomatis hasilnya akan dapat terbaca.

Gambar 2. pH meter

3. TDS (Total Dissolved Solid)

Salah satu faktor yang sangat penting dan menentukan bahwa air

layak konsumsi adalah kandungan TDS (Total Dissolved Solid). Menurut

Rao dalam Effendi (2003), Total Dissolved Solid (TDS) atau Total Padatan

Terlarut adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid

(diameter 10-6 mm 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan

bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45

m.

TDS adalah benda padat yang terlarut, yaitu semua mineral, garam,

logam serta kation-anion yang terlarut di air, termasuk semua yang terlarut

diluar molekul air murni (H2O). Secara umum, konsentrasi benda-benda

padat terlarut merupakan jumlah antara kation dan anion di dalam air. TDS

terukur dalam satuan Parts per Million (ppm) atau perbandingan rasio

berat ion terhadap air (Santoso, 2008). Contoh padatan terlarut dalam air

adalah zat kapur, besi, timah, magnesium, tembaga, sodium, klorida, klorin

15
dan lain-lain. Menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang

persyaratan kualitas air minum, kadar TDS yang diperbolehkan adalah 500

mg/l.

Air yang mengandung TDS tinggi, sangat tidak baik untuk

kesehatan manusia. Mineral dalam air tidak hilang dengan cara direbus.

Bila terlalu banyak mineral anorganik di dalam tubuh dan tidak

dikeluarkan, maka seiring berjalannya waktu akan mengendap di dalam

tubuh yang berakibat tersumbatnya bagian tubuh. Misalnya bila

mengendap di mata akan mengakibatkan katarak, bila di ginjal akan

mengakibatkan batu ginjal atau batu empedu, di pembuluh darah akan

mengakibatkan pengerasan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, stroke

dan lain-lain (Wahyu Nugroho dan Setyo Purwoto, 2013).

Pengukuran TDS yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan

menggunakan metode electrical conductivity (ukuran kemampuan suatu

bahan untuk menghantarkan arus listrik). Cara penggunaan dari TDS meter

merk HM digital tipe TDS-3 yang ditunjukkan pada Gambar 3, adalah

dengan menekan tombol on/off, kemudian alat dicelupkan ke dalam larutan

yang akan diukur dan secara otomatis akan terukur hasil kadarnya.

Gambar 3. TDS meter

16
4. Besi (Fe)

Besi (Fe) yang berbentuk Ferro (Fe2+) dalam air bersifat terlarut,

menyebabkan air menjadi merah kekuning-kuningan, menimbulkan bau

amis, dan membentuk lapisan seperti minyak. Keberadaan besi dalam air

bersamaan dengan mineral mangan, tetapi besi didapatkan lebih sering

daripada mangan. Berdasarkan data survai air tanah yang pernah dilakukan

di beberapa kota Illinois (USA) tahun 1963 pernah didapatkan bahwa

konsentrasi besi kira-kira 10 kali konsentrasi mangan (Tri Joko, 2010).

Pada dasarnya besi dalam air dalam bentuk Ferro (Fe2+) atau Ferri

(Fe3+), hal ini tergantung dari kondisi pH dan oksigen terlarut dalam air.

Pada pH netral dan adanya oksigen terlarut yang cukup, maka ion ferro

yang terlarut dapat teroksidasi menjadi ion ferri dan selanjutnya

membentuk endapan. Ferrihidroksida (Fe(OH)3) yang sukar larut, berupa

hablur (persipitat) yang biasanya berwarna kuning kecoklatan, oleh karena

pada kondisi asam dan aerobik bentuk Ferrolah yang larut dalam air (Tri

Joko, 2010).

Konsentrasi besi terlarut yang masih diperbolehkan dalam air

bersih adalah sampai dengan 1,0 mg/l sedangkan untuk air minum menurut

Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 adalah 0,3 mg/L. Apabila

konsentrasi besi terlarut dalam air melebihi batas tersebut akan

menyebabkan berbagai masalah, diantaranya :

17
a. Gangguan teknis

Endapan Fe(OH)3 dapat menyebabkan efek-efek yang merugikan

seperti mengotori bak dari seng, westafel dan kloset, selain itu juga

bersifat korosif terhadap pipa dan akan mengendap pada saluran pipa

sehingga mengakibatkan pembatuan.

b. Gangguan fisik

Gangguan fisik yang ditimbulkan oleh adanya besi terlarut dalam air

adalah timbulnya warna, bau, rasa. Air minum akan terasa tidak enak

bila konsentrasi besi terlarutnya > 1,0 mg/l.

c. Gangguan kesehatan

Sebenarnya zat Fe dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan

hemoglobin. Perkiraan kebutuhan harian besi minimum tergantung pada

usia, jenis kelamin, status fisik, serta metabolisme tubuh. Tetapi zat Fe

yang melebihi dosis yang diperlukan oleh tubuh dapat menimbulkan

masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan tubuh manusia tidak dapat

mengekskresi Fe. Air minum yang mengandung besi cenderung

menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Selain itu dalam dosis

besar dapat merusak dinding usus. Kadar Fe yang lebih dari 1 mg/l akan

menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam

air melebihi 10 mg/l akan menyebabkan air berbau seperti telur busuk.

18
d. Gangguan ekonomis

Gangguan ekonomis yang ditimbulkan adalah tidak secara langsung

melainkan karena akibatnya yang ditimbulkan oleh kerusakan peralatan

sehingga diperlukan biaya untuk penggantian (Tri Joko, 2010).

Pada penelitian ini kadar besi diukur dengan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis. Prinsip dasar analisis spektrofotometri adalah

pengukuran intensitas energi radiasi yang diserap oleh larutan berwarna.

Terserapnya sinar radiasi yang dilewatkan pada populasi zat tersebut

berarti terjadi pengurangan intensitas cahaya. Pengurangan intensitas

radiasi ini sebanding dengan jumlah radiasi yang diserap, pengurangan

intensitas cahaya sebanding dengan jumlah larutan yang dianalisis.

Pengukuran intensitas radiasi yang diteruskan atau ditransmisikan atau

diabsorbsi dapat digunakan untuk mengukur besarnya konsentrasi (Januar

Widakdo, 2015).

Spektrofotometer UV-Vis digunakan sebagai alat uji secara

kualitatif yang akan menampilkan absorbansi maksimal pada panjang

gelombang tertentu. Absorbansi di panjang gelombang tertentu

menunjukkan karakter tertentu dari suatu senyawa atau partikel (Yulianty

et al. dalam Januar Widakdo, 2010).

5. Total Coliform

Sumber-sumber air di alam pada umumnya mengandung bakteri,

baik air angkasa, air permukaan, maupun air tanah. Jumlah dan jenis

19
bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya.

Air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari haruslah bebas dari

bakteri patogen. Bakteri golongan Coliform tidak merupakan bakteri

patogen, tetapi bakteri ini merupakan indikator dari pencemaran air oleh

bakteri patogen (Soemirat, 2000). Apabila air yang mengandung bakteri

patogen ini terminum maka dapat menjadi penyakit pada yang

bersangkutan. Penyakit tersebut diantaranya : kholera, penyakit typhoid,

penyakit hepatitis infeksiosa, penyakit disentri basiler.

Menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, bakteri

Coliform yang memenuhi syarat untuk air bersih bukan perpipaan adalah

<50 MPN (Most Probable Number)/100 ml sampel, sedangkan kadar

maksimum total Coliform yang diperbolehkan untuk air minum yang

diatur di dalam Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 adalah 0

MPN/100 ml sampel.

Bakteri Coliform adalah golongan bakteri intestinal, yaitu bakteri

yang hidup di dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri Coliform adalah

bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain. Lebih tepatnya,

bakteri Coliform fecal (bakteri coliform tinja) adalah bakteri indikator

adanya pencemaran bakteri patogen. Penentuan Coliform fecal menjadi

indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkolerasi

positif dengan keberadaan bakteri patogen. Contoh bakteri Coliform

adalah Eserchia coli dan Entrobacter aerogenes. Jadi, Coliform adalah

20
indikator kualitas air. Makin sedikit kandungan Coliform, artinya kualitas

air semakin baik (Cut Khairunisa, 2012).

Berdasarkan kandungan bakterinya, kualitas air bersih menurut SK

Dirjen PPM dan PLP No. 1/PO.03.04.PA.91 dan SK JUKLAK Pedoman

Kualitas Air Tahun 2000/2001 (dalam Cut Khairunnisa, 2012), dapat

dibedakan ke dalam kategori sebagai berikut :

a. Air bersih kelas A kategori baik mengandung total Coliform kurang dari

50

b. Air bersih kelas B kategori kurang baik mengandung total Coliform 51-

100

c. Air bersih kelas C kategori jelek mengandung total Coliform 101-1000

d. Air bersih kelas D kategori amat jelek mengandung total Coliform

1001-2400

e. Air bersih kelas E kategori sangat amat jelek mengandung total

Coliform lebih 2400

6. Karbon Aktif

a. Pengertian Karbon Aktif

Karbon aktif adalah suatu bentuk arang atau karbon yang

mempunyai daya absorbsi sangat baik terhadap limbah, khususnya

limbah cair. Hal itu disebabkan pada suatu karbon atau arang terdapat

pori-pori atau rongga yang terdapat pada struktur molekulnya (Sunarto,

2000).

21
Karbon aktif juga dikatakan sebagai bahan berupa karbon atau

arang yang telah mengalami perlakuan khusus berupa proses aktivasi

baik secara fisis maupun secara kimia, yang mengakibatkan struktur

pori-porinya menjadi semakin besar. Dengan demikian daya serap akan

semakin besar baik untuk fase cair maupun pada fase gas (Sembiring

dkk, 2003). Sedangkan yang dimaksud dengan arang yaitu padatan

berpori yang mengandung (85 90)% karbon, dihasilkan dari bahan-

bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi.

Untuk membuat arang, dapat dilakukan dengan membakar bahan arang

pada tempat yang tertutup rapat, sehingga hanya terjadi proses

karbonisasi (Meilia, 2009).

Penelitian ini menggunakan karbon aktif granule (butiran) dengan

ukuran 8 mesh (2,38 mm), karena pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Mas Aji K (2015), didapatkan kelebihan pada ukuran

tersebut, yaitu tingkat kejernihan serta debit aliran lebih baik

dibandingkan dengan karbon aktif dengan ukuran gravel ataupun

powder. Selain itu kelebihan lain dari karbon aktif dengan bentuk

granule yaitu pengoperasiannya mudah karena ukuran relatif lebih

besar, serta proses berjalan cepat karena tidak terbentuk endapan.

Proses aktivasi merupakan hal yang penting dalam usaha

meningkatkan daya serap arang. Karbon aktif merupakan karbon yang

berbentuk amorf yang sebagian besar terdiri dari karbon yang bebas

serta memiliki permukaan dalam (internal surface), sehingga

22
mempunyai daya serap yang baik. Mutu karbon aktif dikatakan baik

apabila kadar unsur karbon sangat tinggi, sedangkan kadar abu dan air

di dalamnya sangat kecil.

b. Proses Aktivasi Karbon Aktif

Proses aktivasi pada karbon berguna untuk meningkatkan daya

serap karbon tersebut. Yang dimaksud dengan aktivasi adalah suatu

perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar rongga

pori-porinya, yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon,

molekul-molekul air yang terjebak mengoksidasi molekul-molekul

permukaan atau penguapan sehingga arang mengalami perubahan sifat,

seperti volume rongga yang bertambah atau luas permukaannya

bertambah besar. Volume rongga yang bertambah akan bermanfaat

untuk memperbesar terjadinya proses absorbsi.

Metode aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang

aktif adalah dengan menggunakan aktivasi fisika dan aktivasi kimia.

1) Aktivasi Fisika

Umumnya proses aktivasi fisika dilakukan dengan memanaskan

arang di dalam tanur pada temperatur 1000C 3000C selama waktu

tertentu (Sembiring dkk, 2003). Aktivasi fisika ini bertujuan untuk

membuka permukaan karbon dan memperbesar pori-pori karbon.

Pada penelitian ini aktivasi fisika dilakukan dengan memanaskan

karbon aktif batok kelapa dengan oven listrik pada suhu 2000C

23
selama 60 menit. Suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi, karena

untuk menghindari kerusakan pada struktur karbon aktif.

2) Aktivasi Kimia

Aktivasi kimia bertujuan untuk menempelkan ion-ion aktif pada

karbon, sehingga karbon akan memiliki kemampuan untuk mengikat

molekul-molekul gas dalam udara atau partikel polutan dalam

larutan. Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan aktivator

antara lain adalah hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat,

klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2,

asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4 (Meilita Tryana dan

Tuti Sarma Sinaga, 2003). Selain bahan-bahan kimia di atas,

kaporit/kalsium hipoklorit (Ca(OCl2)2) juga dapat digunakan sebagai

bahan pengaktif (Bin Umaryati, 1995).

c. Struktur Pori Karbon Aktif

Struktur pori pada karbon aktif lebih besar daripada karbon alami.

Hal inilah yang menyebabkan karbon yang teraktivasi mempunyai daya

serap yang lebih baik (Suparno et al., 2012).

Menurut Elohansen Padang dalam Nur Hidayati (2009) struktur

pori pada karbon aktif dibagi menjadi 3 kelas yaitu :

a. Makropori

Memiliki radius efektif lebih dari 50 nm, volumenya antara (0.2

0.5) cm3/g dan luas permukaan berkisar antara (0.5 2) cm2/g.

24
b. Mesopori

Memiliki radius efektif antara (2 50) nm, volumenya antara (0.02

0.1) cm3/g, dan luas permukaan merupakan 5% dari total luas

permukaan karbon aktif.

c. Mikropori

Memiliki radius efektif lebih kecil dari 2 nm, volumenya antara

(0.15 0.5) cm3/g, dan luas permukaan merupakan 95% dari total

luas permukaan karbon aktif.

7. Karbon Batok Kelapa (Coconut Shell Carbon)

Pohon kelapa atau sering disebut pohon nyiur biasanya tumbuh

pada daerah atau kawasan tepi pantai. Buah kelapa terdiri dari kulit luar,

sabut, batok kelapa, kulit daging (testa), daging buah, air kelapa, dan

lembaga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cheremisinoff

(1978), komposisi kimia batok kelapa adalah sebagai berikut: lignin

29,40%, pentosan 27,70%, selulosa 26,60%, air 8,01%, solvent ekstraktif

4,20%, uronat anhidrid 3,50%, abu 0,62%, dan nitrogen 0,11%.

Pada umumnya tempurung atau batok kelapa sering dimanfaatkan

sebagai bahan bakar, baik dalam bentuk batok kering atau arang batok

yang ditunjukkan pada Gambar 4. Disamping digunakan sebagai bahan

pembuatan arang, batok kelapa juga digunakan sebagai arang aktif yang

mempunyai kemampuan mengabsorpsi gas dan uap. Arang aktif dapat juga

digunakan untuk menurunkan kadar besi dalam air sumur. Cara kerja arang

25
aktif dari batok kelapa ini terutama daya afinitas (daya tarik menarik) yang

selektif terhadap substansi tertentu, yang mana ditunjukkan dalam

kemampuannya melakukan dekolorisasi terhadap larutan yang keruh.

Gambar 4. Arang Batok Kelapa

8. Pasir Aktif Pantai Indrayanti

Pantai Indrayanti merupakan salah satu pantai yang terletak di desa

Tepus, kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Sebagian besar pantai yang

terletak di pesisir selatan Gunung kidul memiliki pantai yang berpasir

putih atau dikenal juga dengan jenis pasir kwarsa.

Pasir kwarsa merupakan batuan sedimen yang umumnya disusun

oleh mineral kwarsa, sering berlapis, dari butiran halus hingga kasar.

Kegunaan pasir kwarsa untuk menghilangkan kandungan lumpur atau

tanah dan sedimen pada air minum atau air tanah (Usman Bapa Jenti dan

Indah Nurhayati, 2014).

Pasir kwarsa adalah pasir yang banyak mengandung mineral

kwarsa silikon dan oksigen, dua elemen kimia yang paling sering terdapat

dalam lapisan kerak bumi, berpadu sebagai silikon dioksida untuk

26
membentuk mineral kwarsa. Kwarsa adalah mineral yang paling banyak di

kerak bumi. Silika atau dikenal dengan silikon dioksida (SiO2) merupakan

senyawa yang banyak ditemui dalam bahan galian yang disebut pasir putih

atau pasir kwarsa, terdiri atas kristal-kristal silika (SiO2) dan mengandung

senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Kwarsa

memiliki formula kimia SiO2, dengan bentuk kristal tetrahidral dan tingkat

kekerasan mencapai 5.5 - 6.5 (skala Moh). Kwarsa sangat tahan terhadap

pengaruh cuaca dan oleh karena itu terhimpun sebagai batuan pasir dan

batuan dedrital lainnya. Kebanyakan pasir merupakan pecahan-pecahan

kwarsa hasil pelapukan oleh cuaca (Anis Rahmawati, 2009).

Menurut komposisinya, kwarsa cenderung bersih, dengan hanya

sedikit elemen lain seperti alumunium, sodium, potassium dan lithium.

Kwarsa ditemukan sebagai kristal besar yang seringkali berwarna bagus

akibat dari campuran-campurannya. Pasir kwarsa adalah pasir lepas

berwarna bening sedikit kekuningan dengan bentuk rata-rata bersudut

tanggung. Kwarsa memiliki formula kimia SiO2 dan ketahanan terhadap

cuaca yang tinggi. Pasir kwarsa digunakan sebagai bahan filter terutama

untuk proses penyaringan oleh rongga-rongga antar butiran-butirannya

(Suparno et al., 2012).

Media yang digunakan dalam filtrasi adalah pasir yang mempunyai

pori-pori (ruang antar pasir) yang cukup kecil. Dengan demikian partikel-

partikel yang mempunyai ukuran butir lebih besar dari ruang antar butir

pasir media dapat tertahan. Pasir yang sangat halus akan lebih cepat

27
mampat (clogging), tetapi jika terlalu besar maka suspensi atau partikel

halus akan lolos. Ukuran yang sering dipergunakan dalam proses filtrasi

yaitu antara (0,2 - 0,4) mm pada saringan pasir lambat, dan (0,36 - 0,6)

mm pada saringan pasir cepat. Pasir yang dipergunakan dalam filter harus

bebas dari lumpur, kapur dan unsur-unsur organik (Tri Joko, 2010). Dalam

penelitian ini digunakan pasir dengan ukuran 30 mesh (0,595 mm) untuk

menghindari terjadinya kemampatan (clogging) pada pipa filtrasi.

Proses aktivasi fisika pada pasir kwarsa bertujuan untuk membuka

dan memperbesar pori-pori pasir sehingga kemampuan absorbsi

meningkat. Dalam penelitian ini, pasir dipanaskan pada suhu 2000C

selama 60 menit, perlakuan ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Ega Tri Rimawati (2013). Suhu yang digunakan untuk

proses aktivasi fisika tidak terlalu tinggi untuk menghindari kerusakan

pada struktur pasir aktif. Gambar 5 merupakan pasir pantai Indrayanti yang

telah mengalami proses aktivasi secara fisika.

Gambar 5. Pasir Aktif Pantai Indrayanti, Desa Tepus, Gunung Kidul,


Yogyakarta

28
9. Kerikil Aktif Kali Krasak

Kali Krasak adalah sungai yang mengalir dari gunung Merapi ke

arah barat daya hingga bermuara di kali Progo. Kali ini juga menjadi garis

batas wilayah administrasi antara provinsi Jawa Tengah dan DIY. Pada

tahun 2010, sungai Krasak menjadi salah satu sungai yang terkena erupsi

gunung Merapi. Pasir dan batuan vulkanik sisa erupsi gunung Merapi

memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena kualitasnya yang bagus.

Kandungan silika pada batu kerikil tersebut dapat dijadikan sebagai bahan

absorben khususnya untuk penjernihan air.

Batu kerikil pada dasarnya merupakan batu besar, tetapi hancur

karena reaksi alam atau biasa yang disebut pelapukan yang terjadi karena

perubahan suhu alam yang mendadak atau lumut-lumutan. Kerikil adalah

agregat kasar yang mengandung mineral seperti batu, karena pengerasan

dan banyaknya kwarsa. Warnanya kuning hingga abu-abu, dan sifatnya

tahan terhadap cuaca, serta keras (Usman Bapa Jenti dan Indah Nurhayati,

2014).

Pada penelitian ini digunakan kerikil dengan ukuran 6 mesh (3,36

mm). Kerikil tersebut diaktivasi secara fisika dengan tujuan untuk

meningkatkan daya absorbsinya karena pori-pori pada permukaan kerikil

menjadi terbuka dan lebih besar. Proses aktivasi dilakukan dengan

pemanasan pada suhu 2000C selama 60 menit. Suhu yang digunakan untuk

proses aktivasi fisika tidak terlalu tinggu, karena untuk menghindari

29
kerusakan pada struktur kerikil aktif. Kerikil kali Krasak yang telah

mengalami proses aktivasi ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kerikil Aktif Kali Krasak, Sleman, Yogyakarta

10. Sistem FAS (Filtrasi, Absorbsi, dan Sedimentasi)

Sistem FAS merupakan rangkaian pipa yang digunakan untuk

proses penyaringan. Pipa yang digunakan adalah jenis pipa PVC. Menurut

Tri Joko (2010), kekakuan pipa PVC (polyvinyl chloride) adalah tiga kali

kekakuan pipa polythene biasa. Pipa PVC lebih kuat dan dapat menahan

tekanan lebih tinggi. Sambungan lebih mudah dibuat dengan cara dilas.

Pipa PVC tahan terhadap asam organik, alkali dan garam, senyawa

organik, serta korosi. Pipa ini banyak digunakan untuk penyediaan air

dingin di dalam maupun di luar sistem penyediaan air minum, sistem

pembuangan, dan drainase bawah tanah.

Pada penelitian ini proses penyaringan dilakukan dengan

menggunakan rangkaian sistem FAS (Gambar 7) yang terdiri dari lima

buah pipa yang masing-masing diberi kran. Pada lubang sambungan antar

pipa serta lubang kran, dipasang kain saringan agar padatan yang berasal

dari absorbent tidak terlarut ke dalam air hasil proses penyaringan. Proses

30
penyaringan dilakukan dengan cara memasukkan absorbent ke dalam pipa

lalu dilanjutkan dengan bahan absorbat yang berbentuk cair kedalamnya.

1 2 3 4 5

Gambar 7. Desain Sistem FAS

Pada sistem FAS absorbat yang mengalir ke semua pipa

mengalami proses filtrasi dan absorbsi. Proses filtrasi yaitu proses

penyaringan partikel secara fisik, kimia, dan biologi untuk memisahkan

atau menyaring partikel yang tidak terendapkan di sedimentasi melalui

media berpori. Diharapkan dengan penyaringan, kekeruhan akan dapat

dihilangkan secara total. Filtrasi diperlukan untuk menyempurnakan

penurunan kadar kontaminan seperti bakteri, warna, rasa, bau, dan besi

(Fe), sehingga diperoleh air bersih yang memenuhi standar kualitas air

minum (Tri Joko, 2010).

Proses absorbsi atau proses penyerapan adalah suatu proses

masuknya suatu molekul gas atau larutan yang disebut absorbat (zat yang

terserap) ke dalam suatu zat yang disebut absorbent (zat penyerap).

Menurut Yulia (2013), zat padat dapat digunakan sebagai absorbent

apabila mempunyai pori-pori yang berongga dan struktur kimiawinya

memiliki kemungkinan untuk beinteraksi dengan absorbat. Partikel-


31
partikel pengotor masuk ke dalam rongga melalui pori-pori lalu sebagian

terjebak di dalamnya. Proses absorbsi hanya bisa terjadi ketika absorbent

mempunyai rongga. Apabila tidak terdapat rongga maka proses absorbsi

tidak akan terjadi. Semakin besar pori atau rongga pada absorbent maka

daya serap pada partikelnya akan semakin besar. Proses absorbsi sering

terjadi secara simultan dengan proses adsorpsi yakni proses melekatnya

partikel-partikel pengotor pada dinding rongga karena terjadinya ikatan

kimia antara partikel pengotor dengan dinding rongga.

Perbedaan antara proses absorbsi dengan proses adsorpsi yaitu,

adsorpsi adalah proses jerapan yang artinya partikel menjerap atau

menempel pada permukaan partikel lain. Sedangkan absorbsi adalah

proses serapan, artinya partikel terserap masuk ke dalam rongga pori-pori.

Jerapan atau adsorpsi terjadi pada sistem yang tak berpori, sedangkan

serapan atau absorbsi terjadi pada sistem yang berpori (Dorfner dan

Hartomo, 1995).

Pada proses absorbsi terjadi gaya fisik seperti gaya Van der Walls,

dimana ketika gaya tarik menarik molekul antara larutan dan pori-pori

media lebih besar daripada gaya tarik substansi terlarut dan larutan, maka

substansi terlarut akan diserap oleh pori-pori media. Selain itu juga terjadi

gaya coulomb, yaitu gaya yang terjadi akibat interaksi antar partikel-

partikel bermuatan.

Absorbat yang dialirkan pada sistem FAS ketika melewati pipa ke

2 dan ke 4 mengalami proses sedimentasi. Menurut Tri Joko (2010),

32
proses sedimentasi secara umum diartikan sebagai proses pengendapan,

dimana akibat gaya gravitasi partikel yang mempunyai massa jenis lebih

besar dari massa jenis air akan mengendap ke bawah dan yang lebih kecil

massa jenisnya akan mengapung. Kecepatan pengendapan partikel akan

bertambah sesuai dengan pertambahan ukuran partikel dan massa jenisnya.

Prinsip sedimentasi adalah pemisahan bagian padat dengan menggunakan

gaya gravitasi sehingga bagian yang padat berada di dasar pengendapan

sedangkan air murni berada di atas.

Desain dari sistem FAS ini juga menggabungkan antara sistem

aliran down flow (arah aliran dari atas ke bawah) dan up flow (arah aliran

dari bawah ke atas). Kedua sistem aliran tersebut mempunyai kelebihan

dan kekurangan. Menurut Sri Widyastuti (2011), kriteria yang

membedakan antara sistem up flow dan down flow diantaranya adalah :

a. Perawatan sistem filtrasi up flow lebih mudah daripada sistem filtrasi

down flow, karena pada metode up flow pencucian media penyaring dapat

dilakukan dengan cara mengalirkan arah aliran secara berkebalikan (back

wash), sehingga air hasil saringan yang berada di atas lapisan media

penyaring berfungsi sebagai air pencuci. Sedangkan pada metode down

flow pencucian harus dilakukan secara manual yaitu dengan

mengeluarkan atau mengeruk media penyaringnya, sehingga

membutuhkan tenaga tambahan.

33
b. Sistem filtrasi up flow memiliki tekanan yang lambat dibandingkan

dengan down flow, dimana metode up flow air didistribusikan ke dalam

alat penyaringan dengan arah aliran dari bawah ke atas, sedangkan

metode down flow air didistribusikan ke dalam alat penyaringan dengan

arah aliran dari atas ke bawah. Sehingga hal tersebut berpengaruh

terhadap kecepatan aliran air.

c. Pada metode down flow apabila air baku mempunyai kekeruhan yang

tinggi, maka beban filter menjadi lebih besar, sehingga sering terjadi

kebuntuan, akibatnya waktu pencucian filter menjadi lebih pendek.

11. Sistem Transmisi Cahaya

Sistem transmisi cahaya biasa digunakan dalam bidang teknologi

hamburan cahaya untuk mengetahui kondisi suatu larutan. Dengan prinsip

cahaya diteruskan ke suatu larutan yang kemudian ditangkap oleh detektor.

Cahaya yang datang dilewatkan pada sebuah lubang kecil dipandu ke

wadah (container) yang berisi cairan. Sebagian cahaya akan diserap,

sebagian lagi akan dihamburkan dan sebagian lagi akan diteruskan

(ditransmisikan). Intensitas cahaya transmisi tersebut diamati dengan

menggunakan detektor cahaya (luxmeter). Dari detektor ini dapat diukur

intensitas cahaya yang melewati larutan tersebut (Yulia, 2013).

Air yang keruh akan menyebabkan intensitas cahaya yang masuk

kedalamnya menjadi berkurang. Cahaya yang melewati air yang keruh

akan mengalami pengurangan intensitas cahaya secara mencolok. Hal

34
tersebut disebabkan cahaya yang melewati air keruh mengalami

penyerapan atau pemantulan, sehingga hanya sedikit yang diteruskan

(ditransmisikan). Perubahan cahaya tersebut dapat dideteksi oleh alat yang

peka terhadap perubahan intensitas cahaya seperti luxmeter. Luxmeter

memanfaatkan sebuah sensor yang sensitif terhadap cahaya untuk

menangkap cahaya yang tersebar, kemudian mengubah cahaya tersebut

menjadi electrical current (arus listrik). Ada dua macam bentuk luxmeter,

yaitu luxmeter digital dan luxmeter analog. Luxmeter digital yang

ditunjukkan pada Gambar 8 mempunyai kelebihan diantaranya yaitu

mudah dibaca hasil pengukurannya dan memiliki ketelitian yang lebih

baik.

Gambar 8. Luxmeter

Sistem transmisi cahaya pada penelitian ini digunakan untuk

mengetahui efisiensi penyerapan absorbent pada proses filtrasi yang

dilihat dari tingkat kejernihannya. Sistem transmisi cahaya dilakukan

terlebih dahulu pada air dalam kemasan dengan tujuan untuk mengetahui

nilai transmisi intensitas cahaya maksimal, kemudian dilakukan secara

35
bergantian dan berulang pada air sampel yang belum diberi perlakuan, dan

air yang telah diberi perlakuan. Setelah cahaya dilewatkan pada wadah

kaca yang berisi air, selanjutnya intensitas cahaya yang ditransmisikan

akan terukur oleh luxmeter. Hasil yang diperoleh lalu dibandingkan,

sehingga diperoleh efisiensi transmisi cahaya, yang mana efisiensi

transmisi cahaya tersebut menunjukkan efisiensi penyerapan absorbent

yang digunakan terhadap partikel pengotor terlarut. Rangkaian dari alat

pengukuran intensitas transmisi cahaya ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Rangkaian Transmisi Cahaya

Keterangan gambar :

1. Sumber cahaya (lampu pijar 60 watt)

2. Sumber tegangan PLN

3. Hole (tempat berjalannya cahaya dari sumber ke sampel)

4. Wadah sampel

5. Hole (tempat berjalannya hamburan cahaya ke detektor)

6. Detektor intensitas cahaya (luxmeter)

Sumber cahaya pada sistem transmisi cahaya dapat menggunakan

laser ataupun sumber cahaya konvensional. Untuk laser sudah merupakan


36
sumber cahaya yang bersifat monokromatis dengan lebar pita spektrum

yang lebih sempit sehingga mudah dikontrol. Menurut Mas Aji Kurniawan

(2015), untuk sumber cahaya yang berupa sinar polikromatis harus

diperlakukan secara khusus karena harus difokuskan terlebih dahulu

dengan menggunakan pinhole. Pada penelitian ini digunakan cahaya

polikromatis yang berasal dari lampu pijar 60 watt dan diarahkan lurus

menggunakan dua buah pinhole. Penggunaan pinhole sendiri berfungsi

untuk mengkolimasikan cahaya.

B. Kerangka Berpikir

Kondisi air di groundtank LPPMP UNY yang keruh, dan berwarna

kuning kemerahan menunjukkan kualitasnya yang rendah dan dimungkinkan

mengandung besi yang cukup tinggi. Selain itu penyimpanan groundtank

yang dirasa kurang baik juga menambah pencemaran air dari segi

mikrobiologisnya. Apabila sumber air minum yang dikonsumsi manusia

berasal dari air bersih yang kualitasnya buruk, maka akan sangat merugikan

baik dari segi kesehatan maupun dari segi materiil.

Sebagai usaha untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya

penurunan kualitas air yang terjadi pada air groundtank yang bersumber dari

sumur bor LPPMP UNY, maka cara yang diperlukan yaitu dengan membuat

suatu sistem pengolahan air. Dalam hal ini, peneliti membuat alat pengolahan

air dengan sistem FAS (Filtrasi, Absorbsi dan Sedimentasi) yang ditunjukkan

pada Gambar 7. Selain itu juga digunakan absorbent jenis karbon aktif batok

kelapa, pasir aktif pantai Indrayanti dan kerikil aktif kali Krasak. Absorbent

37
yang digunakan diaktivasi secara fisika untuk meningkatkan kemampuan

absorbsinya dengan cara dipanaskan pada oven listrik. Proses pengolahan air

dilakukan dengan menggunakan variasi volume dari masing-masing jenis

absorbent serta variasi komposisi absorbent yang diisikan pada rangkaian

sistem FAS yang telah dibuat.

Air dari hasil proses penyaringan yang telah terkumpul, kemudian

dilakukan pengujian dengan menggunakan pH meter, TDS meter, rangkaian

alat transmisi cahaya, spektrofotometri UV-Vis serta metode MPN untuk

mengetahui kualitas airnya. Diharapkan air hasil proses FAS ini sesuai

dengan standar kualitas air minum yang berlaku, sehingga dapat dihasilkan

air minum yang memenuhi syarat kesehatan.

38

Anda mungkin juga menyukai