Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Testis merupakan sepasang struktur organ yang berbentuk oval dengan ukuran
4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20g. Terletak didalam scrotum dengan axis
panjang pada sumbu vertikal dan biasanya testis kiri terletak lebih rendah dibanding
kanan. Testis diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3 anterior kecuali pada sisi
dorsal dimana terdapat epididymis dan pedikel vaskuler. Sedangkan epididymis
merupakan organ yang berbentuk kurva yang terletak disekeliling bagian dorsal
dari testis. Suplai darah arteri pada testis dan epididymis berasal dari arteri renalis.1

Gambar 1.1 Struktur Testis

1
Pada perkembangannya, testis mengalami desensus dari posisi asalnya di
dekat ginjal menuju scrotum. Terdapat beberapa mekanisme yang menjelaskan
mengenai proses ini antara lain adanya tarikan gubernakulum dan tekanan
intraabdominal. Faktor endokrine dan axis hypothalamus-pituitary-testis juga
berperan dalam proses desensus testis. Antara minggu ke12 dan 17 kehamilan,
testis mengalami migrasi transabdominal menuju lokasi didekat cincin inguinal
interna.1,2

Gambar 1.2 Embriologi Testis

2
Secara histologis, testis terdiri atas 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas
tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonia dan
sel Sertoli, sedang di antara tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel
spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel-sel spermatozoa. Sel-sel
Sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma, sedangkan sel-sel Leydig
atau disebut sel-sel interstisial testis berfungsi dalam menghasilkan hormone
testosterone.2

Gambar 1.3 Histologi Testis

Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis disimpan dan


mengalami pematangan/maturasi di epididimis. Setelah matur (dewasa) sel-sel
spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas deferens
disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel itu setelah bercampur dengan
cairan-cairan dari epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis, serta cairan
prostate, membentuk cairan semen atau mani.2
Testis mendapat darah dari beberapa cabang arteri, yaitu arteri spermatika
interna yang merupakan cabang dari aorta, arteri deferensialis cabang dari arteri
vesikalis inferior, dan arteri kremasterika yang merupakan cabang arteri
epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul meninggalkan
testis berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa
orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.3

3
Skrotum adalah dua lobus kantong yang membungkus testis. Skrotum
berfungsi untuk melindungi dan menyokong testis, mengatur temperatur testis dan
epididimis, guna keberlangsungan fungsi testis. Testis berfungsi sebagai glandula
reproduksi dari seorang pria, di mana di dalam tubulus seminiferus testis, terdapat
sel-sel spermatogenia dan sel Sertoli, sedang diantara tubulus seminiferi terdapat
sel-sel Leyding.2
Sel-sel spermatogenia pada proses spermatogenesis menjadi sel
spermatozoa. Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makanan pada bakal sperma,
sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormon testosteron.1,2
Jika ada kelainan di tempat tersebut, maka akan sangat mungkin terjadi
gangguan dalam proses reproduksi pria, yang akan menimbulkan ketidaknyamanan
sepanjang hidupnya. Bila keadaan ini tidak ditangani akan menimbulkan gangguan-
gangguan seperti infertilitas, disfungsi ereksi, bahkan kematian jaringan testis yang
mengakibatkan testis tersebut harus dibuang untuk selamanya.3
Kelainan pada skrotum dan isinya sangat beragam, yang bisa ditemukan
saat lahir (akibat kelainan kongenital) maupun didapat (timbul setelah anak lahir).
Di antaranya yang sering terjadi ialah hidrokel, torsio testis, orchitis, tumor testis,
dan undesensus testis, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini. Hal-hal
tersebut harus dapat dikenali segera dalam praktik sehari-hari sehingga efek yang
ditimbulkan nantinya dapat dengan cepat dicegah.3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Sistem reproduksi pria terdiri dari struktur luar dan dalam. Struktur luar terdiri dari
penis, skrotum, dan testis. Sedangkan struktur dalam terdiri dari vas deferens,
urethra, kelenjar prostat, dan vesicula seminalis.5

Gambar 1.1 Sistem reproduksi pria

Skrotum adalah dua lobus kantong yang membungkus testis. Skrotum


terletak di antara penis dan anus serta di depan perineum. Kulitnya tipis dan
berpigmentasi. Kulit di daerah skrotum berbulu halus dan jarang, serta kurang
mengandung lemak di bawah jaringan kulit. Pada fase embrional, skrotum
mempunyai original jaringan yang sama dengan labia mayor pada wanita. Skrotum
tersusun dari lapisan terluar yang tersusun dengan serabut otot polos. Skrotum
berfungsi untuk melindungi dan menyokong testis, mengatur temperatur testis dan
epididimis supaya temperatur dalam testis 4-7oC di bawah temperatur tubuh. Pada
skrotum terdapat otot-otot, yaitu tunica dartos dan musculus cremaster.5

5
Tunica dartos
Tunica dartos adalah otot yang berada pada skrotum bagian bawah. Tunica
dartos membagi skrotum menjadi 2 bagian. Tunica dartos menempel pada lapisan
tunica vaginalis.6
Musculus cremaster
Musculus cremaster terletak pada leher skrotum, dan menempel pada lapisan
tunica vaginalis. Fungsi dari musculus cremaster adalah untuk mengangkat dan
menurunkan skrotum pada saat proses termoregulasi testis. Pada lingkungan yang
dingin, musculus cremaster mengangkat testis mendekati rongga perut untuk
menanggulangi kehilangan panas pada testis, sedangkan jika udara lingkungan
panas, maka musculus cremaster mengendur sehingga kondisi testis tetap stabil.6

Gambar 2.2 Lapisan pada skrotum

6
Ukuran testis pada orang dewasa adalah 432,5 cm dengan volume 15-25
ml berbentuk ovoid. Testis normal dibungkus oleh tunica albuginea. Pada
permukaan anterior dan lateral, testis dan epididimis dikelilingi oleh tunica
vaginalis yang terdiri atas 2 lapis, yaitu lapisan viseralis yang langsung menempul
ke testis dan di sebelah luarnya adalah lapisan parietalis yang menempel ke
musculus dartos pada dinding skrotum.1

Gambar 2.3 Testis

Secara histopatologis, testis terdiri atas kurang lebih 250 lobuli dan tiap
lobulus terdiri atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel
spermatogenia dan sel Sertoli, sedang diantara tubulus seminiferi terdapat sel-sel
Leydig. Sel-sel spermatogenia pada proses spermatogenesis menjadi sel
spermatozoa. Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makanan pada bakal sperma,
sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormon testosteron.5

7
Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis disimpan dan
mengalami pematangan atau maturasi di epididimis. Setelah matur (dewasa), sel-
sel spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas deferens
disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel itu setelah dicampur dengan
cairan-cairan dari epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, serta cairan prostat
menbentuk cairan semen atau mani.4

Gambar 2.4 Testis, Epidermis, dan Ductus deferens

Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu :


Arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta
Arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior
Arteri kremasterika yang merupakan cabang arteri epigastrika.

8
Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus
Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal
sebagai verikokel.6

Gambar 2.5 Pembuluh darah testis

2.2 Kelainan Skrotum Pada Anak


2.2.1 Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan
viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam
rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan
reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.4
Etiologi
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena:7
1. belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan
peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel komunikans).

9
2. belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi
cairan hidrokel.

Klasifikasi
1. Hidrokel Kongenital:8
terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga abdomen sehingga cairan
dari rongga abdomen keluar dan terkumpul di antara lapisan parietal dan lapisan
viseral tunika vaginalis. Hal ini hampir selalu disertai dengan hernia inguinalis
indirek.
2. Hidrokel non komunikans :
terjadi karena adanya sejumlah cairan yang terjebak di dalam tunika vaginalis
sesaat sebelum menutupnya prosesus vaginalis

Gambaran Klinis
1. Adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.
2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan
konsistensi kistik dan pada pemeriksaan transiluminasi menunjukkan adanya
transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau kulit skrotum yang sangat tebal
kadang-kadang sulit melakukan pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu dengan
pemeriksaan ultrasonografi.8

Gambar 2.6 Pemeriksaan transiluminasi pada hidrokel

10
3. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan beberapa
macam hidrokel yang berhubungan dengan metode operasi yang akan dilakukan
pada saat melakukan koreksi hidrokel, yaitu:8
a. Hidrokel testis
Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis tidak dapat diraba.
Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang hari.

Gambar 2.7 Hidrokel testis


b. Hidrokel funikulus
Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah kranial dari testis,
sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada di luar kantong hidrokel. Pada
anamnesis kantong hidrokel besarnya tetap sepanjang hari.
c. Hidrokel komunikans
Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga peritoneum sehingga
prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum. Pada anamnesis, kantong
hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah besar pada saat anak
menangis. Pada palpasi, kantong hidrokel terpisah dari testis dan dapat dimasukkan
ke dalam rongga abdomen.

11
Gambar 2.8 Jenis hidrokel berdasarkan klinis

Terapi
Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri,
tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar perlu dipikirkan untuk
dilakukan koreksi. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan
aspirasi dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka
kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.9

Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah:9


1. hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah
2. indikasi kosmetik
3. hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari
Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali
hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada saat operasi hidrokel,
sekaligus dilakukan herniorafi. Pada hidrokel testis dewasa, dilakukan pendekatan
skrotal dengan melakukan eksisi dan marsupialisasi kantong hidrokel sesuai cara
Winkelman atau plikasi kantong hidrokel sesuai cara Lord. Pada hidrokel funikulus
dilakukan ekstirpasi hidrokel secara in toto.7

12
Penyulit
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan
hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis sehingga
menimbulkan atrofi testis.10

Gambaran usg

Gambar 2.9 Hidrokel testis

13
Gambar 2.10 Hidrokel testis

Gambar 2.11 Hidrokel testis

14
Gambar 2.12 Hidrokel testis
Gambaran CT-Scan

Gambar 2.13 Hidrokel testis

15
Gambar 2.14 Hidrokel testis

Gambar 2.15 Hidrokel testis

2.2.2 Torsio Testis


Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir
sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan vaskulariasi dari testis dan struktur
jaringan di dalam skrotum. Keadaan ini diderita oleh 1 di antara 4000 pria yang
berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak diderita oleh anak pada masa
pubertas (12-20 tahun). Di samping itu, tidak jarang janin yang masih berada di

16
dalam uterus atau bayi baru lahir menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis
sehingga mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral ataupun bilateral.7

Faktor predisposisi11
1. Kriptorchkismus
2. Hidrokel
3. Gubernakulum tidak terbentuk
4. Spasme kremaster
5. Posisi transversal pada skrotum
6. Mesorchium panjang dan sempit
7. Kecenderungan mesorchium melekat pada satu pole testis
8. Kurang menyatunya dinding skrotum dengan testis
9. Bell clapper deformity

Patofisiologi
Torsio testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari funikulus
spermatikus atau selaput yang membungkus testis. Insersi abnormal yang tinggi
dari tunika vaginalis pada struktur funikulus akan mengakibatkan testis dapat
bergerak, sehingga testis kurang melekat pada tunika vaginalis viseralis. Testis
yang demikian mudah memuntir dan memutar funikulus spermatikus.12
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati
dan menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami
torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan
pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak
(seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang
terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum.12
Jenis-jenis torsio testis:9
1. Torsio testis ekstravaginalis (testis, epididimis, dan tunika vaginalis terpuntir pada
funikulus spermatikus) biasanya terjadi pada janin atau neonatus
2. Torsio testis intravaginalis, biasanya terjadi pada lelaki dewasa muda :

17
a. Testis dan epididimis terpuntir pada funikulus spermatikus (Bell Clapper)
b. Testis terpuntir pada mesorchium terhadap epididimis

Gambar 2.13 (A) torsio testis ekstravaginal (B) torsio testis intravaginal

Torsio testis intravaginalis lebih sering dari pada ekstravaginalis, dengan


arah putaran anteromedial (m. cremaster melekat pada bagian lateral testis). Pada
awalnya terjadi bendungan vena kemudian 3 4 jam terjadi penekanan/bendungan
arteri hingga terjadi nekrosis testis.13
Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada
muskulus dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis,
epididimis, dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk
terpuntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpuntirnya testis pada keadaan ini
disebut torsio testis ekstravaginal.14
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan
sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian
dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini tunika
mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke
dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan
mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus
spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai anomali bellclapper. Keadaan ini akan
memudahkan testis mengalami torsio intravaginal.14
Arah dari torsi testis (dilihat dari kaudal) yaitu:14
Testis kanan : arah puntiran mengikuti atau searah dengan jarum jam

18
Testis kiri : arah puntiran berlawanan dengan arah jarum jam

Diagnosis
Anamnesis:13
1. Nyeri hebat tiba-tiba pada skrotum, nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau
perut sebelah bawah. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel, atau tidak
mau menyusui.
2. Testis yang bersangkutan dirasakan membesar.
3. Terjadi retraksi dari testis ke arah kranial, karena funikulus spermatikus terpuntir
jadi memendek
4. Mual dan muntah, kadang demam

Pemeriksaan Fisik:14
1. Testis/skrotum bengkak/hiperemis
2. Demings sign (testis letak tinggi) dibandingkan sisi kontralateral
3. Angells sign (testis posisi melintang) dibandingkan sisi kontralateral
4. Testis umumnya sangat nyeri tekan dan elevasi tidak menghilangkan nyeri seperti
sering terjadi pada epididimis akut (Prehns sign, yaitu nyeri tetap/meningkat saat
mengangkat testis)
5. Kadang-kadang dapat diraba adanya lilitan/simpul atau penebalan funikulus
spermatikus.
6. Bila telah lama berlangsung maka testis menyatu dengan epididimis dan sukar
dipisahkan, keduanya membengkak, timbul effusion, hiperemia, edema kulit dan
subkutan

19
Gambar 2.14 Torsio testis

Gambar 2.15 Torsio testis

Pemeriksaan penunjang:15
1. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine.
2. Pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis
yang sudah lama dan telah mengalami peradangan steril.
3. Doppler dan sintigrafi testis (akurasi 90 100 %) untuk menilai adanya aliran darah
ke testis:

20
Torsio : avaskuler
Tumor : hipervaskuler
Trauma : vaskularisasi berkurang

Diagnosis banding16
1. Epididimitis akut
Disebabkan oleh sejumlah organisme. Pada pria diatas usia 35 tahun, E. coli
merupakan penyebab terbanyak epididimitis. Pada pria di bawah usia 35 tahun,
Chlamydia trachomatis merupakan organisme terlazim pada penyebab penyakit ini.
Gambaran klinisnya yaitu pada stadium akut mungkin ada nyeri, pembengkakan
dan demam ringan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan skrotum membesar, dapat
ditemukan nyeri tekan pada funikulus spermatikus dan pada palpasi menunjukan
epididimis yang nyeri dan menebal. Elevasi ringan scrotum cenderung membuat
epididimistis kurang nyeri, tetapi perasat ini mengeksaserbasi nyeri akibat torsi
testis.
2. Orchitis
3. Hidrokel terinfeksi/trauma
4. Trauma testis
5. Hernia inguinalis inkarserasi/strangulasi
Gejala berupa benjolan di daerah inguinal yang dapat mencapai scrotum.
Benjolan dapat timbul pada saat berdiri atau mengejan. Terasa nyeri bila menjadi
inkarserata.
6. Tumor testis
7. Oedem skrotum
Dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya penyumbatan
saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak
diketahui sebabnya.
8. Varikokel
Adalah pelebaran abnormal (varises) dari pleksus pampiniformis yang
mengalirkan darah dari testis. Lebih sering mengenai testis kiri. Biasanya tidak ada
gejala yang menyertai varikokel, namun beberapa pria terdapat perasaan berat pada

21
sisi yang terkena. Pada pemeriksaan fisik terdapat massa yang teraba sebagai
sekantung cacing, massa ini timbul pada posisi tegak tetapi dapat mengosongkan
isinya, dan tidak teraba pada sisi berbaring. Perbaikan verikokel yaitu dengan cara
pembedahan.
Penatalaksanaan
Tindakan untuk mengatasi torsio testis terdiri dari 2 cara yaitu: detorsi atau
reposisi manual dan eksplorasi atau dengan cara pembedahan.10
1. Detorsi manual dapat dilakukan pada kasus-kasus yang dini (1 2 jam) atau
merupakan tindakan awal bagi pasien sebelum dibawa ke rumah sakit. Tindakan
ini dilakukan dengan mengingat arah torsi pada umumnya. Reduksi yang berhasil
akan memberikan pemulihan segera untuk aliran darah ke testis. Tindakan ini tidak
boleh dianggap sebagai pengobatan atau terapi definitif dan eksplorasi gawat
darurat harus tetap dilakukan pada kesempatan awal.10
2. Reduksi manipulatif tidak dapat menjamin penyembuhan sempurna dan masih ada
torsi dengan tingkat tertentu, meskipun pemasokan darah telah dipulihkan. Selain
itu abnormalitas semula yang menyebabkan torsi masih tetap ada dan mungkin
melibatkan testis pada sisi yang lain. Oleh karena itu fiksasi operatif kedua testis
diharuskan.10
3. Eksplorasi mutlak dilakukan pada setiap kasus yang diduga torsi. Testis harus
dipaparkan tanpa ditunda-tunda lagi dengan membuat irisan ke dalam skrotum. Bila
ternyata benar suatu torsi segera lakukan detorsi lalu elevasi beberapa saat,
kemudian diamati apakah ada perubahan warna bila tidak ada tanda-tanda viabilitas
lakukan orchidektomi, namun apabila testis masih baik lakukan orchidopeksi pada
testis yang bersangkutan dan testis kontralateral.12

Komplikasi
Terpuntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah
testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada akhirnya
testis akan mengalami nekrosis.10

22
Prognosis12
1. Umumnya viabel dalam 4 6 jam setelah torsio
2. Maksimum survival 70 90 % 5 12 jam
3. Mungkin masih baik 12 24 jam
4. Hasil meragukan bila lebih dari 24 jam
5. Dianjurkan orkidektomi bila lebih dari 4 jam
6. Tergantung jumlah putaran dan lamanya torsio

Gambaran USG

Gambar 2.16 Torsio testis

23
Gambar 2.17 Torsio testis
2.2.3 Orchitis
Definisi
Orchitis adalah suatu peradangan pada salah satu atau kedua testis (buah
zakar).7

Etiologi
Orchitis bisa disebabkan oleh sejumlah bakteri dan virus. Virus yang paling
sering menyebabkan orchitis adalah virus gondongan (mumps). Hampir 15-25%
pria yang menderita gondongan setelah masa pubertasnya akan menderita orchitis.
Orchitis juga ditemukan pada 2-20% pria yang menderita bruselosis. Orchitis
sering dihubungkan dengan infeksi prostat atau epididimis, serta merupakan
manifestasi dari penyakit menular seksual (misalnya gonore atau klamidia).7

24
Faktor risiko7
a. Immunisasi gondongan yang tidak adekuat
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Kelainan saluran kemih

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di selangkangan dan pembengkakan
testis yang terkena.7
Gejala:7
a. Pembengkakan skrotum
b. Testis yang terkena terasa berat, membengkak dan teraba lunak
c. Pembengkakan selangkangan pada sisi testis yang terkena
d. Demam
e. Dari penis keluar nanah
f. Nyeri ketika berkemih (disuria)
g. Nyeri selangkangan
h. Nyeri testis, bisa terjadi ketika buang air besar atau mengedan

Gambar 2.18 Orchitis


Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan adalah:9
a. Analisa air kemih
b. Pembiakan air kemih

25
c. Pemeriksaan darah lengkap
d. Pemeriksaan kimia darah.

Penatalaksanaan7
Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik sedikitnya selama 7-14 hari.
Selain itu juga diberikan obat pereda nyeri dan anti peradangan.
Jika penyebabnya adalah virus, hanya diberikan obat pereda nyeri. Penderita
sebaiknya menjalani tirah baring, skrotumnya diangkat dan dikompres dengan air
es.

Pencegahan
Immunisasi gondongan bisa mencegah terjadinya orchitis akibat
gondongan.8

Gambaran USG

Gambar 2.19 Orchitis akut

26
Gambar 2.20 Orchitis

Gambaran CT-Scan

Gambar 2.21 Orchitis

27
2.2.4 Tumor Testis
Definisi
Tumor testis adalah pertumbuhan sel-sel ganas di dalam testis (buah zakar),
yang bisa menyebabkan testis membesar atau menyebabkan adanya benjolan di
dalam skrotum (kantung zakar). Tumor testis merupakan keganasan yang paling
sering ditemukan pada pria berusia 15-40 tahun.10

Penyebab
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya tumor testis:10
a. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke dalam skrotum)
b. Perkembangan testis yang abnormal
c. Sindroma Klinefelter (suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan
rendahnya kadar hormon pria, kemandulan, pembesaran payudara/ginekomastia
dan testis yang kecil).
d. Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari tumor testis tetapi masih
dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia tertentu dan infeksi oleh HIV.
Jika di dalam keluarga ada riwayat tumor testis, maka risikonya akan meningkat.

Klasifikasi
Tumor testis dikelompokkan menjadi:10
1. Seminoma : 30-40% dari semua jenis tumor testis. Biasanya ditemukan pada pria
berusia 30-40 tahun dan terbatas pada testis
2. Non-seminoma : merupakan 60% dari semua jenis tumor testis.Dibagi lagi menjadi
beberapa subkategori:
a. Karsinoma embrional : sekitar 20% dari kanker testis, terjadi pada usia 20-30 tahun
dan sangat ganas. Pertumbuhannya sangat cepat dan menyebar ke paru-paru dan
hati.
b. Tumor yolk sac : sekitar 60% dari semua jenis kanker testis pada anak laki-laki.
c. Teratoma : sekitar 7% dari kanker testis pada pria dewasa dan 40% pada anak laki-
laki.

28
d. Koriokarsinoma.
e. Tumor sel stroma : tumor yang terdiri dari sel-sel Leydig, sel Sertoli dan sel
granulosa. Tumor ini merupakan 3-4% dari seluruh jenis tumor testis. Tumor bisa
menghasilkan hormon estradiol, yang bisa menyebabkan salah satu gejala kanker
testis, yaitu ginekomastia.

Gejala10
1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)
2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis
3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah
4. Ginekomastia
5. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.
6. Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:10
1. USG skrotum
2. Pemeriksaan darah untuk petanda tumor AFP (alfa fetoprotein), HCG (human
chorionic gonadotrophin) dan LDH (lactic dehydrogenase).Hampir 85% kanker
non-seminoma menunjukkan peningkatan kadar AFP atau beta HCG.
3. Rontgen dada (untuk mengetahui penyebaran kanker ke paru-paru)
4. CT scan perut (untuk mengetahui penyebaran kanker ke organ perut)
5. Biopsi jaringan.

Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada jenis, stadium dan beratnya penyakit. Setelah
tumor ditemukan, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan jenis sel
tumornya. Selanjutnya ditentukan stadiumnya:12
1. Stadium I : tumor belum menyebar ke luar testis
2. Stadium II : tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di perut

29
3. Stadium III : tumor telah menyebar ke luar kelenjar getah bening, bisa sampai ke
hati atau paru-paru.

Ada 4 macam pengobatan yang bisa digunakan:12


1. Pembedahan : pengangkatan testis (orkiektomi dan pengangkatan kelenjar getah
bening (limfadenektomi)
2. Terapi penyinaran : menggunakan sinar X dosis tinggi atau sinar energi tinggi
lainnya, seringkali dilakukan setelah limfadenektomi pada tumor non-
seminoma.Juga digunakan sebagai pengobatan utama pada seminoma, terutama
pada stadium awal.
3. Kemoterapi : digunakan obat-obatan (misalnya cisplastin, bleomycin dan etoposid)
untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi telah meningkatkan angka harapan
hidup penderita tumor non-seminoma.
4. Pencangkokan sumsum tulang : dilakukan jika kemoterapi telah menyebabkan
kerusakan pada sumsum tulang penderita.

Tumor Seminoma:12
1. Stadium I diobati dengan orkiektomi dan penyinaran kelenjar getah bening perut
2. Stadium II diobati dengan orkiektomi, penyinaran kelenjar getah bening dan
kemoterapi dengan sisplastin
3. Stadium III diobati dengan orkiektomi dan kemoterapi multi-obat.

Tumor Non-Seminoma:13
1. Stadium I : diobati dengan orkiektomi dan kemungkinan dilakukan limfadenektomi
perut
2. Stadium II : diobati dengan orkiektomi dan limfadenektomi perut, kemungkinan
diikuti dengan kemoterapi
3. Stadium III : diobati dengan kemoterapi dan orkiektomi.

30
Jika kankernya merupakan kekambuhan dari kanker testis sebelumnya,
diberikan kemoterapi beberapa obat (ifosfamide, cisplastin dan etoposid atau
vinblastin).
Gambaran USG

Gambar 2.21 Tumor testis

Gambar 2.22 Tumor testis

31
Gambaran CT-Scan

Gambar 2.23 Tumor testis

Gambar 2.24 Tumor testis

32
2.2.5 Undesensus Testis
Definisi
Undescendcus testis (UDT) atau kriptorkismus adalah gangguan
perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua
testis secara komplit ke dalam skrotum.12

Epidemiologi
Insiden UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi dan
tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar
3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya
mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT.12

Embriologi dan Penurunan Testis


Pada minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami
migrasi dari yolk sac ke-genital ridge, yang kemudian akan berkembang menjadi
testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor sel-sel sertoli besar (yang kelak
menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang
dihasilkan hipofisis mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan
mengeluarkan MIF (Mllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi
ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada
membran sel Leydig. Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic
gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan
mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian
menjadi epididimis, vas deferens, dan vesika seminalis.12
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun
mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik
(anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10
kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase
inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda.12

33
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana
testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi
karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh
androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang
melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh
MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis
akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan
terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum.
Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.12
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal
ke-dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Faktor mekanik yang turut
berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang
menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan
abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui
canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa
berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.12

Gambar 2.23 Skema penurunan testis menurut Hutson.


Antara minggu ke- 815 gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki,
mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis (CSL)

34
mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke- 28-
35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada
jantan CSL mengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan;
sebaliknya pada betina CSL menetap, dan gubernaculum menipis dan
memanjang.12

Etiologi13
A Androgen deficiency/blockade
Pituitary/placental gonadotropin deficiency
Gonadal dysgenesis
Androgen sythesis defect (rare)
Androgen receptor defect (rare)
B Mechanical anomalies
Prune belly syndrome (bladder blocks inguinal canal)
Posterior urethral valves(bladder blocks inguinal canal)
Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular rupture)
Chromosomal/malformation syndrome (? Connective tissue defect
block migration)
C Neurological anomalies
Myelomeningocele (GNF dysplasia)
GFN/CGRP anomalies
D Aquired anomalies
Cerebral palsy (cremaster spasticity)
Ascending/retractile testes (? Fibrous remnant of processus vaginalis)
Tabel 2.1 Berbagai kemungkinan penyebab UDT

35
Klasifikasi
Terdapat 3 tipe UDT:12
1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial
melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan
tidak teraba (impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan
termasuk UDT yang sebenarnya.

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,


menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal.

Gambar 2.24 Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis

Gliding testis atau sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan
UDT dimana testis dapat dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera
kembali begitu tarikan dilepaskan. Gliding testis harus dibedakan dengan testis
yang retraktil, gliding testis terjadi akibat tidak adanya gubernaculum attachment,
dan mempunyai processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan
meningkatkan risiko terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama + 1
menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis

36
yang retraktil akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap
kembali ke kanalis inguinalis.13

Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis harus digali tentang prematuritas penderita, penggunaan
obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal dan harus dipastikan
apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun
pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering
terjadi pada umur 4-6 tahun).10
Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang
lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita
tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan
genitalia, dan kematian neonatal.13

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog
leg position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat, menggunakan jelly atau
sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke arah medial dan skrotum.
Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dengan kombinasi
menyapu dan menarik terkadang testis dapat didorong ke dalam skrotum.
Dengan mempertahankan posisi testis di dalam skrotum selama 1 menit, otot-otot
cremaster diharapkan akan mengalami fatigue; bila testis dapat bertahan di
dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan
segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.10

37
Gambar 25 : Teknik pemeriksaan testis.

Testis yang atrofi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.
Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.13
Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti
supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang
baik akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut.
Berikut adalah berapa petanda klinis pada UDT bilateral tidak teraba testis yang
dapat dipakai pegangan untuk menentukan kemungkinan penyebab pada
pemeriksaaan fisik.13

Tanda Klinis Penyerta Kemungkinan Penyebab


Tanpa kelainan lain Simple UDT, anorchia, female pseudo-
hermaphroditsm
Mikro penis dengan atau tanpa Gangguan sintesis androgen partial
hipospadia atau Androgen insensitivity syndrome
Anosmia dan mikro penis Sindrom Kallmann
Gangguan intelektual atau dismorfik Sindrom tertentu
Mikro penis dan defek midline Defisiensi gonadotropin
Mikro penis dan hipoglikemi neonatal Multiple pituitary hormone deficiency

38
Perawakan tinggi (testis mungkin Sindrom Klinefelter
teraba di inguinal, kecil dan padat)
Tabel 2.2 Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak teraba
testis

Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan
disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan
hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan
kemungkinan intersex. Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada
penderita UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan
LH, FSH, dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis
atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut
harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human
chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron
disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan
anorchia.13
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Pada bayi,
respon normal setelah hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi
hCG hanya sekitar 2-3x.12

Pemeriksaan Pencitraan
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. CT
scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama
diperuntukkan testis intraabdomen (tak teraba testis dan tidak dapat dideteksi
dengan USG). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada

39
anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan
keganasan testis. Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk
mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia.13

Terapi
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis ke dalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal
ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).13
1. Terapi Hormonal
Hormon yang biasa digunakan adalah hCG, gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Hormon hCG mempunyai
kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan merangsang sel Leydig
menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen pada penurunan testis
belum diketahui pasti, tapi diduga mempunyai efek pada cord testis atau otot
cremaster. hCG diberikan dengan dosis 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk
umur 1-6 tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok
umur diberikan 2x seminggu selama 5 minggu.10
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah makin distal lokasi
testis makin tinggi keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap
terapi hormonal, UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada
unilateral.10
2. Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchiopexy. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis spontan
sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun.
Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan morfologis
degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas. Keberhasilan
orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita, ukuran testis,
contralateral testis, dan keterampilan ahli bedah.8

40
Komplikasi
1. Risiko Keganasan
Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis
abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis
inguinal. Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang
telah dilakukan orchiopexy.11
2. Infertilitas
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada
UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya
penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan
dengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang
dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda
bermakna dengan testis yang normal. Perubahan gambaran histologis yang
bermakna mulai tampak setelah umur 1 tahun, semakin memburuk dengan
bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan, penurunan testis lebih dini
akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.10

Gambaran USG

Gambar 2.26 Undesensus testis

41
Gambaran CT-Scan

Gambar 2.27 Undesensus testis

42
Gambar 2.28 Undesensus testis

43
BAB III
KESIMPULAN

Kelainan pada skrotum maupun testis yang didapatkan secara dini (bayi maupun
anak-anak), jika tidak ditangani secara cepat akan dapat mengganggu fungsi
reproduksi, seperti infertilitas, disfungsi ereksi, maupun kematian jaringan testis.
Hal ini dapat dicegah dengan meningkatkan pengetahuan dokter dalam praktik
sehari-hari untuk dapat mengenali kelainan-kelainan tersebut sehingga bisa
mencegah komplikasi yang tidak diinginkan.
Pada kasus hidrokel, penumpukan cairan pada tunika vaginalis dapat
diketahui dengan adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri, konsistensi
kistik, dan pada pemeriksaan transiluminasi menunjukkan adanya transiluminasi.
Hidrokel yang cukup besar bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis
sehingga menimbulkan atrofi testis. Penatalaksanaannya ialah dilakukan operasi
dengan pendekatan inguinal.
Pada kasus torsio testis, funikulus spermatikus yang terpuntir dapat
mengakibatkan gangguan vaskulariasi dari testis yang berakhir pada keadaan
nekrosis testis. Torsio testis dapat diketahui dari keluhan nyeri hebat tiba-tiba pada
skrotum, dan pada pemeriksaan ditemukan testis membesar, hiperemis, Demings
sign, Angells sign, dan Phrens sign. Penatalaksanaan dari torsio testis ialah dapat
dilakukan detorsi atau reposisi manual dan eksplorasi atau dengan cara
pembedahan.
Pada kasus orchitis, peradangan pada salah satu atau kedua testis dapat
diketahui dengan adanya demam, skrotum dan testis bengkak, teraba lunak, dan
terasa nyeri. Terapi yang diberikan disesuaikan dengan penyebab, jika karena
bakteri, diberikan antibiotik selama 7-14 hari, obat pereda nyeri, dan anti radang.
Sedangkan jika diakibatkan karena virus, dilakukan tirah baring dan obat pereda
nyeri.
Tumor testis, yang sering terjadi pada usia 15-40 tahun, dapat dicurigai jika
ditemukan benjolan pada salah satu atau kedua testis, testis membesar atau teraba
aneh, rasa tidak nyaman pada testis, dan nyeri tumpul di punggung atau perut

44
bagian bawah. Dalam hal ini dapat dilakukan pemeriksaan penunjang terhadap
penanda tumor testis; AFP, HCG, dan LDH. Pengobatan dilakukan tergantung
kepada jenis, stadium dan beratnya penyakit.
Pada kasus undescensus testis (kriptorkismus), di mana testis gagal untuk
turun secara komplit ke dalam skrotum, pada pemeriksaan, dapat ditentukan dengan
menyusuri kanalis inguinalis dari SIAS sampai ke skrotum dan mengarahkan testis
yang teraba masuk ke dalam skrotum dan dipertahankan 1 menit. Bila testis
bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis retractile, sedangkan pada UDT
testis akan segera kembali. Penatalaksanaan ditujukan untuk memperkecil risiko
terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis ke dalam
skrotum dengan terapi hormonal ataupun cara pembedahan (orchiopexy).

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Boddy. A.M, Madden.N.P : Testicular Torsion. In Whitfield.H.N (ed), Rob&Smith


Operative Surgery: Genitourinary Surgery, Vol 2, Operation in Urology, Churchill
Fifth ed, Butterworth-Heinemann, London 1993: 741-3.
2. Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa:
Huriawati
3. Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786.
4. Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's
Edisi 17.United States of America : McGraws Hill.
5. Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29.
Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1002-1004, 1018-1020,
1052.
6. R. Putz dan R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta jilid 2. Edisi 21. Jakarta :
EGC. 2003.
7. Mansjoer, A.2000.Kapita Selekta Indonesia .Penerbit Media Aesculapius FK UI:
Jakarta
8. Mitchall P., 1995, Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, Gajah
Mada Press, Yogyakarta
9. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati
Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
10. Reynard.J : Torsion of the testis and testicular appendages. In: Reynard.J,
Brewster.S, Biers.S (eds), Oxford Handbook of Urology, Oxford University Press,
New York 2006: 452
11. Sohibul himam. Makalah tentang termoregulasi pada testis. 2008. Available from
http://www.docstoc.com/docs/32207716/UNIVERSITAS-BRAWIJAYA
12. Krishna Kumar Govindarajan. Pediatric testicular torsion. Updated August 22,
2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/438817-
overview#showall

46
13. Edward David Kim. Testicular torsion. Updated September 24, 2010. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/2035074-overview

47

Anda mungkin juga menyukai