Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang ditandai
dengan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal contohnya proteinuria
disebut dengan gagal ginjal kronis. Apabila tidak ada tanda kelainan patologis
penegakan diagnosis didasarkan pada laju filtrasi glomerulus
<60mL/menit/1,73m selama >3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(Chonchol, 2009).
Menurut KeMenKes (2013), berdasarkan data dari diagnosis dokter,
prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur
45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur
75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan
(0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), dan pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%).
Antibiotik merupakan obat yang digunakan dalam menyembuhkan
berbagai macam penyakit infeksi. Penggunaan antibiotik khususnya pada gagal
ginjal kronis perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas pada
ginjal (Kenward & Tan, 2003). Pada penderita gagal ginjal fungsi ginjal sudah
tidak sebaik saat ginjal dalam kondisi normal. Pada kondisi gagal ginjal kronis
ginjal menjadi lebih sensitif terhadap penggunaan obat-obatan (Kenward & Tan,
2003).
Penggunaan antibiotik harus dipertimbangkan karena beberapa antibiotik
bersifat toksik terhadap ginjal (Chasani, 2008). Obat sebagian besar diekskresikan
oleh ginjal, pada pasien gagal ginjal kronis pemilihan jenis obat dan dosis
(besaran frekuensi dan durasi) harus lebih dipertimbangkan. Beberapa antibiotik
terutama golongan aminoglikosida bersifat nefrotoksik, antibiotik aminoglikosida
ini juga merupakan salah satu golongan obat yang menyebabkan drug induce
renal failure (Antibiotic Expert Group, 2014). Penggunaan antibiotik khususnya

1
2

golongan aminoglikosida pada pasien yang fungsi ginjalnya berkurang signifikan


penggunaannya harus dipertimbangkan dengan baik. Evaluasi penggunaan
antibiotik pada pasien gagal ginjal pernah dilakukan pada RSUD Dr. Moewardi
pada tahun 2007. Antibiotik yang tidak disesuaikan dosisnya dengan pasien gagal
ginjal sebesar 16,1%, antibiotik yang dikontraindikasikan pada penderita gagal
ginjal sebesar 1,8%, tepat indikasi tidak tepat obat 10,9%, tepat indikasi tepat obat
81,8%. Berdasarkan hasil terapi pemberian antibiotik didapatkan 45,5%
outcome/hasil terapinya baik (Yulianti, et al., 2007). Penelitian dilakukan di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, hal ini dikarenakan cukup tingginya
angka penderita gagal ginjal kronis di RSUP Dr. Soeradji Klaten tahun 2014 yaitu
sebanyak 524 kasus. Kasus gagal ginjal kronis juga menempati urutan ke-14 dari
20 besar kasus penyakit yang terjadi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
tahun 2014. Dengan latar belakang tersebut maka evaluasi penggunaan antibiotik
yang rasional pada penderita gagal ginjal kronis perlu dilakukan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien gagal ginjal
kronis di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kerasionalan penggunaan
antibiotika di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro pada kasus gagal ginjal kronis tahun
2014. Evaluasi meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis.

D. Tinjauan Pustaka
1. Ginjal
a. Definisi
Ginjal merupakan organ dalam saluran kemih dimana terdapat pada
retriperitoneal bagian atas. Berat dan besar ginjal bervariasi, hal-hal yang dapat
mempengaruhi ukuran ginjal diantaranya jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya
ginjal pada sisi yang lain. Umumnya pada laki-laki ukuran ginjalnya lebih besar
3

daripada perempuan. Pada umumnya ukuran ginjal orang dewasa normal berkisar
11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal) dan memiliki berat rata-rata
120-170 gram, atau kurang lebih 0,4% dari berat badan (Purnomo, 2011).
b. Fungsi Ginjal
Menurut Price & Wilson, (2005), ginjal mempunyai dua fungsi utama
yaitu fungsi ekskresi dan fungsi nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal antara lain:
1) Mempertahankan osmolitas plasma.
2) Mempertahankan extracellular fluid (ECF) dan tekanan darah dengan
mengubah-ubah ekskresi Na+.
3) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam
rentang normal.
4) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO3-.
5) Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama
urea, asam urat, dan kreatinin).
6) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
Sedangkan untuk fungsi utama ginjal yang lain adalah fungsi non ekskresi.
Diantaranya adalah:
1) Mensintesis dan mengaktifkan hormon:
a) Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.
b) Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
belakang.
c) 1,25-dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk
yang paling aktif.
d) Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilatator, bekerja secara lokal,
dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.
2) Degradasi hormon polipeptida: Insulin, glukagon, prolaktin, hormon
pertumbuhan, antidiuretik hormon (ADH), dan hormon gastrointestinal
(gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif [VIP]).
4

Fungsi ginjal lain yang tidak kalah pentingnya adalah berfungsi untuk
menyaring sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah. Kegiatan metabolik pada
ginjal menduduki tempat kedua setelah hati (Purnomo, 2011).
c. Pengukuran Fungsi Ginjal
Karena fungsi ginjal yang begitu penting maka ada beberapa penilaian
terhadap fungsi ginjal. Uji fungsi ginjal ini bertujuan untuk mengetahui ada atau
tidaknya gangguan pada fungsi ginjal. Menurut Kenward & Tan, (2003), ada
beberapa metode yang digunakan untuk memperkirakan kondisi fungsi ginjal,
antara lain:
1) Serum kreatinin
Serum kreatinin merupakan produk sampingan dari metabolisme otot
rangka normal. Kreatinin terutama diekskresi oleh filtrasi glomeruler. Bila massa
otot tetap dan terdapat perubahan pada nilai klirensnya melalui filtrasi maka dapat
dijadikan indikator dari fungsi ginjal. Nilai serum kreatinin normal berbeda
menurut jenis kelamin, usia, dan ukuran. Kadar serum kreatinin hanya berguna
bila diukur pada keadaan tunak (perlu sekitar 7 hari).
2) Klirens kreatinin
Dalam keadaan normal, kreatinin tidak disekresi atau direabsorsi oleh
tubulus ginjal dalam jumlah yang besar. Ekskresi utama ditentukan oleh filtrasi
glomerular, jadi laju filtrasi glumerular ditentukan melalui penentuan laju klirens
kreatinin endogen.
Secara umum ada 2 cara pengukuran uji klirens kreatinin, yang pertama
adalah pengumpulan urin 24 jam dengan cara pengambilan plasma urin diantara
jangka waktu 24 jam tersebut dan dihitung dengan rumus:

Klkr = mL/menit

Keterangan:
U = Kadar urin (mikromol/liter)
V = Laju alir urin (mL/menit)
S = Kadar kreatinin serum (mikromol/liter)
Kepatuhan penderita dapat menyebabkan pengumpulan sampel urin
selama 24 jam menjadi tidak lengkap. Pengukuran uji klirens kreatinin yang
5

kedua menggunakan rumus Cockroft and Gault yaitu metode dengan mengukur
kadar kreatinin serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi massa otot
penderita (usia, jenis kelamin, dan berat badan). Laju filtrasi glumerular dari kadar
serum kreatinin diasumsikan bahwa fungsi ginjal bersifat stabil dan pengukuran
serum menghasilkan nilai yang konstan. Berdasarkan Aronoff & Brier, (2009),
dihitung dengan rumus:
Pada pria,

Klkr =

Pada wanita,

Klkr = x 0,85

Keterangan:
Kreatinin serum (mg/dL)
BB = Berat badan (kg)
3) Urea
Urea disintesa dalam hati sebagai produk sampingan metabolisme
makanan dan protein endogen. Merupakan rute sekresi utama nitrogen dalam
eliminasinya dalam urin. Urea disaring oleh glumerolus dan sebagian direabsorbsi
oleh tubulus.
Peningkatan kadar urea dapat terjadi karena adanya peningkatan
katabolisme protein pada perdarahan saluran cerna atau jaringan tubuh, infeksi
berat, trauma termasuk pembedahan, serta terapi steroid dan tetrasiklin dosis
tinggi. Indikasi dimana fungsi ginjal terganggu adalah kadar urea diatas 10
mmol/liter. Pengukuran menggunakan kadar urea kurang tepat dalam
menggambarkan adanya kerusakan fungsi ginjal, tetapi masih banyak digunakan
sebagai perkiraan kasar karena dapat menggambarkan informasi tentang keadaan
pasien.
6

d. Klasifikasi dan Gejala Klinis Gangguan Ginjal


1) Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut merupakan gagalnya fungsi ginjal yang berlangsung
dalam waktu yang relatif singkat (beberapa hari atau beberapa minggu)
disebabkan oleh sampah pembakaran seperti urea, asam urat, dan kreatinin yang
menumpuk dalam darah (Price & Wilson, 2003). Laju filtrasi glomerulus (LGF)
secara tiba-tiba menurun sampai dibawah 15 mL/menit. Sering kali bersifat
reversibel, tetapi secara umum mortalitasnya tinggi (Kenward & Tan, 2003).
Pada pasien gagal ginjal akut penyebabnya dapat dibagi menjadi pre-renal,
renal, dan post-renal. Gambaran klinisnya dapat meliputi perubahan volume urine
(oliguri, polyuria), kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental), gangguan
pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor), tanda pada kardiopulmoner (sesak,
pericarditis), dan gejala pada saluran cerna (mual, nafsu makan turun, muntah)
(Kenward & Tan, 2003).
2) Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronik merupakan penurunan faal ginjal yang terjadi
berangsur dan umumnya tidak dapat pulih (irreversible) (Price & Wilson, 2003).
Kerusakan atau penurunan faal ginjal tersebut bersifat permanen dan progresif
biasanya terjadi selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dan akan
menyebabkan uremia sesudah penurunan laju filtrasi glomerular hingga sekitar
10-15% dari nilai normal (Hartono, 2013).
Tanda dan gejala gagal ginjal kronis meliputi nokturia, edema, anemia
(iron-resistant, normochromic, normocytic), gangguan elektrolit, hipertensi,
penyakit tulang (renal osteodystrophy), perubahan neurologis (gangguan mental),
gangguan fungsi otot (kram otot, kaki pegal), dan uremia (Kenward & Tan, 2003).
2. Volume Distribusi
Pada obat yang sangat larut air atau berikatan protein tinggi maka dengan
adanya edema dan ascites akan meningkatkan volume distribusi nyata (apparent).
Ketika volume distribusi besar maka akan menghasilkan kadar obat dalam plasma
yang lebih rendah. Dosis lazim pada penderita edema bisa menyebabkan kadar
obat dalam plasma terlalu rendah sehingga tidak berefek. Sebaliknya, dehidrasi
7

atau pembuangan otot akan menurunkan volume distribusi nyata obat yang larut
air sehingga, dosis lazim dapat menyebabkan kadar obat dalam plasma terlalu
tinggi dan hal ini dapat menyebabkan ketoksikan (Kenward & Tan, 2003).
Efek volume distribusi dan klirens dapat berubah besarannya secara
independen dengan tidak adanya keterkaitan satu dengan lainnya, tapi pada
kegagalan ginjal terdapat pengaruh terhadap konsentrasi aminoglikoida dalam
plasma. Klirens ginjal aminoglikosida akan menurun pada pasien gagal ginjal dan
Vd akan meningkat karena akumulasi cairan pada gagal ginjal oligurik (Parfati, et
al., 2003).
Beberapa kondisi dapat meningkatkan atau menurunkan Vd. Volume
distribrusi akan meningkat pada pasien yang mengalami akumulasi cairan dalam
tubuh seperti pada gagal ginjal dan proses inflamasi. Perubahan Vd akan langsung
berpengaruh pada konsentrasi obat dalam plasma. Bila Vd menurun sebesar 50%
maka konsentrasi obat dalam plasma akan meningkat dua kalinya, sehingga dosis
harus dikurangi setengahnya (Parfati, et al., 2003).
3. Antibiotik
a. Definisi
Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat
membasmi mikroba lain yang merugikan. Saat ini antibiotik banyak dibuat secara
semisintetik atau sintetik penuh. Antibiotik harus mampu membunuh mikroba
yang menyebabkan infeksi pada manusia, tetapi harus memenuhi syarat dengan
tidak bersifat toksik pada hospes (bersifat selektif) (Setiabudy, 2007).
b. Aktifitas dan Spektrum
Antibiotik bersifat toksisitas selektif, berdasarkan sifat tersebut dibagi
menjadi dua klasifikasi yaitu antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba (aktivitas bakteriostatik) dan ada yang bersifat membunuh mikroba
(aktivitas bakterisid). Antibiotik dibagi lagi menjadi 2 tipe yaitu antibiotik yang
aktif untuk bakteri gram positif dan antibiotik yang aktif terhadap bakteri gram
negatif. Sehingga dari perbedaan ini antibiotik dibagi menjadi dua kelompok yaitu
antibiotik spektrum sempit dan antibiotik spektrum luas. Antibiotik spektrum
sempit adalah antibiotik yang aktif terhadap salah satu macam bakteri saja (gram
8

positif atau gram negatif), sedangkan antibiotik spektrum luas adalah antibiotik
yang aktif terhadap dua macam bakteri secara keseluruhan (baik gram positif mau
pun gram negatif) (Setiabudy, 2007).
c. Mekanisme Kerja
Menurut Setiabudy (2007), berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba
dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1) Menghambat metabolisme sel mikroba.
2) Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
3) Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba.
4) Menghambat sintesis protein sel mikroba.
5) Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba
d. Ekskresi
Ekskresi obat aktif mau pun metabolitnya pada penderita gagal ginjal akan
berkurang, sehingga kadar dalam darahnya meningkat dan menimbulkan respon
yang berlebihan atau terjadi efek toksik (Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008). Dengan demikian pemberian
antibiotik pada pasien gagal ginjal tanpa adanya penyesuaian dosis akan
meningkatkan insiden dan intensitas nefrotoksik dan ototoksiknya (Antibiotic
Expert Group, 2014).
Ada beberapa pendekatan untuk penyesuaian dosis dalam kaitannya
dengan fungsi ginjal. Hal ini dilakukan melalui penetapan kadar kreatinin. Pada
tabel 1 dicantumkan harga klirens kreatinin pada kegagalan ginjal oleh Arora,
(2015).
Tabel 1. Klirens Kreatinin Pada Gagal Ginjal Kronis
Klirens kreatinin
Fungsi Ginjal
(mL/menit/1,73m2)
Normal 90
Fungsi ginjal sedikit berkurang 60-89
Penurunan fungsi ginjal sedang 30-59
Penurunan fungsi ginjal berat 15-29
Kegagalan ginjal berat <15
9

e. Jenis Antibiotik yang Bersifat Nefrotoksik


Menurut Chasani, (2008), beberapa golongan antibiotik memiliki resiko
yang besar dalam menyebabkan nefrotoksik pada penderita gagal ginjal.
Golongan antibiotik tersebut antara lain:
1) Golongan Aminoglikosida
Penggunaan antibiotika golongan ini sangat luas pada infeksi terutama
infeksi oleh bakteri gram negatif. Kegagalan fungsi ginjal terjadi ketika kadar
kreatinin plasma 45mol/L. Mekanisme golongan ini dapat menyebabkan
nefrotoksik karena aminoglikosida berikatan dengan lisosom membentuk myeloid
body dan fosfolipidosis. Kemudian membran lisosom pecah dan melepaskan asam
hidrolase dan mengakibatkan kematian sel.
2) Golongan Sulfonamid
Hampir semua obat golongan sulfonamid diekskresikan melalui ginjal
sehingga meningkatkan resiko nefrotoksik.
3) Amphotericin B (Am-B)
Penggunaan obat ini sebenarnya sangat efektif sebagai obat anti jamur,
tetapi telah dilaporkan banyak kasus tentang efek nefrotoksiknya. Am-B mudah
bercampur dengan membran sel epithel dan meningkatkan permeabilitas karena
bersifat hidrofilik. Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glumerular dan
berakibat terjadinya oliguria karena sel endotel rusak mengakibatkan
vasokontriksi arteriole afferen dan efferen glomerulus.
4) Rifampisin
Obat ini digunakan sebagai obat anti tuberkulosis dan merupakan obat
TBC yang memiliki efek nefrotoksik lebih tinggi dibanding anti TBC lain. Obat
ini memiliki efek samping nefrotoksik karena obat menyebabkan anemia
hemolitik.
5) Acylovir
Digunakan sebagai obat anti virus. Kelarutannya yang rendah
mengakibatkan presipitasi intratubuler dengan gejala uropati dan hematuria. Pada
pemeriksaan urin akan tampak kristal jarum pada pemeriksaan mikroskopiknya.
10

6) Golongan Penisillin, Sefalosporin, dan Betalaktam Lainnya


Reaksi nefrotoksik biasanya tidak terjadi tetapi pada obat-obat yang
bereaksi pada reaksi imun maka obat dapat menyebabkan nefrotoksik untuk obat
golongan ini. Kejadian nefrotoksik juga dipengaruhi karena dosis yang relatif
tinggi dalam jangka waktu yang panjang.
7) Vancomisin
Antibiotik ini dihasilkan oleh streptomises orientalis yang tidak dapat
diserap oleh saluran cerna. Mekanisme nefrotoksiknya dapat terjadi di dua tempat
yaitu pada glomerulus dan pada tubulus ginjal. Pada glomerulus terjadi dilatasi
Bowmans space dan hipertrofi glomerulus, sedangkan pada tubulus terjadi
dilatasi tubulus renalis, nekrosis atau degenerasi epitel tubulus dan adanya silinder
hialin dalam tubulus.
f. Penyesuaian Dosis pada Pasien Gagal Ginjal
Menurut Parfati, et al., (2003), perubahan aliran darah ke ginjal
mengakibatkan perubahan klirens. Saat Vd, dosis, dan interval dosis tetap tetapi
klirens menjadi besar, maka konsentrasi obat menjadi lebih kecil sehingga harus
ditingkatkan dosisnya atau interval waktu diperkecil. Sebaliknya bila klirens kecil,
konsentrasi obat dalam plasma lebih besar sehingga dosis obat diperkecil dan
interval waktu diperpanjang. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan persamaan di
bawah ini:

Do (GL) = x Cl(GL)

atau apabila dosis tetap, interval waktu berubah

t (GL) = x t(N)

Keterangan :
Do (N) = Dosis pada ginjal normal
Do (GL) = Dosis pada gagal ginjal
Cl (N) = Klirens pada ginjal normal
Cl (GL) = Klirens pada gagal ginjal
11

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor :


2406/MENKES/PER/XII/2011, penyesuaian dosis dinilai dari kadar klirens
kreatininnya. Ketika kadar klirens kreatinin 40-60mL/menit dosis pemeliharaan
diturunkan sampai dengan 50%. Bila klirens kreatinin 10-40mL/menit selain turun
50% perlu juga memperpanjang jarak pemberian dua kali lipat.
g. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik
Menurut PerMenKes (2011), penggunaan antibiotik yang rasional dapat
dilihat dari beberapa parameter antara lain:
1) Tepat Indikasi
Setiap obat memiliki terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. Bila ada
indikasi infeksi tapi tidak diobati maka bisa jadi pasien yang terkena infeksi
tersebut tidak sembu infeksinya, tapi bila tidak ada indikasi infeksi diberi
antibiotik maka dapat terjadi resistensi.
2) Tepat Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna. Bila penggunaannya tidak tepat pasien maka dapat
mengakibatkan kondisi pasien menjadi lebih buruk.
3) Tepat Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai. Obat yang dipilih sebaiknya merupakan obat pilihan
utama, bila kondisi pasien tidak memungkinkan maka dapat dipilih obat lini kedua
dan seterusnya. Pada kasus penggunaan obat yang tidak tepat misalnya untuk
antibiotik pasien dapat mengalami resistensi dan efek terapi obat tidak tercapai.
12

4) Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.

E. Landasan Teori
Pada penelitian Astuti, pada Januari-September tahun 2011 di RS Kasih
Ibu Surakarta, hasil penelitian menunjukkan 102 pasien mengalami gangguan
gagal ginjal kronis, terdapat 62,75% (64 pasien) yang diresepkan antibiotik tepat
indikasi dan 37,25% (38 pasien) yang diresepkan antibiotik tidak tepat indikasi.
Pada penggunaan antibiotik dengan tepat indikasi sebanyak 54 pasien (84,38%)
memperoleh obat yang tepat dan 10 pasien (15,62%) memperoleh obat yang tidak
tepat, 50 pasien (78,12%) menerima dosis yang tepat sedangkan 14 pasien
(21,88%) yang diresepkan antibiotik dosisnya tidak tepat. Pada pasien yang
mendapatkan dosis antibiotik yang tidak tepat terdapat 9 pasien dengan dosis
lebih dan 5 pasien dengan dosis kurang dan belum dilakukan penyesuaian dosis
(Astuti, 2011).
Pada penelitian yang lain oleh Yulianti, et al. di RSUD Dr. Moewardi
pada September-November 2007 ditemukan 103 pasien didiagnosis mempunyai
penyakit gagal ginjal kronik dan 48 pasien (46,6%) termasuk dalam kriteria
penelitian. Berdasarkan 48 pasien tersebut ditemukan total 55 penggunaan
antibiotik, antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi berjumlah 52
dengan keterangan episode infeksi antara lain pneumonia 21 episode (38,2%),
infeksi saluran kemih 22 episode (40%), sepsis 4 episode (7,3%), profilaksis
bedah 1 episode (1,8%), amoebiasis 2 episode (3,6%), gastroenteritis 1 episode
(1,8%), dan tuberkulosis paru 1 episode (1,8%), serta terdapat 3 (5,5%)
penggunaan antibiotik tanpa indikasi. Empat puluh lima episode infeksi (81,8%)
yang diresepkan antibiotik sudah memenuhi kriteria tepat indikasi tepat obat, 6
episode infeksi (10,9%) yang diresepkan antibiotik tepat indikasi tidak tepat obat,
13

dan 1 episode infeksi (1,8%) yang diresepkan antibiotik diketahui memiliki


kontraindikasi dengan kondisi pasien. Terdapat 16,1% antibiotik yang diresepkan
belum disesuaikan dosisnya untuk pasien penyakit gagal ginjal kronik.
Berdasarkan hasil terapi pemberian antibiotik didapatkan 45,5% respon
penggunaan antibiotik baik. (Yulianti, et al., 2007). Berarti dari hasil penelitian
ada 54,5% yang responnya kurang baik mau pun tidak baik.

Anda mungkin juga menyukai