Disusun oleh :
Ananda Putri Asmoro 12334114
Dosen :
Dra. Refdanita, M.Si, Apt
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah.SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahNya kepada Kita sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Pemeriksaan Fungsi Ginjal ini tepat pada waktunya.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada Kita semua yang
membacanya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir dan semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kami. Amin
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ yang diperlukan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme.
Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan kotoran dari system saluran kemih. Selain itu
fungsi ginjal adalah untuk menyaring kotoran dari darah, ginjal juga menyerap banyak
nutrisi penting ke aliran darah, fungsi lain yang dilakukan di saluran (tubulus) adalah
menyeimbangkan jumlah garam dan air yang disimpan. (KementrianKesehatan RI,
2009).
Ginjal mempertahankan komposisi cairan ekstraseluler yang menunjang fungsi
semua sel tubuh. Kemampuan ginjal untuk mengatur komposisi cairan ekstraseluler
merupakan fungsi per satuan waktu yang diatur oleh epitel tubulus. Untuk zat yang tidak
disekresi oleh tubulus, pengaturan volumenya berhubungan dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG). Seluruh zat yang larut dalam filtrasi glomerulus dapat direabsorpsi
atau disekresi oleh tubulus.
Laju filtrasi glomerulus telah diterima secara luas sebagai indeks terbaik untuk
menilai fungsi ginjal. Pengukuran LFG merupakan hal yang penting dalam pengelolaan
pasien dengan penyakit ginjal. Selain untuk menilai fungsi ginjal secara umum, banyak
kegunaan penting pengukuran LFG, seperti untuk mengetahui dosis obat yang tepat yang
dapat dibersihkan oleh ginjal, untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan ginjal,
mencegah gangguan ginjal lebih lanjut, mengelola pasien dengan transplantasi ginjal,
dan dalam penggunaan kontras media radiografik yang berpotensi nefrotoksik. Karena
itu diperlukan pemeriksaan LFG yang mempunyai nilai akurasi yang tinggi.
B. Tujuan
Untuk mengetahui cara uji laboratorium untuk penyakit gagal ginjal kronik, hasil dan
terapi obat dari hasil yang didapat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit
Gagal ginjal (renal atau Kidney Falture) adalah kasus menurunnya fungsi ginjal
yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun). Dikatakan gagal ginjal
akut (acute renal falture), tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya
dapat segera diatasi. Gagal ginjal kronis sama dengan hipertensi, penyakit ikutan yang
saling berkaitan, termasuk silent killer yaitu penyakit mematikan. Gagal ginjal juga bisa
sebagai akibat penyakit ginjal turunan. Namun, menurut Dr, Tunggul Situmorang SpPd.
RGIT, Direktur Utama Rs. Eikini, kalau dulu penderita radang ginjal kronis tahap akhir
disebabkan oleh radang ginjal menahun. Sekarang sudah penyebabnya ke komplikasi
penyakit metabolik dan penyakit generatif (Merir, 2011).
Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi-fungsi vital menimbulkan keadaan
yang disebut uremia atau Gagal Ginjal Kronik (GGK) stadium terminal. Perkembangan
yang terus beranjut sejak tahun 1960 dari teknik dialysis dan transplantasi ginjal sebagai
pengobatan stadium terminal GGK, merupakan alternatif dari resiko kematian yang
hampir pasti. (Benez,2011).
Gagal ginjal yang tergolong penyakit kronis ini mempunyai karakteristik bersifat
menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dan rawat jalan dalam
jangka waktu yang lama. Selain itu,umumnya pasien juga tidak dapat mengatur dirinya
sendiri dan biasanya tergantung kepada para profesi kesehatan. Kondisi tersebut, tentu
saja menimbulkan perubahan atau ketidakseimbangan yang meliputi biologi,psikologi,
sosial dan spiritual pasien. Seperti, perilaku penolakan, marah, perasaan takut, cemas,
rasa tidak berdaya, putus asa bahkan bunuh diri (Indonesia Kidney Care Club, 2006).
Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh promovendus dr.
Sagiran, Sp.B, M.Kes sebanyak 81 persen pasien yang divonis gagal ginjal bereaksi
dengan emosi negatif, dan baru bisa menerima kenyataan menjelang setahun sejak
divonis penyakit ini. Penyakit ginjal kronis semakin banyak menarik perhatian dan
makin banyak dipelajari karena walaupun sudah mencapai gagal ginjal tahap akhir akan
tetapi penderita masih dapat hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik di
samping prevalensinya yang terus meningkat sepanjang tahun.
Menurut United State Renal Data System di Amerika Serikat prevalensi penyakit
ginjal kronis meningkat 20-25% setiap tahun. WHO memperkirakan di Indonesia akan
terjadi peningkatan penderita gagal ginjal pada tahun 1995-2025 sebesar 41,4% dan
menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diperkirakan terdapat
70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10%
setiap tahunnya.
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya Di Sulawesi
Utara sendiri penyakit ginjal kronis masuk dalam salah satu penyakit beresiko, menurut
data RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado Penderita penyakit ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis 130 pasien dalam periode waktu 1 bulan, dimana setiap
pasien memiliki jadwal pemeriksaan yang telah ditentukan untuk terapi berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.
B. Uji Laboratorium Klinik
Pemeriksaan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan uji-uji berikut:
1. Kreatinin
Nilai normal : 0,6 1,3 mg/dL SI : 62-115 mol/L
Deskripsi :
Tes ini untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin dihasilkan
selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin
diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator fungsi
ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal normal, kreatinin dalam darah ada dalam jumlah
konstan. Nilainya akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal. Serum kreatinin
berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi
seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk mendiagnosa fungsi
ginjal karena nilainya mendekati glomerular fi ltration rate (GFR).
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan
fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan selama
masa otot konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.
Implikasi klinik :
Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik karena
gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran urin,
pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat penurunan masa otot.
Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu diperlukan
waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai kadar normal untuk
Faktor pengganggu:
Olahraga berat, angkat beban dan prosedur operasi yang merusak otot rangka
Kreatinin terbentuk sebagai hasil dehidrasi kreatin otot dan merupakan produk sisa
kreatin. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan tidak direabsorbsi oleh
tubulus pada kondisi normal. Kreatinin serum dan klirens kreatinin memberikan
gambaran filtrasi glomerulus.
Implikasi klinik:
Pengukuran kreatinin yang diperoleh dari pengumpulan urin 24 jam, namun hal itu
sulit dilakukan. Konsentrasi kreatinin urin dihubungkan dengan volume urin dan
durasi pengumpulan urin (dalam menit) merupakan nilai perkiraan kerja fungsi
ginjal yang sebenarnya.
Kategori kerusakan ginjal berdasarkan kreatinin serum dan klirens
Derajat
kegagalan Klirens
ginjal
Normal
Ringan
Moderat
Berat
Anuria
Kreatinin Serum
(mL/menit)
> 80
57 79
10 49
< 10
0
Kreatinin
(mg/dL)
1,4
1,5 - 1,9
2,0 - 6,4
> 6,4
> 12
eritromisin,rifampisin, sulfonamid
Antiretroviral, asiklovir
Preparat besi
Diuretik: furosemid, tiazid, manitol
Koloid: dextran
Sitostatika: siklofosfamid, cisplatin
Antijamur: amfoterisin
Imunosupresan: siklosporin, takrolimus
Antitrombotik: klopidogrel, ticlid
Antidislipidemia: statin
Golongan bifosfonat
Antidepresan: amitriptilin
Antihistamin
Allopurinol
Antikonvulsi: fenitoin, asam valproat
Ulcer healing drugs: H2-blocker, penghambat pompa proton
vankomisin,
Pria
Wanita
(mL/menit)
40-60
50-75
60-100
65-110
70-120
80-130
(mL/menit)
40-60
50-75
60-100
65-110
70-120
75-120
Tingkat kerusakan ginjal parah < 10 mL/menit, sedang 10-30 mL/menit, ringan
30-70 /menit
Deskripsi:
Klirens
kreatinin
adalah
pengukuran
kecepatan
tubuh
(oleh
ginjal)
lebih akurat.
Pada anak-anak, nilai klirens kreatinin akan lebih rendah (kemungkinan
akibat masa otot yang lebih kecil)
Obat-obat yang perlu dimonitor pada pasien dengan ganguan fungsi ginjal
Golongan aminoglikosida
Obat dengan indeks terapi sempit
3. D - Dimer
Nilai normal: Negatif atau < 0,5 mcg /mL atau < 0,5 mg/L SI
Peningkatan palsu: pada kondisi titer reumatoid faktor yang tinggi, adanya tumor
marker (penanda) CA-125, terapi estrogen dan kehamilan normal.
Deskripsi:
Menilai salah satu produk degradasi fibrin. Terdiri dari berbagai ukuran fibrin terkait
silang (cross-linked)
Implikasi klinik:
Meningkat pada DIC, DVT, Emboli paru, gagal hati atau gagal ginjal, kehamilan
trimester akhir, preeklamsia, infark miokard, keganasan, inflamasi, infeksi parah,
pembedahan dan trauma.
4. Kalium (K+)
Nilai normal: 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L
: 18 tahun : 3,6 4,8 mEq/L SI unit :3,6 4,8 mmol/L
Deskripsi :
Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler,
(bersama bikarbonat) berfungsi sebagai buffer utama. Lebih kurang 80% - 90%
kalium dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Aktivitas mineral okortikoid dari
adrenokortikosteroid juga mengatur konsentrasi kalium dalam tubuh. Hanya sekitar
10% dari total konsentrasi kalium di dalam tubuh berada di ekstraseluler dan 50
mmoL berada dalam cairan intraseluler, karena konsentrasi kalium dalam serum
darah sangat kecil maka tidak memadai untuk mengukur kalium serum. Konsentrasi
kalium dalam serum berkolerasi langsung dengan kondisi fisiologi pada konduksi
saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan kontraksi otot jantung.
Implikasi klinik:
cairan IV.
Hipokalemia dan hiperkalemia dapat meningkatkan efek digitalis dan dapat
menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga perlu memeriksa nilai K sebelum
pemberian digoksin.
Kalium darah meningkat sekitar 0,6 mmol/L untuk setiap penurunan 0,1
serum.
Hipokalemia mungkin sulit untuk dikoreksi dengan penambahan KCl jika
Perhitungan kekurangan kalium total tubuh tidak dapat ditentukan dengan tepat.
Setiap 1 mmol/L penurunan kalium dalam serum menunjukan kekurangan
kalium 100-200 mmol/L. Bila kadar serum turun di bawah 3 mmol/L, tiap 1
mmol/L menunjukan penurunan 200-400 mmol/L kaliumdari persediaan total
kalium tubuh.
Faktor pengganggu
ekskresi kalium.
Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan kadar kalium seperti penisilin
5. Klorida (Cl-)
Nilai normal : 97 - 106 mEq/L SI unit : 97 - 106 mmol/L
Deskripsi:
Anion klorida terutama terdapat di dalam cairan ekstraseluler. Klorida berperan
penting dalam memelihara keseimbangan asam basa tubuh dan cairan melalui
pengaturan tekanan osmotis. Perubahan konsentasi klorida dalam serum jarang
menimbulkan masalah klinis, tetapi tetap perlu dimonitor untuk mendiagnosa
penyakit atau gangguan keseimbangan asam-basa.
Implikasi klinik:
Cl-]
Gap anion lebih dari 12 mengindikasikan adanya anion yang tidak
terukur,seperti metanol, urea, keton, laktat dan etilen glikol.
Faktor pengganggu:
Konsentrasi klorida plasma pada bayi biasanya lebih tinggi dibandingkan pada
Implikasi klinik:
Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfi sema,dan
aldosteronisme
Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan
hiperventilasi
Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin
7. Trigliserida
Nilai normal : Dewasa yang diharapkan
Pria : 40 - 160 mg/dL SI: 0,45 - 1,80 mmol/L
Wanita : 35 - 135 mg/dL SI: 0,4 - 1,53 mmol/L
Deskripsi :
Trigliserida ditemukan dalam plasma lipid dalam bentuk kilomikron dan VLDL(very
low density lipoproteins).
Implikasi klinik :
kronis,
Faktor pengganggu
Tatalaksana Hiperfosfatemia
a. Terapi hiperfosfatemia sebaiknya langsung pada penyebab masalah:
Dialiser Proses Ulang (DPU) , DPU adalah penggunaan dialiser lebih dari satu kali
untuk pasien yang sama. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80% dari
dialiser baru. Pemakaian DPU pertama kali dilaporkan pada tahun 1964. Sejak saat itu,
DPU telah banyak digunakan di beberapa negara. Data dari catatan medis tahun 2007 di
Unit HD RSCM didapatkan 96% pasien HD menggunakan DPU. Ureum Darah dan
Kreatinin Darah. Salah satu fungsi ekskresi ginjal adalah mengekskresikan produk akhir
Nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat dan kreatinin.(AlfredK.
Cheung, 1999:350). Nilai normal ureum dalam darah orang dewasa dari 5 25 mg/dl.
Pada Pasien penyakit ginjal yang laju filtrasi glomerulusnya sangat menurun, konsentrasi
ureum plasmanya sangat meningkat. Penurunan ureum dipakai sebagai parameter
melihat kemampuan DPU untuk membersihkan ureum dalam darah pasien dan juga
merupakan bahan yang secara praktis dapat diukur sebagai pertanda adekuasi proses HD.
Fungsi ginjal dapat juga dilihat dengan mengukur kadar kreatinin dalam darah.
Semakin tinggi kadar kreatinin pada darah menunjukkan menurunnya fungsi ginjal. Nilai
normal kreatinin dalam darah manusia kurang dari 1,2 mg/dl. Tingginya tingkat kreatinin
menunjukkan jatuh laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan
ginjal mengekskresikan produk limbah.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014, EFEKTIVITAS
DIALISER
PROSESULANG
(DPU)
PADA
PENDERITA
GAGAL
GINJALKRONIK (HEMODIALISA)
Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011
Hubungan Antara Kadar Hemoglobin, Kadar Albumin, Kadar Kreatinin Dan Status
Pembayaran Dengan Kematian Pasien Gagal Ginjal Kronik.Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta 2012
Karakteristik Pasien Dan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang
MenjalaniTerapi Hemodialisa.