Anda di halaman 1dari 6

JURNAL BIOKIMIA GIZI

“ ANALISIS KASUS KREATININ “


Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Biokimia Gizi
Dosen Pengampu : Asep Iwan Purnawan, SKM, M. Si.Med

Oleh : Kelompok 8 2B/D3

1. Alifa adzka fikria (P1731119066)


2. Nadiyatun nafisah (P1731119054)
3. Zahra Kemala Ningrum (P1731119072)
4. Syafiqa alya huwaida (P1731119070)

PROGRAM STUDI D3
JURUSAN GIZI
POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
2020
A. JUDUL :
“ ANALISI KASUS KREATININ “
B. TUJUAN
Untuk menganalisis kasus kreatinin sesuai dengan jurnal
C. TINJAUAN TEORI
Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin yang dikeluarkan melalui
ginjal. Konsentrasi kreatinin yang terkandung di dalam urin merupakan petunjuk penting
terhadap kerusakan ginjal, diabetic nephropathy dan laju filtrasi glomerular ginjal (Khan &
Wernet 1997). Kreatinin dibentuk oleh tubuh dari pemecahan senyawa kreatin dan
fosfokreatin dimana jumlah kreatinin sekitar 2% dari total keratin (Garcia & Henry 2004).
Penentuan kreatinin dapat dilakukan dengan menggunakan enzim kreatinin deiminase
untuk mengkonversi kreatinin menjadi amonia dan 1methylhydantoin. Selanjutnya amonia di
reaksikan dengan cresol red (2-{4-{2-hydroxyethyl)-1-piperzinyl} ethanesulfonic acid) dan
dideteksi secara spektrometri pada panjang gelombang 555 nm (Yoshiwara et al. 2005).
Metode enzimatis ini memberikan hasil yang selektif walaupun memerlukan waktu analisis
yang lama, dan sensitivitasnya kurang baik karena kreatinin dideteksi secara tidak langsung
berdasarkan jumlah amonia yang terbentuk. Di samping itu juga, konsentrasi bilirubin yang
tinggi dalam sampel merupakan masalah tersendiri dalam metode enzimatis.
Kreatinin serum dianggap lebih sensitif dan menjadi indikator khusus pada penyakit
ginjal daripada uji dengan kadar nitrogen urea darah (BUN). Kenaikan kadar kreatinin tidak
dipengaruhi oleh makanan atau minuman. Kreatinin serum sangat berguna untuk
mengevaluasi fungsi glomerulus. Jika kadar BUN meningkat namun kadar kreatinin normal,
kemungkinan terjadi dehidrasi (hipovolemia). Namun, jika keduanya mengalami kenaikan,
dicurigai terjadi gangguan ginjal (Kee, 2008). Petunjuk adanya penurunan fungsi ginjal dapat
terindikasi dari peningkatan kadar kreatinin sebanyak 50% (Corwin, 2000).
Kreatinin serum merupakan indeks GFR yang lebih cermat dari pada BUN karena
kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot yang sedikit mengalami
perubahan. Sedangkan BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme
protein tubuh (Price dan Wilson, 2005).
Terjadinya penurunan fungsi ginjal disertai dengan penurunan massa otot, konsentrasi
kreatinin akan cenderung stabil, tetapi angka bersihan kreatin 24 jam akan mengalami
penurunan. Kejadian ini sering terjadi pada pasien yang mengalami penuaan (Sacher dan
McPherson, 2004).
The National Kidney Disease Education Program merekomendasikan penggunaan
serum kreatinin untuk mengukur kemampuan filtrasi glomerulus yang digunakan untuk
memantau perjalanan penyakit ginjal. Diagnosis ginjal dapat ditegakkan saat nilai kreatinin
serum meningkat. Sedangkan pada kondisi gagal ginjal dan uremia, ekskresi kreatinin oleh
glomerulus dan tubulus ginjal akan menurun. Selain itu, penurunan kadar kreatinin dapat
disebabkan pada keadaan glomerulonefritis, nekrosis tubuler akut, polystic kidney disease,
syok dan dehidrasi (Verdianyah, 2016).
Jenis pemeriksaan kadar kretinin :
1) Klirens kreatinin Klirens suatu zat adalah membersihkan plasma atau serum dari
zat tersebut dalam waktu tertentu. Klirens kreatini adalah pengukuran Laju Filtrasi
Glomerulus (GFR) yang tidak absolut karena sebagian kecil kreatinin direabsorpsi oleh
tubulus ginjal dan kurang lebih 10% kreatinin urin disekresikan oleh tubulus. Satuan klirens
kreatinin adalah mL/menit (Verdiansyah, 2016). Untuk melakkan pemeriksaan ini, cukup
mengumpulkan spesimen urin 24 jam dan spesimen darah yang diambil 24 jam yang sama
(Price dan Wilson, 2005).
2) Estimated glomerular Filtration Rate (eGFR) The National Kidney Foundation
merekomendasikan bahwa eGFR dapat diperhitungkan sesuai dengan kreatinin serum.
Klirens kreatinin merupakan pemeriksaan yang mengukur kadar kreatinin yang difiltrasi di
ginjal, sedangkan GFR dipergunakan untuk mengukur fungsi ginjal (Verdiansyah, 2016).
Metode pemeriksaan :
1) Metode Jaffe Metode Jaffe
pertama kali ditemukan oleh M. Jaffe pada tahun 1886. Metode ini dilakukan dengan
cara mereaksikan kreatinin dalam serum dengan asam pikrat dalam suasana basa sehingga
menghasilkan kompleks pikrat-kreatinin yang berwarna orange. Kompleks pikrat-kreatinin ini
kemudian dianalisis dengan cara spektrofotometri pada panjang gelombang 485 nm. Bahan
pemeriksaan berupa serum yang mengalami lipemik, ikterik dan hemolisis tidak boleh
digunakan untuk pemeriksaan kreatinin metode Jaffe dikarenakan dapat mengganggu
perubahan warna yang terjadi saat reaksi berlangsung. Kandungan bilirubin yang tinggi dalam
serum ikterik dapat menurunkan kadar kreatinin pada metode Jaffe maupun metode
enzimatik. Kreatinin + Asam pikrat  Kreatinin pikrat
2) Metode Enzimatik
Menurut Drion, dkk., (2012) melaporkan bahwa teknik enzimatik memberikan hasil
yang lebih akurat daripada metode Jaffe sehingga teknik enzimatik lebih spesifik dan lebih
dipilih untuk praktek klinis. Metode enzimatik memiliki kelemahan yaitu biaya pemeriksaan
metode enzimatik mahal dan masa pakai dari sensor enzimatik terbatas, bergantung pada
aktivitas enzim tersebut. Nilai rujukan :

faktor yang dapat mempengaruhi kadar kreatinin :


D. HASIL ANALISIS

Kasus kreatinin : Seorang wanita berusia 42 tahun tinggi badan 142 cm dan berat badan 48
kg. Kasus bekerja sebagai kasir di suatu supermarket besar, dengan menggunakan sistim shift
pagi dan sore. Kasus sering lupa minum dan sering menderita dehidrasi. Kasus memiliki
kebisaan minum softdrink dan jarang makan siang. Dalam seminggu ini kasus mengeluh sakit
pada bagian pinggang. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar kreatinin darah
sebesar 1,5 mg/dL.

Hasil analisis :
 Umur : 42 tahun
 Tinggi : 142cm
 Berat : 48kg
 Pekerjaan : kasir supermarket besar, menggunakan shift pagi dan sore
 Kondisi :
- Sering lupa minum dan sering menderita dehidrasi.
- Kebiasaan minum softdrink dan jaran makan siang.
 Keluhan : selama seminggu sakit pada bagian pinggang
 Hasil pemeriksaan laboratorium : menunjukkan kadar kreatinin darah sebesar 1,5
mg/dL.
 Faktor aktifitasnya : aktif ( 1,7 )
 IMT : 23,8 (24)
E. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan biokimia darah seorang wanita dewasa berusia 42
tahun tinggi badan 142 cm dan berat badan 48 kg memiliki kadar kreatinin yang tinggi
melebihi batas normal yaitu 1,5 mg/dL sedangkan kadar normalnya adalah 0,6–1,1 mg/dL
untuk wanita dewasa. Sakit pada bagian pinggang merupakan gejala pada seseorang jika
kadar kreatini dalam darah melebihi batas normal. Jarang minum air dan sering mendertita
dehidrasi serta sering mengkonsumsi softdrink dapat menyebabkan potensi penyakit ginjal.

Metabolisme yang berhubungan dengan kasus diatas adalah Kreatin terutama


ditemukan di jaringan otot (sampai dengan 94%). Kreatin dari otot diambil dari darah karena
otot sendiri tidak mampu mensintesis kreatin. Kreatin darah berasal dari makanan dan
biosintesis yang melibatkan berbagai organ terutama hati. Proses awal biosintesis kreatin
berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan glisin. Menurut salah satu
penelitian in vitro, kreatin secara hampir konstan akan diubah menjadi kreatinin dalam jumlah
1,1% per hari (Wulandari W, 2015).Kreatinin yang terbentuk ini kemudian akan berdifusi
keluar sel otot untuk kemudian diekskresi dalam urin. Pembentukan kreatinin dari kreatin
berlangsung secara konstan dan tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian
besar kreatinin yang terbentuk dari otot diekskresi lewat ginjal sehingga ekskresi kreatinin
dapat digunakan untuk menggambarkan filtrasi glomerulus walaupun tidak 100% sama
dengan ekskresi inulin yang merupakan baku emas pemeriksaan laju filtrasi glomerulus.
Sebagian (16%) dari kreatinin yang terbentuk dalam otot akan mengalami degradasi dan
diubah kembali menjadi kreatin. Sebagian kreatinin juga dibuang lewat jalur intestinal dan
mengalami degradasi lebih lanjut oleh kreatininase bakteri usus. Kreatininase bakteri akan
mengubah kreatinin menjadi kreatin yang kemudian akan masuk kembali ke darah (enteric
cycling). Produk degradasi kreatinin ialah 1-metilhidanton, sarkonsin, urea, metilamin,
glioksilat, glikolat, dan metilguanidin (Sireger CT, 2009). Metabolisme kreatinin dalam tubuh
ini menyebabkan ekskresi kreatinin tidak benar-benar konstan dan mencerminkan filtrasi
glomerulus, walaupun pada orang sehat tanpa gangguan fungsi ginjal, besarnya degradasi dan
ekskresi ekstrarenal kreatinin ini minimal dan dapat diabaikan (Wyss, 2000).

Faktor yang dapat menurunkan kadar dalam darah kasus diatas adalah kebiasaan
jarang makan siang yang dapat menyebabkan asupan kreatinin menurun karena pengurangan
konsumsi protein dalam makan siang. Selain itu, jenis kelamin perempuan juga dapat
menurunkan kadar kreatinin karena massa ototnya lebih rendah dari pada laki laki, usia juga
dapat merendahkan kadar kreatinin karena semakin tua seseorang maka massa otot berkurang
dan kadar kreatinin dalam darah pun berkurang.

Faktor yang dapat meningkatkan kadar dalam darah kasus diatas salah satunya sering
mengkonsumsi minuman soft drink, karena minuman softdrink rata rata mengadung bahan
pengawet, minuman dan makanan yang di beri bahan tambahan pengawet bila dikonsumsi
akan didistribusikan ke seluruh tubuh dan mengalami proses metabolisme di hepar dan di
ginjal selanjutnya diekskresikan melalui feses maupun urin. Hati dan Ginjal merupakan
gudang penyimpanana racun, karena keduanya memiliki kapasitas yang tinggi untuk
mengikat zat kimia. Menurut Agusti (2006) Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang
sangat penting untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat toksik yang
tidak sengaja masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan keadaan stres oksidatif. Kurang
minum air putih serta tidak menjaga hidrasi juga menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin

Selain itu, aktifitas atau perkerjaan yang menggunakan sistim shift juga akan
menimbulkan stress fisik dan meningkatkan kadar kreatinin. Stres fisik merupakan keadaan
yang disebabkan oleh aktivitas fisik berat yang meningkatkan produksi senyawa radikal bebas
dalam tubuh dan menimbulkan stres oksidatif yang merusak organ tubuh termasuk ginjal.
Stres oksidatif merusak glomerulus yang menyebabkan penurunan laju filtrasi ginjal (GFR)
dan merusak sel tubular yang menyebabkan penumpukan kreatinin sehingga kadar kreatinin
serum meningkat.

Faktor/keadaan/penyakit yang disertai dengan peningkatan kadar kreatinin dalam


darah diantaranya:

1. Perubahan massa otot,


2. Diet kaya daging meningkatkan kadar kreatinin sampai beberapa jam setelah makan.
3. Aktifitas fisik yang berlebihan dapat meningkatkan kadar kreatinin darah.
4. Obat-obatan seperti sefalosporin, aldacton, aspirin, dan co-trimexazole dapat mengganggu
sekresi kreatinin sehingga meningkatkan kadar kreatinin dalam darah.
5. Kenaikan sekresi tubulus dan dekstruksi kreatinin internal.
6. Usia dan jenis kelamin pada orang tua kreatinin lebih tinggi daripada orang muda, serta
pada laki-laki kadar kreatinin lebih tinggi daripada wanita (Sukandar, 2006).
7. Masalah pada ginjal, misalnya gagal ginjal, batu ginjal, dan infeksi ginjal
8. Dehidrasi
9. Rhabdomyolisis
10. Hipertensi
11. Diabetes
F. DAFTAR PUSTAKA
 Rismawati Yaswir, Afrida Maiyesi.2012. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin C
Untuk Uji Fungsi Ginjal. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1)
http:/jurnal.fk.unand.ac.id
 Sitti Hadijah.2018. ANALISIS PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN
KREATININ DARAH DENGAN DEPROTEINISASI DAN
NONDEPROTEINISASI METODE JAFFE REACTION. Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Kemenkes Makassar. Jurnal Media Analis Kesehatan, Vol. 1, Edisi 1, Juni
2018
 Sari, E. F. (2014). Pengaruh Minuman Instan dengan Frekuensi berbeda terhadap
Kadar Kreatinin Darah Mencit (Mus musculus) (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
 Alfarisi, S., Basuki, W., & Susantiningsih, T. (2013). Perbedaan kadar kreatinin
serum pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2012. Jurnal Majority, 2(5).
 Alfonso, A. A., Mongan, A. E., & Memah, M. F. (2016). Gambaran kadar kreatinin
serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis. eBiomedik, 4(1).
 Harper, H. A., V. W. Rodwell, and P. A. Mayes. 1979. Biokimia (Review of
physiological chemistry). Alih Bahasa: M. Muliawan. Lange Medical Publications.
Los Altos,California
 Iqhbal, R. M., Ningrum, F. H., & Priharsanti, C. H. (2018). Pengaruh Kemoradiasi
Kanker Kepala Leher Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Serum (Doctoral
dissertation, Faculty of Medicine)
 eprints.poltekkesjogja.ac.id/1204/4/Chapter%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai