Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN TENGAH SEMESTER

MANUSIA DAN MASYARAKAT INDONESIA

Disusun oleh:

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INDONESIA
2016
I. Sekilas Mengenai Lokasi Observasi

Kegiatan observasi lapangan dalam memenuhi tugas matakuliah MMI saya lakukan
pertama kali pada hari Rabu, tanggal 14 September 2016, dan setelahnya diteruskan dengan
frekuensi kurang lebih dua minggu sekali (diselingi dengan diskusi dalam kelas). Lokasi
pengamatan telah disepakati oleh MMI 2016 kelas F di daerah Kukusan Teknik (Kutek). Sesuai
namanya, Kutek berada di wilayah Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, dan persis berada di
seberang Fakultas Teknik UI. Lokasi. Kutek dapat diakses dari dalam wilayah Kampus UI
melalui gerbang Kutek (hanya dapat dilalui pejalan kaki dan sepeda motor) dan Srengseng
Sawah (dapat dilalui mobil sampai batas tertentu). Saya, yang tergabung dalam kelompok dua
dapat memilih subjek di area yang berbelok kiri dari gerbang Kutek.

Kutek adalah area bisnis UMKM yang cukup pesat dengan pangsa pasar utamanya
adalah mahasiswa, khususnya yang berasal dari Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis. Bisnis yang prospektif antara lain adalah indekos (rumah dengan kamar-kamar yang
disewakan), warung, rumah makan, jasa percetakan dan fotokopi. Tidak hanya usaha tetap yang
berkelanjutan, bisnis dadakan pun sering muncul seperti jasa pembuatan nametag pada masa
kegiatan mahasiswa baru. Oleh karena faktor ketersediaan sumber daya, mahasiswa dari
fakultas-fakultas lain yang letaknya jauh pun banyak yang memilih untuk menyewa indekos di
daerah ini. Biaya sewa indekos di Kutek beragam, mulai dari 500 ribu rupiah untuk kamar non-
AC dan 1,1 juta rupiah untuk kamar AC. Makanan yang dijual oleh warga sekitar dan pedagang
keliling bervariasi dengan harga bersahabat. Berdasarkan pengalaman, saya dapat makan
secukupnya dengan 7 ribu rupiah di warteg. Beberapa warung makan, seperti warteg Shinta dan
Bahari, menjadi favorit mahasiswa. Wilayah Kutek dapat dikatakan cukup aman, mengingat
aktivitas mahasiswa dan masyarakat sekitar sangat intens, bahkan tidak pernah sepi 24 jam.
Meskipun begitu, kasus kriminal seperti pencurian kerap terjadi, namun tidak sering.

II. Subjek Observasi

Menemukan subjek pengamatan, berdasarkan pengalaman saya, merupakan sesuatu


yang tingkat kesuksesannya kondisional. Faktor yang mempengaruhi hal ini adalah waktu
pengamatan, yang mana saya pertama kali turun lapangan sekitar pukul 11.30 siang hari. Hal
ini sejak awal dikuatirkan menjadi hambatan karena warga setempat, terkhusus yang bekerja di
rumah makan, sedang sibuk melayani pelanggan pada jam makan siang. Sementara kami
cenderung untuk tidak memilih subjek dari masyarakat dengan mobilitas tinggi, seperti tukang
ojek, karena keberadaan mereka tidak tetap sehingga sulit untuk melakukan pengamatan rutin.

1
Adapun opsi lain adalah penjaga indekos atau karyawan fotokopi, namun tidak diprioritaskan
karena minimnya interaksi yang dapat direkam.

Pada observasi saya yang pertama, saya mengamati seorang ibu yang bekerja di warung
makan Cita Rasa. Setelah mengamati aktivitas dan memperhatikan interaksi dengan
pelanggan, saya belum berhasil mendapatkan identitas dasar beliau (nama, kota asal). Mungkin
merupakan implikasi dari pendekatan yang terlalu to the point, saya dikira ingin melakukan
wawancara panjang. Maka, ada dua alternatif yang saya pertimbangkan: mengubah waktu
kunjungan atau mengganti subjek. Saya memilih opsi kedua. Rekan saya, Naufal, memilih
untuk mengunjungi tempat yang sama di malam hari dan berhasil menggali informasi dari
subjek. Saat saya melakukan observasi kedua, saya mengamati seorang bapak paruh baya di
warung kopi HS, dengan memilih lokasi yang agak jauh (mengingat pekerja di rumah makan
deretan setelah Cita Rasa telah menjadi subjek teman yang lain). Kali ini saya berhasil
mendapat identitas subjek dan beberapa informasi yang dibutuhkan.

III. Observasi 1, 14 September 2016 (Warung Makan Cita Rasa)

Seminggu sebelum observasi pertama dilakukan, saya telah mengunjungi warung


makan ini walaupun hanya melihat dari luar saja, sambil memperhatikan aktivitas pekerja
khususnya dua orang frontliner (yang mengambilkan nasi dan lauk pauk). Dapat diartikan
bahwa mereka adalah pekerja tetap karena selain setiap hari pelanggan butuh makan, kesibukan
di jam makan pagi maupun siang ini adalah sesuatu yang rutin di dalam sebuah rumah makan.
Dengan demikian, calon subjek dapat dikatakan menetap di lokasi.

Warung makan Cita Rasa terletak tidak jauh dari sebelah kiri gerbang Kutek, persis
berada di sebelah kiri indekos Unihome yang mudah ditemukan karena ukuran bangunannya
yang lebih besar dari bangunan sekitarnya. Warna banner yang hijau membuat tempat makan
ini mudah dikenali. Tepat di sebelah kirinya terdapat layanan fotokopi, dan di seberangnya
terdapat angkringan yang menjual gado-gado. Tempat ini cukup padat dengan luas area yang
hanya sekitar 4 x 5 meter persegi. Antara ruang makan pelanggan dan dapur masak diberi sekat
yang tidak terlalu tinggi. Ditambah pula dengan cuaca yang panas, lokasi ini cukup sesak
karena. Meskipun begitu, subjek observasi saya berinisiatif untuk menyalakan kipas angin
seiring bertambahnya pengunjung yang masuk.

Pegawai Cita Rasa sendiri ada lima orang (termasuk pemilik), yaitu dua orang di lini
depan, satu orang juru masak dan dua orang yang mengolah bahan mentah. Terdapat pula satu
orang lagi mondar-mandir mengantar bahan makanan. Terdapat tulisan menerima pesanan di

2
banner, menunjukkan kapasitas produksi yang tinggi sehingga butuh beberapa karyawan yang
menangani. Menu warteg Cita Rasa kurang lebih sama dengan warteg-warteg yang ada di
Kutek. Setelah memesan nasi dengan tempe, sayur dan ikan, saya awalnya menghampiri
seorang wanita muda berusia kurang lebih dua puluhan tahun untuk memintanya menjadi
subjek. Mbak, saya ada tugas mengamati warga sekitar sini. Nanti saya akan sering-sering
makan, mbak sehari-hari di sini saja, kan? Namun ia menolak sopan. Ke ibu yang punya
(warteg) aja, mbak,, katanya.

Setelah diperhatikan lagi, pukul 12.00 siang memang saat sibuk-sibuknya pelayan
rumah makan. Sayapun beralih ke seorang wanita kira-kira berusia 30-40 tahun yang sedang
sibuk di lini depan warteg. Ia sedang mengenakan kaus cokelat dan celana legging gelap. Ia
yang tadi berinisiatif menyalakan kipas angin di tengah panasnya cuaca Depok. Selain
mengambilkan nasi dan lauk pauk ke pelanggan, ia juga yang membereskan piring kotor
sembari sesekali bercengkrama dengan bahasa Jawa. Saat itu ada sekitar 6-8 orang pelanggan,
di mana sebagian besar adalah mahasiswa dan sebagian kecil sepertinya adalah karyawan
kantor (terlihat dari perawakan, pakaian dan tas ransel kotak yang dikenakan).

Saya berasumsi ibu ini adalah warga yang sudah lama tinggal di Kutek dan mengenal
orang-orang langganannya, terlihat dari percakapan santai ia terhadap beberapa dari mereka.
Tentu berbeda dengan wanita muda sebelumnya (yang sekarang menjadi subjek observasi rekan
saya Naufal) yang lebih pendiam dan bercakap-cakap seperlunya. [Beberapa lama setelahnya
saya baru tahu dari Naufal kalau mbak tersebut adalah karyawan baru.] Setelah membayar
makanan, saya mencoba pendekatan lebih informal dan langsung menanyakan nama dan asal
beliau. Sama seperti sebelumnya, beliau mengira saya ingin mewawancarai sesuatu hal yang
serius sehingga beliau menolak memberi tahu.

Karena saya sehari-hari pergi-pulang kampus dari Bekasi ke Depok, tentu sulit bagi saya
untuk menunggu di sekitar UI sampai rumah makan sepi (biasanya di malam hari dan saya tidak
harus cepat pulang). Karena itu, saya memutuskan untuk mengganti subjek observasi, dengan
menargetkan rumah makan yang tidak terlalu ramai. Sayapun menyesuaikan waktu kunjungan
saya agar tidak menemui rush hour seperti pada turun lapangan sebelumnya.

IV. Observasi 2, 4 Oktober 2016

Turun lapangan kedua saya lakukan pada hari Selasa, tanggal 4 Oktober 2016 tetap di
wilayah Kutek kiri sesuai kesepakatan. Saya sengaja mengambil rute yang agak jauh, melewati
rumah makan Sumber Rezeki dan Singgah Sana yang pemiliknya telah menjadi subjek teman

3
sekelompok saya. Setelah melewati pertigaan kecil ke gang perumahan, saya mengunjungi
Warkop HS yang berada di antara dua laundry dan memutuskan untuk mengamati subjek
potensial di tempat tersebut. Saat itu saya tiba di tempat pada pukul 11.10 dan menemui Warkop
HS masih sepi. Hanya ada dua orang, yaitu pemilik warkop dan seorang mahasiswa yang
sedang makan siang.

Warkop HS adalah warung kopi sederhana yang menyediakan indomie, nasi dadar (nasi
dengan telur dadar), bubur ayam, roti bakar, teh, kopi, dan susu. Walaupun begitu, warkop HS
ini berani berkomitmen untuk buka selama 24 jam sehari. Ruangan warkop tersebut sekitar 3 x
6 meter persegi, dilengkapi dengan TV di sudut atas dan wifi router. Bangku yang disiapkan
juga merupakan dua bangku panjang yang membentuk sudut siku-siku menutupi area dalam
ruangan. Di dalam warkop sendiri terdapat sebuah kompor gas dan etalase untuk menyimpan
indomie dan menggantung kopi dan susu bubuk dalam kemasan.

Setelah memesan nasi dan telur dadar sosis, saya bertanya kepada pemilik warkop,
apakah biasanya sesepi ini mengingat pada turun lapangan pertama banyak tempat makan yang
penuh. Nggak, kok, mbak. Alhamdulillah selalu ramai kalau jam makan pagi/siang/malam. Ini
anak-anaknya lagi pada kuliah aja, jawabnya. Cukup masuk akal apabila warkop ini memiliki
jam-jam ramai, karena itulah beliau berani untuk buka 24 jam.

Pemilik Warkop HS ini bernama Pak Beni, asal Kuningan, Jawa Barat. Dari
perawakannya, kira-kira ia berusia empat puluhan tahun. Walaupun berasal dari daerah, saya
belum menemui beliau berbicara dengan pelanggan menggunakan bahasa daerah karena
kondisi saat itu hanya berdua saja dengan saya. Beliau bukanlah seseorang yang banyak
berbicara, namun mau menjawab ketika sesekali saya bertanya. Ada kalanya Pak Beni bertanya
asal daerah saya. Mungkin beliau menangkap pemahaman saya mengenai seluk beluk Kutek
masih kurang. Sebelumnya saya sempat bertanya Pak, warkop ini baru buka ya? dan beliau
menjawab bahwa ia sudah lama di sini. Karena, walaupun sudah setahun di UI, saya sangat
jarang mengunjungi area Kutek atau Kukel dan lebih banyak bermain di Barel dan Kober yang
lebih dekat dari FISIP. Pak Beni juga peka terhadap keadaan sekitar, terbukti saat saya makan
ia langsung menyalakan kipas angin yang tadinya dalam keadaan mati. Ia juga menawarkan
bawang goreng kepada saya.

Selain itu, tidak banyak interaksi antara saya dan beliau, maupun antara beliau dengan
yang lain karena di waktu sepi ini beliau habiskan dengan menyimak tontonan di televisi. Saya
melontarkan beberapa pertanyaan kecil untuk mempercair suasana. Ternyata bahkan beliau

4
menginformasikan lebih banyak dari yang saya tanyakan. Di warkop ini, tentunya ia tidak
bekerja sendiri. Ia bekerja bertiga bersama keluarganya, bergantian selama 24 jam. Sekilas saya
melihat sebuah kalender dengan foto tampak depan Warkop HS dan Laundry HS. Rupanya, ia
juga memiliki usaha laundry dengan 5 cabang, salah satunya di sekitar PNJ.

V. Observasi 3, 11 Oktober 2016

Saya turun lapangan untuk ketiga kalinya di hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2016 pukul
11.45. Cuaca saat itu sedang mendung menuju hujan. Kali ini saya berangkat agak terlambat
dari perkiraan karena sedang ada kuliah khusus di matakuliah Pengantar Bisnis.

Sesampainya di Warkop HS, saya berekspektasi akan menemui warkop yang ramai
dipadati mahasiswa di jam di mana seharusnya mereka makan siang. Namun, saya hanya
melihat empat mahasiswa saja di sana. Padahal, kapasitas warkop 3x6 meter persegi ini dapat
memuat 8-9 orang di depan. Entah karena masih banyak yang berkuliah di sesi 2 atau para
mahasiswa kebanyakan tidak ingin bersantai jelang UTS. Mereka semua memarkirkan
motornya di depan warkop lalu memesan makanan dan minuman. Seseorang berinisiatif
menyalakan kipas angin mengingat udara tetap kering walau matahari tidak terik. Hampir
semua mahasiswa yang makan di sana aktif merokok. Untungnya saya menikmati indomie kari
ayam saya di sisi lain bangku makan sehingga tidak terpapar langsung dengan asap. Menguping
sedikit dari pembicaraan mereka, saya menduga mereka adalah mahasiswa Fakultas Teknik.
Mereka sedang berdiskusi mengenai tugas-tugas, presentasi, kuis dan praktikum. Terakhir,
seorang teman menyusul bergabung dan memesan bubur kacang ijo dan roti tawar. Tidak terlalu
banyak interaksi antar Pak Beni dan mahasiswa ini selain memesan makanan. Nada ucapan
para pemuda ini terdengar jauh dari formal, namun masih dalam batas kesopanan. Namun pak
Beni tetap santai, seperti sudah maklum dengan gaya bahasa mahasiswa.

Rabu minggu sebelumnya, waktu satu kelas MMI F mengunjungi Kutek untuk
menunjukkan subjek pengamatan ke Bu Kenny, saya sempat melewati Warkop HS yang lain
yang terletak lurus kira-kira 30 meter dari gerbang Kutek. Warkop itu terletak di sebelah tempat
fotokopi dekat mushola. Iseng-iseng saya bertanya ke Pak Beni, apakah warkop itu
kepemilikannya sama juga. Sempat agak terheran karena ada seseorang yang menyadari,
menjawab Iya, mbak. Ada lima cabang. Dua di Kutek, satu di PNJ, satu di Bandung dan satu
di Bogor,. Ternyata, yang memiliki lima cabang bukan hanya laundry saja tetapi berikut
warkopnya. Bahkan bisa meluas sampai ke Bogor dan Bandung, kemungkinan ada saudara atau
kerabat yang turut mengelola. Mengenai Warkop HS cabang Kutek lurus, menu yang

5
disediakan kurang lebih sama, yaitu indomie, kopi, susu, teh, bubur, dan nasi dadar. Namun,
menurut Pak Beni, karena posisinya yang lebih strategis, warkop ini lebih ramai pengunjung
dibandingkan yang ada di cabang Kutek kiri. Ternyata, sebelumnya saya memang telah
beberapa kali melewati dan mengamati ramainya tempat tersebut setiap malam setelah
mengerjakan tugas OPK. Hanya saja waktu itu kami belum mengenal subjek observasi karena
memang belum jadwalnya kuliah. Sehingga, yang ramai mengunjungi Warkop HS cabang
Kutek lurus di malam hari kebanyakan adalah warga yang menonton sepakbola.

VI. Kesimpulan

Dari beberapa kali observasi yang saya lakukan, saya dapat menyimpulkan apa yang
saya dapat secara keseluruhan melalui poin-poin di bawah ini:

1. Masyarakat dalam setting, yaitu warga Kutek, adalah masyarakat dengan profesi
yang berbeda-beda. Dalam hampir setiap bisnis (indekos, tempat makan, layanan
percetakan dan fotokopi, warung) selalu ada pemilik bisnis dan karyawannya. Untuk
usaha yang relatif kecil sebagian karyawan adalah anggota keluarga sendiri.
Sedangkan untuk usaha yang pengelolaannya membutuhkan banyak SDM merekrut
karyawan dari luar, misalnya satpam indekos.
2. Pak Beni, selaku subjek observasi, adalah pemilik Warkop HS Kutek kiri. Beliau
adalah orang rantauan yang sudah lama menetap di Depok. Usahanya tidak hanya
warkop, tetapi juga laundry. Di lokasi, ia bekerja bersama dua orang anggota
keluarga lainnya. Pak Beni memiliki pembawaan yang santai dan tidak terlalu
banyak berceloteh, namun menyambut baik setiap pertanyaan yang dilontarkan.
3. Dalam menggali informasi dengan subjek, perlu diperhatikan hal-hal seperti waktu
turun lapangan dan jumlah orang-orang yang berinteraksi dengan subjek. Ada
kalanya, ketika suasana terlalu ramai, hambatannya adalah kita tidak dapat
mengganggu subjek dengan pertanyaan-pertanyaan. Adapun ketika suasana terlalu
sepi, tidak banyak interaksi antar subjek dan orang lain yang dapat ditangkap dan
dimaknai.
4. Ada beberapa hal yang menjadi evaluasi dan perlu saya perbaiki dalam observasi ke
depannya. Salah satunya adalah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang dapat
menjadi bahan untuk catatan lapangan dari sebelum kunjungan. Subjek agak pasif
dalam bercerita, namun mau menjawab selama pertanyaan dilontarkan dengan

6
bahasa yang wajar. Sayapun harus mengemas pertanyaan-pertanyaan tersebut agar
tidak kaku seperti wawancara, tetapi dapat berlangsung santai.

VII. Lampiran

Gambar 1. Tampak luar warung makan Cita Rasa

Gambar 2. Tampak dalam Warkop HS

Referensi:

- Catatan Lapangan 1, 2, dan 3 tugas matakuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia,


oleh Gloria Dorothy Rolanda (1606894156)

Anda mungkin juga menyukai