Anda di halaman 1dari 11

Tugas Artikel UAS Praktik Penelitian Etnografi C

Memasak tugas siapa?: pergeseran nilai patriarki Jawa pada memasak di


ranah domestik dan ranah publik
Kahlila Denali Lawe - 130220130032 - Praktik Penelitian Etnografi C

Pendahuluan
Lebih dari 600,000 ribu tahun yang lalu, spesies primata yang akan menjadi cikal-bakal
dari manusia modern akan berevolusi menjadi manusia modern dari langkah sederhana
mengolah makanan di atas api (Mott, 2012). Jika membicarakan mengenai sejarah awal
memasak, maka lebih baik membuat karya tulis berbeda sekalian. Tidak ada yang dapat
memperdebatkan bahwa makanan dan memasak adalah bagian vital dalam peradaban manusia.
Selayaknya makhluk hidup manapun, tidak akan ada yang bisa bertahan hidup tanpa energi yang
didapat dari makanan, dan penemuan memasak (iya, memasak adalah penemuan) adalah apa
yang menjadikan kita seperti sekarang ini, koloni spesies yang memiliki cara hidup kompleks
dan multikultural (Cam, 2019).
Peran gender dalam tugas memasak telah lama menjadi fokus perhatian dalam kajian ini,
karena mencerminkan dinamika kekuasaan, stereotip gender, dan perubahan sosial dalam
masyarakat.bukanlah fenomena universal, melainkan bervariasi secara signifikan di berbagai
konteks budaya. Dalam beberapa masyarakat, perempuan secara tradisional bertanggung jawab
atas tugas memasak, sementara laki-laki terlibat dalam pekerjaan di luar rumah. Namun, dalam
budaya lain, pembagian kerja memasak bisa saja berbeda atau bahkan dapat berubah seiring
waktu. Dalam kajian antropologi gender, peran gender dalam pembagian kerja memasak tidak
hanya dipandang sebagai hasil dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi
juga sebagai hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang kompleks. Norma, nilai, dan ekspektasi
sosial yang terkait dengan gender memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang
bertanggung jawab atas memasak dan bagaimana tugas tersebut didistribusikan dalam keluarga
atau masyarakat. Berkembangnya zaman juga banyak mengembangkan kebudayaan. Memasak
tidak lagi pada ranah domestik, tetapi sudah menjadi industri ekonomi tersendiri; itu pun tidak
bisa lepas dari sifat gender yang sepertinya mengikuti memasak ke ranah apapun. Memasak
sejatinya merupakan tugas dan tanggung jawab perempuan, akan tetapi mengapa industri
makanan didominasi oleh laki-laki?
Indonesia sendiri merupakan negara dengan nilai patriarki yang masih sangat kental,
terutama dalam masyarakat Jawa. Kultur patriarki yang masih kental menaruh laki-laki sebagai
kekuatan utama dalam keluarga, sedangkan perempuan mengalami keterbatasan dalam ruang
geraknya. Konstruksi gender ini memengaruhi bagaimana pembagian kerja dan peran sosial
dalam masyarakat Jawa, laki-laki adalah tulang punggung keluarga dan memiliki lebih banyak
hak dibandingkan perempuan yang harus berada di rumah mengurus anak dan suami. Perempuan
dibatasi untuk berada di ranah domestik, dimana terdapat gagasan mengenai identitas sosial
perempuan yang meliputi 3M-macak, manak, masak- atau yang serupanya adalah sumur, dapur,
kasur (Muhmad Pirus & Nurahmawati, 2020).
Perekonomian Indonesia yang ditopang oleh sektor informal, pedagang kaki lima dan
warung-warung kecil menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari dari Sabang sampai
Merauke. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, saya mengambil pasangan suami-istri
pedagang nasi goreng di Tembalang, Semarang sebagai subjek dari penelitian ini dengan metode
pengumpulan data adalah observasi partisipan serta wawancara. Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab pertanyaan mengapa kebanyakan pedagang sektor informal makanan adalah laki-laki?
Hal ini menjadi menarik untuk dikaji terutama dalam masyarakat Jawa dengan budaya patriarki
yang kental dalam pembagian kerja berdasarkan gender, dikaitkan dengan perbedaan memasak
dalam ranah domestik dan publik. Kajian gender dalam dunia kuliner dan memasak sudah
banyak (i.e. Allen & Sachs, 2007; Caraher dkk., 1999; Dawson, 1999; Dixey, 1996; Fürst, 1997;
Harjito dkk., 2022; Konkol, 2013; Szabo, 2013, 2014), namun sejauh ini belum ada yang
mengangkat mengenai pergeseran pembagian peran memasak dalam masyarakat Jawa pada
ranah domestik dan ranah publik.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi, pengumpulan
datanya dilakukan menggunakan cara observasi partisipan dan wawancara mendalam. Periode
penelitian ini berjalan selama hampir sebulan penuh di bulan Mei kemaren, tepatnya dari tanggal
8 - 30 Mei 2023 (observasi tidak dilakukan setiap hari) di malam hari dikarenakan warung
tersebut baru buka mulai dari sore hari hingga menjelang tengah malam. Selama penelitian, saya
berperan sebagai pelanggan warung tersebut dan sebelum penelitian ini pun saya juga sudah
sering mengunjungi warung dan makan di sana sehingga para pemiliknya kurang lebih sudah
hafal dengan saya yang memudahkan proses observasinya. Selama proses penelitian, saya
hampir setiap malam tidak pernah absen dari makan warung. Sebelum penelitian ini pun saya
sudah menjadi langganan tetap di sana karena kebetulan kosan saya terletak di seberang
warungnya, jadi kurang-lebih Bapak sudah hafal dengan saya. Apabila di waktu lain selain jam
buka warung kami berpapasan, kami akan saling sapa dengan senyuman dan anggukan
kepala.Proses wawancara dilakukan secara informal, saya mewawancarai Ibu sembari menunggu
pesanan dan saya mewawancarai Bapak ketika Bapak sedang memasak. Pengalaman wawancara
saya kali ini memberikan saya pelajaran berharga mengenai penggunaan pendekatan yang tepat
terhadap informan. Ketika saya pertama kali memohon izin untuk mewawancarai Bapak, kesan
yang saya berikan adalah saya ingin melakukan wawancara formal yang serius sambil duduk
berhadap-hadapan sehingga Bapak mengiranya harus meluangkan waktu. Padahal, pada
kenyataannya hanya butuh berbincang-bincang saja dengan Bapak dan Ibu. Harus saya akui
bahwa wawancara informal sebenarnya cukup membuat saya gugup karena saya tidak bisa
memulai percakapan pertama kali, maka ini adalah kemampuan yang masih harus terus saya asah
kedepannya agar dapat melakukan wawancara yang efektif tanpa mengganggu waktu informan
terlalu lama.

Hasil dan Pembahasan


Setiap malam, suara kendaraan selalu ramai menghidupi sepanjang Jalan Tirto Agung,
Tembalang, Semarang. Dibalik kebisingan suara mesin dan knalpot, sebuah bangunan mungil
berwarna kuning menambah ramai jalanan dengan suara wajan besi yang beradu dengan spatula
besi. Bangunan tersebut berbentuk kotak, tidak terlalu besar tetapi tidak sempit dengan dua deret
meja panjang, dua di kanan dan tiga di kiri, lengkap dengan kulkas berukuran sedang di pojok
belakang deretan meja kanan. Di belakang ada sebuah pintu yang mengarah ke ruang cuci,
sederetan pakaian dan handuk selalu terlihat menggantung dari sebuah tongkat bambu. Bangunan
mungil ini masih muat sebuah ruangan kecil di dalamnya yang hanya ditutupi oleh semacam kain
gorden, di sinilah keluarga Pak Heru tinggal. Di balik wajan panasnya, Pak Heru menghidupi
keluarganya dengan berjualan beraneka ragam nasi dan mie goreng, ada juga pilihan kwetiau
goreng dan capcay. Di atas latar cat hijau pada dinding kayu etalasenya tertulis dengan cat
merah: Warung 78.
Nama Bapak adalah Heru Nugroho, usia 44 tahun dan nama Ibu adalah Nurjanah, usia 37
tahun. Pasangan suami-istri ini memiliki satu anak laki-laki yang sudah duduk di bangku kelas 2
SD. Keduanya berasal dari Tegal, datang ke ibukota Jawa Tengah pada tahun 2016 dengan tujuan
untuk berdagang. Sebelumnya, Bapak berjualan sayur-mayur keliling di kampung, kemudian
belajar memasak dari kakaknya Ibu yang kebetulan berjualan nasi goreng. Si Bapak bertubuh
gempal dan berkulit gelap, rambut tipisnya sudah mulai terlihat memutih, Si Ibu bertubuh kecil
dengan mata teduh. Keduanya selalu menerima pelanggan yang datang dengan keramahan dan
setiap ada yang pergi pun juga selalu mengucapkan terima kasih; meski warungnya kecil, namun
pelayanan bintang lima. Warung kecilnya selalu bersih, berlama-lama di sana pun pasti betah.
Ruang masak yang hanya sepetak terletak di depan warung tidak pernah Bapak biarkan kotor
terlalu lama dan meja bekas pelanggan tidak pernah didiamkan lama, setiap habis satu pelanggan
langsung dibersihkan. Setelah malam telah mencapai puncaknya, Bapak dan Ibu akan
membereskan warung bersama sebelum mengakhiri harinya. Pembagian pekerjaannya cukup
jelas terlihat, Bapak yang memasak dan Ibu yang melayani pelanggan dengan menerima pesanan
minum, membungkus pesanan, dan menerima uang. Sebagai perantau, keluarga kecil ini
menjalani rutinitas sehari-hari yang cukup normal, di pagi hari mengantar anak sekolah, siang
hari menyiapkan bahan-bahan untuk buka warung, dan di sore sampai malam hari mulai
berdagang. Ibu tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai ibu rumah tangga dan bantu-bantu di
warung.
Kebanyakan pelanggannya adalah mahasiswi, tidak mengherankan mengingat lokasinya
yang cukup strategis; dekat dengan jalan besar dan kos-kosan putri yang bertebaran. Pada
periode observasi saya pertama, saya tidak melihat Bapak dimanapun jadi Ibu yang mengerjakan
pesanan saya. Ini merupakan pertama kalinya saya melihat Ibu yang memasak, gerakannya tidak
selincah Bapak tapi kedua tangannya tahu apa yang harus dilakukan. Tak lama barulah Bapak
keluar dari belakang dan melihat Ibu yang berada di belakang kompor membiarkannya dan
membereskan piring-piring kotor ke belakang. Kemudian pada periode berikutnya saya
mengamati bahwa Bapak adalah nahkodanya di warung tersebut, Ibu adalah tangan kanan
Bapak. Mereka mampu mengharmonisasikan ritme masing-masing dan sebenarnya saya senang
melihat dinamikanya, bagaimana mereka akan saling mengisi peran satu sama lain ketika melihat
salah satunya sedang sibuk mengerjakan yang lain. Pada dasarnya, pembagian kerja mereka
tergantung kepada jumlah pelanggan yang datang malam itu yang membuat peran mereka di
warung cukup fleksibel meski memiliki jobdesk dasar masing-masing.
Satu hal yang saya amati cukup menarik perhatian saya adalah Bapak dan Ibu tidak
melakukan food-prep (kegiatan mempersiapkan bahan makanan sebelum dimasak) sebelum buka
warung, bahan-bahan sayur-mayur dipotong ketika ada pesanan yang masuk. Pada awalnya, saya
berasumsi untuk menjaga kesegaran dari sayur-sayurnya atau sebagai pekerjaan Ibu di warung.
Ibu menjelaskan bahwa sebagian dari bahan-bahan sayur sudah dipotong-potong terlebih dahulu
untuk mempersingkat waktu penyiapan pesanan ketika warung sedang ramai, sisanya akan
dipotong-potong setelah paruhan dari sayur yang sudah dipotong di awal sudah habis.
Sebenarnya penjelasan Ibu tidak secara khusus menjawab pertanyaan saya, namun setidaknya
memberikan gambaran mengenai cara kerja Bapak dan Ibu di warung. Dari hasil pengamatan
saya juga menunjukkan bahwa memotong-motong sayur memang bagian dari jobdesk Ibu di
warung.
Selain tentang sayur yang dipotong, saya juga mengamati satu hal yang menarik adalah
anak mereka terkadang suka membantu di warung, beberapa kali melihat si anak tanpa disuruh
membawa piring dan gelas kotor beserta alat makan bekas pelanggan ke belakang untuk dicuci.
Ketika saya bertanya kepada Ibu dari umur berapa sudah dibiasakan membantu di warung,
jawaban Ibu yang sembari tertawa cukup membuat saya kagum,
“Ga pernah disuruh buat bantu di warung, mbak. Kalo lagi repot,
tiba-tiba aja suka bantu bawa [piring] ke belakang.”
Selanjutnya pemaparan hasil observasi dan wawancara akan didiskusikan lebih lanjut
mengenai pergeseran nilai patriarki pada memasak dalam ranah domestik dan publik pada
masyarakat Jawa pedagang di sektor informal.
Apa bedanya memasak dalam ranah rumah tangga dan ranah publik?
Pembagian kerja gender tradisional dalam memasak dan pekerjaan rumah tangga sangat
kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama oleh konteks budaya. Brines (1994)
berargumen bahwa istri lebih banyak memegang pekerjaan rumah ketika mereka secara ekonomi
bergantung kepada suami, akan tetapi suami mengerjakan lebih sedikit pekerjaan rumah ketika
mereka bergantung kepada istri secara ekonomi. Lachance-Grzela & Bouchard (2010) mengulas
kajian-kajian mengenai pembagian pekerjaan rumah tangga dan menemukan bahwa faktor
tingkat makro (konteks nasional/budaya) dan mikro (karakteristik individu) berkontribusi kepada
pembagian kerja berdasarkan gender. Allen & Sachs (2007) berpendapat bahwa keterlibatan
perempuan dengan makanan membentuk identitas dan peran sosial mereka, namun kekuatan
yang mereka miliki untuk mengambil keputusan dalam industri makanan minim dan cenderung
tidak ada. Temuan ini sejalan dengan penelitian oleh Konkol (2013) yang menggarisbawahi
bahwa kesulitan yang dialami oleh keempat koki profesional yang menjadi subjek penelitiannya
terjadi karena terjadi pergeseran dalam ruang memasak; memasak adalah sesuatu yang harus
dikuasai oleh perempuan di rumah, namun ketika memasak menjadi pekerjaan yang
menghasilkan uang (koki profesional), maka pandangan bahwa laki-laki “mampu” bekerja lebih
keras dibandingkan perempuan pun masuk ke dalam diskursus ini yang menghalangi perempuan
untuk bahkan masuk ke dalam industri yang melibatkan memasak.
Di Indonesia, peran perempuan dalam memasak memiliki akar yang sangat dalam dalam
ideologi patriarki. Harjito dkk (2022) berargumen bahwa secara turun-temurun dengan basis
ideologis, perempuan dituntut untuk bisa memasak agar mendapatkan kesetiaan suami mereka.
Namun, perempuan mampu melawan keterikatan ini dengan menjual makanan yang mereka buat
sehingga memberikan mereka kemandirian ekonomi. Dalam disertasinya di perumahan
transmigran di Riau, Dawson (1999) menemukan bahwa pada lingkungan pertanian yang
marginal secara ekonomi, pekerjaan dan kemampuan perempuan menjadi vital untuk
keberlanjutan rumah tangga mereka, mengurus anak, dan mengelola sumber daya domestik.
Pekerjaan perempuan sebagai produser subsisten untuk pasar dan pemasukan dalam pertanian
(dan sektor lain) berkontribusi secara langsung untuk keberlangsungan rumah tangga.
Terdapat perbedaan dalam memasak pada ranah domestik dan publik (pekerjaan
profesional). Penelitian Short (2003) menemukan bahwa kemampuan memasak yang dibutuhkan
untuk pekerjaan profesional bersifat kompleks (mencakup kemampuan mekanis, konseptual,
perencanaan, akademik, dan persepsi) dan terpusat pada individu (person-centered), sedangkan
kemampuan memasak domestik bersifat konstan dan tidak berubah. Caraher dkk (1999)
menemukan bahwa perempuanlah yang masih memikul beban memasak untuk rumah tangga,
dengan empat dari setiap lima responden perempuan memasak hampir setiap harinya jika
dibandingkan dengan satu dari lima laki-laki. Szabo (2014) berargumen bahwa laki-laki dengan
tanggung jawab memasak untuk domestik mengambil pendekatan tradisional maskulin dan
feminin terhadap makanan, dimana peran serta tanggung jawab sosial membentuk pendekatan
memasak berdasarkan gender. Dari peneliti yang sama pula ditemukan bahwa laki-laki dengan
tanggung jawab memasak domestik yang signifikan mengalami memasak sebagai pekerjaan
yang santai atau work-leisure dan mampu memanipulasi ruang dan waktu memasak untuk
menciptakan memasak yang santai tanpa beban tanggung jawab. Fürst (1997) berpendapat
bahwa makanan merupakan pembentuk identitas yang penting dan memberi makan memiliki
kaitan erat dengan feminitas dan pengalaman subjektif menjadi seorang perempuan.
Pekerjaan memasak dalam rumah tangga mengalami bias yang serupa dengan pekerjaan
memasak di industri kuliner. Laki-laki mampu membuat memasak di rumah sebagai kegiatan
yang menyenangkan–“kalau sama ayah/bapak/papah bebas”–karena waktu dan pilihan makanan
yang dipilih berbeda dari yang “biasa dimasak ibu”. Pada dasarnya, memasak untuk rumah
tangga berkaitan erat dengan mengurus dan menghidupi rumah tangga yang secara tradisional
merupakan tugas perempuan. Dalam penelitian ini, pembagian kerja memasak untuk domestik
dan publik terlihat cukup jelas antara Bapak dan Ibu. Ibu yang memegang tanggung jawab dalam
memasak sehari-hari, sedangkan Bapak yang memasak untuk menafkahi keluarga. Meski
demikian, Ibu terkadang menggantikan posisi Bapak dalam menyiapkan pesanan jika Bapak
sedang ke belakang walau pada akhirnya menjadikan posisinya sebagai tenaga bantuan.
Pembagian kerja Bapak dan Ibu lakukan di warung dan rumah tangga menjadi gambaran nyata
bagaimana dikotomi peran gender dalam masyarakat Jawa.
Apa nilai patriarki di kalangan masyarakat Jawa dan bagaimana pergeserannya?
Pada masyarakat Jawa melekat nilai-nilai patriarki yang membatasi ruang gerak
perempuan hanya pada ranah domestik saja dan menomorduakan mereka dari laki-laki (N.S.,
2017). Muhmad Pirus & Nurahwati (2020) berargumen bahwa identitas perempuan Jawa
berpusat dari konsep 3M: Macak-Manak-Masak (berdandan, melahirkan, memasak), yang
membatasi ruang gerak mereka dan memposisikan mereka di bawah laki-laki. Myrlinda (2020)
membicarakan kepercayaan orang Jawa menyimbolkan bagaimana perbedaan status antara
laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perbedaan peran gender. Namun dengan
perkembangan zaman yang menciptakan faktor-faktor seperti globalisasi dan modernisasi yang
mengubah norma sosial, nilai-nilai patriarki masyarakat Jawa mengalami pergeseran di era
modern ini. Modernisasi berdampak kepada bagaimana perempuan memainkan peran signifikan
dalam ekonomi setempat dan kehidupan domestik dan pada akhirnya menantang peran
tradisional gender.
Saya berpendapat bahwa tantangan peran tradisional gender yang terjadi akibat dari
modernisasi adalah pertukaran peran (role reversal). Masyarakat Jawa yang diatur oleh budaya
patriarki dalam pembagian kerjanya cukup jelas memisahkan apa yang menjadi ranah perempuan
dan apa yang menjadi ranah laki-laki dengan sanksi sosial yang cukup berat jika berani
melanggar batas-batas tersebut, terutama untuk perempuan. Ranah perempuan adalah domestik,
rumah tangga adalah dunianya sebagaimana konstruksi sosial masyarakat Jawa terhadap
perempuan untuk masak, mengurus anak, dan berpenampilan ayu. Sementara laki-laki harus
berada di luar rumah untuk mencari nafkah dan menjadi pemimpin tunggal dalam keluarga.
Namun, perkembangan zaman yang membuka berbagai macam peluang ekonomi banyak
menghasilkan lapangan-lapangan pekerjaan baru seperti di sektor informal dan menggeser
nilai-nilai kebudayaan seperti memasak yang tidak lagi terbatas pada rumah tangga saja.
Laki-laki Jawa yang dituntut untuk menafkahi keluarganya pun terpaksa mampu mengikuti arus
ekonomi global dan terjun ke industri yang sekiranya dapat membantunya menopang
keluarganya, salah satunya yang menjadi tujuan populer adalah berdagang makanan. Hal ini
mengharuskannya untuk menguasai kemampuan memasak, seperti yang terjadi dengan Bapak
dan Ibu. Ranah domestik tetap Ibu yang pegang, makan pagi sampai malam masih menjadi
tanggung jawab Ibu sebagai perempuan di keluarga; ranah publik adalah milik Bapak yang
memasak untuk orang lain sebagai sumber pemasukan utama keluarga. Hal ini juga
menunjukkan bagaimana nilai patriarki pun mengalami pergeseran, laki-laki harus menguasai
kemampuan yang selama ini menjadi hak milik perempuan dan sebagai identitas mereka demi
menjalankan peran sosialnya sebagai tulang punggung keluarga, yaitu memasak.

Kesimpulan
Peran gender dalam tugas memasak telah lama menjadi fokus perhatian dalam kajian ini,
karena mencerminkan dinamika kekuasaan, stereotip gender, dan perubahan sosial dalam
masyarakat.bukanlah fenomena universal, melainkan bervariasi secara signifikan di berbagai
konteks budaya. Dalam beberapa masyarakat, perempuan secara tradisional bertanggung jawab
atas tugas memasak, sementara laki-laki terlibat dalam pekerjaan di luar rumah. Namun, dalam
budaya lain, pembagian kerja memasak bisa saja berbeda atau bahkan dapat berubah seiring
waktu. Dalam kajian antropologi gender, peran gender dalam pembagian kerja memasak tidak
hanya dipandang sebagai hasil dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi
juga sebagai hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang kompleks. Norma, nilai, dan ekspektasi
sosial yang terkait dengan gender memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang
bertanggung jawab atas memasak dan bagaimana tugas tersebut didistribusikan dalam keluarga
atau masyarakat. Berkembangnya zaman juga banyak mengembangkan kebudayaan. Memasak
tidak lagi pada ranah domestik, tetapi sudah menjadi industri ekonomi tersendiri; itu pun tidak
bisa lepas dari sifat gender yang sepertinya mengikuti memasak ke ranah apapun. Pada dasarnya,
memasak untuk rumah tangga berkaitan erat dengan mengurus dan menghidupi rumah tangga
yang secara tradisional merupakan tugas perempuan. Modernisasi berdampak kepada bagaimana
perempuan memainkan peran signifikan dalam ekonomi setempat dan kehidupan domestik dan
pada akhirnya menantang peran tradisional gender. Laki-laki Jawa yang dituntut untuk
menafkahi keluarganya pun terpaksa mampu mengikuti arus ekonomi global dan terjun ke
industri yang sekiranya dapat membantunya menopang keluarganya, salah satunya yang menjadi
tujuan populer adalah berdagang makanan. Hal ini mengharuskannya untuk menguasai
kemampuan memasak. Hal ini juga menunjukkan bagaimana nilai patriarki pun mengalami
pergeseran, laki-laki harus menguasai kemampuan yang selama ini menjadi hak milik perempuan
dan sebagai identitas mereka demi menjalankan peran sosialnya sebagai tulang punggung
keluarga, yaitu memasak.
Artikel ini mendiskusikan mengenai dikotomi dalam memasak berdasarkan gender.
Peran gender yang dipegang Bapak dan Ibu dalam mengelola warung nasi goreng dan rumah
tangga menjadi gambaran nyata terhadap dikotomi memasak berdasarkan ranah domestik dan
ranah publik dan bagaimana nilai patriarki mengalami pergeseran. Memasak yang secara
tradisional merupakan tugas dan tanggung jawab perempuan dan hanya terbatas di rumah tangga
saja akhirnya meluas ke industri kuliner pada sektor formal dan informal untuk memenuhi
tuntutan ekonomi. Penelitian ini dapat menjadi batu loncatan untuk kajian gender mengenai
pembagian kerja berdasarkan gender untuk aktivitas memasak pada sektor informal dan
bagaimana budaya merupakan bagian integral penting dalam kehidupan karena bahkan dalam
kegiatan sederhana seperti memasak sekalipun memiliki makna kultural yang lebih dalam.
Adapun limitasi dalam penelitian ini adalah terbatasnya pengalaman peneliti sehingga dalam
tahap wawancara kurang mampu melakukan probing dari informan serta kurangnya informan
pedagang lain dalam sektor informal untuk memperkaya serta membandingkan data. Penelitian
selanjutnya dapat memperluas topik ini ke budaya lain karena penelitian ini hanya fokus kepada
masyarakat Jawa dan budaya patriarkinya yang memengaruhi pembagian kerja berdasarkan
gender dan juga menambah jumlah informan serta sektor informalnya.
Daftar Pustaka
Allen, P., & Sachs, C. (2007). Women and Food Chains: The Gendered Politics of Food.

International Journal of Sociology of Food and Agriculture, 15(1).

Brines, J. (1994). Economic Dependency, Gender, and the Division of Labor at Home. American

Journal of Sociology, 100(3).

Cam, D. (2019, November 26). How Cooking Made Us Smarter: A Q&A With Suzana

Herculano-Houzel. Brain World.

https://brainworldmagazine.com/cooking-made-us-smarter-qa-suzana-herculano-houzel/

Caraher, M., Dixon, P., Lang, T., & Carr-Hill, R. (1999). The state of cooking in Englang: The

relationship of cooking skills to food choice. British Food Journal, 101(8).

Dawson, G. (1999). Keeping rice in the pot: Women and worn in an Indonesian transmigration

settlement [Dissertation]. Murdoc University.

Dixey, R. (1996). Gender perspectives on food and cooking skills. British Food Journal, 98(10),

35–41. https://doi.org/10.1108/00070709610153803

Fürst, E. L. (1997). Cooking and femininity. Women’s Studies International Forum, 20(3),

441–449.

Harjito, Umaya, N. M., Kurniati, Y., & Suciati, S. (2022). Cuisine is not enough: Transformation of

women in Indonesian short stories in the 2000s. International Journal of Afro-Asiatic

Studies, 26(1), 673–691.

Konkol, S. (2013). SOMEONE’S IN THE KITCHEN, WHERE’S DINAH? GENDERED

DIMENSIONS OF THE PROFESSIONAL CULINARY WORLD [Dissertation]. DePaul

University College of Education.

Lachance-Grzela, M., & Bouchard, G. (2010). Why Do Women Do the Lion’s Share of

Housework? A Decade of Research. Sex Roles, 63, 767–780.

Mott, N. (2012, Oktober 26). What Makes Us Human? Cooking, Study Says. Animals.

https://www.nationalgeographic.com/animals/article/121026-human-cooking-evolution-ra
w-food-health-science

Muhmad Pirus, M. S., & Nurahmawati, H. (2020). Javanese Women Identity Regarding 3M:

Macak-Manak-Masak Values. International Journal of Culture and History, 7(2), 54.

https://doi.org/10.5296/ijch.v7i2.18055

Myrlinda, F. R. (2020). SITI: Javanese’s Beliefs as the Representation of Gender Roles and

Inequalities towards Women’s Position. JENTERA: Jurnal Kajian Sastra, 9(2).

https://doi.org/10.26499/jentera.v9i2.1358

N.S., E. S. (2017). Batari Hyang Janapati dalam Perspektif Gender. JENTERA: Jurnal Kajian

Sastra, 6(2).

Short, F. (2003). Domestic cooking skills—What are they? Journal of the HEIA, 10(3), 13–22.

Szabo, M. (2013). Foodwork or Foodplay? Men’s Domestic Cooking, Privilege and Leisure.

Sociology, 47(4), 623–638. https://doi.org/10.1177/0038038512448562

Szabo, M. (2014). Men nurturing through food: Challenging gender dichotomies around

domestic cooking. Journal of Gender Studies, 23(1), 18–31.

Anda mungkin juga menyukai