Memasak Tugas Siapa?
Memasak Tugas Siapa?
Pendahuluan
Lebih dari 600,000 ribu tahun yang lalu, spesies primata yang akan menjadi cikal-bakal
dari manusia modern akan berevolusi menjadi manusia modern dari langkah sederhana
mengolah makanan di atas api (Mott, 2012). Jika membicarakan mengenai sejarah awal
memasak, maka lebih baik membuat karya tulis berbeda sekalian. Tidak ada yang dapat
memperdebatkan bahwa makanan dan memasak adalah bagian vital dalam peradaban manusia.
Selayaknya makhluk hidup manapun, tidak akan ada yang bisa bertahan hidup tanpa energi yang
didapat dari makanan, dan penemuan memasak (iya, memasak adalah penemuan) adalah apa
yang menjadikan kita seperti sekarang ini, koloni spesies yang memiliki cara hidup kompleks
dan multikultural (Cam, 2019).
Peran gender dalam tugas memasak telah lama menjadi fokus perhatian dalam kajian ini,
karena mencerminkan dinamika kekuasaan, stereotip gender, dan perubahan sosial dalam
masyarakat.bukanlah fenomena universal, melainkan bervariasi secara signifikan di berbagai
konteks budaya. Dalam beberapa masyarakat, perempuan secara tradisional bertanggung jawab
atas tugas memasak, sementara laki-laki terlibat dalam pekerjaan di luar rumah. Namun, dalam
budaya lain, pembagian kerja memasak bisa saja berbeda atau bahkan dapat berubah seiring
waktu. Dalam kajian antropologi gender, peran gender dalam pembagian kerja memasak tidak
hanya dipandang sebagai hasil dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi
juga sebagai hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang kompleks. Norma, nilai, dan ekspektasi
sosial yang terkait dengan gender memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang
bertanggung jawab atas memasak dan bagaimana tugas tersebut didistribusikan dalam keluarga
atau masyarakat. Berkembangnya zaman juga banyak mengembangkan kebudayaan. Memasak
tidak lagi pada ranah domestik, tetapi sudah menjadi industri ekonomi tersendiri; itu pun tidak
bisa lepas dari sifat gender yang sepertinya mengikuti memasak ke ranah apapun. Memasak
sejatinya merupakan tugas dan tanggung jawab perempuan, akan tetapi mengapa industri
makanan didominasi oleh laki-laki?
Indonesia sendiri merupakan negara dengan nilai patriarki yang masih sangat kental,
terutama dalam masyarakat Jawa. Kultur patriarki yang masih kental menaruh laki-laki sebagai
kekuatan utama dalam keluarga, sedangkan perempuan mengalami keterbatasan dalam ruang
geraknya. Konstruksi gender ini memengaruhi bagaimana pembagian kerja dan peran sosial
dalam masyarakat Jawa, laki-laki adalah tulang punggung keluarga dan memiliki lebih banyak
hak dibandingkan perempuan yang harus berada di rumah mengurus anak dan suami. Perempuan
dibatasi untuk berada di ranah domestik, dimana terdapat gagasan mengenai identitas sosial
perempuan yang meliputi 3M-macak, manak, masak- atau yang serupanya adalah sumur, dapur,
kasur (Muhmad Pirus & Nurahmawati, 2020).
Perekonomian Indonesia yang ditopang oleh sektor informal, pedagang kaki lima dan
warung-warung kecil menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari dari Sabang sampai
Merauke. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, saya mengambil pasangan suami-istri
pedagang nasi goreng di Tembalang, Semarang sebagai subjek dari penelitian ini dengan metode
pengumpulan data adalah observasi partisipan serta wawancara. Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab pertanyaan mengapa kebanyakan pedagang sektor informal makanan adalah laki-laki?
Hal ini menjadi menarik untuk dikaji terutama dalam masyarakat Jawa dengan budaya patriarki
yang kental dalam pembagian kerja berdasarkan gender, dikaitkan dengan perbedaan memasak
dalam ranah domestik dan publik. Kajian gender dalam dunia kuliner dan memasak sudah
banyak (i.e. Allen & Sachs, 2007; Caraher dkk., 1999; Dawson, 1999; Dixey, 1996; Fürst, 1997;
Harjito dkk., 2022; Konkol, 2013; Szabo, 2013, 2014), namun sejauh ini belum ada yang
mengangkat mengenai pergeseran pembagian peran memasak dalam masyarakat Jawa pada
ranah domestik dan ranah publik.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi, pengumpulan
datanya dilakukan menggunakan cara observasi partisipan dan wawancara mendalam. Periode
penelitian ini berjalan selama hampir sebulan penuh di bulan Mei kemaren, tepatnya dari tanggal
8 - 30 Mei 2023 (observasi tidak dilakukan setiap hari) di malam hari dikarenakan warung
tersebut baru buka mulai dari sore hari hingga menjelang tengah malam. Selama penelitian, saya
berperan sebagai pelanggan warung tersebut dan sebelum penelitian ini pun saya juga sudah
sering mengunjungi warung dan makan di sana sehingga para pemiliknya kurang lebih sudah
hafal dengan saya yang memudahkan proses observasinya. Selama proses penelitian, saya
hampir setiap malam tidak pernah absen dari makan warung. Sebelum penelitian ini pun saya
sudah menjadi langganan tetap di sana karena kebetulan kosan saya terletak di seberang
warungnya, jadi kurang-lebih Bapak sudah hafal dengan saya. Apabila di waktu lain selain jam
buka warung kami berpapasan, kami akan saling sapa dengan senyuman dan anggukan
kepala.Proses wawancara dilakukan secara informal, saya mewawancarai Ibu sembari menunggu
pesanan dan saya mewawancarai Bapak ketika Bapak sedang memasak. Pengalaman wawancara
saya kali ini memberikan saya pelajaran berharga mengenai penggunaan pendekatan yang tepat
terhadap informan. Ketika saya pertama kali memohon izin untuk mewawancarai Bapak, kesan
yang saya berikan adalah saya ingin melakukan wawancara formal yang serius sambil duduk
berhadap-hadapan sehingga Bapak mengiranya harus meluangkan waktu. Padahal, pada
kenyataannya hanya butuh berbincang-bincang saja dengan Bapak dan Ibu. Harus saya akui
bahwa wawancara informal sebenarnya cukup membuat saya gugup karena saya tidak bisa
memulai percakapan pertama kali, maka ini adalah kemampuan yang masih harus terus saya asah
kedepannya agar dapat melakukan wawancara yang efektif tanpa mengganggu waktu informan
terlalu lama.
Kesimpulan
Peran gender dalam tugas memasak telah lama menjadi fokus perhatian dalam kajian ini,
karena mencerminkan dinamika kekuasaan, stereotip gender, dan perubahan sosial dalam
masyarakat.bukanlah fenomena universal, melainkan bervariasi secara signifikan di berbagai
konteks budaya. Dalam beberapa masyarakat, perempuan secara tradisional bertanggung jawab
atas tugas memasak, sementara laki-laki terlibat dalam pekerjaan di luar rumah. Namun, dalam
budaya lain, pembagian kerja memasak bisa saja berbeda atau bahkan dapat berubah seiring
waktu. Dalam kajian antropologi gender, peran gender dalam pembagian kerja memasak tidak
hanya dipandang sebagai hasil dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi
juga sebagai hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang kompleks. Norma, nilai, dan ekspektasi
sosial yang terkait dengan gender memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang
bertanggung jawab atas memasak dan bagaimana tugas tersebut didistribusikan dalam keluarga
atau masyarakat. Berkembangnya zaman juga banyak mengembangkan kebudayaan. Memasak
tidak lagi pada ranah domestik, tetapi sudah menjadi industri ekonomi tersendiri; itu pun tidak
bisa lepas dari sifat gender yang sepertinya mengikuti memasak ke ranah apapun. Pada dasarnya,
memasak untuk rumah tangga berkaitan erat dengan mengurus dan menghidupi rumah tangga
yang secara tradisional merupakan tugas perempuan. Modernisasi berdampak kepada bagaimana
perempuan memainkan peran signifikan dalam ekonomi setempat dan kehidupan domestik dan
pada akhirnya menantang peran tradisional gender. Laki-laki Jawa yang dituntut untuk
menafkahi keluarganya pun terpaksa mampu mengikuti arus ekonomi global dan terjun ke
industri yang sekiranya dapat membantunya menopang keluarganya, salah satunya yang menjadi
tujuan populer adalah berdagang makanan. Hal ini mengharuskannya untuk menguasai
kemampuan memasak. Hal ini juga menunjukkan bagaimana nilai patriarki pun mengalami
pergeseran, laki-laki harus menguasai kemampuan yang selama ini menjadi hak milik perempuan
dan sebagai identitas mereka demi menjalankan peran sosialnya sebagai tulang punggung
keluarga, yaitu memasak.
Artikel ini mendiskusikan mengenai dikotomi dalam memasak berdasarkan gender.
Peran gender yang dipegang Bapak dan Ibu dalam mengelola warung nasi goreng dan rumah
tangga menjadi gambaran nyata terhadap dikotomi memasak berdasarkan ranah domestik dan
ranah publik dan bagaimana nilai patriarki mengalami pergeseran. Memasak yang secara
tradisional merupakan tugas dan tanggung jawab perempuan dan hanya terbatas di rumah tangga
saja akhirnya meluas ke industri kuliner pada sektor formal dan informal untuk memenuhi
tuntutan ekonomi. Penelitian ini dapat menjadi batu loncatan untuk kajian gender mengenai
pembagian kerja berdasarkan gender untuk aktivitas memasak pada sektor informal dan
bagaimana budaya merupakan bagian integral penting dalam kehidupan karena bahkan dalam
kegiatan sederhana seperti memasak sekalipun memiliki makna kultural yang lebih dalam.
Adapun limitasi dalam penelitian ini adalah terbatasnya pengalaman peneliti sehingga dalam
tahap wawancara kurang mampu melakukan probing dari informan serta kurangnya informan
pedagang lain dalam sektor informal untuk memperkaya serta membandingkan data. Penelitian
selanjutnya dapat memperluas topik ini ke budaya lain karena penelitian ini hanya fokus kepada
masyarakat Jawa dan budaya patriarkinya yang memengaruhi pembagian kerja berdasarkan
gender dan juga menambah jumlah informan serta sektor informalnya.
Daftar Pustaka
Allen, P., & Sachs, C. (2007). Women and Food Chains: The Gendered Politics of Food.
Brines, J. (1994). Economic Dependency, Gender, and the Division of Labor at Home. American
Cam, D. (2019, November 26). How Cooking Made Us Smarter: A Q&A With Suzana
https://brainworldmagazine.com/cooking-made-us-smarter-qa-suzana-herculano-houzel/
Caraher, M., Dixon, P., Lang, T., & Carr-Hill, R. (1999). The state of cooking in Englang: The
Dawson, G. (1999). Keeping rice in the pot: Women and worn in an Indonesian transmigration
Dixey, R. (1996). Gender perspectives on food and cooking skills. British Food Journal, 98(10),
35–41. https://doi.org/10.1108/00070709610153803
Fürst, E. L. (1997). Cooking and femininity. Women’s Studies International Forum, 20(3),
441–449.
Harjito, Umaya, N. M., Kurniati, Y., & Suciati, S. (2022). Cuisine is not enough: Transformation of
Lachance-Grzela, M., & Bouchard, G. (2010). Why Do Women Do the Lion’s Share of
Mott, N. (2012, Oktober 26). What Makes Us Human? Cooking, Study Says. Animals.
https://www.nationalgeographic.com/animals/article/121026-human-cooking-evolution-ra
w-food-health-science
Muhmad Pirus, M. S., & Nurahmawati, H. (2020). Javanese Women Identity Regarding 3M:
https://doi.org/10.5296/ijch.v7i2.18055
Myrlinda, F. R. (2020). SITI: Javanese’s Beliefs as the Representation of Gender Roles and
https://doi.org/10.26499/jentera.v9i2.1358
N.S., E. S. (2017). Batari Hyang Janapati dalam Perspektif Gender. JENTERA: Jurnal Kajian
Sastra, 6(2).
Short, F. (2003). Domestic cooking skills—What are they? Journal of the HEIA, 10(3), 13–22.
Szabo, M. (2013). Foodwork or Foodplay? Men’s Domestic Cooking, Privilege and Leisure.
Szabo, M. (2014). Men nurturing through food: Challenging gender dichotomies around