Anda di halaman 1dari 6

PERBANDINGAN PELAKSANAAN PEMILU ORDE LAMA, ORDE

BARU DAN REFORMASI

I.PENGERTIAN PEMILU

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum.


Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas
kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan
demokrasi.

Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:

1. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam


bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:

a. Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia


adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara
c. Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana
untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai
semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan


bahwa: "pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
dalam negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan
undang-undangn 1945.

PemilihanUmum, selanjutnyadisebutPemilu,
adalahsaranapelaksanaankedaulatanrakyatyang dilaksanakansecaralangsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, danadildalamNegara KesatuanRepublikIndonesia
berdasarkanPancasiladanUndang-UndangDasarNegara RepublikIndonesia Tahun1945.

AsasPemilu: Pemiludilaksanakansecaraefektifdanefisienberdasarkanasaslangsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, danadil.
II. SISTEM PEMILU

A. Sistem perwakilan distrik (single member constituency)

Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang paling tua dan didasarkan pada
persatuan geografis, dimana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.

B.Sistem Proporsional

Sistem Proporsional adalah seluruh wilayah merupakan satu kesatuan. Jadi seperti
partai kecil yang memiliki suara di Papua, Kalimantan, dan lain-lain, bisa dijumlahkan,
sehingga Sistem Proporsional memungkinkan partai-partai kecil berkiprah di parlemen.
Jika mereka kalah di wilayah pemilihan tertentu, partai-partai kecil tidak otomatis gugur,
karena masih ada akumulasi suara sisa yang memungkinkan mereka memperoleh kursi di
DPR.

C.sistem gabungan

Sistem Gabungan merupakan sistem yang menggabungkan sistem distrik dengan


proporsional

III. PEMILU ORDE LAMA

Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November
1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa
jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.

Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian


Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No.
13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-
partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang
mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI,
PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun
sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.

Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut,


hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam
kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan
pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
"Deklarasi Bogor."
Tokoh partai PNI
Dr. Tjipto Mangunkusumo
Mr. Sartono
Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
Mr Sunaryo
Soekarno
Moh. Hatta
Gatot Mangkuprojo
Soepriadinata
Maskun Sumadiredja
Amir Sjarifuddin
Wilopo
Ali Sastroamidjojo
Djuanda Kartawidjaja
Mohammad Isnaeni
Supeni
Sanusi Hardjadinata
Sukmawati Soekarno
Agus Supartono Supeni

Tokoh Partai Masyumi

KH Hasyim Asy'arie
KH Wahid Hasjim,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),
Muhammad Natsir,
Syafrudin Prawiranegara,
Mr. Mohammad Roem,
KH. Dr. Isa Anshari,
Kasman Singodimedjo,
Dr. Anwar Harjono,

Tokoh Partai NU

1. Syeikh Nawawi al-Bantani


2. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
3. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi
4. Syeikh Ahmad Khatib Sambas
5. Syeikhona Kholil Bangkalan
6. Kyai Abdullah Termas
7. KH. Hasyim As'ari
8. KH. Wahab Hasbullah
9. KH. Bisri Syamsuri
10. KH. Wahid Hasyim
11. KH. Ahmad Siddiq
12. KH. As'ad Syamsul Arifin
13. KH Saifuddin Zuhri
14. KH. Maksum Ali
15. KH. Zainul Arifin
16. KH TURAICHAN KUDUS
17. KH Agus Maksum Jauhari
18. KH. Bisri Mustafa
19. KH. Asnawi Kudus
20. KH. Abbas Djamil Buntet

Tokoh partai PKI

Mr. Amir Syarifuddin, Maruto Darusma, Tan Ling Djie, Abdulmajid ,Muso,dan Setiadjit

Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi

mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi

menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10
dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan,
Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi

hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur
setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi

secara nasional tak terjadi.

Berikut hasil Pemilu 1955:

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)


2. Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
3. Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru


perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
sukses transmigrasi
sukses KB
sukses memerangi buta huruf
sukses swasembada pangan
pengangguran minimum
sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
sukses Gerakan Wajib Belajar
sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru


semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat
munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi
si kaya dan si miskin)
kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel
penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya)

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".Masih adanya tokoh-
tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir.
Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca
Orde Baru".

Pemilu di Masa Reformasi

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata


kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum
merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih
dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui
struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun
nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan
pemilu menjadi agenda pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama


tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama,
kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua,
menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara
PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata
hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada
kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi
akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara


umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih
Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur
dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang
menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung
dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau
menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi,
dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.

Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama


memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda
pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan
perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan
partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam
pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang
Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah
Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan
SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.

Anda mungkin juga menyukai