Olistotrome Dan Batua Mulia Kompleks Tektonik Bantimala Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan PDF
Olistotrome Dan Batua Mulia Kompleks Tektonik Bantimala Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan PDF
P RO S I D I N G
ISBN 978-979-8826-25-2
PROSIDING
TEMU PROFESI TAHUNAN (TPT) XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
JAKARTA, 26-28 OKTOBER 2015
2015
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES XIV PERHAPI 2015
Salam PERHAPI,
Indonesia terkenal akan kekayaan sumberdaya alam, terutama sumberdaya mineral dan
batubara mulai dari emas, timah, tembaga, nikel, bauksit, dan batubara. Berdasarkan data USGS
pada tahun 2013, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan
cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ketujuh dunia, sedangkan produksinya
sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat keenam dunia. Sementara itu,
posisi cadangan timah Indonesia menduduki peringkat kelima dunia, yakni sebesar 8,1% dari
cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga
dunia, dan merupakan peringkat ketujuh dunia dengan peringkat produksi adalah 10,4% dari
produksi dunia dan merupakan peringkat kedua. Begitu pula dengan potensi nikel. Cadangan
nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat
kedelapan dunia, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan peringkat keempat dunia.
Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy pada tahun 2014, cadangan batubara
Indonesia berkisar 3,1% cadangan batubara dunia, dengan jumlah ekspor terbesar di dunia.
Dalam kurun waktu 2011 sampai 2013, sektor pertambangan dan penggalian masih
menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan Negara setelah sektor pengolahan,
perdagangan, dan sektor perantara keuangan. Hal ini menjadikan sektor pertambangan dan
penggalian batubara merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Ketahanan ekonomi merupakan aspek utama dalam mewujudkan ketahanan
nasional. Oleh karena itu, pemanfaatan komoditas mineral dan batubara Indonesia perlu
ditingkatkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun dalam faktanya
masih terdapat perbedaan persepsi antar sektor dalam mengaplikasikan kebijakan pengelolaan
minerba yang ada. Disamping itu pemahaman masyarakat terhadap penggunaan produk dalam
negeri masih dinilai kurang.
Untuk mencapai ketahanan nasional, harus dimulai dengan kedaulatan sumber daya
alam terutama sumber daya mineral dan batubara. Esensi terpenting dari kedaulatan sumber
daya mineral dan batubara adalah penentuan arah kebijakan pembangunan oleh bangsa sendiri
yang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Kemudian berlanjut ke
tahap kemandirian, yaitu mampu mengelola dan mengolah sumberdaya alam sendiri.
Kemandirian ini, selanjutnya akan menciptakan individu-individu yang kompeten, inovatif, dan
kompetitif serta mampu bersaing dengan negara lain.
Berdasarkan uraian diatas TPT XXIV PERHAPI dan Kongres IX kali ini mengambil
tema Strategi Pengelolaan Mineral dan Batubara untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional
dengan harapan diperolehnya suatu strategi sedemikian rupa sehingga pengelolaan mineral dan
batubara Indonesia benar-benar akan memberikan hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan
ketahanan nasional..
Dalam Acara ini, 55 makalah terpilih untuk dipresentasikan oleh anggota PERHAPI dan
4 makalah disampaikan dalam diskusi interaktif oleh pakar-pakar terkait. Prosiding ini berisi
68 makalah yang dibagi menjadi, Kelompok Eksplorasi, Kelompok Kebijakan, Kelompok
Geoteknik, Kelompok Hidrogeologi, Kelompok Operasi Penambangan, Kelompok Peledakan,
Kelompok Lingkungan, Kelompok K3L, Kelompok Metalurgi dan Student Paper Contest.
i
Diharapkan Prosiding ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan, khususnya
dalam hal konservasi bahan tambang untuk masa depan industri pertambangan Indonesia yang
lebih baik.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini pula, segenap Pengurus PERHAPI ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara TPT XXIV dan
Kongres IX PERHAPI 2015.
ii
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar Isi ii
KELOMPOK I : EKSPLORASI
iii
Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Industri Universitas
Muslim Indonesia2
KELOMPOK II : KEBIJAKAN
iv
Febriansyah, Bagus Totok Purnomo, Arya Gustifram, Taupan
Ariansyah P. , PT Bukit Asam (Persero) Tbk
21 New Perspective Of Wet Muck Risk Map : Lesson Learned From 198
Wet Muck Spill In Coarse Fragmentation At Deep Ore Zone (DOZ)
Block Caving Mine, Papua, Indonesia, Mochamad Ramadhan,
Danny Wicaksono, Dhani Haflil, Bambang Antoro, Underground
Mine Geology Department, PT Freeport Indonesia, Tembagapura,
Papua
v
Based On Kinematica Analysis At Sandstone Mines, Tani Aman
Villages, Loa Janan Sub District, Samarinda, East Kalimantan),
Tommy Trides, Puguh Laksono, Farah Dinna Zainuddin,
Program Studi S1 Teknik Pertambangan, Universitas Mulawarman
vi
Anwar Sjadat1, Yali Gidion Irab2, 1underground Geotechnical &
Hydrology Department PT Freeport Indonesia, 2mahasiswa Teknik
Pertambangan, Institut Teknologi Dan Sains Jayapura (ISTJ)
KELOMPOK IV : HIDROGEOLOGI
vii
38 Dewatering Drilling Program And Groundwater Level Monitoring In 365
Big Gossan Mine, Papua, Indonesia, Jaka Satria Budiman, Fari
Putra, Unggul Barito, PT Freeport Indonesia affiliated Freeport-
McMoRan Copper & Gold
viii
48 Implementasi Fatigue Monitoring Alert System Terintegrasi dengan 462
Teknologi Dispatch (GOIC) Pada Overburden Truck di PT. Kaltim
Prima Coal, Andry, Nalendro Sutri, Vita Perdana, PT. Kaltim
Prima Coal
49 Typical Mine Planning For The Combination Of Cast Blast, Dozer 472
Push, Dragline, And Truck/Shovel Mining Method, Ievan Ludjio,
Mining One Consultants Pty Ltd
KELOMPOK VI : PELEDAKAN
ix
Saptono1,Barlian Dwinagara1, 1Magister Teknik Pertambangan,
Konsentrasi Geomekanika, Universitas Pembangunan Nasional
VeteranYogyakarta, Indonesia, 2PT. Freeport Indonesia
x
62 Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan 591
Mineral Dan Batubara Sesuai Dengan Peraturan Menteri Esdm
Nomor 38 Tahun 2014 Di PT. Kaltim Jaya Bara, Geniusman
Sidabutar, PT. Kaltim Jaya Bara
KELOMPOK IX : METALURGI
63 Kajian Teknis Dan Ekonomis Kinerja Washing Plant Bijih Bauksit 599
PT. ANTAM (Persero), Tbk UBPB Tayan, A. Taufik Arief, Hedi
Hastriawan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik,
Universitas Sriwijaya
xi
69 Pemanfaatan Fly Ash Dan Bottom Ash Batubara Untuk Reklamasi
Lahan Asam Bekas Tambang, Mori Ferdiansyah, Jurusan Teknik
Pertambangan -FTMK, Institut Teknologi Adhi Tama
xii
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
1
Program Studi Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar
Email : kaharuddin_geounhas@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan tipe olistostrome, dan kaitannya
dengan pembentukan berbagai macam batu mulia di daerah Kompleks Tektonik Bantimala.
Kelompok batuan Kompleks Tektonik Bantimala, tersusun oleh batuan metamorf berupa sekis
glaukofan, sekis mika hornblende, eklogit, granulit, filit dan metakuarsit berumur Trias,
olistostrome tersusun oleh komponen sekis, kuarsit, metachert, jadeit, metaperidotit berumur
Jura-Kapur dan batuan sedimen flysch yang meliputi perselingan serpih kersikan, batupasir,
batulempung, dan rijang radiolaria berumur Kapur. Di atas batuan Kompleks Tektonik
Bantimala ini berkembang batuan Tersier yaitu batupasir Mallawa, batuan gunungapi
Paleosen, batugamping Tonasa dan batuan gunungapi Camba, yang diterobos oleh intrusi
diorit dan sienit. Kemudian terjadi pensesaran sungkup Pangkajene menyebabkan
tersingkapnya batuan alas di daerah ini yang mengandung batu mulia. Aktivitas tektonik
dimasa Mesozoikum berupa subduksi lempeng Pasifik ke dalam lempeng Asia (Kalimantan
Timur) diinterpretasikan berhubungan dengan pembentukan olistostrome yang merupakan
lapisan terbawah dari pada rijang radiolaria yang didalamnya terkandung fragmen-fragmen
batu mulia seperti berbagai macam batu akik, giok, badar, pirus dan batu mulia lainnya.
Latar Belakang
65
Pada kondisi ini menurut teori Hall (1976) terjadi longsoran material (debris fall) pada lereng
yang relatif terjal di daerah palung laut (trench), dimana material komponennya dapat berasal
dari material hancuran lempeng kontinen dan oseanik, menyatu dalam sedimen kacau gravity
flow. Sedimen ini kemudian tertutupi oleh sedimen pelagik rijang radiolaria.
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Kompleks Tektonik Bantimala yaitu batuan
metamorf yang terdiri dari sekis glaukofan, sekis mika-hornblende, eklogit, granulit, filit dan
kuarsa meta berumur Trias (Sukamto,1975). Di atas batuan alas ini ditindih oleh batuan breksi
sekis (olistostrome), batupasir dan rijang radiolaria berumur Jura Kapur (Sukamto, 1982).
Breksi sekis yang merupakan lapisan terbawah dari pada rijang radiolaria Kompleks
Bantimala yang oleh peneliti disebut sebagai endapan olistostrome yang belum pernah
diekspos oleh peneliti terdahulu dengan ciri ciri sangat spesifik yaitu sortasi sangat jelek,
bagian bawah tidak berlapis, gradasi butir menghalus ke atas, berselang seling dengan rijang,
terdapat bongkah bongkah besar yang mengambang dalam matriks pasiran, pada bongkah
bongkah olistolit terdapat kesan deformasi tektonik (tekstur tektonit), dan pada lapisan rijang
di atasnya terkadang ditemukan bongkah dan kerakal di dalamnya.
Aktivitas tektonik dimasa Mesozoikum berupa subduksi lempeng Pasifik ke dalam
lempeng Asia, diinterpretasikan berhubungan dengan pembentukan olistostrome dengan
komponen blok blok batuan yang mengandung batu mulia, seperti batu akik, giok, pirus,
badar dan batu mulia lainnya.
66
breksi sekis dan mlange. Jadi tampaknya harus diteliti dan dikaji secara menyeluruh
mengenai problematika geologi daerah Bantimala.
a. Kerangka Geologi
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bantimala merupakan bagian dari tepian
Kalimantan Timur yang terpisah sejak kala Miosen bersamaan dengan pembentukan Selat
Makassar. Kelompok batuan ini disebut Kompleks Tektonik Bantimala yang tersusun oleh
batuan metamorf yaitu glaucophane schist, hornblende-mica schist, eclogite, granulite,
phyllite dan metaquazite berumur Trias (Sukamto,1975), mlange dengan komponen
sekis,kuarsit, metachert,, metabasal yang berumur Jura-Kapur dan batuan sedimen yang
meliputi serpih kersikan, batupasir, batulempung dan rijang radiolaria berumur Kapur.
Blok ofiolit terdiri dari harzburgit dan serpentinit, terbentuk secara obduksi menindih
batuan Tersier di daerah ini, sedang tipe batuan sedimen tepian kontinen berupa flysch
Balangbaru-Paremba yang berumur Kapur tertutupi secara tidak selaras oleh batupasir
Mallawa dan tufa yang berumur Paleosen-Eosen, batugamping Tonasa (Eosen-Miosen) dan
batuan vulkanik Camba berupa breksi dan tufa yang berumur Miosen Atas-Pliosen. Peristiwa
tektonik yang terjadi pada kala Tersier hingga Kuarter menyusul pembentukan struktur
geologi, menyebabkan posisi stratigrafi batuan di daerah ini terganggu yang selain
merumitkan kondisi geologinya juga dapat menambah keragaman fenomena geologi di daerah
ini. Aktifitas tektonik di kala Neogen menghasilkan batuan terobosan yang bersifat asam
hingga basa berupa diorite, sienit, granodiorit dan basal berumur Miosen-Pliosen (Gambar 2).
67
b. Tektonik
Proses tektonik kompleks Bantimala terbentuk dalam dua model yaitu sistem subduksi
lempeng oseanik yang berlangsung sejak Mesozoikum hingga Tersier dan sistem obduksi
ofiolit di kala Tersier hingga Kuarter.
Tektonik kompleks Bantimala ditunjukkan oleh kehadiran batuan metamorf tingkat
tinggi yang berasosiasi dengan mlange dan ultrabasa dalam satu sistem penunjaman pra-
Kapur (Trias Jura?) lempeng Pasifik Barat terhadap tepian kontinen Kalimantan.
Tektonik Tersier lebih cenderung memperlihatkan kondisi subsiden yang disusul
pengendapan batuan sedimen Mallawa, Tonasa dan volkanik Paleosen. Di kala Oligosen-
Miosen terjadi gerak tektonik tensional membentuk rifting dan pembentukan Selat Makassar
yang disusul dengan pembentukan batuan Gunungapi Camba dan obduksi ofiolit Bantimala.
Perkembangan tektonik Tersier hingga Kuarter memberikan pengaruh terhadap
pembentukan struktur dan tersingkapnya batuan alas di daerah Bantimala. Pembentukan sesar
naik Pangkajene yang berpasangan tiga sangat berkaitan dengan tersingkapnya batuan
metamorf sekis hijau, sekis biru, granulit dan eklogit di tiga tempat pada dasar sungai
Patteteyang, Bantimala (gambar 3).
68
Pembentukan Olistsotrome
W E
SL
Y
X
69
Tabel 1. Kolom litologi olistostrome daerah Bantimala
a. Kriteria Komponen
Batuan metamorf sekis muskovit kuarsa dalam satu kompleks sekis glaukofan,
granulit dan eklogit yang menunjukkan batuan hasil subduksi lempeng antara lempeng
kontinen dengan lempeng oseanik, diinterpretasikan sebagai lingkungan trench dimana
olistostrome sebagai bagian bawah dari pada rijang radiolaria terbentuk. Adanya percampuran
material rijang dalam dalam batuan olistostrome dan struktur gradasi komponen menghalus
70
keatas dari ukuran bongkah ke cobble granule, mengindikasikan sebagai endapan laut dalam
pada kondisi tektonik subduksi. Berdasarkan hal tersebut diatas maka olistostrome Kompleks
Tektonik Bantimala dikategorikan sebagai tipe subduksi.
- Fisiografi Sedimen
Kenampakan perselingan antara batupasir dan rijang radiolaria sebagai bagian atas
dari pada olistostrome, struktur gradasi komponen di daerah bagian barat daerah penelitian
termasuk tipe endapan flukso. Dan di bagian timur, kontak antara rijang radiolaria dengan
cobble pebble olistolit sebagai tipe endapan proksima (Foto 2 dan 3).
Olistostrome yang tersusun oleh berbagai macam komponen yang susunannya campur
aduk, memberikan fenomena terhadap potensi batu mulia di daerah ini. Batuan dari hasil
benturan dan gesekan lempeng bumi di zona subduksi menampakkan berbagai macam
71
komponen batuan metamorf yang mempuyai nilai sumberdaya terutama batu mulia dan batu
ornamen.
Komponen olistolit yang bersumber dari lempeng kontinen terdiri dari sekis, kuarsit,
metachert dan vein kuarsa dapat menghasilkan batu akik, kuarsa rose dan batu mulia lainnnya.
Komponen olistolit yang berasal dari lempeng oseanik dapat menghasilkan batu giok, badar,
batu pirus dan lainnya.
Komponen komponen olistolit diatas dapat diambil dari berbagai ukuran, mulai dari
diameter 10 cm sampai dengan 100 cm. Munculnya olistostrome di Kompleks Tektonik
Bantimala berhubungan dengan sesar naik Pangkajene yang berarah Tenggara-Baratdaya,
mengangkat batuan dasar termasuk olistostrome, yang disertai dengan proses
magmatisme/intrusi batuan beku yang menghasilkan batu mulia penyerta.
b. Batu Mulia
Batu mulia menurut Darsa Permana (1997) diartikan sebagai semua jenis mineral dan
batuan yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang khas, serta digunakan untuk perhiasan dan
bahan dekorasi atau hiasan. Menurutnya, batu mulia dibagi dalam tiga jenis dari aspek
perdagangan yaitu (1) batu permata (2) semi permata (3) batu hias (ornamen).
Menurut Sudjatmiko (2015), batu mulia diartikan sebagai batu yang dimuliakan,
meliputi segala jenis batuan, mineral dan bahan mentah alam lainnya yang telah diolah atau
diproses, memiliki keindahan dan ketahanan yang memadai untuk dipakai sebagai barang
perhiasan. Dari aspek perdagangan dan selera masyarakat terhadap batu mulia tidak lagi
tergantung pada kekerasan dan jenis batu mulia, melainkan minat tertuju pada corak atau
motifnya atau variasi warnanya.
Batu mulia yang terdapat di daerah Kompleks Tektonik Bantimala, dibagi dalam dua
kelompok yaitu kelompok dalam olistostrome dan kelompok penyerta.
Kelompok batu mulia ini terdapat dalam komponen olistostrome, terdiri dari berbagai
macam olistolit batuan yaitu :
- Serpentinit Jadeit
Blok olistolit dalam olistostrome yang berukuran 30 120 cm, berwarna hijau belang
hitam (magnetit), kekerasan sekitar 6,5 7 skala Mohs, dibuat sebagai permata giok belang
(Foto 4 dan 5)
72
- Kuarsa rose
Olistolit berukuran 5 20 cm, berwarna pink atau putih kekuningan, kekerasan 7 skala
Mohs, dibuat sebagai permata (bermacam nama), Foto 6.
- Kuarsit
Olistolit berukuran bongkah (10 30 cm), berwarna putih hingga kekuningan, kekerasan 7
skala Mohs, dibuat berbagai macam permata (Foto 7 dan 8)
- Sekis hijau
Blok olistolit berbagai ukuran dengan urat urat kuarsa, berwarna hijau barik putih,
kekerasan sekitar 5 6 skala Mohs, dibuat berbagai macam permata
X
Foto 6. Fragmen kuarsa rose (X) dalam
olistostrome di S. Pateteyang, Bantimala
-
Foto 7. Fragmen kuarsit dari olistostrome Foto 8. Permata cempaka madu
- Kelompok Penyerta
Kelompok batu mulia ini terbentuk oleh dampak tektonik regional berupa efek intrusi
magma dan tersingkapnya batuan alas oleh pensesaran sungkup Pangkajene.
- Asosiasi efek intrusi magma pada batuan volkanik Paleogen (tufa dan breksi)
Jenis batu mulia ini terdiri dari :
Jasper berupa badar merah, kuning, hijau dan coklat, kekerasan 6,5 skala Mohs (Foto 9
dan 10)
73
Foto 9. Bongkah jasper (batu badar) Foto 10. Permata badar merah hasil olahan
dari Bantimala jasper merah
Nodule kalsedon dalam volkanik Paleosen, berwarna putih transparan, keruh, kekerasan
7 skala Mohs, terdiri dari bentuk masif dan kristal, dibuat sebagai permata akik dan liontin
(Foto 11 dan 12).
Metachert (silisified), berwarna hijau kecoklatan atau bintik kecoklatan dalam masadasar
hijau, berupa lapisan rijang dengan kekerasan 7 7,5 skala Mohs, dibuat sebagai badar
hijau (Foto 13 dan 14).
Silisified dan mineral alterasi dengan kristal kristal pirit dan kalkopirit, berbagai macam
warna dan motif
Foto 13. Metachert (jasper hijau coklat) Foto 14. Badar hijau coklat.
di S. Pateteyang, Bantimala.
74
- Asosiasi batuan alas (metamorf)
Terdiri dari berbagai jenis batuan metamorf dan mineral, seperti sekis biru dan hijau,
(bertekstur halus dengan butiran kristal kristal garnet), vein kuarsa dengan serabut
hornblende, garnet dengan ukuran 0,5 1,2 cm, berwarna coklat merah merah maron dan
lain lain.
Kesimpulan
1. Kondisi geologi dan tektonik Kompleks Tektonik Bantimala tersusun oleh batuan pra-
Tersier (sekis, olistostrome, rijang radiolaria dan batupasir Balangbaru) dan batuan Tersier
(volkanik Paleosen, batupasir Mallawa, batugamping Tonasa, volkanik Camba dan intrusi
batuan beku basa intermsdit asam. Keduanya dibatasi oleh sesar sungkup Pangkajene.
2. Karakteristik olistostrome Kompleks Tektonik Bantimala dicirikan oleh komponen
heterogen polilitik (sekis, genes, kuarsit dan metachert) yang tersusun oleh empat lapisan
yaitu breksi polilitik 1, breksi polilitik 2, pasir kasar granule 3 dan pasir 4, termasuk
olistostrome kategori tipe subduksi, terbentuk pada zaman Kapur Bawah (Albian).
3. Batu mulia yang terdapat di daerah Kompleks Tektonik Bantimala terdiri dari kelompok
olistostrome (serpentinit jadeit, kuarsa rose, kuarsit, sekis hijau, serpentinit kuarsa dan
meta chert), kelompok penyerta (jasper berbagai warna, nodule kalsedon, metachert,
silisified dan batuan alterasi) dan kelompok batuan alas/metamorfik (sekis biru dan hijau,
garnet dan vein kuarsa).
4. Tersingkapnya batuan alas termasuk olistostrome yang mengandung batu mulia
berhubungan dengan tektonik pengangkatan dan sesar sungkup Pangkajene dizaman
Tersier
DAFTAR PUSTAKA
Abbate, E., Bortolotti, V., Passerini, P., 1970, Olistostrome and Ophiolite and Related
Melanges, Benchmark Papers in Geology/66, pp.86-110
Elter, P., Trevisan, L., 1973, Olistostromes in the Tectonic Evolution of the Northern
Apennines, Benchmark Papers in Geology/66, pp.111-124
Hall, R., 1976, Ophiolite Emplacement and the Evolution of the Taurus Suture Zone,
Southeastern Turkey, Bencmark Papers ini Geology/66. pp. 275 285
Kaharuddin, 2010, Perkembangan Tektonik dan Stratigrafi Kompleks Bantimala, Sulawesi
Selatan, Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, vol.4,hal.TG 5-1-TG5-9.
Kaharuddin, Tonggiroh, A., Sirajuddin, H., 2014, Olistostrome dan Obduksi Ofiolit Lasitae
Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan, Proceedings PIT IAGI 43th, Annual
Convention and Exhibition, Jakarta 15-18 September 2014.
Leonov, M.G., 1978, Olistostromes and their Origin, Benchmark Papers in Geology/66,
pp.125-134.
Permana, D., 1997, Batu Mulia, Bahan Galian Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral, Bandung.
75
Scholle, P.A., Spearing, D., 1982, Sandstone Depositional Environments, Oklahoma, USA.
Setiawan, N.I., Osanai, Y., Nakano, N., Adachi, T., Yonemura, K., Yoshimoto, A., Setiadji,
L.D., Kaharuddin, Wahyudiono, J., 2014, Geochemical Characteristic of
Metamorphic Rocks From South Sulawesi, Central Java, South and West
Kalimantan in Indonesia, Asean Engineering Journal Part C, Volumu 3 Number 1
ISSN 2286-8150, pp. 107-127
Sujatmiko, 2015, 100 Cerita Batu Mulia Indonesia, Kompas Gramedia, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Sukamto, R., 1982, Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi,
P3G, Departemen Pertambangan dan Energi Bandung.
Sukamto, R., 2011, Mengintip Perkembangan Geologi Daerah Sulawesi Selatan dari
Kompleks Melange Bantimala, Panduan Wisata Geologi Bantimala, ITB Bandung.
Syafri,I., 2004, Komposisi Kimia Eklogit dan Batuan bergarnet berglaukofan Dari
kompleks Bantimala Sulawesi Selatan Indonesia Serta Kemungkinan Jenis
jenis Batuan Asalnya, Bulletin of Scientific Contibution, Vol. 2 No. 2 April 2004.
Hal. 50 60.
Wakita, K., Munasri, Sopaheluwakan, J., Zulkarnain, I., Miyazaki, K., 1994, Early
Cretaceous Tectonic Events Implied in the Time lag Between the Age of
Radiolarian Chert and its Metamorphic Basement in Bantimala Area, South
Sulawesi, Indonesia, Research Article, Bandung, Indonesia.
Zulkarnain, I., 1999, Cretaceous Tectonic Events of the Bantimala Area, South Sulawesi
Indonesia : Evidence from Rock Chemistry, Jurnal Teknologi Mineral No. 2 Vol.
VI.
76