P RO S I D I N G
ISBN 978-979-8826-25-2
PROSIDING
TEMU PROFESI TAHUNAN (TPT) XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
JAKARTA, 26-28 OKTOBER 2015
2015
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES XIV PERHAPI 2015
Salam PERHAPI,
Indonesia terkenal akan kekayaan sumberdaya alam, terutama sumberdaya mineral dan
batubara mulai dari emas, timah, tembaga, nikel, bauksit, dan batubara. Berdasarkan data USGS
pada tahun 2013, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan
cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ketujuh dunia, sedangkan produksinya
sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat keenam dunia. Sementara itu,
posisi cadangan timah Indonesia menduduki peringkat kelima dunia, yakni sebesar 8,1% dari
cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga
dunia, dan merupakan peringkat ketujuh dunia dengan peringkat produksi adalah 10,4% dari
produksi dunia dan merupakan peringkat kedua. Begitu pula dengan potensi nikel. Cadangan
nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat
kedelapan dunia, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan peringkat keempat dunia.
Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy pada tahun 2014, cadangan batubara
Indonesia berkisar 3,1% cadangan batubara dunia, dengan jumlah ekspor terbesar di dunia.
Dalam kurun waktu 2011 sampai 2013, sektor pertambangan dan penggalian masih
menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan Negara setelah sektor pengolahan,
perdagangan, dan sektor perantara keuangan. Hal ini menjadikan sektor pertambangan dan
penggalian batubara merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Ketahanan ekonomi merupakan aspek utama dalam mewujudkan ketahanan
nasional. Oleh karena itu, pemanfaatan komoditas mineral dan batubara Indonesia perlu
ditingkatkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun dalam faktanya
masih terdapat perbedaan persepsi antar sektor dalam mengaplikasikan kebijakan pengelolaan
minerba yang ada. Disamping itu pemahaman masyarakat terhadap penggunaan produk dalam
negeri masih dinilai kurang.
Untuk mencapai ketahanan nasional, harus dimulai dengan kedaulatan sumber daya
alam terutama sumber daya mineral dan batubara. Esensi terpenting dari kedaulatan sumber
daya mineral dan batubara adalah penentuan arah kebijakan pembangunan oleh bangsa sendiri
yang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Kemudian berlanjut ke
tahap kemandirian, yaitu mampu mengelola dan mengolah sumberdaya alam sendiri.
Kemandirian ini, selanjutnya akan menciptakan individu-individu yang kompeten, inovatif, dan
kompetitif serta mampu bersaing dengan negara lain.
Berdasarkan uraian diatas TPT XXIV PERHAPI dan Kongres IX kali ini mengambil
tema “Strategi Pengelolaan Mineral dan Batubara untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional”
dengan harapan diperolehnya suatu strategi sedemikian rupa sehingga pengelolaan mineral dan
batubara Indonesia benar-benar akan memberikan hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan
ketahanan nasional..
Dalam Acara ini, 55 makalah terpilih untuk dipresentasikan oleh anggota PERHAPI dan
4 makalah disampaikan dalam diskusi interaktif oleh pakar-pakar terkait. Prosiding ini berisi
68 makalah yang dibagi menjadi, Kelompok Eksplorasi, Kelompok Kebijakan, Kelompok
Geoteknik, Kelompok Hidrogeologi, Kelompok Operasi Penambangan, Kelompok Peledakan,
Kelompok Lingkungan, Kelompok K3L, Kelompok Metalurgi dan Student Paper Contest.
i
Diharapkan Prosiding ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan, khususnya
dalam hal konservasi bahan tambang untuk masa depan industri pertambangan Indonesia yang
lebih baik.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini pula, segenap Pengurus PERHAPI ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara TPT XXIV dan
Kongres IX PERHAPI 2015.
ii
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar Isi ii
KELOMPOK I : EKSPLORASI
iii
Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Industri Universitas
Muslim Indonesia2
KELOMPOK II : KEBIJAKAN
iv
Febriansyah, Bagus Totok Purnomo, Arya Gustifram, Taupan
Ariansyah P. , PT Bukit Asam (Persero) Tbk
21 New Perspective Of Wet Muck Risk Map : Lesson Learned From 198
Wet Muck Spill In Coarse Fragmentation At Deep Ore Zone (DOZ)
Block Caving Mine, Papua, Indonesia, Mochamad Ramadhan,
Danny Wicaksono, Dhani Haflil, Bambang Antoro, Underground
Mine Geology Department, PT Freeport Indonesia, Tembagapura,
Papua
v
Based On Kinematica Analysis At Sandstone Mines, Tani Aman
Villages, Loa Janan Sub District, Samarinda, East Kalimantan),
Tommy Trides, Puguh Laksono, Farah Dinna Zainuddin,
Program Studi S1 Teknik Pertambangan, Universitas Mulawarman
vi
Anwar Sjadat1, Yali Gidion Irab2, 1underground Geotechnical &
Hydrology Department – PT Freeport Indonesia, 2mahasiswa Teknik
Pertambangan, Institut Teknologi Dan Sains Jayapura (ISTJ)
KELOMPOK IV : HIDROGEOLOGI
vii
38 Dewatering Drilling Program And Groundwater Level Monitoring In 365
Big Gossan Mine, Papua, Indonesia, Jaka Satria Budiman, Fari
Putra, Unggul Barito, PT Freeport Indonesia affiliated Freeport-
McMoRan Copper & Gold
viii
48 Implementasi Fatigue Monitoring Alert System Terintegrasi dengan 462
Teknologi Dispatch (GOIC) Pada Overburden Truck di PT. Kaltim
Prima Coal, Andry, Nalendro Sutri, Vita Perdana, PT. Kaltim
Prima Coal
49 Typical Mine Planning For The Combination Of Cast Blast, Dozer 472
Push, Dragline, And Truck/Shovel Mining Method, Ievan Ludjio,
Mining One Consultants Pty Ltd
KELOMPOK VI : PELEDAKAN
ix
Saptono1,Barlian Dwinagara1, 1Magister Teknik Pertambangan,
Konsentrasi Geomekanika, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”Yogyakarta, Indonesia, 2PT. Freeport Indonesia
x
62 Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan 591
Mineral Dan Batubara Sesuai Dengan Peraturan Menteri Esdm
Nomor 38 Tahun 2014 Di PT. Kaltim Jaya Bara, Geniusman
Sidabutar, PT. Kaltim Jaya Bara
KELOMPOK IX : METALURGI
63 Kajian Teknis Dan Ekonomis Kinerja Washing Plant Bijih Bauksit 599
PT. ANTAM (Persero), Tbk UBPB Tayan, A. Taufik Arief, Hedi
Hastriawan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik,
Universitas Sriwijaya
xi
69 Pemanfaatan Fly Ash Dan Bottom Ash Batubara Untuk Reklamasi
Lahan Asam Bekas Tambang, Mori Ferdiansyah, Jurusan Teknik
Pertambangan -FTMK, Institut Teknologi Adhi Tama
xii
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRACT
Geological deposition of tin in Indonesia is part of the Tin Belt zone of Southeast Asian ,
which stretched from China - Myanmar / Thailand - Malaysia to Indonesia. The precipitate
tin is the result of a process that is controlled by sub duction process that cause "lifting" on
the Indochina crust and East Malaya crust which was part of Gondwana. Magmatism
processes of continental crust produces S Type granite which brought tin. This rock can be
classified as biotite granite which later by Ishihara classified as "Ilmenite Series".
In Indonesian, tin deposits can be found in Bangkinang (Riau), Kundur - Bintan - Singkep
(Riau Islands), Bangka Belitung until West Kalimantan. Tin deposits could be discovered as a
primary tin deposits and alluvial tin deposits (placer).
The existence of precipitated deposits of tin primary is controlled by the geological structure
prior to the Triassic-Jurassic age that form openings trap for quartz veins associated with
mineral casiterite. In addition there is also a tin deposition is spread on the body of granitic
rocks. Thus the primary tin deposition which we have encountered generally in the form
greisen on the granite body and in the vein of country rock.
The existence of alluvial tin deposits (placer) is controlled by the global climatic conditions
during the period of 1.9 million years until 500, 000 years ago (Pliocene-Pleistocene) which
has the characteristics of a fluctuating global climate change between wet and dry climate.
These conditions cause rock Granitic experience the process of weathering, erosion and
transportation. The existence of ancient valleys in the Indonesian Tin islands and seabed
between the Riau Islands until Borneo became a trap for deposition tin alluvial (placer). Thus
tin placer deposits can be found in the colluvial deposit, elluvia deposit and alluvial deposit
(river and coastal). Moreover, it can be found at the location of the trap and "sink hole".
Characteristics of primary tin deposit and tin placer deposit is somewhat different, so that in
conducting exploration activities and in making estimates of resources and reserves of tin had
to use a slightly different method.
Primary tin deposit exploration activities using the search method for distributing rocks
undergo mineralization process, using the IP geophysical equipment - Resistivity and gravity
are then conducted core drilling activities at the location indicated by the tin deposits.
Drilling sample preparation in the form of rocks made by way of mashed, then conducted
laboratory analysis with XRF equipment.
1
Alluvial tin deposit exploration activity (placer) using seismic equipment to map the spread of
paleo-channel and gravel were then carried out drilling with counter flash system ( disturbed
sample ) at the location indicated by the gravel. Sample drilling results in the form of sand
and then carried out the preparation of samples by panning . Further laboratory analysis by
XRF methods, microscopy and chemistry.
Primary tin resource estimate done by making the block models for the spread of veins
containing lead, then do the calculations, as for tin placer deposition using half of the area of
influence.
RINGKASAN
Geologi endapan timah di Indonesia merupakan bagian dari Jalur Timah Asia Tenggara yang
membentang dari China – Myanmar / Thailand - Malaysia hingga Indonesia. Endapan timah
merupakan hasil proses mamatisme yang dikontrol oleh sunduction yang kemudian terjadi proses
pengangkatan (lifting) pada kerak Benua Indochina dan East Malaya yang berupakan bagian dari
Gondwana. Magmatisasi kerak benua menghasilkan batuan granit tipe ”S” yang membawa timah.
Batuan pembawa timah ini dapat diklasifikasikan sebagai Biotit Granit yang kemudian oleh Ishihara
diklasifikasikan sebagai ”Ilmenite Series”.
Di Indonesia endapan timah dapat dijumpai di Bangkinang (Riau), Kundur – Bintan - Singkep (Kepri),
Bangka Belitung hingga Kalimantan Barat. Endapan timah masih dapat kita jumpai sebagai endapan
timah primer dan endapan timah alluvial (placer).
Keberadaan cebakan endapan timah primer sangat dikontrol oleh struktur geologi berumur sebelum
Trias-Jura yang membentuk bukaan perangkap bagi urat-urat kuarsa yang bersosiasi dengan mineral
kasiterit. Selain itu endapan timah juga ada yang tersebar pada tubuh batuan granit. Dengan demikian
endapan timah primer yang telah kita jumpai umumnya tersebar pada tubuh batuan granit dan urat
pada batuan yang diterobos.
Keberadaan cebakan endapan timah alluvial (placer) sangat dikontrol oleh kondisi iklim global pada
kurun waktu 1.9 juta tahun hingga 500, 000 tahun lalu (Pliocene-Pleistocene) yang memiliki
karakteristik perubahan iklim global yang fluktuatif antara iklim basah dan kering. Kondisi ini
mengakibatkan batuan granitis mengalami proses pelapukan , erosi dan transportasi. Keberadaan
lembah-lembah purba di Kepulauan Timah Indonesia dan dasar laut antara Kepulauan Riau hingga
Kalimantan menjadi perangkap bagi endapan timah alluvial (placer). Dengan demikian endapan timah
placer dapat dijumpai berupa endapan kollovial, elluvial dan alluvial (sungai dan pantai). Selain itu
dapat ditemukan pada lokasi graben dan “sink hole”.
Karakteristik endapan timah primer dan endapan timah placer agak berbeda, sehingga dalam
melakukan kegiatan eksplorasi maupun dalam melakukan estimasi sumber daya dan cadangan timah
harus menggunakan metode yang sedikit berbeda.
Kegiatan eksplorasi endapan timah primer menggunakan metode penelusuran penyebaran batuan yang
mengalami proses meneralisasi, dengan menggunakan peralatan geofisika IP – Restivity dan gravity
yang kemudian dilakukan kegiatan pemboran inti pada lokasi yang terindikasi adanya cebakan timah.
Sampel pemboran yang berupa batuan dilakukan preparasi dengan cara dihaluskan , kemudian
dilakukan analisa laboratorium dengan peralatan XRF.
2
Kegiatan eksplorasi endapan timah alluvial (placer) menggunakan peralatan seismik untuk memetakan
penyebaran lembah purba dan gravel yang kemudian dilakukan pemboran dengan sistem couter flas
(sampel terganggu) pada lokasi yang terindikasi adanya gravel. Sampel hasil pemboran berupa pasir
kemudian dilakukan preparasi conto dengan cara didulang. Selanjutnya dilakukan analisa laboratorium
dengan metode XRF, mikroskop dan kimia.
Estimasi sumber daya timah primer dilakukan dengan pembuatan blok model atas penyebaran urat
yang mengandung timah, kemudian dilakukan perhitungan, adapun untuk endapan timah placer
menggunakan metode setengah daerah pengaruh.
Kata kunci: karakteristik endapan timah, eksplorasi, timah primer, timah alluvial
BAB 1 PENDAHULUAN
Saat ini di Indonesia belum banyak perusahaan pertambangan yang secara serius
melakukan kegiatan eksplorasi. Hanya oleh PT Timah dan beberapa perusahaan swasta,
itupun hanya PT Timah yang secara terus menerus melakukan kegiatan eksplorasi dari 50
tahun lalu hingga saat ini. Kondisi tersebut tidak seperti kegiatan eksplorasi mineral lain
(seperti emas dan nikel) dan batubara yang begitu banyak perusahaan baik BUMN
maupun swasta telah melakukan kegiatan eksplorasi maupun penambangan.
Oleh karena itu melalui makalah ini, penulis mencoba memberikan gambaran sedikit
tentang eksplorasi timah di Indonesia. Dengan demikian diharapkan akan menambah
wawasan bagi para penggiat kegiatan eksplorasi minera di Indonesia.
Sesungguhnya kegiatan eksplorasi timah di Indonesia sudah dimulai jauh sebelum tahun
1830, namun pada periode tahun 1830 s.d. 1860, perusahaan belanda melakukan kegiatan
eksplorasi secara besar besaran di Riau, Singkep, Anambas, Bangka dan Belitung.
Kegiatan eksplorasi masih difokuskan di darat. Pada periode tahun 1960, kegiatan
eksplorasi mulai dilakukan ke laut menggunakan ponton bor dan kapal bor. Kegiatan
eksplorasi selanjutnya dilakukan baik oleh perusahaan Belanda (setelah dinasionalisasi
bernama PN Timah) maupun oleh Direktorat Geologi Bandung ke Kandawang
Kalimantan Barat, Longlai Kalimantan Timur, Flores, Sulawesi hingga daerah Anggi
Irian Jaya (Sutedjo Sujitno), Gambar 1.1.
3
Dari rententan kegiatan eksplorasi tersebut, akhirnya diyakini bahwa keberadaan timah
yang memiliki nilai ekonomis hingga saat ini adalah pada daerah Riau-Kepulauan Riau-
Singkep-Bangka-belitung dan sedikit di daerah Ketapang Kalimantan Barat, yang
merupakan bagian kepenerusan dari Sabuk Timah Asia Tenggara.
Kondisi terkini kegiatan eksplorasi hanya dilakukan di wilayah IUP milik PT Timah
(Persero) Tbk dan sedikit di blok IUP milik perusahaan swasta maupun di beberapa
lokasi yang dilakukan oleh Badan geologi Bandung.
Meskipun dari hasil kajian geologi, baik yang dilakukan oleh PT Timah, Badan geologi
maupun PPGL meyakini masih banyak daerah potensi timah, namun pengembangan
kegiatan eksplorasi tidak dapat dilakukan secara maksimal, karena terkendala peraturan
perundang-undangan.
Dengan demikian Indonesia kesulitan menyiapkan diri untuk dapat mencapai kejayaan
timah kembali, akibat minimnya cadangan timah yang dimiliki.
4
BAB 2 SETING GEOLOGI ENDAPAN TIMAH
2 .1 Geologi Regional
Geologi endapan timah di Indonesia merupakan bagian dari Jalur Timah Asia Tenggara
yang membentang dari China – Myanmar / Thailand - Malaysia hingga Indonesia.
Endapan timah merupakan hasil proses magmatisme yang dikontrol oleh sunduction yang
kemudian terjadi proses ”lifting” pada kerak Benua Indochina dan East Malaya yang
berupakan bagian dari Gondwana.
Kerak benua yang didonimasi oleh batuan sedimen, selanjutnya diterobos oleh magma
sehingga terjadi proses magmatisasi terhadap tubuh batuan yang diinterusi, yang
selanjutnya menghasilkan batuan granit tipe ”S” (tipe sedimen). Di lapangan banyak
ditemukan adanya xenolith batuan metasedimen pada batuan granit,sebagai salah satu
penciri batuan granit tipe ”S”.
Umum batuan pembawa timah adalah Granit tipe ”S” yang dapat diklasifikasikan
sebagai Biotit Granit yang kemudian oleh Ishihara diklasifikasikan sebagai ”Ilmenite
Series”.
5
Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa keberadaan timah berasosiasi pada tubuh
batuan granit Tipe “S” maupun tipe endapan granit campuran tipe “S “ tipe I (“I-S”
Type). Sedangkan pada batua granit tipe “I” tidak dijumpai keberadaan endapan timah.
Keberadaan cebakan endapan timah primer sangat dikontrol oleh struktur geologi
berumur sebelum Trias-Jura yang arah umumnya tenggara-barat laut. Struktur ini
membentuk bukaan yang diterobos oleh tubuh batuan granit dan urat-urat kuarsa,
turmalin, oksida besi dan kaolin (feldspar), dengan arah umum barat laut – tenggara,
Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.
Endapan timah berada tersebar pada tubuh batuan granit, maupun urat. Dengan demikian
endapan timah primer yang telah kita jumpai umumnya tersebar pada tubuh batuan granit
dan urat pada batuan yang diterobos baik pada zona sulfide maupun zona oksida. Hhal
tersebut dapat kita temukan adanya timah pada urat yang berasosiasi dengan Hematit
(Fe2O3),Siderite (Fe CO3) Markasit (FeS2),Pyrite (FeS2) dan lain-lain.
6
2 .2 Endapan Timah Alluvial
Genesa terbentuknya endapan timah alluvial (placer) sangat ditentukan oleh 3 faktor
Utama yaitu: adanya sumber batuan yang mengandung timah, proses (perubahan muka
laut perlapukan, erosi, transportasi) dan adannya perangkap tempat terendapannya
material (sungai,graben dll.)
Keberadaan cebakan endapan timah alluvial (placer) sangat dikontrol oleh kondisi muka
laut dan iklim global pada kurun waktu 1.9 juta tahun hingga 500, 000 tahun lalu
(Pliocene-Pleistocene) yang memiliki karakteristik perubahan iklim global yang fluktuatif
antara iklim basah dan kering. Kondisi ini mengakibatkan batuan granitis mengalami
proses pelapukan, erosi dan transportasi.
7
Keberadaan lembah-lembah purba di Kepulauan Timah Indonesia dan dasar laut antara
Kepulauan Riau hingga Kalimantan merupakan bagian hulu dari lembah dari sitem
lembah utama yang bermuara ke laut China Selatan (Pleistocene sea-level maps of
Southeast Asia, Molengraff, 1921). Lembah ini menjadi perangkap bagi endapan timah
alluvial (placer).
Dengan menggabugkan pola lembah Molengraff dan Pratetiary Sunda Platform And
Ridge Sumatera-Jawa (Koesoemadinata & Pulunggono, 1971) serta kondisi muka laut
saat ini, dapat kita ketahui bahwa keberadaan lembah yang menjadi perangkap
terbentuknya endapan timal placer sebagian besar berada di wilayah yang saat ini telah
menjdi wilayah laut, Gambar 2.4.
Tipologi endapan timah placer dapat dijumpai berupa endapan kollovial, elluvial dan
alluvial (sungai dan pantai). Selain itu dapat ditemukan pada lokasi graben dan “sink
hole”. Selain itu secara teoritis dapat juga berupa endapan kipas aluvial, namun sampai
saat ini penulis belum dapat menemukan tipe endapan yang memiliki cirri-ciri sebagai
eandapan kipas aluvial, Gambar 2.5.
Dalam dunia pertimahan dikenal istilah “kong” endapan “kaksa” dan endapan “mincan”.
Kong adalah lapisan tidak bertimah lagi (batuan dasar), kaksa’adalah endapan timah yang
secara vertikal berada di atas kong, sedangkan “mincan” adalah endapan timah yang
berada menyisip pada lapisan lempung yang berada di atas kaksa berupa endapan pasir
dan kerikil. Keberadaan kaksa dan mincan ini sangat dipengaruhi oleh fluktuasi muka
laut dan iklim global, Gambar 2.6.
8
BAB 3 METODE ESPLORASI
Secara umum kegiatan eksplorasi endapan timah primer maupun endapan timah placer
memiliki kesamaan, mulai dari perencanaan, survey geologi, survey geofisika, pemboran,
pengukuran, analisa laboratorium dan penggolahan data, Gambar 3.1 namun secara detail
terdapat perbedaan dalam pendekatan geologi, penggunaan peralatan maupun metode
preparasi samplenya Gambar 3.2.
9
Sampel pemboran yang berupa batuan, dilakukan preparasi dengan cara dihaluskan ,
kemudian dilakukan analisa laboratorium dengan peralatan XRF dan kimia.
Kegiatan eksplorasi endapan timah alluvial (placer) menggunakan peralatan seismik untuk
memetakan penyebaran lembah purba dan gravel, yang kemudian dilakukan pemboran
dengan sistem couter flas (sampel terganggu) pada lokasi yang terindikasi adanya gravel yang
mengandung timah.
Sampel hasil pemboran berupa pasir kemudian dilakukan preparasi conto dengan cara
didulang. Selanjutnya dilakukan analisa laboratorium dengan metode XRF, mikroskop dan
kimia.
10
BAB 4 ESTIMASI SUMBER DAYA TIMAH
Tahapan dalam melakukan estimasi sumber daya timah baik primer maupun placer secara
umum memiliki kesamaan, perbedaannya haya pada saat membuat model geologi dan
perhitungannya. Diagram alur tahapan estimasi sumber daya dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Estimasi sumber daya timah primer dilakukan dengan pembuatan blok model atas penyebaran
urat yang mengandung timah, kemudian dilakukan perhitungan, adapun untuk endapan timah
placer dalam perhitungannya menggunakan metode setengah daerah pengaruh.
DAFTAR PUSTAKA
- Hamdan Z. Abidin, 1998 Hasil Penelitian Geologi Di Daerah Penagan Dan Mangkol,
Pulau Bangka, Puslitbang Geologi , Bandung
- Ishihara dkk, 1979 The Magnetite-series And Ilmenite-series Granitoids And Their Bearing
On Tin Mineralization, Particularly Of The Malay Peninsula Region, Bulletin ,
Malaysia
11
- Koesoemadinata,R.P., 1996, “Sequenstratigraphy” Pergeseran Paeadigma dalam Ilmu
geologi, Proceedings of The 15th annual Convention of the Association of
Geologist.
- Hosking, 1969, Major types of primary tin deposits in Cornwall , dalam The Cornubian Ore
Province - a Review, http://myweb.tiscali.co.uk/geologyofcornwall
- Raharjo, Setiawan, 2005 , Prospek Timah Di Lepas Pantai Kepulauan Timah Indonesia,
Bangka Indonesia
- Tjia H.D., 1989. Workshop on Quartenary Sea-Level Changes and Related Geological
Processes In relation To Secondary Tin Deposits, Bangka Indonesia
12
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Meskipun saat ini aktifitas kegiatan eksplorasi nikel laterit di Sulawesi menurun tajam, namun
kondisi ini justru meningkatkan penelitian dibidang eksplorasi mineral, salah satunya adalah
mengevaluasi kembali karakteristik lapisan endapan nikel laterit melalui data pemboran. Hal
ini cukup menarik untuk dikaji, utamanya profil lapisan endapan nikel laterit, molase dan
batuan metamorf yang relatif dipengaruhi oleh sesar lokal Koawe dan regional Lasolo
dengan arah baratlaut tenggara. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa, secara
horisontal sebaran endapan nikel laterit relatif bersentuhan dengan batuan metamorf, sedimen
dan endapan molase, mempengaruhi kondisi geologi vertikal horisontal endapan laterit yang
memiliki potensi kadar nikel cukup rendah apabila dikaitkan dengan kebutuhan nilai kadar
nikel pada saat itu. Pendekatan metode penelitian diawali pada pengamatan singkapan,
analisis XRF dan petrografi digunakan pada data pemboran sampel laterit dan batuan
ultramafik. Penelitian ini merupakan kajian terhadap beberapa data singkapan, data titik bor
dan pemetaan geologi yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik lapisan endapan nikel
laterit yang erat kaitannya dengan struktur geologi regional lasolo. Hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa (1) laterisasi pembentukan lapisan limonit dipengaruhi oleh batuan
metamorf, sedimen dan molase sehingga Intensitas pembentukan lapisan saprolit relatif kuat
dibanding lapisan limonit (2) Kontrol struktur geologi menghasilkan bentangalam dengan
intensitas laterisasi yang berbeda.
A. PENDAHULUAN
Umumnya endapan nikel laterit dipengaruhi oleh proses geologi, iklim, air dan
topografi. Proses ini terjadi pada batuan ultramafik dan membentuk endapan laterit,
diantaranya terdapat unsur logam dan non logam seperti nikel, besi dan silika. Tinjauan
tektonik menunjukkan bahwa endapan nikel laterit dapat dijumpai pada kondisi geologi
regional tertentu terutama erat kaitannya dengan ofiolit batuan ultramafik. Kondisi ini dapat
dijumpai pada endapan nikel laterit yang dipengaruhi oleh sesar regional di daerah penelitian
yang masuk wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 1).
Tulisan ini merupakan kajian terhadap beberapa data singkapan batuan ultramafik,
batuan metamorf dan molase, data titik bor dan pemetaan geologi yang bertujuan untuk
mengetahui karakteristik lapisan endapan nikel laterit.
13
B. KONDISI GEOLOGI
Bentangalam
Rekaman aktvitas struktur geologi regional lasolo dapat dilihat di lapangan terutama
pada bentuk bentangalam yang tidak beraturan mengikuti arah yang sejajar maupun imbasan
dari pergerakan sesar lasolo. Aspek perbedaan sudut lereng maupun batuan penyusun
ultramafik dan non ultramafik, merupakan pendekatan pengamatan lapangan dalam
menginterpretasi profil endapan nikel laterit.
Bentangalam bergelombang denudasional, disusun oleh batuan batuan ultramafik,
batupasir, batugamping, fragmen campuran berbagai bentuk dan berukuran lebih kecil dari
kerikil, soil berwarna abu-abu kecoklatan. (Gambar 2).
Proses pelapukan aktif diketahui dari kondisi soil residual dan transported, berwarna
coklat sampai coklat kehitaman.
Bentangalam pedataran denudasional, disusun oleh residual soil terbentuk dari hasil
lapukan batuan dan mengalami transportasi, tebal 0,2 meter sampai < 1 meter, warna coklat,
coklat kehitaman. Secara megaskopis dijumpai proses pengelupasan lapisan fragmen soil
yang disebabkan oleh proses erosi dan pelapukan (Gambar 3).
Analisa morfogenesa terhadap kondisi di lapangan menunjukkan proses genetik yang
berkembang yaitu terbentuknya endapan kolovium yang merupakan campuran material
endapan molase, material lepas hasil pelapukan batuan metamorf berukuran lempung hingga
kerakal.
Litologi
Batuan Ultramafik
Petrografis nikol sejajar pada batuan ultramafik menunjukkan warna coklat tua dan
coklat-abu-abu pada nikol silang, terdapat tekstur mesh, ukuran sedang- kasar, telah
mengalami ubahan dengan intensitas intensif (serpentinisasi). Meskipun tekstur batuan telah
terubah, namun masih memperlihatkan jejak pola mineral mafik piroksen dan olivin. Mineral
serpentin, klorit, karbonat (kalsit) hadir sebagai mineral ubahan tersebar acak dengan
bentuk anhedral.
Kenampakan lapangan menunjukkan warna segar memperlihatkan warna segar abu-
abu kehijauan, lapuk warna coklat kemerahan, kristanilitas hipokristalin, granularitas
faneritik, relasi inequigranular, bentuk euhedral-subhedral, struktur masif, komposisi mineral
limonit, kuarsa berupa urat (vein), serpentin, piroksin.
Hasil pelapukan menunjukkan perubahan warna pada soil yaitu abu-abu kecoklatan,
coklat kemerahan dan coklat tua. Perubahan Warna ini menunjukkan perbedaan proses
pelapukan dan alterasi pada batuan ultramafik. Proses pelapukan dicirikan oleh perubahan
batuan menjadi soil dan terdapat fragmen batuan ultramafik, sedangkan alterasi menunjukkan
perubahan warna abu-abu bersifat lempungan.
Tipe sheared dijumpai pada zona sesar lokal,memperlihatkan slip-fibre serpentinit,
urat kuarsa tidak beraturan, tebal 1 – 2 mm. Karakteristik slip-fibre serpentinit umumnya
memperlihatkan permukaan yang tipis dan berwarna kuning kehijauan, kuning kecoklatan,
abu-abu kehijauan sampai hijau pucat atau kuning kehijauan (Gambar 4).
14
Struktur Geologi Regional Lasolo
Sesar Lasolo berarah baratlaut – tenggara, membagi Kendari menjadi dua bagian.
Sebelah timurlaut sesar disebut Lajur Hialu dan sebelah baratdaya disebut Lajur Tinondo
(Rusmana dan Sukarna, 1985). Lajur Hialu umumnya merupakan himpunan batuan yang
bercirikan asal kerak samudera, dan Lajur Tinondo merupakan himpunan batuan yang
bercirikan asal paparan benua. (Rusmana, dkk, 1993).
1. Profil Umum
Secara vertikal, dijumpai pada bagian atas terdapat lapisan limonit dengan ketebaan
sampai 8 meter, berwarna coklat tua, dengan nilai nikel 0,4% sampai 0,8% dan besi 32%
sampai 47%. Selanjutnya terdapat lapisan saprolit dengan ketebalan rata-rata 12 meter,
berwarna abu-abu, abu-abu kehijauan, nilai nikel 0,9% sampai 2,2%.
2. Profil Fracture
Lapisan limonit menyebar horisontal mengikuti topografi bergelombang. Berwarna
coklat, coklat tua, coklat kuning, ketebalan maksimum 6 meter dan minimum 4 meter, kadar
nikel rata 0,9 %. Rekahan ultramafik tidak beraturan, lebar (2 cm - 9 cm), pelapukan kuat
warna abu-abu, dibatasi oleh limonit dan saprolit. Perbedaan nikel pada limonit (0,8 % -
1,06%) menerus saprolit (1,2%- 2,51%) dan sona rekahan nikel meningkat (2,73 % - 3,0%).
3. Profil Kolovium
Kenampakan lapangan, kolovial menutupi laterisasi batuan ultramafik terdiri dari
fragmen skis menunjukkan warna abu-abu, abu-abu kecoklatan, berukuran relatif <3cm,
menyudut tanggung sampai membundar, kuarsit teroksidas, membundar <2 cm.
Pengayaan nikel relatif kecil (0,32% – 0,44%), besi (13,4% – 16,3%) pada kolovium, untuk
lapisan saprolit nikel komposisi nikel meningkat (0,8% – 1,6%) (Gambar 5).
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16
Gambar 3. Kenampakan bentangalam pedataran denudasional
17
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES PERHAPI 2015
Wahyu Garinas
Peneliti Pusat Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral (PTSM)
Deputi TPSA – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gedung Geostech 820,Puspiptek Serpong, Banten, 15314.
wahyugarinas@yahoo.com, wahyu.garinas@bppt.go.id
Abstract
Evaluation is not to blame each other but to see the gap between the achievement and hope
for a policy. Every policy that is made should be evaluated to determine whether the policy is
beneficial and can achieve its objectives.
Realization of environmental policies implemented by the company at this time is the mining
reclamation activities such as planting plan, maintenance and monitoring of reclamation.
Once implemented reclamation turns out there are still many environmental damage such as
former mining pits more and more, the appropriation of land reclamation, illegal miners, and
other social issues.
To determine the achievement of reclamation plan is an evaluation of the activity. Therefore,
needed an assessment of the plans that have been made so far.
The results of the study showed that about 42.50% of the respondents considered that the
reclamation plan policies which have been implemented are not appropriate with
expectations and approximately 57.50% of respondents believe that the reclamation plan is
implemented quite appropriate with the reclamation plan.
1. PENDAHULUAN
Menilai suatu kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk melihat sejauh mana
suatu kebijakan membuahkan hasil dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh
dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan
Penilaian(evaluasi) biasanya dilakukan dengan tujuan untuk menilai keefektifan suatu
kebijakan guna dipertanggung jawabkan kepada konstituennya.. Sejauh mana tujuan dicapai
maka evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Tujuan
pokok dari suatu evaluasi bukan untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat
seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu kebijakan publik.
Salah satu perusahaan yang melakukan kegiatan eksploitasi tambang adalah PT. Timah
(Persero) Tbk. yang menguasai hak penambangan timah seluas 522.459 hektar dengan 114
kuasa pertambangan (KP) baik di darat (Onshore) maupun di laut (Offshore) dengan wilayah
operasi yang meliputi provinsi Bangka Belitung dan Propinsi Kepulauan Riau yang dikenal
sebagai Indonesian Tin Belt.
18
Mulai tahun 1997 PT.Timah (Persero) Tbk. telah menerbitkan kebijakan lingkungan
yang berlaku untuk seluruh kegiatan operasi pertambangan. Kebijakan lingkungan tersebut
diantaranya :
Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup PT.Timah (Persero) Tbk. yang termuat dalam
setiap tahap kegiatan operasi penambangan maupun kegiatan sarana penunjangnya secara
terpadu sehingga setiap dampak negatif yang timbul dapat dikelola secara sungguh-
sungguh dan tidak menurunkan kualitas daya dukung lingkungan disamping memperoleh
manfaat ekonomi yang optimal.
PT. Timah (Persero) Tbk. senantiasa berupaya mentaati ketentuan dalam peraturan dan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan khususnya dibidang
lingkungan hidup.
Perencanaan merupakan tindakan untuk menentukan tujuan organisasi dari apa yang
dibutuhkan untuk mencapainya. Selain itu perencanaan merupakan penentuan tujuan,
penetapan strategi dan pengembangan rencana untuk mengkoordinir aktifitas. Perencanaan
akan menentukan organisasi berada di masa depan dan bagaimana agar dapat dicapai.
Sebagai perusahaan pertambangan yang berwawasan keberlanjutan, PT.Timah
(Persero) Tbk. telah mengembangkan dan memiliki konsep penutupan lahan dan perencanaan
pascatambang (mining closure plans) yang siap diimplementasikan. Rencana Penutupan
Tambang (RPT). Penyusunan RPT merupakan upaya perusahaan untuk menaati Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 18 Tahun 2008 tentang reklamasi dan
penutupan tambang.
Intensitas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh operasi tambang cukup besar.
Untuk Tambang Inkonvensional (TI) tergolong besar mengingat seluruh TI yang beroperasi
tidak melakukan kegiatan pencegahan dan pengendalian dampak lingkungan. Dampak
signifikan lainnya adalah berupa ancaman kerusakan lingkungan mengingat pertambangan
illegal dikelola tanpa tanggung jawab dan mengabaikan pelestarian lingkungan. Eksploitasi
Pasir Timah yang dikerjakan meninggalkan lahan bekas penambangan tanpa ada upaya
mengembalikannya seperti reklamasi.
Tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang baik maka sangat mungkin usaha
pertambangan akan menyebabkan kerusakan yang besar. Untuk mengoptimalkan kebijakan
lingkungan hidup di daerah bekas tambang tentunya peranan PT.Timah (Persero) Tbk.,
pemerintah daerah dan masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pengelolaan seoptimal
mungkin. Banyak upaya kegiatan telah direncanakan dan dilakukan oleh PT. Timah
(Persero) Tbk. melalui program perbaikan lingkungan diantaranya melalui kegiatan reklamasi
terhadap lahan bekas tambang. Dalam pelaksanaan reklamasi lingkungan banyak kendala
yang dijumpai pada proses reklamasi. Dengan adanya lahan bekas tambang maka akan
terbuka akses kepada masyarakat untuk melakukan penambangan liar sehingga kegiatan
tersebut menjadi-jadi. Banyak dijumpai masyarakat yang menambang dilokasi reklamasi
perusahaan dan menyebabkan perubahan pola pengaturan lahan. Konflik dengan masyarakat
setempat terkait klaim kepemilikan tanah yang ditambang secara liar sering terjadi atau
masyarakat secara terang-terangan melarang untuk upaya reklamasi.
Rencana pengelolaan lingkungan merupakan upaya untuk mencegah dan
mengendalikan dampak penting lingkungan hidup yang bersifat negatif kemudian
memperbaiki komponen yang terkena dampak negatif dan meningkatkan dampak positif yang
timbul akibat penambangan. Dalam penelitian ini pengelolaan lingkungan mencakup
beberapa aktifitas misalnya aspek perencanaan reklamasi yaitu penanaman, pemeliharaan dan
pemantauan tanaman reklamasi. Selanjutnya untuk mengukur pelaksanaan perencanaan di
19
lapangan maka dilakukan penilaian terhadap kegiatan tersebut. Sebagai objek penilaian
adalah responden dari masyarakat, pelaku usaha Timah, dosen, pers, dan karyawan.
Dari latar belakang seperti yang diuraikan sebelumnya melalui kebijakan lingkungan
PT. Timah (Persero) Tbk. ternyata cukup banyak yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam
pelaksanaan reklamasi. Tetapi dalam kenyataannya masyarakat diluar sangat besar
harapannya (ekspektasi) terhadap rencana reklamasi. oleh PT.Timah (Persero) Tbk. sesuai
dengan harapan masyarakat pada saat ini.
Evaluasi kebijakan rencana reklamasi ini bukan berarti mencari kesalahan dan saling
menyalahkan tetapi untuk mengetahui bagaimana pencapaian serta harapan yang diinginkan.
Hasil penilaian ini juga memberikan gambaran bagaimana pendapat responden (masyarakat)
terhadap upaya rencana perbaikan lingkungan reklamasi yang telah dilakukan PT.Timah
(Persero). Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana pencapaian rencana yang telah
dibuat dan harapan masyarakat (responden) di sekitar lahan bekas penambangan.
20
peristiwa masa lalu, baik yang dipersiapkan maupun tidak dipersiapkan untuk suatu
penelitian.
d) Kuesioner.
Dalam penelitian ini dilakukan juga kegiatan kuesioner untuk menambah derajat
kepercayaan penelitian. Data kuesioner dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang
berkaitan dengan rencana reklamasi yaitu aspek pengelolaan/manajemen meliputi :
perencanaan reklamasi (penanaman, pemeliharaan dan pemantauan tanaman
reklamasi). Sebagai dasar untuk penilaian maka akan mengacu beberapa kriteria
penilaian (evaluasi) antara lain : efektifitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan,
responsifitas dan kelayakan.
Penelitian deskriptif dilakukan berdasarkan kepada kondisi dan konteks masalah yang
dikaji yaitu mengenai kegiatan reklamasi yang dalam pelaksanaannya oleh PT.Timah
(Persero) Tbk. membawa dampak terhadap lahan sekitar bekas tambang. Dengan melakukan
kegiatan wawancara dan kuesioner terhadap beberapa kelompok responden maka didapatkan
penilaian terhadap rencana pengelolaan kegiatan reklamasi di lahan bekas tambang.
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini maka data yang akan dianalis adalah data
primer dan sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini seperti peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan kebijakan lingkungan hidup dan kebijakan PT.Timah (Persero)Tbk.
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan teori mengenai kebijakan. Sedangkan
data primer meliputi hasil penilaian dari rencana reklamasi lingkungan hidup PT.Timah
(Persero)Tbk. Data hasil penilaian koresponden akan dianalisis dengan perhitungan statistik
umumnya. Proses analisis data penelitian yang direncanakan seperti gambar 1 di atas.
21
kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai peruntukannya.
Meskipun Permen ESDM ini mewajibkan seluruh perusahaan tambang untuk melakukan
reklamasi pada lahan-lahan bekas tambang, namun tingkat keberhasilan reklamasi di banyak
lokasi bekas tambang umumnya masih rendah.
Kebijakan lingkungan dan indikator untuk kegiatan rencana reklamasi PT. Timah
(Persero) Tbk. seperti pada tabel berikut :
22
naman dan pemeliharaan) pe- pola reklamasi yang telah ditetapkan.
ngawasan dan pengamanan Ketepatan dalam pemilihan jenis tanaman
lahan reklamasi. reklamasi (tanaman pioneer dan budidaya).
Menyelenggarakan reklamasi di Pelaksanaan kegiatan penanaman dan
areal bekas tambang secara pemeliharaan tanaman reklamasi.
sistematis dengan mempertim- Pemantauan pelaksanaan prosedur
bangkan tingkat kerusakan reklamasi.
tanah (tipologi) dan rencana Pemantauan tingkat keterlibatan masyara-
peruntukan lahan pada pasca kat sekitar dalam pelaksanaan reklamasi
penambangan. dari perencanaan,penanaman,pemeliharaan
hingga pemanfaatan hasil reklamasi.
Pemantauan tingkat keberhasilan rekla-
masi berdasarkan populasi tanaman rekla-
masi yang tumbuh (minimal 80 %) dan
tingkat pertumbuhan tanaman reklamasi
umur 1 tahun, tinggi pohon 2 m dengan
lingkar batang pohon minimal 8 cm.
2. Strategi dan Menerapkan strategi dan teknik Perbaikan sifat fisik kimia tanah di lubang
Teknik penambangan timah yang mem- tambang (kolong) darat.
Penambangan pertimbangkan lingkungan(LH) Pengelolaan overburden di lubang
berwawasan hidup sehingga kerusakan dapat tambang (kolong) darat.
lingkungan. dikendalikan & peluang rekla- Pengendalian pencemaran air selama
masi lebih terjamin. proses penambangan.
Mencegah pencemaran air dari
front tambang keperairan umum
dan membangun sistem pengen-
dalian tata air secara tertutup.
3. Restorasi dan Memulihkan penutupan Revegetasi sebagai upaya restorasi dan
perbaikan lahan dan keanekaragaman rehabilitasi lahan.
satwa liar. vegetasi dan satwa liar. Pemilihan vegetasi lokal yg cepat tumbuh
dan dapat memperbaiki habitat satwa liar.
4. Pembinaan Pentaatan Mitra PT.Timah ter- Langkah pengamanan overburden selama
penambangan hadap perundang-undangan proses penambangan,
timah darat lingkungan, kebijakan LH Pengendalian pencemaran air selama
mitra. PT.Timah, prosedur operasi proses penambangan,
baku pengelolaan LH Pengembalian dan perataan overburden
penambangan timah darat. setelah proses penambangan selesai.
5. Reklamasi Membuka akses keterlibatan Terlibatnya warga masyarakat secara aktif
restorasi dan masyarakat dalam program re- dalam berbagai upaya reklamasi, restorasi,
pemanfaatan klamasi dan pemanfaatan eks. dan pemanfaatan lubang tambang ; sejak
lubang lubang tambang. tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pe-
tambang Mengembangkan keterlibatan manfaatan hasil reklamasi dan restorasi;
(kolong) masyarakat melalui pengaktifan sehingga pasca penambangan timah sum-
berbasis kelembagaan masyarakat dan berdaya alam setempat dapat dimanfaatkan
masyarakat. stakeholder . secara berkelanjutan.
23
telah menjadi bagian penting dari kebijakan umum perusahaan.
Keterkaitan antara Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) di
PT.Timah (Persero)Tbk. sesuai dengan dokumen RKL menjadi acuan seperti tabel berikut.
24
tahunan dan rencana tahunan. Dalam pasal-pasal RKL telah dimuat kondisi sosial,
tersebut diatur tentang peyusunan rencana kondisi tumbuhan/tanaman,
reklamasi tahunan, rancangan teknis di lapangan, pengesahan rencana reklamasi.
kondisi sosial, kondisi tumbuhan/tanaman, rencana
biaya, pengesahan rencana reklamasi dstnya.
Dari uraian seperti pada tabel di atas menunjukkan bahwa pengelolaan (aspek
perencanaan) reklamasi daerah bekas tambang di PT.Timah (Persero) Tbk. telah
mencerminkan kebijakan pemerintah dibidang reklamasi. Maka secara umum bahwa dalam
perencanaan reklamasi saat ini perusahaan dimulai dengan tahapan : (1). Perencanaan
pekerjaan awal : survey awal, rencana kerja reklamasi, (2). Rencana dengan mitra dalam
penyiapan lahan (3). Rencana melaksanakan penanaman dan perawatan (4). Pelaporan atas
hasil kegiatan reklamasi.
25
pemerintah lainnya. Rencana reklamasi harus terus direalisasikan dan tidak boleh
dihentikan. Perencanaan sebaiknya didaerah yang cadangan timahnya benar-benar sudah
habis agar tidak dirusak lagi oleh penambang inkonvensional sehingga dana reklamasi
selama ini menjadi sia-sia.”
Perencanaan rencana reklamasi dibuat oleh perusahaan telah mengikuti dokumen
kebijakan pemerintah. Hasil wawancara dengan responden sebagai berikut :
“Rencana reklamasi yang dibuat oleh perusahaan sesuai dengan permen ESDM, tetapi
ada yang belum disosialisasikan dari Permen No.18 Menteri ESDM adanya jaminan
reklamasi yang sampai sekarang belum diketahui kemana dana penjaminan reklamasi kepada
pemerintah. Biaya reklamasi ada dan bagaimana rencana 5 tahunannya tidak pernah tahu.
Reklamasi realisasinya memang ada walaupun laporan tidak rutin ke instansi pemerintah
daerah. Masyarakat perlu dilibatkan dalam rencana reklamasi agar mereka merasa memiliki
dan keberhasilan reklamasi saat ini dapat dikatakan tidak puas”.
Perencanaan reklamasi sudah menjadi tanggungjawab perusahaan dan masyarakat tidak
tahu pelaksanaannya. Menurut responden berikut :
“Harus diakui rencana reklamasi itu ada dan secara teknis hanya perusahaan yang tahu.
Lahan yang direklamasi dapat dibagi tiga bagian yaitu : lahan berhasil , tidak berhasil dan
lahan tidak diapa-apakan. Adanya rencana reklamasi ini sangat disambut baik dan memang
harus dilakukan oleh perusahaan. Biaya reklamasi tetap perlu setiap tahunnya dan
pengelolaannya hanya perusahaan yang perlu sosialisasi”.
Responden mendapat kendala untuk mengetahui keberhasilan dari realisasi rencana
reklamasi karena kegiatan reklamasi yang sering tidak sesuai dengan rencana. Selanjutnya
berdasarkan pendapat responden yang menjelaskan bahwa :
“Rencana reklamasi yang dibuat sering ditunda karena ada kegiatan-kegiatan oknum yang
merusak lahan reklamasi. Rencana reklamasi oleh perusahaan sudah dilakukan dan sulit
dikatakan puas karena kadang-kadang reklamasi yang direncanakan tidak tentu waktunya
dan ada yang sudah jalan serta ada juga yang dihentikan. Keikutsertaan masyarakat dalam
rencana reklamasi hanya sebatas “insidential” saja.
Reklamasi direncanakan dan dibuat untuk dapat dilaksanakan dan keberhasilan
realisasinya saat ini tergantung kepada musim. Berdasarkan pernyataan responden yang
menjelaskan bahwa :
“Rencana reklamasi secara teknis siap dan realisasinya tidak terlalu masalah.
Keberhasilan rencana reklamasi tergantung kepada masalah yang dihadapi dilapangan.
Kendala di lapangan antara lain musim kemarau yang mempengaruhi musim tanaman
reklamasi. Selain itu kendala sengketa lahan serta penambangan liar lainnya.”
Hasil wawancara dengan para responden tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
lingkup rencana reklamasi di PT. Timah (Persero) Tbk. terkait kepada dokumen ANDAL,
RKL dan RPL yang sudah ditetapkan sebelumnya. Tahapan rencana reklamasi yang
dilakukan antara lain : (1). Persiapan pekerjaan : survei awal, rencana kerja reklamasi,
penataan lahan meliputi : biaya reklamasi, alat berat dan lainnya. (2) Mengorganisir dengan
mitra dalam penyiapan lahan, (3). Penanaman dan perawatan (4). Memantau dan membuat
pelaporan atas hasil kegiatan reklamasi. Partisipasi masyarakat harus lebih optimal untuk
diikutsertakan dan menjadi perhatian perusahaan dalam perencanaan lingkungan. Hal ini
harus menjadi perhatian karena keikutsertaan /partisipasi masyarakat dalam mengelola
lingkungan menjadi salah satu tujuan dan target perencanaan lingkungan dari perusahaan.
26
c. Hasil Pendapat Responden Terhadap Rencana Reklamasi dan Realisasinya.
Rencana reklamasi yang telah dilakukan dilapangan selama ini terdapat kekurangan dan
kelebihan sehingga terjadi perbedaan (gap) antara realisasi dan pelaksanaannya. Sesuai
dengan tujuan penelitian, maka untuk menilai rencana dan realisasinya mengacu kepada
dokumen pengelolaan lingkungan yang meliputi perencanaan reklamasi yaitu penanaman,
pemeliharaan dan pemantauan tanaman reklamasi yang sedang berjalan serta kriteria
penilaian /evaluasi. Adapun aspek kriteria evaluasi yang menjadi penilaian yaitu : efektifitas,
efisiensi, kesamaan (partisipasi), kecukupan, resposifitas dan kelayakan reklamasi.
Pengambilan data dilakukan terhadap 40 orang responden dari berbagai latar belakang
yaitu : karyawan PT.Timah (Persero) Tbk. , dosen, pegawai swasta, masyarakat sekitar
lokasi, pengawas reklamasi, wartawan, instansi pemda, karyawan swasta di penambangan
timah dan responden berlokasi di sekitar tambang timah Pulau Bangka.
Berdasarkan aspek perencanaan lingkungan (reklamasi) terdapat 42,50 % berpendapat
tidak sesuai implementasinya, sekitar 45.00 % cukup sesuai. Kemudian sekitar 12,50 % dari
responden menilai bahwa rencana pengelolaan reklamasi sangat sesuai pelaksanaannya. Jadi
sekitar 57,5 % dari responden berpendapat bahwa rencana pengelolaan reklamasi (cukup
sesuai– sesuai) dilaksanakan (Lampiran).
4. KESIMPULAN
1) Pengelolaan kegiatan reklamasi yang ada di PT.Timah (Persero)Tbk. berdasarkan
uraian hasil penelitian dari aspek pengelolaan perencanaan reklamasi (penanaman,
pemeliharaan dan pemantauan tanaman reklamasi) telah terkait dengan kebijakan
dan peraturan pemerintah.
2) Berdasarkan pendapat responden dari hasil wawancara maka kegiatan reklamasi
lahan bekas tambang saat ini telah dilaksanakan dengan mengacu kepada dokumen
lingkungan (RKL , RPL dan ANDAL) yang masih perlu perbaikan. Dalam
implementasinya kegiatan perencanaan masih perlu diperbaiki. Terutama
mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam rencana reklamasi karena selama ini
masyarakat hanya ikut dalam tahapan sosialisasi.
3) Berdasarkan kriteria yang ditetapkan maka penilaian secara keseluruhan terhadap
perencanaan reklamasi (penanaman, pemeliharaan dan pemantauan tanaman)
dilaksanakan (implementasikan) menurut 42,50 % responden bahwa pengelolaan
kegiatan reklamasi saat ini tidak sesuai implementasinya. Sekitar 57,50 %
responden menilai pengelolaan kegiatan reklamasi (cukup sesuai - sesuai)
implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp4_2_wahyu .pdf. (diakses 16 Desember 2012).
2. http://www.timah.com/data/uploaded/TIMAH-AR2010-010-IND-SMALL_2.pdf.(diakses
16 Desember 2012).
3. http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=KOLONG,%20PERMASALAHAN%20D
AN%20POTENSINYA&&no morurut_ artikel =78,(diakses 23 Januari 2013).
4. BPK, Laporan Hasil Pemeriksaan SM II Tahun 2007, Jakarta , BPK, 2008.
5. Daft, Richard L. Manajemen, Edisi-6, Jakarta, Penerbit Salemba 4, 2006.
6. Dunn,William N, Pengantar Analisis Kebijakan Publik Jogyakarta , Gajah Mada
University Press, 2003.
7. Djam’an S, Aan K, Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung , Alfabeta, 2011.
27
8. Mansur,I., Konsep dan Contoh Implementasi Green Mining Untuk Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia, Pelatihan Reklamasi - Pangkal Pinang , PT.Timah
(Persero)Tbk., 2011.
9. PT. Timah (Persero) Tbk., Laporan Keberlanjutan Tahunan 2009 – Membangun
Kemandirian di Tengah Krisis, Pangkal Pinang, PT.Timah(Persero) Tbk, 2010.
10. Rencana Pengelolaan Lingkungan, Pangkal Pinang, PT.Timah(Persero) Tbk.,2009, h. I-1.
11. Riant Nugroho, Public Policy, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2011, h.669 ,670.
12. Sudarwan D, Pengantar Penelitian Kebijakan, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2005.
LAMPIRAN
Tabel. 1. Contoh Perhitungan Distribusi Frekwensi Terhadap Penilaian Kesesuaian
Kegiatan Reklamasi di PT. Timah (Persero) Tbk. dari Aspek Perencanaan Reklamasi.
Frekwensi
No Interval Kelas Titik Tengah
Absolut Relatif (%) Kumulatif(%)
1 12 - 15 13,50 17 42,50 42,50
2 16 - 19 17,50 18 45,00 87,50
3 20 - 23 21,50 5 12,50 100,00
40 100,00
28
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Setiap seam di Formasi Muara Enim telah dianalisis menggunakan metode geokimia
organik total organic carbon (TOC) dan pirolisis Rock-Eval. Sampel batubara diperoleh dari
sebuah pemboran eksplorasi yang mencapai kedalaman 450m. Hasil analisis menunjukan
bahwa semua sampel batubara memiliki kekayaan material organik yang sangat tinggi
(TOC=10-53 wt.%). Tingginya kandungan TOC menyebabkan semakin besarnya produk
hidrokarbon (S2=12,8-206,15 mg HC/g rock) yang dihasilkan selama pirolisis berlangsung.
Kualitas material organik setiap seam merupakan kerogen Tipe III (gas prone) berdasarkan
data hydrogen index (HI=100-389 mg HC/gTOC), oxygen index (OI=75-107 mg CO2/g TOC)
dan tingkat kematangan batubara (Tmax=368-429oC). Bervariasinya nilai HI dan OI
merupakan suatu fenomena yang menarik sehingga sangat perlu dianalisis terjadinya
perubahan nilai tersebut. Tingkat oksidasi pada material organik terjadi sangat intensif yang
ditunjukan oleh nilai OI sehingga dimunculkan sebuah hipotesis bahwa tingkat oksidasi
sebagai variabel yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik material organik pada
seluruh sampel batubara. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa material organik pada
batubara di daerah penelitian memiliki kuantitas, kualitas dan tingkat kematangan yang
berpotensi sebagai sumber hidrokarbon.
Kata kunci : Formasi Muara Enim, potensi hidrokarbon batubara, geokimia organik.
1. Pendahuluan
Batubara Indonesia memiliki potensi hidrokarbon ditinjau dari sudut pandang geokimia
organik (Katz dkk,1991; Belkin dkk, 2009; Anggayana dkk, 2014). Penelitian tersebut
menguraikan tentang pengetahuan mendasar dalam menganalisis material organik dari sisi
kuantitas, kualitas, tipe kerogen, dan tingkat kematangan batubara menggunakan total organic
carbon (TOC) dan pirolisis Rock-Eval. Metode tersebut sebagai penyaringan awal yang
sangat efisien untuk menganalisis potensi hidrokarbon dan tingkat kematangan pada batuan
induk (Espitalie dkk,1985; Horsfield dkk, 1983; Waples, 1985; Peters dan Cassa, 1994). Hasil
eksperimen pirolisis tersebut secara umum dapat disetarakan terhadap kondisi diaganesis di
alam (Tissot dan Welte, 1978).
Penelitian saat ini menggunakan metode dan tujuan yang sama seperti peneliti terdahulu
di Indonesia, namun demikian terdapat perbedaan dalam menganalisis endapan batubara,
yaitu dilakukan pada sebuah kolom stratigrafi batubara secara menyeluruh pada Formasi
29
Muara Enim. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai contoh untuk menerapkan metode
geokimia organik dalam menganalisis potensi hidrokarbon, perubahan terhadap kuantitas,
kualitas dan lingkungan pengendapan yang terjadi selama pembatubaraan.
Geologi dan stratigrafi regional Cekungan Sumatra Selatan telah diteliti oleh de Coster
(1974), Koesoemadinata, dkk. (1978), Mijnbouw (1978), Gorsel (1988), Bishop (2001),
Doust dan Noble (2008). Cekungan Sumatra Selatan diklasifikasikan sebagai intra-montanes
basin berupa back-arc basin yang terbentuk pada Early Tertiary (Koesoemadinata dkk, 1978)
di zona pengangkatan, pada jalur vulkanik yang dikontrol oleh sesar Semangko sepanjang
Timur Laut-Tenggara Pulau Sumatra. Cekungan tersebut terbentuk Pre Tertiary- Early
Tertiary yang terletak di belakang busur vulkanik aktif dan dibatasi oleh beberapa sesar serta
pengangkatan di sepanjang Barat Daya pegunungan Bukit Barisan, Tinggian Lampung di sisi
Tenggara, Paparan Sunda di sisi Timur Laut, dan Pegunungan Tigapuluh di sisi Utara-Barat
Laut (De Coster, 1974; Koesoemadinata dkk, 1978). Adanya proses tektonik seperti
pengangkatan dan pensesaran mengakibatkan terbentuknya half-graben yang kemudian terisi
oleh endapan sedimen klastik dan batuan karbonat sebagai sumber minyak (Bishop, 2001).
Doust dan Noble (2008) meyatakan bahwa Cekungan Sumatra Selatan mengalami dua
proses pemekaran (rift) yang meliputi synrift (sedimentasi berlangsung selama cekungan
belum stabil) dan postrift (sedimentasi berlangsung setelah cekungan stabil terbentuk).
Adapun pola pengendapan sedimennya mencakup 1) early synrift (Eocene-Early Oligocene)
terendapkan Formasi Lahat dan Lematang yang mencakup lingkungan pengendapan alluvial,
lakustrin dan brackish, 2) late-synrift (Late Oligocene-Early Miocene) terendapkan Formasi
Talang Akar pada periode regresi (delta-marine), 3) early-postrift (Early-Middle Miocene)
merupakan periode trangresi dengan terendapkannya batugamping Formasi Baturaja
4) late-postrift terendapkan Formasi Air Benakat dan Muara Enim pada lingkungan delta.
Cekungan Sumatra Selatan termasuk di dalam sub basin South Palembang sebagai
reservoir penghasil minyak (Bishop, 2001). Eksplorasi batubara telah dilakukan oleh Shell
Mijnbouw N.V sesuai kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia pada Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1975. Hasil eksplorasi menunjukkan Cekungan Sumatra Selatan khususnya
di Formasi Muara Enim memiliki endapan batubara yang melimpah (Gambar 1) yang dibagi
menjadi 4 anggota yaitu M1 (seam Kladi dan Merapi), M2 (seam Petai, Mangus, Suban dan
Burung), M3 (seam Benuang dan Kebon), dan M4 (seam Babat, Lematang, dan Niru).
Pembagian anggota tersebut berdasarkan perbedaan lingkungan pengendapan yaitu M1
(shallow marine-paralic), M2-M4 (limnic-brackish yang dipengaruhi aktivitas vulkanik).
Material berupa 23 sampel batubara dari core pemboran eksplorasi mencapai kedalaman
450m yang dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Geologi-Bandung di Muara Lawai - Lahat,
Sumatra Selatan. Studi geokimia organik menggunakan metode total organic carbon (TOC)
dan pirolisis Rock-Eval. Sampel batubara diujikan di laboratorium Applied Petroleum
Technology (APT) di Kjeller-Norway. Standar yang digunakan mengacu pada The Norwegian
Industry Guide to Organic Geochemical Analyses (NIGOGA) edisi ke-4 (Weiss dkk, 2000).
30
3.1. Total organic carbon (TOC)
Karbon merupakan unsur penting yang terikat pada senyawa organik (kerogen) dan
anorganik (mineral) di dalam batubara. Total organic carbon merupakan metode efisien
sebagai analisis awal untuk mengetahui kandungan karbon pada batuan induk yang berkaitan
dengan kemampuan material organik secara kuantitas untuk menghasilkan hidrokarbon
(Tissot dan Welte, 1984; Waples, 1985; Cooper,1990).
Mean Sea
LITHOLOGY AGE FORMATION SEAM DEPOSITION
M.A EP OCH Level Change
0 100 200 300 W E QUARTER
Holocene ALLUVIUM
Quarter
Pleistocene Upper Continent
Kasai
PLIOCENE
2
Upper Formation
Palembang Group
PLIOCENE
Middle
5 Formation
KASAI Strong increase
Upper as volcanic
Air Benakat activity
Lower
10
NEOGEN
MIOCENE
Middle Niru
15
Lematang
Telisa M4 Babat
20 Baturaja Benakat
Lower
Kebon
Talang
25
Akar Benuang
MUARA ENIM
Limnic
OLIGOCENE
Upper Brackish
LATE
M3
TERTIARY
30
Burung
Lower
Lemat
MIOCENE
35
Benakat Mangus Volcanic
Shale Member activity of
Upper Suban
M2 the edges
40
of the basin
Petai
PALEOGEN
Lahat
EOCENE
45 Merapi Paralic
Middle Formation M1
Kladi
50
MIDDLE
Shallow
AIR
55 Lower Marine
BENAKAT
Neritic
PALEOCENE
60 Upper
(b)
65 Lower Basement
PRE - TERTIARY
(a)
31
Konsentrat berupa kerogen dari material organik dapat diperoleh dengan cara
menghilangkan senyawa anorganiknya menggunakan larutan asam kuat (hidrocloric acid).
Sampel batubara berukuran <1mm dengan massa ±1 gr dilarutkan dengan HCl (10%) pada
suhu 50oC di dalam oven selama 2 jam untuk menghilangkan senyawa karbonat. Selanjutnya
sampel dibersihkan menggunakan air destilasi, divakum, disaring, disimpan di dalam krusibel
dan dipanaskan 40oC selama 24 jam. Pembersihan senyawa anorganik bertujuan untuk
menghindari terjadinya intervensi CO2 dan karbonat pada suhu tinggi pada saat dipanaskan.
Sampel kemudian dipanaskan 1350oC selama ±3 menit menggunakan Carbon Determinator
LECO CS-632. Oksigen dialirkan ke dalam oven untuk menghilangkan pengaruh CO2. Hasil
yang diperoleh berupa konsentrat (weight %) unsur karbon pada sampel batubara yang diuji.
32
Tabel 1. Panduan menganalisis kuantitas, kualitas, dan kematangan pada batuan induk dari
beberapa peneliti.
TOC S1 S2
Quantity
(wt.%) (mg HC/g rock)
Poor <0.5 <0.5 <2.5
Fair 0.5-1 0.5-1 2.5-5
Good 1-2 1-2 5-10
Very Good 2-4 2-4 10-20
Excellent >4 >4 >20
Quality HI (mg HC/g TOC) S2 /S3 Kerogen Type
None <50 <1 IV
Gas 50-200 1-5 III
Gas and Oil 200-300 5-10 II/III
Oil 300-600 10-15 II
Oil >600 >15 I
o
Maturation Ro (%) Tmax ( C) Production index
Immature 0.2-0.6 <435 <0.4
Early Mature 0.6-0.65 435-445
Peak Mature 0.65-0.9 445-450 0.4-1
Late Mature 0.9-1.35 450-470
Post Mature >1.35 >470 >1
Secara umum material organik terawetkan pada batuan sedimen dengan tingkat
kematangan tertentu sehingga dapat menghasilkan minyak dan gas (Tissot dan Welte, 1984;
Waples, 1985). Batubara merupakan batuan induk yang memiliki potensi sebagai sumber gas
(Tissot dan Welte, 1984) dan minyak dalam kuantitas sedikit (Waples, 1985). Berdasarkan hal
tersebut, untuk mengetahui ada tidaknya potensi hidrokarbon maka perlu dilakukan analisis
TOC sebagai metode fundamental dalam menganalisis kekayaan material organik pada batuan
induk. Kandungan TOC>1% dikategorikan sebagai batuan induk yang memiliki tingkat
kekayaan material organik “baik” (Cooper, 1982; Waples, 1985; Peters dan Casa, 1994).
Batubara di daerah penelitian memiliki kandungan TOC = 10,0-53,4 wt.% (Tabel 2)
yang sangat kaya akan material organik dan memiliki potensi sebagai sumber hidrokarbon.
Tingginya kandungan TOC pada batubara merupakan hal yang wajar karena komponen utama
pembentuknya adalah material organik dari tanaman lingkungan darat (Tissot dan
Welte,1984; Waples,1985; Peters, 1986). Fenomena yang perlu dicermati selain kandungan
TOC yang tinggi adalah perubahan kandungan TOC seperti yang terlihat pada profil endapan
batubara Formasi Muara Enim (Gambar 2a).
Dua seam paling bawah (Kladi dan Merapi) memiliki kandungan TOC paling rendah
jika dibandingkan terhadap seam lain di atasnya. Hal tersebut diinterpretasikan bahwa
pembentukan material organik tidak optimal sehingga memiliki kuantitas yang lebih sedikit.
Mengacu pada penelitian Mijnbouw (1978), lingkungan pengendapan kedua seam tersebut
berada pada peralihan dari shallow marine ke paralic (Gambar 1). Kondisi tersebut
merupakan zona anoxic yang miskin akan oksigen dengan nilai <0,2ml O2 / liter H2O
33
(Waples, 1985) sehingga aktifitas dan produktivitas mikroorganisme kurang berkembang
dengan baik yang menyebabkan kandungan TOC tidak sebesar seam di atasnya.
a)
60
40
30
20
10
0
0 50 100 150
Tingkat Oksidasi/Oksigen Index
(mg CO2/g TOC)
Gambar 2.a) Profil perubahan kandungan TOC (garis putus) dan OI (garis tegas),
b) plot TOC versus OI memiliki korelasi yang baik.
Data pendukung lainnya adalah tingginya kandungan oxygen index (75-107 mg CO2/g
TOC) pada seam Merapi dan Kladi jika dibandingkan seam di atasnya. Kondisi tersebut
sebagai indikasi terjadinya degradasi itensif terhadap material organik akibat oksidasi pada
saat transpotasi atau terjadi di dalam tubuh batubara itu sendiri selama pembentukannya
(Waples, 1985). Seam di atasnya yang memiliki kandungan OI lebih rendah sebagai indikasi
minimnya oksidasi sehingga pembentukan material organik menjadi optimal. Hal tersebut
diinterpretasi dapat terjadi pada kondisi lingkungan limnic-brackish dari hasil penelitian
Mijnbouw (1978). Hasil penelitian membuktikan bahwa OI dan TOC merupakan variabel
yang memiliki hubungan sebab akibat satu arah, di mana tingkat oksidasi (OI) memiliki peran
di dalam pembentukan material organik secara kuantitas pada endapan batubara di daerah
penelitian. Semakin besar tingkat oksidasi yang terjadi selama pembatubaraan akan
mengakibatkan minimnya kandungan TOC di dalam material organik (Gambar 2b).
34
4.2 Tingkat kematangan, tipe dan kualitas material organik
Pirolisis Rock-Eval digunakan untuk menganalisis karakter material organik dari sisi
kualitas, tipe kerogen dan tingkat kematangan pada setiap lapisan batubara di Formasi Muara
Enim. Hidrokarbon yang terbentuk selama pirolisis berlangsung dapat dilihat secara visual
sebagai kurva semi-lonceng pada layar komputer yang merupakan fungsi dari temperatur dan
waktu. Pemanasan non-isothermal (heating rate 25oC/menit) merupakan cara cepat untuk
memecah struktur molekul kerogen pada temperatur tinggi (650oC) sehingga menghasilkan
hidrokarbon yang tidak terbentuk pada temperatur isothermal (300oC).
Tabel 2. Data kandungan material organik dan parameter hasil pirolisis Rock-Eval
No. ID Sampel Depth Seam TOC S1 S2 S3 Tmax PP PI HI OI
1 129704 86 49.8 0.7 49.5 34.9 401 50.19 0.01 100 70
Niru
2 129705 87 53.4 1.8 78.6 34.2 401 80.35 0.02 147 64
3 129706 100 49.8 2.3 89.3 33.3 395 91.54 0.02 179 67
Lematang
4 129707 101 49.0 3.8 126.7 33.4 380 130.57 0.03 259 68
5 129708 129 54.3 9.2 206.2 34.7 382 215.31 0.04 380 64
6 129709 130 Babat 27.8 3.9 91.4 18.3 376 95.33 0.04 329 66
7 129710 131 42.6 1.7 67.9 35.2 408 69.64 0.02 159 83
8 129711 176 37.4 9.3 145.3 23.6 368 154.56 0.06 389 63
Kebon
9 129712 178 43.0 1.9 69.5 33.5 396 71.48 0.03 162 78
10 129713 202 51.3 1.2 90.8 40.4 403 92.00 0.01 177 79
Benuang
11 129714 203 40.0 0.7 66.1 28.4 415 66.82 0.01 166 71
Upper
12 129715 204 52.8 2.1 72.3 38.5 399 74.45 0.03 137 73
13 129716 207 46.0 3.5 107.9 27.3 372 111.38 0.03 234 59
Benuang
14 129718 209 49.3 1.7 82.4 31.1 405 84.03 0.02 167 63
Lower
15 129721 214 32.2 0.4 38.9 22.8 423 39.32 0.01 121 71
16 129723 261 Mangus U 43.9 0.9 62.6 29.3 411 63.48 0.01 143 67
17 129724 265 Mangus L 49.1 1.1 76.3 29.6 407 77.44 0.01 155 60
18 129725 286 47.1 3.1 100.3 28.7 399 103.32 0.03 213 61
Suban
19 129726 290 52.5 2.8 97.9 30.0 408 100.75 0.03 186 57
20 129727 332 Petai 50.1 2.5 87.1 30.5 399 89.59 0.03 174 61
21 129728 388 11.5 0.2 18.1 8.6 426 18.32 0.01 157 75
Merapi
22 129729 394 10.0 0.2 12.8 10.7 429 12.99 0.01 128 107
23 129730 403 Kladi 10.9 0.2 14.18 9.4 427 14.37 0.01 130 87
TOC : Total Organic Carbon (weight % of rock) 80.5 28.1 2.865
S1 : Amount of free hydrocarbons in the samples ( mg HC/gr rock)
S2 : Amount of hydrocarbons generated during pyrolysis (mg HC/gr rock)
S3 : Amount of oxygen containing compounds generated during pyrolysis (mg CO 2 /gr rock)
Tmax : Temperature of maximum hydrocarbon generation ( o C )
PI : Production Index [(S1/ (S1+S2)] (mg HC/g TOC)
HI : Hydrogen Index [S2 *100/TOC] (mg HC/g TOC)
OI : Oxygen Index [S3 *100/TOC] (mg CO2/g TOC)
Produk bulk hidrokarbon (S2) hasil pemecahan struktur molekul selama pirolisis sangat
dipengaruhi oleh kandungan TOC sebagai indikator tingkat kekayaan material organik.
Pembentukan material organik yang optimal selama pengendapan berlangsung akan
menyebabkan kuantitas TOC menjadi besar sehingga secara nyata akan memberikan dampak
langsung terhadap besarnya kandungan S2. Kandungan TOC batubara daerah penelitian
35
memiliki nilai tinggi yang selaras dengan semakin tingginya produk hidrokarbon (S2) selama
pirolisis berlangsung. Hal tersebut dibuktikan dari data hasil eksperimen pirolisis yang telah
dilakukan (Tabel 2) dan ditunjang dari analisis statistika yang menunjukan korelasi baik
(Gambar 3).
Tingkat kematangan ditentukan dari temperatur maksimum (Tmax) yang dicapai oleh
material organik saat menghasilkan hidrokarbon (S2) selama pirolisis berlangsung. Material
organik memiliki tingkat kematangan immature berdasarkan plot nilai Tmax versus nilai HI.
Nilai Tmax (368-429oC) tergolong rendah sebagai indikator bahwa material organik terbentuk
pada tahap diagenesis di lingkungan pengendapan dangkal dengan pengaruh tekanan dan
temperatur yang rendah (Rice dan Claypool, 1982; Tissot dan Welte,1984). Produk
hidrokarbon pada temperatur 300oC (S1) sangat rendah sebagai indikator material organik
memiliki tingkat kematangan immature (Waples, 1985).
250
y = 1,938x + 0,174
r = 0,63
S2 (mg HC/g rock)
200
150
100
50
0
0 20 40 60
TOC (weight %)
a) b)
Hydrogen Index mg HC/g TOC
TYPE II
TYPE II (oil prone)
500 500
TYPE III
(gas prone)
100 100
TYPE III
Gambar 4. a) Plot Tmax versus HI menunjukan tingkat kematangan immature (Peters, 1986),
b) Plot OI versus HI menunjukan material organik berada pada area tipe III kerogen sebagai
sumber gas (Peters, 1986)
Tipe kerogen dapat diketahui dari hasil plot HI versus OI (Gambar 4b) yang
menunjukan 18 sampel batubara berada pada area Tipe III (gas prone). Sementara lima
sampel lainnya berada mendekati area Tipe II kerogen sebagai sumber minyak, hal ini
36
diinterpretasi adanya pengaruh material organik dari darat yang mengandung lipid berupa
resin, kutikula dan spora (Waples, 1985).
Kualitas material organik dapat diketahui dari nilai HI sebagai kandungan hidrogen
yang dimiliki oleh material organik selama pembatubaraan. Nilainya tergolong rendah sebagai
kandungan hidrogen yang dimiliki oleh material organik selama pembatubaraan. Rendahnya
nilai HI disebabkan oleh tingkat oksidasi yang tinggi terhadap material organik selama
pengendapannya sehingga mengakibatkan unsur hidrogen di dalam material organik akan
terurai (Waples, 1985). Hasil analisis menunjukan bahwa oksidasi memiliki peran penting
pada pembentukan kandungan HI, semakin tinggi tingkat oksidasi maka akan menyebabkan
semakin kecilnya kandungan HI pada sampel batubara daerah penelitian (Gambar 5c).
Berdasarkan plot antara kandungan OI dan HI maka kualitas material organik di daerah
penelitian sebagai kerogen Tipe III (sumber hidrokarbon).
Nilai S3 sebagai indikator banyaknya kandungan CO2 pada material organik yang
digunakan untuk menentukan nilai OI. Adapun perbandingan rerata nilai S2 terhadap rerata S3
menunjukan angka 2,86 sebagai indikator bahwa material organik sebagai sumber gas
(Tabel 1). Rendahnya kandungan S1 sebagai indikator bahwa material organik memiliki
tingkat kematangan immature berada pada tahapan diagenesis (Waples, 1985).
400
300
200
100
0
0 200 400
a)
S2 (mg HC/g rock)
400
300
200
100
0
0 100 200
OI (mg CO2/g TOC)
Gambar 5. a) Profil kandungan OI dan HI pada kolom stratigrafi batubara, dua seam terbawah
yaitu Kladi dan Merapi memiliki oksidasi tertinggi dan pembentukan material organik yang
rendah, b) korelasi S2 tehadap HI, c) korelasi OI terhadap HI.
37
5. Kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka
Anggayana K., Dwiantoro, M., Widayat, A.H., 2014. Hydrocarbon generation potential of
Indonesian coals: from the viewpoints of organic petrology and geochemistry.
Proceedings of Int. Symposium on Earth Science and Technology 2014, Kyushu-Japan.
Behar F., Beaumont, V., De, B.P.H.L., 2001. Rock-Eval 6 technology : perfomances and
developments. Oil and Gas Science and Technology 56, 111-134.
Belkin H.E., Tewalt S.J., Hower J.C., Stucker J.D., O’Keefe J.M.K., 2009. Geochemistry and
petrology of selected lignite samples from Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, and Papua,
Indonesia. Int. Journal of Lignite Geology 77, 260-268.
Bishop, M.G., 2001. South Sumatra Basin Province, Indonesia ; the Lahat/Talang Akar-
Cenozoic total petroleum system. Open File report 99-505, USGS
Cooper, B.S., 1990. Practical petroleum geochemistry. Robertsons Scientific Publications
de Coster, G.L., 1974. The geology of the Central and South Sumatra Basin. Proceedings of
Indonesian Petroleum Association, 3rd Annual Convention, 77-110
Doust H., Noble R.A. (2008), Petroleum systems of Indonesia, Marine and Petroleum
Geology 103-129.
Espitalie., J., Deroo, G., Marquis, F., 1985. Rock-Eval pyrolysis and its applications. Ruvue
de l’Institut Francais du Petrole 40, 563-579.
Gorsel., J.T.V., 1988. Geological Field Trip South Sumatra and Bengkulu, published by the
Indonesian Petroleum Association.
Horsfield B., Dembicki Jr., Ho, T.T.Y., 1983. Some potential applications of pyrolysis to
basin studies, Journal Geology Society London, vol.140, 431-443.
Katz, B.J., Kelley P.A., Royle R.A., Jorjorian T., 1991. Hydrocarbon products of coals as
revealed by pyrolysis-gas chromatography. Organic Geochemistry, v.17, no.6, 711-722.
Koesoemadinata, R.P., Hardjono, Usna I., Sumadirja H., 1978. Tertiary coal basins of
Indonesia, United Nations ESCAP, CCOP Technical Bulletin, vol.12
Peters, K.E., 1986. Guidelines for evaluating petroleum source rock using programmed
pyrolysis: American Association of Petroleum Geologist Bulletin, 70, 318-329.
38
Peters, K.E., Cassa, M.R., 1994. Applied source rock geochemistry. In: Magoon, L.B., Dow,
W.G. (Eds.), The Petroleum System: from Source to Trap. AAPG Memoir 60, 93-117.
Rice, D.D., Claypool, G.E., 1982. Generation, accumulation, and resource potential of
biogenic gas. AAPG Bulletin 65, 5-25.
Shell Minjbouw, N. V., 1976. Geological study of the Bukit Asam coal mines, Jakarta, 18pp.
Tissot, B.P., Welte, D.H., 1984. Petroleum Formation and Occurrence, second ed. Springer
Verlag, Berlin-Heidelberg.
Waples, D.W., 1985. Geochemistry in Petroleum Exploration. Int. Human Resources
Development Corporation, Boston.
Weiss, H.M., Wilhelms, A., Mills, N., Scotchmer, J., Hall, P.B., Lind K., Brekke, T., 2000.
NIGOGA-The Norwegian Industry Guide to Organic geochemical Analysis. Edition
4.0. Norsk Hydro, Statoil, Geolab Nor, SINTEF Petroleum Research and the Norwegian
Petroleum Directorate.
39
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Adanya nilai CSN yang bervariasi cukup besar untuk daerah yang relatif tidak luas ini,
membuka keinginan untuk mengetahui faktor penentunya. Data yang dipakai adalah data
yang telah tersedia saja sehingga pada bagian akhir berdasarkan kajian, disarankan untuk
melakukan analisis analisis lain yang secara teoritis atau sesuai hasil kerja peneliti peneliti
yang telah ada mempunyai kontribusi yang tinggi juga terhadap cokeability.
Data hasil analisis 59 sampel batubara dari lima seam yang berbeda pada Formasi Batu
Ayau berupa data kandungan total moisture, proksimat, nilai kalori, kandungan sulfur dan
nilai crucible swelling number (CSN). CSN merupakan metode uji dasar untuk mengetahui
cokeability batubara. Data menunjukan nilai indeks CSN bervariasi antara 1 sampai 7.
Bervariasinya nilai indeks tersebut merupakan fenomena yang menarik sehingga perlu
dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Proximate, total sulphur dan calorific value
teoritis memiliki peran dalam perubahan nilai indeks CSN tersebut. Analisis statistika regresi
linier menunjukan bahwa nilai indeks CSN mempunyai hubungan berbanding lurus terhadap
calorific value (r= +0,48) namun memiliki hubungan berbanding terbalik terhadap total
moisture (r = -0,52), inherent mointure (r = -0,63), ash content (r = -0,21) dan total sulphur (r
= -0,22). Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya moisture yang berpengaruh dominan.
Arah kecenderungan perubahan lateral nilai indeks CSN setiap seam dicoba untuk
digambarkan. Seam 1 memiliki kecenderungan membesar ke arah Tenggara, seam 2 dan seam
3 ke arah Barat Laut, seam 4 ke arah Utara dan seam 5 ke arah Timur Laut. Tidak ada
kesamaan arah kecenderungan, sehingga sangat perlu mengkaji lebih dalam tentang kondisi
geologi lokal dalam kaitannya dengan sumber panas dan tekanan penyebab naiknya nilai
CSN.
1. Pendahuluan
Kokas merupakan komoditi penting pada industri logam dan baja sehingga
pengembangan dan pemenuhan kebutuhan kokas di dalam negeri sangat diperlukan. Kokas
digunakan untuk kebutuhan peleburan logam metalurgi dan logam non-ferro (Bukin, 1994).
Kokas yang baik harus memiliki sifat caking yaitu kemampuan menggumpal
(agglomeration) dan mengembang (swelling) selama pemanasan dilakukan (Loison, 1989).
40
Batubara dapat dimanfaatkan sebagai kokas yang baik jika memiliki nilai indeks crucible
swelling number (CSN) sebesar 5 sampai 8 (Suhada, 2012), 4 sampai 6 (Yustanti, 2012).
Sumberdaya batubara di daerah penelitian saat ini diproduksi secara tambang terbuka untuk
kebutuhan industri domestik dan internasional. Batubara hanya dianalisis untuk mendapatkan
nilai CSN untuk mengetahui cokeabilitynya. Nilai CSN batubara daerah penelitian bervariasi
dari 1 sampai dengan 7 dari lima seam yang dianalisis. Nilai indeks CSN yang bervariasi ini
merupakan fenomena yang menarik sehingga dicoba untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Analisis proximate dan calorific value diduga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap
nilai indeks CSN. Keterpengaruhan didekati dengan analilis korelasi antar faktor tersebut
dengan tujuan untuk mendapatkan parameter yang signifikan dalam menentukan cokeability
sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan penelitian berikutnya.
2. Geologi
Geologi regional Cekungan Barito dan Mahakam Hulu telah dikaji oleh beberapa
peneliti seperti Wain dan Berod (1989), Abidin dkk. (1993), Supriatna dkk. (1995), Satyana
dkk. (1999), dan Witts dkk. (2011). Berikut pemaparan singkat kondisi geologi regional
mengacu pada peneliti di atas. Endapan sedimen pada Cekungan Barito dan Cekungan
Mahakam Hulu terbentuk pada masa Cenozoic di atas batuan dasar (basement rocks) berumur
Paleozoic (Witts dkk., 2011). Cekungan Mahakam Hulu tersingkap dengan baik di Utara dari
Cekungan Barito (Supriatna dkk, 1995; Witts dkk, 2011).
Pada Peta Geologi Lembar Muara Teweh (Supriatna dkk, 1995), Formasi Batu Ayau
terendapkan pada Cekungan Mahakam Hulu, terbentuk saat pemekaran cekungan pada
Middle-Late Eocene (Abidin, 1993). Formasi tersebut disusun oleh batupasir konglomerat,
batupasir, batulanau, sisipan batubara, dan mudstone yang terendapkan pada lingkungan
fluvial-deltaic sampai outer shelf (Wain dkk, 1989; Abidin dkk, 1993). Selanjutnya pada
periode Oligocene terjadi transgresi yang membentuk lingkungan marine dan diikuti semakin
dalamnya cekungan. Selama transgresi, terendapkan Formasi Ujong Bilang selaras di atas
Formasi Batu Ayau yang dicirikan oleh endapan sedimen karbonat berupa batupasir
gampingan dan batulempung. Formasi Ujong Bilang memiliki dua anggota yaitu batugamping
foraminifera batubelah dan batupasir gampingan Lenmuring (Wain, 1989; Abidin, 1993).
Formasi yang berumur lebih tua dari Formasi Batu Ayau adalah Formasi Halog yang menjari
dengan Formasi Batu Kelau. Secara lokal, dari peta geologi yang ada terlihat banyak intrusi
yang bisa diperkirakan menyebabkan peningkatan rank batubara yang ada.
Sampel batubara yang dianalisis diperoleh dari core pemboran eksplorasi pada Formasi
Batu Ayau yang terletak di Kecamatan Laung-Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Propinsi
Kalimantan Tengah.
Sampel batubara berjumlah 59 telah dianalisis crucible swelling number (ISO
501:2012), 62 sampel diujikan moisture (ASTM D3173-03), total moisture (ASTM D3302-
02A), ash content (ASTM D3174-04), total sulphur (ASTM D3177-02) dan calorific value
(ASTM D5865-04). Data analisis yang diperoleh mencakup lima seam.
41
4. Hasil Analisis dan Diskusi
Data yang telah tersedia untuk studi ini seperti pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Data Kandungan Air, Abu dan Sulfur, Nilai Kalori serta Nilai indeks CSN
TM IM Ash TS CV
BLOK SEAM CSN
% (ar) % (adb) % (adb) % (adb) kcal/kg (adb)
5A3 4.8 2.2 6.9 0.59 7.365 2
5A4 5.5 2.4 20.1 0.5 6.33 2
V.1 5A5U 5.3 2.5 5.1 0.58 7.804 4
TAHUJAN 5A5L 4.9 2.4 10.6 0.69 7.263 3
5 5 2.1 3.9 0.36 7.935 4
5U 5.2 2.1 4.7 0.31 7.869 5
5L 5.3 2.1 4.8 0.32 7.865 5
5A03 3.1 1.7 3.4 0.52 7.931 7
5A02 3.7 1.6 11.8 0.38 7.224 7
5A01 3.2 1.4 3.6 0.36 7.986 6
V.2
BAMBANG 5A3 2.6 1.6 5.8 0.8 7.783 6
5 4.4 1.8 4.4 0.32 7.944 7
5U 5.5 1.5 4.5 0.31 7.948 7
5L 4.7 1.5 4.6 0.32 7.943 7
5A1 3.9 1.6 3.8 0.38 7.92 5
5A2U 3.9 1.8 8.4 0.67 7.485 6
NORTH
N-V.3 5A2L 3.9 2.4 7 0.33 7.554 1
KAWI
5 3.8 1.7 4.9 0.33 7.856 6
5B 3.9 2.1 18.9 0.37 6.508 5
5 na 2.6 4.2 0.31 7.829 4
5A1 na 1.8 6.5 0.36 7.623 5
5A2 na 2 4.8 0.34 7.782 5
EAST KAWI
E-V.3 5A3 -
na 1.8 7.1 0.33 7.665 5
5A4 na 2.5 8.4 0.49 7.375 4
5B na 2.1 10.3 0.35 7.319 6
3A 4.7 2.1 10 1.06 7.274 4
3B 4.7 2.1 6 0.63 7.611 4
CENTRAL
C-V.3 3C 4.8 2.1 9.8 0.84 7.354 4
KAWI
4A 4.9 2.1 6.6 0.49 7.673 5
4 4.7 2 3.1 0.77 7.926 4
1I 6.4 2.7 6.3 0.54 7.531 4
1IU 6.3 3.5 3.6 0.41 7.654 4
1IL 6.3 3.6 4.3 0.35 7.581 4
1II 7.4 3.7 7.5 0.39 7.626 3
1IIU 6.3 3.5 7.6 0.43 7.289 4
1IIL 6.3 3.3 7.4 0.46 7.325 4
2A 6.3 3.6 6.4 0.51 7.398 3
SE
SE-V.4 2U 6.6 3.6 5.9 0.34 7.431 3
MANTUBUH
2L 6.3 3.7 5.2 0.42 7.483 3
3B 7 2.7 6.4 0.44 7.514 4
3C 5.8 2.3 10.6 0.76 7.161 3
4A 6.7 3.2 7.6 0.57 7.322 3
4 5.9 2.9 5 0.73 7.627 4
4U 6.7 3.5 5.2 0.47 7.525 4
4L 6.7 3.5 5 0.47 7.542 4
1I na 4.2 6 0.32 7.36 2
1B na 4.1 9.4 0.42 7.065 3
2A na 3.5 6.2 1.52 7.395 3
2 na 3.3 4.8 0.41 7.52 5
CENTRAL
C-V.4 -
3B na 3.5 4.6 0.44 7.6 5
MANTUBUH
3C na 2.6 12 0.96 7.05 4
4A na 3 11.6 1.18 6.97 na
4I na 3.2 6.4 1.08 7.45 -
na
4II na 3.1 3 1.08 7.79 na
1I 6 3.4 6.7 0.53 7.363 4
1IU 5.9 3.2 6.3 0.52 7.375 3
1IL 5.9 3.1 6.3 0.51 7.392 3
V.5 1II 5.8 3.3 7 0.37 7.323 3
MENYANGO
2A 5.2 3 7.8 0.74 7.321 3
2 5.6 2.4 6.1 0.41 7.504 4
2U 6.5 2.9 5.5 0.47 7.479 4
2L 6.4 2.8 5.5 0.47 7.481 4
42
Terlihat bahwa nilai CSN bervariasi dari 1 sampai dengan 7. Blok N-V.3 mempunyai
variasi nilai yang ekstrim, dari nilai 1 sampai dengan 6. Mestinya satu seam mempunyai
komposisi yang sama namun ada beberapa komponen yang mudah berubah dengan perubahan
kondisi saat pembatubaraan, seperti kandungan air dan nilai kalori. Kandungan abu dan sulfur
tidak berubah dengan tingkat pematangan/pembatubaraan. Namun data dari seam ini
menunjukan tidak adanya perubahan yang drastis dari ke lima faktor yang ada. Ini
memberikan indikasi bahwa ada parameter lain yang perlu diuji.
Secara keseluruhan, kandungan TM bervariasi dari 2,6 sampai dengan 7,4% (ar),
kandungan IM dari 1,4 sampai dengan 3,7% (adb), kandungan abu dari 3 sampai dengan
20,1% (adb), kandungan sulfur dari 0,31 sampai dengan 1,52 % (adb). Sementara nilai kalori
bervariasi dari 6.330 sampai dengan 7.948 kkal/kg (adb). Secara umum nilai kalori batubara
ini diatas 7000 kkal/kg. Adapun nilai kalori yang berada di 6000 kkal/kg terkait dengan
kandungan abunya yang tinggi. Dari distribusi data yang variasinya tidak terlalu besar
sehingga bisa simpulkan sementara bahwa data yang ada tidak dominan mengontrol nilai
CSN. Untuk itu sangat perlu dilakukan analisis analisis yang lain. Agar mendapat gambaran
yang lebih baik maka dicoba untuk melakukan analisis statistik sederhana untuk melihat
korelasi masing masing terhadap nilai CSN.
Gambar 1. Korelasi nilai indeks CSN terhadap faktor faktor yang diduga berpengaruh
43
Hasil pengolahan data dengan statistik sederhana menunjukan bahwa nilai koefisien
korelasi CSN terhadap CV (r = 0,48), CSN terhadap TM (r = -0,52), CSN terhadap Ash (r = -
0,21), CSN terhadap IM (r = -0,63), CSN terhadap TS (r = -0,22). Hasil analisis statistik
regresi linier sederhana diatas antara parameter Ash, IM, TM dan TS terhadap CSN
menunjukan hubungan negatif sedangkan CV terhadap CSN menunjukan hubungan positif.
Jika nilai r memiliki hubungan positif (+) berarti adanya suatu hubungan yang berbanding
lurus sedangkan jika nilai r memiliki hubungan negatif (-) berarti hubungan korelasi tersebut
berbanding terbalik. Kandungan air mempunyai hubungan yang sedang sementara faktor
lainnya menunjukkan korelasi yang lemah.
Dengan keterbatasan data yang ada, begitu juga sangat terbatasnya publikasi yang
membahas kokas alam (natural coke) maka dicoba untuk membahas dengan pendekatan
pembuatan kokas di laboraturium maupun di industri. Dengan melakukan rekayasa karakter
batubara yang akan dibuat menjadi kokas maka didapatkan peran parameter tersebut terhadap
kokas hasilnya. Untuk industri kokas atau pemanfaatan batubara untuk kokas, maka ada
banyak lagi parameter yang perlu dianalilis. Diantaranya : CRI (coke reactivity index) dan
CSR (coke strength after reaction with carbon dioxide).
CRI dan CSR mempunyai makna yang sama dan kedua besaran ini berkorelasi kuat (R2
= 0,977) (Menendez et al., 1999). Hubungan rank batubara terhadap nilai CSR mencapai
puncaknya pada rank reflektan vitrinit 1,3. Nilai CSR tergantung pada banyak faktor seperti
rank, rheology, komposisi komponen (organic inerts dan inorganic inerts) serta coking
condition (proses pembuatan kokasnya). Rank batubara bisa diwakili oleh parameter
parameternya sementara rheology digantikan dengan jejak genesanya serta komposisi
diwakili oleh hasil analisis maseral/mikroskopi. Faktor faktor ini diyakini mempunyai
kontribusi dalam karakter kokas dan bisa dipakai analogi dengan kokas alam. Nilai nilai ini
sangat bervariasi dan besarannya pun sangat tergantung pada beberapa hal dan tidak berlaku
universal karena ketergantungannya yang tinggi pada nilai nilai lokal yang unik berupa :
komposisi mikroskopi serta rheologi batubara yang bersangkutan.
Batubara Indonesia semuanya berumur Tersier sehingga secara normal akan berada
pada rank Lignit untuk batubara Neogen dan rank Subbituminous sampai dengan Bituminous
untuk batubara Paleogen. Adanya batubara daerah ini mempunyai rank dengan kalori diatas
7000 kkal/kg, besar kemungkinan adalah karena pengaruh lokal, bisa karena intrusi maupun
struktur geologi. Kalau akibat intrusi maka kita bahas: formation of natural coke atau
Thermally affected coal (Natural coke, Geological coke, Burnt coal, Cinder coal atau
Thermally metamorphose coal). Biasanaya kenampakan makroskopis dalam hand spicement :
dull/kusam, kompak, keras dan menunjukkan joint yang heksagonal berarah tegak lurus
permukaan kontak. Bukaannya biasanya terisi mineral khususnya kalsit. (Taylor et al., 1998).
Thermal Coal dalam daerah kontaknya langsung akan saling mengotori. Bahkan terjadi
bahwa batubara yang mengalami phase plastis akan masuk dalam batuan beku mengisi celah
yang ada atau juga bitumen yang terbentuk akibat pemanasan akan mengisi ruang-ruang yang
ada. Hal ini sangat tergantung pada rank batubara sebelum terkena intrusi. Bahkan untuk
suatu kondisi ekstrim akan menghasilkan grafit kalau tekanan memungkinkan. Kalau batubara
mencapai rank bituminous sebelum kena intrusi (Temperatur intrusi lebih dari 500 derajat)
maka: Material yang segera terbentuk dari vitrinit dan liptinit memperlihatkan struktur yang
berbeda dengan vitrinit, membentuk matrix (ground mass). Material asli grup inertinit masih
menunjukkan tekstur dan strukturnya seperti sebelumnya. Terbentuk material baru selain
ground mass, sebagian berupa material dengan kandungan karbon tinggi dan mineral matter.
Kalau rank batubara sebelum kena intrusi lebih rendah atau lebih tinggi dari bituminous
maka batubara tersebut tidak akan mengalami transformasi menjadi kokas. Tergantung pada
44
temperatur intrusinya: banyak tekstur dan struktur vitrinit serta inertinit akan tersisa dalam
material yang telah mengalami devolatisasi dan hampir semua liptinit menghilang. Maseral
selain inertitit yang mempunyai reflektan yang tinggi akan mengalami deformasi. Batubara
yang mengalami efek panas akan menunjukkan pembentukkan pori pori (gelembung)
terutama maseral grup vitrinit.
Secara mineralogi: mineral-mineral asli yang hadir pada batubara, diatas temperatur
300o C khususnya diatas 500o C mineral akan berubah. Pyrit berubah menjadi FeS dan
biasanya juga berubah menjadi Fe2O3 pada kokas alam. Kwarsa dan Feldspar tidak
menunjukan perubahan yang berarti. Ward et al. (1989 dalam Taylor et al, 1998) memakai
perubahan morfologi dan properti dari mineral untuk memperkirakan temperatur penyebab
ubahan batubara. Disimpulkan bahwa perubahan secara kristalogafi dan kimia
montmorillonit dan kaolin pada batubara terjadi pada temperatur 400o C dan 650o C dalam
waktu yang relatif singkat.
Reflektan Vitrinit pada thermally metamorphous coal/carbonaceous rock diketahui
mempunyai korelasi dengan berbagai karakteristik sifat fisik dan kimia. Namun pada batubara
tertentu pengukuran reflektan mesti sangat hati hati karena vitrinit telah berubah ke
mesophase atau kokas, dimana terjadi reflektan discontinuity pada bagian pinggir antara dua
material yang berbeda (vitrinit dan mesophase). Beberapa pengamat telah berhasil mengukur
reflektan sampai dengan nilai 11% (Teichmueller (1973) dalam Taylor et al. (1998)).
Besarnya ubahan yang terjadi sangat tergantung pada jaraknya/posisi terhadap intrusi,
besarnya intrusi sebagai sumber panas, karakter batubara serta batuan sampingnya. Chandra
dan Bond (1956 dalam Taylor et al., 1998) menyatakan bahwa reflektan berkorelasi dengan
temperatur (karbonisasi) dan juga komposisi kimia dari batubara yang terkena efek thermal.
Pengetahuan tentang perubahan reflektan dari lokasi kontak akan memberikan gambaran
penentuan distribusi panas dan karakter batubara asal serta perubahan kimia dalam batubara.
Reflektan Vitrinit pada batubara yang terkena efek thermal diketahui mempunyai
korelasi dengan komposisi kimia yakni kandungan karbon dan kandungan zat terbang
(Chandra 1963 dan Chatterjee et al. (1964) dalam Taylor et al. (1998)). Disimpulkan oleh
Chandra (1963): bahwa hubungan antara Reflektan maksimum dan komposisi kimia batubara
yang kena efek termal (Thermally metamorphosed coal) berbeda dengan batubara normal dan
bervariasi antara satu dengan yang lainnya. Nilai Reflektan maksimumnya lebih besar dari
pada batubara normal yang memiliki kandungan carbon yang sama. Hubungan antara
Maksimum reflektan dan komposisi kimia batubara yang terkena efek thermal menunjukkan
angka yang berbeda dengan batubara yang dikarbonisasi di Laboraturium dengan tekanan
atmosfer. Beberapa peneliti (Chandra (1965) dan Brownn dan Taylor (1961) dalam Taylor et
al. (1998)) mencoba mengkaji batubara yang terkena efek thermal dari berbagai daerah
dihubungkan dengan batubara yang sama untuk dikarbonisasi di laboraturium tanpa tekanan
(kondisi atmosfer) dilihat dari sisi reflektan maksimum dan minimumnya. Perbedaan karakter
nilainya menunjukkan adanya efek tekanan yang dialami oleh batubara tersebut. Perbedaan
ini juga diduga akan membawa perbedaan dalam komponen organik (organic matter) batubara
tersebut.
Pendugaan temperatur sebenarnya untuk batubara yang mengalami efek thermal dengan
tekanan yang mengakibatkan perubahan pada kandungan organiknya sangat sulit dilakukan.
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan pendekatan dengan pengukuran reflektan
maksimum dan minimumnya. Efek panas pada batubara dengan hadirnya oksigen (heat
altered coal) juga diteliti untuk memberikan gambaran bahwa panas akibat kebakaran pada
batubara disekitarnya. Umumnya kondisi ini untuk seam yang tersingkap dan batubara di
stockpiles. Mestinya batubara yang terkena efek panas (dan tekanan ) dari intrusi terjadi jauh
45
di bawah permukaan sehingga kehadiran oksigen bisa diabaikan. Beberapa peneliti mencoba
untuk mengamati perbedaan karakteristik dari sisi mikroskopi untuk batubara yang
dikarbonisasi yang sebelumnya teroksidasi maupun yang sebelumnya tidak teroksidasi.
Namun tidak dijumpai adanya perbedaan yang signifikan.
Collin Ward (1984) menyatakan bahwa sampai dengan saat ini banyak penelitian
dilakukan untuk membuat kokas sehingga parameter yang diteliti adalah yang berkaitan untuk
mendapatkan kokas yang baik. Salah satunya adalah komposisi petrogafi batubara dalam
kaitannya dengan karakteristik kokas yang akan dihasilkan. Hubungan antara rank batubara
dan type terhadap properti seperti kandungan VM dan nilai CSN (Crucible Swelling Number)
telah dipublikasikan seperti gambar berikut :
Jika dinyatakan dalam basis dmmf (dry mineral matter free) maka proporsi VM
(volatile matter) akan berkurang dengan naiknya rank dan juga kalau diperluas bisa
memberikan gambaran berkurangnya kandungan Vitrinit. Tergantung pada rank batubara
maka Vitrinit, Liptinit dan sebagian Inertinit akan melebur dan menyatu (fuse) jika
dipanaskan. Sebagian Inertinit dan mineral matter akan tetap tidak terubah. Gelembung akan
muncul pada maseral yang reaktif seperti vitrinit sebagai akibat pelepasan kandungan gasnya.
Untuk batubara tertentu, nilai CSN akan lebih tinggi untuk batubara mengkilap (bright,
banyak vitrinit) jika dibandingkan dengan batubara dull (kandungan inertinit tinggi). Nilai ini
lebih tinggi untuk batubara dengan kandungan vitrinit tertentu dengan rank sampai R =
1,35%, selanjutnya akan naik kembali dengan naiknya rank sampai dengan antrasit. Dalam
kasus dimana batubara dengan rank dan type berbeda dicampurkan untuk mendapatkan kokas
yang baik maka nilai CSN nya tidak sederhana sesuai/tergantung pada porsi dalam
campurannya.
46
Gambar 3. Arah kecenderungan peningkatan nilai CSN tiap-tiap seam secara lateral
47
Ward (1984) menghasilkan suatu besaran “composition balance index (CBI)” dari proporsi
komponen reaktif pada rentang interval reflektan dalam hubungannya dengan relatif ratio
optimum reaktif inert.
Batubara dengan CBI lebih kecil dari 1 dianggap kekurangan bahan inert dan akan
menghasilkan kokas dengan kekuatan yang kurang karena tidak cukup agregat untuk
menahan perkembangan rongga yang besar dan menambah penguatan dinding rongga.
Batubara dengan CBI lebih dari 1 menunjukkan komponen inert yang berlebih sehingga
menghasilkan kokas yang lemah juga karena material penyemen yang kurang untuk mengikat
agregat. Campuran yang optimum antara inert dan reaktif untuk rentang reflektan tertentu atau
keseimbangan optimum reaktif inert dari suatu komponen singel kokas blending, tidak akan
selalu mempunyai kekuatan absolut seperti campuran optimum dari kelas interval rank yang
berbeda. Besaran lain yang dekenalkan adalah Strength Index yang dapat dievaluasi dari data
petrografi (Schapiro et al. (1961) dalam Ward (1984)) untuk menentukan kekuatan relatif
kokas yang terbuat dari batubara dengan type dan rank yang berbeda.
Bercermin pada diskusi diatas maka cokeablilty suatu batubara bisa didekati dengan
banyak parameter (salah satunya adalah nilai CSN) sangat tergantung pada banyak faktor dan
sangat berlaku lokal (unik). Supaya mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang kondisi
di daerah penelitian maka diusulkan untuk melakukan analisis mikroskopi untuk memperoleh
gambaran komposisi maseral dan mineralnya serta rank berdasarkan nilai reflektan.
Dari data yang ada dicoba untuk menganalisis arah perubahan/peningkatan nilai CSN
tiap seam dengan harapan untuk mendapatkan gambaran dalam kaitannya dengan kondisi
geologi setempat. Dengan mengetahui kompleknya parameter yang berkontribusi terhadap
nilai CSN maka data yang tersedia ternyata tidak cukup untuk mendapatkan gambaran ini.
Perlu dilakukan pemetaan detil terutama bawah permukaan terhadap intrusi sebagai sumber
panas yang berperan terhadap perubahan nilai CSN. Kalau intrusi yang dicurigai sebagi
penyebab perubahan CSN maka model yang cocok adalah proses karbonisasi atau thermal
metamorphous coal dimana panas dan tekanan sama sama berperan. Tidak seperti proses
karbonisasi di laboraturium yang dilaksanakan pada tekanan atmosfer walau tanpa kehadiran
oksigen. Model yang lain juga Heat altered coal juga diyakini kurang cocok karena proses
berjalan tanpa tekanan namun dengan kehadiran oksigen (pembakaran).
Terlihat dari gambar di bawah bahwa tiap seam mempunyai arah perubahan yang
berbeda. Tidak terlihat adanya arah yang dominan, sehingga sangat sulit menentukan atau
mencari penyebabnya. Untuk ini masih sangat perlu kajian yang lebih detil tentang geologi
daerah ini.
Kesimpulan
Sebaran data yang tidak terlalu bervariasi dalam besarannya namun menghasilkan
nilai CSN yang bervariasi dari 1 sampai dengan 7 memberikan gambaran bahwa ada faktor
lain yang berperan.
Pengolahan data dengan statistik sederhana untuk mencoba mengetahui keterkaitan
antar data ternyata juga secara umum menunjukkan korelasi yang kurang baik yang berarti
kurang menentukan nilai CSN.
Pendekatan teoritis berdasarkan publikasi yang ada bahwa batubara daerah penelitian
dekat dengan proses karbonisasi dengan temperatur dan tekanan tanpa adanya kehadiran
oksigen karena natural coke mestinya terjadi jauh di bawah permukaan tanah. Untuk ini perlu
pengamatan mikroskopi terhadap ubahan dari komponen yang ada.
48
Saran
Beberapa analisis lain perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih
mendukung, seperti analisis mikroskopi (maseral dan reflektan) karena beberapa literatur
menyatakan bahwa komposisi komponen inert dan reaktif sangat menentukan cokeability
suatu batubara.
Untuk daerah penelitian ini perlu dilakukan analisis geologi dalam kaitannya dengan
distribusi intrusi sebagai sumber panas. Faktor ini mestinya berperan cukup banyak kalau
dilihat dari korelasi antara kandungan air dan nilai CSN yang baik terlepas dari variasi
komposisi maseral.
Daftar Pustaka
Abidin, H.Z., Pieters, P.E., Sudana, D. (1993) “Geological Map the Muara Longpahagai Sheet
area, Kalimantan”, Scale 1:250.000, Geological research and Development Centre,
Bandung.
Annual book of ASTM ASTM Standard D 3173-03, Standard Test Method for Moisture in
the Analysis Sample of Coal and Coke
Annual book of ASTM ASTM Standard D 3174-04, Standard Test Method for Ash in the
Analysis Sample of Coal and Coke from Coal
Annual book of ASTM ASTM Standard D 3177-02, Standard Test Method for Total Sulfur in
the Analysis Sample of Coal and Coke
Annual book of ASTM ASTM Standard D 3302-02a, Standard Test Method for Total
Moisture in Coal
Annual book of ASTM ASTM Standard D 5865-04, Standard Test Method for Gross
Calorific Value of Coal and Coke
Diez M. A., Alvarez R., Barriocanal C., (2002), “Coal for metallurgical coke production :
prediction of coke quality and future requirements for cokemaking”, International
Journal of Coal Geology 50 (2002) 389-412.
International Standard of Organization. 2012. ISO 501 Hard Coal-Determination of the
Crucible Swelling Number
Loison, R., Foch, P., Boyer, A. (1989). “Coke Quality and Production”. University press,
Cambridge-Great Britain
Supriatna, S., Sudrajat, A., Abidin, H.Z. (1995). “Peta Geologi Lembar Muaratewe,
Kalimantan”, Skala 1:250.000, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert P., (1998),
“Organic Petrology” Gebrueder Borntraeger, Berlin-Stuttgart
Wain, T. & Berod, B. (1989). “The Tectonic and paleogeographic evolution of the Upper
Kutei Basin”. Proceedings Indonesian Petroleum Association 18th Annual Convention,
h. 55 – 78.
Ward Colin R. (editor), (1984) “Coal Geology and Coal Technology” Blackwell Scientific
Publications, Melbourne.
Witts, D., Hall, R., Morley R.J., Boudagher-Fadel, M.K. (2011). “Stratigraphy and Sediment
Provenance, Barito Basin, Southeast Kalimantan”. Proceedings Indonesian Petroleum
Association 35th Annual Conventionl
Yustanti, E. (2012).” Pencampuran Batubara Coking Dengan Batubara Lignite Hasil
Karbonisasi Sebagai Bahan Pembuatan Kokas”. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah,
Volume 15 Edisi Suplemen 2012 p.15-28
49
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan melakukan identifikasi logam berat yang terdapat pada abu hasil pembakaran
batubara. Hasil identifikasi logam berat pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai kandungan dan konsentrasi logam berat yang terdapat pada abu sisa pembakaran batubara.
Conto batubara pada penelitian ini berasal dari PT. Bukit Baiduri Energi (BBE), Kabupaten Kutai
Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan
identifikasi logam berat pada abu batubara menggunakan metode ICP-MS (Inductively Coupled
Plasma-Mass Spectrometry). Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu tujuh conto batubara dibakar
pada oven (muffle furnace) sehingga menghasilkan residu sisa pembakaran berupa abu batubara (coal
ash). Kemudian abu batubara seberat 0,5 gram dilarutkan dengan aqua regia (0,5 ml H2O, HNO3
dengan konsentrasi 0,6 ml dan HCl dengan konsentrasi 1,8 ml). Setelah didinginkan, conto diencerkan
menjadi 10 ml dengan air terionisasi dan dihomogenisasi. Selanjutnya larutan dianalisis menggunakan
alat Perkin Elmer Optima 3000 Radial ICP untuk 30 jenis logam (elemen). Standar yang digunakan
sebagai kontrol adalah standar geokimia USGS (United States Geological Survey). Analisis ICP-MS
pada conto abu batubara ini dilakukan di laboratorium ACTLABS (Activation Laboratories Ltd.),
Ancaster, Ontario, Kanada. Hasil analisis logam berat pada abu batubara menggunakan metode ICP-
MS menunjukkan bahwa telah teridentifikasi logam berat dengan kandungan/ konsentrasi rata-rata
sebagai berikut: Ag = 2,33 ppm, Cd = 0,96 ppm, Cu = 74,14 ppm, Mn = 333,71 ppm, Mo = 3,29 ppm,
Ni = 84,71 ppm, Pb = 14 ppm, Zn = 73 ppm, As = 23 ppm, Ba = 99,29 ppm, Be = 1,29 ppm, Bi = 10
ppm, Co = 93,29 ppm, Cr = 32 ppm, Sb = 10 ppm, Sc = 15,29 ppm, Sn = 10 ppm, Sr = 1.565,71 ppm,
V = 98 ppm, W = 36,43 ppm, Y = 14,71 ppm, Zr = 25,86 ppm, Fe = 83.229 ppm, K = 4.534 ppm, Mg
= 26.686 ppm, Na = 56.414 ppm, P = 1.667 ppm, Al = 31.186 ppm, Ca = 86.743 ppm dan Ti = 96
ppm. Logam berat pada batubara di daerah penelitian didominasi oleh kalsium (Ca), besi (Fe), natrium
(Na), aluminium (Al), magnesium (Mg), kalium (K), fosfor (P), strontium (Sr) dan mangan (Mn)
secara berurut dengan konsentrasi rata-rata yang cukup signifikan, yaitu: 86.743 ppm (Ca), 83.229
ppm (Fe), 56.414 ppm (Na), 31.186 ppm (Al), 26.686 ppm (Mg), 4.534 ppm (K), 1.667 ppm (P),
1.566 ppm (Sr) dan 333,71 ppm (Mn). Selanjutnya 18 logam berat lainnya ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih rendah. Kehadiran logam berat dengan konsentrasi terendah terdeteksi pada
tiga elemen, yaitu kadmium (Cd), perak (Ag) dan berilium (Be). Kehadiran mineral matter tersebut
(termasuk logam berat) pada cekungan Kutai diprediksi berhubungan dengan aktivitas vulkanik
dataran tinggi Nyaan selama Tersier atau disebabkan oleh suplai sedimen dari lapisan laut dalam,
batuan beku mafik dan melans dari Kalimantan Tengah. Dalam kasus ini, air tanah dan air permukaan
berperan penting dalam mentransportasi mineral matter dari dataran tinggi Kalimantan Tengah ke
dataran rendah Cekungan Kutai (Kalimantan bagian timur).
Kata kunci: Abu batubara, Actlabs, Bukit Baiduri Energi, ICP-MS, logam berat.
50
1. LATAR BELAKANG
Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar
langsung adalah tingginya kandungan abu. Tingginya kandungan abu sisa pembakaran
batubara tersebut dapat mengakibatkan masalah dalam pemanfaatannya maupun masalah
terhadap lingkungan. Kandungan mineral (elemen) yang sering ditemukan pada abu sisa
pembakaran batubara adalah logam berat. Karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian
yang dapat mengidentifikasi logam berat pada batubara dan mengetahui asal (genesis) dari
logam-logam tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas karakteristik batubara di daerah
penelitian, maka penelitian ini bertujuan melakukan identifikasi logam berat yang terdapat
pada abu hasil pembakaran batubara. Hasil identifikasi logam berat pada penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai asal (genesis) dari logam berat yang
terdeteksi pada sampel batubara di daerah penelitian.
Secara umum mineral matter pada batubara hadir sebagai mineral yang menyebar di seluruh
permukaan dan bagian dalam dari maseral batubara. Butiran-butiran individu mineral
bervariasi ukurannya mulai kurang dari satu mikrometer sampai ratusan mikrometer. Kadang-
kadang kenampakannya cukup tebal dan dapat terlihat pada permukaan batubara Taylor dkk.,
1998). Komponen mineral pada batubara dibagi menjadi tiga kelompok menurut asalnya
(Stach dkk., 1975), yaitu: mineral yang berasal dari tumbuhan asal pembentuk batubara;
mineral yang terbentuk selama tahapan awal proses pembatubaraan atau terbawa oleh air atau
angin ke dalam lapisan batubara (syngenetic) dan mineral yang terendapkan selama fase
kedua setelah proses pembatubaraan berlangsung (epygenetik).
Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan identifikasi logam berat pada abu
batubara menggunakan metode ICP-MS (Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrometry).
Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu ketujuh (7) conto batubara dibakar pada oven
(muffle furnace) sehingga menghasilkan residu sisa pembakaran berupa abu batubara seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 1. Kemudian abu batubara seberat 0,5 gram dilarutkan
dengan aqua regia (0,5 ml H2O, HNO3 dengan konsentrasi 0,6 ml dan HCl dengan konsentrasi
1,8 ml). Setelah didinginkan, conto diencerkan menjadi 10 ml dengan air terionisasi dan
dihomogenisasi. Selanjutnya larutan dianalisis menggunakan alat Perkin Elmer Optima 3000
Radial ICP untuk 30 jenis logam (elemen). Standar yang digunakan sebagai kontrol adalah
standar geokimia USGS (United States Geological Survey). Analisis ICP-MS pada conto abu
batubara ini dilakukan di laboratorium ACTLABS (Activation Laboratories Ltd.), Ancaster,
Ontario, Kanada.
51
Gambar 1. Residu sisa pembakaran batubara (abu batubara) pada ke tujuh conto batubara
setelah dibakar pada oven (muffle furnace).
Secara umum variasi dan konsentrasi logam berat pada conto batubara BBE-20 diperlihatkan
pada gambar 2. Konsentrasi logam berat tertinggi yang terdeteksi pada conto BBE-20 adalah
logam besi (Fe) dengan konsentrasi 140.000 ppm. Aluminium (Al) merupakan logam dengan
konsentrasi terbesar kedua setelah besi, yaitu 71.300 ppm. Kalsium (Ca) merupakan logam
berat dengan konsentrasi terbesar ketiga yaitu 12.600 ppm. Konsentrasi logam berat terendah
yang ditemukan pada conto BBE-20 adalah perak (Ag) dengan konsentrasi sebesar 0,2 ppm.
Kehadiran logam berat lainnya sangat bervariasi seperti yang diperlihatkan secara rinci pada
Tabel 1.
52
3.1.2. Sampel BBE-16
Sampel BBE-16 memperlihatkan distribusi logam berat seperti yang diperlihatkan pada
gambar 3. Natrium (Na) merupakan logam berat tertinggi yang terdeteksi pada sampel BBE-
16 dengan konsentrasi sebesar 89.700 ppm. Kalsium (Ca) menempati posisi kedua tertinggi
dengan konsentrasi sebesar 72.000 ppm. Konsentrasi logam berat terendah yang terdeteksi
pada conto ini adalah logam Kadmium (Cd) dengan konsentrasi 0,9 ppm. Konsentrasi logam
berat lainnya yang terdeteksi pada sampel BBE-16 bervariasi seperti yang ditunjukkan secara
detail pada Tabel 1.
Kode Sampel
N BBE BBE BBE BBE BBE BBE BBE Total Rata-rata
Unsur Satuan
o 20 16 17 18 19 14 15 (ppm) (ppm)
1 Ag ppm 0,2 2,9 3,8 1,3 5,2 0,4 2,5 16,3 2,33
2 Cd ppm 1,4 0,9 0,9 1,2 0,9 0,9 0,5 6,70 0,96
3 Cu ppm 59,0 50,0 112,0 85,0 58,0 62,0 93,0 519,0 74,14
4 Mn ppm 315,0 68,0 68,0 104,0 102,0 89,0 1.590,0 2.336,0 333,71
5 Mo ppm 3,0 2,0 2,0 2,0 9,0 2,0 3,0 23,0 3,29
6 Ni Ppm 121,0 31,0 88,0 217,0 39,0 23,0 74,0 593,0 84,71
7 Pb ppm 34,0 6,0 15,0 15,0 14,0 3,0 11,0 98,0 14,00
8 Zn ppm 46,0 4,0 173,0 222,0 20,0 7,0 39,0 511,0 73,0
9 As ppm 12,0 19,0 31,0 24,0 52,0 30,0 14,0 182,0 23,00
10 Ba ppm 110,0 55,0 241,0 184,0 27,0 28,0 50,0 695,0 99,29
11 Be ppm 2,0 1,0 1,0 1,0 2,0 1,0 1,0 9,0 1,29
12 Bi ppm 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 70,0 10,00
13 Co ppm 65,0 90,0 95,0 54,0 74,0 50,0 225,0 653,0 93,29
14 Cr ppm 83,0 7,0 26,0 9,0 57,0 7,0 35,0 224,0 32,00
15 Sb ppm 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 70,0 10,00
16 Sc ppm 40,0 12,0 3,0 4,0 26,0 3,0 19,0 107,0 15,29
17 Sn ppm 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 70,0 10,00
18 Sr ppm 331,0 318,0 1.830,0 2.590,0 4.680,0 921,0 290,0 10.960 1.566
19 V ppm 201,0 37,0 16,0 16,0 287,0 18,0 111,0 686,0 98,00
20 W ppm 10,0 22,0 61,0 39,0 16,0 41,0 66,0 255,0 36,43
21 Y ppm 32,0 18,0 3,0 4,0 29,0 4,0 13,0 103,0 14,71
22 Zr ppm 14,0 23,0 17,0 25,0 15,0 9,0 78,0 181,0 25,86
23 Fe ppm 140.00 7.400,0 99.900, 82.700, 65.400 63.200, 124.00 582.60 83.229
0 0 0 0 0 0
24 K ppm 5.100,0 3.900,0 4.000,0 5.700,0 3.800,0 6.600,0 2.700,0 31.800 4.534
25 Mg ppm 3.300,0 29.900, 36.400, 40.000, 15.200, 32.200, 29.800, 186.80 26.686
0 0 0 0 0 0 0
26 Na ppm 3.400,0 89.700, 54.800, 76.300, 52.900, 112.00 5.800,0 394.90 56.414
0 0 0 0 0 0
27 P ppm 150,0 40,0 10,0 10,0 11.400, 20,0 40,0 11.670 1.667
0
28 Al ppm 71.300, 19.700, 7.000,0 7.200,0 71.800 8.200,0 33.100 218.30 31.186
0 0 0
29 Ca ppm 12.600, 72.000, 133.00 143.00 80.100 56.500, 110.00 607.20 86.743
0 0 0 0 0 0 0
30 Ti ppm 130,0 40,0 50,0 60,0 110,0 40,0 240,0 670,0 96,00
53
Gambar 3. Distribusi logam berat pada conto batubara BBE-16
Hasil analisis ICP-MS pada conto batubara BBE-17 memperlihatkan konsentrasi logam berat
tertinggi pada logam Kalsium (Ca) dengan konsentrasi sebesar 133.000 ppm. Konsentrasi ini
menunjukkan angka yang lebih tinggi dari dua conto batubara sebelumnya, yaitu BBE-20 dan
BBE-16. Logam berat dengan konsentrasi tertinggi kedua terdeteksi pada logam besi (Fe)
dengan konsentrasi sebesar 99.900 ppm. Konsentrasi logam terendah pada sampel ini
ditemukan pada logam Kadmium (Cd) dengan konsentrasi sebesar 0,9 ppm. Konsentrasi
logam berat lainnya diperlihatkan secara rinci pada Tabel 1 dan variasi konsentrasinya
diperlihatkan pada Gambar 4.
Conto batubara BBE-18 memperlihatkan logam berat hasil analisis ICP-MS dengan
konsentrasi tertinggi terdeteksi pada logam Kalsium (Ca) dengan konsentrasi sebesar 143.000
ppm. Sama halnya dengan conto batubara BBE-17, konsentrasi logam berat tertinggi yang
terdeteksi pada conto ini adalah Kalsium. Besi (Fe) merupakan logam berat kedua teringgi
yang terdeteksi dalam conto ini dengan konsentasi sebesar 82.700 ppm. Logam berat
berillium (Be) merupakan logam berat dengan konsentrasi terendah yang terdeteksi pada
54
conto batubara BBE-18. Distribusi logam berat pada conto BBE-18 diperlihatkan pada
Gambar 5 dan variasi konsentrasnya secara keseluruhan diperlihat pada Tabel 1.
Konsentrasi logam berat tertinggi yang terdeteksi pada conto batubara BBE-19 adalah
Kalsium (Ca) dengan konsentrasi sebesar 80.100 ppm. Besi (Fe) merupakan logam berat
dengan konsentrasi tertinggi kedua yang terdeteksi pada conto batubara BBE-19 (65.400
ppm). Kadmium (Cd) merupakan logam dengan konsentrasi terkecil yang terdeteksi pada
conto batubara BBE-19 (dengan konsentrasi sebesar 0,9 ppm). Gambar 6 memperlihatkan
variasi konsentrasi logam berat pada conto BBE-19. Konsentrasi logam berat lainnya secara
rinci diperlihatkan pada Tabel 1.
Logam berat yang terdeteksi dengan konsentrasi tertinggi pada conto batubara BBE-14 adalah
logam natrium (Na) dengan konsentrasi sebesar 112.000 ppm. Selanjutnya logam berat kedua
dengan konsentrasi tertinggi pada conto ini adalah logam Besi (Fe) dengan konsentrasi
sebesar 63.200 ppm. Untuk logam berat dengan konsentrasi terendah (0,4 ppm) yang
terdeteksi pada conto ini adalah perak (Ag). Variasi konsentrasi logam berat pada conto ini
55
diperlihatkan pada Gambar 7. Logam berat yang terdeteksi pada conto BBE-14 dan
konsentrasinya diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 7. Variasi konsentrasi (ppm) logam berat pada conto batubara BBE-14
Gambar 8. Variasi konsentrasi (ppm) logam berat pada conto batubara BBE-15
Besi (Fe) merupakan logam tertinggi yang terdeteksi pada conto batubara BBE-15 dengan
konsentrasi sebesar 124.000 ppm. Selanjutnya disusul oleh Kalsium (Ca) yang merupakan
logam berat tertinggi kedua dengan konsentrasi sebesar 110.000 ppm. Konsentrasi logam
berat terendah pada conto ini juga ditemukan pada logam Kadmium (Cd) dengan konsentrasi
0,5 ppm (sama dengan conto-conto batubara sebelumnya, yaitu BBE-16, BBE-17, dan BBE-
19). Variasi konsentrasi logam berat pada conto ini diperlihatkan pada Gambar 8. Hasil
analisis logam berat menggunakan metode ICP-MS pada conto BBE-15 diperlihatkan pada
Tabel 1.
3.2. PEMBAHASAN
Secara umum hasil analisis ICP-MS pada conto batubara didominasi oleh logam berat berupa
kalsium (Ca), besi (Fe), natrium (Na), aluminium (Al), magnesium (Mg), kalium (K), fosfor
(P), dan strontium (Sr) serta mangan (Mn) dengan konsentrasi (ppm) yang cukup signifikan.
56
Selanjutnya logam berat lainnya ditemukan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Kehadiran
logam berat dengan konsentrasi terendah terdeteksi pada logam kadmium (Cd), perak (Ag)
dan berilium (Be). Hasil analisis dan konsentrasi logam berat secara rinci telah diperlihatkan
pada Tabel 1 dan Gambar 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 pada hasil penelitian.
Tingginya konsentrasi Fe (besi) pada conto batubara di daerah penelitian diyakini berasal dari
mineral pirit yang merupakan mineral paling umum terdapat pada batubara (Widodo dkk.,
2009). Mineral-mineral dominan pada batubara biasanya terdiri dari sulfida, lempung, kuarsa
dan kadang-kadang fosfat serta logam berat lainnya yang hadir sebagai mineral tambahan
(Balme, 1956 dan Mackowsky, 1943). Pada kebanyakan batubara, sulfida terdiri dari mineral
pirit dan markasit, tetapi yang paling umum di dominasi oleh mineral pirit (Balme, 1956 dan
Mackowsky, 1943).
Tingginya konsentrasi kalsium (Ca), besi (Fe), natrium (Na), aluminium (Al), magnesium
(Mg), kalium (K), fosfor (P), strontium (Sr) dan mangan (Mn) pada conto batubara di daerah
penelitian ini dapat diprediksi berasal dari aktivitas vulkanik pada masa lampau. Berdasarkan
penelitian sebelumnya (Hall dan Nichols, 2002; Widodo, dkk., 2009; Widodo, dkk., 2010)
menyatakan bahwa cekungan Kutai bagian atas berbatasan dengan sedimen laut dalam yang
berumur Tersier, batuan beku mafik dan melans di Kalimantan Tengah. Karena itu dapat
diprediksi kehadiran mineral matter tersebut (termasuk logam berat) pada cekungan Kutai
berhubungan dengan aktivitas vulkanik dataran tinggi Nyaan selama Tersier atau disebabkan
oleh suplai sedimen dari lapisan laut dalam, batuan beku mafik dan melans dari Kalimantan
Tengah. Dalam kasus ini, air tanah dan air permukaan berperan penting dalam
mentransportasi mineral matter dari dataran tinggi Kalimantan Tengah ke dataran rendah
Cekungan Kutai (Kalimantan bagian timur). Erosi di Kalimantan juga sangat intens (tinggi)
dan menunjukkan bahwa kerak bumi secara signifikan telah tererosi lebih dari 6 km dari
bagian pegunungan tertinggi Kalimantan pada kala Neogen. Kalimantan terdiri dari
cekungan-cekungan yang dalam dan siap untuk menerima sedimen (Hall dan Nichols, 2002).
4. KESIMPULAN
Logam berat pada batubara di daerah penelitian didominasi oleh kalsium (Ca), besi (Fe),
natrium (Na), aluminium (Al), magnesium (Mg), kalium (K), fosfor (P), strontium (Sr) dan
mangan (Mn) secara berurut dengan konsentrasi rata-rata yang cukup signifikan, yaitu: 86.743
ppm (Ca), 83.229 ppm (Fe), 56.414 ppm (Na), 31.186 ppm (Al), 26.686 ppm (Mg), 4.534
ppm (K), 1.667 ppm (P), 1.566 ppm (Sr) dan 333,71 ppm (Mn). Selanjutnya 18 logam berat
lainnya ditemukan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Kehadiran logam berat dengan
konsentrasi terendah terdeteksi pada tiga elemen, yaitu kadmium (Cd), perak (Ag) dan
berilium (Be).
Tingginya konsentrasi kalsium (Ca), besi (Fe), natrium (Na), aluminium (Al), magnesium
(Mg), kalium (K), fosfor (P), strontium (Sr) dan mangan (Mn) pada conto batubara di daerah
penelitian ini diprediksi berhubungan dengan aktivitas vulkanik pada masa lampau.
Berdasarkan penelitian sebelumnya diyakini cekungan Kutai bagian atas berbatasan dengan
sedimen laut dalam yang berumur Tersier, batuan beku mafik dan melans di Kalimantan
Tengah. Karena itu dapat diprediksi kehadiran mineral matter tersebut (termasuk logam berat)
pada cekungan Kutai berhubungan dengan aktivitas vulkanik dataran tinggi Nyaan selama
57
Tersier atau disebabkan oleh suplai sedimen dari lapisan laut dalam, batuan beku mafik dan
melans dari Kalimantan Tengah. Dalam kasus ini, air tanah dan air permukaan berperan
penting dalam mentransportasi mineral matter dari dataran tinggi Kalimantan Tengah ke
dataran rendah Cekungan Kutai (Kalimantan bagian timur). Erosi di Kalimantan juga sangat
intens (tinggi) dan menunjukkan bahwa kerak bumi secara signifikan telah tererosi lebih dari
6 km dari bagian pegunungan tertinggi Kalimantan pada kala Neogen. Kalimantan terdiri dari
cekungan-cekungan yang dalam dan siap untuk menerima sedimen. Tingginya konsentrasi Fe
(besi) pada conto batubara di daerah penelitian diyakini berasal dari mineral pirit yang
merupakan mineral paling umum terdapat pada batubara. Pada kebanyakan batubara, sulfida
terdiri dari mineral pirit dan markasit, tetapi yang paling umum di dominasi oleh mineral pirit.
DAFTAR PUSTAKA
Balme, B.E., 1956. Inorganic sulphur in some Australian coals. Fuel 29, 21–22.
Hall, R., Nichols, G., 2002. Cenozoic sedimentation and tectonics in Borneo: climatic
influences on orogenesis. In: Jones, S.J., Frostick, L. (Eds.), Sediment Flux to Basins: Causes,
Control and Consequences: Geological Society, London, Special Publication, vol. 191, pp. 5–
22.
Stach, E., Mackowsky, M.Th., Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., Teichmüller, R.,
1975. Stach's Textbook of Coal Petrology. Gebrüder Borntraeger, Berlin. 428 pp.
Taylor, G.H., Teichmüller, M., Davis, A., Diessel, C.F.K., Littke, R., Robert, P., 1998.
Organic
Petrology. Gebrüder Borntraeger, Berlin. 704 pp.
Widodo, S., Bechte A., Anggayana, K., Püttmann, W. 2009. Reconstruction of floral changes
during deposition of the Miocene Embalut coal from Kutai Basin, Mahakam Delta, East
Kalimantan, Indonesia by use of aromatic hydrocarbon composition and stable carbon isotope
ratios of organic matter. Organic Geochemistry, 40, 206-2018.
Widodo, S., Oschmann, W, Bechtel, A., Sachsenhofer, R. F., Anggayana, K., Puettmann, W.,
2010. Distribution of sulfur and pyrite in coal seams from Kutai Basin (East Kalimantan,
Indonesia): Implications for paleoenvironmental conditions. International Journal of Coal
Geology, 81, 151-162.
58
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Studi mineralogi dan kimia sampel bijih mangan asal Ponre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan telah
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik mineralogi dan komposisi kimia yang
meliputi tekstur, komposisi mineral, kandungan unsur utama dan unsur jejak. Analisis dilakukan
dengan metode mikroskopi optis, difraksi sinar X, SEM-EDS dan XRF. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa bijih mangan terdapat dalam bentuk lensa-lensa yang berasosiasi dengan rijang
dan serpih karbonatan, setempat memperlihatkan breksiasi. Kenampakan mikroskopis menunjukkan
variasi tekstur dari massif hingga colloform. Komposisi mineralogi terutama didominasi oleh pirolusit
[MnO2] dengan mineral pengotor berupa barit [BaSO4] sebagai material pengisi rekahan serta
kuarsa [SiO2], kalsit [CaCO3] dan mineral lempung (smektit). Bijih mangan mengandung rata-rata
34,36 % MnO dengan kadar SiO2 yang relatif tinggi (35,17%). Konsentrasi Fe2O3 dan Al2O3 masing-
masing sebesar 6,31 % dan 5,41 %. Sedangkan kadar rata-rata MgO sebesar 4,22 % dan CaO
dengan kadar rata-rata 2,06 %. Konsentrasi total alkali (Na2O +K2O) dan P2O5 cukup rendah
(<1%),sedangkan kadar unsur jejak yang tinggi adalah Ba (5797 ppm), Sr (356 pppm), dan V (204).
Berdasarkan data mineralogi dan komposisi kimia, bijih mangan tersebut berpotensi sebagai bahan
baku untuk memproduksi silicomanganese. Akan tetapi bijih tersebut tidak dapat digunakan secara
langsung karena masih mengandung unsur-unsur-pengotor, sehingga perlu dilakukan benefisiasi
untuk menurunkan konsentrasi unsur pengotor.
PENDAHULUAN
Logam mangan menempati urutan ke-12 dalam hal kelimpahan pada kerak bumi dengan
konsentrasi rata-rata 0,1 % (Chatterjee, 2007) serta berada pada urutan ke-4 dari segi jumlah
konsumsi setelah besi, aluminum dan tembaga. Sekitar 92% konsumsi mangan secara global
digunakan dalam industri besi baja dan sisanya digunakan dalam aplikasi nir besi seperti
baterei sel kering, bahan pewarna dan industri kimia lainnya (Pareira et al, 2014). Total
produksi logam Mn dunia pada tahun 2014 mencapai 17.000 ton dengan persentase terbesar
berasal dari Afrika Selatan, disusul oleh Australia, China, Gabon dan Brazil (Corathers,
2014). Walaupun Indonesia tidak termasuk negara penghasil mangan, namun endapan Mn
dilaporkan terdapat di sejumlah wilayah seperti Kabupaten Manggarai, NTT, Tasikmalaya,
Jawa Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, serta Kabupaten Barru dan Bone,
Sulawesi Selatan).
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Minerba secara efektif pada tahun 2014, maka
tidak ada lagi ekspor bijih yang berarti bahwa bajih harus diolah dalam negeri. Untuk
mendukung rencana pembangunan sejumlah pabrik peleburan bijih besi dan nikel laterit yang
ditujukan untuk memproduksi besi baja, maka salah satu logam paduan yang diperlukan
adalah Mn. Diketahui bahwa untuk menghasilkan satu ton besi baja, diperlukan sekitar 7 – 10
59
kg Mn (Chatterjee, 2007). Akan tetapi, kebanyakan bijih mangan di alam tidak bisa diganakan
secara langsung karena kadarnya masih rendah serta mengandung unsur-unsur pengotor
sehingga perlu dilakukan treatment terlebih dahulu. Tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengkarakterisasi mineralogi dan komposisi kimia bijih mangan dari Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan sebagai bahan baku dalam industri metalurgi.
60
Kuarsa dan barit hadir sebagai mineral gangue yang dominan. Barit [BaSO4] dijumpai
dalam bentuk urat-urat dengan ketebalan antara 0,5 – 1,0 mm. Barit menunjukkan kristal
dengan bentuk prismatik panjang. Analisis komposisi kimia barit dengan EDS
memperlihatkan kandungan Ba ~61,7%; S~13,8%; O~24,3% dan Co~0,2%. Sementara itu,
batuan samping dari bijih mangan ini tardiri dari rijang dan serpih karbonatan. Komposisi
mineral batu rijang berupa silika, sementara serpih disusun oleh mineral kalsit [CaCO3] dan
lempung jenis smektit.
quartz
pyrolusite pyrolusite
quartz
500 μm A 250 μm B
barite
pyrolusite
quartz
500 μm C 500 μm D
Gambar 1 Citra pemindai mikroskop electron yang memperlihatkan mineral pirolusit bentuk
anhedral, belahan baik dan berasosiasi dengan kuarsa (A). Kristal-kristal pirolusit dengan ukuran
yang lebih kecil dan bervariasi serta berasosiasi dengan silika (B dan C). Kenampakan kristal barit
berbentuk prismatik panjang yang dijumpai sebagai material pengisi rekahan (D).
Hasil analisis XRD menunjukknan bahwa pirolusit [MnO2] mendominasi fasa mangan
dalam bijih. Identifikasi secara positif ditandai dengan munculnya intensitas refleksi
maksimum dengan nilai dhkl ~ 3,12Å. Refleksi lainnya yang cukup kuat dengan nilai dhkl
~2,41Å; 2,21Å dan 1,56Å. Kehadiran mineral ramsdellit [MnO2] sebagai polimorf pirolusit
juga terdeteksi yang ditandai dengan munculnya refleksi dengan nilai dhkl ~4,06Å dan 2,55Å.
Mineral-mineral pengotor terutama kuarsa [SiO2] yang dicirikan oleh intensitas refleksi
dengan nilai dhkl ~4,27 Å; 3,34Å; 2,46Å dan 1,82Å, sedangkan barit [BaSO4] diidentifikasi
pada peak dengan nilai refleksi dhkl ~ 3,58Å (Gambar 2).
61
● ● pyrolusite (MnO2 )
☼quartz (SiO2)
○ramsdellite (MnO2)
◊ barite (BaSO4 )
Intensity (cps)
●
○● ☼
☼○ ◊ ● ●●
◊ ◊
2 6 10 14 18 22 26 30 34 38 42 46 50 54 58 62
2-theta ( o )
Gambar 2 Difraktogram sampel terpilih bijih mangan dari Kabupaten Bone dengan
kandungan mineral terdiri dari pirolusit, ramsdelit, kuarsa, dan barit.
Komposisi Kimia
Komposisi kimia sampel mangan Ponre, Kabupaten Bone dianalisis dengan
menggunakan metode XRF seperti pada Tabel 1. Kadar MnO antara 1,56 – 61,54 %berat atau
rata-rata 34,36 %berat dan konsentrasi SiO2 cukup tinggi yakni berkisar antara 16,36 dan
64,35 %berat atau rata-rata 35,17 %berat. Kadar Fe2O3 antara 0,20 – 11,84 %berat atau rata-
rata 6,33 %berat, sedangkan rata-rata kandungan Al2O3 sebesar 5,41 %berat. Sementara itu
rata-rata kadar MgO adalah 4,22 %berat dan CaO sebesar 2,06 % berat. Total alkali (Na2O +
K2O) menunjukkan kadar rendah <1,50 %berat. Sama halnya dengan kandungan TiO2 dan
P2O5 juga memperlihatkan nilai rendah (rata-rata <1% berat). Nilai LOI sampel yang
dianalisis menunjukkan kadar antara 4,31 – 14,10 %berat atau rata-rata 8,91 %berat. Rasio
Mn/Fe memiliki variasi yang sangat tinggi antara 0,15- 287,66. Kandungan sulfur dari bijih
cukup signifikan yang mencapai 5887 ppm, hal ini konsisten dengan kehadiran barit sebagai
mineral pengotor.
Konsentrasi unsur jejak (trace elements) menunjukkan nilai tinggi diantaranya Ba (5797
ppm), Sr (356 ppm) dan V (204 ppm). Sedangkan unsur-unsur lainnya seperti As, Cu, Pb, Rb,
dan Zn umumnya rendah (<100 ppm).
62
Tabel 1 Komposisi unsur mayor dan jejak sampel mangan Bone dengan metode XRF
Sampel Mangan Bone
Oksida Rata-rata
ST-1A ST-1C ST-IIA BN-02 BN-04 BN-05A BN-05B BN-05C
SiO2 (% ) 17.21 48.14 31.18 16.36 64.35 17.38 45.81 40.89 35.17
TiO2 0.02 2.92 0.02 0.03 0.01 0.44 1.80 1.58 0.85
Al2O3 1.52 13.71 0.80 0.96 0.18 3.50 11.83 10.79 5.41
Fe2O3 5.02 11.84 0.20 10.60 3.08 0.82 10.96 8.14 6.33
MnO 61.54 1.56 51.90 56.01 26.30 55.98 6.63 14.99 34.36
MgO 0.37 8.26 0.49 0.30 0.26 4.06 9.88 10.15 4.22
CaO 0.99 4.27 0.79 0.44 0.10 1.76 4.29 3.82 2.06
Na2O 0.23 3.32 0.11 0.21 0.08 0.89 3.10 1.81 1.22
K2O 0.26 0.56 0.15 0.10 0.08 0.13 0.39 0.50 0.27
P2O5 0.12 0.37 0.07 0.15 0.04 0.22 0.27 0.18 0.18
LOI 8.54 4.31 14.06 14.16 4.63 14.10 4.57 6.94 8.91
Tot. Oksida 95.82 99.26 99.58 99.33 99.09 99.29 99.52 99.79 98.96
Mn (% ) 47.71 1.21 40.23 43.42 20.39 43.40 5.14 11.62 26.64
Mn/Fe 13.59 0.15 287.66 5.86 9.47 75.68 0.67 2.04 49.39
Mn/P 910.38 7.48 1316.18 662.86 1167.19 451.71 43.59 147.83 588.40
Mn/Si 5.93 0.05 2.76 5.68 0.68 5.34 0.24 0.61 2.66
Ag (ppm) 7 4 6 11 4 9 5 3 6
As 10 2 13 6 15 2 2 2 7
Ba 31542 336 4652 3221 1089 3723 733 1079 5797
Cu 39 5 38 31 34 73 43 135 50
Pb 138 <1 125 20 45 <1 <1 1 41
Rb 5 7 4 3 1 3 8 8 5
S 5882 196 566 275 122 105 100 105 919
Sr 1079 253 267 195 140 258 269 387 356
V 250 399 55 115 64 204 272 271 204
Zn 265 89 68 43 58 35 59 59 85
DISKUSI
Hasil analisis mineralogi dan kimia bijih mangan asal Ponre, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan bermanfaat dalam memprediksi potensi pemanfaatannya dalam bidang industri
terutama metalurgi. Komposisi mineralogi didominasi oleh pirolusit [MnO2]. Berdasrkankan
kandungan mineralnya, maka bijih mangan daerah penelitian digolongkan dalam tipe oksida.
Variasi kristalinitas bijih mangan mengindikasikan bahwa keberadaannya kemungkinan
disebabkan oleh proses penggantian/replacement mineral mangan primer, misalnya yang
terbentuk dari aksi hidrotermal (Ramdohr, 1969). Tingginya kandungan SiO2 dengan rata-rata
sebesar 35,17 % menunjukkan bahwa bijih mangan daerah Ponre berpotensi sebagai bahan
baku dalam produksi paduan silicomanganese. Akan tetapi, menurut El-Faramawy et al.
(2004), kandungan bijih mangan optimal untuk memproduksi paduan silicomanganese
memiliki kadar Mn>35% dengan rasio Mn/Fe (7-65), Mn/Si>2 dan Mn/P>285. Berdasarkan
data pada Tabel 1, kecuali kadar Mn, ketiga rasio Mn terhadap Fe, Si, dan P sudah memenuhi
spesifikasi sebagai bahan baku untuk produksi SiMn.
Berdasarkan kandungan Mn, Guo et al. (2012) membagi bijih mangan menjadi empat klas
yaitu: bijih Mn kadar tinggi (>44%), kadar sedang (40 – 44%), kadar rendah (35 – 40%) dan
63
steel mill (28 – 35%). Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa bijih Mn daerah Ponre
termasuk kategori steel mill grade.
Tingginya kadar sulfur pada sampel yang dianalisis berasal dari mineral barit [BaSO4].
Dalam pembuatan besi baja, sulfur merupakan unsur pengotor dan harus diminimalisir. Selain
itu kadar fosfor juga harus minimal, karena kehadiran fosfor dapat menurunkan kekuatan baja
yang dihasilkan. Meskipun bijih mangan di daerah Ponre berpotensi sebagai bahan baku
untuk industri metalurgi, namun tidak dapat digunakan secara langsung, melainkan harus
dilakukan benefisiasi untuk meningkatkan kadar Mn serta mengurangi unsur-unsur pengotor.
Hal ini dapat dilakukan secara fisik melalui konsentrasi gravitasi atau dengan magnetic
separator.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bijih mangan di daerah Ponre, Kabupaten Bone didominasi oleh pirolusit serta minor
ramsdellit. Mineral pengotor berupa kuarsa dan barit.
2. Komposisi kimia mangan memiliki rata-rata 26,64% Mn menunjukkan nilai rendah
sehingga digolongkan sebagai low grade Mn-ore.
3. Kadar SiO2 yang relatif tinggi, sementara kandungan Fe2O3 dan P2O5 yang rendah pula
mengindikasikan bahwa bijih mangan yang dianalisis mempunyai berpotensi sebagai
bahan baku dalam pembuatan logam paduan silicomanganese.
4. Kehadiran unsur-unsur pengotor seperti sulfur dan barium yang tinggi dapat
menghambat pemakaian bijih secara langsung, sehingga perlu dilakukan benefisiasi
terlebih dahulu untuk menghilangkan unsur-unsur pengotor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chatterjee, K.K., 2007, Uses of Metals and Metallic Minerals, New Age International LTD. Publisher,
New Delhi.
Corathers, L.A., 2014, Manganese, (in Mineral Commodity Summaries, USGS).
El-Faramawy, H., Mattar, T., Fathy, A., Eissa, M., and Ahmed, A.M., 2004, Silicomanganese
production from manganese rich slag, Ironmaking and steelmaking, Vol.31, No.1, pp. 31 – 36.
Fareira, M.J., Lima, M.M.F., Lima, R.M.F., 2014, Calcination and characterization studies of a
Brazilian manganese ore tailing, International Journal of Mineral Processing, 131, pp. 26 – 30.
Guo, Y., Olivas-Martinez, M., Sohn, H.Y., Kim, H.G., Kim, C.W., 2012, Upgrading of Low-Grade
Manganese Ore by Selective Reduction of Iron Oxide and Magnetic Separation, Metallurgical
and Material Transactions B, Vol.43B, pp. 1465 – 1475.
Ramdohr, P., 1969, The ore minerals and their intergrowths, Pergamon Press, Oxford.
64
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
1
Program Studi Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar
Email : kaharuddin_geounhas@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan tipe olistostrome, dan kaitannya
dengan pembentukan berbagai macam batu mulia di daerah Kompleks Tektonik Bantimala.
Kelompok batuan Kompleks Tektonik Bantimala, tersusun oleh batuan metamorf berupa sekis
glaukofan, sekis mika hornblende, eklogit, granulit, filit dan metakuarsit berumur Trias,
olistostrome tersusun oleh komponen sekis, kuarsit, metachert, jadeit, metaperidotit berumur
Jura-Kapur dan batuan sedimen flysch yang meliputi perselingan serpih kersikan, batupasir,
batulempung, dan rijang radiolaria berumur Kapur. Di atas batuan Kompleks Tektonik
Bantimala ini berkembang batuan Tersier yaitu batupasir Mallawa, batuan gunungapi
Paleosen, batugamping Tonasa dan batuan gunungapi Camba, yang diterobos oleh intrusi
diorit dan sienit. Kemudian terjadi pensesaran sungkup Pangkajene menyebabkan
tersingkapnya batuan alas di daerah ini yang mengandung batu mulia. Aktivitas tektonik
dimasa Mesozoikum berupa subduksi lempeng Pasifik ke dalam lempeng Asia (Kalimantan
Timur) diinterpretasikan berhubungan dengan pembentukan olistostrome yang merupakan
lapisan terbawah dari pada rijang radiolaria yang didalamnya terkandung fragmen-fragmen
batu mulia seperti berbagai macam batu akik, giok, badar, pirus dan batu mulia lainnya.
Latar Belakang
65
Pada kondisi ini menurut teori Hall (1976) terjadi longsoran material (debris fall) pada lereng
yang relatif terjal di daerah palung laut (trench), dimana material komponennya dapat berasal
dari material hancuran lempeng kontinen dan oseanik, menyatu dalam sedimen kacau gravity
flow. Sedimen ini kemudian tertutupi oleh sedimen pelagik rijang radiolaria.
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Kompleks Tektonik Bantimala yaitu batuan
metamorf yang terdiri dari sekis glaukofan, sekis mika-hornblende, eklogit, granulit, filit dan
kuarsa meta berumur Trias (Sukamto,1975). Di atas batuan alas ini ditindih oleh batuan breksi
sekis (olistostrome), batupasir dan rijang radiolaria berumur Jura – Kapur (Sukamto, 1982).
Breksi sekis yang merupakan lapisan terbawah dari pada rijang radiolaria Kompleks
Bantimala yang oleh peneliti disebut sebagai endapan olistostrome yang belum pernah
diekspos oleh peneliti terdahulu dengan ciri – ciri sangat spesifik yaitu sortasi sangat jelek,
bagian bawah tidak berlapis, gradasi butir menghalus ke atas, berselang seling dengan rijang,
terdapat bongkah – bongkah besar yang mengambang dalam matriks pasiran, pada bongkah –
bongkah olistolit terdapat kesan deformasi tektonik (tekstur tektonit), dan pada lapisan rijang
di atasnya terkadang ditemukan bongkah dan kerakal di dalamnya.
Aktivitas tektonik dimasa Mesozoikum berupa subduksi lempeng Pasifik ke dalam
lempeng Asia, diinterpretasikan berhubungan dengan pembentukan olistostrome dengan
komponen blok – blok batuan yang mengandung batu mulia, seperti batu akik, giok, pirus,
badar dan batu mulia lainnya.
66
breksi sekis dan mélange. Jadi tampaknya harus diteliti dan dikaji secara menyeluruh
mengenai problematika geologi daerah Bantimala.
a. Kerangka Geologi
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bantimala merupakan bagian dari tepian
Kalimantan Timur yang terpisah sejak kala Miosen bersamaan dengan pembentukan Selat
Makassar. Kelompok batuan ini disebut Kompleks Tektonik Bantimala yang tersusun oleh
batuan metamorf yaitu glaucophane schist, hornblende-mica schist, eclogite, granulite,
phyllite dan metaquazite berumur Trias (Sukamto,1975), mélange dengan komponen
sekis,kuarsit, metachert,, metabasal yang berumur Jura-Kapur dan batuan sedimen yang
meliputi serpih kersikan, batupasir, batulempung dan rijang radiolaria berumur Kapur.
Blok ofiolit terdiri dari harzburgit dan serpentinit, terbentuk secara obduksi menindih
batuan Tersier di daerah ini, sedang tipe batuan sedimen tepian kontinen berupa flysch
Balangbaru-Paremba yang berumur Kapur tertutupi secara tidak selaras oleh batupasir
Mallawa dan tufa yang berumur Paleosen-Eosen, batugamping Tonasa (Eosen-Miosen) dan
batuan vulkanik Camba berupa breksi dan tufa yang berumur Miosen Atas-Pliosen. Peristiwa
tektonik yang terjadi pada kala Tersier hingga Kuarter menyusul pembentukan struktur
geologi, menyebabkan posisi stratigrafi batuan di daerah ini terganggu yang selain
merumitkan kondisi geologinya juga dapat menambah keragaman fenomena geologi di daerah
ini. Aktifitas tektonik di kala Neogen menghasilkan batuan terobosan yang bersifat asam
hingga basa berupa diorite, sienit, granodiorit dan basal berumur Miosen-Pliosen (Gambar 2).
67
b. Tektonik
Proses tektonik kompleks Bantimala terbentuk dalam dua model yaitu sistem subduksi
lempeng oseanik yang berlangsung sejak Mesozoikum hingga Tersier dan sistem obduksi
ofiolit di kala Tersier hingga Kuarter.
Tektonik kompleks Bantimala ditunjukkan oleh kehadiran batuan metamorf tingkat
tinggi yang berasosiasi dengan mélange dan ultrabasa dalam satu sistem penunjaman pra-
Kapur (Trias – Jura?) lempeng Pasifik Barat terhadap tepian kontinen Kalimantan.
Tektonik Tersier lebih cenderung memperlihatkan kondisi subsiden yang disusul
pengendapan batuan sedimen Mallawa, Tonasa dan volkanik Paleosen. Di kala Oligosen-
Miosen terjadi gerak tektonik tensional membentuk rifting dan pembentukan Selat Makassar
yang disusul dengan pembentukan batuan Gunungapi Camba dan obduksi ofiolit Bantimala.
Perkembangan tektonik Tersier hingga Kuarter memberikan pengaruh terhadap
pembentukan struktur dan tersingkapnya batuan alas di daerah Bantimala. Pembentukan sesar
naik Pangkajene yang berpasangan tiga sangat berkaitan dengan tersingkapnya batuan
metamorf sekis hijau, sekis biru, granulit dan eklogit di tiga tempat pada dasar sungai
Patteteyang, Bantimala (gambar 3).
68
Pembentukan Olistsotrome
W E
SL
Y
X
69
Tabel 1. Kolom litologi olistostrome daerah Bantimala
a. Kriteria Komponen
Batuan metamorf sekis muskovit kuarsa dalam satu kompleks sekis glaukofan,
granulit dan eklogit yang menunjukkan batuan hasil subduksi lempeng antara lempeng
kontinen dengan lempeng oseanik, diinterpretasikan sebagai lingkungan trench dimana
olistostrome sebagai bagian bawah dari pada rijang radiolaria terbentuk. Adanya percampuran
material rijang dalam dalam batuan olistostrome dan struktur gradasi komponen menghalus
70
keatas dari ukuran bongkah ke cobble – granule, mengindikasikan sebagai endapan laut dalam
pada kondisi tektonik subduksi. Berdasarkan hal tersebut diatas maka olistostrome Kompleks
Tektonik Bantimala dikategorikan sebagai tipe subduksi.
- Fisiografi Sedimen
Kenampakan perselingan antara batupasir dan rijang radiolaria sebagai bagian atas
dari pada olistostrome, struktur gradasi komponen di daerah bagian barat daerah penelitian
termasuk tipe endapan flukso. Dan di bagian timur, kontak antara rijang radiolaria dengan
cobble – pebble olistolit sebagai tipe endapan proksima (Foto 2 dan 3).
Olistostrome yang tersusun oleh berbagai macam komponen yang susunannya campur
aduk, memberikan fenomena terhadap potensi batu mulia di daerah ini. Batuan dari hasil
benturan dan gesekan lempeng bumi di zona subduksi menampakkan berbagai macam
71
komponen batuan metamorf yang mempuyai nilai sumberdaya terutama batu mulia dan batu
ornamen.
Komponen olistolit yang bersumber dari lempeng kontinen terdiri dari sekis, kuarsit,
metachert dan vein kuarsa dapat menghasilkan batu akik, kuarsa rose dan batu mulia lainnnya.
Komponen olistolit yang berasal dari lempeng oseanik dapat menghasilkan batu giok, badar,
batu pirus dan lainnya.
Komponen – komponen olistolit diatas dapat diambil dari berbagai ukuran, mulai dari
diameter 10 cm sampai dengan 100 cm. Munculnya olistostrome di Kompleks Tektonik
Bantimala berhubungan dengan sesar naik Pangkajene yang berarah Tenggara-Baratdaya,
mengangkat batuan dasar termasuk olistostrome, yang disertai dengan proses
magmatisme/intrusi batuan beku yang menghasilkan batu mulia penyerta.
b. Batu Mulia
Batu mulia menurut Darsa Permana (1997) diartikan sebagai semua jenis mineral dan
batuan yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang khas, serta digunakan untuk perhiasan dan
bahan dekorasi atau hiasan. Menurutnya, batu mulia dibagi dalam tiga jenis dari aspek
perdagangan yaitu (1) batu permata (2) semi permata (3) batu hias (ornamen).
Menurut Sudjatmiko (2015), batu mulia diartikan sebagai batu yang dimuliakan,
meliputi segala jenis batuan, mineral dan bahan mentah alam lainnya yang telah diolah atau
diproses, memiliki keindahan dan ketahanan yang memadai untuk dipakai sebagai barang
perhiasan. Dari aspek perdagangan dan selera masyarakat terhadap batu mulia tidak lagi
tergantung pada kekerasan dan jenis batu mulia, melainkan minat tertuju pada corak atau
motifnya atau variasi warnanya.
Batu mulia yang terdapat di daerah Kompleks Tektonik Bantimala, dibagi dalam dua
kelompok yaitu kelompok dalam olistostrome dan kelompok penyerta.
Kelompok batu mulia ini terdapat dalam komponen olistostrome, terdiri dari berbagai
macam olistolit batuan yaitu :
- Serpentinit – Jadeit
Blok olistolit dalam olistostrome yang berukuran 30 – 120 cm, berwarna hijau belang
hitam (magnetit), kekerasan sekitar 6,5 – 7 skala Mohs, dibuat sebagai permata giok belang
(Foto 4 dan 5)
72
- Kuarsa rose
Olistolit berukuran 5 – 20 cm, berwarna pink atau putih kekuningan, kekerasan 7 skala
Mohs, dibuat sebagai permata (bermacam nama), Foto 6.
- Kuarsit
Olistolit berukuran bongkah (10 – 30 cm), berwarna putih hingga kekuningan, kekerasan 7
skala Mohs, dibuat berbagai macam permata (Foto 7 dan 8)
- Sekis hijau
Blok olistolit berbagai ukuran dengan urat – urat kuarsa, berwarna hijau – barik putih,
kekerasan sekitar 5 – 6 skala Mohs, dibuat berbagai macam permata
X
Foto 6. Fragmen kuarsa rose (X) dalam
olistostrome di S. Pateteyang, Bantimala
-
Foto 7. Fragmen kuarsit dari olistostrome Foto 8. Permata cempaka madu
- Kelompok Penyerta
Kelompok batu mulia ini terbentuk oleh dampak tektonik regional berupa efek intrusi
magma dan tersingkapnya batuan alas oleh pensesaran sungkup Pangkajene.
- Asosiasi efek intrusi magma pada batuan volkanik Paleogen (tufa dan breksi)
Jenis batu mulia ini terdiri dari :
• Jasper berupa badar merah, kuning, hijau dan coklat, kekerasan 6,5 – skala Mohs (Foto 9
dan 10)
73
Foto 9. Bongkah jasper (batu badar) Foto 10. Permata badar merah hasil olahan
dari Bantimala jasper merah
• Nodule kalsedon dalam volkanik Paleosen, berwarna putih transparan, keruh, kekerasan
7 skala Mohs, terdiri dari bentuk masif dan kristal, dibuat sebagai permata akik dan liontin
(Foto 11 dan 12).
• Metachert (silisified), berwarna hijau kecoklatan atau bintik kecoklatan dalam masadasar
hijau, berupa lapisan rijang dengan kekerasan 7 – 7,5 skala Mohs, dibuat sebagai badar
hijau (Foto 13 dan 14).
• Silisified dan mineral alterasi dengan kristal – kristal pirit dan kalkopirit, berbagai macam
warna dan motif
Foto 13. Metachert (jasper hijau – coklat) Foto 14. Badar hijau – coklat.
di S. Pateteyang, Bantimala.
74
- Asosiasi batuan alas (metamorf)
Terdiri dari berbagai jenis batuan metamorf dan mineral, seperti sekis biru dan hijau,
(bertekstur halus dengan butiran kristal – kristal garnet), vein kuarsa dengan serabut
hornblende, garnet dengan ukuran 0,5 – 1,2 cm, berwarna coklat merah – merah maron dan
lain – lain.
Kesimpulan
1. Kondisi geologi dan tektonik Kompleks Tektonik Bantimala tersusun oleh batuan pra-
Tersier (sekis, olistostrome, rijang radiolaria dan batupasir Balangbaru) dan batuan Tersier
(volkanik Paleosen, batupasir Mallawa, batugamping Tonasa, volkanik Camba dan intrusi
batuan beku basa – intermsdit – asam. Keduanya dibatasi oleh sesar sungkup Pangkajene.
2. Karakteristik olistostrome Kompleks Tektonik Bantimala dicirikan oleh komponen
heterogen polilitik (sekis, genes, kuarsit dan metachert) yang tersusun oleh empat lapisan
yaitu breksi polilitik 1, breksi polilitik 2, pasir kasar – granule 3 dan pasir 4, termasuk
olistostrome kategori tipe subduksi, terbentuk pada zaman Kapur Bawah (Albian).
3. Batu mulia yang terdapat di daerah Kompleks Tektonik Bantimala terdiri dari kelompok
olistostrome (serpentinit – jadeit, kuarsa rose, kuarsit, sekis hijau, serpentinit – kuarsa dan
meta chert), kelompok penyerta (jasper berbagai warna, nodule kalsedon, metachert,
silisified dan batuan alterasi) dan kelompok batuan alas/metamorfik (sekis biru dan hijau,
garnet dan vein kuarsa).
4. Tersingkapnya batuan alas termasuk olistostrome yang mengandung batu mulia
berhubungan dengan tektonik pengangkatan dan sesar sungkup Pangkajene dizaman
Tersier
DAFTAR PUSTAKA
Abbate, E., Bortolotti, V., Passerini, P., 1970, Olistostrome and Ophiolite and Related
Melanges, Benchmark Papers in Geology/66, pp.86-110
Elter, P., Trevisan, L., 1973, Olistostromes in the Tectonic Evolution of the Northern
Apennines, Benchmark Papers in Geology/66, pp.111-124
Hall, R., 1976, Ophiolite Emplacement and the Evolution of the Taurus Suture Zone,
Southeastern Turkey, Bencmark Papers ini Geology/66. pp. 275 – 285
Kaharuddin, 2010, Perkembangan Tektonik dan Stratigrafi Kompleks Bantimala, Sulawesi
Selatan, Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, vol.4,hal.TG 5-1-TG5-9.
Kaharuddin, Tonggiroh, A., Sirajuddin, H., 2014, Olistostrome dan Obduksi Ofiolit Lasitae
Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan, Proceedings PIT IAGI 43th, Annual
Convention and Exhibition, Jakarta 15-18 September 2014.
Leonov, M.G., 1978, Olistostromes and their Origin, Benchmark Papers in Geology/66,
pp.125-134.
Permana, D., 1997, Batu Mulia, Bahan Galian Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral, Bandung.
75
Scholle, P.A., Spearing, D., 1982, Sandstone Depositional Environments, Oklahoma, USA.
Setiawan, N.I., Osanai, Y., Nakano, N., Adachi, T., Yonemura, K., Yoshimoto, A., Setiadji,
L.D., Kaharuddin, Wahyudiono, J., 2014, Geochemical Characteristic of
Metamorphic Rocks From South Sulawesi, Central Java, South and West
Kalimantan in Indonesia, Asean Engineering Journal Part C, Volumu 3 Number 1
ISSN 2286-8150, pp. 107-127
Sujatmiko, 2015, 100 Cerita Batu Mulia Indonesia, Kompas Gramedia, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Sukamto, R., 1982, Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi,
P3G, Departemen Pertambangan dan Energi Bandung.
Sukamto, R., 2011, Mengintip Perkembangan Geologi Daerah Sulawesi Selatan dari
Kompleks Melange Bantimala, Panduan Wisata Geologi Bantimala, ITB Bandung.
Syafri,I., 2004, Komposisi Kimia Eklogit dan Batuan bergarnet – berglaukofan Dari
kompleks Bantimala Sulawesi Selatan – Indonesia Serta Kemungkinan Jenis –
jenis Batuan Asalnya, Bulletin of Scientific Contibution, Vol. 2 No. 2 – April 2004.
Hal. 50 – 60.
Wakita, K., Munasri, Sopaheluwakan, J., Zulkarnain, I., Miyazaki, K., 1994, Early
Cretaceous Tectonic Events Implied in the Time – lag Between the Age of
Radiolarian Chert and its Metamorphic Basement in Bantimala Area, South
Sulawesi, Indonesia, Research Article, Bandung, Indonesia.
Zulkarnain, I., 1999, Cretaceous Tectonic Events of the Bantimala Area, South Sulawesi –
Indonesia : Evidence from Rock Chemistry, Jurnal Teknologi Mineral No. 2 – Vol.
VI.
76
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
77
Dari beberapa lubang bor eksplorasi, teramati adanya kecenderungan pembentukan
pola ini mengarah kepada pola distribusi jenis mineral ubahan yang berbeda dengan pola
utama di atasnya, hal ini menjadi menarik untuk lebih dikembangkan, apakah menuju pola
high sulphide zone atau masih dalam pola low sulphide zone yang mengalami suatu pola
penyebaran emas-perak yang berbeda saja?, sebuah tantangan yang menarik.
Abstract
The content of gold and silver on the gold mines of PT. Cibaliung Sumberdaya (PT. CSD)
Banten in Cibitung and Cikoneng prospects formed by composition of rocks composed by
andesite volcanic rocks of fine to highly altered quartz fine-grained (aphanitic-porphyritic
quartz andesite) into other minerals adularia and clays like monmorilonite and ilite.
Formation of mineralized gold and silver in both of the prospects controlled by structural
pattern of tectonic fault rises towards from the South to North almost curved, where the
western part is the part that goes up, and the eastern part is down. In the fault zone of tectonic
breccia formeing 4-12 meters in thick, highly modified beocome moderate size of clay and
sand, while the main zone is the metamorphic rock has high quartzite with temperature low
sulphide epithermal. In this highly quartzite, vein lines formed some small/micro structures
that cuts against the main fault.
Distribution of the metal gold and silver in the fault zone forming a pattern normal graded to
firm, was built by the presence of fibres ultrafine quartz thick (above 20 cm) until a small
sized (less than 2 cm) that quarters (stockwork type), the zone is an area that strongly
modified (highly altered zone) at the Hanging Wall Zone (HWZ), weakly graded towards the
Foot Wall Zone (FWZ).
The existence of the metal content of gold and silver showed a linear relationship in rocks
with high grade(above 7.0 gpt Au) only, while at lower levels (Medium and Low Grade)
shows an irregular relationships (broken).
On some level of the mining section in the Southern part more than towards the prospect of
mineralized Cibitung nor Cikoneng, formed high silver containing zones with low gold levels
low gold high silver, which has a different pattern with the pattern of the main mineralized,
it's interesting to note because it directly related to the distribution pattern of gold in ore
processing.
From some exploration drill holes, observed the existence of a tendency of forming this
pattern leads to a modified type of distribution patterns of different minerals with the main
pattern on it, it became interesting to more developed, whether leading to a pattern of high
sulphide zone or still in the pattern of low sulphide zone who suffered a pattern of spread of
different Gold-Silver only?, an interesting challenge.
78
PENDAHULUAN
PT. Cibaliung Sumberdaya (PT.
CSD) mengoperasikan Tambang Emas
Cibaliung di Desa Padasuka dan Desa
Mangkualam, Kecamatan Cimanggu,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten,
sekitar 210 km melalui perjalanan darat
dari Jakarta.
Tambang Emas Cibaliung berada di bagian tengah dari busur magmatik Sunda-Banda yang
berumur Neogene. Batuan asal (host rock) pembawa bijih emas-perak adalah Honje Volcanic
yang berumur Akhir Miosen yang diterobos oleh subvulcanic andesit-diorit berupa plug atau
dike dan terpotong oleh diatreme breccia. Menumpang tidak selaras di atas batuan asal ini
berupa dacitic tuff, sediment muda, dan aliran lava basalt yang berumur Miosen Kuarter.
Pola Struktur geologi prospek emas di Cibaliung terletak dalam koridor yang berarah Barat-
Barat Laut dengan lebar 3,5 km dan panjang 6 km. Dua struktur arah Utara-Barat Laut yang
kaya cadangan emas dengan posisi relatif tegak berupa urat kuarsa (quartzitic vein), adalah
Cikoneng di sebelah Utara dan Cibitung di sebelah Selatan yang berjarak 400 meter. Tubuh
79
bijih yang kaya cadangan emas ini memiliki ukuran tebal 1-10 meter, degan panjang 140-200
meter, kedalaman sampai lebih dari 300 meter dan masih menerus ke bawah.
Tubuh bijih ini berupa dilational jogs dan sigmoid bends yang terbentuk dari hasil
perpotongan sear Barat-Barat Laut, Utara-Barat Laut, dan Utara-Timur Laut. Bijih emas dan
perak di Cikoneng-Cibitung terjadi oleh beberapa fase urat kuarsa low sulfidation adularia-
sericite dalam sistem epitermal.
Geologi regional Banten tersusun oleh batuan dengan urutan dari tua ke muda adalah sbb.:
1. Formasi Cimapag
Formasi ini dibagi menjadi dua bagian, bagian bawah terdiri dari polimik breksi, lava andesit,
batupasir, batulempung, batugamping, konglomerat, aglomerat dan tufa; bagian atas terdiri
dari tufa dasit, lava andesit, dan tufa breksi, berumur Miosen Awal.
Tebal formasi ini sekitar 400 meter,
ditindih tidak selaras oleh Formasi
Bojongmanik dan dibeberapa tempat
diterobos oleh andesit-basalt.
2. Formasi Honje
Terdiri dari breksi volkanik, tufa, lava,
andesit-basal, dan kayu terkersikkan
(silicified wood), berumur Miosen Akhir,
sebagian menjemari dengan Formasi
Bojongmanik. Ketebalannya berkisar 500–
600 meter. Sebarannya terdapat di sekitar
Gn. Honje, Gn. Tilu, dan daerah
Gambar 3. Peta Geologi Regional Banten Citeureup; diterobos oleh batuan andesit-
basalt.
3. Formasi Bojongmanik
Terdiri dari perselingan batupasir dan batulempung bersisipan napal, batugamping,
konglomerat, tufa, dan lignit. Fosil-fosil foraminifera berumur Miosen Akhir-Pliosen,
ditemukan juga pecahan moluska, ostrakoda, ekinoid, dan kerang dengan lingkungan
pengendapan darat hingga laut dangkal. Tebal formasi ini mencapai 400 meter.
4. Formasi Cipacar
Berupa tufa, tufa batuapungan, batupasir tufa, batulempung tufa, tufa breksi, dan napal.
Umumnya berlapis baik dan tebalnya ±250 m, ditindih tak selaras oleh Formasi Bojong dan
yang lebih muda. Fosil-fosil foraminifera dalam formasi ini menunjukkan umur Pliosen.
Dijumpai pula fosil moluska, kerang-kerangan dan ostrakoda. Lingkungan pengendapannya
adalah darat-laut.
5. Andesit-Basalt
Batuan terobosan berupa andesit dan basalt yang diduga berumur Pliosen. Satuan ini
menerobos Formasi Cimapag dan Formasi Honje.
80
6. Formasi Bojong
Formasi ini terdiri dari litologi berupa batupasir gampingan, batulempung karbonan, napal,
lensa batugamping, tuf, dan gambut. Formasi ini umumnya berlapis baik, tebalnya antara 150-
200 m, ditindih tak selaras oleh satuan batuan yang lebih muda. Fosil-fosil foraminifera yang
ditemukan pada formasi ini menunjukkan umur relatif Pleistosen. Lingkungan
pengendapannya adalah litoral luar (Sumber: Sudana dan Santosa, 1992).
GEOLOGI CIBALIUNG
Secara geologis, umumnya daerah ini di dominasi oleh batuan vulkanik, mulai dari Andesit
afanitik sampai Breksi polimik dan tufa yang tersilisifikasi didominasi halloysite
Ke arah selatan mulai muncul monmorillonit dan kaolinit, sehingga ada kemungkinan
terbentuk mika putih lain seperti ilit atau paragonite di selatan. Struktur geologi yang
berkembang berupa sesar geser dekstral yang berarah N315ºE, mempunyai kemiripan dengan
trend Cibitung-Cikoneng.
MINERALISASI
Illite terbentuk dari hasil pemanasan lapisan smectite-kaolinite (K/S barrier). Illite yang
terbentuk adalah ilit muskovit, merupakan fluida berkomposisi potasik. Kecil kemungkinan
membawa kadar Au tinggi, karena fluida berkomposisi potasik, walau terjadi peningkatan
temperatur, kecil kemungkinan terbentuk mineralisasi yang membawa kadar tinggi.
Mineral yang dominan adalah monmorilonit dan paligorskit, ditambah mika putih
berkomposisi sodik (paragonite dan paragonitic illite)
81
Dari data beberapa lubang pemboran teridentifikasikan adanya laluan fluida berkomposisi
sodik sehingga berpotensi membawa mineralisasi yang memiliki kadar Au tinggi, namun
tidak terdapat lapisan karbonat seperti Gipsum yang menjadi semacam barrier bagi lapisan
sodik tersebut.
Mineral berkomposisi sodik biasanya dapat membawa mineralisasi dengan kadar Au tinggi
apabila dibatasi oleh lapisan (barrier) gypsum.
Gambar 5. Posisi Cikoneng - Cibitung dalam konsep sulfidasi hidrotermal (Corbett and Leach, 1996)
Menurut Corbett dan Leach (1996), ada enam faktor yang mempengaruhi proses alterasi
hidrotermal, yaitu :
1. Suhu
2. Komposisi kimiawi fluida
3. Konsentrasi/kepekatan
4. Komposisi batuan induk
5. Lama aktifitas atau derajat kesetimbangan
6. Permeabilitas
Temperatur dan pH fluida merupakan dua faktor yang paling utama yang mempengaruhi
mineralogi sistem hidrotermal (Corbett and Leach, 1996) .
82
Tabel 1. Pembagian tipe Alterasi (Corbett and Leach, 1996)
Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100˚C-500˚C) hasil dari sisa
pendinginan magma, yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan
membentuk mineral-mineral tertentu, terbentuk pada fase akhir suatu siklus pembekuan
magma.
Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya (host rock) menyebabkan
terubahnya mineral-mineral penyusun batuan samping dan membentuk mineral alterasi
(ubahan) dan terendapkan pada suatu tempat dan terbentuklah proses mineralisasi.
83
Gambar 6. Sistem volkanik hidrotermal (Hedenquist, 1997 dalam Negel, 2008)
Tipe epitermal terbentuk di lingkungan dangkal dengan temperatur <300˚C, dan fluida
hidrotermal diinterpretasikan bersumber dari fluida meteorik. Endapan tipe ini merupakan
kelanjutan dari sistem hidrotermal tipe porfiri, dan terbentuk pada busur magmatik bagian
dalam di lingkungan gunungapi kalk-alkali atau batuan dasar sedimen (Corbett dan Leach,
1996).
Fluida epitermal biasanya temperaturnya berkurang bersamaan dengan berkurangnya
kedalaman dan bertambahnya jarak dari saluran fluida. Paleoisoterm dan saluran fluida dapat
diketahui dengan memetakan distribusi mineral alterasi hidrotermal yang terdapat di dalam
suatu urat (vein) dan batuan induknya (parrent rock).
Dalam hal ini, geotermometer dari mineral alterasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat
ubahan suatu sistem; daerah yang mengindikasikan paleotemperatur yang rendah adalah baik,
sementara indikasi paleotemperatur yang tinggi menunjukkan terbatasnya kemenerusan bijih
epitermal ke arah kedalaman (Hedenquist, 1997).
Pada daerah Cikoneng Timur di bawah kedalaman 1.000 mRL terlihat adanya anomali
terbentuknya logam perak yang jauh lebih tinggi dari zona mineralisasi yang terbentuk di
atasnya.
Dengan munculnya klorit dan tersebar meratanya pirit di kedalaman tersebut, ini merupakan
langkah awal untuk proses perburuan porfiri Jawa Selatan.
Pada gambar 7 diperlihatkan bahwa trend mineralisasi berkembang masih Barat Daya –
Tenggara, sehingga pemboran permukaan akan dilanjutkan dengan mengarah ke Barat laut –
Tenggara (NW-SE) yaitu menuju ke daerah Cibitung Selatan dan Mastar.
84
Tabel 2. Himpunan Mineral Alterasi Sistem Hidrotermal (Corbett and Leach, 1996)
Ada lebih dari 15 lokasi rencana pengembangan eksplorasi PT. Cibaliung Sumberdaya.
Diharapkan hasil dari pemboran eksplorasi ini selain menambah lebih dari 5% cadangan yang
ada, juga guna menjawab tantangan penemuan mineral bijih sulfida tinggi di Pulau Jawa.
Deposit emas epitermal sulfidasi rendah terbentuk dari larutan hidrotermal yang naik melalui
zona rekah dan bereaksi dengan batuan samping dan air meteorik sehingga pH nya terus
berkurang hingga mendekati netral. Sistem epitermal sulfidasi rendah ini dicirikan oleh sulfur
yang berkurang dan membentuk H2S (Corbett dan Leach, 1996).
85
Gambar 7. Daerah Prospek Eksplorasi PT. Cibaliung Sumberdaya
Pola tektonik dari epitermal sulfidasi rendah umumnya terdapat pada jalur volcanic island,
busur magmatik pada batas lempeng dan continental volcanic dengan regime kemenerusan
struktur dan strike-slip.
Karakteristik sistem endapan epitermal tipe sulfidasi rendah menempati host rock batuan
vulkanik yang bersifat asam sampai menengah. Kontrol struktur berupa sesar atau zona
rekahan yang tertutup oleh batuan vulkanik. Kedalaman zona endapan atau formasi batuan
sekitar 0 - 1.000 meter dengan temperatur formasi 50˚C-300˚C. Karakter fluida yang
mengontrol bersifat salinitas rendah, pH mendekati netral, kandungan sulfida dan mineral
logam dasar (base metal) rendah.
Gambar 8 memperlihatkan zona distribusi mineral bijih berdasarkan besaran kadar Au-nya.
Zona ini merupakan suatu tubuh bijih yang berarah NW-SE, penyebaran dari Timur ke Barat,
bergradasi baik secara sederhana menerus maupun terpotong-potong oleh sesar strike slip
fault yang berkembang di sepanjang tubuh bijih.
86
Tabel 2. Jenis mineral ubahan yang mengindikasikan tinggi-rendahnya temperatur yang
membentuk zona mineralisasi ubahan (Hedenquist, 1997; Corbett dan Leach, 1996)
Suhu yang meningkat akan mempengaruhi stabilitas dan akan membentuk mineral yang lebih
sedikit kandungan airnya. Ini khususnya terlihat pada mineralogi silikat-lempung yang pada
temperatur yang lebih tinggi akan membentuk urutan mineral-mineral sebagai berikut :
smektit, smektit-illit, illit-smektit, illit dan mika putih.
Suhu juga mempengaruhi tingkat kristalinitas suatu mineral. Temperatur yang lebih tinggi
akan membentuk fasa yang lebih kristalin. Kaolin dengan bentuk tidak teratur terbentuk pada
suhu rendah, pada suhu yang tinggi akan terbentuk Dikit dengan bentuk kristal yang bagus.
87
Gambar 8. Tipikal Penyebaran Mineral Bijih di Kompleks Cibaliung
KESIMPULAN
Tambang Emas Cibaliung merupakan tipe mineralisasi vein, termasuk ke dalam low
sulfidation adularia-sericite, dengan mineral ubahan yang terbentuk mulai dari ilit, smektit,
klorit, adularia yang mengikuti pola struktur utamanya dalam kelompok argilik (highly
altered breccia, clay).
Dalam proses perjalanannya, mengidentifikasi lebih rinci tentang jenis mineral ubahannya,
merupakan suatu tantangan tersendiri dibutuhkan untuk mencapai target yang telah
dicanangkan.
88
DAFTAR PUSTAKA
Arnando, D., 2013, Pemodelan Bawah Permukaan Zona Mineralisasi Sulfida Prospek Logam
(Emas) Menggunakan Data Induksi Polarisasi Blok “Z” Kecamatan Cibaliung, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten, Thesis, UPN Veteran Jogyakarta.
Corbett G. J., and Leach T. M., 1996, SW Pacific Gold-Copper System (Structure, Alteration,
and Mineralization), A Workshop Presented at the Pacrim Conference Aukland, New
Zealand.
Hedenquist, J. W,. 1996. Epithermal Gold Deposit: Styles, Characteristics, and Exploration.
Resources Geology Special Publication Number 1, hal. 165-182
Kurniawan, A. dan Hartono, 2010, Karakteristik Mineralisasi Permukaan Vein Cikoneng
Daerah Cibaliung – Banten, Proceedings PIT IAGI Lombok 2010 The 39th IAGI Annual
Convention and Exhibition
Sudana, D. dan Santosa, S.,1992, Geology of the Cikarang Quadrangle, Java: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 13 pp.
89
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Deep Mill Level Zone (DMLZ) of East Ertsberg Skarn System (EESS),
Papua; Geology Factors of Disking Core in DMLZ Mine
ABSTRACT
The East Ertsberg Skarn System (EESS) is located in the Ertsberg Mining District, Papua,
Indonesia. The EESS is a sub-vertical zone of Cu-Au mineralization hosted in both diorite
(vein-style mineralization) and skarn (disseminated and vein style mineralization). The Deep
Mill Level Zone (DMLZ) is a mining zone in the loauthorsr part of EESS that product copper
and gold. The DMLZ deposit is located below the Deep Ore Zone (DOZ) deposit betauthorsen
the 3125m to 2590m elevation, measures roughly 1,200m in length and is betauthorsen 350 and
500m in width. DMLZ Mine planned start mined on Q3-2015, being mined at an ore extraction
rate about 60,000 t/d by the block caving mine method.Percentage Cu = 0.87%; Au=0.71 g/t;
Ag=4.36 g/t
Mineralization and associated hydrothermal alteration in the DMLZ is hosted and enclosed by
a large stock (the Main Ertsberg Intrusion) that is barren on all sides and above the DMLZ. Late
porphyry dikes that cut through the Main Ertsberg Intrusion are spatially associated with the
center of the DMLZ hydrothermal system.
Ongoing delineation drilling asses the DMLZ Mine reserve present many disking core in both
of diorite and sedimentary rock-hosted skarn. Literatures said that the disking core is a
phenomenon in which the drilled core disks/breaks with uniform shape due to the transient
stress changes and stress release during drilling. In other words, the disking core is influenced
by only the drilling activity. Based on our research, besides the drilling activity, the geology
factors likes composition/mineralogy, lithology contact, alteration contact, grain size and fault
are also create local stress and contribute for the disking core forming.
Rock composition/mineralogy shows layer of rock with dominant hardness mineral >4 Mohs
Scale (hard minerals) and rock with hardness mineral < 4 Mohs Scale (soft minerals) more than
10% has contribute with the disking core forming.Disking core also observed near the contact
of lithology and/or alteration with supported by layer of different hardness mineral
composition/mineralogy and/or different grain size. Fault with clay gouge characteristic will
increase soft minerals in the rock, create layer of different hardness mineral
composition/mineralogy and contribute with the disking core forming.
90
INTRODUCTION
The East Ertsberg Skarn System (EESS) is located in the Ertsberg Mining District, Papua,
Indonesia. As a part of the Ertsberg Mining District, EESS lies within 100 km2 of PT Freeport
Indonesia Contract of Work A (COW A) where the sub-vertical zone of Cu-Au mineralized
zone formed in diorite and sedimentary rock-hosted skarn (Figure 1). Cu-Au mineralization in
diorite of Ertsberg Intrusion (Te) is dominated by stockwork style mineralization with
endoskarn replacement mineralization in some places. The skarn orebody are associated with
intrusive rocks which mainly developed in the New Guinea Limestone Groups and most
particularly within the dolostones of the Waripi Formation (Tw), but also within the Cretaceous
Upper Kembelangan Unit likes shale of the Ekmai Shale Member (Kkeh), limestone of the
Ekmai Limestone Member (Kkel) and sandstone of the Ekmai Sandstone Member (Kkes).
EESS consist of several parts (Figure 2) which the first part being mined is Gunung Bijih Timur
(GBT) Surface Open Pit Mine. The GBT Mine is the upper part reserve betauthorsen 4000 and
3626 m elevations with production rate 28.000 t/d. After the mine life of GBT done, PT Freeport
Indonesia started to mine the EESS with different method called underground block caving
system. This system mainly focused on the gravity flow material.
1. Intermediate Ore Zone (IOZ) Underground Block Caving Mine is the middle part reserve
betauthorsen 3626 and 3472 m elevations, with mine life from 1994 to 2003 and
production rate 10.000 – 26.000 t/d
2. Deep Ore Zone (DOZ) Underground Block Caving Mine is the middle part reserve
betauthorsen 3626 and 3126 m elevations, with mine life from 2000 to 2020 and
production rate up to 60.000 – 80.000 t/d by the end of 2009 until now. The DOZ Mine
91
has produced about 140 Mt of ore with percentage Cu = 1.06% and Au=0.81 g/t. In 2006,
due to similar level and practice mining reason, PT Freeport Indonesia decided to combine
the pre-2006 DOZ reserve and the Ertsberg Stockwork Zone (ESZ) reserve into the DOZ
Mine reserve.
3. Deep Mill Level Zone (DMLZ) Underground Block Caving Mine is the loauthorsr part
reserve betauthorsen 3125 and 2590 m elevations, with will start to production in the end
of Q3-2015 to 2043 and production rate target 60.000 t/d. The DMLZ Mine orebody will
extract 472 Mt of ore (with percentage Cu = 0.87%; Au=0.71 g/t; Ag=4.36 g/t) produced
from diorite-hosted stockwork (vein-style mineralization) and sediment rock-hosted skarn
(disseminated and vein style mineralization).
The DMLZ Mine orebody geologically resembles of the DOZ Mine and other predecessor
mines in the EESS, as the DOZ Mine reserve rock types extend down into the DMLZ Mine
reserve. Cu mineralization occurs mainly as chalcopyrite and bornite, with lesser amounts of
covellite, digenite and chalcocite, along with the Cu-barren sulphides, pyrite and marcasite. The
host rock comprises nine different types, with the dominant host rocks including diorite,
magnetite (and magnetite-forsterite), forsterite, undifferentiated skarn and marble.
Ongoing delineation drilling asses the DMLZ Mine reserve present many disking core in both
of diorite-hosted stockwork and sedimentary rock-hosted skarn. Relation of the disking core
with the underground development mining activity that authors found in the DMLZ Mine
indicate locally high stress area (Figure 3).
92
Figure 3. Core Disking in DMLZ Mine (Drill Hole DMLZ05-04 and AB2-04-01)
In order to investigate the failure mechanisms of core disking, Jaeger and Cook (1963)
conducted experiments on three types of rock: dolerite, marble and sand quartzite. The
experiments, in which hydrostatic pressure was applied to a portion of the length of a circular
cylinder with free ends, had been repeated for jacketed and unjacketed rock materials. The
failure took place when the applied stress is greater than the tensile strength of the material. The
surface of failure was plane and perpendicular to the axis and the failure was violent. They
believed that tensile fracture occurred.
Obert and Stephenson (1965) set up a system which allowed drilling rock cylinders under tri-
axial stress condition. They tested six different rock types (granite, marble, et.al), by
summarizing the curves obtained from experiments, they found that the failure always initialed
at the outer periphery of core. They believed that disking was completely results from shear
stress. Durelli (1968) and Hast (1979) also believed that core disking was a rock failure
phenomenon induced by shear stress. Haozhe, Pengxian, Kaifeng and Ang (2013) concluded
rock core disking is the failure characteristics differ due to different geological conditions and
drilling technology.
Based on the available drilling data intersect in the DMLZ Mine from 2475 to 2600 m
elevations, total of 279 disking core data observed from 66 drill holes. From the observation
showing that the disking core occured in diorite-hosted stockwork and sediment rock-hosted
skarn.
Based on our research, drilling activity with up hole inclination create bigger stress than down
hole inclination that form the disking core. The up hole inclination will create bigger stress due
to law of gravity. Total of 53 drill holes form the disking core in up hole inclination and only
13 drill holes form the disking core in down hole inclination. Besides that, drilling activity at
initial depth also form the disking core. Total of 30 holes observe the disking core forming at
the initial depth (Figure 4).
93
Figure 4. (1) Photo of drill hole DMLZ06-05 showing disking core in diorite (Te); (2) Photo
of drill hole AB-05-01 showing disking core in dolostones (Tw)
Authors observed 279 disking core data from 66 drill holes in the Waripi Formation (New
Guinea Limestone Groups) with dolostones protolith (169 disking core data), Ertsberg Intrusion
with diorite protolith (95 disking core data), Ekmai Limestone Member (Cretaceous Upper
Kembelangan Unit) with limestone protolith (14 disking core data) and Ekmai Sandstone
Member (Cretaceous Upper Kembelangan Unit) with sandstone protolith (1 disking core data)
(Table 1).
Most of the disking core data distribution is formed in the sedimentary rock-hosted skarn, where
the hardness is less than diorite-hosted stockwork. Beside that, there is also heterogeneous of
alteration in disking core data distribution. Hardness of rock and heterogeneous of alteration
have correlation in process of the disking core forming.
94
COMPOSITION/MINERALOGY
Hardness of rock have relationship with composition/mineralogy of the rock. The harder rock
with dominantly hard mineral composition can be more resist from stress than the soft rock
(Table 2 and 3). The difference of rock composition/mineralogy between rock with dominant
soft mineral and rock with dominant hard mineral create a local stress zone for disking core
forming. Based on our research, total of 189 disking core data observed in layer of rock with
dominant hardness mineral > 4 Mohs scale (hard minerals) and rock with hardness mineral < 4
Mohs scale (soft minerals ≥ 10%).
Table 2. List of Soft Minerals Observed in Disking Core with Hardness <4
Table 3. List of Hard Minerals Observed in Disking Core with Hardness >4
Drill hole DMLZ07-04 showing disking core at 216.1 – 216.3m in diorite with potassic –
propylitic alteration. In this hole, composition/mineralogy of hard mineral of quartz in potassic
– propylitic alteration suddenly increase being dominant 95%, then being potassic – propylitic
alteration with composition/mineralogy of soft mineral 18.5% (increase biotite mineral) and
finally composition/mineralogy of hard mineral of quartz increase being dominant 95% again.
The disking core forming when composition/mineralogy of soft mineral changes from only ≤
95
5% into 18.5% (increase biotite mineral). Another evidence in drill hole TE05-15, showing
disking core at 541.3 – 541.8 m in exoskarn with magnetite skarn alteration. In this hole,
composition/mineralogy of soft mineral of chalcopyrite in magnetite skarn suddenly increase
being 40% which previously only ≤ 10%. The disking core forming when
composition/mineralogy of soft mineral changes from only ≤ 10% into 40% (increase
chalcopyrite mineral) (Figure 5).
Figure 5. (1) Disking core in drill hole DMLZ07-04 showing changing composition of soft
minerals from quartz dominant into quartz-biotite dominant; (2) Disking core in drill hole
TE05-15 showing influences by changing composition of soft mineral (chalcopyrite)
96
Figure 6. (1) Photo of drill hole TE04-28 showing disking core in finer grain size of exoskarn
near alteration contact between exoskarn and marbleized alterations; (2) Photo of drill hole
DMLZC07-02 showing disking core in finer grain size of exoskarn near lithology contact
between sedimentary rock-hosted exoskarn and diorite-hosted endoskarn
FAULT
Fault with clay gouge characteristic in the core has correlation with suddenly increasing
composition/mineralogy of soft mineral (hardness mineral < 4 Mohs scale) in a rock with
dominant hard mineral (hardness mineral > 4 Mohs scale). As mentioned before, the difference
of rock composition/mineralogy between rock with dominant hard mineral and rock with soft
mineral ≥ 10% create a local stress zone for the disking core forming. For example, drill hole
DMLZC07-02 showing disking core at 644.3 – 652.35m in finer grain size of diorite with
endoskarn alteration. Composition/mineralogy of soft mineral of clay suddenly increase and
being dominant ≥ 90% due to fault with clay gouge characteristic at 643 – 644.3m (Figure 7).
Figure 7. Photo of drill hole DMLZC07-02 showing core at 644.3 – 652.35m in fine grain
size of diorite near fault with clay gouge characteristic at 643 – 644.3m
97
CONCLUSIONS
Disking core formed in the Ertsberg Mining District is influenced by drilling activity stress
which come from drill hole inclination and the start up drilling. In addition of drilling activity,
geology factors also influence the disking core forming. Geological rock properties such as
composition/mineralogy between dominant hard mineral and soft mineral ≥ 10%,
lithology/alteration contact with supported finer grain size and fault with gouge characteristic
also create a local stress and influence disking core forming.
The difference between drilling activity related disking core and geological rock properties
related disking core can be observed during drift opening. The drilling activity related disking
core shows no indication of local stress in drift opening, in contrary with geological rock
properties related disking core which show local stress in drift opening (such as intense joint,
rock popping, etc.).
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to thank the management PT Freeport Indonesia especially Geoservices
Division for giving permission to publish this paper. The authors also like to thank DMLZ
Geologist for constructive supporting that improved quality of this paper.
REFERENCES
Durelli, A J, Obert, L and Parks, V J, 1968. Stress required to initiate core discing, in
Transaction SME, pp 241:269-276.
Freeport-McMoRan Copper & Gold, Inc., 2015. Feasibility study for the DMLZ mine,
Executive summary and report.
Jaeger, J C and Cook, N G W, 1963. Pinching off and discing of rocks, in Journal of
Geophysical Research, pp 68:1759-1765.
Haozhe, X, Pengxian, F, Kaifeng, J, and Ang, L, 2013. Reviews on the failure mechanism and
stress condition of rock core discing, in EJGE, pp 4211-4212.
Hast, N, 1979. Limits of stress measurements in the Earth’s crust, in Rock mechanic, pp 11:143-
150.
Obert, L and Stephenson, D E, 1965. Stress conditions under which core discing occurs, in
Society Mining Engineering Trans, pp 232:227-235.
This Minerals Ebook by Name, version 2005 (by Mr. Le Hong Tam)
98
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstraks
Penelitian ini dilakukan di Daerah Tojo, Sulawesi Tengah yang mempunyai potensi bijih besi
dengan jenis endapan berbentuk laterit dan primer. Satuan batuan terdiri atas Kompleks
Ultramafik dan Batuan Sedimen Formasi Bongka dan Endapan Aluvium. Litologi batuan pada
Kompleks Ultramafik terdiri atas gabro dan peridotit. Endapan bijih besi terdapat pada
Kompleks Ultramafik yang tersusun oleh mineral bijih kromit (FeO.Cr2O3), magnetit (Fe3O4),
hematit (Fe2O3) dan besi hidroksida (hydrous iron oxides). Karakteristik kimia bijih besi
mempunyai kandungan unsur Fe total berkisar 37,18% - 44,62%, Al2O3 12,31%-16,28%, MgO
1,08% - 3,34% dan CaO 0,05% - 0,34%, Ni 0,415% - 0,5898%, Cr 0,63% - 0,79% dan TiO2
0,33% - 0,62%. Berdasarkan karakteristik mineralogi dan kimia, pembentukan endapan bijih
besi diduga bersamaan dengan pembentukan bijih kromit selama proses early magmatic - late
magmatic dengan cara gravity setlling dalam cairan magma basa-ultrabasa, kemudian
endapan tersebut mengalami proses replacement dan oksidasi.
Kata Kunci : Bijih besi, Batuan mafik-ultramafik, mineralogi, komposisi kimia dan genesa bijih
besi
99
1. PENDAHULUAN
Ketergantungan industri hulu dan hilir baja nasional terhadap bahan baku impor, masih
sangat tinggi, padahal negeri ini menyimpan deposit sumber daya bijih besi yang sangat
besar.Kondisi ini akibat tidak berkembangnya teknologi dan industri pengolahan bijih besi di
dalam negeri. Proses pengolahan bijih besi sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan jenis
endapan bijih besi.
Bijih besi yang ekonomis umumnya berupa Magnetit (Fe3O4), Hematit (Fe2O3), Limonit
(Fe2O3.H2O) dan Siderit. (FeCO3). Endapan bijih besi dapat terbentuk secara primer maupun
sekunder. Endapan-endapan mineral yang muncul sesuai dengan bentuk asalnya dan umumnya
berasosiasi dengan aktivitas magma disebut endapan primer (hypogen). Jika mineral-mineral
primer telah terubah melalui pelapukan atau proses-proses luar (superficial processes) disebut
endapan sekunder (supergen). Pembentukan bijih besi primer terjadi oleh proses magmatik,
metasomatik kontak, replacement, dan volkanik; sedangkan endapan bijih besi sekunder
terbentuk oleh proses sedimentasi, residual, dan oksidasi(5). Jenis endapan bijih besi primer
didominasi magnetit dan hematit, sebagian berasosiasi dengan kromit – garnet, yang terdapat
pada batuan ultrabasa(10).
Jenis endapan bijih besi di Indonesia bervariasi, terdiri atas skarn (metasomatik kontak),
placer, laterit dan sedimen; di beberapa tempat terdapat tipe magmatik dan greisen (15). Setiap
jenis endapan tersebut memiliki karakteristik kimia dan mineralogi yang berbeda, karena
proses dan kondisi lingkungan pembentukannya berbeda.
Makalah ini memaparkan hasil penelitian karakteristik kimia dan mineralogi bijih besi
serta batuan induknya yang kemudian diintepretasi proses genesa (asal mula jadinya) dan
lingkungan pembentukannya. Lokasi endapan bijih besi yang diteliti terletak di Daerah
Tojo, Kabupaten Tojo Una Una, Propinsi Sulawesi Tengah.
100
Gambar 1. Peta geologi lembar Poso(11)
Kompleks Ultramafik ditutupi tidak selaras oleh batuan sedimen Formasi Bongka.
Formasi ini tersusun oleh perselingan batupasir, konglomerat, napal, batulempung dan lignit;
diendapkan pada lingkungan laut dangkal – payau, sebagian terendapkan di kipas bawah laut
selama Kala Miosen Tengah. Struktur geologi yang terbentuk merupakan hasil dari beberapa
fase tektonik yang berbeda, terdiri atas struktur lipatan, sesar mendatar, sesar naik dan sesar
normal. Struktur geologi tersebut mengontrol zona-zona mineralisasi.
101
platina, dan besi-titan, dan lapisan diatasnya diperkaya dengan mineral-mineral silikat yang
lebih ringan.
Proses metasomatik kontak terjadi pada temperatur yang tinggi (± 600ºC - 450ºC)
terutama pada kontak terobosannya antara magma yang masih cair dengan batuan di
sekitarnya(8). Suhu di daerah kontak akan berkisar 500-1.100oC. Akibat dari kontak ini, pengaruh
temperatur tanpa adanya perubahan kimia pada batuan sekitarnya akan terbentuk batuan
metamorf, sedangkan jika terjadi perubahan kimia oleh pertukaran dan penambahan ion akan
terbentuk endapan metasomatik(8). Mineral logam hasil kontak metasomatik sangat bervariasi
seperti magnetit dan hematit, serta mineral aditifnya yaitu spinel, wolframit, kasiterit,
arsenopirit, pirit, sfalerit, kalkopirit dan galena.
102
Gambar 3. Klasifikasi mineral ekonomis dan proses pembentukannya(5)
Endapan bijih besi sekunder terjadi karena proses pelapukan, transportasi dan
sedimentasi. Terbentuknya endapan ini dipengaruhi empat faktor yaitu komposisi dan struktur
batuan sumber, keadaan topografi, temperatur dan iklim, medium transportasi dan
waktu/lamanya proses(5). Proses eksternal atau eksogen pembentukan endapan mineral
yaitumeliputi: proses sedimentasi, konsentrasi residual, dan oksidasi. Batuan pembawa bijih
besi atau tubuh bijih yang muncul di permukaan atau dekat permukaan akan mengalami
pelapukan dan pelarutan oleh rembesan air dan udara. Rombakan hasil pelapukan batuan
pembawa bijih besi atau tubuh biji besi terbawa air permukaan kemudian mineral-mineral berat
yang lepas terkonsentrasi oleh proses sedimentasi membentuk endapan eluvial dan aluvial
plaser seperti endapan plaser Au, Pt, Ti, Cr, dan gemstone. Proses residual terjadi akibat
pelarutan dan pelindian (leaching) elemen-elemen tertentu pada batuan/tubuh bijih besi
meninggalkan konsentrasi elemen-elemen yang tidak mobile dalam material sisa, seperti
endapan laterit Ni, Fe, dan Al. Selama proses pelindian (leaching), elemen-elemen tertentu dari
bagian atas suatu endapan mineral bijih besi akan mengalami oksidasi sampai batas muka air
tanah, kemudian terjadi proses oksidasi dan pengayaan pada zona oksidasi menghasilkan
endapan bijih besi dengan konsentrasi yang lebih tinggi, contoh endapan limonit.
103
2.3. Metoda Penelitian
Pada penelitian ini secara umum metoda yang dilakukan meliputi review geologi
regional, survey geologi, analisa mineralogi dan komposisi kimia bijih besi dan batuan
pembawanya (host rock) di daerah penelitian untuk interpretasi genesa (asal mula
pembentukan) endapan bijih besi. Dalam survei geologi kegiatan yang dilakukan meliputi
pengamatan dan pemerian morfologi, jenis dan sebaran batuan, struktur geologi serta sampling
batuan yang terdapat di daerah penelitian.Pad analisa mineralogi dilakukan uji petrografi dan
mineragrafi, sedangkan pada analisa kimia dlakukan pengujian unsur Fe total, FeO, Fe2O3,
SiO2, Al2O3, CaO, MgO, TiO2, K2O, Na2O, P2O5, Cr,Ni,Pb dan H2O-.
Batuan yang tersingkap di daerah penelitian terdiri atas batuan ultramafik-mafik, batuan
sedimen, batuan bijih besi dan aluvial (Gambar 4). Singkapan batuan ultramafik – mafik
berwarna hitam-kelabu, kehijauan, tampak kilap kaca, kompak, keras, rekahannya terisi silika,
bagian yang lapuknya bersifat lepas-lepas, sebagian lunak dan mudah dipecah. Hasil analisa
petrografi pada 3 sampel menunjukkan bahwa jenis batuan ultramafik-mafik di daerah
penelitian terdiri atas gabro, gabroter serpentinisasi, dan peridotitter serpentinisasi. Mineral
utama dalam gabro terdiri atas olivin, piroksen, plagioklas, serpentin dan garnet (Foto 1). Pada
peridotitter serpentinisasi tersusun oleh olivin, piroksen, serpentin, mineral opaq (Foto 2).
104
Px
Ol
PLg Ol
Gnt
Px
Ol
Ol
Px
Foto 1. Sayatan gabro, tampak olivin Foto 2. Sayatan peridotit tersusun oleh
(Ol), piroksen (Px), plagioklas (Plg) mineral utama olivin (Ol), piroksen
sebagai penyusn utama, serta inklusi (Px), serpentin pada retakan olivin dan
garnet (Gnt). piroksen.
Pada mineral olivine dan piroksen sebagai mineral penyusun utama dalam gabro dan
peridotit, sebagian telah mengalami ubahan dengan hadirnya mineral serpentinit menggantikan
mineral tersebut. Batuan ultramafik-mafik merupakan batuan yang sangat tidak stabil dan
mudah lapuk, karena mineral olivine dan piroksen mudah bereaksi cepat dengan air pada
temperature tertentu akibat proses metamorfis atau hidrotermal, kemudian terubah menjadi
mineral serpentinit(16). Pada seluruh kristal mineral yang berukuran besar telah mengalami
deformasi fisik berupa retakan-retakan yang rapat membentuk tekstur mortar (hancuran kristal
mineral). Deformasi yang melibatkan proses mekanik demikian disebut deformasi kata klastik
akibat proses metamorfisme pada tekanan dan temperature tinggi atau metamorfisme
regional(1),(18). Batuan kompleks ofiolit berasal dari mantel atas yang telah mengalami tekanan
tinggi – sangat tinggi berkaitan dengan proses subduksi dan tumbukan selama Kapur Tengah-
Miosen(6). Kehadiran mineral garnet mengindikasikan batuan tersebut telah mengalami proses
metamorfisme. Mineral garnet terbentuk dalam fasies granulit pada kondisi temperature dan
tekanan tinggi, akibat proses metamofisme regional atau pada kontak sesar pada kedalaman
tertentu(6),(18). Hadirnya mineral opaq pada peridotite mengindikasikan terbentuknya mineral
logam pada batuan tersebut. Dalam batuan peridotiterusun oleh mineral olivin, ortopiroksen,
klinopiroksen, dan garnet; pada beberapa Kristal besar olivinnya mengandung sejumlah kecil
bijih ilmenit dan magnetit serta lamelae kromit(6).
Batuan sedimen yang tersingkap terdiri atas breksi, batulempung, batupasir dan
batugamping terumbu. Dalam breksi tersusun oleh beragam fragmen batuan seperti batuan
ultramafik, batuan beku dan bijih besi. Pada batupasir memperlihatkan struktur perlapisan dan
gradasi butiran. Jenis batuan tersebut termasuk kedalam Formasi Bongka yang diendapkan pada
lingkungan payau hingga laut dangkal dan sebagian dalam kipas bawah laut, pada Kala Miosen
Tengah. Formasi ini menutupi secara tidak selaras diatas komplek ultramafik(11). Satuan aluvial
merupakan hasil pengendapan sungai dan pantai, butirannnya berukuran lempung hingga
kerakal dengan komponen batuan beragam.
105
Struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian berupa sesar normal dan sesar
mendatar diperkirakan (Gambar 7). Sesar-sesar tersebut mempunyai arah baratlaut-tenggara
dan timurlaut-baratdaya. Indikasi adanya struktur tersebut adalah kelurusan gawir yang terlihat
di lapangan, kelurusan dan pembelokan alur sungai serta perubahan arah punggungan
perbukitan serta breksiasi. Struktur sesar normal mengontrol beberapa endapan bijih besi.
Pembentukan sesar normal diperkirakan akibat pengaruh aktivitas tektonik Miosen Tengah,
kemudian dipotong oleh sesar mendatar yang diduga terbentuk oleh aktivitas tektonik akhir
Miosen-Pliosen, berkaitan dengan tumbukan Banggai-Sula. Pembentukan struktur di lengan
timur Sulawesi karena pengaruh aktivitas tektonik regional yang berkaitan dengan tumbukan
platform Banggai-Sula kearah baratlaut dengan lengan barat dan timur Sulawesi selama Kapur
hingga Pliosen(11),(17).
Beberapa singkapan bijih besi yang diduga in situ terdapat di lereng dan lembah
perbukitan serta di zona struktur sesar. Umumnya bijih besi berwarna hitam, coklat kemerahan,
berat, teroksidasi, pada bongkahannya terdapat retakan dan rekahan, di beberapa lokasi sifat
kemagnetan tubuh bijih besi terdisiminasi, namun umumnya memperlihatkan bentuk masif
(Foto 4) dan kadang berbentuk layer-layer tipis. Fragmen bijih besi yang berukuran kerikil-
bongkah sebagian besar tertanam dalam matrik soil limonit bersama dengan pecahan batuan
ultramafik. Di beberapa tempat, rombakan fragmen bijih besi tersebar di atas permukaan soil
pada punggungan dan lereng perbukitan. Berdasarkan bentuk fragmennya yakni angular-sub-
angular, diduga fragmen batu bijih besi tersebut dekat dengan sumbernya.
Di daerah penelitian juga tersingkap endapan laterit di beberapa tempat pada lereng
perbukitan atau bekas kupasan. Kondisi fisik limonit memperlihatkan warna coklat – coklat
kemerahan, lepas-lepas, fragmen batuan ultramafik dan bijih besi tertanam dalam matriks,
teroksidasi, dengan ketebalan 1 meter – 3 meter ( Foto 5). Singkapanya memperlihatkan horizon
paling atas dari urutan vertikal endapan laterit.
106
Foto 5. Profil limonit tipis dengan fragmen
kerikil batuan ultramafik dan bijih magnetit
Hasil analisa mineragrafi pada 5 sampel bijih besi menunjukan komposisi mineral bijih
besi terdiri atas kromit (FeO.Cr2O3), magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3) dan besi hidroksida
(hydrous iron oxides). Pada setiap sampel bijih besi, bijih kromit selalu muncul meskipun tidak
dominan, isotrop, bentuk anhedral hingga subhedral, rounded, tersebar, sebagian nampak telah
digantikan oleh magnetit. Magnetit selalu muncul dominan, isotrop, bentuk granular berbutir
halus, subhedral hingga anhedral, beberapa nampak dengan bentuk yang masif berongga,
tersebar dan menggantikan kromit, maupun mengisi retakan bersama silikat, sebagian tampak
terubah ke hematit dan hidrous iron oxide (gutit).
Mag
Mag
Crt
Crt
Hem
107
0,63% - 0,79%. Kadar SiO2 rendah, kadar unsur MgO (1,08% - 3,34%) dan CaO (0,05% -
0,34%) signifikan, serta kandungan unsur K2O dan Na2O sangat rendah diperkirakan bijih besi
di daerah penelitian berasal dari magma induk yang berkomposisi basa-ultrabasa.
Tabel 1
Hasil analisa kimia bijih besi
Kandungan unsur-unsur pada ke 5 sampel bijih besi bervariasi, pada Gambar 6 terlihat
adanya korelasi negatif antara Fe total, Fe2O3 dan TiO dengan SiO2 . Terjadinya proses
pengayaan Fe dan Ti dengan penurunan SiO2 akan memerlukan tekanan tinggi; kondisi ini
kemungkinan terbentuk oleh diferensiasi magma yang berasal dari mantel pada dasar kerak
dibawah tekanan 10 kbar(9).
Selain kandungan SiO2 rendah, dalam bijih besi juga terkandung unsur MgO dan CaO
serta tidak atau sangat kecil mengandung unsur K2O dan Na2O mengindikasikan bijih besi
berasal dari magma induk yang berkomposisi basa-ultrabasa.
Bijih kromit (FeO.Cr2O3) selalu muncul pada sampel bijih besi, meskipun tidak dominan.
Kehadirannya berkorelasi dengan kandungan unsur Cr yang relatif rendah (0,63% – 0,79%).
Rendahnya kandungan bijih kromit kemungkinan karena proses replacement menjadi
magnetit.
108
Mineral bijih magnetit (Fe3O4) muncul dominan dalam setiap sampel, selain sebagai hasil
proses pergantian mineral bijih kromit, kemungkinan juga merupakan hasil pengendapan
langsung bersama kromit dari proses gravity setlling dalam cairan magma basa-ultrabasa.
Kehadiran magnetit yang dominan dibuktikan oleh kandungan FeO dan Fe2O3 yang tinggi
(Tabel 1). Selain itu terdapat korelasi yang cenderung positip antara Al2O3, MgO dan FeO
dengan TiO2 (Gambar 7) yang merupakan karakteristik bijih besi yang pembentukannya
berasosiasi dengan batuan ultrabasa (9).
109
4. KESIMPULAN
1. Satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian terdiri atas batuan ultramafik-mafik,
batuan sedimen dan aluvial. Satuan batuan ultramafik-mafik tersusun oleh jenis batuan
peridotit dan gabro; batuan sedimen tersusun oleh jenis batuan breksi, batulempung,
batupasir dan batugamping terumbu.
2. Endapan bijih besi di daerah penelitian terdapat dalam Satuan Batuan Ultramafik-mafik
yang disusun oleh gabro dan peridotit.
3. Bijih besi berkomposisi mineral bijih kromit, magnetit, dan hematit, dengan kadar Fe dalam
bijih besi berkisar 37,18% - 44,62% dan Cr berkisar 0,63% - 0,79%.
4. Berdasarkan karakteristik mineralogi dan kimia, pembentukan endapan bijih besi diduga
bersamaan dengan pembentukan bijih kromit selama proses early magmatic - late
magmatic dengan cara gravity setlling dalam cairan magma basa-ultrabasa, kemudian
endapan tersebut mengalami proses replacement dan oksidasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Deer, W.A., Howie, R.A., & Zussman, J., 1992. An Introduction to the rock-forming
minerals (2nd ed). London : Longman.
2. Gross, G.A., Gower, C.F., &Lefebure, D.V., 1998. Magmatic Ti-Fe±Voxide
deposits.British Columbia Ministry of Employment and Investment, 1, 24J-1 - 24J-3.
http://www.unalmed.edu.co/rrodriguez/magmaticTi-Fe oxide deposits.htm
3. Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. U.S. Geol. Survey Prof. pp.
1078.
4. Hwang, S.L. et al., 2008. Hematite and magnetite precipitates in olivine from the Sulu
peridotite. American Mineralogist, 93, 1051-1060.
http://www.earth.sinica.edu.tw/~epma/papers/2008 /Hwang-AmMin-93.pdf
5. Jensen, M., & Bateman, A.M., 1981. Economic Mineral Deposits. Canada :Jhon Wiley
and Sons Inc.
6. Kadarusman, A., & Parkinson, C.D., 2000. Petrology and P-T evolution of garnet
peridotites from Central Sulawesi. Journal Metamorphic Geology,18, 193-209.
7. Katili, J.A., 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia.
Tectonophysics, 45, 289-322.
8. Mondal, S.K., 2008. Orthomagmatic ore deposites related to ultramafic-mafic rocks.
Journal of the Geological Society of India, 72, 583-594. http://sisirgeology.
googlepages.com/contents.pdf
9. Pang, K.N., Zhou, M.F., Lindsley, D., Zhao, D., &Malpas, J., 2007.Origin of Fe–Ti
oxide ores in mafic intrusions. Evidence from the Panzhihua Intrusion, SW China.
Journal of Petrology, 10, 1 – 26.http://earthsci.org/mineral
10. Pardiarto, B., & Widodo, W., 2007. Genesa besi dan alumina laterit. Kelompok Kerja
Mineral. Pusat Sumber Daya Geologi Bul.,3,14-24.
11. Simandjuntak, T.O., Surono, & Supandjono, J.B., 1997. Peta geologi lembar Poso,
Sulawesi. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
12. Sudradjat, M.D.,1987. Geologi Ekonomi. Jurusan Geologi. ITB. Bandung :
Laboratorium Geologi Ekonomi.
110
13. Sukamto, R., &Simandjuntak, T.O., 1983. Tectonic relationship between geologic
provinces of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai-Sula in the light of
sedimentological aspects.IGRDC Bull 7, 1-12.
14. Surono&Sukarna, D., 1995. The Eastern Sulawesi Ophiolite Belt, Eastern Indonesia. A
review of it's origin with special reference to the Kendari Area. Journal of Geology and
Mineral Resources, 46, 8-16.
15. Sutisna, D.T., 1995. Tinjauanumumpotensidanpemanfaatancebakanbijihbesi di
Indonesia. KelompokKerja Mineral.PusatSumberDayaGeologi Bul., 3, 1-13
16. Tanner, U., Henrik., S., Emil, M., & Sonmez., S.,1995. Genesis of the Divrigi iron ore
deposits. Turkey: Mineral Resources Bull., 117, 17-28. http://www.mta.gov.tr
/v2.0/eng/dergi_pdf/117/3.pdf
17. Villeneuve, M., Gunawan,W., Cornee J.J, & Vidal, O., 2001. Geology of the Central
Sulawesi Belt (Eastern Indonesian): constraints for geodynamic model. Paris:
International Journal Earth Science, 91, 524-537.
18. Williams, H., Turner, F.J., & Gilbert, C.M., 1954. Petrography, An introduction to the
study of rocks in the sections. San Francisco : W.H. Freeman and company.
111
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) memiliki 5
(lima) wilayah IUP Operasi Produksi yaitu Tambang Air Laya (±7.621 Ha), Banko Barat
(±4.500 Ha), Muara Tiga Besar (±3.300 Ha), Banko Tengah Blok Barat (±2.423 Ha) dan Banko
Tengah Blok Timur (±22.937 Ha) dengan luas total : ±40.781 Ha. Ke-5 IUP Operasi Produksi
tersebut di atas seluruhnya merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Bagian Selatan dengan
Formasi Pembawa Batubara (coal bearing measured formation) utama yaitu Formasi Muara
Enim berumur Miosen yang terbagi menjadi 4 Sub Member (tua ke muda) yaitu M4, M3, M2
dan M1. Saat ini yang PTBA UPTE hanya berfokus pada ekstraksi atau penambangan secara
tambang terbuka (open pit) untuk Sub Member M-2 yang terdiri dari 3 seam batubara (coal
seam) utama yaitu A/Mangus, B/Suban dan C/Petai. Adapun untuk Sub Member M-1 yang
memiliki 2 seam batubara yaitu seam D (Merapi) dan E (Keladi) belum direncanakan untuk
dilakukan penambangan karena data eksplorasi belum mencukupi (suitable) untuk dilakukan
pembuatan desain tambang yang berorientasi ke arah tambang bawah tanah (underground
mine).
Wilayah IUP Operasi Produksi (IUP) Tambang Air Laya saat ini merupakan daerah
tambang terbuka PTBA UPTE yang memiliki nilai keekonomian yang paling tinggi
dikarenakan terdapatnya potensi sumberdaya dan cadangan batubara dengan rentang kualitas
mulai dari Sub Bituminus hingga Semi Antrasit (nilai CV, adb : 6.300 s/d > 8.000 Kkal/kg).
Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh atau faktor non sedimentasi berupa intrusi (sill and
dyke).
112
Dengan optimasi sumberdaya dan cadangan batubara di wilayah IUP Operasi Produksi
Tambang Air Laya melalui pengelolaan pekerjaan eksplorasi untuk rencana pengembangan
operasi tambang bawah tanah (underground mine), maka diharapkan pada masa yang akan
datang terdapat penambahan produksi batubara dalam kerangka ketahanan energi nasional yang
berkelanjutan danmendukung keberlanjutan konservasi sumberdaya energi (UU No. 30 Tahun
2007).
LATAR BELAKANG
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. yang merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan batubara dari tahun ke tahun berupaya
meningkatkan produksi dan penjualan batubara baik ditujukanuntuk kebutuhan dalam
negeri/domestik (utamanya untuk PLTU/Domestic Market Obligation) maupun permintaan
dari luar negeri (ekspor). Salah satu aspek pekerjaan yang harus dilakukan untuk mendukung
ketersediaan cadangan batubara dalam nilai yang pasti (certainty) baik dari sisi volume/tonase
maupun kualitas adalah aktivitas eksplorasi.Pekerjaan eksplorasi pengembangan utamanya
kegiatan pemboran yang dilaksanakan di wilayah IUP Operasi Produksi PT. Bukit Asam
(Persero) Tbk. Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) saat ini terus dilakukan secara
berkesinambungan untuk mengoptimalkan perolehan sumberdaya batubara (coal resources)
baik yang ditujukan untuk penambangan secara tambang terbuka (open pit) maupun yang
menggunakan metode tambang bawah tanah (underground mine). Hal ini tentunya sejalan
dengan kebijakan Pemerintah dalam hal kedaulatan sumberdaya alam diantaranya batubara
(energi fosil yang tidak dapat diperbaharui/unrenewable) dalam kerangka untuk menjaga
ketahanan energi nasional melalui optimalisasi potensi endapan batubara.
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) memiliki 5
(lima) wilayah IUP Operasi Produksi (Gambar1)yaitu Tambang Air Laya (±7.621 Ha), Banko
Barat (±4.500 Ha), Muara Tiga Besar (±3.300 Ha), Banko Tengah Blok Barat (±2.423 Ha) dan
Banko Tengah Blok Timur (±22.937 Ha) dengan luas total : ±40.781 Ha. Ke-5 IUP Operasi
Produksi tersebut di atas seluruhnya merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Bagian Selatan
dengan Formasi Pembawa Batubara (coal bearing measured formation) utama yaitu Formasi
Muara Enim berumur Miosen yang terbagi menjadi 4 Sub Member (tua ke muda) yaitu M4,
M3, M2 dan M1. Saat ini yang PTBA UPTE utamanya di IUP Operasi Produksi Tambang Air
Laya (TAL) sementara hanya berfokus pada ekstraksi atau penambangan secara tambang
terbuka (open pit) untuk Sub Member M2 yang terdiri dari 3 seam batubara (coal seam) utama
yaitu Seam A/Mangus, Seam B/Suban dan Seam C/Petai. Adapun untuk Sub Member M1 yang
merupakan Sub_Member paling bawah dan sebagai target kegiatan eksplorasi pengembangan
(pemboran) memiliki 2 seam batubara yaitu seam D (Merapi) dan E (Keladi) dimana dari sisi
target kedalaman perolehan seam batubara dari permukaan lebih layak diperuntukkan untuk
rencana penambangan secara tambang bawah tanah.
113
TUJUAN
Pelaksanaan pekerjaan eksplorasi pengembangan lanjutanyang operasionalnya dilakukan
oleh Pihak III direncanakansebanyak 27 titik bor ditujukan untuk mendapatkan data seam D
(Merapi) dan E (Keladi)di wilayah IUP Operasi Produksi Tambang Air Laya (TAL).
Pelaksanaannya dimulai padabulan Juli 2014 (setelah sebelumnya pada Tahun 2007 telah
dilakukan sebanyak 7 titik bor di daerah In Pit)dan evaluasi geologi terhadap perolehan data
pemboran (inti bor/core) digunakan untuk mendapatkan besaran sumberdaya (tereka/inferred,
tertunjuk/indicated dan terukur/measured) dan cadangan batubara (terkira/probable dan
terbukti/proved), sehingga dapat dijadikan dasar atau acuan untuk pembuatan Pre Studi
Kelayakan penambangan dengan menggunakan metode tambang bawah tanah (underground
mine).
Kejelasan :
1. Muara Tiga Besar (3.300 Ha)
2 2. Tambang Air Laya (7.621 Ha)
1 TAL 3. Banko Barat (4.500 Ha)
5 4. Banko Tengah Blok A (2.423 Ha)
3 5. Bank Tengah Blok B (22.937 Ha)
5
4
Gambar 1Peta IUP Operasi Produksi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. UPTE
A. Struktur Geologi
Struktur geologi yang terbentuk pada endapan batubara di Tambang Air Laya secara umum
menyerupai dome ellipsoidal yang memiliki kemiringan (dipping)landai (gentle) dengan
sumbu berarah relatif timurlaut-baratdaya. Dome ellipsoidal tersebut secara genesa
dipengaruhi oleh terbentuknya intrusi (sill and dyke) batuan beku andesit dan secara langsung
menyebabkan terjadinya peningkatan kualitas (nilai panas/kalor) batubara (hingga semi
antrasit) di sekitar terbentuknya tubuh intrusi andesit.
Suatu seri struktur lipatan berupa antiklin yang memiliki kemiringan terjal (steep) dan
sinklin dengan kemiringan landai (gentle) dengan arah sumbu lipatan dominan timur-barat
yang mempengaruhi endapan batubara di bagian barat dan batas/limit bagian utara dari
Tambang Air Laya dibentuk oleh struktur lipatan utama (a major fold structure) yang dikenal
sebagai Antiklin Klawas. Ke arah utara dari antiklin Klawas terdapat bekas tambang (mined
out) kecil yang disebut sebagai tambang Klawas Tengah Utara.
114
Di bagian selatan dari konsesi TAL, tersingkap seri batuan intrusi andesit yang membentuk
3 (tiga) bukit utama yaitu Bukit Asam, Bukit Munggu dan Bukit Tapuan.Intrusi andesit dalam
bentuk sill teramati pada interburden seam batubara B2 dan C yang merupakan bagian dari
daerah Suban (selatan dari Tambang Air Laya).Kemiringan lapisan batuan-batubara pada sisi
daerah intrusi tersebut sangat mempengaruhi bentuk dari batubara di daerah ini.
Sejumlah sesar dengan arah umum relatif utara-selatan juga teramati di Tambang Air
Laya. Bagian timur TAL dibatasi oleh adanya zona sesar normal utama denganbagian yang
turun (downthrows) hingga 50 meter adalah sisi timur.Sesar-sesar yang terdapat di Tambang
Air Laya biasanya berbentuk minor dengan pergeseran (displacement) beberapa meter dan
tidak mempengaruhi atau menjadi kendala terhadap operasional tambang.
TAL
115
Seam batubara C berada kira-kira 36 meter di bawah seam B2 dengan tebal rata-rata 7 meter.
Interburben seam B2-C terdiri dari perselingan batulanau dan batupasir lanauan.
M4
M3
Seam Batubara
TAL Open Pit
M2
Seam Batubara
Rencana TAL
U/G M1
3-8
C.Kualitas Batubara
Kualitas batubara di Tambang Air Laya memiliki rentang kualitas yang lebar pada semua
seam yang dipengaruhi oleh adanya pembentukan intrusi andesit. Proses operasional
penambangan secara selektif saat ini dilakukan dengan menggunakan metode truck and shovel
dan menghasilkan produk batubara sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Kualitas dan tingkatan (rank) batubara yang lebih tinggi terjadi pada 2 (dua) daerah yang
berlainan yaitu di bagian selatan dan tenggara dari Tambang Air Laya yang berdekatan dengan
intrusi andesit dan di bagian tengah dari struktur dome. Secara lateral terjadi peningkatan
distribusi rank batubara sejalan dengan bertambahnya kedalaman batubara.
Tabel 1 Kualitas batubara seam A1, A2, B1, B2, C Tambang Air Laya
116
I. KEGIATAN EKSPLORASI
Tahapan kegiatan eksplorasi geologi (pemboran) untuk pengembangan tambang bawah
tanah (underground mine) di Tambang Air Laya dengan sasaran seam batubara D (Merapi)
dan E (Keladi) mulai dilakukan pada Tahun 2006-2007 bekerjasama dengan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (TEKMIRA) dengan jumlah 7 (tujuh)
titik bor. Total kedalaman yang terealisasi yaitu 1.503, 80 meter dari rencana 1.750 meter
(Tabel 1).
BAL_01
: Titik Bor Tekmira (Th. 2006-2007)
Selanjutnya pada tahun 2012 PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. mencoba mengajukan
proposal kepada NEDO Jepang untuk melakukan penelitian bersama (joint study)
pengembangan tambang bawah tanah di Tambang Air Laya mulai dari tahapan kegiatan
eksplorasi (pemboran rencana 27 titik bor dengan total kedalaman 14.840 meter, logging
geofisika, seismik refleksi 3D, studi geoteknik dan geohidrologi) hingga pembuatan Studi
Kelayakan. Kerjasama penelitian ini perlu dilakukan karena disadari bahwa untuk
pengembangan tambang bawah tanah diperlukan investasi dan biaya yang tinggi (highly
cost).Akan tetapi proposal yang diajukan tidak mendapatkan respon yang positif dari pihak
NEDO Jepang.
Pada tahun 2014, PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. memutuskan untuk melakukan pemboran
eksplorasi untuk rencana pengembangan tambang bawah tanah TAL dengan biaya investasi
internal.Jumlah titik bor dan total kedalaman yang direncanakan sama dengan proposal yang
diajukan kepada NEDO Jepang yaitu sebanyak 27 titik dengan total kedalaman 14.840 meter
(Gambar 4). Daerah rencana pemboran eksplorasi untuk pengembangan tambang bawah tanah
TAL dibagi dalam 2 blok yaitu Blok Utara(MT-04-Mahayung-Klawas : 21 titik bor) dan Blok
Selatan (Basecamp-Town Site dan sekitarnya : 6 titik bor).
Implementasi pelaksanaan pemboran untuk pengembangan tambang bawah tanah TAL
telah dimulai pada bulan Juli 2014 dan hingga Akhir Agustus 2015 telah diselesaikan 10 titik
bor dengan total kedalaman ± 4.930 meter dan 2 titik bor sedang berjalan (in progress) (Tabel
3). Mesin bor yang digunakan sebanyak 2 unit dengan jenis Jacro 44 tipe Garuda yang
117
memiliki kapasitas atau kemampuan penetrasi kedalaman dengan menggunakan pipa bor
(rods) ukuran HQ s/d 800 meter.
Blok Utara
Kejelasan :
Klawas
: Titik Bor Rencana
Blok Selatan
Gambar 3Petarencana dan realisasi pemboran U/G Tambang Air Laya Th. 2014-2015
118
II. KUALITAS BATUBARA
Kualitas batubara untuk Seam D dan E diperoleh berdasarkan data hasil analisa atau uji
proksimat terhadap contoan komposit inti batubara dari 12 (duabelas) titik bor. Secara rerata,
kualitas seam D dan E temasuk ke dalam rank Bituminus (ASTM standard).
Untuk rincian nilai rerata kualitas batubara seam D (Merapi) dan E (Keladi) terlihat pada
Tabel 4. Secara umum nilai kualitas rerata tersebut utamanya untuk nilai CV (%, ar) dan TM
(%, ar) dapat dimasukkan dalam rentang mine brand AL-61 (mine brand Air Laya PTBA).
Tabel 4Nilai reratakualitas seam D &seam E IUP OP TAL
Parameter Seam D Seam E
TM (%, ar) 16.85 16.53
IM (%, ar) 8.41 8.31
Ash (%, ar) 4.89 4.25
VM (%, ar) 32.96 32.18
FC (%, ar) 44.58 45.04
CV (Kkal/kg, ar) 6,129.83 6,203.91
CV (Kkal/kg, adb) 6,811.45 6,983.60
TS (%, ar) 1.35 0.93
SUMBERDAYA
BATUBARA
119
berdasarkan kondisi geologi, Tabel 5) dan parameter estimasi (minimum ketebalan untuk
tambang bawah tanah TAL: 2 meter dan in-situ density).
Tabel 5Jarak titik informasi menurut kondisi geologi (SNI 5015:2011, hal. 8)
Kondisi Sumberdaya
Kriteria
Geologi Tereka Tertunjuk Terukur
Sederhana Jarak Titik Informasi (m) 1000 < x ≤ 1500 500 < x ≤ 1000 x ≤ 500
Moderat Jarak Titik Informasi (m) 500 < x ≤ 1000 250 < x ≤ 500 x ≤ 250
Kompleks Jarak Titik Informasi (m) 200 < x ≤ 400 100 < x ≤ 200 x ≤ 100
Untuk valuasi ekonomis, asumsi yang digunakan adalah data empirik perhitungan HPP
mulut tambang di salah satu tambang bawah tanah PTBA, yaitu :
Seam D Seam E
Kejelasan :
: Daerah pengaruh sumberdaya tertunjuk : Daerah pengaruh sumberdaya tereka
120
CADANGAN BATUBARA
Estimasi cadangan batubara untuk tambang bawah tanah Tambang Air Laya (TAL)
didasarkan pada parameter dan pemahaman yang tercantum dalam Kode KCMI 2011 dan SNI
5015:2011.Pengertian cadangan batubara menurut SNI 5015:2011 (hal. 1-2) yaitu bagian dari
sumberdaya terukur dan tertunjuk yang dapat ditambang secara ekonomis.Istilah ‘dapat
ditambang secara ekonomis’ berarti bahwa ekstraksi dari cadangan batubara telah
menunjukkan layak ditambang didasarkan kepada asumsi finansial yang beralasan.Penentuan
tersebut harus sudah mempertimbangkan semua faktor-faktor yang berkaitan seperti metode
penambangan, ekonomi, pemasaran, legal, lingkungan, sosial dan peraturan
pemerintah.Penentuan ini harus dapat memperlihatkan bahwa pada saat laporan dibuat,
penambangan ekonomis dapat ditentukan secara memungkinkan (Gambar 6).
Estimasi cadangan batubara seam D dan E tambang bawah tanah Tambang Air Laya masih
merupakan dan belum sepenuhnya mengacu kepada SNI 5015:2011. Hal ini disebabkan dalam
estimasi cadangan batubara tersebut belum memasukkan faktor pengubah (modifying factors)
secara menyeluruh diantaranya aspek keekonomian, penambangan (data geohidrologi,
mekanika batuan) dan metalurgi (preparation plant).
Asumsi yang digunakan dalam estimasi cadangan hanyalah asumsi teknis desain tambang
Room and Pillar untuk seam D dan Long Wall Fully Mechanized Sub Level Caving (Soutirage)
untuk seam E. Ikhtisar estimasi cadangan seam D dan E terlihat pada Tabel 7.
121
Desain R & P seam D Desain L/W FM Sub Level Caving seam E
IV. KESIMPULAN
Optimasi potensi sumberdaya dan cadangan batubara di IUP Operasi Produksi TAL
melalui pekerjaan eksplorasi (pemboran, uji kualitas, logging geofisika, dll) terhadap sebaran
seam D dan E cenderung berorientasi untuk pengembangan tambang bawah tanah, dimana
untuk memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Kode KCMI (2011) dan SNI 5015:2011
secara utuh masih memerlukan tambahan data dan sejumlah penelitian penunjang.
Perlunya pemikiran yang lebih utuh dalam memperjelas parameter yang tertuang dalam
SNI 5015:2011untuk estimasi sumberdaya dan cadangan batubara yang berkolerasi dengan
kepentingan pengembangan tambang bawah tanah.
122
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
1. ABSTRAK
Saat ini, batubara digunakan sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik dan industri
terutama besi, keramik, pulp. Pasokan batubara untuk pembangkit listrik mengalami kenaikan
sebesar 10% per tahun selama periode 2003-2013. Pasokan batubara untuk industri pada
periode yang sama mengalami kenaikan rata-rata 4,2% per tahun. Di masa yang akan datang
kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik dan industri tentunya akan semakin
meningkat.(Indonesia Energy Outlook 2014)
Saat ini Indonesia lebih banyak mengekspor batubara daripada digunakan untuk
kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2014 ekspor batubara adalah sebesar 156.487.102,33 ton
sedangkan untuk pemakaian batubara nasional pada tahun 2014 adalah sebesar 95.550.000
tonton(Indonesia Energy Outlook 2014). Laju peningkatan ekspor batubara kemungkinan
semakin besar karena kurangnya kebijakan pemerintah dalam mengatur ekspor batubara yang
dapat membayahakan ketahanan energi nasional dalam skenario BaU (Business as Usual). Pada
skenario BaU pangsa pembangkit listrik tenaga uap (batubara) dipakai sebesar 62% dari total
87% pangsa jenis pembangkit energi fosil.
Pemerintah wajib mengoptimalkan penggunaan produksi batubara untuk pembangkit
listrik dan industri dalam negeri. Untuk itu, pemerintah perlu meninjau ulang peraturan dan
kebijakan untuk memberikan perlindungan produksi batubara demi ketahanan energi nasional.
2. LATAR BELAKANG
123
Saat ini batubara digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan sumber energi
thermal di industri. Pada masa mendatang, batubara diharapkan menjadi andalan sumber energi
Indonesia. Mengingat cadangan batubara nasional relatif besar dibandingkan minyak dan gas
bumi. Menurut Dewan Energi Nasional,dimasa mendatang batubara dapat juga dimanfaatkan
untuk memproduksi batubara cair untuk menggantikan BBM yang ketersediannya makin
terbatas dan harganya terus meningkat.
Berdasarkan skenario dasar (Outlook Energi Nasional 2014). Pasokan batubara 2013-
2050 akan meningkat rata-rata sebesar 6,2% per tahun dari 56 juta TOE(Tonnes Oil Equivalent)
pada tahun 2013 menjadi 528 juta TOE pada tahun 2050. Pasokan batubara masa mendatang
pada skenario BaU(Business as Usual) berangsur-angsur akan mengantikan minyak bumi
sehingga pangsa batubara diperkirakan akan meningkat dari 30% pada tahun 2013 menjadi 41%
pada tahun 2050. Dengan besarnya kebutuhan batubara dalam rencana skenario BaU,
kebutuhan batubara nasional direncanakan akan dipenuhi dari cadangan batubara nasional.
Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi batubara juga di ekspor. Pada
tahun 2014 ekspor batubara adalah sebesar 156.487.102,33 ton sedangkan untuk pemakaian
batubara nasional adalah sebesar 44.196.966,05 juta ton (Indonesia Energy Outlook 2014).
Permintaan batubara untuk ekspor akan terus meningkat dengan meningkatnya kebutuhan
energi di seluruh dunia. Laju peningkatan ekspor batubara kemungkinan semakin besar karena
kurangnya kebijakan pemerintah dalam mengatur ekspor batubara yang dapat membayahakan
ketahanan nasional dalam skenario BaU. Pada skenario BaU pangsa PLT Batubara dipakai
sebesar 62% dari total 87% pangsa jenis pembangkit energi fosil.
3. PEMBAHASAN KASUS
124
Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2901
K/30/MEM/2013, badan usaha pertambangan batubara diwajibkan untuk memenuhi persentase
minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri sebesar 25,90% dari perkiraan
produksi batubara pada tahun 2014 sebesar 368.899.464 ton.
Kenyataannya produksi batubara nasional yang terealisasikan pada tahun 2014 adalah
458 juta ton dan pemakaian dalam negeri sebesar 76 juta ton dan penjualan luar negeri sebesar
382 juta ton. Hal ini sangat tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 2901K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal
Penjualan Batubara untuk Kepentingan dalam Negri tahun 2014 yang seharusnya penjualan
untuk kebutuhan dalam negeri adalah 95,55 juta ton menjadi 76 juta ton. Hal tersebut tentu saja
mengecewakan karena jauh dari Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pada tanggal 4 Mei 2015, Indonesia mencanangkan Proyek Nasional 35.000 MW.
Kebutuhan listrik Indonesia tumbuh sebesar 7.000 MW setiap tahunnya. Saat ini total kapasitas
nasional sebesar 50.000 MW yang dibangun PLN dan swasta. Dalam lima tahun ke depan
dibutuhkan tambahan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW atau 7.000 MW setahun. Kepala
Divisi Batu bara PLN, Hilmi Najamuddin, mengatakan setiap kapasitas pembangkit 1 MW
membutuhkan batu bara sekitar 4.000 ton. Sehingga per tahunnya Indonesia kira-kira
membutuhkan 28 juta ton batubara untuk Proyek Nasional 35.000 MW
3.2 Keadaan Ideal
Penggunan batubara di masa yang akan datang harus di tingkatkan dan sesuai dengan
rencana Energy Outlook Dewan Energi Nasional yang membuat rencana penggunan batubara
pada bauran energi nasioanal pada tahun 2025 sebesar 31% atau 104,594 juta ton dan pada
tahun 2050 sebesar 28% atau 279,44 juta ton. Hal tersebut harus tetap didorong dan di evaluasi
setiap periode nya agar dapat menyesuaikan kebutuhan bangsa Indonesia.
Batubara juga digunakan dalam menyukseskan Proyek Nasional 35.000 MW. Proyek
Nasional 35.000 MW yang tertuang dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik) memproyeksikan pada tahun 2019 beban puncak adalah 50.531MW dan pada tahun
2024 beban puncak adalah 74.536 MW sehingga indonesia butuh tambahan kapasitas pada
2015-2024 sebesar 70.400 MW. Besarnya tambahan kapasitas berbanding lurus dengan
banyaknya batubara yang dibutuhkan. Diharapkan pemerintah mengutamakan kebutuhan
energi nasional dalam hal ini adalah percepatan pembangunan pembangkit listrik yang dapat
menunjang pertumbuhan ekonomi nasional pertahun nya.
Penggunaan batubara juga mulai diarahkan pada pemanfaatan sebagai energi baru
seperti pada Pembangkit Listrik Tenaga Gasifikasi Batubara (PLTGB). Saat ini telah ada
pembangkit listrik yang menggunakan teknologi tersebut di Indonesia dengan kapasitas 41
MW. Diharapkan kedepan penggunaan teknologi gasifikasi batubara pada pembangkit seperti
IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle) bisa diterapkan di Indonesia karena
efisiensinya yang tinggi dan ramah lingkungan. Sehingga bisa menekan ekspor batubara dan
memaksimalkan penggunanan batubara untuk kebutuhan domestik.
Penggunaan Gas Metana Batubara merupakan salah satu solusi pemanfaatan batubara
sebagai sumber energi ramah lingkungan pada PLTU. Gas Metana Batubara (GMB) sendiri
merupakan gas alam dengan dominasi gas metana hasil proses pembatubaraan yang
terperangkap dalam batubara. Gas metana memiliki kadar kalori yang paling rendah
dibandingkan gas alam lainnya, serta memiliki rantai atom tunggal sehingga menghasilkan gas
buang yang lebih sedikit atau lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan menggunakan
batubara konvensional dengan emisi berbahayanya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik untuk melaksanakan pembangunan sejumlah
pembangkit listrik berkapasitas total 35.000 MW dengan porsi 70% merupakan PLTU. Tentu
125
pembangunan pembangkit listrik ini merupakan momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia
untuk mengembangkan Gas Metana Batubara.
Batubara merupakan salah satu andalan pasokan energi nasional untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Batubara dapat mendukung ketahanan energi nasional, karena
cadangannya relatif besar dan pemanfaatannya merupakan salah satu cara mengurangi
ketergantungan terhadap BBM. Pemanfaatan batubara sejauh ini adalah sebagai bahan bakar
pada pembangkit listrik dan industri. Total produksi batubara di tahun 2003 sekitar 114 juta ton
dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 449 juta ton. Sebagian besar produksi batubara (73,2%
produksi batubara) digunakan sebagai komoditi ekspor. Indonesia menjadi pengekspor
batubara terbesar di dunia meskipun cadangannya hanya sebesar 3% dari cadangan dunia.
Domestic Market Obligation adalah kebijakan mengenai kewajiban pemenuhan
pasokan energi khususnya batubara bagi kebutuhan dalam negeri/ domestik dengan
mewajibkan bagi badan usaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyerahkan
hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Regulasi yang mengatur mengenai
kebijakan Domestic Market Obligation yang telah ditetapkan oleh Pemerintah antara lain :
A. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 34 Tahun 2009 tentang
pengutamaan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam
negeri.
B. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2901K/30/ MEM/2013
tentang Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal Penjualan Batubara untuk
kepentingan dalam negeri Tahun 2014.
Adanya Program 35.000 MW sebagaimana yang tertuang dalam RUPTL (Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2015-2024 membutuhkan tambahan kapasitas 7.000 MW
setiap tahunnya. Sehingga per tahunnya Indonesia kira-kira membutuhkan 28 juta ton batubara
untuk Proyek Nasional 35.000 MW.
4. KONSEPSI SOLUSI
126
mengalami kenaikan kebutuhan batubara tiap tahunnya sebesar 4,2% per tahun. Proyek
Nasional 35.000 MW juga membutuhkan batubara sekitar 28 juta ton per tahunnya.
Perencanaan kebutuhan batubara yang spesifik dengan mengedepankan survei yang
menyeluruh sehingga penggunaan batubara dalam negeri dapat optimal dan meminimalisir
ekspor agar dapat memperpanjang cadangan batubara Indonesia. Terlebih lagi penggunaan
batubara di masa yang akan datang terus di tingkatkan dalam bauran energi nasional maka di
perlukan kebijakan yang melindungi industri maupun cadangan batubara Indonesia.
5. KESIMPULAN
Di masa yang akan datang kebutuhan untuk pembangkit listrik dan industri tentunya
akan semakin besar dan kegunaan batubara tentunya semakin banyak. Dengan kebutuhan
batubara yang memiliki posisi yang strategis untuk masa depan Indonesia, pemerintah perlu
menindaklanjuti peraturan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
2901K/30/ MEM/2013 tentang Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal Penjualan
Batubara untuk kepentingan dalam negeri Tahun 2014. Perencanaan kebutuhan batubara yang
spesifik dengan mengedepankan survei yang menyeluruh sehingga penggunaan batubara dalam
negeri dapat optimal dan meminimalisir ekspor agar dapat memperpanjang cadangan batubara
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun. (2014). Dewan Energi Nasional (DEN), (2014). Outlook Energi Indonesia
2014.
Anonim. 2014. Dewan Energi Nasional (DEN), (2014). Ketahanan Energi Indonesia 2014.
Anonim. 2013. International Energy Agency (IEA), (2013). Southeast Asia Energy
Outlook, World Energy Outlook Special Report.
Anonim. 2013. International Energy Agency (IEA), (2013). Energy Security.
Anonim. 2014. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
(LEMIGAS), (2014). Gas Metana Batubara, Energi Baru Untuk Rakyat.
Anonim. 2014. Perusahaan Listrik Negara (PLN), (2015). 35.000 MW Untuk Indonesia.
Anonim. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral,
(2013). Handbook Energy and Economic Statistic Of Indonesia 2014.
Anonim. 2014. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2901
K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal Penjualan Batubara
Untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2014.
127
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Penurunan harga batubara yang sangat signifikan, sedikit banyak mengubah pola bisnis perusahaan
batubaraPT Bukit Asam (Persero) Tbk (“PTBA”). Jumlah sumber daya batubara dalam wilayah IUP
yang dipegang PTBA saat ini didominasi jenis Lignite sebesar 48.2 % dan Sub-Bituminous sebesar
49.1% (porsi lainnya sebesar 2.7 % adalah jenis Bituminous dan Antrasit), seiring jumlah cadangan
batubara (mineable reserve) Lignite sebesar 34.2 % dan Sub-Bituminous sebesar 62.8% (lainnya
sebesar 3 % merupakan Bituminous dan Antrasit). Sumberdaya batubara kualitas rendah (Low rank
coal) yang cukup banyak harus dapat dimanfaatkan secara tepat agar memberikan nilai tambah yang
maksimal. Oleh karena itu PTBA telah mempersiapkan strategi-strategi untuk memanfaatkan dan
mengoptimalkan pemanfaatan batubara kualitas rendah. PTBA telah membuat strategi progressive,
dengan melakukan konversi langsung batubara low rank menjadi energi listrik agar menambah
profitabilitas batubara jenis ini. PTBA telah melakukan perjanjian kerja sama dengan beberapa
perusahaan nasional membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Banjarsari
berkapasitas terkontrak 2 x 110 Mega Watt (MW) di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Strategi
bisnis dengan tingkat profitabilitas baik ini secara otomatis telah ikut menyokong kebutuhan energi
nasional. Pembangunan PLTU ini juga diharapkan dapat ikut berperan mendorong sektor-sektor
penggerak ekonomi nasional.
128
I. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang masih kekurangan pasokan listrik. Keadaan ini
menjadi pertimbangan pemerintah membuat suatu program pemerintah yang tertuang dalam
Kebijakan Energi Nasional 2003 – 2020, yaitu pemberdayaan daerah dalam pengembangan
energi yang kemudian Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mencanangkan Program
Provinsi sebagai Lumbung Energi nasional pada tahun 2004. Hal ini dapat menjadi salah satu
solusi untuk menanggulangi permasalahan krisis listrik. Jaringan listrik merupakan
infrastuktur yang sangat berperan penting dalam pendistribusian listrik bagi kebutuhan
aktivitas manusia dan sangat mempengaruhi perkembangan suatu daerah. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi nasional, begitu juga kebutuhan akan tenaga listrik di Indonesia juga
terus mengalami peningkatan. Rataan rasio elektrifikasi Indonesia sekitar 80% (target 97.2%),
sementara di Sumatera Selatan rasio elektrifikasi hanya tercapai 76.4%. Laju pertumbuhan
listrik Indonesia sebesar 8.8%/tahun untuk menopang pertumbuhan perekonomian 6.7%. Di
Indonesia ketersedian dan pendistribusian listrik merupakan tanggung jawab dan wewenang
PT. Perusahaan Listrik Nasional (Persero) (“PLN”), namun untuk melakukan percepatan
tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan restrukturisasi
ketenagalistrikan nasional dengan mengajak pihak investor dari manapun untuk bekerjasama
dalam pasokan tenaga listrik. Salah satu investor yang tertarik adalah PTBA.
PTBA merupakan salah satu perusahaan tambang di Indonesia. PTBA memliki kualitas
batubara yang cukup vatiatif, mulai dari kualitas rendah hingga kualitas tinggi. Jumlah
sumber daya batubara PTBA yang dimiliki saat ini memiliki prosentase Lignite sebesar 48.2
% dan Sub-Bituminous sebesar 49.1 %, sisanya sebesar 2.7 % untuk Bituminous dan Antrasit,
sementara untuk cadangan tertambang memiliki prosentase lignite sebesar 34.2 % dan
Sub_Bituminous sebesar 62.8%, sisanya sebesar 3 % merupakan Bituminous dan Antrasit.
Sumberdaya batubara kualitas rendah (Low rank coal) yang cukup banyak namun sayangnya
kurang marketable perlu dipikirkan agar dapat dimanfaatkan secara tepat dan memberikan
nilai tambah yang maksimal. Permasalahan yang muncul dalam penjualan batubara low rank
ini adalah nilai biaya transport yang cukup tinggi dan sangat mempengaruhi HPP batubara
yang saat ini berkisar 30% dari HPP. Kondisi ini diperparah dengan turunnya nilai jual
batubara hingga 50-70% dari harga 2 -3 tahun yang lalu. Kondisi ini menjadi tantangan
tersendiri bagi PTBA.
Ada beberapa solusi yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk mengopimalkan
batubara low rank, diantaranya adalah mencari pasar terdekat yang dapat langsung
menggunakan batubara low rank, melakukan coal upgrading, membuat briket batubara, dan
pembangunan PLTU mulut tambang. Berdasarkan hasil beberapa kajian dan penilaian, salah
satu cara yang paling ekonomis untuk memanfaatan batubara low rank adalah pembangunan
PLTU mulut tambang. Hal ini juga sesuai dengan visi perusahaan untuk menjadi perusahaan
energi kelas dunia yang peduli lingkungan, yang salah satu fokus bisnisnya adalah
membangun pembangkit listrik sebesar 5000 MW.
129
II. SUDUT PANDANG PEMILIHAN PROYEK PLTU
Ada beberapa pilihan untuk dapat memanfaatkan batubara kualitas rendah. Namun ada
alasan mengapa PTBA lebih memprioritaskan pembangunan PLTU daripada pilihan yang
lainnya. Alasan tersebut adalah :
Berdasarkan penilaian NREL, Rick TidBall, Joel Bluestein, Nick Rodriguez and Stu
Knoke pada ICF International, pada beberapa kondisi nilai investasi pembangkit listrik
yang memanfaatkan teknologi batubara, memiliki nilai paling ekonomis dibanding dengan
teknologi lain seperti nuklir, angin, biomass, geothermal, matahari dan lain-lain, ini dapat
dilihat pada dua tabel di atas.
Hal ini juga didukung oleh PLN dalam PLN Overview 2014 yang menyatakan bahwa
dalam kurun waktu 2008 hingga 2013, secara umum dengan rataan Rp 442.4 /Kwh nilai
Rp/Kwh batubara selalu menjadi yang paling kecil dibandingkan teknologi lain, kecuali pada
tahun 2010 dimana nilai Rp/Kwh batubara berselisih 5 % lebih tinggi terhadap gas alam.
Rendahnya nilai Rp/Kwh terutama sekali didukung oleh teknologi batubara yang relatif cukup
sederhana.
130
2,359
2,400 2,094 2,135
1,800 1,610
1,368
1,200 1,015
876 884
659 699 602 706 626
560 470 499
600 268249 352368
0
2008 2010 2011 2012 2013
Natural Gas Coal Geothermal Fuel oil
Grafik 1. Perbandingan Rp/kwh terhadap sumber energi (Sumber : PLN Overview 2014)
131
dan dioperasikan yaitu PLTU Tanjung Enim 3x10 MW dan PLTU Pelabuhan Tarahan
2x8 MW (belum termasuk PLTU Banjarsari yang merupakan usaha patungan serta
rencana pembangunan PLTU-PLTU lain seperti PLTU Banko Tengah yang
ditargetkan siap operasi pada tahun 2019).
III.1. LOKASI
Pembangunan PLTU mulut tambang berkapasitas 2 x 110 MW berada di Tambang
Muara Tiga Besar. Secara administratif, PLTU berada di Desa Sirah Pulau dan Gunung
Kembang, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Lokasi
tersebut berada sekitar 200 km dari Kota Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan,
dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda 4 dengan waktu selama 5 jam. PLTU ini
dibangun di atas lahan seluas sekitar 40 ha dengan ketinggian 67 meter di atas permukaan air
laut. Berjarak sekitar 600 meter dari sungai Lematang (600 meter) yang memudahkan
pengambilan air untuk sistem pendingin. Lokasi PLTU dengan tambang Muara Tiga Besar
hanya berjarak 4 km, hal ini sangat vital dan efektif untuk kelangsungan kegiatan pembangkit
listrik.
132
III.3. SUMBERDAYA DAN KUALITAS BATUBARA
Bahan bakar untuk PLTU Banjarsari adalah batubara yang disuplai dari Tambang Muara
Tiga Besar (MTB). Tambang MTB merupakan tambang milik PTBA. Tambang MTB dibagi
menjadi dua, yaitu MTB Utara dan MTB Selatan. Untuk PLTU Banjarsari akan disuplai dari
MTB Utara. Berdasarkan pemodelan geologi tahun 2014, diperoleh hasil perhitungan
sumberdaya batubara Tambang Muara Tiga Besar Utara (MTBU) mempunyai total
sumberdaya sebesar 330 juta ton. Kebutuhan batubara PLTU Banjarsari adalah 800.000 –
1.000.000 ton / tahun. Sehingga untuk operasional selama 30 tahun akan membutuhkan 30
juta ton. Dengan keadaan ini, maka Tambang MTB Utara dapat menjamin keberlangsungan
PLTU Banjarsari selama 30 tahun. Kalori batubara yang dibutuhkan oleh PLTU milik
perusahaan patungan PT Bukit Pembangkit Innovative (“BPI”) ini adalah sebesar 4515
kcal/kg (gar), sedangkan heat rate pembangkit asalah sebesar 2.832 Kcal/KwWh.
133
lebih 1.520.640.000 kWh per tahun. Diharapkan bahwa break event point (BEP) akan terjadi
sekitar 7-8 tahun.
134
V. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PLTU
V.2. LAHAN
Pembangunan PLTU tidak akan berjalan lancar apabila lahan yang akan dibangun
masih belum bebas. Kepemilikan lahan oleh penduduk kadang menjadi suatu hal yang sulit
diselesaikan. Keinginan penduduk akan harga yang tinggi menjadikan proses negosisasi
pembebasan lahan memakan waktu yang lama. Diharapkan peranan pemerintah agar menjadi
penghubung antara masyarakat dengan perusahaan sehingga didapatkan keputusan yang
terbaik untuk semua pihak karena sebenarnya proyek ini dilakukan untuk kesejahteraan
masyarakat.
V.3. INFRASTRUKTUR
Jaringan transmisi yang belum tersedia mengakibatkan tidak terhubungnya jaringan –
jaringan di Pulau Sumatera. Hal ini menjadikan penyaluran listrik ke konsumen belum
tersampaikan secara maksimal. Diharapkan akan ada pembangunan transmisi secara
menyeluruh yang dapat menghubungkan jaringan di seluruh Pulau Sumatera sehingga listrik
dapat alirakan ke semua konsumen hingga ke pelosok desa.
VI. KESIMPULAN
1. PLTU mulut tambang telah teruji dan terbukti baik secara keekonomisan dari waktu
ke waktu bila dibandingkan dengan teknologi lain untuk menghasilkan energi.
2. Pemanfaatan batubara low rank untuk PLTU mulut tambang merupakan solusi untuk
meningkatkan nilai tambah (added value) batubara dan mempertahankan eksistensi
perusahaan di dunia tambang.
3. Pembangunan PLTU Banjarsari oleh PTBA di Sumatera Selatan ikut membantu
meningkatkan rasio elektrifikasi daerah secara khusus dan negara secara umum serta
ikut berpartisipasi dalam meningkatkan ketahanan energi nasional.
4. Pembangunan PLTU Banjarsari selain menghasilkan keuntungan secara finansial bagi
PTBA namun juga secara keuntungan non finansial terutama sekali bagi
perkembangan perekonomian masyarakat serta merangsang pembangunan daerah.
5. Dukungan Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses pembangunan
PLTU.
6. Meninjau dari berbagai aspek, seperti cadangan dan kualitas batubara, infrastruktur
yang efisien, ketersedian lahan serta program pemerintah Sumatera Selatan sebagai
lumbung energi, maka sangat memungkinkan untuk terjadi pengembangan /
penambahan kapasitas PLTU Banjarsari.
135
DAFTAR PUSTAKA
- NREL, Rick TidBall, Joel Bluestein, Nick Rodriguez and Stu Knoke pada ICF--
International , November 2010
136
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak:
Produksi batubara Indonesia tahun 2014 sebanyak 458 juta ton, tapi realisasi suplai
batubara didalam negeri hanya 76 juta ton atau hanya 16,6%, selebihnya sumber energi ini di-
ekspor tapi tidak dikenakan bea ekspor, sedangkan kondisi kelistrikan Indonesia baru 80% yang
terlistriki, di beberapa tempat sering terjadi pemadaman listrik yang menyebabkan gejolak
kerawanan sosial.
Pemerintah sebaiknya mewajibkan kepada Izin Usaha Pertambangan mendirikan
Pembangkit Listrik di mulut tambang, yang energinya dapat digunakan untuk kegiatan sendiri
dan masyarakat disekitarnya serta dijual ke PLN melalui jaringan interkoneksi, atau
membangun diareal sentra industri lainnya, husus untuk penjualan ke PLN, instansi pemerintah
terkait harus jujur, tegas dan mengawasi secara ketat supaya tidak akan terjadi prosedur ber-
tele-tele yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunannya.
Seyogyanya segera dibuat kebijakan dengan keputusan Presiden RI atau Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral untuk sinergi pembangunan pembangkit listrik disetiap
pertambangan batubara dan PLN wajib membeli energi yang dihasilkan, serta pemerintah
daerah memberikan kemudahan dalam pelaksanaan di-wilayahnya.
PEMBUKAAN
Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 33 ayat (3)”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”, jelas kekayaan alam berupa batubara akan dimanfaatkan untuk
kemakmuran rakyat Indonesia tidak boleh dikuasai oleh korporasi atau individu, tapi
kenyataannya saat ini sebagian besar dikuasai oleh perusahaan baik berbentuk Kontrak
Kerjasama Batubara maupun Izin Usaha Pertambangan, selain itu Undang-Undang no.4 tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 102 “Pemegang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) WAJIB meningkatkan
nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan dan pemurnian , serta pemanfaatan mineral dan batubara” ditegaskan pada pasal
103 ayat (1)” Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi WAJIB melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri” Jelas dikatakan bahwa semua IUP dan
IUPK harus melakukan pengolahan dan pemurnian.
Begitu juga dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B,
ditegaskan dalam pasal 169 hurup (a) “ Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini. Dan pasal 169 hurup (b)” Ketentuan yang tercantum dalam
pasal Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sebagaimana
dimaksud pada hurup (a)......” Penjelasan hurup (b)” Semua pasal yang terkandung dalam
Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
137
harus disesuaikan dengan Undang-Undang. Kiranya dengan terang benderang ditegaskan
bahwa Batubara WAJIB dilakukan Pengolahan dan Pemurnian.
Adapun bentuk-bentuk nya yaitu antara lain seperti: 1.Biobriket; 2.Gasifikasi;
3.Pirolisis; 4.Liquifaction; 5.Bahan bakar Pembangkit Listrik.
BRIKET: Proses ini adalah konversi batubara dengan cara dipadatkan (densifikasi),
hasilnya adalah dalam bentuk Briket/Pellet Batubara, dengan bentuk ini lebih mudah disimpan
dan dan diangkut.
GASIFIKASI: Mengubah Batubara menjadi Gas dalam reaktor Gasifikasi (Gasifier).
LIQUIFACTION: Mengubah batubara menjadi cair, dengan cara mengubah batubara
menjadi gas ke cair, bentuk cair mudah di-aplikasikan.
BAHAN BAKAR PEMBANGKIT LISTRIK: Sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik yang
didirikan dimulut tambang, dapat dilakukan oleh setiap Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau
Perjanjian Karya Pertambangan Batubara(PKP2B) dimasing-masing lokasi tambang untuk
kebutuhan setempat atau energi listrik nya di-transfer melalui jaringan transmisi PLN yang
sudah tersebar diseluruh nusantara.
138
13.Nusa Tenggara Timur, pasokan listrik sebesar 141 MW, Cadangan listrik sebesar
9,9%.
Dari data-data diatas dapat disimpulkan hanya Jawa,Bali,Belitung,Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan dan Barat serta Nusa Tenggara Timur yang hanya masih mempunyai sedikit
cadangan listrik, itu juga bila rencana smelter tambang belum akan didirikan,karena pemerintah
sudah memastikan tahun 2017 pengolahan mineral dan batubara wajib beroperasi, yang
memerlukan listrik. Seyogyanya Sumatera, Kalimantan yang mempunyai cadangan batubaradi-
rencanakan sebagai pusat pembangkit listrik, karena cadangan batubara yang berlimpah,tapi
hampir 80% di-ekspor, bukan keadaan seperti saat ini justeru defisit listrik di lumbung energi
batubara.
Walaupun proyek 35.000 MW ini di canangkan di era presiden Jokowi-Jusuf Kalla, tapi
sebelumnya sudah dibuat pembangkit listrik berkapasitas 10.000 MW, yang konon terkendala
oleh lahan,seperti contoh: Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Batang, Jawa Tengah, masih ada
1,9% tanah yang belum terbebaskan dari total 280 Hektare lahan yang dibutuhkan, padahal
setrum yang akan dihasilkan 2.000 MW untuk memasok 30% permintaan listrik Jawa-Bali.
Adapun rencana 35.000 MW yang akan dibangun oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara& IPP
(Independent Power Producer)
Dari data wilayah krisis listrik dan rencana lokasi pembangkit listrik 35.000 MW, juga
tergantung dari kesiapan bahan bakar batubara, bahan bakar minyak dan lain sebagainya.
139
HILIRISASI BATUBARA DENGAN MEMBANGUN PLTU MULUT TAMBANG
Menunjuk Undang-Undang no.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal
102 “Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
WAJIB meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam
pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian , serta pemanfaatan mineral dan
batubara” ditegaskan pada pasal 103 ayat (1)” Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi
WAJIB melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”
ditegaskan dalam pasal 169 hurup (a) “ Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini. Dan pasal 169 hurup (b)” Ketentuan yang tercantum dalam
pasal Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sebagaimana
dimaksud pada hurup (a)......” Penjelasan hurup (b)” Semua pasal yang terkandung dalam
Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
harus disesuaikan dengan Undang-Undang.
Oleh karena itu memanfaatkan batubara dengan hilirisasi batubara sangat menunjang
program pembangkit listrik 35.000 MW, sebagai bahan bakar batubara pembangkit listrik di
mulut tambang adalah pilihan yang tepat untuk melaksanakan Undang-Undang No.4 tahun
2009, yang akan membutuhkan batubara sebanyak 250 juta ton per tahun jika program ini
selesai ditahun 2019 (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Kompas, 9 Juni 2015, halaman
18), apalagi saat ini harga ekspor batubara sudah berkisar 58 USD per Ton, yang tadinya di
awal tahun 2014 masih berkisar 80 USD perton.
Selain itu potensi cadangan batubara Indonesia sekitar 23 miliar ton atau 60% cadangan
energi nasional atau setara 37 miliar barrel bahan bakar cair sintetis ( Ginanjar Kartasasmita,
Kompas 8 Oktober 2015, halaman 6).
Keuntungan lain bila dibangun PLTU Batubara di mulut tambang antara lain:
1. Tidak diperlukan lahan yang menyebabkan terjadinya perlambatan
pembangunan seperti yang terjadi di PLTU Batang di Jawa Tengah.
2. Tidak perlu transportasi batubara baik melalui kapal/tongkang atau kereta api,
dimana biaya transportasi batubara bisa mencapai 30% sampai 35% dari biaya
produksi listrik per Kilo Watt Jam/KWH. Seringnya terjadi kecelakaan pada saat
transportasi batubara.
3. Memangkas Birokrasi Manajemen perusahaan Pembangkit Listrik karena sudah
tergabung dengan perusahaan tambang batubara setempat.
4. Penyediaan air sebagai unsur utama dalam pengelolaan pembangkit listrik,
dimana dapat didirikan danau buatan, pemeliharaan hulu sungai yang
berkesinambungan dan pelestarian hutan-hutan disekitar tambang.
5. Membangkitkan pembangunan daerah dan menumbuhkan sentra industri baru
dengan adanya pembangkit listrik yang sudah dibangun.
6. .Memacu pembangunan jaringan Transmisi yang saat ini baru mencapai 42.000
kilometer Sirkuit/Kms dan Distribusi listrik serta meningkatkan Rasio
Elektrifikasiyang saat ini baru mencapai 81%. (sumber: BKPM/Grt/Grafis,
Media Indonesia,14-08-2015 , hal.B12 & PLN.co.id paparan RPJM 2015-2019,
Kompas, 30-07-2015, hal. 19).
7. .Membangkitkan semangat pengusaha batubara ber-produksi untuk kebutuhan
domestik/PLTU mulut tambang tanpa harus ekspor, karena sesuai Undang-
Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, harus
140
terlebih dahulu di-olah dan dimurnikan atau ditingkatkan menjadi bahan yang
sudah diolah sebelum di-ekspor.
8. Energi listrik yang dihasilkan PLTU mulut tambang, disalurkandan dibeli PLN
melalui jaringan transmisi PLN melalui manajemen satu atap yang didukung
oleh instansi terkait.
SUMBER BACAAN
141
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Oleh
WALI AL HASUNAH
PT BUKIT ASAM (PERSERO) Tbk, JAKARTA, 2015
I. LATAR BELAKANG
Perusahaan dengan strategi produk output Energi selalu berbasis dengan efisiensi biaya
yang berkesinambungan sehingga memperoleh benefit yang signifikan untuk
keberlangsungan perusahaan. Terlampir World energy Outlook 2014 (Electricity).
Memberikan gambaran bahwa terjadi over suplai batubara dengan biaya yang semakin
tinggi. Di lain hal, harga listrik atau energy diharapkan rendah agar dapat memberikan
manfaat diberbagai sector industry dan pembangunan sehingga memberikan nilai tambah
yang tinggi baik untuk perusahaan maupun Negara.
Puncak produksi dengan ketersediaan cadangan batubara mentah sebagai bahan energy
khususnya listrik sudah berada pada Titik jenuh terhadap umur ketersediaan listrik sendiri
VS cadangan batubara dengan penetapan harga listrik antara 3.5 – 9 c/kwh, sehingga
untuk kompetitif harus ada keunggulan dalam efisiensi biaya bahan mentahnya, kemudian
teknologi penghasil listrik itu sendiri (BBM sintetik dan Gas dan batubara ampas).
Oleh karena itu, perlu ada strategi lain yang sifatnya Efisiensi biaya berkesinambungan
dengan langkah-langkah sbb :
142
6. Efisiensi biaya produksi kedua, adalah hilangnya biaya provisi lingkungan, karena
hasil lahan lebih besar dari biaya pemanfaatannya.
7. Efisiensi biaya ketiga, teknologi PLTU menggunakan BBM sintetik.
8. Efisiensi biaya insfrastruktur, menggunakan listrik biaya murah baik di front tambang
dan CHF-TLS dan CHF Pelabuhan.
9. Efisiensi biaya angkutan kereta api, memungkinkan balik isi limbah untuk biomassa
menuju Tanjung Enim (Optional), Dll
Berdasarkan hal-hal tersebut, tentunya akan meningkatkan benefit dan nilai tambah yang
optimal dari berbagai sumber efisiensi tersebut, seperti hasil evaluasi mengenai Biofuel
dan “Coal Biomass to Liquid” (CBTL).
Benefit lain yang diperoleh untuk mengurangi “Social Discount Rate” sbb :
1. Berkurangnya emisi akibat CO2, NOX dan SOX dengan pemanfaatan lahan
produktif, penggunaan BBM sintetik ramah lingkungan, baik dari peralatan
tambang dan PLTU (dengan menggunakan batubara setelah proses “Hydrothermal
Reactor”)
2. Pemberdayaan lahan-lahan milik masyarakat dengan Perkebunan Sawit plasma
3. Terwujudnya area Reklamasi produktif, Reboisasi kawasan hutan dan Pasca
Tambang yang produktif.
TUJUAN
Memenuhi kewajiban reklamasi yang memenuhi kriteria sesuai regulasi.
Mengamankan asset perusahan (lahan & pembebasan lahan)
Sebagai lahan barrier untuk menghindari penjarahan
Penyediaan energy alternatef dan bersih
Efisiensi biaya operasi dari penggunaan BBM sintetik, biaya Kereta api dengan
mengangkut limbah perkebunan (balik isi) dan eliminasi biaya provisi lingkungan
Mengurangi pengangguran & peningkatan kesejahteraan masyarakat Lingkar
tambang (Forward & Employee Linkage)
Memberdayakan lahan lain (di luar wilayah operasional) di dalam IUP sehingga
memberikan manfaat bagi perusahaan dan masyarakat sekitar.
143
II. METODE DAN ANALISIS
1. Strengths Base Approach Work Unit Model
• Rapat Pengembangan
• Simulasi teknik dan
• Rekayasa teknik
modelling
CHANNELS (3) • Utilisasi batubara
KEY RESOURCES (6)
• Rekayasa produk
• Perguruan tinggi dan
lembaga penelitian
• Dokumen Legitimasi
Nasional dan Internasional
• Sistem Manajemen Resiko
COST STRUCTURE (9) BENEFITS & FULFILLMENTS (5)
• Biaya Penelitian, konsultan dan konsultasi • Hasil Inovasi Produk Berstandar Nasional & Internasional
• Hasil Inovasi Teknologi dan modelling Standar Nasional-Internasional
2. SWOT Analysis
KONDISI
WEAKNESS OPPORTUNITY
NO ELEMEN KONDISI IDIAL SAAT STRENGHT (S) THREAT (T)
INI (W) (O)
1 • Rekayasa teknik 1. Software 1. Memiliki 1. Energi Substitusi
Internasional referensi
• Utilisasi batubara 2. Teknologi baru
CUSTOMER Nasional
2. Teknologi Energi
SEGMENTS • Rekayasa produk
Internasional 2. Memiliki
Referensi
Internasional
3. Legitimasi
instansi
144
KONDISI WEAKNESS OPPORTUNITY
NO ELEMEN KONDISI IDIAL SAAT INI
STRENGHT (S) THREAT (T)
(W) (O)
6 Sistem mutu, K3L & 1. Sistem Standart 1. Kompetensi 1. Cadangan 1. Intervensi
Resiko Internasional SDM batubara pemerintah
KEY
2. Sertifikasi 2. Keandalan 2. Infrastruktur
RESOURCES sistem
3. Jaringan
Internasional
9 COST
Biaya Penelitian, 1. Sistem operasi 1. Double 1. Alih teknologi 1. Kegagalan
konsultan dan yang efisien handling listrik dengan proyek
STRUCTURE konsultasi sistem efisiensi biaya
2. Sistem IT Biaya
KEBIJAKAN :
• Efisiensi Harga Pokok Produksi
• Optimalisasi Cadangan Batubara Kualitas Tinggi
• Utilisasi produk batubara
• Pemanfaatan lahan
145
4. Kesesuaian Strategi dengan Kebijakan Korporasi
1 2 3 4 5
SRATEGI OBYEKTIF
NO PERENCANAAN Rencana Optimalisasi TOTAL
Reklamasi Penelitian dan
STRATEGI dari Operasi Cadangan Efisiensi HPP
Lahan Pengembangan
TOWS MATRIX Produksi Batubara
1 Dokumen rencana operasi
legitimasi nasional
4 2 2 2 1 11
2 Optimalisasi cadangan &
Utilisasi batubara
3 4 2 2 3 15
3 Rencana Efisiensi Biaya
Operasi
3 2 4 2 2 13
4 Rencana Pemanfaatan
reklamasi menjadi 3 1 3 4 3 14
produktif
5 Peningkatan Keandalan
teknologi operasi
2 1 3 1 4 11
6 Peningkatan Sertifikasi
Nasional dan Internasional
2 1 2 2 3 10
7 Mengikuti Award Inovasi
Nasional & Internasional
1 1 1 3 3 9
8 Pemanfaatan lahan diluar
area operasi
3 2 1 1 4 11
9 Kerjasama strategis dengan
perguruan tinggi dan 2 2 1 4 3 12
lembaga penelitian
6. Strategi Pelaksanaan
1) Strategy Map 1. STRATEGY MAP
Financial Nilai Tambah
Aspect Pendapatan
Efisiensi HPP
meningkat dari yang optimal
meningkat Utilisasi Batubara dari Utilisasi,
efisiensi dan
lahan
Customer
Aspect Kepastian kualitas
Kepastian produk
produk sesuai
substitusi energi
peruntukkannya
Internal • Utilisasi
Process batubara
Aspect Meningkatkan Meningkatkan Ketepatan • Peralatan
Kerjasama Koordinasi Pemilihan operasi yang
Intsitusional Internal Teknologi efisien
• Produktivitas
lahan
Learning &
Growth Peningkatan Penelitian dan
Aspect Kompetensi SDM Pengembangan Produk,
& Korporasi teknologi & Substitusi energi
146
2) Balanced Score Card & Strategic Initiatives
BALANCED SCORECARD
STRATEGY MAP
KPI MEASURE TARGET
KEUANGAN Efisiensi HPP Penurunan HPP % penurunan HPP 10 %
Pendapatan meningkat dari Besarnya pendapatan % peningkatan
30 %
utilisasi batubara pendapatan
PELANGGAN Kepastian kualitas produk Tingkat akurasi kualitas % jumlah yang
70 %
sesuai peruntukkannya memenuhi spesifikasi
Kepastian produk substitusi Tingkat akurasi produk % jumlah penggunaan
energi energi yang memenuhi 50 %
spesifikasi
PPROSES INTERNAL Peningkatan Kerjasama Jumlah dan intensitas Banyaknya institusi
Institusional banyaknya kerjasama dan frekuensi 3/3
pertemuan
Peningkatan Koordinasi Banyaknya pertemuan VVIP jumlah keputusan
3
Internal
Ketepatan Pemilihan Tingkat ketepatgunaan % ketepatan
75 %
Teknologi teknologi
PEMBELAJARAN & Pengembangan Kompetensi Meningkatnya kompetensi % peningkatan
PERTUMBUHAN 75 %
SDM & Korporasi
Penelitian dan Penetapan klasifikasi dan % penyerapan produk
Pengembangan Produk, kesesuaian produk oleh customer 70 %
teknologi & Substitusi energi spesifikasi
8. AnalisisPenyelarasanOrganisasi
1 STRUCTURE Belum terpenuhinya struktur organisasi yang Penambahan jabatan baru untuk mengisi
dapat melayani sesuai standart mutu baik fungsi staff ahli bidang geologi – tambang
aspek legal, teknis, ekonomi dan lingkungan
2 PROCESS Dalam pembuatan rencana dan penyampaian Rantai informasi harus disederhanakan,
hasil diperlukan koordinasi yang kurang efektif langsung kepada pengambil keputusan
sehingga informasi dan keputusan lambat tertinggi dengan komputerisasi
3 PEOPLE Belum terpenuhinya struktur organisasi dan Penyiapan SDM yang bersertifikasi
SDM yang memenuhi kompetensi inti
4 PERFORMANCE Hasil kerja berpatokan pada BSC Satuan Kerja Penyiapan diskripsi BSC untuk dilaksanakan
oleh unit terkait
& REWARD
5 LEADERSHIP Sinkronisasi hasil kerja yang sulit dilakukan, Membentuk tim-tim pelaksana
karena lintas sektoral dalam pencapaian hasil
147
III. KAJIAN, PELAKSANAAN DAN HASIL
1) Optimalisasi Cadangan Batubara Kualitas Tinggi dalam IUP TAL
Relokasi pemukiman Townsite dilakukan untuk memperoleh cadangan batubara
sebesar 40 juta ton dengan nilai kalor 6500 – 7200 Kcal/kg (ADB).
Berdasarkan evaluasi dari hasil eksplorasi tahun 2013 diperoleh estimasi sumberdaya geologi
baik terukur maupun terindikasi sebagai berikut :119. 8 juta ton, Net Profit :Rp 5.09 Trilyun.
148
Lokasi Tambang Air Laya
149
3) Reklamasi Produktif dengan “Agroforestry” di Timbunan Mahayung Ex
Spreader 701
Asumsi :
1 Lahan digarap 183 Ha 2 Lahan digarap 1000 Ha
Profit Return/Ha 89,503,834 Rp/ha Profit Return/Ha 89,503,834 Rp/ha
Profit Return Total 16,379,201,560 Rupiah Profit Return Total 89,503,833,663 Rupiah
Vol. Produksi BatuBara 20,000,000 ton Vol. Produksi BatuBara 20,000,000 ton
Pendapatan Lingkungan 819 Rp/ton Pendapatan Lingkungan 4,475 Rp/ton
Biaya Lingkungan 4,100 Rp/ton Biaya Lingkungan 4100 Rp/ton
Maka, tidak ada biaya lingkungan (3,281) Rp/ton Maka, tidak ada biaya lingkungan 375 Rp/ton
IV. KESIMPULAN
Perencanaan dan pelaksanaan program berjalan dengan baik dan sudah selesai sampai
dengan persetujuan Top Manajemen (Direksi).
Sistematika, metodologi dan format analisis pengambilan keputusan sangat sesuai,
sederhana sehingga tidak ada kesulitan bagi top manajemen untuk memutuskan beberapa
kajian detail teknis–ekonomis yang mendasari operasional pada periode produksi tahun
berikutnya.
Optimalisasi seluruh asset dalam IUP baik batubara dan lahan memberikan nilai tambah
bagi perusahaan, stake holder dan Negara.
150
V. DAFTAR PUSTAKA
151
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Latar Belakang
Semenjak tahun 1970-an masalah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial
responsibility (selanjutnya disingkat CSR) telah menjadi isu penting, baik di kalangan
profesional, akademisi, aktivis LSM dan masyarakat pada umumnya. Dalam gagasan CSR,
perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line,
yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
(financial). CSR harus berpijak pada triple bottom lines (3BL) yang tidak hanya aspek finansial
atau ekonomi, tetapi juga meliputi aspek sosial dan lingkungan. Dinamika ini sejalan dengan
meningkatnya kesadaran dan keberanian masyarakat menuntut hak atas keadilan sosial,
lingkungan hidup, Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan hukum (law enforcement)
serta transparansi dan informasi terbuka (well imformed) berkaitan dengan aktivitas dunia
usaha, khususnya di bidang pertambangan.
Secara politis tuntutan masyarakat tersebut sangat wajar, karena kekayaan sumber daya
alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil atau kelompok
tertentu saja serta menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak lingkungan. Sehingga Carolyn
Marr mengungkapan dalam kata-kata yang paradoks yaitu “Indonesia of fabulously rich and
Indonesia is desperately poor”.1 Pada hal, Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 sebagai dasar
filosofis pengelolaan sumber daya alam menegaskan bahwa sumber daya alam yang ada harus
dijadikan sebagai upaya meningkatkan kesejateraan masyarakat melalui pembangunan yang
berlandaskan pada prinsip demokrasi ekonomi.
Persoalantersebut berkaitan dengan paradigma dunia usaha, khususnya industri
pertambangan yang masih mengedepankan profit oriented, belum mengarah pada corporate
image. Perusahaan tidak lebih sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri (selfish), alienasi
dan atau eklusifitas dari lingkungan masyarakat. Perusahaan belum menyadari bahwa ia sebagai
entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial di mana ia
berada dan bertanggung jawab atas segala kerusakan serta dampak lingkungan sebagai akibat
aktivitas usahanya. Pada sisi lain, perusahaan harus menyadari bahwa suatu perusahaan tidak
bisa hidup, beroperasi dan bertahan serta memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai
pihak.2 Sehingga perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang
akan menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat (sense of belonggings) terhadap kehadiran
perusahaan tersebut.3
1 Carolyn Marr, 1993, Digging Deep the Hidden Cost of Mining in Indonesia, Down to Eart & Minewatch,
152
Berbagaitulisan, survei, dan penelitian menunjukkan bahwa CSR bukanlah murni atas
dasar kesadaran perusahaan, tetapi merupakan tuntutan dalam menghadapi arus globalisasi dan
tuntutan pasar bebas (free market). Kondisi ini dipertajam lagi dengan terbentuknya ikatan-
ikatan ekonomi seperti WTO, AFTA, APEC, UE dan lain-lain yang mencantumkan berbagai
persyaratan untuk berkompetisi, seperti ISO 14000 dan 14001 serta ISO 260004. Selain itu,
dengan semakin cepatnya arus dinamika sosial kemasyarakatan menyebabkan semakin
berkurangnya peran pemerintah, dan semakin dominannya peran sektor swasta dalam
pembangunan suatu negara.5
Faktamenunjukan bahwa perusahaan skala besar telah menerapkan CSR sebagai
kegiatan yang bersifat voluntary yang diwujudkan dalam bentuk kedermawanan
(philanthropy), kemurahan hati (charity) dan lain sebagainya. Agar CSR yang semula bersifat
voluntary perlu ditingkatkan menjadi mandatory(legal responsibility).Hal ini terlihat dengan
dinyatakannya CSR sebagai kewajiban pelaku usaha, sebagaimana diatur pada Pasal 15
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dan Pasal 74
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Aturan ini telah
diejawantahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
(UU Minerba). Berkaiatan deskripsi tersebut, dirumuskanlah permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa perusahaan pertambangan diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial
(corporate social responsibility) dalam kegiatan usahanya.
2. Bagaimana prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)
dalam Undang-undang Mineral dan Batubara.
Pembahasan
Sampai saat ini belum adanya kesatuan bahasa terhadap CSR, hal ini dapat dilihat dari
berbagai pengertian atau definisi CSR sebagai berikut :6
a. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)7
WBCSD merumuskan CSR sebagai “The continuing commitment by business to behave
ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the
workforce and their families as well as of the local community and society at large to
improve their quality of life”.
b. World Bank
Lembaga keuangan global ini merumuskan CSR sebagai “the commitment of business to
contribute to sustainable economic development working with employees and their
4 ISO 26000 baru diluncurkan (launching) pada Oktober 2008. ISO ini bersifat sukarela dan hanya memuat
Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas
Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.
6 Isa Wahyudi & Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan
Washington, 2001. WBCSD adalah lembaga internasional sebagai asosiasi perusahaan yang beranggotakan ± 180
perusahaan transnasional yang berasal ± 35 negara yang mempunyai komitmen “Making Good Business Sense”,
diakses September 2007.
153
representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways
that are both good for business and good for development”.
c. European Union
Europen Union atau Uni Eropa sebagai lembaga perhimpunan negara-negara di benua
Eropa merumuskan pengertian CSR dalam EU Green Papaer on CSR sebagai “....... is a
concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholderss on a voluntary basic”.
Lebih lanjut The Europen Commission juga menjelaskan kembali bahwa CSR adalah
“Being socially responsibility means not only fulfilling legal expectations, but also going
beyond compliance and investing more into human capital, the enviroment and relations
with stakholders”.
d. CSR Forum juga memberikan merumuskan pengertian tentang CSR yaitu “CSR mean open
and transparent business practices that are based on ethical values and respect for
employeses, communities and enviroment”.
e. Business for Social Responsibility
Merumuskan CSR sebagai “Operating a business in a manner that meets or exceeds the
ethical, legal, commercial and public expectations that society has of business. Social
Responsibility is a guiding principle for every decision made and in every area of a
business”.
8 Abdul Rasyid Idris, 2006, Corporate Social Responsibility(CSR), Sebuah Gagasan dan Implementasi,
Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006.
9 John Elkington,1997, dalam Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR Suatu Keharusan, dalam Investasi Sosial,
154
Menurut Benerjee yang menyatakan “....corporate social responsibility is “too broad
in its scope to be relevant to organizations”.10Apa yang diungkapkan Benerjee ini semakin
memperjelas bahwa ruang lingkup CSR begitu luas bagi suatu perusahaan (organisasi). Lebih
lanjut Gobbels, Votaw dan Sethi lebih memperjelas dengan menyatakan “….considered social
responsibility a brilliant term : “it means something, but not always the same thing to
everibody”.11 Begitu pula Michael Hopkins dalam Working Paper-nya yang disampaikannya
kepada Policy Integration Departement World Commission on the Social Dimension of
Globalization International Labour Office, Genewa tahun 2004 menjelaskan bahwa CSR
adalah :12
“CSR is concerned with treating the stakeholders of the firm ethically or in a
responsible manner. ‘Ethically or responsible’ means treating stakeholders in a
manner deemed acceptable in civilized societies. Social includes economic
responsibility, stakeholders exist both within a firm and outside. The natural
environment is a stakeholder. The wider aim of social responsibility is to create
higher and higher standards of living, while preserving the profitability of the
corporation, for people both within and outside the corporation”.
Dari penjelasan Michael Hopkins tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR berkaitan dengan
perlakukan perusahaan terhadap stakeholders baik yang berada di dalam maupun di luar
perusahaan termasuk lingkungan secara etis atau secara bertanggung jawab, dengan
memperlakukan stakeholders dengan cara yang bisa diterimanya. Sedangkan secara sosial CSR
meliputi tanggung jawab di bidang ekonomi dalam upaya menciptakan standar hidup lebih baik
dengan tetap menjaga profitabilitas perusahaan.
Certo sebagai pakar etika mendefinisikan CSR sebagai ”... managerial obligation to
take action that protects and improves both the welfare of society as a whole and the interest
of organization.” Sementara itu, Lawrence, Weber dan Post menyatakan bahwa ”CSR means
that a corporation should be held accountable for any of its actions affect people, their
communities and their environment.” Sedangkan Kotler and Lee “…a commitment to improve
community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate
resources.” Dan Wineberg dan Rudolph memberi definisi Corporate Social Responsibillity
(CSR) sebagai: The contribution that a company makes in society through its core business
activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public
policy”13.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa CSR adalah sebagai
komitmen perusahaan untuk melaksanakan kewajiban yang didasarkan atas keputusan untuk
mengambil kebijakan dan tindakan dengan memperhatikan kepentingan para stakeholdersdan
lingkungan dimana perusahaan melakukan aktivitasnya yang berlandaskan pada ketentuan
hukum yang berlaku. Untuk itu perlu adanya prinsip yang dijadikan sebagai pegangan dalam
penerapannya. Atas fakta tersebut, pada tahun 1997 Prince of Wales International Business
Forum, menetapkan 5 (lima) prinsip dasar dalam penerapan CSR yang meliputi :14
10 Marcel van Marrewijk,. 2003, Concepts and Definitions of CSR and Corporate Sustainability : Between
155
a. Building human capital adalah berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan
sumber daya manusia yang handal, sedangkan secara eksternal perusahaan dituntut
melakukan pemberdayaan masyarakat.
b. Strengthening economies adalah perusahaan dituntut untuk tidak menjadi kaya sendiri
sementara komunitas di lingkungannya miskin. Perusahaan harus memberdayakan ekonomi
sekitarnya.
c. Assesing social chesion adalah upaya untuk menjaga keharmonisan dengan masyarakat
sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik.
d. Encouraging good governance adalah perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, harus
mengacu pada Good Corporate Governance (GCG).
e. Protecting the environment adalahperusahaan harus berupaya keras menjaga kelestarian
lingkungan.
Dari kelima prinsip tersebut, terlihat bahwa ruang lingkup CSR begitu luas yang mencakup 3
(tiga) aspek yaitu aspek ekonomo, sosial dan lingkungan. Namun dalam penerapannya harus
memperhatikan konsep sustainable yang didasarkan atas monitoring dan evaluasi program,
bahkan laporan (reporting) harus dijadikan sebagai umpan balik (feedback) untuk merumuskan
kegiatan CSR ke depan.15
15 Karena belum ada standarisasi pelaporan dan masih bersifat sukarela, maka banyak istilah pelaporan
dalam aktivitas CSR. Ada environmental report, citizenship report, sustainability report, social report, environmental
and social report, corporate responsibility report ataupun corporate social responsibility report. Yang cukup banyak
jadi rujukan adalah Global Compact yang dirintis PBB, dan Global Reporting Initiative (GAl) yang diluncurkan pada
tahun 1997.
156
Rasionalitas ini mengilhami lahirnya rumusana Pasal 1 angka 3 UUPT, meskipun di
dalam risalahnya menunjukan bahwa lahirnya rumusan pasal ini melalui perdepadan yang
sangat alot antar fraksi maupun dengan pemerintah, akhirnya diselesaikan melalui lobby pada
masa sidang IV tahun sidang 2006-2007 dalam rapat panitia kerja (panja) Komisi VI DPR RI.
Dalam risalah RUUPT, secara eksplisit terungkap bahwa RUUPT yang diberikan oleh
pemerintah ke DPR tidak ditemukan satu pasal pun yang berkaitan dengan CSR. Atas inisiatif
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) diusulkanlah agar dalam RUUPT dimasukkan tentang CSR
agar sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD sebagai dasar filosofi penguasaan
dan pengelolaan sumber daya alam.
Melalui perdebatan yang sangat alot, akhirnya disepakati agar CSR diatur dalam UUPT
dengan pertimbangan sebagai berikut :
Biladilihat dari law making proces-nya, konsep CSR dalam UUPT tidak terlepas dari
aksi dan tuntutan masyarakat serta LSM dengan berbagai alasan. Padasisi lain fakta
menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional
tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat yang
terjadi pada berbagai daerah.
Selain pertimbangan konstitusional dan fakta empiris dari dampak pembangunan
selama ini sebagaimana diakui pemerintah dalam RPJMN 2004-2009, maka sangat rasional
sekali CSR diatur dalam sistem perundang-undangan di bidang hukum perusahaan. Hal ini
dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian yang berlandaskan
pada prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagai
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian dalam penjelasan UUPT ditegaskan
bahwa ketentuan mengenai CSR ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Atas pertimbangan tersebut dirumuskanlah Pasal 74 UUPT sebagai berikut :
a. Pasal 74 ayat (1) UUPT Perseroan menegaskan bahwa perusahaan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Secaramakna gramatikal perusahaan yang tidak menjalankan dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam tidak wajib menerapkan TJSL dalam aktivitas usahanya.
b. Pasal 74 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa TJSL merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan dilaksanakan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Kata-kata “kepatutan” dan “kewajaran” merupakan terminologi yang bermakna pada asas
hukum yang perlu penafsiran yang tegas. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip akuntabilitas
dalam CSR.
157
c. Pasal 74 ayat (3) UUPT menegaskan bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini semakin mempertegas bahwa TJSL telah dinyatakan sebagai kewajiban
dalam makna liability karena diikuti sanksi bagi perseroan yang tidak menerapkannya.
Ketentuan ini sejalan dengan prinsip taat hukum dalam CSR.
d. Pasal 74 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung
jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Secara teoritis, perubahan paradigma CSR dari voluntary manjadi mandatory sejalan
dengan ungkapan Roberto Mangabeira Unger sebagaimana dikutip Eka Wenast yang
menyatakan bahwa dalam masyarakat “paska-liberal”, organisasi-organisasi swasta semakin
diakui dan dipandang sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan, pada hal menurut doktrin
tradisional kekuasaan dipandang sebagai hak prerogatif pemerintah. Kaum neo-liberal tidak
menerapkan kritik atas pemerintah, tapi justru memusatkan diri pada kekuatan pemerintah itu
sendiri. Sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab utama untuk menentukan dan
menerapkan standar tanggung jawab sosial dengan memperhatikan kondisi masyarakat
setempat”.16 Sehingga secara filosofis, teori tanggung jawab sosial yang bersifat radikal dan
konservatif dari segi programnya, tetapi memiliki pandangan liberal terhadap hak-hak publik.
Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma CSR dari voluntary menjadi mandatory
dalam pengelolaan kekayaan mineral dan batubara di Indonesia, sebagai amanat Pasal 33 ayat
(3) dan (4) UUD 1945 yang dituangkan dalam UU Minerba. Kebijakan ini tidak terlepas dari
fungsi negara di bidang ekonomi sebagaimana diungkapkan oleh W. Friedman yaitu mencakup
4 (empat) hal yaitu :17
Dari ke empat fungsi negara tersebut, fungsi yang esensial terletak pada fungsi pengatur
(regulator). Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi pengaturan, pemerintah harus
memperhatikan norma moral yang akan dipositivakasikan ke dalam bentuk norma hukum
dengan memposisikan kebebasan positif yang bersifat accountable kepada stakeholders-nya.
16Ibid.
17W. Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens and Sons, London,
page 3. Bandingkan dengan Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, halaman 16.
18 Wilian Wordworth, 2008, Kata Pengantar dalam “Corporate Social Responsibility (CSR) dalam praktek di
158
mengakomodir dan mengembangkan ke lima (5) prinsip dasar CSR dalam pengelolaan atas
sumber daya alam yang terdapat di bumi Indonesia. Untuk lebih jelasnya prinsip CSR dalam
UU Minerba dapat di lihat pada tabel berikut :19
159
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap Pengaturan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) di Bidang Pertambangan dalam Konteks Hukum
Perusahaan di Indonesia dapat simpulkan sebagai berikut :
1. Sejalan dengan perubahan paradigma perusahaan dalam aktivitasnya dari profit orientate
ke coporate image serta berbagai dampak negatif dari pelaksanaan pembangunan yang
berkaitan dengan sumber daya alam selama ini, maka perusahaaan sebagai representasi
subyek hukum merupakan lembaga yang dapat dimintai pertanggung jawabannya. Oleh
karena itu setiap perusahaan yang bergerak dan atau berkaitan dengan sumber daya alam
sebagaimana dimaksud Pasal 74 UUPT diwajibkan menerapkan CSR. Ketentuan ini
sekaligus sebagai pengejawantahan amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945
yang sekaligus juga sebagai dasar pilosifinya. Dengan diaturnya CSR ini sebagai suatu
keharusan bagi perusahaan dalam upaya penyelenggaraan pembangunan yang didasarkan
pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip keberlanjutan dan prinsip berwawasan
lingkungan. Sehingga pada gilirannya nanti sumber daya alam yang ada sekarang dapat
diwariskan kepada generasi yang akan datang.
2. UU MInerba sebagai pengejawantahan dari amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4)
UUD 1945 dan Pasal 74 UUPT telah berusahan mengakomodir ketentuan CSR sedemikian
rupa. Dalam UU Minerba terdapat berbagai prinsip CSR yang dikembangkan dari
kesepakan Prince of Wales International Business Forum pada tahun 1997 yaitu prinsip
human capital, akuntabilitas, keterbukaan (disclosure), transparansi, pendidikan, pelatihan,
perilaku etis, non – diskriminatif, berwawasan lingkungan, teknologi ramah lingkungan,
Good Corporate Gavernance (GCG), keberlanjutan, taat hukum, dan Hak Asasi Manusia
(HAM).
B. Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan dapat disaran beberapa hal sebagai
berikut :
1. Pemerintah sesegera mungkit menerbitkan PP yang diamatkan oleh Pasal 74 ayat (4) UUPT
dan Pasal 109 UU Minerba. Substansi PP yang berkaitan dengan Pasal 74 UUPT minimal
harus memuat rincian tentang bidang usaha dalam makna yang berkaitan dengan sumber
daya alam, sistem pelaporan karena dimasukan sebagai biaya perusahaan, ukuran kepatutan
dan kepantasan, serta konsep penghargaan dan sanksi (reward and punisment). Sedangkan
Substansi PP yang berkaitan dengan Pasal 109 UU Minerba harus menjelaskan makna
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, bagimana bentuk dan polanya, serta
bagimana konsep reward and punishment-nya.
2. Agar penerapan CSR betul-betul tepat sasaran dan bersifat berkelanjutan, sudah seyogyanya
pemerintah membentuk komisi dan atau badan yang berkaitan dengan pengawasan,
penilaian, evaluasi, penegakan hukum, dan pengembangan serta sosialisasi CSR.
3. Bagi kalangan pengusaha jangan melihat CSR sebagai biaya (cost), tetapi jadikanlah CSR
sebagai investasi dalam upaya mendapatkan keuntungan yang kompetitif (competitive
advantage) serta dalam menghadapi persaingan global dengan mengacu pada standarisasi
tertentu, seperti ISO 9000 untuk sistem manajemen (quality management system), ISO
160
14000 untuk manajemen lingkungan (environmental management system), dan OHSA
18000 untuk manajemen kesehatan dan keselamatan (health and safety management), serta
ISO 26000 untuk manajemn tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility management).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Tesis, dan Disertasi
Abdul Rasyid Idris, 2006, Corporate Social Responsibility(CSR), Sebuah Gagasan dan
Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006.
Busyra Azheri, 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Aktivitas Pertambangan
di Sumatera Barat, Disertasi, Pascasarjana FH Unibraw.
Carolyn Marr, 1993, Digging Deep the Hidden Cost of Mining in Indonesia, Down to Eart
& Minewatch, Penang, Malaysia.
Isa Wahyudi & Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Prinsip,
Pengaturan dan Implementasi, Intrans Publishing dan Inspire Indonesia, Malang.
ISO 26000 baru diluncurkan (launching) pada Oktober 2008. ISO ini bersifat sukarela dan
hanya memuat petunjuk (guideline) tentang standar CSR.
John Elkington,1997, dalam Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR Suatu Keharusan, dalam
Investasi Sosial, Puspinsos, Jakarta.
Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar
“Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business,
Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM),
Yogyakarta, 11 Maret 2006.
Marcel van Marrewijk,. 2003, Concepts and Definitions of CSR and Corporate
Sustainability : Between Agency and Communion.Journal of Business Ethics 44.
Michael Hopkins, 2003, The Business Case for CSR : Where are we ? International
Journal for Business Performent Management,Volume 5. Number 2.3.
Danette Wineberg & Phillip H. Rudolph, 2004, Corporate Social Responsibility – What
Every In House Counsel Should Know, dalam ACC Docket.
http://www: ibl.or.id, diakases 8 Oktober 2008.
W. Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens and
Sons, London, page 3. Bandingkan dengan Abrar Saleng, 2004, Hukum
Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.
Wilian Wordworth, 2008, Kata Pengantar dalam “Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam praktek di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta.
B. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
C. Wab Sade
http://www.wbcsd.org. Corporate Social Responsibility : Making Framework for
Corporate Social Responsibility, Washington, 2001. WBCSD adalah lembaga
internasional sebagai asosiasi perusahaan yang beranggotakan ± 180 perusahaan
transnasional yang berasal ± 35 negara yang mempunyai komitmen “Making Good
Business Sense”, diakses September 2007.
http://www: ibl.or.id, diakases 8 Oktober 2008.
http//www:csrindonesia.com., diakses pada tanggal 16 Pebruari 2009.
161
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Hidir Tresnadi
Hidir.Tresnadi@bppt.go.id
Abstrak
Industri Tembaga merupakan salah satu industri di Indonesia yang berbasis bahan baku mineral
khususnya tembaga, yang dapat menjadi modal untuk pengembangan industri hilirnya. Industri
Pertambangan sesuai dengan UU No 4 2009 mewajibkan kepada para pelaku industri tambang untuk
meningkatkan nilai tambah pada produk tambangnya, sehingga dapat memiliki nilai jual yang lebih
tinggi di pasar nasional dan global. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan salah satu masukan dalam
pengembangan industri tembaga nasional. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder
ekspor dan impor kemudian dilakukan analisis secara time series dan cross section. Objek penelitian
adalah ekspor dan impor konsentrat dan produk tembaga di kawasan ASEAn. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di kawasan ASEAN industri tembaga yang berbasis tambang tembaga terdapat di
Indonesia, Philipina dan Laos. Di kawasan ini ekspor konsentrat tembaga pada tahun 2014 mengalami
penurunan di Indonesia menjadi 714.950 ton , Philipina 357.501 ton, dan laos naik menjadi 256.188
ton. Indonesia mengalami kenaikan ekspor produk utama tembaga 7403 di ASEAN, namun penurunan
pada 7408. Jelang MEA maka Indonesia memiliki keunggulan komparatif industri konsentrat tembaga
pada pasar nasional. Dalam melakukan terobosan pasar produk tembaga di ASEan maka harus
mempertimbangkan faktor harga, distribusi, promosi, diferensiasi produk yang dapat memberikan
kontinyuitas kuantitas dan kualitas produk tembaga yang diekspor. Terobosan pasar produk tembaga
sebaiknya dilakukan juga di kawasan global untuk
Abstract
Indonesia has copper-mining-base industry to develope downstream industry, mainly copper industry.
The objective of the research is to characterize the export and import of the copper concentrate and
copper product in ASEAN Country. The data is analyzed statistically therough time series and cross
section analysis. The results show that copper mining based copper indsutries in ASEAN are only
Indonesia, Philipine and Lao. Generally In Asean copper concentrate export decreased in 2014
compared to previous years, Indonesia 714.950 ton , Philipina 357.501 ton, and only lao increase to
256.188 ton. The export of The copper product of Indonesia, 7403, incrrease in 2014, but 7408
decreased. In MEA Indonesia has comparative advantage in the copper concentrate as raw material
compared to the other Asean Countries, so it can be attratactive to investor for doing business, but it
depends on the incentives and financial infrastucture of Indonesia to provide the advantage for the better
business. In the peneteration of the export and impor market in the ASEAN countries, should use the
market strategy, such price, promotion, distribution, product, packaging, diferentiation product and
conitinuity of the quantity and The quality product. To compete and to win the competition in the market.
162
I. Latar Belakang
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan salah satu dari pilar-pilar impian masyarakat
ASEAN yang dicetuskan dalam kesepakatan Bali Concord II. ASEAN berharap dapat
membentuk sebuah pasar tunggal dan basis produksi sebelum tahun 2015. Artinya sebelum
tahun 2015, pergerakan barang, jasa, investasi dan buruh trampil di ASEAN akan dibuka dan
diliberalisasikan sepenuhnya
Sebuah pasar tunggal dan basis produksi pada dasarnya adalah sebuah kawasan yang secara
keseluruhan dilihat oleh negara anggota ASEAN. Khusus dalam kerangka ASEAN, maka
UMKM di Negara-negara ASEAN akan menghadapi era baru liberalisasi ,termasuk liberalisasi
pasar keuangan, yang dicanangkan sebagai salah satu tujuan dalam ASEAN Economic
Comumunity (AEC) atau masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Dengan MEA
2015 maka diharapkan ASEAN akan memiliki 4 karakteristik utama yaitu sebagai (1) pasar
tunggal dan kesatuan basis produksi , (2) kawasan ekonomi yang berdaya saing, (3)
pertumbuhan ekonomi yang merata, dan (4) meningkatkan kemampuan untuk berintegrasi
dengan perekonomian global.
Menuju pasar tunggal dan kesatuan basis produksi tersebut , akan diberlakukan aliran bebas
barang, jasa, investasi dan modal. Di pasar keuangan, liberalisasi sektor jasa keuangan
dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2015 dan 2020. Pada tahun 2015 Indonesia
berkomitmen untuk melakukan liberalisasi di sub sektor asuransi dan pasar modal. Pada tahun
2015 diharapkan liberalisasi seluruh subsektor pada sektor jasa keuangan dapat terlaksana.
Terbukanya pasar keuangan ASEAN tersebut memberikan peluang untuk semakin terbukanya
akses bagi Industri Hulu Tembaga kepada sumber-sumber keuangan, tidak saja di dalam negeri
tetapi juga pasar keuangan internasional. Dilain pihak, Industri Hulu Tembaga di Negara
ASEAN menghadapi tantangan yang cukup berat, karena persaingan yang semakin ketat.
Mengingat belum setaranya kondisi ekonomi di masing-masing Negara maka diharapkan setiap
Negara termasuk Indonesia dapat meningkatkan daya saing agar dapat mengambil manfaat dari
liberalisasi. Indonesia bagian terbesar dari pelaku ekonomi adalah Industri Hulu Tembaga,
kiranya dapat dan perlu dipersiapkan menghadapi era liberalisasi tersebut.
Dalam kerangka pengembangan Industri Hulu Tembaga, semua instansi yang terkait dan
terlibat pada kegiatan ASEAN perlu memperhatikan pengembangan Industri Hulu Tembaga,
pada (1) peningkatan dan pengembangan industri ini, (2) peningkatan dan pengembangan pasar
regional ASEAN dan Global, (3) peningkatan akses terhadap infrastruktur keuangan, (4)
peningkatan akses terhadap teknologi dan (5) terciptanya dukungan kebijakan yang kondusif
pada industri hulu dan hilir tembaga.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diimplentasikan tahun 2015. Untuk
mengantisipasi dan sekaligus memanfaatkan peluang MEA pada tahun 2015 diperlukan
kesiapan Industri Hulu Tembaga. Selain peluang pasar yang besar, karena jumlah penduduk
ASEAN telah mencapai lebih dari 590 juta jiwa, beberapa potensi yang dimiliki Indonesia
sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh Industri Hulu Tembaga di Indonesia guna
menggarap peluang pasar ASEAN yang ada. Ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan
oleh Industri Hulu Tembaga,untuk mengisi pasar dan peluang investasi di kawasan ASEAN,
yang akan sia-sia kalau Industri Hulu Tembaga,tidak diberdayagunakan. Oleh karena itulah,
maka tantangan yang besar dalam memanfaatkan MEA pada tahun 2015 adalah bagaimana
memperkuat atau memberdayagunakan kemampuan Industri Hulu Tembaga agar lebih maju
dan berkembang dibandingkan pelaku ekonomi sejenis di luar negeri, kawasan ASEAN
163
khususnya dan global umumnya. Untuk memperkuat posisi Industri Hulu Tembaga di
Indonesia, perlu beberapa upaya yang harus dilakukan. Upaya-upaya tersebut menyangkut: (1)
meningkatkan kualitas dan standarisasi produk Industri Hulu Tembaga yang setara di kawasan
ASEAN; (2) memperluas dan meningkatkan akses pembiayaan dan infrastruktur keuangan lain
bagi Industri Hulu Tembaga; (3) meningkatkan kualitas SDM dan bisnis Industri Hulu
Tembaga; (4) memperkuat dan meningkatkan akses dan transfer teknologi bagi Industri Hulu
Tembaga untuk pengembangan Industri Hilir Tembaga yang inovatif; serta (5) fasilitasi Industri
Hulu Tembaga berkaitan akses informasi dan promosi di luar negeri.
Dalam Cetak Biru Pasar Ekonomi ASEAN, maka kerjasama pertambangan berusaha
meningkatkan perdagangan dan investasi serta kerjasama dan kapasitas sektor geologi dan
mineral untuk pembangunan sektor mineral yang berkelanjutan di kawasan ASEAN, melalui
tindakan :
Memfasilitasi dan meningkatkan perdagangan dan investasi di sektor mineral.
Meningkatkan pengembagan kelembagaan dan kapasitas SDM di sektor geologi dan
mineral ASEAN.
Mendorong pembangunan sektor mineral yang nerkelanjutan ,dan ramah lingkungan.
Mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan sektor mineral
Untuk menghadapi MEA 2015 ini maka pemerintah harus mencari peluang bagi pengembangan
potensi sumberdaya mineral yang ada yang mendukung pembangunan bangsa sesuai dengan
yang diamanahkan oleh UUD 45 serta berbagai peraturan yang berlaku pada industri ini agar
siap bersaing MEA yang akan diberlakukan Desember 2015.
Dalam melakukan penelitian pasar tembaga ASEAN yang dapat menopa perkembangan
indsutri pertambangan Tembaga di Indonesia, maka dilakukan berbagai tahapan :
Melakukan studi literatur pasar industri tembaga di Indonesia dan ASEAN
Melakukan pengumpulan data-data sekunder statistik perdagangan internasional antara
negara, yang terkait dengan pasokan dan permintaan konsentrat tembaga dan produk
tembaga di pasar ASEAN
Melakukan analisis dan interpretasi terhadap informasi statistik yang disajikan dengan
statistik deskriptif. Analsis dilakukan berdasarkan time series dan cross section
Mengambil kesimpulan dan saran terhadap analisis dan intepretai informasi yang telah
dilakukan
Dalam melakukan penelitian ini, maka cakupan dibatasi pada ekspor dan impor konsentrat dan
produk tembaga yang berlangsung di negara-negara ASEAN.
164
Pertimbangan lain dalam upaya peningkatan nilai tambah adalah sumber daya mineral dan
cadangan tersebar dan keberadaan di alam pada umumnya terbatas, Tdak dapat diperbaharui
(Non Renewable), merupakan bahan baku vital bagi industri primer dan sekunder, namun dapat
menjadi penggerak mula (prime mover) pembangunan suatu negara melalui penghasilan
devisa, lapangan kerja, pengembangan wilayah dan infrastruktur, serta investasi.
Sumber daya tembaga Indonesia sebesar 4.925 juta ton bijih dengan cadangan sebesar 4.161
juta ton bijih. Saat ini produksi tembaga dilakukan oleh dua perusahaan besar yaitu PT Freeport
Indonesia di Tembagapura dan PT Newmont di Batu Hijau. Namun hanya 30% dari total
produksinya yang dapat di olah di dalam negeri, konsentrat tembaga diproses lebih lanjut
menjadi katoda tembaga yang saat ini satu-satunya tempat pemrosesan tersebut dilakukan oleh
PT Smelting yang berada di Gresik Jawa Timur dengan kapasitas total 300.000 ton per tahun.
Pasar ekspor produk konsentrat tembaga Indonesia ditujukan dengan konsumen utama Jepang,
India, Koarea, Spanyol dan China. Selain itu ekspor dilakukan juga terhadap kawasan ke
ASEAN. Pada tahun 2014, ekspor bijih dan konsentrat tembaga sebesar 488.999 ton, tiga besar
negara utama tujuan ekspor konsentrat tembaga adalah Jepang sebesar 447.744 ton, India
sebesar 326.478 ton dan China sebesar 185.903 ton. Sejak diberlakukanya Permen No 1 tahun
2014, yang mengharuskan peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri, terjadi penurunan bahan tambang beserta penghasilan
ekspornya. Karena pemerintah melarang ekspor dalam bentuk produk yang belum mengalami
peningkatan nilai tambah yang dipersyaratkan oleh peraturan tersebut.
Sesuai pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian
mineral di dalam negeri, perlu diketahui tentang struktur pasar mineral. Karena struktur pasar
menentukan dalam perencanaan, evaluasi, dan pelaksanaan pengolahan dan pemurnian.
Investor akan membangun industri pengolahan dan pemurnian bila ada permintaan pasar. Pasar
adalah tempat pihak pembeli dan penjual dari barang/jasa bertemu untuk menetapkan harga
dalam bertransaksi. Transaksi mineral biasanya berlangsung sejak dari lokasi penambangan ke
konsumen. Bahkan sebelum produksi berjalan terutama pada saat kontsruksi penambangan,
konsumen sudah terikat perjanjian dengan persetujuan penjualan, bahkan kadang ikut serta
dalam pembiayaan kegiatan penambangan.
Menurut Gocht WR (1988), bursa logam London (London Metal Exchange), mengenal
beberapa jenis produk tembaga yang terbagi atas beberapa produk yang harganya tergantung
pada tingkat pengolahannya seperti :
Pasar komoditas bijih tembaga berkadar tinggi hasil penambangan langsung dalam jumlah
terbatas. Umumnya komoditas ini tanpa diolah dan diperlukan oleh industri tertentu.
Pasar komoditas konsentrat tembaga berasosiasi dengan emas, perak atau molibden dan
mineral berat lainnya seperti magnetit, ilminit, silika, zirkon dan sebagainya. Umumnya,
konsentrat ini berasal tambang tembaga yang berasosiasi dengan emas, perak, dan atau
molibden (Porfiri Cu-Au/Cu-Mo).
Pasar komoditas tembaga mentah (crude copper, produk dari smelting yang berasal dari
negara industri), dan
Pasar komoditas tembaga elektrolit produk dari pemurnian (refining) yang terdiri dari kabel
tembaga, balok tembaga, katode dan tembaga murni. Kadar tembaga mencapai 99,9%.
Selanjutnya komoditas ini dijual untuk bahan baku industri logam, kabel tembaga, industri
otomotif, elektronik dan sebagainya.
Ditinjau dari aspek pasar, hasil penambangan bijih tembaga dari Tambang Grasberg (Timika,
Provinsi Papua) dan Tambang Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (Provinsi Nusa Tenggara
Barat) diolah hingga tahap konsentrat, dengan tujuan untuk memudahkan pengangkutan ke
konsumen.
165
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulakan dari penelitian, maka informasi disajikan
dalam bentuk statistik deskriptip dalam bentuk grafik secara time series. Lalu dianalisis secara
cross section dengan membandingkan grafik-grafik terkait, maka dapat diperoleh informasi
sebagai berikut :
166
5. Ekspor produk Tembaga ASEAN
Gambar 11 menunjukkann grafik ekspor berbagai produk tembaga negara ASEAN. Pada tahun
2014 ini maka 5 negara ASEAN pengekspor produk tembaga adalah Malaysia, Indonesia,
Thailand dan Singapore, dan Philiphines dengan nilai ekspor berturut-turut 2.198.034.000 US
$, 1.967.400.000 US $, 1.357.800.000 US $, 741.679.000 US $, 658.882.000 US $ Selain itu
Laos, Vietnam, Myanmar dalam jumlah sedikit. Pada tahun 2014 semua negara utama
pengekspor produk tembaga di Asean mengalami penurunan eskpor, kecuali Indonesia
(Gambar 11), yang mengalami kenaikan dari tahun 2013 sebesar 1.737.564.000 US $ menjadi
1.967.400.000 US $ pada tahun 2014 .
10. Nilai Impor Produk Tembaga Indonesia dari Negara ASEAN (US $)
Negara ASEAN asal impor berbagai Produk tembaga ke Indonesia adalah Malaysia, Thailand,
Myanmar, Singapura, Philipina, Viet Nam, yang nilai berturut-turut adalah 75.960.000 US $,
70.733.000 US $, 47.823.000 US $, 46.272.000 US $ 14.558.000 US $, 3.503.000 US $, yang
diperlihatkan pada Gambar 16
167
11. Nilai Berbagai Produk Tembaga yang Diekspor Indonesia dari negara ASEAN (US $)
(Berdasarkan Kode Produk)
Nilai berbagai produk tembaga yang diekspr Indonesia ke negara negara ASEAN meliputi
produk tembaga yang berkode 7403, 7408, , 7404, 7415, 7409, 7412, 7419 , 7413, 7410 yang nilai
ekspornya berturut-turut adalah 511.542.000 US $, 483.444.000 US $, 39.315.000 US $,
30.540.000 US $, 1.225.000 US $, 1.085.000 US $, 995.000 US $, 481.000 US $, 215.000 US
$., yang grafiknya dapat dilihat pada Gambar 17. Rincian kode dapat dilihat pada Tabel 1.
12. Nilai Berbagai Produk Tembaga yang Diimpor Indonesia dari negara ASEAN (US $)
(Berdasarkan Kode Produk)
Nilai berbagai produk tembaga yang dimpor Indonesia dari negara negara ASEAN meliputi
produk tembaga yang berkode 7403, 7404, 7409, 7411, 7407, 7408, 7410, 7419, 7415, 7412, yang
niainya meliputi 71.890.000 US $. 48.893.000 US $, 30.316.000 US $, 24.489.000 US $,
24.199.000 US $, 18.886.000 US $,16.398.000 US $, 11.050.000 US $, 6.494.000 US $,
4.435.000 US $, yang grafiknya dapat dilihat pada Gambar 18. Rincian kode dapat dilihat pada
Tabel 2.
Pada tahun 2014 di Indonesia mengalami penurunan ekspor konsentrat tembaga, baik kuantitas
maupun nilainya. Begitu pula halnya pada pasaran di Asean maupun pasar global. Namun di
Asean Indonesia pada tahun 2014 mengalami kenaikan nilai ekspor produk tembaga,
dibandingkan negara lain yang mengalami penurunan. Begitu pula halnya dengan nilai impor
berbagai produk tembaga negara ASEAN pada tahun 2014 secara umum mengalami
penurunan. Hal yang sama terjadi pada nilai ekspor dan impor produk tembaga di antara sesama
negara ASEAN mengalami penurunan. Namun nilai ekspor produk tembaga Indonesia ke
negara ASEAN, khususnya Thailand, Viet Nam dan Singapura mengalami kenaikan, sedang
nilai impor produk tembaga dari Asean mengalami penurunan kalau pun ada yang mengalami
kenaikan maka naiknya tidaklah begitu besar. Kenaikan nilai ekspor produk tembaga di
ASEAN terjadi pada produk berkode 7403, yang merupakan refined copper dan copper alloy,
unwrought. Sedang pada produk lainnya, 7408, mengalami penurunan niai ekspor. Pada produk
tembaga yang diimpor Indonesia, maka produk utama tembaga yang diimpor oleh Indonesia
berkode 7403 dan 7409 dan 7404.
Dalam melakukan terobosan pasar ekspor produk tembaga Indonesia, selain kajian peluang dan
potensi Pasar produk tembaga di Asean, maka menjelang pemberlakukan MEA adalah teknik
pemasaran yang sistimatis dan fokus. Strategi pemasaran produk seperti harga, kemasan,
distribusi, promosi , kualitas dan kuantitas produk yang kontinyu merupakan faktor utama yang
harus diperhatikan. Indonesia memiliki bahan mentah konsentrat tembaga yang merupakan
keunggulan komparatif dibanding dengan negara ASEAN lainnya, kecuali Philipina dan Laos.
Dengan adanya pelarangan ekspor konsentrat tembaga, maka daya serap konsentrat tembaga
harus ditingkatkan antara lain dengan melakukan peningkatan nilai tambah konsentrat tembaga
melalui capacity building nasional dalam bentuk usaha menarik investor smelter tembaga. Dari
tahun 2013 ke 2014 akibat pelarangan ekspor konsentrat tembaga telah menurunkan
penghasilan penjualan konsentrat tembaga perusahaan yang menambangya. Dengan
diberlakukannnya MEA maka diharapkan pemerintah dapat memberikan insentif dan
infrastruktur keuangan yang kondusif, yang dapat meningkatkan industri hilir tembaga yan
dapat menjadi serapan bagi produk tembaga yang dihasilkan smelter tembaga nasional, baik
yang teah ada maupun yang akan didirikan..
168
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian pasokan dan permintaan pada industri tembaga yang berada di kawasan
Asia Tenggara, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut.
Kesimpulan
Di kawasan Asia Tenggara hanya Indonesia dan Philipina yang memiliki industri
tembaga yang berbasis pada industri tambang tembaga dan smelter tembaga.
Impor konsentrat tembaga di kawasan ini mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga
2014
Impor produk tembaga dan ekspor produk tembaga negara-negara kawasan ini
umumnya mengalami penurunan. Namun pada tahun 2014 produk utama tembaga
Indonesia, 7403, yang diekspor ke Asean mengalami kenaikan, sedang produkk utama
tembaga lainnya berkode 7408 mengalami penurunan.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri hulu tembaga,
dibandingkand negara ASEAN lainnya, selain Philipina dan Laos. Karena memiliki
potensi konsentrat tembaga yang besar yang dapat digunakan oleh para investor untuk
membangun smelter dan industri hilir tembaga lainnya di kawasan Asean.
Saran
Pada saat MEA mulai diberlakukan maka diharapkan bahwa negara-negara di kawasan
ini sedapat mungkn memanfaatkan bahan baku konsentrat tembaga yang terdapat di
kawasan ini, khususnya Indonesia dan Philipina dibandingkan dengan konsentrat
tembaga yang berasal dari kawasan benua lain. Namun faktor harga, logistik, dan
kontinyuitas permintaan dan pasokan akan berperan dalam terjalinnya hubungan
kerjasama industri baru, yang dapat dibina dalam MEA pada desember 2015.
169
VI. Daftar Pustaka
170
1200000 3500000
Japan 3000000
1000000 2500000
China
2000000
800000 India
1500000
Spain
600000 1000000
Korea, Republic of
500000
400000 Bulgaria
0
Sweden 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
200000
Philippines Japan China India Spain Korea, Republic of
Gambar 1 Gambar 2
Ekspor Kosentrat Tembaga Indonesia ke Pasar Global (Ton) (Sumber Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke Pasar Global ($ US)
ITC) (Sumber ITC)
120000
100000
80000 Philippines
Malaysia
60000
Singapore
0
2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 4
Gambar 3
Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke ASEAN (US $)
Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke ASEAN (ton)
(Sumber ITC)
(Sumber ITC)
Gambar 6
Gambar 5 Impor Konsentrat Tembaga ke ASEAN (dalam US $) (Sumber
Impor Konsentrat Tembaga ASEAN (ton) (Sumber ITC) ITC)
171
Gambar 8
Ekspor Konsentrat Tembaga Negara-negara ASEAN (Ton)
(Sumber ITC)
Gambar 7
Ekspor Konsentrat Tembaga Negara ASEAN (US $) (Sumber ITC)
Gambar 10
Impor Konsentrat Tembaga ASEAN dalam Ton (Sumber ITC)
Gambar 9
Impor Konsentrat Tembaga ASEAN dalam US $ (Sumber ITC)
Gambar 12
Impor Berbagai produk Tembaga ASEAN dalam US Dollar
(Sumber ITC)
Gambar 11
Ekspor Berbagai Produk Tembaga ASEAN dalam Dollar US (Sumber ITC)
172
Gambar 14
Ekspor Berbagai produk Tembaga Antara ASEAN dalam US
Dollar
Gambar 13 (Sumber ITC)
Impor Berbagai produk Tembaga Antara ASEAN dalam US Dollar
(Sumber ITC)
Gambar 15
Nilai Ekspor US Dollar Produk Tembaga Indonesia ke negara ASEAN Gambar 16
(Sumber ITC) Nilai Impor Berbagai Produk Tembaga yang Diimpor Indonesia
dari Negara ASEAN
Tabel 1
Kode Berbagai Produk Tembaga yang Diekspor Indonesia Ke
Negara ASEAN
'7403 Refined copper and copper alloys, unwrought
'7408 Copper wire
'7407 Copper bars, rods and profiles
'7404 Copper waste and scrap
Nail,tack, etc of copper or iron, with head of
'7415 copper
Copper plates, sheets and strips, of a thickness
Gambar 17 '7409 exceeding 0.15mm
Nilai ekspor berbagai Produk Tembaga Indonesia ke Negara Asean '7412 Copper tube or pipe fittings
Berdasarkan Kode Produk Tembaga (Sumber ITC)
'7419 Articles of copper nes
Copper strandd wire,cables,plaitd bands, not
'7413 elect insulatd
173
Tabel 2
Kode Produk Tembaga yang Diimpor Indonesia dari ASEAN
Product
Product label
code
174
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Sari
Penurunan harga batubara secara global dalam dua tahun terakhir ini mendorong setiap
perusahaan untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan ini. Salah
satu langkah strategis yang dilakukan adalah melakukan perubahan pada design tambang
dengan melakukan optimasi design pada cadangan batubara dan melakukan penambangan di
area-area yang memiliki resiko geoteknik yang tinggi. Strategi ini harus didukung dengan
manajemen resiko geoteknik yang baik untuk menjamin keselamatan pekerja dan peralatan
tambang dari bahaya longsoran. Pemantuan lereng yang terintegrasi secara real time dilakukan
untuk memberikan informasi terpercaya dan akurat dari pergerakan lereng kepada tim
geoteknik dan operasional tambang.
Dengan kondisi Pit 2 Asam Asam Barat yang semakin mendekati desain final, tantangan operasi
tambang terbuka akan semakin meningkat menjelang akhir life of mine dalam hal stabilitas pit
dan keamanan operasi. Makalah ini mencakup ikhtisar kondisi geologi dan geoteknik, kontrol
air tanah, pemantauan stabilitas lereng tambang, peningkatan umur tambang dengan
menggunakan pemantauan lereng dalam hubungannya dengan prosedur manajemen resiko, dan
peran tim geo-mekanik dalam pelaksanaan slope control management untuk memaksimalkan
recovery batubara pada area operasi beresiko longsor di PT Arutmin Indonesia, Tambang Asam
Asam. Daerah yang sebelumnya dianggap terlalu berbahaya untuk dilakukan operasi
penambangan, dengan adanya informasi yang akurat dari monitoring lereng yang real time yang
didukung oleh staf yang berkompeten dan kerjasama dengan operasional tambang, optimasi
batubara dapat dilakukan dengan aman dan dinding tambang dapat dibuat lebih curam.
175
Latar Belakang
PT Arutmin Indonesia (PTAI) merupakan salah satu perusahaan yang memiliki Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari Pemerintah Republik Indonesia. PT
Arutmin Indonesia memiliki empat wilayah pertambangan yang tersebar di Kalimantan Selatan,
yaitu Tambang Asam asam, Tambang Satui, Tambang Batulicin, dan Tambang Senakin. Pit 2
Asam Asam Barat merupakan salah satu pit aktif yang dikerjakan di bawah manajemen PT
Arutmin Indonesia, Kantor Tambang Asam Asam.
Secara umum, wilayah kerja Tambang Asam Asam berada pada Formasi Warukin, dengan
endapan batubara yang memiliki arah jurus realtif Barat Daya – Timur Laut.Litologi di
Tambang Asam Asam termasuk dalam Formasi Warukin (Supriatna, dkk., 1995). Hasil
penelitian terakhir menunjukkan bahwa formasi ini memiliki nilai kekerasan yang relatif rendah
dalam sistem Point Load Index. Ketidakstabilan lereng di Tambang Asam Asam ditandai
dengan terdapatnya lapisan massa batuan lokal carbonaceous mudstone yang lemah dan kondisi
air tanah yang relatif jenuh.
Aktivitas in pit dump pada Pit 1 dan finalisasi Pit 2 memerlukan perhitungan dan analisis
geoteknik yang akurat untuk memastikan aktivitas penambangan berjalan dengan aman dan
lancar serta target produksi batubara bisa dicapai. Mengingat gejala ketidakstabilan lereng pada
pit aktif Tambang Asam Asam sering terjadi, khususnya pada area low wall, maka hal ini
176
menjadi tantangan tersendiri bagi Tambang Asam Asam untuk mengoptimalkan produksi
dengan tetap memperhatikan kestabilan lereng tambang.
Sebuah sistem pemantauan lereng terintegrasi, yang terdiri dari sistem radar real time,
dikombinasikan dengan total station untuk memantau prisma, dan piezometer, digunakan untuk
memastikan stabilitas lereng dan kondisi aman pertambangan bawah lowwall tersebut.
Batasan Masalah
Batasan masalah pada artikel ini adalah seputar pengelolaan pemantauan kestabilan lereng
tambang dalam rangka memaksimalkan recovery batubara pada lantai tambang low wall Pit 2
Tambang Asam Asam.
Dasar teori yang digunakan adalah metode prediksi waktu longsoran dengan menggunakan
invers kecepatan. Metode ini dikembangkan oleh Fukuzono (1985) dengan melakukan
percobaan pada massa tanah pada skala laboratorium. dan telah dibuktikan dilapangan dengan
pengukuran data dari pemantauan konvensionalseperti prisma (Rose and Hungr, 2007). Metode
yang sama dapat dilakukan dengan menggunakan data pemantauanreal time dari radar pada
massa batuan lemah.
di mana t adalah waktu, A dan α adalah konstanta dan tf adalah waktu terjadinya longsoran.
Aplikasi sederhana dari metode ini adalah dengan melakukan ekstrapolasi linier dari pola data
invers kecepatan terbaru sampai dapat dilakukan projeksi dan berpotongan dengan aksis
horizontal (waktu). Perpotongan inilah yang kemudian diasumsikan sebagai prediksi waktu
terjadinya longsoran.
177
Sebuah analisis grafik yang komprehensif telah dilakukan oleh Mercer (2006), menyimpulkan
bahwa untuk prediksi waktu terjadinya longsoran didasarkan pada perubahan pola laju
deformasi daripada mengidentifikasi mode ketidakstabilan atau membuat perbandingan laju
deformasi sesaat. Grafik ini ditandai oleh lima tahap yang berbeda dari perilaku deformasi:
Meskipun perilaku keseluruhan selama tahap 1 dan 2 adalah regresif, pada tahap 2 massa batuan
akan menjadi lebih tertekan dan laju deformasi rata-rataakan semakin tinggi untuk jangka waktu
yang lama. Perubahan sifat laju deformasi dan fungsi peluruhan diterjemahkan menjadi
perubahan dalam hubungan eksponensial negatif. Ada kemungkinan bahwa retakan dapat
terjadi di puncak lereng sebelum terjadinya tahap 3. Dalam hal ini massa batuan di belakang
retakan mungkin mulai menunjukkan perlambatan dan rebound yang elastis.
Selama perilaku regresif dalam tahap 3, massa batuan yang stabil di belakang badan longsoran
akan mulai mengalamirebound elastis. Rebound ini biasanya berhubungan dengan skala besar
perkembangan pembentukan retakan dan ditandai dengan laju deformasi horizontal negatif
pada puncak maupun setelah titik keruntuhan.
178
Gambar 4Waktu dan peristiwa berdasarkan model deformasi massa batuan (Mercer, 2006)
Pokok Bahasan
Dengan penurunan harga batubara global, PT Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam
mengembangkan strategi untuk mengatasi tantangan ini. Engineering Department PT Arutmin
Indonesia Tambang Asam Asam melihat potensi peningkatan recovery batubara di area low
wall Pit 2 yang memiliki risiko geoteknik yang cukup signifikan.
Kondisi Pit
Pit 2 Tambang Asam Asam memiliki dimensi kedalaman 155 m, dengan crest lereng low wall
berada pada elevasi RLP60 sedangkan lantai tambang berada pada elevasi RLM95.
Litologi batuan pembentuk lereng low wall Pit 2 Tambang Asam Asam pada umumnya adalah
sandstone, mudstone, silstsone, dan batubara.Rata-rata massa batuan tersebut, kecuali lapisan
batubara, memiliki kekuatan sekitar 120 kPa. Selain itu terdapat lapisan bidang gelincir berupa
carbonaceous mudstone, yang memiliki ketebalan ±20 cm. Kondisi ini ditambah dengan
179
kondisi air tanah yang relatif jenuh, sangat mempengaruhi kekuatan lereng low wall Pit 2
Tambang Asam Asam.
Sepanjang tahun 2015 ini telah terjadi beberapa kali gejala ketidakstabilan lereng tambang di
area low wall Pit 2 Tambang Asam Asam. Pada tanggal 24 Februari 2015 ditemukan retakan
sepanjang ±290 meter di area low wall Blok 08-11 Pit 2, yang mana pada tanggal 19 Maret
2015, retakan ini semakin memanjang ke arah relatif Barat dengan panjang akumulatif ±500
meter. Pada tanggal 15 Februari 2015, terjadi pergerakan di floor lapisan batubara CU3 Blok
07 RLM45-RLM72 Pit 2. Dan pada tanggal 16 April 2015 terjadi pergerakan di area low wall
Blok 09-10 RLP55-RLP15 Pit 2.
Gambar 5 Peta historical resiko geoteknik Pit 1-3 Tambang Asam Asam
Pada Gambar 7 di bawah ini menunjukkan kondisi lereng low wall Blok 09 Pit 2 Tambang
Asam Asam, di mana saat ini terdapat 3 retakan, masing-masing di RLP52, RLM25, dan
RLM45. Hal ini akan banyak mempengaruhi kestabilan lereng low wall terkait dengan rencana
optimasi coal seam CU2 dan CU3 pada RLM80 – RLM95.
180
Gambar 6Penampang melintangA-A’ Pit 2 Blok 09 Tambang Asam Asam
Evaluasi secara numerik dengan menggunakan metode kesetimbangan batas pada perangkat
lunak SlopeW dan Slide. Estimasi kekuatan massa batuan yang digunakan pada analisis ini
berdasarkan pada hasil pengujian di laboratorium dan mengikuti kriteria Hoek & Brown.
Sesuai hasil analisis balik di atas, didapatkan estimasi bidang gelincir dan properties material
yang cukup lemah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kestabilan lereng low wall ini
memerlukan sistem monitoring yang memadai untuk untuk mengawal optimasi penambangan
batubara. Berdasarkan historical kejadian pergerakan tanah yang pernah terjadi di sepanjang
low wall Pit 1-2 Tambang Asam Asam adalah pergerakan tanah tipe rayapan (creeping) dengan
rata-rata kecepatan pergerakan mulai 1 cm/hari sampai dengan 1,5 m/hari. Sehingga tim
Geoteknik PT AI Tambang Asam Asam optimis dapat melakukan optimasi pengambilan
batubara di daerah rawan longsor low wall Pit 2 ini.
181
Pemantauan Pergerakan Lereng Menggunakan Radar
Slope Stability Radar (SSR) merupakan instrumen untuk melakukan pemantauan lereng
(monitoring) yang mengukur deformasi dari beda fase gelombang secara real time. SSR
melakukan pemindaian suatu area dalam waktu tertentu dan membandingkannya dengan
pemindaian sebelumnya untuk menghasilkan nilai pergerakan suatu lereng. Keunggulan SSR
dibandingkan dengan metoda pemantauan lainnya adalah mampu melakukan pemantauan area
luas tanpa menempatkan reflektor di dinding lereng. SSR mampu mengukur pergerakan lereng
sampai sub-milimeter tanpa terpengaruh hujan, kabut, debu, maupun asap. Peralatan ini mampu
melakukan pemindaian 270° secara horizontal dan 120° secara vertikal, serta mudah berpindah
tempat dan memiliki mobilitas yang tinggi.
Pada Tabel 1 berikut ditunjukkan beberapa kemampuan teknologi yang digunakan untuk
pemantaun kestabilan lereng dengan Slope Stability Radar (SSR)
Dari Tabel 1 diatas, ditunjukkan bahwa dengan menggunakan radar kita dapat melakukan
pengukuran dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi namun data yang diperoleh hanya berupa
data deformasi 2D (belum memperhitungkan deformasi kearah vertikal/elevasi dari suatu
lereng).
Pada sisi lain, akurasi data yang didapatkan dari pengukuran dengan radar masih jauh lebih baik
dibandingkan akurasi yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan alat ukur lainnya.
182
Selain itu radar lebih optimal digunakan untuk pemantauan kestabilan lereng yang sifatnya
berkelanjutan (dilihat dari limitasi jangka waktu pengamatan yang mencapai 12 minggu). Hal
ini dikarenakan data radar dikelola dengan perangkat lunak SSRViewer 8.1 dan otomatis
tersimpan ke dalam server yang disedikan khusus sebagai media penyimpanan data radar.Data
dari radar dikirim ke kantor melalui WLAN tambang. SSR dilengkapi perangkat
lunakSSRViewer untuk mengetahui deformasi dengan gambar visual dan dapat digunakan
untuk mengatur alarm guna memperingatkan kondisi lereng yang tidak stabil dan aktif
bergerak. Grafik deformasi memberikan definisi spasial yang jelas tentang lokasi, jumlah,
kecepatan, waktu dan estimasi kapan dinding akan runtuh/longsor terhadap volume massa
batuan yang bergerak.
Untuk pemantauan pergerakan dinding low wall Pit 2 dalam rangka optimasi batubara CU2 dan
CU3, radar ditempatkan di top crest high wall pada elevasi RLP 20 dengan jarak 500 meter dari
toe low wall sampai dengan 1400 meter dari crest low wall.
Hasil pemantauan pergerakan akumulatif dinding low wall Pit 2 dari SSR pada piksel-piksel
yang tersebar pada area dengan elevasi RLM 60 – RLM 95 mulai tanggal 27 Juli 2015 sampai
dengan03 September 2015 dapat dilihat pada Gambar 11. Sedangkan Gambar 12 merupakan
grafik invers kecepatan pergerakan dinding low wall Pit 2.
183
Gambar 10 Grafik waktu vs total pergerakan dan kecepatan Blok 09 Pit 2 Tambang Asam
Asam
Gambar 11 Grafik waktu vs total pergerakan dan invers kecepatan Blok 09 Tambang Asam
Asam
Dari data pergerakan lereng tersebut berikut adalah karakter pergerakan LW Pit 2 :
184
2. Trend pergerakan secara umum menunjukan trend yang relatifprogresif, yang terbagi
beberapa fase yaitu fase linier/konstan, fase regresif, dan fase progresif.
3. Prilaku pergerakan lereng yang dinamis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu,
curah hujan, karakter material penyusun lereng, dan pola pemotongan lereng.
Dari hasil analisis dan prediksi longsoran diatas dapat diklasifikasikan perilaku deformasi
lereng menjadi empat tahap utama, yang terdiri dari tiga tahap sebelum longsoran(Broadbent
dan Zavodni, 1982, Mercer, 2006) dan satu tahap setelah longsoran (Mercer,2006). Tahap
sebelum longsor terdiri dari tahap perilaku perpindahan linier, tahap perilakuperpindahan
progresif dan terjadinya longsor. Tahap setelah longsorterdiri dari tahap rebound dimana
perilaku material menjadi regresif mendekati stabil.
Pada perilaku tipe linierdibutuhkan pemicu yang kuat untuk menjadi longsorseperti adanya
hujan, peledakan, peningkatan muka air tanah secara drastis. Sementara pada perilakutipe
progresif dibutuhkan pemicu kecil untuk berkembang menjadi longsor. Kedua jenisperilaku
deformasi akan tetap regresif, jika peristiwa pemicu stabilitas lereng dihilangkan.Data
perpindahan dari lereng yang tidak stabil menunjukkan terjadinya perilaku deformasikompleks
dan bervariasi, terutama pada tahap progresif sampai tahap rebound setelah longsor.Terjadinya
perilaku deformasi yang kompleks tidak terbatas pada tahap progresif tetapi dapatdimulai pada
tahap regresif. Perilaku deformasi pada lereng bersifat kompleks dan bervariasidi lokasi yang
berbeda dan menunjukkan reaksi beragam pada massa batuan.
Rencana pengelolaan dan pengendalian kestabilan lereng tambang merupakan panduan yang
menjelaskan langkah-langkah untuk mengelola bahaya dan risiko yang berkaitan dengan
kestabilan lereng tambang. Dimulai dengan analisis desain tambang, identifikasi bahaya yang
berkaitan dengan pelaksanaan desain, dan monitoring pergerakan lereng. Hal ini diikuti dengan
proses analisis resiko dari bahaya selama pelaksanaan desain, yang meliputi mitigasi
identifikasi kontrol sampai pemilihan kontrol mitigasi dan implementasi pengendalian mitigasi
serta pemantauan pelaksanaan pengendalian mitigasi.
Analisispergerakanle
reng
Linier
Kontinyu
Trendpergerakan monitoring
Regresif
Progresif
≤ 2 hari Bahaya
Analisislanjutan
(estimasi waktu 2-7 hari Waspada
longsor)
≥ 7 hari Hati-hati
Gambar 12 Diagram alir penilaian kriteria bahaya pergerakan lereng tambang Asam Asam
185
Tabel 2 Penilaian kriteria bahaya pergerakan lereng tambang
Hari sebelum
Kriteria Respon
longsor
≤2 hari Bahaya Evakuasi & sterilisasi area kritis.
Tim geoteknik terus memantau kondisi dinding dengan menggunakan SSR dan pemeriksaan
visual di lapangan.
Dari data pergerakan lereng ini, tim geoteknik memberikan beberapa rekomendasi sesuai
dengan kondisi perilaku pergerakan lereng. Pada saat fase pergerakan progresif yang sudah
melebihi ambang batas, maka operasional penambangan dihentikan terlebih dahulu atau
dialihkan ke area yang lebih aman. Karakter pergerakan low wall Pit 2 ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik berupa faktor alami maupun operasional tambang. Faktor pengaruh yang
bisa dikendalikan kemudian dikontrol sedemikian rupa sehingga penambangan batubara di area
ini belangsung dengan aman.
Kesimpulan
1. Kombinasi slope control management dan real time monitoring dapat memberikan
keyakinan kepada geotechnical engineeruntuk mengambil keputusan dalam memberikan
rekomendasi kepada operasional di daerah yang memiliki resiko geoteknik dan rawan
longsor.
2. Slope monitoring untuk mengetahui perilaku batuan merupakan hal yang sangat penting
dalam melakukan optimasi perolehan batubara di area yang rawan longsor.
3. Perilaku progresif, linear dan regresif dapat diidentifikasi selama proses pemantauan lereng.
Perilaku progresif umumnya dipicu oleh hujan dan pola pemotongan bagian lereng yang
telah mengalami retakan.
186
Daftar Pustaka
Broadbent, C.D., dan Zavodni, Z.M., 1982, Influence of Rock Structure on Stability, Stability
in Surface Mining, Volume 3, Society of Mining Engineers, Chap. 2.
Fukuzono, T., 1985,A new method for predicting the failure time of a slope, Proceedings of the
fourth international conference and field workshop on landslides, Tokyo: Japan Landslide
Society, pp. 145–50.
Mercer, K.G., 2006, Investigation into the time dependent deformation behaviour and failure
mechanisms of unsupported rock slopes based on the interpretation of observed
deformation behaviour, Doctoral Thesis, Universityof the Witwatersrand, Johannesburg.
Supriatna, S., Sukardi, dan Rustandi, E., 1995, Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan
Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
187
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Push Back 9S3 (PB9S3) is one of critical area at Grasberg Open Pit Mine, PT Freeport
Indonesia. Most of existing shovels are allocated in this working area. Instability issue was
identified on November 2014 which involve approximately 100 meters of slope height and
25,000 m2 of moving area. This situation created significant challenges from technical and
operation point of view. Remediation program had to be executed in several geotechnical
constraints, very high precipitation and limited working space.
Geotechnical working criteria was developed base on geotechnical monitoring analysis, rainfall
data, run-out simulation, and our historical information to ensure safe working area during
remediation program and production activities underneath unstable slope. Refining geological
model in this area was proceeded as well to define more accurate slope stability analysis and
mine design up to the final pit (life of mine).
Remediation program is successfully executed to provide more stable slope, improved drainage
system, and less pit design modification. Currently remediation program is still on-going
however geotechnical monitoring already showed stable and less movement on the rock mass
which means our work plan is effective to deal with this situation.
This paper elaborate how the team managed this instability issues in critical working area
through systematic geotechnical and hydrology monitoring program, run-out simulation to
determine impacted areas, remediation program by unloading material-drainage improvement-
geotextile coverage, and working criteria application (conservative blasting criteria and mining
sequences).
188
Introduction
Grasberg Open Pit Mine, PT Freeport Indonesia is located in Papua, Indonesia and passed by
equator line with coordinates 4o LS and 137oBB on highest top point 4285masl. The weather
condition as it is the tropical climate is different from highland areas in other tropical regions
in Indonesia. The weather is unique, where the sun shining just in the morning until noon and
then shrouded in thick fog and rain. The temperature range is from 1o- 20oC and cumulative
rainfall is about 4000 mm/year. The unique weather especially the presence of heavy rainfall,
affecting the condition of soil and rock in the Grasberg Open Pit Mine. Highly rainfall has
increased the surface runoff and infiltration intensity and given bad impact to the soil and rocks
strength that will cause the slope instability.
There arethree active Push Back (PB) in Grasberg Open Pit Mine for instance: Push Back 9
South 3 (PB9S3), Push Back 9 South 4 (PB9S4) and Push Back 9 North 2 (PB9N2), these
named based position area against wind directions. The ore production is coming from PB9S3
(161 kT per day) and PB9N2 (35 kT per day). PB9S3 is located at South of Grasberg and above
PB9N2. Many geotechnical issues are found in PB9S3 including uncontrolled surface and
ground water, weak material properties, and major geological structure control.
The PB9S3 production target is 260 kT per day (161 kT ore and 99 kT waste). All mining
activities in PB9S3 is mining to final pit design, any significantgeotechnical issues above
PB9S3 will be highly impacting PB9S3 mining activities itself and PB9N2/pit bottom below.
Slope monitoring tools (Radar, Prisms, GPS, rainfall station, and Piezometer) are deployed to
monitoring the PB9S3 wall movement.
Slope movement was first detected by Radar (SSR-XT#133 and IBIS#1) on November 28, 2014
signaling of sudden increasing of deformation with velocity 0.5 mm/hr on an area Push Back
9S3 Final Wall 3625 to 3700L involving approximately 100 m of slope height and 25,000 m2
of moving area. Then it started to progressively increase to 2.1mm/hr and 3.1mm/hr after high
precipitation on 26 Dec 2014. The moving area expanded by 300% (from 8,600 m2 to 25,300
m2) due to high precipitation on 4-5 January 2015, with peak velocity of 9.9mm/hr. The PB9S3
slope was designed with 400 ISA following its material.Inadequate drainage system has
impacted the movement since water infiltrate into GTRCK#4 with high sericite content (15-20
%). Sericite mineral which fill the structure is very sensitive to water, where the sericite will be
acting like clay (sticky and very low strength material). The double bench on 3595L-3625L
slope at the toe of moving area also contributed to create over steep slope design in low strength
material (deteriorated material) at the toe of moving area.
189
Figure 2. PB9S3 Movement development.
The movement area located in dalam coarse material (GTRCK#4) with high sericite (20%) and
is controlled by series of structures:
- N 240˚E/50˚, in density 3-5/m, filled by clay gouge, sericite-pyrite
- N 315˚E/60˚, in density 2-3/m,
- N 010˚E/58˚, in density 1-2/m (X1)
- N 350°E/70°, in density 1-2/m (X2)
Crack series were found around moving area following the structure orientation.
During high rainfall in November 2014 – January 2015, drainage system improvement (short
term remediation) was done level by level to reduce water infiltration, they are:
- Phase 1 ( 3655/B-3540/B):
- Grading ramp 3655/B with gradient 4% (total 80m long).
- Installing conveyor ditch (375m)
- Concrete ditch 3655/B (160m)
- Phase 2 (3670/B):
- Directing run off to left and right side (total length 100m gradient 4%).
- Concrete ditch and sump 3670/B (100m)
- Installing drop drain from sump 3670/B to sump 3640/B
- Phase 3 (3685/B)
- Directing run off to left and right side (total length 100m gradient 4%).
- Concrete ditch and sump 3670/B (80m)
- Installing drop drain from sump 3685B to 3670B.
- Phase 4 (3700/B)
- Directing run off to left and right side (total length 100m gradient 4%).
190
- Concrete ditch and sump 3670/B (80m)
- Installing drop drain from sump 3700B to 3685B
Since the unstable final wall located above active push back, working criteria was provided to
mitigate slope failure. The evacuation limit was defined using run out prediction of DAN3D.
The total volume of failure prediction is 26.000 m3.The first working criteria was made as a
precaution and gather more information of displacement trend, they are:
- Velocity 5 mm/s over 4 pixels.
- Or - No accelerate movement.
191
Figure 6. Evacuation Limit for PB9S3 Slope Movement in first working criteria (1 Dec 2014)
However, since the moving area developed into larger scale then new working criteria was
provided with more failure prediction volume (283,000 m3) and new evacuation limit (including
pit bottom). The new working criteria are:
- Movement velocity (radar) >10mm/hrs, 20 contiguous pixels (~2800m2), 4 hrs moving
average of moving area.
- Or - acceleration of movement occurred
- Or - Rainfall Criteria: Cumulative 24hrs rainfall >45mm, 48hrs>65mm, 72hrs>90mm
(Yapen)
Since blasting activities still continued below moving area, Geotech provided blasting criteria
to avoid excessive energy toward the unstable wall. The criteria are:
- Must have enough free face
- Echelon tie up and use proper time delay (62*90 for GTRCK 2/pockerchip and 62*89 for
hardzone material)
- For trim shot blasting, row#1 must be acting as line drilling (buffer) and the explosive
charge on row#2 must be reduced to prevent more back break on the final catch bench.
The long term remediation plan was discussed with GRS Engineering to determine the most
suitable plan by considering the impact to operation activities at push backs below, cost, unit
capabilities, and final pit design. There were two options for PB9S3 remediation, they are;
- Unload all moving material starting from 3700L with 340 ISA below 3700L and 420 ISA
on 3715L-3685L (total material unloaded 200 kT)
192
- Unload all moving material starting from 3915 (Q3 road) following ISA recommendation
for actual material (total material unloaded 6.4 MT)
Slope Stability Analysis is completed for those options by geotechnical team based on
geological data, hydrology data & monitoring data for those two options. Refining geological
model was done to find the actual condition of PB9S4 in terms of structures, material, and
sericite content. It is found that the moving area located on deteriorating material, the
GTRCK#4 high sericite contain material has deteriorated into GTRCK#3. This changing is
applied into material strength that used for slopeW analysis, and the slope design as well. Based
on piezometer reading on PB9S3, the phreatic line is still located behind heavy sulfide zone
(HSZ) while the moving area located in front of the HSZ. That’s why the material behind
moving area is assumed as dry. Therefore to analyze the remediation options, the water
condition is assumed dry since the moving material will be removing and leaving original
material (dry) on PB9S3 final wall.
Based on slopeW analysis, both options provide FoS>1.0. In terms of geotechnical aspect, the
second option is the best option and provide guarantee of the slope stability. However it will
take 6 months to complete the remediation design and highly impacted Grasberg production
planning. To complete the second option, it will utilize shovel, trucks, excavators, and dozers.
The cost will be higher as well. While the first option will need smaller number of equipment
utilized and faster to complete than the second one (2 months). The challenge of the first option
is limited working space, the access to the top of moving area is very small (catch bench with
8m width). Therefore to unload the moving area, it’s decided to cast material from top to bottom
(PB9S3 – 100m) then load the casting material from the bottom. To accommodate this
activities, 30m of PB9S3 width below remediation will be closed. The total time used for
remediation will impact the production of PB9S3 below.
193
Since the FoS of first option is not as big as the second, good drainage system on the remediation
wall is planned. The drainage system design is:
- Grading all the catch bench to the east sump before connected to GDW 10.
- Grading the catch bench to the toe.
- Construct ditch at the toe covered with conveyor belt.
- Cover all the remediated slope using geo-textile to avoid slope erosion.
Based on those considerations, GRS management decided to use the first option. If the first
option not succeeded (acceleration still occurred) then there’s still time to do the second option
(since material moving on first option is all included in the second one).
The remediation was started on 12 February 2015 by casting and dozing material from 3700L
to 3595L. Dedicated equipment and manpower were allocated to this project in order to achieve
target.
The working criteria used for remediation activities are:
- No blasting used during remediation process.
- Supervised by operation, safety, and geotech spotter.
- Movement velocity (radar) >10mm/hrs, 20 contiguous pixels (~2800m2), 4 hrs moving
average of moving area.
- Or - acceleration of movement occurred.
- Or – rainfall criteria < 3 mm/hr
- Or - Rainfall Criteria: Cumulative 24hrs rainfall >45mm, 48hrs>65mm, 72hrs>90mm
(Yapen)
During remediation projects, continuous analysis was done to update the actual condition. Hard
material (fresh GTRCK#4) was found after 5m cutting, indicated that the deteriorated material
is not very bad, design adjustment was immediately taken on the field by leaving hard material
as it is and continue to unload the rest of deteriorated material.
The slope deformation was getting slower since remediation started. At 24 February 2015, high
precipitation occurred (reached 110.6 mm/ 24 hrs) at Grasberg. The remediation activities was
evacuated following working criteria. At this time, remediation has reached 3670L. Radar
recorded no acceleration on the remediated wall (3700L-3670L) after this event. Since no
accelerate occurred, the thick of the moving area is assumed 5m following the fresh GTRCK#4
material position.
194
Figure 11. High Rainfall Event vs Impact of Remediation Progress after
high precipitation (25 Feb 2015)
Further analysis was done after the high precipitation with considerations:
- New boundary of moving area
- Since no deformation recorded from remediated slope (3700-3685) during high
precipitation on 24 Feb 2015 (total cumulative rainfall 110.8 mm/24hrs) then the moving
material is assumed as thick as material casted from 3700-3670/L during remediation
process (5m)
- Failure started from 3655/B
From the latest run outsimulation, the total volume of the failure predicted is 121.000 m3. The
simulation shows that most of failure material will be trapped in PB9S3 while some of it will
reach pit bottom area A and D (not the whole pit bottom). New evacuation limit at pit bottom
by reducing 260m from previous one was applied.
Rainfall analysis also done to re-check the existing rainfall criteria. It is found that using the
existing criteria, the closure time was 5.4% of the time (during Nov 2015- Feb 2015). But
considering the total rainfall occurred during that period, it was recommended to increase the
cumulative rainfall criteria to 65 mm/24 hrs. This new rainfall criteria will reduce the closure
time to 2.4%.
New working criteria was developed after this event following the run out and rainfall analysis,
they are:
- Movement Velocity (radar) > 10mm/hr
- Or – Acceleration of Movement occurred
195
- Or – Rainfall Criteria: Cumulative 24 hrs>65mm
At the end of April 2015, the unloading has reached 3595L and no acceleration movement
recorded during and after remediation. All the casting material was loaded by hydraulic shovel
from 3595L.
Dedicated team also assigned to complete the drainage system design. Around 1.8 km ditch has
been layered with conveyor belt and still continued to the rest of PB9S3 remediation ditch. A
total of 32,000 m2 of remediated slope has been covered with geo-textile. The drainage system
completion is still being conducted by the team to maintain good drainage system at the
remediation area.
Figure 13. PB9S3 remediation area with geo textile coverage (April 2015).
Lesson learned
Good monitoring system is requiredto detect slope movement and determine the boundary of
moving area. The movement occurred due to combination of structures, deteriorated material,
and uncompleted drainage system because of manpower disruption at Grasberg. Good
coordination between Engineering, Operation, geology, and Geotechnical group has led to good
result in providing and analyzing remediation options that consider final slope design and mine
production.
Remediation program by unloading moving material is successfully stopping the PB9S3
deformation by providing more stable slope, improved drainage system, and less pit design
modification.Dedicated manpower assigned for this remediation program also become one of
success key to achieve the remediation target.
196
References
1. McDougall, S. and Hungr, O., 2004. A model for the analysis of rapid landslide motion
across three-dimensional terrain. Canadian Geotechnical Journal, 41(6): 1084-1097.
2. PT Freeport Indonesia, 2009, Grasberg Geotechnical Working Criteria-Action Plan and
Emergency Communication – Standard Operating Procedure, Internal Document.
3. PT Freeport Indonesia, 2009, Grasberg Pit Slope Study – Recommended Slope Angles,
Internal Report prepared by Call and Nicholas Inc. (CNI)
4. PT Freeport Indonesia, 2015, Slope Movement at PB9S3 3700L-3610L, Internal
memorandum from Surface Mine GeoServices Department.
5. Read J. and Stacey P., 2009, Guidelines for Open Pit Slope Design, CSIRO – CRC
Balkema, pp. 381-400.
197
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES PERHAPI IX 2015
ABSTRACT
Deep Ore Zone (DOZ) Block Caving Mine is one of mine location in COWA PT
Freeport Indonesia which contains 175 million tons at 0.57% Cu and 0.71 g/ton Au, operated
since 2000 with average production about 60k tons/day. DOZ Block Caving Mine consist of
two different deposits, East Ertsberg Skarn System (EESS) is a calcium-magnesium silicate
skarn which located north-east at DOZ Mine, and Erstberg Stockwork Zone (ESZ), stockwork
zone emplaced inside Ertsberg diorite, located southwest and adjacent to EESS.
Production rate and mine pattern in DOZ Mine have resulted numerous mine operational
challenges and one of the most dangerous one is wetmuck spill hazard. Wet muck is defined as
a mixture of fine grained material and water which has potential to result in a sudden outflow
from draw point or other underground excavation and triggered by mining activities.One of the
DOZ Mine Geology Group’s effort to determine and anticipate potential wetmuck spill is by
creating potential wetmuck risk map. DOZ potential wetmuck risk map is calculated
fromwetness, fragmentation(fine materials < 5cm)and halo percentage,materials from previous
mine, height of draw (HOD) and number of days no mucking activity.Parameterscollected from
weekly drawpoints data and historical database from wetmuck spill event at middle to north in
DOZ Mine.
Parallel with cave development and mine production to southern-west panels (ESZ
reserve), wetmuck also occurred in drawpoint which consist of dominant coarse
fragmentation(more than 50% material of grain size >5cm).
Drilling data showed thatsouthern-west panels of DOZ Mine (ESZ reserve), lies below
zone of diorite rocktype with RQD less than 30%- 50%, also known as Fractured Diorite Zone.
Based on RQD characterization, Fractured Diorite Zone is become water trap that potentially
trigger massive water inflow into DOZ Mine.High debit water occurrences, hung up and pack
muck drawpoints, lateral movement and rilling material (from fine grain material in the north)
are triggering factor which influence wetmuck flow in drawpoints with coarse fragmentation.
Combination of new parameter triggering wetmuck spill at southern area and parameter
in previous wetmuck risk map will provide better understanding and help Operation Group to
increase awareness of wetmuck concern area especially at southern DOZ Mine.
Keywords :Block Caving Mine, Wetmuck Spill Hazard, Wetmuck Risk Map.
198
INTRODUCTION
Deep Ore Zone (DOZ) mine is underground block caving mine located in PT. Freeport
Indonesia contract of work (COW) A, in Ertsberg mining district within central highlands of
Papua, after Gunung Bijih Timur (GBT) Mine and Intermediate Ore Zone (IOZ) Mine (Figure.
1).GBT block cave was in operation from 1980 to 1993 and produced about 60 million tons of
ore. IOZ block cave was started in 1994 and produced over 50 million tons of ore till 2003DOZ
mine has produced about 175 million tons of ore with 0.57% Cu and 0.71 g/tonAu, operated
since 2000 with production was about 60,000 tons/day.
Figure.1 – The EESS map (red circle at Papua legend) showing location of GBT Surface,
IOZ, DOZ, and DMLZ Block Cave Mines.
DOZ block caving mine is an underground mine that utilizes gravity flow system at three main
levels, which are (1) Undercut Level at 3146 meters, (2) Extraction Level at 3126 meters, and
(3) Haulage Level at 3076-3079 meters. Undercut level is useful for induce a cave and provide
a facility to reduce effects of induced abutment stress. Extraction level is production area which
is composed of drawpoints with columns height up to 500 meters. ore is mucking from
drawpoints, dumping into grizzly, and through to haulage level by gravity flow system for
transports ore to conveyor (Laubscher, D., 2000). There are 39 panels at the extraction level
with a total of 1352 drawpoints designed in a herringbone layout.Undercutting was initiated in
2000 in the central section of the DOZ and the mine initially developed and cave propagated
towards the southeast. From about 2004, DOZ mine developed towards the northwest in
forsterite-magnetite skarn and endoskarn material. From about 2009, DOZ mine also started
developing towards the south and southwest in mainly ESZ diorite and stockwork ore with
minor endoskarn and more recently EESS low grade forsterite skarn material.
199
The production level of the DOZ block cave lies at a depth of about 1200 meters below the
surfaceand has column heights up to 500 meters. Occurrences of finematerial as a result of
increased column height, along with increasing production rate and unbalancedmine pattern
makes DOZ mine has special condition which raises different challenges in block caving
operational issues, and the most dangerous one is wet muck spill.Wet muck is defined as a
mixture of fine grained material and water which has potential to result in a sudden outflow
from draw point or other underground excavation and triggered by mining activities.Potential
impacts of wet muck spill are relative to fatality (loss of live) and economic loss (loss of reserve,
production, and property).
DOZ Block Caving Mine consist of two different deposits, East Ertsberg Skarn System (EESS)
is a calcium-magnesium silicate skarn which located north-east at DOZ Mine, and Erstberg
Stockwork Zone (ESZ), stockwork zone emplaced inside Ertsberg diorite, located southwest
and adjacent to EESS. EESS is calcium-magnesium silicate skarn which formed by alteration reaction
of carbonate rock from Tertiary Waripi and Faumai Formations. Both of formations were deposited on
northern margin of the Australian passive shelf which collision with Pacific Plate from about
15-12Ma ago to about 3Ma caused shortening and formed regionally extensive NW-SE trending
central mountain belt.
Early formed thrusts and related folds were later steepened and thrusts reactivated as strike-slip
faults. Localized igneous bodies were intruded in a relatively narrow period at the end of
deformation between about 4.5Ma and 2.7Ma.Second stage of deformation began after 4
million ages and resulted in some local zones of NW trending strike slip faults with left lateral
offset andbrecciated zones for about 10 meters. In DOZ Block Cave Mine, left strike slip faults
are known as Erstberg 1, Erstberg 2, and South Fault. Those faults controlled emplacements of
Ertsberg Diorite, a 3.25 Ma intrusive, which intruded southern flank of syncline and obliterating
those pre-existing faults. Intrusion of Ertsberg Diorite initiate contact metamorphism and
followed by metasomatic alteration (Coutts et al, 1999). Copper and gold solutions migrated
into and controlled by faults to produce EESS complex of mineralization from GBT Surface,
IOZ, DOZ, and DMLZ Block Cave Mines.The stockwork part, Ertsberg Stockwork Zone
(ESZ), is hosted entirely within Ertsberg intrusion approximately 50-200m south to southwest
of EESS. ESZ deposit contains copper and gold. ESZ veining system is formed by a
hydrothermal event generated by intrusion of late porphyry dikes in the barren equigranular
Ertsberg Diorite.
Based on geology condition and mineral deposition, DOZ reserve divided in two Rock mass
characteristic, (1) DOZ East Ertsberg Skarn System (EESS) characterized by forsterite-
diopside, forsterite-magnetite, and marble generally fair-poor RQD condition and Q value
ranged to 0.1-40 (2) DOZ Ertsberg Stockwork Zone (ESZ) characterized by diorite and
endoskarn rocktype with joint infill by quartz, chalcopyrite, pyrite and anhydrite generally good
RQD and Q value ranged 20-45 (Table. 1). Two rocktypes in DOZ with two different
hardness/competency, therefore form different fragmentation character, (1) fine-medium
fragmentation at northern DOZ area and (2) coarse-medium fragmentation in southern DOZ.
200
Table. 1 – RQD and Q-system for rock types of the DOZ Block Cave Mine (Sahupala et
al., 2008)
Diorite 80 – 90 20 – 45
Forsterite Skarn 50 – 80 10 – 40
Magnetite Skarn 70 – 80 8 – 40
Marble 10 – 40 0.1 – 4
Three main sources of water have potential to flow into DOZ mine are groundwater in water
bearingzones/aquifers, surface water, and water trapped in the old mines (Syaifullah et al.,
2006).EESS hydrogeology is controlled by geology features which are related to structural
zones andcontact zones between rock units, water-bearing zone, and associated with existing
structureswithin the area.
Wet muck is defined as a mixture of fine grained material and water which has potential to
result in a sudden outflow from draw point or other underground excavation. Wet muck spills
or mud rush can occur when there is more than 20% material of sand-size particles (<2mm)
with water content greater than 8.5% or more than 80% saturation (CNI et al., 1998).
There are four elements required for a mud rush/wet muck to occur (Butcher et al., 2000):
A. Potential mud-forming materials must be present,
B. Water must be present,
C. A disturbance of the mud, in the form of drawing or other mining activity must occur,
D. Discharge points must be present through which the mud can enter the mine workings.
Three conditions for the wet muck/mud-forming material (Nicholas et al., 2011):
1. The material must be fine grain (grain size < 5cm) with more than 20% grain size > 5cm,
2. The material has to be loose grain (less than 90% optimum density),
3. The material must be saturated or near saturated (80%).
Fine and loose grains come from low RQD rocks in the DOZ Block Cave Mine reserve such as
Forsterite Skarn, Marble, and DOZ Breccia / HALO. Rate of saturation is influenced by the
water appearance. High rate of rainfall inflow through the subsidence surface at the top of the
EESS area is the main source of the water. In general, the water bearing zones around the DOZ
could be divided as follows:
Sedimentary units and its associated structures at north side.
Fractured Diorite and its associated structures at south side.
Cave Boundary zones.
201
Surface water is related to the high rainfall 5500 mm/year which infiltrates from the catchment
area (approximately 3 km2) through the cave. Tracer tests have been conducted to determine
travel time from subsidence to the extraction level. Tracer test has shown that the rate of
rainwater percolation down the approximately 1200 m to the DOZ extraction level has
increased over time. This has changed from 14 days in 2000 to 4 days in September 2005 and
2007, to 24 hours in September 16th 2011 (Barito, 2012) . In the inaccessible, abandoned upper
mines (GBT and IOZ), some minor water traps are created due to development elevation change
where rainfall or peripheral groundwater can accumulate and flow before infiltrating to the
current DOZ mine (Widijanto et al., 2012).
Since 2012, EESS material has been found in drawpoints where only ESZ material was
expected.About 10-30% EESS low grade forsterite skarn is consistently found in the central
actively mined drawpoints and is spreading southwards. Forsterite skarn is a white fine-grained
granular material type and occurs in drawpoints as small fragments (<5cm) which can easily be
distinguished from coarser (>5cm) diorite, endoskarn and ESZ material. This indicates that
lateral movement and rilling is moving EESS material into the southern drawpoints where ESZ
ores should predominate (Figure. 2) (Haflil et al.,2014).
Figure.2 – Comparison of forsterite skarn distribution during 3rd quarter (left) and 4th
quarter (right) 2013. Forsterite skarn ore increases in abundance and distance towards
the southwest in diorite dominant drawpoints
Besides lateral migration of EESS skarn material into southern drawpoints, wetness and fine
grained material in those drawpoints have also increased. Wet drawpoints were previously only
found in mature northern high HOD drawpoints, where secondary EESS material fragmentation
size is fine and clay, sticky material is common. Studies in DOZ mine on mud-rush events and
wetmuck spills show that mud-rush potential increases when drawpoint is wet, contains
abundant fine grained (<5cm) EESS skarn material and HOD is high. These conditions used to
be found mostly in the northern parts of DOZ mine, where unbalanced mining pattern has
created pack-muck conditions and potential water accumulation in cave. Recent increase of
wetness, fine and sticky material in southern drawpoints increases potential for mud-rush or
wetmuck spill events in those areas, which will force the cave management group to implement
more remote loader operated LHD and result in reduced production.
202
WET MUCK SPILL HAZARD MAP AND VISUALISATION
DOZ wetmuck spill hazard map is a map for predicted distribution of wetmuck spill hazard in
DOZ mine based on calculation from several parameters which triggered wetmuck spill.
Previous wetmuck hazard map are calculated from four elements required for a mud rush/wet
muck spill : potential mud-forming materials(fragmentation (% fine materials < 5cm), % Clay
and Halo, % materials from previous mine (IOZ materials)), water (wetness), mining activity
(number of days no mucking), and discharge point(height of draw (HOD))(Wicaksono et al,
2012).
Parallel with cave development and mine production to southern-west panels (ESZ reserve),
wetmuck also occurred in drawpoint which consist of dominant coarse fragmentation (more
than 50% material of grain size >5cm) with low HOD (Figure. 3).First wetmuck spill event in
southern part of DOZ mine occurred in July 2013 when approximately 200m3 of wet mud
materials spilled from adjacent drawpoints. Visual analysis of mud-rush material identified 10-
5% EESS forsterite skarn material together with85-90% ESZ diorite and endoskarn material
(Figure. 4). Since then, repeated spill events have occurred and are spreading to more southerly
drawpoints.
Figure.3 – Rocktype versus Spill events graphic, showing increase of wetmuck spill
events in diorite and endoskarn rocktype dominated drawpoints since 2013.
Based on current evidence of wetmuck spill, Underground Geology department formulate new
calculation factor in wetmuck risk map which improve prediction at southern panel (ESZ
reserves with coarse fragmentation). New wetmuck risk map will include more specific
drawpoints zonation below water trap (Fractured Diorite Zone, Structural Zone, and Cave
Boundary Zone), and calculate drawpoint adjacent/around Hung Up and/or Pack Muck
Drawpoints.
203
Figure.4 – Wetmuck spill event sampling at P02-21W, showing diorite-endoskarn dominated
rocktype and coarse fragmentation (65% > 5cm).
Based on this study we include zonation below water trap (Fractured Diorite Zone, Structural
Zone, and Cave Boundary Zone) in our New Potential Hazard Map for Wet Muck flow. Drilling
data showed that southern-west panels of DOZ Mine (ESZ reserve), lies below zone of diorite
rocktype with RQD less than 30%- 50%, also known as Fractured Diorite Zone (Figure. 5).
Based on RQD characterization, Fractured Diorite Zone is become water trap that potentially
trigger massive water inflow into DOZ Mine. Wetness and days no mucking activity already
include in calculation and we insert mucking pattern and water trap zonation to showing
distribution of mucking and water in drawpoint area.
204
Combine with previous wetmuck hazard map aspect, all the aspect will be encoded to number,
calculate and give weighting, it encoded into 0-100 to get fair weighting (Table. 2).
Fragmentation, % Clay and Halo, and % IOZ materials was recorded as percentage 0-100%.
Mining activity factor from previous map calculate days of no mucking activity and from new
risk map will include Hung-up and Pack muck drawpoints and its impact to adjacent and/or
nearby drawpoints. From previous risk map, wetness recorded as Wet, Dry, Moist, and new risk
map will divide wetness into Wet (Water Flowing), Wet (Water Dripping), Moist, and
Dry.Height of draw (HOD) are calculated by Cave Management Group reported as number
from 0-more than 500 and number of days no mucking activity are recorded as number 0-more
than 30 days.
Table. 2 – Calculation and weighting parameters of wet muck spill triggered and
wetmuck risk level.
High Risk Low Risk Weight High Score Mid Score Low Score
HOD DOZ Extraction Level from IOZ Extraction (%) 70 10 4 280 160 40
IOZ Materials (%) 25 5 3 75 45 15
HALO + Clay/Sticky Materials (%) 25 5 1 25 15 5
Wet condition (%) 75 25 6 450 300 150
No mucking activity (in days) 60 15 2 120 75 30
Fine grained (<5cm) material (%) 75 25 5 375 250 125
The result of calculation will be divided into low, medium and high risk, it combined with the
drawpoint condition (open, temporary closed, closed, planned) and encoded it by Microsoft
Excel, the formula only used for active drawpoint (open drawpoint).
The Wetmuck Risk Map will showing on 2D map, combine data from parameter calculation,
potential water zone zonation, and mucking pattern, and give information of wetmuck spill risk
of each drawpoint (Figure. 6).
Figure. 6 - The New Wet Muck Spill Risk Map result from calculation, showing risk
from low, medium and high risk of wet muck spill for each drawpoints.
205
CONCLUSION AND DISCUSSION
Potential wetmuck hazard map is one of effort from DOZ Geology group to anticipate and
predict wetmuck event distribution, and provide better understanding and help Operation Group
to increase awareness of wetmuck concern area especially at southern DOZ Mine.
New formulate wetmuck hazard map combine parameters from previous wetmuck hazard map
aspects with more specific drawpoints zonation below water trap potential, more detail specific
wetness condition, hung up and/or pack muck drawpoints, and effect from migration material
from northern DOZ mine. Nevertheless, the system still need to improve by adding another
triggering factor like seismic event, and blasting event for more comprehensive data.
Sustainable study about wet muck characteristic is very important to increase our safety
awareness and resolve problems that will arise in several block caving mine, like DMLZ mine
and GBC mine.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to thank the management of PT. Freeport Indonesia and the Geoservices
Division management for giving the permission to publish this paper as well as the DOZ mine
geology group for all their efforts and hard work.
REFERENCES
Barito, U., Putra, F., 2012, Internal Report: DOZ Tracer Test Result 2011, Tembagapura,
Papua, Indonesia, pp. 1-6.
Butcher R., Stacey T.R., Joughin W.C. 2007. Mudrushes in Caving Operations and Their
Prevention. Proceedings of the 1st International Symposium on Block and Sub-Level Caving
(pp. 265-279). Cape Town, South Africa.
CNI Inc., Freeport McMoran Copper and Gold Co., Hydrology Consultants Inc (1998). IOZ
Wetmuck Study. PT Freeport Internal Report
Coutts B.P. et al (1999). Geology of the Deep Ore Zone, Erstberg East Skarn System, Irian
Jaya. Proceedings of AusIMM PACRIM Conference. Bali, Indonesia.
Haflil,D., De Jong, G., Wicaksono,D., Soebari, L., 2014, Evidence of Lateral Movement-
Rilling and Mining Implications in the DOZ (Deep Ore Zone) Block Cave Mine, Papua,
Indonesia, unpublished.
Laubscher, D., 2000, A Practical Manual On Block Caving, ICS, pp. 80-84, 155, 306.
Nicholas, D. E., Standridge, L,. Rachmad, L. I., 2011, Technical Review Of Possible Cause(s)
Of The 18 April 2011 Muck Spill In Panel 2 At PT Freeport Indonesia’s DOZ/ESZ Mine, 6p.
206
Sahupala, H., Brannon, C., Annavarapu, S., Osborne, K., 2008, Recovery Of Extraction Pillars
In The Deep Ore Zone (DOZ) Block Cave PT Freeport Indonesia, 5th International Conference
and Exhibition on Mass Mining, Lulea Sweden, pp. 208-209.
Syaifullah T., Widijanto E., Srikant A. 2006. Water Issues in DOZ Block Cave Mine, PT
Freeport Indonesia. Proceedings of the Water in Mining 2006 (pp. 361-368). Brisbane
Australia.
Wicaksono, D., Silalahi, P., Sriyanto, I., Soebari, L., Ekaputra, A., Jong, G., 2012. Potential
Hazard Map for The Wet Muck Flow Prevention at The Deep Ore Zone (DOZ) Block Cave
Mine, Papua, Indonesia, Proceedings TPT XXI PERHAPI, (pp. 1-2). Jakarta, Indonesia.
Widijanto E., Sunyoto W., Wilson AD., Yudanto W., Soebari L.2012. Lessons Learned in Wet
Muck Management in Ertsberg East Skarn System of PT Freeport Indonesia. Proceedings of
MassMin 2012. Singapore.
207
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Lokasi penelitian dilaksanakan pada tambang batupasir yang terletak pada bidang diskontinu.
Bidang diskontinu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kestabilan lereng
penambangan. Tidak adanya informasi mengenai stabilitas lereng menimbulkan kondisi
ketidakpastian selama aktifitas penambangan berlangsung. Penelitian diawali dengan
melakukan pengukuran dan pengumpulan data bidang diskontinuitas, mengambil sampel blok
batuan untuk uji laboratorium, analisis proyeksi stereografis dan analisis kinematika. Dari
hasil analisis menunjukkan lereng barat : 1jenis longsoran bidang (faktor keamanan 11,54), 2
jenis longsoran baji (faktor keamanan 5,63 – 23,31), dan lereng timur : 1jenis longsoran
bidang (faktor keamanan 12,33).
Abstract
Research location has conducted on sandstone mines which lies at the discontinu planes.
Discontinu planes is one of the most factor that influenced stability of mining slope. The absence
of information about slope stability create uncertainty condition during mining activity takes
place. The research begins by measure and collect data of discontinuity planes, take on
samples for laboratory testing, stereographic projection analysis and kinematica analysis.
From the results of the analysis indicatedwest slope : 1 plane failure type (safety factor 11,54),2
wedge failure type (safety factor 5,63 – 23,31), and east slope : 1 plane failure type (safety
factor 12,33).
Keywords : Discontinuity Plane, Stereographic Projection Analysis, Kinematica Analysis
Author
E-mail : tommy_trides@yahoo.co.id
Tel : (0541) 736834, Fax. 749315
208
I. PENDAHULUAN
Dalam penelitian ini, pengukuran dilakukan pada tambang batupasir yang secara administratif
terletak di jalan H.M. Rifadin, Kelurahan Tani Aman, Kecamatan Loa Janan, Kalimantan Timur
dan secara geografis terletak pada 0 35' 37,2" LS dan 117 05' 55,2" BT.
Lereng Timur
Lereng Barat
Lereng Utara
209
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Longsoran
Dalam analisis kinematik Hoek dan Bray (1981), Rai (1999), dan Sulistianto (2006) potensi
jenis longsoran yang terbentuk akibat adanya bidang diskontinu dapat diklasifikasikan menjadi
longsoran bidang, longsoran baji, longsoran guling, dan longsoran busur (lihat gambar 3).
Dalam menentukan kemantapan lereng, maka diperlukan analisis kinematika guna menentukan
nilai faktor keamanan lereng.
Gambar 3. (a) Longsoran bidang, (b) Longsoran baji, (c) Longsoran Guling, (d) Longsoran
Busur, Hoek dan Bray (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004)
𝐴 = (𝐻 − 𝑧)𝑐𝑜𝑠𝑒𝑐𝜓𝑝
210
𝑈 = 1⁄4 𝛾𝑤 𝐻𝑤 2 cosec 𝜓𝑝 (dengan asumsi menggunakan tinggi muka air tanah)
𝑉 = 1⁄2 𝛾𝑤 𝑧𝑤 2
2
𝑊 = 1⁄2 𝛾𝐻 2 {(1 − (𝑧⁄𝐻 ) ) cot 𝜓𝑝 − cot 𝜓𝑓 }
Dimana :
c = Kohesi (t/m2)
ϕ = Sudut geser dalam (ᵒ)
H = Tinggi lereng (m)
Hw = Tinggi muka air tanah (m)
z = Kedalaman retak tarik (m)
zw = Ketinggian air di retak tarik (m)
ψp = Dip bidang lemah (ᵒ)
ψf = Dippermukaan lereng (ᵒ)
𝛾𝑤 𝛾
𝐹 = 3⁄𝛾𝐻 (𝐶𝐴 𝑋 + 𝐶𝐵 𝑌) + (𝐴 − ⁄2𝛾 𝑋) tan 𝜙𝐴 + (𝐵 − 𝑤⁄2𝛾 𝑌) tan 𝜙𝐵
Dimana :
CA dan CB = Kohesi bidang lemah A dan B (t/m2)
ϕA dan ϕB = Sudut geser dalam bidang lemah A dan B (ᵒ)
γ = Bobot isi batuan (t/m3)
γw = Bobot isi air (t/m3)
H =Tinggi keseluruhan dari baji yang terbentuk
X = sin 𝜃24 ⁄(sin 𝜃45 sin 𝜃2.𝑛𝑎 )
Y = sin 𝜃13 ⁄(sin 𝜃35 sin 𝜃1.𝑛𝑏 )
A =
(cos 𝜓𝑎 − cos 𝜓𝑏 cos 𝜃𝑛𝑎.𝑛𝑏 )⁄(sin 𝜓5 sin2 𝜃𝑛𝑎.𝑛𝑏 )
B =
(cos 𝜓𝑏 − cos 𝜓𝑎 cos 𝜃𝑛𝑎.𝑛𝑏 )⁄(sin 𝜓5 sin2 𝜃𝑛𝑎.𝑛𝑏 )
211
lereng timur. Hasil akhir dalam penelitian ini adalah menentukan nilai faktor keamanan lereng
penambanganberdasarkan jenis dan potensi longsorannya.
Studi Literatur
- Tinjauan Pustaka
- Peta Geologi Regional
Pengumpulan
Data
Penyebaran Sampel Blok
Kekar Batuan
Analisis Kinematika
Faktor
Keamanan
Kesimpulan
212
3.3 Preparasi sampel dan uji laboratorium
Sampel batupasir berupa blok batuan utuh dari lokasi penambangan diambil untuk di preparasi
danmelalui proses pemotongan batuan. Setelah melalui proses preparasi, tahap selanjutnya
adalah melakukan uji sifat fisik dan uji sifat mekanik batuan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 7. (a) Proses Pemotongan blok batuan, (b) Proses uji sifat fisik, (c) Sampel batupasir
untuk uji geser batuan, (d) Proses uji geser langsung
Preparasi sampel dan uji sifat fisik batuan dilakukan di Laboratorium Teknologi dan Mineral,
Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman. Sedangkan uji sifat mekanik berupa uji geser
langsung, dilakukan di Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang, Institut Teknologi
Bandung.
213
Tabel 1. Joint Set Lokasi Penelitian
Dip
Joint Set Direction Dip (ᵒ)
(N…ᵒE)
Joint Set 1 201 83
Joint Set 2 111 32
Joint Set 3 171 31
Joint Set 4 278 23
Joint Set 5 284 51
7,0
ωn (%) 6,50 8,38 8,59 7,63
5
15,0 13, 13,2 11,8 13,4
ωs (%)
2 77 4 2 6
43,2 51, 63,2 72,6 57,5
S (%)
5 20 8 1 9
214
Kode Cawan Rat
Param
a-
eter 9 XI E 11 21
rata
25,1 23, 22,8 21,2 23,1
n (%)
4 39 3 1 4
0,3
e 0,34 0,30 0,27 0,30
1
Uji sifat mekanik batupasir mengikuti prosedur standar ISRM (1981)dengan cara menguji 3
sampel batupasir dan hasil uji dapat dilihat pada tabel 3.
215
JS 3 dan Tidak
74 23 23,99
JS 5 Potensi
Tidak
Lereng JS 4 52 23 23,99
Potensi -
timur
JS 5 52 51 23,99 Potensi
ψf= Kemiringan lereng
ψfi = Kemiringan perpotongan 2 bidang gelincir
ψP = Kemiringan bidang gelincir
ϕ = Sudut geser dalam
V. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terdiri dari 5 joint set yang
berpotensi membentuk longsoran bidang dan longsoran baji. Pada lereng barat
potensilongsoran bidang sebanyak 1 jenisdengan faktor keamanan 11,54 (aman), longsoran baji
sebanyak 2 jenis dengan faktor keamanan 5,63 – 23,31 (aman). Lereng timur potensi longsoran
bidang sebanyak 1 jenis dengan faktor keamanan 12,33 (aman).
216
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pimpinan dan teknisi Lab.
Tekmira, Lab. Rekayasa Sipil, Lab. Geologi dan Survey, Fakultas Teknik, Universitas
Mulawarman atas fasilitas yang telah diberikan.
Teknisi Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang, Institut Teknologi Bandung yang
telah membantu dalam uji geser batuan.Serta Febrianto Sarita, S.T., Jimmy Panggalo Londa,
S.T, dan Roni Pranata yang telah membantu melakukan pengukuran dan pengujian selama
penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown, E.T., 1981, Rock Characterization Testing & Monitoring, International Society for
Rock Mechanics (ISRM), England.
2. Ulusay, R., Hudson, J.A, 2007, Rock Characterization Testing & Monitoring, International
Society for Rock Mechanics (ISRM), Ankara, Turkey.
3. Hoek, E., & Bray, J.W.1981., Rock Slope Engineering, 3rd Ed., The Institution of Mining
and Metallurgy, London.
4. Phillips, F., C., 1971, The Use of Stereographic Projection in Structural Geology, 3rd Ed,
Edward Arnold Ltd, London.
5. Wyllie, D.C., Mah, C.W., 2004, Rock Slope Engineering, 4rd Ed., Spon Press, London.
6. Jumikis, A.R., 1983, Rock Mechanics, 2nd Ed., The State University of New Jersey, USA.
7. Kramadibrata, S., 1996, Thesis : The Influence of Rock Mass and Intact Rock Properties
On The Design Of Surfaces Mines With Particular Reference to The Excavatability of
Rock, Curtin University of Technology, Australia.
8. Rai, M.A., 1999,Analisis Kemantapan Lereng, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan
Tambang Batubara dengan Tambang Terbuka Secara Terintegrasi, Pusat Antar Universitas
Ilmu Rekayasa, Institut Teknologi Bandung, Jurusan Teknik Pertambangan, Bandung.
9. Sulistianto, B., 2006, Analisis Kemantapan Lereng, Kursus Singkat Geoteknik Terapan
untuk Tambang Terbuka, Program Studi Teknik Pertambangan, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
10. Vutukuri, V.S., Katsuyama, K., 1994, Introduction to Rock Mechanics, Industrial
Publishing & Consulting, Inc., Tokyo.
11. Zakaria, Z., Muslim, D., Sophian, I., 2012, Koreksi SMR pada Desain Lereng Tambang
Terbuka Batubara pada Formasi Balikpapan & Formasi Kampungbaru, Sangasanga,
Kalimantan Timur, Buletin Sumber Daya Geologi, Universitas Padjadjaran, Bandung, vol:
7, nomor : 3
12. Rai, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., 2014, Mekanika Batuan, Laboratorium
Geomekanika dan Peralatan Tambang, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
217
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Dezania Mersyifa Anggie1, Masagus Ahmad Azizi1, Irfan Marwanza1, Yoseph Kristianto1
1
Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Kebumian & Energi
Universitas Trisakti, Jakarta 11440, Indonesia
2
PT Weda Bay Nickel, Halmahera
Sari
Lereng timbunan nikel diperuntukan untuk menjaga pasokan pada konsumen, yang berlokasi di Nuspera dan terdiri atas 2
jenis timbunan, yakni timbunan bijih nikel kadar tinggi (HGO) dan timbunan bijih nikel kadar rendah (LGO). Untuk
memastikan kestabilan lereng timbunan bijih nikel, maka dilakukan studi geoteknik yang difokuskan pada Nuspera LGO yang
diperkuat oleh rockwall.Parameter yang digunakan dalam studi ini mencakup geometri lereng, sifat fisik & mekanik material
pembentuk lereng Nusperah LGO, dan tingkat kejenuhan lereng digunakan untuk penentuan nilai Faktor Keamanan (FK) dan
Probabilistik Kelongsoran (PK). Metode kestabilan lereng yang digunakan dalam studi ini adalah Bishop yang
disederhanakan dan metode simulasi Monte Carlo dengan bantuan perangkat lunak Slide 6.0 (rocscience).Dengan
menggunakan ambang batas (accepatable criteria) dari Read & Stacey (2009) untuk lereng keseluruhan dengan FK minimum
1,3 dan PK maksimal 5%. Dengan pemodelan lereng secara keseluruhan dilakukan dalam kondisi kering dan kondisi jenuh.
Hasil analisis kestabilan lereng menunjukkan rekomendasi lereng yang optimal secara keseluruhan memiliki nilai FK≥1.30
dan PK 5%. Pada kondisi kering, tinggi dan sudut lereng yang stabil masing-masing adalah 50 m dan 130, dengan FK
sebesar 2,96 dan PK sebesar 0%. Sedangkan dan kondisi jenuh,tinggi dan sudut lereng yang stabil masing-masing adalah 50
m dan 130, dengan FK sebesar 1,39 dan PK sebesar 1,8%. Hasil analisis sensitivitas terhadap kenaikan/penurunan nilai dari
FK adalah sudut gesek dalam dari bijih nikel, dan bobot isi untuk material rockwall.
Abstract
The dumping area of Nickel was used to maintain the supply of the mineral selling which is located at Nuspera and consist of
two types which is the High Grade Ore dumpsite and the Low Grade Ore dumpsite. To ensure the stability of the Nickel
dumpsite, geotechcnical study is needed at the Nuspera LGO which is enforced by Rockwall.
The factor that is accounted and used in this study is slope geometery, physical and mechanical properties of the rock,,degree
of saturation were used to calculate the Factor of Safety(FS) and the Probability of failure (PF). The FS method that is used
in this study is the Simplified Bishop Method and Monte-Carlo Simulation with the aid of Rocscience Slide 6.0 software.
The acceptance criteria for the overall slope was based on Read and Stacey, (2009)which the FS >1.3 and PF <5%. The
Nuspera LGO was modeled by two assumption which is dry condition and saturated conditions. Based on the analysis that was
conducted, at dry conditions the slope is stable at 50 m height and 13 degree angle with FS 2.96 and PF 0% while at satureated
conditions, the FS is 1.39 and PF 1.8%. The sensitivity analysis which contributed mostly to the change in FS is the internal
frictiona angle of the Nickel ore and density of rockwall material.
218
I. PENDAHULUAN
PT Weda BayNickel (WBN) adalah suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan nikel dengan
metoda tambang terbuka. Lokasi WBN terletak di Halmahera tengah dan Halmahera Timur Provinsi Maluku
Utara.
Dalam operasi tambang WBN terdapat 2 jenis lereng, yaitu lereng penambangan dan lereng timbunan bijih
nikel.Lereng tersebut memiliki permasalahan yang dipengaruhi oleh kondisi muka air tanah, jenis batuan,
geometri,sifat fisik, dan mekanik batuan yang menyebabkan lereng tersebut tidak stabil. Ketidakstabilan pada
lereng dapat menyebabkan kelongsoran pada lereng yang membahayakan keselamatan para pekerja dan
mempengaruhi aktivitas penambangan.
WBN memiliki lokasi penimbunan bijih nikel yang bernama timbunan Nuspera, yang terbagi atas 2 area, yaitu
lokasi timbunan bijih nikel kadar tinggi (High Grade Ore, HGO), dan timbunan bijih nikel kadar rendah (Low
Grade Ore, LGO).
Pada Lereng Timbunan rentan terjadinya longsoran dikarenakan material pada lereng timbunan adalah material
hasil dari pemberaian yang dipadatkan. Untuk itu studi tentang kestabilan lereng timbunan bijih nikel kadar rendah
dilakukan dalam upaya menentukan lereng rancangan timbunan, dan menelaah faktor-faktor yang memiliki
kontribusi penting dalam penurunan kestabilan lereng. Metode kestabilan lereng yang digunakan adalah
kesetimbangan batas (Bishop Disederhanakan), dan diperkuat dengan penggunaan metode probabilistik
menggunakan simulasi Monte Carlo.
Dimana :
FK = Faktor keamanan
c = kohesi
i = irisan atau Segment
β = panjang bidang gelincir
w = berat massa (ws x berat isi asli/jenuh)
α = sudut gelincir bidang longsoran
ϕ = sudut geser dalam
Sejak 3 dekade terakhir, konsep probabilistik telah digunakan secara luas dalam bidang mekanika batuan,
termasuk di dalamnya pada analisis kestabilan lereng. Sejumlah peneliti dunia seperti Hoek (1998), Abraham dkk
(2001), Steffen dkk (2007), Read & Stacey (2009). Analisis Probabilistik keruntuhan adalah analisis untuk
mengetahui kemungkinan akan runtuh pada suatu lereng. Analisis probabilistik memperhitungkan ketidakpastian
219
yang berkaitan dengan, antara lain: stratigrafi site, parameter tanah, dan metode analisis. Dalam analasis
probabilistik ini metode yang digunakan adalah Metode Simulasi Monte-Carlo.
Dalam Simulasi Monte-Carlo mensimulasikan respon dari fungsi perfoma Faktor Keamanan untuk dipilih
secara acak. Komponen variabel-variabel acak untuk setiap perhitungan adalah sampel nilai acak yang didasarkan
pada PDF yang dipilih dari variabel-variabel acak. Simulasi monte-carlo menggunakan rangkaian nilai acak,
menghasilkan probabilitas, rata-rata, varian dan histogram yang berbeda. Minimum jumah percobaan pergantung
pada jumlah komponen variabel dan tingkat kepercayaan yang diinginkan.
Ada 4 proses dalam simulasi Monte-Carlo:
1) Dipertimbangkan untuk setiap komponen variabel acak, pilih nilai acak yang sesuai dengan distribusi yang
diterapkan.
2) Menghitung nilai Faktor Keamanan
3) Ulang langkah 1 & 2, simpan hasil FoS dari setiap perhitungan
4) Perhitungan nilai FK dengan simulasi monte untuk mempekirakan probabilitas, sampel rata-rata dan
varians, dan Faktor Keamanan PDF dari Histogram.
Sejauh ini ada salah satu kriteria indikator kestabilan lereng tambang yang saat ini banyak digunakan di
dunia yakni ambang batas FK dan Probabilitas Kelongsoran (PK) yang diusulkan oleh Read & Stacey (2009).
Kriteria ini mendefinisikan kestabilan lereng tambang dilihat dari 3 aspek, yaitu pengaruh dampak longsoran, FK
minimum, dan PK maksimum (Tabel 1).
Tabel 1 . FK dan PK Minimum Kemantapan Lereng
Kriteria Ambang Batas
Skala Konsekuensi FKmin FKmin PKmax
Lereng Kelongsoran P
Statis Dinamis
[FK<1]
Tunggal Rendah- Tinggi 1.1 N/A 25-50%
Rendah 1.15-1.2 1 25%
Inter
Medium 1.2 1 20%
ramp
Tinggi 1.2-1.3 1.1 10%
Rendah 1.2-1.3 1 15-20%
Overall Medium 1.3 1.05 5-10%
Tinggi 1.3-1.5 1.1 <5%
Sumber: Read & Stacey, 2009
A’
220
Timbunan Nikel
Tanah Asli
Lereng timbunan LGO Nuspera terdiri dari material bijih nikel yang diperkuat dengan rockwall yang
merupakan batuan jenis pedotite, dan material rock base yang berupa batuan metamorf. Penentuan sifat fisik dan
mekanik dari batuan sepenuhnya diambil dari hasil penelitian geomekanika terdahulu. Sifat fisik dan mekanik
yang didapatkan berupa data bobot isi batuan, kohesi dan sudut gesek dalam yang digunakan sebagai parameter
masukan pada software slide 6.0 (Tabel 2).
Analisis ini menggunakan metode bishop dan metode simulasi Monte-Carlo dengan menggunakan bantuan
software Slide 6.0.Dengan parameter yang digunakan adalah bobot isi masssa batuan (γ), sudut geser dalam (ϕ),
dan kohesi batuan (C).
Pada perhitungan FKlereng timbunan LGO Nuspera menggunakan perbandingan sudut lereng secara keseluruhan
sebesar 15o, 16o, 17o, 18o, 19o, dan 20o untuk asumsi tinggi muka air tanah dari lereng secara keseluruhan adalah
tidak ada pengaruh muka air atau dalam kondisi kering, dan lereng dalam kondisi jenuh air untuk tinggi lereng
keseluruhan sebesar 40 meter, 45 meter, dan 50 meter sebagai dasar acuan dalam menentukan nilai FKlereng
timbunan LGO Nuspera.
Pemodelan lereng menggunakan software slide 6.0 dengan geometri sesuai dengan lereng aktual dilapangan,
kemudian dilakukan perhitungan dan nilai FK dan PK yang dihasilkan adalah nilai FK dan PK terendah (Gambar
3).
Hasil analisis dilapangan, kondisi material dari lereng timbunan adalah material lepas hasil dari
penambangan. Kondisi lereng tersebut mengakibatkan longsoran yang mungkin terjadi adalah longsoran busur
lingkaran. Kondisi lereng dianggap stabil dan aman apabila FK diatas 1,3 dan PK dibawah 5%, sebagai acuan
yang telah ditetapkan untuk FK dan PK lereng secara keseluruhan. Untuk Lereng Aktual dengan kondisi kering
FK dan PK yang dihasilkan menggambarkan lereng dalam keadaan aman dan stabil, sedangkan pada kondisi jenuh
lereng dalam keadaan tidak stabil (Tabel 3). Untuk Lereng Rekomendasi dengan tinggi 40 meter dan 45 meter,
221
sudut yang menggambarkan lereng stabil adalah semua sudut rekomendasi. sedangkan 50 meter sudut yang stabil
adalah sudut 12o, 13o, dan 14o(Tabel 4).
222
18 Kering 2.34 2.36 0.0%
IV. Pembahasan
Dalam menganalisa kestabilan lereng dengan software slide langkah yang dilakukan adalah pemodelan
lereng, identifikasi metode dan parameter masukan, identifikasi material, penentuan bidang gelincir, kalkulasi dan
interpretasi nilai FK dengan Slide 6.0.
Analisis yang dilakukan dengan program Slide 6.0 untuk sudut lereng keseluruhan 15o, 16o, 17o, 18o, 19o, dan 20o
untuk tinggi lereng keseluruhan 40 meter, 45 meter, dan 50 meter dengan asumsi tinggi muka air tanah dari lereng
keseluruhan adalah lereng dalam keadaan kering/ tanpa pengaruh air dan lereng dalam keadaan jenuh air.
Faktor Keamanan dan Probabilitas Kelongsoran yang di dapat dari masing-masing rencana dan berikut ini
penjelasan dari hasil lereng secara keseluruhan tersebut :
223
Gambar 4. FK VS Sudut Lereng
224
Gambar 8. FK VS Sudut Lereng
Sensitivity Plot
1,7
Factor of Safety - bishop simplified
y = 0,0053x + 1,1304
R² = 0,9988 y = 0,0023x + 1,2766
R² = 1
1,5 y = 0,0025x + 1,2609
R² = 0,9927
y = 0,0017x + 1,3059
1,3 R² = 0,9979
1,1
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Percent of Range (mean = 50%)
225
V. Kesimpulan & Saran
Kesimpulan dari hasil penelitian adalah:
1. Hasil analisis kestabilan lereng tunggal pada timbunan bijih kadar rendah (LGO) Nuspera memberikan
rekomendasi geometri yang masih stabil pada:
a. Material rockwall : tinggi 5 m, sudut 90o
b. Material bijih nikel kadar rendah: tinggi 5 m, sudut 80o
Namun demikian untuk alas an operasionalnya, tinggi dan sudut lereng tunggal digunakan dalam rancangan
masing-masing yakni 5 meter dan 35o.
2. Hasil evaluasi kestabilan lereng keseluruhan aktual pada timbunan bijih kadar rendah (LGO) Nuspera
memberikan nilai FK dan PK masing – masing 2,39 dan 0% (kondisi kering); serta 1,30 dan 2,5% (kondisi
jenuh). Hal ini membuktikan lereng aktual yang secara fisik dalam kondisi stabil.
3. Hasil analisis kestabilan keseluruhan pada timbunan bijih kadar rendah (LGO) Nuspera memberikan
rekomendasi sebagai berikut:
a. Tinggi 40 meter, Sudut 17o
Kondisi kering: FK = 2,54; PK = 0%
Kondisi Jenuh: FK = 1,30 ; PK = 2,9%
226
PROSIDING TPT XXIV PERHAPI 2015 DAN KONGRES PERHAPI IX
Sari
Kelongsoran lereng merupakan suatu fenomena yang bisa terjadi pada lokasi kegiatan
pertambangan, yang disebabkan oleh 2 kemungkinan yakni: ketidakpastian dalam metode
yang digunakan (model error) serta proses deteriorasi yang dialami oleh material pembentuk
lereng.
Studi ini digunakan untuk menelaah penyebab kelongsoran tersebut, serta menentukan
ambang batas (acceptable criteria) untuk indikator kestabilan lereng yang terdiri atas Faktor
Keamanan (FK) minimum dan Probabilitas Kelongsoran (PK) maksimum.
Penentuan ambang batas FK minimum dan PK maksimum dilakukan melalui analisis
balikdengan metode probabilistik, serta melakukan koreksi model rancangan lereng
menggunakan simulasi Monte Carlo dan metode analitis.
Berdasarkan hasil analisis balik dari data pemantauan, penentuan faktor koreksi
model, penentuan FKs dan PKs, serta evaluasi terhadap lereng-lereng eksisting; maka ambang
batas (acceptable criteria) PK untuk lereng tunggal yang diusulkan adalah 30%., sedangkan
FKberkisar antara 1,10-1,30.
Abstract
Slope failure is a phenomenon that can occur in mining activities, which are caused by
two possibilities namely: uncertainties in the method used (model error) as well as the process
of deterioration experienced by the material forming the slopes.
These studies are used to examine the cause of the failure, and determine the threshold
(acceptable criteria) for slope stability indicator consisting of minimum Safety Factor (SF) and
the maximum failure probability (FP).
Determination of criteria done through the back analysis using probabilistic methods,
as well as correcting the slope design model using Monte Carlo simulation and analytical
methods.
Based on the results of back analysis of monitoring data, the model correction factor
determination, determination of FKS and PKs, and evaluation of existing slopes; the proposed
threshold (acceptable criteria) of FP for single slope is 30%. While the safety factor (SF)
ranged from 1.10 to 1.30.
227
*Penulis untuk korespondensi (corresponding author):
E-mail: masagus.azizi@gmail.com
Tel: +62-811-231.5789, Faksimili: +62-21-5670496
I. PENDAHULUAN
Kelongsoran lereng merupakan suatu fenomena yang sering terjadi pada industri
tambang, dan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya longsor, antara lain faktor
penurunan kekuatan batuan (deteriorasi) dan kesalahan model perhitungan Faktor Keamanan
(FK) dari metode yang digunakan.
Faktor penurunan kekuatan batuan sangat dimungkinkan di Indonesia mengingat iklim
tropis menyebabkan proses pelapukan batuan berlangsung lebih cepat dibandingkan dari
negara-negara non tropis, sehingga rancangan lereng yang menggunakan sifat mekanik batuan
menjadi tidak berlaku.
Begitupun faktor kesalahan model dalam perhitungan FK, dalam kasus ini perhitungan
FK menggunakan metode Bishop yang disederhanakan dianggap beberapa asumsi
penyederhanaan menyebabkan terjadinya ketidakpastian dalam menyajikan nilai FK yang
dihasilkan.
Studi ini menelaah 2 faktor tersebut, dan mencoba mengusulkan ambang batas
(acceptable criteria) indikator kestabilan lereng untuk FK & Probabilitas Kelongsoran (PK)
untuk lereng tunggal pada tambang batubara.
Data pemantauan pergerakan lereng diperoleh dari hasil penelitian terdahulu (Saptono,
2012). Salah satu contoh data hasil pemantauan pergerakan lereng menggunakan Slope
Stability Radar (SSR) yakni pada lokasi low wall di pit PAMA (Pit Central 1 Tutupan Selatan)
Blok N7123-N7143/E4106-E4109 yang memiliki dimensi lereng tinggi 18 meter dan sudut 480
(Gambar 1). Pada rentang waktu 13 hari sebelum longsor menunjukkan terjadi pergerakan yang
regresif (kecepatan perpindahan rata-rata 0,183 m/jam).
Tabel 1 merupakan data pemantauan pergerakan lereng saat longsor dari 5 lereng
tunggal pada lokasi yang berbeda dengan litologi batu pasir dan batu lumpur, yang
228
menunjukkan pergerakan sebesar 0,03-0,53 meter dengan jarak rekahan tarik terhadap puncak
lereng sebesar 11-20 meter (data penelitian disertasi Saptono, 2012). Dengan asumsi terjadi
penurunan kekuatan batuan (deteriorasi), maka dilakukan analisis balik (back analysis) untuk
memperoleh kohesi dan sudut gesek dalam pada saat lereng longsor menggunakan metoda
kesetimbangan batas.
Keterangan:
M = Pergerakan Lereng Saat
Lereng Longsor
L = Jarak Rekahan Tarik
Analisis balik dilakukan guna memperoleh sifat mekanik batuan pada saat lereng
longsor.Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah sifat mekanik batuan disain dan data
hasil pemantauan berupa jarak rekahan terhadap puncak lereng (crest). Ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk analisis balik, yakni:
a. Melakukan trial & error secara manual untuk mencocokkan data masukan dengan perilaku
yang diamati.
b. Analisis sensitivitas untuk variabel individu (single variable)
c. Analisis probabilitas untuk 2 variabel yang berkorelasi (2 correlated variables).
d. Metode probabilitas lanjut untuk analisis multi parameter secara simultan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis probabilitas untuk
2 variabel yang berkorelasi yang mengacu pada prosedur analisis balik yang digunakan dalam
program Slide dengan metode kesetimbangan batas (Duncan dkk, 2005; Zhang dkk, 2010;
Styles dkk, 2011).
Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan model lereng untuk analisis balik
yang sudah memasukkan posisi rekahan dalam model (Gambar 2).
229
Gambar 2. Model Lereng Untuk Analisis Balik (H30m S34D)
Jika kita mengasumsikan kohesi dan sudut gesek dalam merupakan parameter yang
menyebabkan lereng longsor, maka dapat dilakukan analisis probabilistik untuk menentukan
hubungan antara kohesi dan sudut gesek dalam, yang memberikan nilai FK=1 pada busur
longs
ini.
Masukkan nilai parameter disain kedalam program dan lakukan analisis sensitivitas
terhadap kohesi, sehingga diperoleh nilai FK=1. Selanjutnya masukkan kembali nilai kohesi
hasil analisis sensitivitas menjadi parameter masukan yang baru dengan mengasumsikan kedua
parameter tersebut memiliki distribusi seragam (Gambar 3).
Lakukan perhitungan analisis probabilistik dengan menggunakan data tersebut, dan pilihlah
menu “scatter plot option”, dan pilih “cohesion versus friction angle” (Gambar 4).
230
Lanjutkan dengan mengenerate “scatter plot”, maka akan muncul grafik kohesi versus
sudut gesek dalam dari hasil “scatter plot” (Gambar 5). Grafik tersebut menunjukkan semua
nilai kohesi dan sudut gesek dalam yang dihasilkan dari analisis probabilistik. Karena
menggunakan distribusi seragam menghasilkan titik-titik yang terdistribusi di seluruh range
nilai kedua parameter tersebut. Titik-titik yang berwarnah orange merupakan titik-titik korelasi
kohesi dan sudut gesek dalam yang menghasilkan nilai FK=1.
Klik kanan pada plot dan pilih “Hilighted Data Only”, maka grafik tersebut menjadi
Gambar 6. Grafik ini memberikan hubungan antara kohesi dan sudut gesek dalam yang
menghasilkan FK=1 pada permukaan longsor busur. Garis linier yang melalui data (garis warna
orange) merupakan garis yang paling cocok yang dihasilkan dari rentang nilai FK=0,99-1,01.
Pada akhirnya dari grafik tersebut ditentukan nilai kohesi dan sudut gesek dalam aktual ketika
lereng longsor.
Penentuan sudut gesek dalam batu pasir diperoleh dari hasil uji induksi pengaruh kadar
air akibat hujan yang memberikan nilai sebesar 160, selanjutnya diperoleh nilai kohesi dari
Gambar 4.40 sebesar 50,4 kPa.
Rekapitulasi hasil analisis balik dapat dilihat pada Tabel 2.
231
Berdasarkan hasil analisis balik batu pasir menunjukkan terjadi penurunan kohesi
sebesar rata-rata 35,4 kPa (38,5%) dan sudut gesek dalam sebesar rata-rata 160 (14,9%) dari
nilai parameter disain. Hal tersebut masih sangat mungkin bila dibandingkan dari hasil
penelitian sebelumnya (Saptono, 2012), yang menghasilkan penurunan kohesi akibat rayapan
(creep) kurang lebih 57% dan akibat pengaruh skala 52%.Untuk lereng batu lumpur
menunjukkan bahwa dimensi lereng yang digunakan melebihi dimensi disain sehingga lereng
menjadi longsor. Tabel 2 juga memberikan informasi bahwa kelongsoran lereng tunggal terjadi
pada nilai PK di atas 45%, sehingga nilai tersebut digunakan sebagai nilai ambang batas PK
(acceptable criteria) untuk penentuan lereng tunggal jangka panjang (JP) di PT Adaro
Indonesia. Hasil tersebut masih memiliki kesesuaian dengan ambang batas PK yang digunakan
Read and Stacey (2009) yakni berkisar antara 25%-50%.
Tabel 3 merupakan hasil perhitungan kestabilan lereng tunggal jangka panjang pada
beberapa lereng di PT Adaro Indonesia yang memberikan prediksi semua lereng menghasilkan
nilai PK 45% (tidak longsor), kecuali pada penampang 16 dan 17 yang memberikan nilai
PK>45% (lereng akan longsor).
Penentuan faktor koreksi terhadap model dilakukan dalam dugaan koreksi terhadap
hasil perhitungan metode kesetimbangan batas “Bishop Simplifikasi”. Faktor koreksi model
(N) ditentukan berdasarkan rasio FK pada saat lereng longsor (FK=1) terhadap FK
deterministik dari disain lereng. Dari data hasil validasi, diperoleh ada 4 lereng tunggal batu
pasir yang longsor.Hasil perhitungan faktor koreksi model dapat dilihat pada tabel 4.
Dengan mengasumsikan faktor koreksi model lereng tersebut bersifat acak dan memiliki
distribusi seragam (uniform), maka nilai rata-rata dari faktor koreksi dapat ditentukan:
Pada akhirnya koefisien variasi (KV) dan standar deviasi (SD) juga dapat ditentukan:
Hasil penentuan faktor koreksi dari model lereng yang longsor dapat dipergunakan
untuk menentukan nilai FK sebenarnya (FKs) dan PK sebenarnya (PKs).
232
3.1. FK dan PK Sebenarnya
FKdet adalah faktor keamanan deterministik disain dan N(1,n) adalah faktor koreksi
model yang diperbanyak sebanyak n menggunakan metode sampling Monte Carlo (MC)
mengikuti distribusi seragam. Dalam hal ini faktor koreksi diperbanyak dengan n=10.000
menggunakan bantuan perangkat lunak matlab.
Mengingat hasil perbanyakan data menghasilkan faktor koreksi sebanyak 10.000 buah,
maka FK sebenarnya (FKs) dapat ditentukan dengan cara mengkalikan faktor koreksi tersebut
dengan FK deterministik disain, sehingga jumlah FKs menjadi 10.000 buah. Pada akhirnya
FKs rata-rata dan PK sebenarnya (PKs) diperoleh dari distribusi FKs tersebut (Tabel 5).
Tabel 5 menunjukkan hasil penentuan koreksi model lereng tunggal pada seluruh
penampang stabil, kecuali penampang 16 dan 17 yang diprediksi longsor. Hasil ini semakin
memperkuat hasil perhitungan FK dan PK lereng tunggal jangka panjang yang diperoleh dari
hasil analisis balik, yakni memberikan hasil prediksi kestabilan yang sama. Namun dari tabel
tersebut masih memperlihatkan ada sebagian lereng yang seolah-olah tidak memiliki nilai PK,
yakni selain penampang 10, 16 dan 17. Untuk dapat menentukan nilai PK dari lereng-lereng
tersebut, maka dilakukan dengan cara perhitungan analitis.
Perhitungan analitis menggunakan central limit theorm, yang menyatakan bahwa
distribusi FK yang dihasilkan adalah lognormal, yang memiliki parameter sebagai berikut:
Pada akhirnya PK analitis dapat ditentukan dengan cara menggunakan indeks β pada
tabel probabilitas (Tabel 6). Hasil perhitungan analitis probabilitas menunjukkan prediksi yang
sama seperti hasil simulasi, yakni lereng-lereng masih dalam kondisi stabil kecuali pada
penampang 16 dan 17 yang menghasilkan nilai PK yang jauh melampaui ambang batas
kelongsoran hasil analisis balik.
233
Tabel 2. Hasil Analisis Balik Kelongsoran Lereng Tunggal Menggunakan
Metoda Kesetimbangan Batas
Keterangan:
PK = 0% berarti seluruh distribusi nilai FK > 1,0 BP = Batu Pasir
PK =100% berarti seluruh distribusi nilai FK 1,0 BL = Batu Lumpur
234
Tabel 4. Hasil Penentuan Faktor Koreksi Model Kesetimbangan Batas "Bishop" Lereng
Tunggal
Tabel 6. Perbandingan Probabilitas Simulasi dan Analitis Lereng Tunggal Batu Pasir
235
Keterangan:
236
Gambar 6. Grafik Hubungan Sudut Lereng vs. PK Pada Berbagai Tinggi Lereng
Berdasarkan evaluasi terhadap ketiga dimensi lereng tunggal tersebut, maka ambang batas PK
yang paling realistis adalah 30%. Dengan menggunakan Gambar 4.42 dan 4.43, maka dapat
ditentukan sudut lereng yang paling aman sebagai berikut:
Tinggi 12 meter : 740≈750
Tinggi 16 meter : 590≈ 600
Tinggi 24 meter : 320≈300
Sehingga faktor keamanan minimum yang realistis sebagai berikut:
Tinggi 12 & 16 meter : 1,11-1,12
Tinggi 24 meter : 1,30
237
V. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari tulisan ini sebagai berikut:
Probabilitas kelongsoran dapat menjadi indikator alternatif dalam mengkaji kestabilan
lereng tambang terbuka, dan menjadi perangkat penting dalam pengambilan keputusan.
Hasil analisis balik dari data pemantauan, penentuan faktor koreksi model, penentuan FKs
dan PKs, serta evaluasi terhadap lereng-lereng eksisting; maka ambang batas (acceptable
criteria) PK untuk lereng tunggal adalah 30%,sedangkan faktor keamanan (FK) berkisar
antara 1,10-1,30.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tak berhingga kepada semua pihak yang
membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan dan dipublikasikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abramson, L.W., Lee, T.S., Sharma, S., and Boyce, G.M., 2002, Slope Stability and
Stabilization Methods, John Wiley & Sons Inc.
2. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., dan Arif, I., 2010, Analisis Probabilitas
& Sensitivitas Kestabilan Lereng Penambangan Menggunakan Pendekatan Probabilistik
Dengan Metode General Hoek & Brown; TPT XIX PERHAPI Balikpapan.
3. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., dan Arif, I., 2010, Aplikasi Pendekatan
Probabilistik Dalam Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode
Kesetimbanan Batas; Seminar Nasional Statistik, UNDIP Semarang.
4. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., Sidi, I.D., Suhedi, dan Basuki, S., 2011,
Aplikasi Probabilistik Untuk Analisis Kestabilan Lereng Tunggal (Studi Kasus PTBA
Tanjung Enim, Sumsel); TPT XX PERHAPI, Lombok-Mataram.
5. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., dan Sidi, I.D., 2011, Karakterisasi
Variabel Acak Interburden MN Untuk Disain Lereng Tunggal Menggunakan Metode
Kolmogorov-Smirnov (Studi Kasus PT. Kaltim Prima Coal, Sangatta, Kaltim); Seminar
Nasional Kebumian, UPN Veteran Yogyakarta.
6. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., Sidi, I.D., dan Adriansyah, Y., 2012,
Analisis Risiko Kestabilan Lereng Tambang Terbuka (Studi Kasus Tambang Mineral X);
Simposium & Seminar Nasional Geomekanika ke 1 Tahun 2012, UPN Veteran
Yogyakarta.
7. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., dan Sidi, I.D., 2012, Aplikasi Metode
Probabilistik Pada Kurva Stabilitas Lereng; TPT XXI dan Kongres 7 PERHAPI, Jakarta.
8. Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., dan Sidi, I.D., 2013, Characterization
of Physical & Mechanical Properties Distribution of Indonesian Coal; ISRM International
Symposium, EUROCK 2013, Wroclaw, Poland.
9. Baecher, G.B., and J.T. Christian, 2003, Reliability and statistics in geotechnical
engineering. Wiley, Chichester, U.K.
10. Duncan, J.M. and Wright, S.G., 2005, Soil Strength and Slope Stability (chapter 12), John
Wiley and Sons Inc.
11. Hoek E., Bray J., 2005, Rock Slope Engineering – Civil and Mining, 4th edition, Taylor
& Francis Group.
12. Hoek E., 1987 (edisi 1), 2000 (edisi 2), 2007 (edisi 3), Practical Rock Engineering.
238
13. Krahn, J., 2004, Stability Modeling with SLOPE/W – An Engineering Methodology, first
edition, GEO-SLOPE/W International, Ltd.
14. Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., Sidi, I.D., Azizi,I.D., and Adriansyah, Y., 2012,
Open Pit Mine Slope Stability and Uncertainty; Prosiding 7th Asian Rock Mechanics
Symposium (ARMS7), South Korean.
15. Pramuditya, S.A., Azizi, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., and Sidi, I.D., 2013,
Application of Fitting & Probabilistic Method to Characterize Physical & Mechanical
Rock Properties Distribution; Proceeding South East Asian Conference on Mathematics
and Its Application, SEACMA 2013, Organized by Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya.
16. Rai, M.A.,Kramadibrata., S., Wattimena, R.K., 2012, Mekanika Batuan, Penerbit ITB.
17. Read J., Stacey P., 2009, Guidelines For Open Pit Slope Design, CSIRO Publishing.
18. Saptono, S., 2012, Pengembangan Metode Analisis Stabilitas Lereng Berdasarkan
Karakterisasi Batuan di Tambang Terbuka Batubara, Penelitian Disertasi Prodi Rekayasa
Pertambangan, ITB.
19. Styles, T.D., Coggan, J.S. and Pine, R.J., 2011, Back analysis of the Joss Bay Chalk Cliff
Failure using numerical modelling, Engineering Geology 120, pp 81-90.
20. Wattimena, R.K., Kramadibrata, S., Sidi, I.D., and Azizi, M.A., 2012, Probabilistic
Analysis of Single Bench Using New Slope Stability Curves, Prosiding 7th Asian Rock
Mechanics Symposium (ARMS7), South Korean.
21. Zhang, J., Tang, W.H. and Zhang, L.M., 2010, Efficient Probabilistic Back-Analysis of
Slope Stability Model Parameters, Journal of Geotechnical and Geoenvironmental
Engineering, ASCE, January, pp 99-109.
22. Duncan J.M., Navin M., and Wolff T.F., 2003, Discussion of “Probabilistic slope stability
analysis for practice”, Canadian Geotechnical Journal, 40: 848–850.
23. Genske D.D., and Walz B., 1991, Probabilistic Assessment of the stability of rock slopes.
24. Griffiths D.V., and Fenton G.A., 2003, Probabilistic slope stability analysis by Finite
Elements, Division of Engineering, Colorado School of Mines, U.S.A.
25. Griffiths D.V., Fenton G.A., and Denavit M.D., 2007, Traditional and Advanced
probabilistic slope stability analysis, Geomechanics Research Center, Division of
Engineering, Colorado School of Mines, Golden, Colorado.
26. Hammah, R.E., Yacob, T.E., and Curran J., 2003, The Influence of correlation and
distribution truncation on slope stability analysis results, Rocscience Inc.
27. Hammah, R.E., and Yacob, T.E., 2009, Probabilistic slope analysis with the finite element
method, the 43rd US Rock Mechanics Symposium and 4th U.S.-Canada Rock Mechanics
Symposium.
28. Harr, M.E., 1987, Reliability-based design in civil engineering. New York: McGraw-Hill.
29. Jie Z., 2009, Characterizing Geotehcnical Model Uncertainty, The Hongkong University
of Science and Technology.
30. Low B.K., 1996, Practical Probabilistic Approach Using Spreadsheet, ASCE
Geotechnical Special Publication No.58, Proc., Uncertainty in the Geologig Enviroment-
From Theory to Practice, Madison, Wisconsin.
31. Low B.K., and Tang W.H., 1997, Probabilistic Slope Analysis Using Janbu’s Generalized
Procedure of Slices, Computers and Geotechnics, Vol.21, No 2, pp 121-142, Elsevier.
32. McCracken A., 2011, Open Pit Slopes: Risk Based Geotechnical Design and
Management, Geological Society, South Wales Regional Group.
33. Park H.J., 2005, A New Approach for Persistence in Probabilitic Rock Slope Stability
Analysis, Geoscience Journal, Vol.9, p287-293.
239
34. Pathak S., Poudel R.K., and Kansakar B.R., 2006, Application of Probabilistic Approach
in Rock Slope Stability Analysis — An Experience from Nepal, pp. 797–802, Universal
Academy Press, Inc. - Tokyo, Japan.
35. Pine. R.J. 1992. Risk analysis design applications in mining geomechanics. Trans. Inst.
Min.Metall. (Sect.A) 101, 149-158.
36. Pine, R.J. and W.J. Roberds. 2005. A risk-based approach for the design of rock slopes
subject to multiple failure modes – illustrated by a case study in Hong Kong. International
Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences 42 (2005), Elsevier Ltd., pp. 261 – 275.
37. Rosenbleuth, E. 1981. Two-point estimates in probabilities. J. Appl. Math. Modelling 5,
October, 329-335.
38. Staveren V., 2007, Extending to Geotechnical Risk Managemen, International
Symposium on Geotechnical Safety & Risk, pp.1-12.
39. Steffen, O.K.H, 1997, Planning of Open Pit Mines on a Risk Basis, The Journal of The
South African Institute of Mining and Metallurgy, p.47-56.
40. Steffen, O.K.H., Contreras L.F., Terbrugge P.J., and Venter J., 2008, A risk evaluation
approach for pit slope design, the 42nd US Rock Mechanics Symposium and 2nd U.S.-
Canada Rock Mechanics Symposium, held in San Francisco, June 29-July 2.
41. Terbrugge P.J., Wesseloo J., Venter J., and Steffen O.K.H., 2006, A risk consequence
approach to open pit slope design, The Journal of The South African Institute of Mining
and Metallurgy, Vol.106, pp 503-514.
42. Tse, Y.K., 2009, Nonlife Actuarial Models, Theory, Methods and Evaluation, Cambridge
University Press.
43. Wesley L.D., 2012, Mekanika Tanah – Untuk Tanah Endapan & Residu, Penerbit ANDI.
44. Whitman R.V., 1981, Evaluating Calculated Risk in Geotechnical Engineering, The
Seventeenth Terzaghi Lecture, Journal of Geotechnial Engineering, Vol.110, No.2,
February 1984, ASCE.
240
VI. PENDAHULUAN
Kelongsoran lereng merupakan suatu fenomena yang sering terjadi pada industri
tambang, dan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya longsor, antara lain faktor penurunan
kekuatan batuan (deteriorasi) dan kesalahan model perhitungan Faktor Keamanan (FK) dari
metode yang digunakan.
Faktor penurunan kekuatan batuan sangat dimungkinkan di Indonesia mengingat iklim
tropis menyebabkan proses pelapukan batuan berlangsung lebih cepat dibandingkan dari
negara-negara non tropis, sehingga rancangan lereng yang menggunakan sifat mekanik batuan
menjadi tidak berlaku.
Begitupun faktor kesalahan model dalam perhitungan FK, dalam kasus ini perhitungan
FK menggunakan metode Bishop yang disederhanakan dianggap beberapa asumsi
penyederhanaan menyebabkan terjadinya ketidakpastian dalam menyajikan nilai FK yang
dihasilkan.
Studi ini menelaah 2 faktor tersebut, dan mencoba mengusulkan ambang batas
(acceptable criteria) indikator kestabilan lereng untuk FK & Probabilitas
241
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstract
Metode Limit Equilibrium adalah metode yang paling umum digunakan untuk analisa
kestabilan lereng. Metode ini menawarkan kesederhanaan dalam jenis data yang dibutuhkan,
kemudahan dalam analisa kesetimbangan gaya dan momen yang dapat dimengerti, dan
memberikan hasil yang memadai. Meskipun demikian, metode ini mengandung beberapa
kelemahan yang perlu dipahami sebelum dapat digunakan secara benar. Terdapat beberapa
metode analisa kestabilan lereng lainnya yang dapat digunakan, salah satunya adalah metode
Finite Element.
Paper ini memaparkan perbandingan antara aplikasi metode Limit Equilibrium (LEM) dan
metode Finite Element (FEM) untuk analisa kestabilan lereng. Kelebihan dan kelemahan
masing-masing metode akan dibahas dan contoh studi kasus pada satu tambang batubara di
Provinsi Kalimantan Timur akan ditampilkan. Studi kasus ini meliputi analisa lereng pada
highwall, lowwall dan sidewall.
Kata kunci : Limit Equilibrium Method, Finite Element Method, Kestabilan Lereng
1. Pendahuluan
Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam melakukan analisis kestabilan lereng
yang cukup populer digunakan yaitu metode kesetimbangan batas (Limit Equilibrium Method)
dan metode elemen hingga (Finite Element Method).
242
Gambar 2. Prinsip dasar kestabilan lereng dari metode irisan
Pada gambar 2 simulasi irisan pada sebuah analisa lereng. Pada gambar 3 distribusi gaya yang
bekerja pada salah satu irisan
Keterangan pada penjelasan gambar 3:
W = Berat total irisan
N = Gaya normal
T = Gaya geser pada dasar irisan
yang diperlukan
agar irisan berada dalam kondisi
tepat setimbang.
H = Gaya antar irisan horizontal yang
berasal dari sebelah kiri
H+d = Gaya antar irisan horisontal yang
H berasal dari sebelah kanan dan
243
juga ditambahkan selisih dari
gaya kiri kanan dari irisan
V = Gaya antar irisan vertikal yang
berasal dari bagian atas
V+d = gaya antar irisan vertikal yang
V berasal dari bagian bawah dan
juga ditambahkan selisih dari
gaya atas dan bawah dari irisan
b = lebar irisan
h = tinggi irisan
α = sudut pada yang terbentuk di
dasar bidang gelincir.
244
Tabel 1. Perbandingan FEM dan LEM
Hasil analisa Secara numerik Kestimbangan batas
Penyebarannya hanya pada objek yang
Kesetimbangan Menyebar ke segala arah
spesifik. Contohnya pada irisan lereng.
Diperhitungkan ke segala arah
Diperhitungkan hanya disekitar
Tegangan dengan menggunakan data-data
pemukaan
dari lapangan
Perubahan
Bagian dari rekomendasi Tidak dianggap
bentuk
Hasilnya berdasarkan kondisi
Keruntuhan diperbolehkan terjadi pada
yang menyebar ke segala arah;
permukaan yang sudah ditentukan.
Keruntuhan permukaan longsor
Tidak mengkorelasikan pada kondisi
dikembangkan secara otomatis
yang lain.
dan merupakan perintah.
Mekanismenya dalam penentuan
Nilai kinematis disesuaikan dengan
Kinematis factor keamanan dibatasi
kondisi geologi tertentu
sepenuhnya oleh nilai kinematis
Kasus penelitian ini diambil dari lokasi penambangan batubara yang terletak di provinsi
kalimantan timur. Dimana pada lokasi penambangan tersebut memiliki desain lereng
penambangan di sisi highwall, lowwall, dan sidewall. Pada penelitian ini akan menganalisa
kestabilan pada lereng-lereng tersebut. Berdasarkan hasil data pengoboran dan hasil dari
deskripsi geoteknik pada litologi-litologi hasil pengeboran terbagi menjadi 8 group domain
untuk mempermudah didalam memasukkannya dalam analisis lereng. Domain tersebut
diantaranya : (1) Residual soil (2) Sandstone Upper (litologi sandstone yang berada diatas target
seam batubara), (3) Siltstone Upper, (4) Claystone, (5) Coally shale, (6) Coal, (7) Sandstone
Lower (litologi yang berada di bawah seam terget dari batubara), dan (8) Siltstone Lower.
Material Properties
Type Domain Cp Cr Øp Ør σt E ϒn ϒs
ν
(MPa) (MPa) (deg) (deg) (MPa) (MPa) (gr/cm3) (gr/cm3)
Sediment Sandstone-Upper 0.134 0.110 35.74 34.40 0.767 1165.52 0.27 2.18 2.25
Siltstone-Upper 0.133 0.101 26.16 25.40 0.165 94.62 0.31 2.04 2.18
Claystone 0.118 0.097 21.56 20.00 0.146 86.37 0.31 1.64 1.82
Coalyshales 0.075 0.058 27.08 24.90 0.094 35.96 0.27 1.92 2.02
Coal 0.193 0.113 35.00 29.50 0.300 100.00 0.30 1.28 1.30
Sandstone-Lower 0.165 0.130 32.58 31.80 0.681 831.15 0.31 2.05 2.10
Siltstone -Lower 0.129 0.107 30.99 25.60 0.238 116.61 0.35 1.85 2.03
Others Disposal 0.062 0.062 23.70 23.70 n/a 1.00 0.30 n/a 1.70
245
Material Properties
Type Domain Cp Cr Cp Cr Øp Ør ϒn
E ν
(kg/cm2) (kg/cm2) (MPa) (MPa) (deg) (deg) (gr/cm3)
(MPa)
Residual Soil Soil 0.110 0.110 0.011 0.011 24.46 24.46 1.0 0.3 18
Silt 0.180 0.180 0.018 0.018 23.90 23.90 1.0 0.3 18
Sand 0.246 0.246 0.024 0.024 22.1 22.1 1.0 0.3 18
Didalam menganalisis kestabilan lereng data lain yang dimasukkan yaitu seismic load,
karena berdasarkan pada SNI-1726-2002 pada lokasi penelitian nilai seismic loadnya ada pada
0,05g. Dalam analisa lereng dengan metode LEM dibantu software rocscience slide V.6.0
Sedangkan untuk membantu analisa lereng dengan metode FEM menggunakan software
rocscience Phase2. Teori Mohr Coloumb dipilih sebagai input properties yang digunakan pada
analisa lereng.
RQD
Sandstone Upper
Siltstone Upper
Claystone
Coaly-shale Stone
Coal
Sandstone Lower
Siltstone Lower
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
FF/m
Sandstone Upper
Siltstone Upper
Claystone
Coaly-shale Stone
Coal
Sandstone Lower
Siltstone Lower
- 100 200 300 400 500
246
Spacing of Discontinuity
Sandstone Upper
Siltstone Upper
Claystone
Coaly-shale Stone
Coal
Sandstone Lower
Siltstone Lower
cm
UCS
Sandstone Upper
Siltstone Upper
Claystone
Coaly-shale Stone
Coal
Sandstone Lower
Siltstone Lower
247
Gambar 10. Stratigrafi pada lokasi Sidewall
Pada tabel 2 merupakan properties material batuan dan tanah yang digunakan berasal
dari data uji batuan dan tanah di laboratorium. Untuk beberapa material nilai puncak dari hasil
uji kuat geser tidak bisa terambil karena kondisi alat yang tidak mampu untuk menguji batuan
tersebut, kemudian kondisi puncak diestimasikan berdasarkan pada nilai tertinggi dari nilai
residual. Properties residual Soil terbagi menjadi 3 kelompok yaitu : soil, sand dan silt dimana
ketiganya tersebut merupakan material lemah yang terdapat dilokasi penelitian dengan
ketebelan yang cukup bervariatif, ketebalannya antara 1,44 m sampai 13,47 m.
248
Gambar 12. Anlisis LEM pada Low Wall, FoS 2.167
Pada analisis lereng highwall ini menggunakan dua pendekatan muka air tanah. Dengan
kondisi lerng jenuh air dan kondisi dimana muka air tanah sesuai dengan hasil pengukuran di
lokasi penelitian. Hal ini disebabkan karena hasil analisis dengan menggunakan kondisi jenuh
air lereng higwall longsor, akan tetapi dengan menggunakan muka air tanah sesuai dengan hasil
pengukuran muka air tanah kondisi lereng relativ aman.
Gambar 13. Analisis FEM High Wall (Saturated Condition), SRF 1.12
249
Gambar 14. Analisis LEM High Wall (Saturated Condition), FoS 1.087
250
3.3. Lereng Sidewall
Desain geometri sidewall secara umum yaitu:
Interamp Slope Angle : 430
Overall Slope Angle : 460
Overall Slope Height : 58 meter
Bench Height : 10 meter
Bench Width : 5 meter
Bench Angle : 60 degree
251
4. Kesimpulan
Dengan menggunakan metode LE hanya dapat diketahui nilai FOS yang digunakan
sebagai penentu kestabilan lereng. Ini dikarenakan metode ini hanya menghitung berdasarkan
irisan-irisan pada lereng
Dengan menggunakan metode elemen kita dapat mengetahui nilai SRF yang digunakan
sebagai penentu kestabilan lereng. Disamping itu juga dapat diketahui juga estimasi mengenai
total displacement dari lereng tersebut jika terjadi longsor. Ini dikarenakan penggunaan elemen-
elemen yang terdapat pada lereng sehingga perhitungan yang lainpun dapat ditunjang.
Pada kedua metode ini dapat dikethaui tegangan-tegangan yang kurang dari LEM
terintegrasi dalam FEM. Nilai faktor keamanan yang tidak terlampau jauh, untuk hasil yang
mendekati tersebut pada perhitungan LEM menggunakan metode longsoran spencer. Sehingga
bisa dikatakan bahwa kedua metode ini dapat menunjang satu sama lain didalam menentukan
kestabilan lereng. Keduanya juga semakin banyak irisan (LEM) dan Elemen (FEM) maka
akurasi hasil perhitungan kestabilan lereng akan semakin baik.
Daftar Pustaka
1. Wylie, Duncan C and Mah, Cristoper W. 2003. Rock Slope Engineering Civil And Mining
4th Edition. Canada.
2. John Wiley & Sons, INC. 1996. Slope stability and stabilization methods. Canada
3. Khadija Baba, Lahcen Bahi, Latifa Ouadif, Ahmed Akhssas. 2012. “Slope Stability
Evaluations by Limit Equilibrium and Finite Element Methods Applied to a Railway in the
Moroccan Rif”. Open Journal of Civil Engineering, 2012, 2, 27-32.
(http://www.SciRP.org/journal/ojce).
252
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRACT
In block cave mining air blast, wetmuck and collapse of panels are the high risk hazards.
In DOZ block cave mine, operated by PT Freeport in Papua Indonesia, wetmuck spills is
presently the most potential high risk hazard. With the maturity of the DOZ mine, wetmuck
spills becoming more frequent and increasing in spill volume; mainly from 2012 to present.
The DOZ mine is excavating the Cu-Au East Ertsberg Skarn System, formed at the margin of
the hard Ertsberg Diorite in the southern part of the mine and the softer forsterite skarn in the
middle to northern parts. Wetmuck spills are formed from a mud source, mainly in the middle
to northern part of the DOZ mine, in forsterite skarn, where the HOD's are generally high
(>350m). The fragmentation size, secondary fragmentation, in drawpoints with these high
HOD's show finer fragmentation (75% fragments <5cm) and appears to have the ability to
compact in the drawbell if mucking of the drawpoint is temporarily suspended; forming
packmuck. The period during suspension of mucking is presumed to be the time when packmuck
is formed. Besides mud, water is needed to create a wetmuck spill. Water isfunneled in the DOZ
mine due to the topography, the subsidence and daily high rainfall. Rain water influx at surface
is estimated at 7,600 gpm with an output of 6,100 gpm, measured at the extraction level. Based
on this water balance, approximately 1,500 gallons is pooling in the cave. The wetmuck spills
appears to be spatially related to these drawpoint/drawbells that contain packmuck and are
triggered by differential mucking. Due to this differential draw (mucking adjacent to a
packmuck drawpoint) spill can occur in that drawpoint. This is also the reasons for migration
of spill event to the south (cave and mucking is towards the south).
INTRODUCTION
The Cu-Au East Ertsberg Skarn System (EESS) is a calcium-magnesium silicate skarn
that inisiated by metamorphism contact during the intrusion of Ertsberg Diorite with later
metasomatic alteration during prograde and retrograde phases (Coutts et al., 1999). The deposit
sequentially start mined from Gunung Bijih Timur (GBT) as the upper part of the deposit (1987
to 1997), followed deeper by Intermediate Ore Zone (IOZ; 1987 to 2000), and presently Deep
Ore Zone (DOZ; 2000 to now). DM LZ as the lowest part of the deposit has just started to
mined and will be expanded in nearly future.
DOZ as the currently deepest part of EESS lies on two major orebodies, East Ertsberg
Skarn System (EESS) and Ertsberg Stockwork Zone (ESZ), that mined by block caving method.
DOZ reserves extend from 3640- 3130m above sea level, and mined from 3126m as the
extraction level, located around 700-1200 m down from the surface. Material within the cave
253
will become fragmented along vertical travel distance from its original location to the
drawpoints at the extraction level. In such distance and high draw column (called height of
draw-HOD), the material prone to be fragmented become finer material.
In this high intensity rainfall area, high water influx tend flow entering the cave from
subsidence area at the surface. The combination of fine materials and waters are potential to
create wetmuck spill. In the other side, suspension mucking of drawpoints dominated by fine
material for certain duration will make the muck become compacted inside the drawbell, and
create "frozen" muck, practically called packmuck drawpoint. These two conditions, wetmuck
occurrences and packmuck drawpoints, show a correlation that can gives an approach for
predicting wetmuck spill potential.
The information presented in this paper was gathered from geological observation,
mucking/drawn data, and hydrology data as an effort for holistic understanding of wetmuck
spill occurrences.
GEOLOGICAL OBSERVATION
Geological mapping conducted at each drawpoints in order to track and record mined
rock type, include the changes of rock type, size of fragmentation, wetness, and the fine sticky
material during life of mine. DOZ mine is expanding westward from 2012 until now.
Geologically, southern part of DOZ dominated by diorite and endoskarn, whereas northern part
is dominated by forsterite skarn. No significant change in dominant rock type observed during
2012 until 2015, but some areas in middle part show increasing endoskarn percentage, as well
as marble in north area.
254
More detail observation for single rock type show slightly different result. Slow cave
propagation rate and large fragmentation of diorite at southwest area cause slow vertical
movement of cave in that area. In contrast with that, finer forsterite can move faster than the
large fragmented diorite. As the result, forsterite distribution increase in south panels, as the
consequence of hard pulling at south area. Forsterite, as easily recognized rock type in the field,
use as a marker for riling material from north to south. A significant increase in forsterite
distribution obviously observed at middle to south panels during 2012 until 2015 period.
Mapping at drawpoints since 2012 shows forsterite is consistently observed as much as 10-30%
percent and spreading laterally in southern drawpoints. Forsterite is commonly mapped in fine
grain fragmentation (<5cm) and very distinguishable compare to coarse fragmented rock
(>5cm) diorite and endoskarn (Haflil et all, 2013). Increasing of forsterite observed at middle
to southern drawpoints confirm that lateral migration occur inside DOZ cave.
Material from IOZ, indicated as yellow garnet, also observed at south area until Panel
1C south. In line with that, fine fragmented rock, specifically at middle to south of Panel 06
until Panel IB is increasing. Wetness is generally fluctuates, depends on rainfall intensity at the
surface, but show general increasing in wet drawpoints number.
An even draw is a challenge in DOZ mine DOZ related with its inhomogeneous rock
mass and different cavability. At the beginning, drawpoints at northern panels start mined first
sequentially toward to the south, results higher HOD at the north than the newer opened
drawpoint at southern area.
255
results a contrast pulling between north and south area, mostly caused by low panel availability,
due to repair activity, panel collapse or wetmuck spill potential. High draw rates lead to
irregular draw and often isolated draw (Laubscher, 2000).
Figure 3. Comparison between Tonnages Derived from Normal Drawpoints and Packmuck
Drawpoints
Most of packmuck drawpoints are located at northern panels. Formerly hard pulling
generally occurred at north area, which is dominated by fine fragmented material, followed by
long suspension period of mucking tend to create packmuck in several drawpoints. Figure 3
shows less tonnage derived from several drawpoints for relatively long period, that in turn form
packmuck drawpoints.
This condition increase the total ore lose that cannot be drawn from drawpoints. Some
technique, e.g. minor blasting, water cannon, had been applied to handle the packmuck but did
not meet the expectation.
In DOZ block cave mine, wetmuck spills is presently the most potential high risk hazard.
With the maturity of the DOZ mine, wetmuck spills becoming more frequent and increasing in
spill volume; mainly from 2012 to present. The flowability of the materials
within the cave area should be understood. It is important to investigate potential "blends" of
the material in the cave as mining progress (Laubscher, 2000).
Pocket of mud inside the cave can be squeezed out or extruded under pressure, so the
composition of the mud must be established (Laubscher, 2000), include caved material
properties as below:
1. Weathering susceptibility
2. Fragmentation
3. Fines forming potential
4. Water absorption and plasticity
5. Permeability
6. Viscosity (mixtures)
In DOZ, wetmuck spill potentially occur in fine fragmented rock. Presently, northern
panels show higher HOD than the southern panels. With higher draw column, and fine
fragmented forsterite and forsterite-magnetite, and combine with water, northern panels have
higher wetmuck spill potential than southern panels.
256
Figure 4. Distribution of Material Fragmentation Size at
Drawpoints that Finer than 5 cm
Wide rainfall catchment of subsidence area at surface can accumulate water to entering
the DOZ cave and create water saturated drawpoints. Rain water influx at surface is estimated
at 7,600 gpm with an output of 6,100 gpm, measured at the extraction level. Based on this water
balance, approximately 1,500 gallons is pooling in the cave (data from Hydrology group). Dry
drawpoints adjacent with wet drawpoint can change become wet require rainfall higher than
160 in 7 days (~24 mm/day) (Nicholas and Rachmad, 1998).
Spill occurrences increase in 2013 to present, and spread progressively to the south area.
It is believed as the response of less pulling at middle and north panels and contrast higher
pulling at south panels. It increases the tendency of material inside the
cave to migrate southward, toward hard pulling drawpoints.
Figure 5. Vertical section of Panel IE looking northeast, show the different HOD between
north and south area.
257
Figure 6. Tonnage and Packmuck-Spill Distribution. Spill events spreading to the south panels,
coincide with increasing of packmuck drawpoints at north to middle panels, correlate with high
pulling at south area.
258
Packmuck drawpoints contribute as a relatively "frozen" stable plane inside the cave
that block vertical movement of muck inside its own draw column, and direct material inside
the cave to migrate laterally, depends on draw rate of its adjacent drawpoints.
Since the distribution of packmuck drawpoints had been identified, further effort is need
for predicting related spill events.
Historical spill events from 2012 to 2015 show tendency of spills occurrences that
shifted southward toward to the currently higher mucking area, especially near southern grizzly
area at Panel 06 to 1C, while spill potential still exist at the north area.
Unbalance pulling rate at north area will create unequal draw column height within the
cave. Rapid pulling at certain drawpoint will results higher draw column, therefor the finer
fragmentation will be resulted at the drawpoints as the consequence. Finer fragmented material
inside this type of draw column has potential to move faster toward the closest draw column
that pulled hard, increase the spill potential.
The combination from number of pulling data, rock type distribution, packmuck
drawpoints location, and historical spill are the best approach for predicting the spill
occurrences. At north area, controlled by amount pulling, the drawpoints that located very near
to presently packmuck drawpoints have highest possibility to be spilled out.
259
period of suspension or less mucking at north of Panel 1C westward should be avoided for
preventing packmuck drawpoints forming, that in turn will migrate spill southward, toward to
the new opened drawpoints.
A balance draw in different rock masses within a same reserve is a challenge in DOZ
block cave mine, but has a significant impact for efficient mining practice. Regular draw down
of cave is the rule of thumb and long period of draw suspension should be avoided for prevent
packmuck drawpoint forming. Adequate geological knowledge and good observation lead to
good draw strategy that economic and timely efficient mining practice.
ACKNOWLEDGEMENTS
The author would like to thank to the management of PT Freeport Indonesia, for
allowing to publish this paper, DOZ Geology, Geotech and Hydrology Department, and Cave
Management Group for all works and supporting data.
REFERENCES
CNI Inc., Freeport McMoran Copper and Gold Co., Hydrology Consultants Inc (1998). IOZ
Wetmuck Study. PT Freeport Internal Report
Coutts, B.P., Flint, D., Belluz, N., Susanto, H., Edwards, A., 1999, Geology of The Deep Ore
Zone Erstsberg East Skarn System Irian Jaya, Indonesia, 2-8.
Haflil, D., de Jong, G., Wicaksono, D., Soebari, L., 2014, Evidence of Lateral Movement-
Rilling and Mining Implications in the DOZ (Deep Ore Zone) Block Cave Mine, Papua,
Indonesia.
Laubscher, D., 2000, A Practical Manual On Block Caving, ICS, 80-86.
Nicholas, D., Rachmad, L. I., 2011, Technical Review Of Possible Cause(s) Of The 18 April
2011 Muck Spill In Panel 2 At PT Freeport Indonesia's DOZ/ESZ Mine, 6.
260
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Ringkasan
Rekahan merupakan struktur geologi yang umum ditemukan pada material di alam. Inisiasi dan
propagasi dari rekahan akan berujung pada keruntuhan material tersebut. Terdapat sebuah
paramater material terkait dengan proses inisiasi dan propagasi rekahan yang biasa disebut
sebagai fracture toughness. Secara praktik, pengujian fracture toughness pada mode rekahan I
sangat sering dilakukan karena kemudahan dalam persiapannya. Sebelum dikeluarkan standar
pengujian ISRM, telah banyak spesimen yang dapat digunakan untuk pengujian ini. Akan
tetapi, hasil yang didapatkan dirasa kurang memberikan nilai yang representatif.
Pengujian fracture toughness mode rekahan I di laboratorium dilakukan dengan menggunakan
spesimen Chevron Bend sebagai salah satu standar ISRM serta Brazilian Disc sebagai spesimen
diluar standar ISRM. Baik spesimen Chevron Bend maupun Brazilian Disc tidak memiliki
standar dimensi diameter yang pasti sehingga pengujian dengan diameter spesimen yang
berbeda (efek ukuran) diduga akan memberikan perbedaan hasil pengujian. Untuk memastikan
hal tersebut, digunakan tiga ukuran diameter yang berbeda yaitu 57 mm, 73 mm, serta 83 mm.
Material uji pada penelitian ini berupa campuran pasir dan semen dengan tiga komposisi
berbeda sehingga memiliki kekuatan yang berbeda juga.
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan untuk kedua jenis spesimen, didapatkan hasil
bahwa nilai fracture toughness berbanding lurus dengan kekuatan material, dimana contoh
batuan uji C memiliki nilai tertinggi, sedangkan contoh batuan uji A memiliki nilai paling
rendah. Ukuran diameter memberikan pengaruh terhadap hasil pengujian, pada penelitian ini
pengaruh tersebut lebih signifikan pada rentang diameter 57 mm – 73 mm. Efek ukuran
dimodelkan dengan hubungan logaritmik untuk menggambarkan hasil yang didapat. Evaluasi
terhadap efek ukuran memberikan hasil yaitu nilai fracture toughness yang digunakan berada
pada rentang diameter 73 mm – 83 mm dengan rincian sebagai berikut : contoh batuan uji A =
0,399 – 0,406 MPa√m (CB) dan 0,275 – 0,284 MPa√m (BD), contoh batuan uji B = 0,515 –
0,531 MPa√m (CB) dan 0,425 – 0,487 MPa√m (BD), serta contoh batuan uji C = 0,680 – 0,719
MPa√m (CB) dan 0,598 – 0,627 MPa√m (BD). Dengan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa
nilai fracture toughness spesimen brazilian disc berkisar 64,8% – 91,7% dari spesimen chevron
bend.
Kata kunci : fracture toughness, chevron bend (CB), brazilian disc (BD), efek ukuran, mode
rekahan I, rekahan
261
PENDAHULUAN
Rekahan merupakan struktur geologi yang umum ditemukan dalam massa batuan. Rekahan
yang terus mengalami pertumbuhan akan menyebabkan terbaginya struktur masif batuan
menjadi beberapa bagian. Jika massa batuan ditinjau sebagai sebuah struktur, maka
kesetimbangan awal terjadi pada kondisi tidak adanya gangguan berupa gaya luar pada massa
batuan. Namun, pertumbuhan rekahan dapat membuat beberapa bidang permukaan baru pada
massa batuan sehingga akan mengubah kesetimbangan awal yang sudah ada sebelumnya. Salah
satu cara untuk mendapatkan kesetimbangan baru sebagai contohnya adalah fenomena
kelongsoran pada sebuah lereng. Pertumbuhan rekahan dapat disebabkan oleh banyak faktor,
contohnya aktivitas tektonik yang merupakan faktor alami. Selain itu pada pertambangan
khususnya dibagian eksploitasi, banyak kegiatan yang juga dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan rekahan, seperti : pemboran, penggalian, dan peledakan. Karenanya, mekanisme
inisiasi dan pertumbuhan rekahan pada batuan sangat penting untuk dipahami.
Properti material terkait dengan rekahan biasa disebut fracture toughness. Properti tersebut
dapat menjelaskan kapan, dimana, dan mengapa keruntuhan pada material akibat rekahan dapat
terjadi. Properti tersebut merupakan nilai kritis dari faktor intensitas tegangan (K). Faktor
intensitas tegangan merupakan kondisi dari tegangan di sekitar ujung rekahan akibat adanya
gaya yang bekerja. Ketika faktor intensitas tegangan lebih besar dari nilai kritisnya, maka
pertumbuhan rekahan diasumsikan akan terjadi (ISRM, 1988). Terdapat tiga jenis mode dasar
rekahan, yaitu : mode I, mode II, dan mode III. Masing-masing mode rekahan memiliki nilai
fracture toughness tersendiri. Mode rekahan I menjadi fokus pada pengujian fracture toughness
karena sederhana dalam persiapannya dan kondisi pembebanannya relatif lebih sering teradi
dibandingkan dengan dua mode rekahan lainnya.
METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, dilakukan sebuah studi untuk
mengetahui efek ukuran yang terjadi pada pengujian fracture toughness mode rekahan I dengan
menggunakan dua jenis spesimen yaitu : chevron bend (standar ISRM) dan brazilian disc
(bukan standar ISRM). Pengujian dilakukan untuk material uji berupa campuran pasir dan
semen dengan komposisi yang berbeda. Diharapkan material uji ini memiliki kekuatan yang
berbeda untuk masing-masing komposisi.
Pada penelitian ini, dilakukan beberapa pengujian guna mendapatkan data untuk keperluan
analisis, diantaranya: Uji sifat fisik, Uji sifat mekanik (kuat tekan uniaksial, kuat tarik tidak
langsung, triaksial, cepat rambat gelombang ultrasonik), serta Uji fracture toughness
(menggunakan spesimen chevron bend dan brazilian disc)
Dari data yang diperoleh melalui pengujian, selanjutnya akan dibuat analisis yang secara garis
besar dapat dijelaskan sebagai berikut:
Perbandingan antara nilai fracture toughness yang didapatkan dengan tiga diameter yang
berbeda untuk mengetahui efek ukuran yang terjadi selama pengujian.
Perbandingan antara nilai fracture toughness yang didapatkan dengan chevron bend dan
brazilian disc untuk mengetahui efek penggunaan jenis spesimen yang berbeda terhadap
hasil pengujian.
262
MODE REKAHAN
Terdapat tiga jenis mode dasar rekahan yang berbeda berdasarkan tegangan yang bekerja pada
ujung rekahan
Mode I atau mode tarik terjadi apabila tegangan normal berupa tarikan bekerja pada ujung
rekahan. Konfigurasi tegangan pada mode ini adalah
𝛔 ≠ 𝟎; 𝛕𝐢 = 𝛕𝐨 = 𝟎
Mode II atau mode geser terjadi apabila tegangan geser yang searah sumbu bidang rekahan
diaplikasikan. Konfigurasi tegangan pada mode ini adalah
𝛕𝐢 ≠ 𝟎; 𝛔 = 𝛕𝐨 = 𝟎
Mode III atau mode sobek terjadi apabila tegangan geser yang tegak lurus sumbu bidang
rekahan diaplikasikan. Konfigurasi tegangan untuk mode ini adalah
𝛕𝐨 ≠ 𝟎; 𝛔 = 𝛕𝐢 = 𝟎
FRACTURE TOUGHNESS
Fracture toughness merupakan nilai kritis dari faktor intensitas tegangan yang dapat
menyatakan kemampuan material untuk menahan terjadinya inisiasi dan propagasi rekahan.
Untuk setiap mode rekahan yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, terdapat nilai
fracture toughness yang berbeda.
Untuk mendapatkan nilai fracture toughness sebenarnya (KC), sangat penting untuk mengetahui
panjang rekahan dan pembebanan pada kondisi kritis, ac dan Pc. Pada material batuan, Pc dapat
disubstitusi dengan gaya keruntuhan maksimum (Pmax). Hal ini karena gaya keruntuhan
maksimum (Pmax) umumnya berkorespondensi dengan kondisi kritis, dengan kata lain
perbedaan nilai antara Pmax dan Pc biasanya sangat kecil. Karenanya, permasalahan utama
biasanya ditemukan saat menentukan panjang rekahan kritis (ac). Beberapa metode pengujian
sudah dikembangkan dan diantaranya, spesimen dengan rekahan berbentuk v (chevron notched)
dirasa menjadi geometri spesimen terbaik untuk memecahkan masalah penentuan ac.
263
Geometri Simbol Nilai Toleransi
Diameter D D > 10x ukuran butir
Panjang L 4D > 3.5D
Jarak Penyangga S 3.33D ± 0.02D
Sudut Rekahan θ 90o ± 1o
Ujung Rekahan a0 0.15D ± 0.1D
Lebar Rekahan t ≤ 0.03D atau 1mm*
Perhitungan nilai fracture toughness dengan spesimen chevron bend dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan di bawah ini.
𝑭𝒎𝒂𝒙 𝒂 𝒂 𝟐 𝑺
𝑲𝑰𝑪 = 𝒀∗𝒎𝒊𝒏 dan 𝒀∗𝒎𝒊𝒏 = [𝟏. 𝟖𝟑𝟓 + 𝟕. 𝟏𝟓 ( 𝟎 ) + 𝟗. 𝟖𝟓 ( 𝟎 ) ]
𝑫𝟏.𝟓 𝑫 𝑫 𝑫
dengan
KIC : Fracture toughness (MPa√m)
Fmax : Gaya maksimum (N)
D : Diameter (mm)
Y*min : Faktor intensitas tegangan tak berdimensi
ao : Jarak ujung rekahan (mm)
S : Jarak penyangga (mm)
Pembebanan yang digunakan pada spesimen chevron bend adalah pembebanan tiga titik atau
three point bending. Alat untuk uji ini terdiri dari tiga buah roller yang bertindak sebagai
penekan serta penyangga. Alat ini kemudian disambungkan pada mesin tekan agar dapat
digunakan untuk pengujian.
264
Analisis selanjutnya adalah dengan menganggap terdapat rekah internal pada disc sepanjang 2c
yang ikut terkena gaya sehingga akan muncul faktor intensitas tegangan di ujung rekahan
tersebut.
Gambar 4 Pembebanan Diametral Pada Spesimen Disc (Kiri); Model Rekahan Internal yang Mengalami Gaya
Tarik (Kanan)
Turunan dari analisis tersebut adalah persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung nilai
faktor intensitas tegangan, yang dapat digunakan juga untuk menghitung nilai fracture
toughness. Berikut adalah persamaan akhir yang dihasilkan.
𝟐
KIc = 𝑩 𝑷𝒄 ∅(𝒄/𝑹)danB =
𝝅𝟑/𝟐 𝑹𝟏/𝟐 𝒕𝜶
dengan
KIC : Fracture toughness (MPa√m)
B : Konstanta geometri (m-3/2)
PC : Gaya kritis (N)
φ(c/R) : Faktor intensitas tegangan tak berdimensi
R : Radius (mm)
t : Tebal (mm)
α : Setengah sudut kontak (o)
Gambar 5Nilai φ(c/R) Hasil Integrasi Numerik Untuk α yang Bervariasi (Guo dkk., 1992)
265
HASIL UJI SIFAT FISIK DAN MEKANIK CONTOH BATUAN UJI
Setelah dilakukan pengujian di laboratorium juga pengolahan terhadap data yang
didapatkan,berikut ini adalah hasil dan analisis yang dapat disajikan. Untuk setiap pengujian
digunakan 3 contoh batuan uji yaitu : contoh batuan uji A (semen : pasir = 1:3), contoh batuan
uji B (semen : pasir = 1:2), dan contoh batuan uji C (semen : pasir = 1:1)
Tabel 1 Hasil Uji Sifat Fisik
Berdasarkan dua tabel di atas, contoh batuan uji C memiliki kerapatan butir penyusun yang
paling tinggi dilihat dari bobot isi, serta memiliki cacat berupa rongga paling sedikit yang
ditunjukkan dengan nilai porositas dan void ratio yang paling rendah. Hal tersebut juga
menyebabkan contoh batuan uji C memiliki nilai kuat tekan, kuat tarik, modulus elastisitas,
kohesi, serta cepat rambat gelombang ultrasonik yang paling tinggi. Karenanya, dapat diduga
bahwa secara fisik dan mekanik, kualitas contoh batuan uji C relatif lebih baik dibandingkan
dua contoh batuan uji lainnya.
Tabel 3 Hasil Uji Fracture Toughness Spesimen Chevron Bend (Kiri); Spesimen Brazilian Disc (Kanan)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui nilai fracture toughness masing-masing batuan uji
pada setiap diameter yang digunakan. Contoh batuan uji C memiliki nilai fracture toughness
yang paling tinggi yang artinya memiliki resistansi yang paling baik terhadap proses inisiasi
dan propagasi rekahan. Dapat diketahui juga bahwa hasil pengujian untuk setiap diameter
berbeda satu dengan lainnya yang menandakan bahwa terdapat pengaruh dari penggunaan
266
diameter yang berbeda,dengan kecenderungan terjadinya peningkatan nilai fracture toughness
seiring kenaikan ukuran diameter.
Efek Ukuran Contoh Batuan Uji Efek Ukuran Contoh Batuan Uji
1,0 A 1,0 B
0,8 0,8
KIC (MPa m0,5)
0,4 0,4
0,2 0,2
0,0 0,0
55 60 65 70 75 80 85 55 60 65 70 75 80 85
Diameter (mm) Diameter (mm)
Contoh Batuan Uji A (CB) Contoh Batuan Uji B (CB)
Contoh Batuan Uji A (BD) Contoh Batuan Uji B (BD)
0,8
KIC (MPa m0,5)
0,6
0,4
0,2
0,0
55 60 65 70 75 80 85
Diameter (mm)
Contoh Batuan Uji C (CB)
Contoh Batuan Uji C (BD)
Gambar 6 Grafik Perbedaan Nilai Fracture Toughness Contoh Batuan Uji pada Setiap Diameter
Secara keseluruhan, dapat terlihat bahwa terdapat satu ukuran diameter tertentu yang mulai
menghasilkan nilai fracture toughness yang tidak mendapatkan pengaruh perubahan ukuran
diameter. (Yi, X. et al., 1991) menyebutnya sebagai diameter minimum. Pada penelitiannya,
mereka menggunakan gabrro dengan jenis spesimen short rod dan mendapatkan hasil serupa
dengan penelitian ini, diameter minimum pada penelitian tersebut adalah 51 mm. Sedangkan
penelitian mengenai efek ukuran juga dilakukan oleh Iqbal dan Mohanty (2006) menggunakan
granit dengan jenis spesimen chevron bend. Dari tiga diameter yang digunakan (32 mm, 56
mm, dan 76 mm) didapatkan hasil bahwa pada rentang diameter 56 mm – 76 mm didapatkan
nilai fracture toughness yang tidak terlalu terpengaruh oleh diameter. Jika dibandingkan dengan
kedua penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini, kemungkinan diameter minimum yang
dapat digunakan adalah 73 mm, namun perlu adanya analisis lebih lanjut untuk lebih
memastikan dengan menggunakan diameter spesimen yang lebih bervariasi sehingga data yang
didapat akan lebih akurat.
267
Dari gambar 6 dapat diketahui juga bahwa perilaku efek ukuran untuk setiap contoh batuan uji
tidak dapat disamakan, sehingga diperlukan juga analisis yang lebih mendalam mengenai
perbedaan efek ukuran yang terjadi untuk contoh batuan uji yang berbeda.
Analisis terhadap efek ukuran juga memberikan hasil berupa pemilihan nilai fracture toughness
untuk setiap contoh batuan uji baik dengan spesimen chevron bend dan brazilian discpada
penelitian ini berada pada rentang diameter 73 mm – 83 mm karena dianggap sudah tidak
mendapatkan pengaruh ukuran diameter.
Tabel 4Perbandingan Nilai Fracture Toughness Spesimen Chevron Bend dan Brazilian Disc
Pada penelitian ini, secara keseluruhan dapat terlihat bahwa spesimen brazilian disc
memberikan nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan spesimen chevron bend dengan
kisaran 64,8% - 91,7%.
Hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang pasti mengingat terbatasnya jenis
batuan uji yang digunakan pada penelitian ini. Namun, jika melihat pada persamaan yang
digunakan untuk menghitung nilai fracture toughness, perbedaan nilai dapat timbul akibal
berbedanya besar nilai faktor intensitas tak berdimensi untuk kedua spesimen. Selain itu dapat
juga disebabkan oleh berbedanya pendefinisian dan besar gaya kritis untuk spesimen chevron
bend dan brazilian disc. Untuk spesimen chevron bend, yang dimaksud gaya kritis adalah gaya
maksimum yang tercatat pada kurva tegangan regangan. Sedangkan untuk spesimen brazilian
disc, yang dimaksud gaya kritis adalah gaya pada saat proses propagasi rekahan berubah fase
dari stabil menjadi tak stabil yang mana pada kurva tegangan regangan, posisinya sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan gaya maksimum. Berdasarkan, pengujian yang telah dilakukan,
gaya kritis yang mampu ditahan spesimen brazilian disc lebih besar dibandingkan dengan gaya
kritis yang mampu ditahan spesimen chevron bend. Sedangkan faktor terakhir yaitu konstanta
geometri sendiri memiliki besar yang cenderung tidak jauh berbeda untuk kedua spesimen dan
dianggap kurang memberikan pengaruh terhadap hasil pengujian.
268
KESIMPULAN
Setelah dilakukannya pengujian di laboratorium juga berdasarkan analisis dari data yang telah
didapatkan, maka dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Nilai fracture toughness cenderung mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan diameter
spesimen. Untuk kedua spesimen, efek ukuran dirasa kurang memberikan pengaruh pada
rentang diameter 73 mm – 83 mm.
2. Berdasarkan analisis mengenai efek ukuran, digunakan nilai fracture toughness pada selang
diameter 73 mm sampai 83 mm. Nilai untuk masing-masing contoh batuan uji adalah sebagai
berikut :
Contoh batuan uji A : 0,399 – 0,406 MPa√m (CB) dan 0,275 – 0,284 MPa√m (BD)
Contoh batuan uji B : 0,515 – 0,531 MPa√m (CB) dan 0,425 – 0,487 MPa√m (BD)
Contoh batuan uji C : 0,680 – 0,719 MPa√m (CB) dan 0,592 – 0,627 MPa√m (BD)
Nilai dari spesimen brazilian disc lebih rendah dari spesimen chevron bend dengan kisaran
64,8% - 91,7%.
SARAN
Agar penelitian terkait fracture toughness yang mungkin akan dilakukan di kemudian hari dapat
berlangsung dengan lebih baik dan dapat dikembangkan, berikut ini adalah beberapa saran yang
dapat penulis berikan:
1. Untuk meminimalkan terjadinya patah prematur (sesaat setelah pengujian dimulai tanpa ada
gaya yang terrekam), sebaiknya dilakukan modifikasi sambungan alat three point bending
dengan mesin tekan.
2. Untuk mendapatkan perilaku efek ukuran yang lebih akurat, sebaiknya pengujian
selanjutnya menggunakan lebih banyak variasi diameter.
3. Untuk mendapatkan lebih banyak variasi data, sebaiknya pengujian selanjutnya
menggunakan contoh batuan uji asli.
4. Untuk pengujian dengan spesimen brazilian disc, sebaiknya rasio tebal terhadap diameter
dibuat seragam, sehingga konstanta geometri (B) diharapkan hanya berubah terhadap ukuran
diameter.
5. Untuk mendapatkan gambaran mengenai propagasi rekahan dengan lebih baik, sebaiknya
dilakukan pemodelan numerik. Sejauh ini, perangkat lunak yang disarankan adalah
ABAQUS.
DAFTAR PUSTAKA
Backers, T. 2004. Fracture Toughness Determination and Micromechanics of Rock Under
Mode I and Mode II Loading. Potsdam: Mathematisch-Naturwissenschaftlichen Fakultat
der Universitat Potsdam.
Guo, H. 1990. Rock Cutting Studies Using Fracture Mechanics Principles. Australia :
University of Wollongong
Guo, H., Aziz, N. I., Schmidt, L.C. 1992. Rock Fracture Toughness Determination by the
Brazilian Test. Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V.
Iqbal, M. J., Mohanty, B. 2006. Experimental Calibration Of ISRM Suggested Fracture
Toughness Measurement Techniques in Selected Brittle Rocks. Canada: Department of
Civil Engineering and Lassonde Institute.
269
ISRM Commission On Testing Methods. 1988. Suggested Methods for Determining the
Fracture Tougness of Rock. Great Britain: Pergamon Press plc.
Ouchterlony, F. 1989. On the Background to the Formulae and Accuracy of Rock Fracture
Toughness Measurement Using ISRM Standard Core Specimens. Great Britain:
Pergamon Press plc.
Ouchterlony, F. 1990. Fracture Toughness Testing of Rock with Core Based Specimens. Great
Britain: Pergamon Press plc.
Rai, M. A., Kramadibrata, S. K., Wattimena, R. K. 2012. Catatan Kuliah Mekanika Batuan.
Bandung: Penerbit ITB.
Su, C. 1993. Fracture Mechanics and Its Application in Rock Excavation Engineering. The
University of Leeds Department Mining and Mineral Engineering.
Whittaker, B.N., Singh, R.N., Sun, G. 1992. Rock Fracture Mechanics Principles, Design,
and Applications. Amsterdam: Elsevier.
Yi, X., Sun, Z., Ouchterlony, F., Stephansson, O. 1991. Fracture Toughness of Kallax
Gabbro and Specimen Size Effect. Great Britain: Pergamon Press plc.
270
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES PERHAPI IX 2015
Program Studi Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung, Bandung 40132, Indonesia
Sari
Pada umumnya di kegiatan penambangan batuan keras diberai dengan pengeboran dan
peledakan. Pengeboran rotari termasuk salah satu metode pengeboran yang sering digunakan
untuk pengupasan overburden pada kegiatan pertambangan terbuka. Di dalam proses
pengeboran rotari, prediksi terhadap laju penembusan merupakan hal yang sangat penting untuk
penjadwalan produksi dan estimasi biaya pengeboran. Untuk mengetahui laju penembusan pada
tiga jenis batuan uji digunakan alat bor rakitan, dimana uji laju penembusan dilakukan pada
skala laboratorium.
Dari pengujian laju penembusan terhadap batugamping, piroklastik, dan batupasir didapatkan
bahwa semakin tinggi natural density, cepat rambat gelombang ultrasonik, kuat tekan uniaksial,
modulus young, dan kuat tarik tak langsung, semakin rendah laju penembusan. Namun,
semakin tinggi porositas batuan, semakin semakin tinggi laju penembusan. Uji abrasivitas
schimazek menunjukkan bahwa batugamping dan batupasir termasuk batuan agak abrasif,
sementara piroklastik termasuk batuan tidak abrasif. Pendekatan energi spesifik (ES)
menunjukkan bahwa energi spesifik akan bertambah untuk batuan dengan tingkat penetrasi
yang rendah. Hasil pengujian kemudian digunakan untuk analisis dimensi dan didapatkan
persamaan empiris untuk menentukan laju penembusan pada batuan sebagai berikut :
Dimana PR adalah laju penembusan (m/s), σc adalah kuat tekan uniaksial (Pa), F adalah gaya
tekan pada mata bor (N), A adalah luas lubang bor (m2), dan R adalah jumlah putaran (Rev/s).
271
I. Latar Belakang
Pada umumnya di kegiatan penambangan batuan keras diberai dengan pengeboran dan
peledakan. Selain di kuari, pengeboran dan peledakan juga dibutuhkan di sebagian besar
tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Batuan dibor untuk berbagai kegunaan, yaitu
eksplorasi geologi untuk deposit mineral, pengeboran minyak, pembuatan lubang untuk
penempatan bahan peledak, pembuatan lubang untuk baut batuan, pengeboran untuk penelitian,
dan tujuan-tujuan lainnya yang sejenis (Kramadibrata, 2000). Terdapat tiga metode pengeboran
mekanis yang umumnya digunakan untuk pertambangan atau pekerjaan sipil, yaitu metode
pengeboran rotari-perkusi, metode pengeboran rotari, atau metode pengeboran perkusi. Dua
metode pengeboran mekanis yang paling sering digunakan adalah metode pengeboran rotari-
perkusi dan metode pengeboran rotari (Jimeno, 1995).
Pengeboran rotari termasuk salah satu metode pengeboran yang sering digunakan untuk
pengupasan overburden pada kegiatan pertambangan terbuka. Di dalam proses pengeboran
rotari, prediksi terhadap laju penembusan merupakan hal yang sangat penting. Prediksi laju
penembusan sangat penting untuk penjadwalan produksi dan estimasi biaya pengeboran (Saedi
dkk, 2014).
Laju penembusan ditentukan dengan membagi kedalaman lubang yang dibor dengan interval
waktu selama aktivitas penghancuran formasi batuan melalui pemberian gaya tekan (pulldown
force) dan rotasi mata bor secara kontinu (protodyakonov, 1962), dimana laju penembusan
dapat dinyatakan dalam satuan meter/min. Dengan kata lain, laju penembusan dapat disebut
sebagai kemajuan pengeboran per satuan waktu. Laju penembusan dipengaruhi parameter
pengeboran yang dibagi menjadi dua jenis parameter, yaitu parameter tak terkontrol dan
parameter terkontrol. Parameter tak terkontrol mencakup karakteristik batuan dan kondisi
geologi. Parameter terkontrol mencakup kecepatan rotasi matabor, thrust, torsi, dan flushing
(Bilgin dan Kahraman, 2003).
σt Klasifikasi Abrasivitas
jenis batuan ρn n vp σc E υ (brazillian) Nilai FAS Schimazek
(kg/m3) (%) (m/s) (MPa) (MPa) (MPa) N/mm
batugamping 2579,43 8,14 6458,39 35,56 9879,47 0,34 8,56 0,0149 Sedikit abrasif
piroklastik 1749,34 33,97 1620,63 5,19 1266,28 0,38 1,62 0,0002 Tidak abrasif
batupasir 1531,35 56,90 872,84 2,19 434,06 0,33 0,39 0,0150 Sedikit abrasif
272
Gambar 2.1
Alat bor yang digunakan pada percobaan
Dari data yang tertera pada tabel 2.1, dapat dilihat bahwa batugamping dan batupasir adalah
batuan uji yang bersifat sedikit abrasif, sedangkan piroklastik adalah batuan bersifat tidak
abrasif. Sekalipun pada tiap contoh batuan mengandung mineral keras yang ekivalen dengan
kuarsa, sifat abrasivitas batuan yang diuji tidak sepenuhnya bergantung pada keberadaan
mineral keras, tetapi oleh kuat tarik dan porositas. Batugamping memiliki kemamampuan
mengabrasi mata bor karena kuat tarik tak langsung yang tinggi sementara batupasir yang
mengandung mineral keras tidak memberi efek abrasif pada mata bor karena porositasnya yang
tinggi sehingga mudah dihancurkan oleh operasi pengeboran. Batuan piroklastik yang
digunakan bersifat tidak abrasif karena kuat tariknya yang rendah dan porositasnya yang cukup
tinggi.
Tabel 2.2 menunjukkan hasil percobaan pengeboran mencakup rotasi bor (rpm), gaya tekan,
luas area (A), laju penembusan (PR), dan pendekatan energi spesifik berdasarkan kriteria R.
Teale (1965). Dari tabel 2.2, didapatkan bahwa batugamping memiliki nilai laju penembusan
paling rendah, sedangkan batupasir memiliki nilai laju penembusan batuan paling tinggi.
Gambar 2.2 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan natural density, dimana
nilai laju penembusan berbanding terbalik dengan nilai natural density. Hal ini menunjukkan
273
bahwa semakin padat agregat mineral penyusun batuan maka semakin sulit batuan tersebut
untuk dibor.
3,50
Gambar 2.2
Kurva hubungan antara laju penembusan dengan natural density
Gambar 2.3 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan porositas, dimana laju
penembusan berbanding lurus dengan porositas, dimana tingginya porositas menunjukkan
bahwa banyaknya rongga didalam contoh batuan sehingga formasi batuan dapat dengan mudah
dihancurkan oleh aktivitas pengeboran.
3,50
Laju penembusan (mm/s)
3,00
2,50
2,00 batugamping
1,50
tuff
1,00
batupasir
0,50
0,00 y = 0,0031x1,6958
0,000 20,000 40,000 60,000 R² = 0,9986
Porositas (%)
Gambar 2.3
Kurva hubungan antara Laju Penembusan dengan porositas
274
Gambar 2.4 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan cepat rambat gelombang
ultrasonik, dimana nilai laju penembusan berbanding terbalik dengan cepat rambat gelombang
ultrasonik. Hal ini terjadi karena cepat rambat gelombang ultrasonik menunjukkan kekontinuan
contoh batuan yang diuji. batuan yang kontinu (dengan porositas rendah) akan menyebabkan
semakin besar nilai cepat rambat gelombang ultrasonik. Porositas yang rendah akan berbanding
terbalik dengan kepadatan batuan yang diuji sehingga makin rendah pula laju penembusan.
3,50
Laju penembusan (mm/s)
3,00
batugamping
2,50
tuff
2,00
1,50 batupasir
1,00
0,50
0,00 y = 254248x-1,668
R² = 0,9999
0 5000 10000
Cepat Rambat Gelombang Ultrasonik (m/s)
Gambar 2.4
Kurva hubungan antara laju penembusan dengan cepat rambat gelombang ultrasonik
Persamaan hubungan antara laju penembusan dan cepat rambat gelombang ultrasonik adalah :
Gambar 2.5 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan kuat tekan uniaksial,
dimana laju penembusan akan semakin rendah pada batuan dengan kuat tekan uniaksial yang
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar kekuatan suatu batuan ketika
dideformasi, semakin sulit batuan tersebut untuk di bor.
3,50
Laju Penembusan (mm/s)
3,00 batugamping
2,50 tuff
2,00
batupasir
1,50
1,00
0,50
0,00 y = 8,0798x-1,198
0,000 10,00020,00030,00040,000 R² = 0,9999
UCS (MPa)
Gambar 2.5
Kurva hubungan antara laju penembusan dengan kuat tekan uniaksial
Persamaan hubungan antara laju penembusan dan kuat tekan uniaksial adalah :
275
Gambar 2.6 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan modulus Young, dimana
nilai laju penembusan akan semakin rendah pada batuan dengan modulus young yang tinggi.
semakin tinggi modulus Young, semakin sulit batuan di deformasi dengan operasi pengeboran.
3,50
Gambar 2.6
Kurva hubungan laju penembusan dengan modulus Young
Gambar 2.7 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan kuat tarik tak langsung,
dimana semakin tinggi kuat tarik tak langsung, semakin rendah kemampuan rotari bor untuk
membongkar batuan .
4,50
Laju Penembusan (mm/s)
4,00 batugamping
3,50
3,00 tuff
2,50
batupasir
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00 y = 1,4372x-1,121
0,000 5,000 10,000 R² = 0,9498
UTS - Brazilian (MPa)
Gambar 2.7
Kurva Hubungan antara laju penembusan dengan kuat tarik tak langsung
Persamaan hubungan antara laju penembusan dan kuat tarik tak langsung adalah :
Gambar 2.8 menunjukkan hubungan antara laju penembusan dengan energi spesifik
pengeboran, dimana semakin tinggi energi spesifik, semakin rendah efisiensi penggunaan
276
energi pengeboran karena energi pengeboran yang diberikan sama untuk semua batuan
menghasilkan kedalaman yang berbeda yang diakibatkan oleh karakteristik batuan yang di bor.
3,50
3,00
Penetration rate (mm/s) batugamping
2,50
2,00 tuff
1,50 batupasir
1,00
0,50
y = 47,178x-1,003
0,00
R² = 0,9984
0,00 200,00 400,00 600,00
Energi spesifik (MJ/m3)
Gambar 2.8 Kurva hubungan antara laju penembusan dengan energi spesifik
Persamaan hubungan antara laju penembusan dan energi spesifik pengeboran adalah :
Dari pengujian kuat tekan uniaksial didapatkan kurva hubungan antara tegangan dan deformasi
aksial, dimana tegangan dan deformasi aksial merupakan fungsi dari Kerja spesifik batuan.
Kerja spesifik batuan (Wz) ini dapat ditentukan dengan menghitung luas area dibawah kurva
tegangan – regangan aksial (Thuro dan Spaun, 1996) melalui pendekatan Riemann-trapesium
(Purcel dkk, 2007) dan didapatkan hasil sebagaimana tertera pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Perbandingan antara energi spesifik pengeboran dan kerja spesifik batuan
Contoh batuan
ES Wz rasio
(MJ/m3) (MJ/m3) ES : Wz
Batugamping 405,34 8,28 49
piroklastik 43,87 1,43 30
batupasir 14,28 0,66 21
Sekalipun pembebanan pada pengeboran dan pada pengujian kuat tekan untuk mendapatkan
deformasi aksial berbeda, dari data yang tertera pada tabel 2.3 dapat dilihat bahwa energi
spesifik pengeboran lebih tinggi dari kerja spesifik yang diberikan untuk mendeformasi batuan.
Hal ini disebabkan karena adanya operasi rotari sebagai salah satu pemberi energi dalam operasi
pengeboran yang memberi kerja saat pengeboran berlangsung.
Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis dimensi berjumlah delapan buah seperti yang
tertera pada tabel 2.4 berikut.
277
Tabel 2.4 Variabel-variabel analisis dimensi
unit
no. parameter simbol (SI) dimensi
1 laju penembusan PR m/s LT-1
2 kuat tekan uniaksial σc N/m2 ML-1T-2
3 gaya tekan bor F N MLT-2
4 Jumlah rotasi R Rev/s T-1
5 kuat tarik tidak langsung σt N/m2 ML-1T-2
6 Natural density ρ kg/m3 ML-3
2
7 modulus young E N/m ML-1T-2
8 luas lubang bor A m2 L2
Dengan menggunakan teorema Buckingham-pi (Singer dkk, 1998) untuk analisis dimensi
dengan memanfaatkan kuat tekan uniaksial, gaya tekan bor, dan jumlah rotasi sebagai variabel
berulang didapatkan tiga model rumus empiris untuk mencari laju penembusan sebagai berikut.
Dengan memasukkan hasil pengujian kedalam persamaan 8, 9, dan 10, dihasilkan grafik seperti
pada gambar 2.9 berikut.
0,005
0,0045
Laju Penembusan - PR (m/s)
0,004
0,0035
PR Aktual
0,003
0
0 10 20 30 40
Kuat Tekan Uniaksial (MPa)
Gambar 2.8 Perbandingan laju penembusan aktual dengan laju penembusan menggunakan
persamaan 8, 9, dan 10
Berdasarkan gambar 2.8, dapat dilihat bahwa hasil laju penembusan dengan menggunakan
persaman 10 adalah hasil yang paling dekat dengan laju penembusan aktual sehingga dapat
digunakan untuk percobaan ini.
278
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
1. Penggunaan jenis batuan uji yang lebih banyak diperlukan untuk menambah
keakuratan dalam analisis laju penembusan.
2. Penggunaan mata bor yang terbuat dari material yang lebih kuat untuk mencegah
patahnya mata bor ketika pengujian.
3. Variasi tekanan dan rotasi dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan pada
penelitian lebih lanjut.
4. Diperlukan beberapa penyesuaian pada analisis dimensi apabila persamaan laju
penembusan yang didapat akan digunakan untuk kondisi lain melalui pengujian pada
parameter yang diinginkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Teknik Pertambangan ITB,
seluruh dosen dan staf akademik di Program Studi Teknik Pertambangan FTTM-ITB, serta
teknisi dan administrasi laboratorium geomekanika dan peralatan tambang ITB atas
terselesaikannya penulisan makalah ini.
279
DAFTAR PUSTAKA
Alejano, L. R., Perucho, A., Olalla, C., dan Jimenez, R., rock engineering and rock mechanics
: structures in and on rock masses, CRC press/balkema, leiden, 2014.
Bell, F. G. (Ed.), Engineering in Rock Masses, Butterworth – Heinemann Ltd., 1992.
Bilgin, N., Kahraman, S., Drillability prediction in rotary blast hole drilling, International
Mining Congress and Exhibition of Turkey, 2003.
Gokhale, B. V., rotary dilling and blasing in large surface mines, CRC press, 2011.
Jimeno, C. L., Jimeno, E. L., Carcedo, F. J. A., drilling and blasting of rocks, Rotterdam
Brookfield, 1995.
Kramadibrata, Suseno, Teknik Pengeboran dan Penggalian. Buku Ajar. Jurusan Teknik
Pertambangan Institut Teknologi Bandung. Bandung, 2000.
Krynine, D.P., Judd, W.R. Principles of Engineering Geology and Geotechnics, McGraw-Hill,
New York, 1957.
Person, P., Holberg, R., dan Lee, J., rock blasting and explosives engineering, CRC press, 1993.
Protodyakonov, M.M. Mechanical properties and drillability of rocks, Proc 5th Symp on Rock
Mech, Univ. Minnesota, pp. 103–18,1962.
Purcell, E.J., Varberg, Dale, Rigdon, S.E., Calculus 9th edition, Pearson Prentice hall, New
Jersey, 2007.
Rai, M. A., Kramadibrata, Suseno, Wattimena, R. K., Mekanika Batuan. Buku Ajar. Penerbit
ITB, 2010.
Saeidi, O., Torabi, S. R., Atei, M., Rostami, Jamal, A stochastic penetration rate model for
rotary drilling in surface mines, International Journal of Rock Mechanics and Mining Science,
68(1):55-65, 2014.
Sinaga, F. M., Analisis korelasi laju penembusan pemboran rotari terhadap karakteristik
batuan dan parameter operasi pada batupasir dan campuran semen, Tugas Akhir, Teknik
Pertambangan FTTM ITB, Bandung, 2011.
Singer, J., Arbocz, J., dan Weller, T., Buckling experiment : Experimental methods in Buckling
of Thin-walled structures, John Willey & Sons, Inc., New York, 1998.
Teale, R., The concept of specific energy in rock drilling, International Journal of Rock
Mechanics and Mining Science, vol. 2: 57-53, 1965.
Thuro, K., Spaun, G., Introducing ‘destruction work’ as a new properties of thoughness
referring to drillability in conventional drill- and blast tunneling, Prediction and Performance
in Rock Mechanics and Rock Engineering, vol. 2 : 707 – 713, 1996.
Ulusay, R. (Ed.), The ISRM Suggested Method for Rock Characterization, Testing, and
Monitoring : 2007 – 2014, Springer International Publishing Switzerland, 2015.
Yarali, Olgay, Soyer, Eren, The effect of mechanical rock properties and brittleness on
drillability, Academic Journals, 6(5):1077-1088, 2011.
280
PROSIDING TPT XXIV PERHAPI 2015 DAN KONGRES PERHAPI IX
Abstrak
Deep Ore Zone (DOZ) merupakan salah satu tambang bawah tanah yang di operasikan
oleh PT Freeport Indonesia, selain tambang DMLZ, Big Gossan, dan Grasberg Block Caving
(GBC). DOZ telah beroperasi sejak tahun 2000 dengan produksi maksimum saat ini sebesar
60.000 ton per hari dengan aktivitas mucking pada 700 drawpoint dan membentuk cave front
yang panjang (± 600 meter).Dengan aktivitas produksi yang tinggi tersebut memungkinkan
terjadi kerusakan pada massa batuan.
Kerusakan di level ekstraksi merupakan hasil interaksi antara tiga factor utama yakni
strength sebagai fungsimassa batuan (rock mass), stress sebagai fungsi pengaruh
penambangan (mining induce) dan dynamic load sebagai fungsi aktivitas seismic. Kerusakandi
level ekstraksi terjadi hampir diseluruh panel dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda,
ha lini tentunya mengganggu aktivitas development dan mengurangi produktivitas
penambangan akibat adanya kegiatan perbaikan.Berdasarkan kasus ini, pemetaan kerusakan
(Damage Mapping) secara berkala sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi mengenai
jenis kerusakan, lokasi kerusakan dan progress kerusakan.
281
dari eveluasi ini juga dapat digunakan sebagai informasi tambahan untuk mengetahui faktor-
faktor penyebab kerusakan dan sebaranya.
1. PENDAHULUAN
DOZ merupakan bagian komplek tambang bawah tanah yang di operasikan oleh PT
Freeport Indonesia. DOZ berada pada tingkatan ketiga dari cadangan East Ertsberg Skarn
System (EESS) – lihat gambar 1. DOZ adalah salah satau tambang yang menggunakan system
ambrukan (Block/ Panel Caving) dengan metoda advance undercutting. Tambang DOZ terbagi
atas tiga level utama yakni level undercut berada di ketinggian 3146, kemudian 20 meter
dibawahnya adalah level extraction 3126, dan kemudian level haulage pada ketinggian 3079
dimana pada level ini fungsi pengangkutan dan kominusi menggunakan crusher dimulai.
Pada bulan Maret 2015 terdapat 669 drawpoint (termasuk drawpoint aktif, close
temporary, drawpoint dengan kondisi hang up dan pack muck), 64 % dari total drawpoint
tersebut dikategorikan sebagai drawpoint basah, sehingga kegiatan penambangan / mucking di
pisahkan menjadi manual mucking (LHDdioperasikan langsung) dan minegem mucking (LHD
dioperasikan dengan remote system).
Produksi dilakukan di 20 panel dari Panel 09 – Panel 1L dengan panjang panel bervariasi,
dengan panjang rata-rata 120 - 660 m. Target produksi yang mencapai 60.000 ton per hari dan
jadwal kegiatan development yang ketat, mengharuskan semua panel dalam kondisi prima atau
selalu siap untuk mencapai target produksi yang telah ditentukan.
Gambar 1. Lokasi tambang DOZ pada kompleks East Ertsberg Skarn System (ESS)
282
2. KONDISI GEOLOGI DAN GEOTEKNIK
EESS terdiri dari tiga jenis batuan utama; diorite, skarn dan marble (marmer). Pada
bagian (Barat Daya – Timur Laut), diorite Ertsberg terjadi pada sisi dinding bagian bawah dari
endapan, dengan skarn di bagian tengah dan marmer di dinding lapisan atas (hanging wall).
DioriteErtsberg adalah potasium yang berubah di bagian timur laut diorite dan di tempat itu
endoskarn berubah. Pada level DOZ, skarn terbagi ke dalam empat jenis batuan utama, 1)
forsterite – diopsideskarn, 2) forsterite – magnetite skarn, 3) magnetite skarn dan 4) HALO.
Jenis batuan HALO diklasifikasikan sebagai HALO 1, 2 atau 4, dan sangat bergantung pada
jenis batuan utama yang lebih dulu ada (host rock). Berkaitan dengan kondisi batuan, batuan
jenis HALO dan marble memiliki RQD terendah.
Kondisi batuan pada ESS system sangat bervariasi. Kondisi antara zona good ground dan
zona very good ground terdapat zona very poor ground yang dicirikan dengan low strength, low
core recovery dan nilai RQD yang rendah. Nilai dari Uniaxial Compressive Strength (UCS),
Rock Quality Designation (RQD), klasifikasi Rock Mass Rating (RMR), dan persentase dari
setiap jenis batuan dapat dilihat di table.1.
Terdapat beberapa struktur/ fault di DOZ yang sebagian besar trend dari fault tersebut
adalah NE – SW dan relatif kea rah WNW – ESE untuk struktur sekunder. Struktur sebagai
bidang lemah besar kemungkinan memberikan pengaruh terhadap progress kerusakan di sekitar
panel yang berlokasi atau dekat dengan perpotongan/ intersect dengan struktur tersebut.
3. DAMAGE MAPPING
Damage mapping adalah kegiatan pemetaan kerusakaan secara visual dan sistematis di
seluruh area panel aktif DOZ secara berkala perr tiga bulan / kwartalan. Damage mapping
dibagi atas beberapa kelas kerusakan dengan parameter tertentu di setiap kelasnya seperti pada
tabel. 2.
283
Tabel 2. Klasifikasi kerusakan pada sistem damage mapping
Plot kerusakan pada peta akan didasarkan pada judgement nilai salah satu atau lebih
kerusakan tertinggi pada bagian-bagian yang mewakili nilai kerusakan satu drawpoint. Data
keseluruhan hasil pemetaan kemudian akan di hitung secara statistik untuk melihat progress
kerusakan berdasarkan presentase bagian kerusakan dan persentase kelas kerusakan (Gambar
2).
284
Data yang digunakan sebagai sample ditetapkan berdasarkan pada:
Kerusakan dengan perubahan selama rentang empat tahun pengamatan
Kerusakan pada rib DP dan rib IFD
Nilai cumulative displacement pada lokasi kerusakan.
Nilai cumulative di stasiun yang menggunakan threadbar.
Data yang digunakan dalam evaluasi ini tersebar atau bervariasi pada daerah dengan
kondisi geologi dan geoteknik yang berbeda-beda atau dapat juga diasumsikan lokasi
pengambilan sampel adalah acak (gambar 3. lokasi sampel)
Hipotesis nol (H0) : diartikan sebagai tidak adanya perbedaan antara ukuran
populasi dan ukuran sample.
Hipotesis alternatif (H1) : adalah lawan dari hipotesis nol, dimana terdapat
perbedaan antara ukuran populasi dan ukuran sample.
Pada hipotesis ini digunakan pengujian satu sisi karena paramater yang akan diuji adalah
lebih dari (>) dan kurang dari (<) atau besar kemingkinan untuk tidak terdapat persamaan antar
parameter.
285
3. Menentukan nilai uji statistik
Uji statistik ditentukan berdasarkan persamaan berikut:
Untuk sampel besar (> 30 sample):
Pada pengujian ini digunakan 237 sampel yang berasal dari 113 drawpoint.
Tabel 3. Data statistik nilai cumulative displacement pada tiap kelas kerusakan
Nilai mean cumulative displacement hasil hitung (tabel 3) kemudian diuji dengan
parameter yang sudah ada sebelumnya untuk membandingkan apakah rasio nilai cumulative
displacement yang ada masih berlaku atau tidak.
286
Tabel 4. Pengujian rasio nilai cumulative displacement
Batas Kategori
n H0 H1 Pengujian Z/t Zhitung Keputusan
Kerusakan
Slight Damage 40 < 25 > 25 0,05 Z 0,210 2,488 H0 ditolak
Moderate
Damage Batas 53 > 25 < 25 0,05 Z -0,180 2,804 H0 diterima
Bawah
Moderate
Damage Batas 53 < 75 > 75 0,05 Z 0,180 -6,174 H0 diterima
Atas
Heavy Damage
42 > 75 < 75 0,05 Z -0,210 -0,273 H0 ditolak
Batas Bawah
Heavy Damage
42 < 150 > 150 0,05 Z 0,210 -1,886 H0 diterima
Batas Atas
Partial Closure 7 > 150 < 150 0,05 t -2,635 0,614 H0 diterima
Jika melihat hasil uji tabel di atas maka, nilai cumulative displacement untuk slight
damage dan nilai minimal heavy damage ditolak, sehingga perhitungan nilai cumulative
displacement yang baru perlu dihitung untuk kedua uji hipotesis yang ditolak tersebut.
4. Pengambilan keputusan
Perubahan rasio nilai cumulative displacement pada kerusakan kelas slight damage dan nilai
minimum pada kelas heavy damge berdasarkan nilai kritis (z):
287
SAMPEL POPULASI
Gambar 3. Sebaran sampel terhadap populasi pada kelas kerusakan Q-2 Tahun 2015
5. KESIMPULAN
a. Berdasarkan uji hipotesis antara kelas kerusakan dan nilai cumulative displacement
dapat disimpulkan bahwa:
Untuk estimasi nilai cummulative displacementpada kelas kerusakan slight
damagetidak berada pada rentang batasan di bawah 25 mm.
Untuk estimasi nilai cummulative displacement pada kelas kerusakan moderate
damagemasih terjadi pada rentang 25 mm – 75 mm.
Untuk estimasi nilai cummulative displacement pada kelas kerusakan heavy
damagetidak terjadi pada batas >75 mm namun masih berada di bawah 150 mm.
Untuk estimasi nilai cummulative displacementpada kelas kerusakan partial closure
berada pada rentang batasan di atas 150 mm.
b. Pendekatan nilai cumulative displacement tidak sepenuhnya dapat dijadikan parameter
utama dalam penentuan kelas keruaskan, karena data convergence diambil setiap hari,
sedangkan monitoring kerusakan dilakukan per quarter
c. Kategori estimasi nilaicummulative displacement berdasarkan penggunaan nilai kritis
distribusi menjadi:
Slight Damage : d < 30 mm
Moderate Damage : 30 mm < d < 65 mm
Heavy Damage : 65 mm < d < 150 mm
Partial Closure : d > 150 mm
288
TERIMA KASIH
Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada manajemen PT Freeport Indonesia yang
telah memberikan support dan bantuan untuk makalah ini dapat di publish dan kepada
Departement Underground Geotech & Hydrology yang membantu dalam pelaksanaan
pengamatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rubio E, Widijanto E, et al (June 2011), ‘Damage Prediction in the Extraction Level of Block
Caving. Mine – Case study in Deep Ore Zone Mine, PT Freeport Indonesia’, 45th US Rock
Mechanics / Geomechanics Symposium held in San Francisco, CA, June 26–29, 2011.
Nugraha S, Sjadat A, Subur R, Yudanto W, ’Improving damage mapping system for DOZ block
cave mine PT Freeport Indonesia’, PROSIDING TPT PERHAPI XXI 2012.
Damage mapping, Metal forecast for Q-2, internal report, UG Geotechnical DOZ, PT Freeport
Indonesia, 2015.
Ledhyane I.H M.Sc, ’Uji hipotesis’, Statistic, Dept. Fisheries and Marine Resource
Management, Univeritas Brawijaya, 2012.
289
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
A. Latar Belakang
Departemen Hatari, PT Kaltim Prima Coal menjalankan 4 Pit dalam operasionalnya,
Bendili Prima, Inul Kwest, Inul Middle, dan Inul East. Keempat pit ini membentang dari barat
hingga timur area Hatari, dengan Pit Inul East berada di posisi paling timur di area kerja Hatari.
Pit Inul East memiliki karakteristik unik dibandingkan pit lainnya. Dengan kondisi topografi
awal yang berupa cekungan dan lembah, Pit ini memiliki rona awal rawa dengan litologi
didominasi batuan sedimen. Selain itu area boundary pit ini dilewati oleh (creek) anak sungai
pinang sehingga menambah deretan keunikan dari rona dan topografi awal area Pit Inul East.
Area Rawa
Boundary Pit
Pit Inul East memiliki total 13 seam, dengan jarak interburden tiap seamnya bervariasi
dari 2 meter hingga 120 meter. Dengan dominasi material adalah sandstone dan mudstone.
Topografi pit ini menjulang dari ketinggian RL+85 hingga RL-95 dengan luasan Pit ±850 meter
membentang utara-selatan dan ± 1000 meter membentang barat-timur. Seam batu bara di Pit
Inul East memiliki seam dengan kemiringan Batu bara 1 : 2. Dengan curamnya dip batubara
yang dimiliki Inul East, ditambah dengan dominasi material yang berupa sandstone yang
bersifat porous, oleh karena itu Inul East didesign dengan menggunakan konsep floor benching
dengan memiliki 4 basal seam, yakni basal seam B1, B2, DU dan NL.
290
Gambar 2. & 3. Crossection seam Inul East
Tabel 1. Tabel seam di Pit Inul East.
Pit Inul East mulai beroperasi di Mei 2013 dengan fokus operasional di sisi selatan dan
barat. Seiring keberlanjutan operasional Pit Inul East, menyempitnya working space, serta
bertambahnya jumlah alat gali sesuai budget yang telah di plan-kan tahun 2015 area operasional
Inul East mulai bergerak ke dinding side wall utara, serta area high wall utara-timur. Kondisi
soft material, di area yang sebelumnya diidentifikasi sebagai lembah, tempat air dan sedimen
berkumpul , menjadi tantangan sendiri. Terhitung sejak Awal Tahun 2015, hingga saat ini,
Telah terjadi kurang lebih hampir 15 kali longsor minor dan 5 kali longsor major. Bahkan
hingga saat paper ini kami tulis, potensi longsor tetap masih ada dan terus kami control dan
kaji guna menciptakan operasional tambang yang safety, efektif dan efisien
291
B. Kajian Teknis Geologi & Geoteknik
Batuan lunak adalah batuan yang memiliki nilai UCS antara 0.5 hingga 25 MPa
(Johnstone, 1991). Karakteristik kekuatan batuan lunak akan rentan terutama terhadap
peningkatan kadar air sehingga batuan akan mengalami pelapukan dan melemahkan
kekuatannya (Johnstone & Choi, 1986; Johnstone, 1991). Batuan di area Inul East memiliki
nilai UCS antara 1.7 – 5.14 MPa. Dalam hal ini, batuan di area Inul east termasuk dalam batuan
lunak yang didominasi oleh material pasiran.
Dapat dilihat dari Peta Geologi dan cross section diatas, pada section A-B atau section
IE_A1, ketebalan weathered material berkisar antara 20-70 meter. Weathered material paling
dalam terletak di area lubang bor R31968. Dimana pada titik ini, litologi weathered material
diidentifikasi berada di RL +30 hingga RL-40. Identifikasi ini di dukung dengan posisi area bor
full coring yang didominasi core loss di sisi timurnya yakni di lubang F31526. Lapisan
weathered material ini menerus dan mendangkal kearah timur hingga di lubang bor F29678.
Pada lubang bor F29678 ini lapisan weatherd material diidentifikasi memiliki ketebalan hingga
45 meter.
292
bidang permukaan longsor. Jika nilai FK=1, maka lereng dalam kondisi kritis, dan jika FK lebih
dari 1, lereng menjadi stabil/aman. Kestabilan lereng pada area rawa ini merupakan tantangan
yang terbesar, dimana operasional pit dituntut untuk efisiensi tanpa mengesampingkan aspek
safety. Salah satu improvement yang dilakukan Hatari department dan bekerja sama dengan
geology dept. adalah dengan melakukan kajian resiko dan monitoring geotechnical saat
melakukan pengerjaan di area longsoran.
293
Penelitian difokuskan untuk menentukan solusi terhadap masalah yang ada dengan
menggunakan analisa resiko diantaranya :
1. Menganalisa resiko kelongsoran terhadap FK yang dihitung dengan menggunakan metode
kesetimbangan batas dengan menggunakan program slope-w dengan metode pendekatan indeks
reliabilitas terhadap parameter utama kestabilan lereng kohesivitas dan densitas.
2. Menerapkan manajemen risiko untuk meminimalisir risiko pada saat penggalian dengan
supervise dan monitoring geoteknik.
Analisa kestabilan lereng dilakukan pada section 2, dimana hasil back analisys
mempunyai FoS= 0.999. Kemudian dari operational pit melakukan kegiatan dozing (sloping)
yang dilakukan dari atas untuk mengurangi beban longsoran. Hasil analisis konsidi actual saat
ini mempunyai FoS=1.039.
Slope Stability Radar (SSR) merupakan salah satu alat pemantauan Geoteknik yang
tergolong paling modern pada saat ini. Prinsip kerja SSR adalah dengan memancarkan
gelombang (Tx) terhadap dinding dan menangkap kembali sinyal gelombang (Rx) yang
terpantulkan kemudian kembali memancarkan dan menerima kembali sinyal gelombang
sehingga didapatkan dua panjang gelombang yang berbeda. Perbedaan kedua panjang
gelombang inilah yang kemudian terbaca sebagai deformasi dari dinding pemantauan.
294
umum (deformation, amplitude, range, coherence) dan parameter khusus (velocity, inverse
velocity, velocity ratio).
Kegiatan critical monitoring di Inul East merupakan salah satu upaya untuk memenuhi
persyaratan utama dalam kajian resiko penambangan di area Inul East. Hal ini mencakup
kegiatan, penggalian material lunak, pemindahan material OB dan Coal, aktifitas maintenance
hingga aktifitas dewatering yang menggunakan alat berat dan berpotensi menciptakan suatu
kondisi bahaya. Slope Stability Radar merupakan alat pemantauan yang ideal dalam critical
monitoring karena akurasi yang cukup detil dan sifatnya yang real-time monitoring. Teknisnya
pemantauan oleh geotech dilakukan 24/7 dengan 2 shift (siang dan malam). Kisaran jarak dari
SSR ke dinding pemantauan adalah 700 – 2500 meter, dengan ukuran pixel bervariasi yaitu
berkisar antara 49 m2 – 100 m2.
Dalam kasus critical monitoring di area Inul East, tim geotech monitoring PT. KPC
menyusun beberapa konfigurasi alarm yang terdiri dari alarm kuning yang bersifat peringatan
dini bagi Geotech dan alarm merah yang bersifat peringatan terakhir (evakuasi). Parameter-
parameter alarm ini didasarkan pada beberapa kasus longsor yang sudah pernah terjadi
sebelumnya di area Inul East tersebut.
Adapun alarm-alarm tersebut adalah sebagai berikut :
- Alarm Kuning (Waspada) - Alarm Merah (Evakuasi)
KUNING MERAH
295
peledakan, aktifitas maintenance hingga aktifitas dewatering yang menggunakan alat berat yang
berpotensi menciptakan suatu kondisi bahaya.
Pemilihan equipment yang diperbolehkan untuk bekerja di area potensi longsoran ikut
termaktub dalam RA. Equipment yang diperbolehkan bekerja adalah equipment yang memiliki
ukuran tertentu sehingga jika terjadi longsorpun, kondisi operator tetap aman. Operator yang
bekerja di area ini dilakukan briefing terlebih dahulu, sehingga ketika terjadi kondisi longsor
ataupun kondisi darurat, baik dari operator hingga shift-superintendent bisa bertindak sesuai
tanggung jawab dan peran masing masing.
Pengawasan oleh Shift Superintendent dan Supervisor serta alur komunikasinya diatur
secara tegas dan tertulis dalam RA yang disusun dan disepakati bersama. Komunikasi antara
Geotech Officer yang memantau secara realtime dengan supervisor yang melakukan
pengawasan secara melekat dilakukan dengan identifikasi dan pembagian area yang diupdate
secara terus menerus. Sehingga tercipta komunikasi yang jelas dan tepat sasaran.
296
Gambar 11. Map face postion Inul East dengan jalur penanganan lumpur.
Ekseskusi penggalian dinding side wall utara dan dinding highwall utara-timur
dilakukan dengan menggunakan proses cut and fill. Proses penggalian dengan teknik cut and
fill adalah teknik yang umum digunakan ketika bekerja di area soft material. Tahap cut and fill
ini secara umum dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah dengan menggunakan digger
tipe backhoe, dan tahap kedua dilakukan dengan digger tipe shovel. Tujuan utaman dari tahap
pertama adalah melakukan perintisan akses arah area pit limit terlebih dahulu. Dengan tebal
weathered material yang berkisar 20-30 meter, maka akan sangat tidak efetkif jika kita
menggunakan digger tipe backhoe secara berkelanjutan. Oleh karena itu, di tahap dua,
pemilihan digger kami alihkan ke digger tipe shovel, untuk meminimalisir material rehandle,
tentunya dengan pengawasan operasional yang melekat.
Dalam proses sequencing dan planning mingguan, pembuatan area untuk mengarahkan
weathered material yang longsor juga perlu dirancang. Longsor yang terjadi dari area weathered
material berpotensi untuk menutup akses, sump dan area kerja yang akan sangat berpengaruh
pada performa berjalannya pit Inul East. Dapat dilihat pada contoh face position map Inul East
di Week 35 di atas. Material longsor kita arahkan ke arah timur-selatan guna melindungi akses
yang berada di sisi baratnya. Akses utama inul east dilindungi dengan floor batu bara P7
Sehingga kalaupun terjadi longsor maka tidak akan menutup akses dan sump yang ada.
Dengan segenap planning dan pencegahan yang telah dibuat, terkadang longsor yang
bersifat major pun dapat terjadi. Longsor yang bersifat major (besar) ini menutup sump, akses
hingga area kerja yang kerap kali menghentikan operasional di Pit Inul East. Beberapa tahap
yang perlu dilakukan secara segera setelah longsor terjadi adalah pembuatan akses dan sump
pengganti. Akses baru sangat penting agar digger yang ada bisa beroperasional sesegera
mungkin sehingga mengurangi delay standby. Selain itu alat dan manusia yang terjebak di area
sekitar longsoran dapat segera di evakuasi sesegera mungkin.. Tahap Kedua adalah pembuatan
sump pengganti sesegera mungkin. Longsoran yang terjadi akan membuat pit relatif flat
sehingga hujan yang ada akan berpotensi menggenangi area pit dan bisa menyebabkan loading
point yang bebas dari material longsoran ikut terendam.
297
Gambar 12. Map face position Inul East Week 22 dengan sump emergency akibat
sump actual tertutup longsoran.
E. Kajian Operasional
Operasional tambang yang baik tentunya harus senantiasa menjunjung aspek safety atau
keselamatan pekerjanya. Aspek safety memegang peranan penting bagi kelancaran operasional
suatu tambang dan juga kesejahteraan bagi karyawan. Selain itu beberapa aspek lain yang perlu
diperhatikan dalam operasional suatu tambang adalah faktor produktivitas dan operasional yang
efisien. Dimana dengan produktivitas yang baik dan operasional yang efisien suatu tambang
bisa tetap berjalan dengan ekonomis dan menghasilkan profit sesuai yang diharapkan.
Seperti yang telah disampaikan di subbab sebelumnya, proses perintisan awal dan
kegiatan developing ke area side wall utara dan dinding highwall utara-timur diawali dengan
menggunakan backhoe. Penggunaan digger dengan tipe backhoe di tahap pertama ini, memiliki
beberapa keuntungan. Selain fleksibilitas backhoe yang bisa bekerja normal loading ataupun
top loading serta prinsip kerja dari backhoe yang lebih lincah untuk menghindari potensi alat
amblas ketika bekerja di soft material ini sangat membantu dari segi operasional. Ditambah lagi
dengan menggunakan backhoe kesempatan untuk meminimalisir import material dengan
menggunakan teknik insitu cut and fill secara masksimal bisa dilakukan.
Teknik insitu cut and fill kurang lebih hampir sama dengan teknik cut and fill pada
umumnya, hanya saja dengan teknik ini kita mencoba memaksimalkan material insitu sebagai
material fill untuk terus maju ke arah penggalian. Teknik ini membutuhkan dozer yang bekerja
secara terus menerus. Melakukan cut dengan blade di area loading point untuk terus mengisi
area yang digali/diganti materialnya.
Pekerjaan di area dinding penggalian yang mudah longsor ini merupakan salah satu
pekerjaan yang memiliki resiko cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan penunjukan
supervisor lapangan khusus yang bisa melakukan pengawasan secara melekat. Supervisor yang
298
bertugas juga harus senantiasa berkomunikasi dengan geotech monitoring dan dispatch,
sehingga jika ada indikasi pergerakan material, baik yang terpantau oleh radar, ataupun yang
diidentifikasi secara visual oleh supervisor yang bertugas, maka langkah langkah preventif bisa
segera diambil. Selain itu operator digger dan dozer yang bekerja di area ini juga terlebih
dahulu mendapat briefing mengenai kondisi darurat jika terjadi longsor dan juga langkah
langkah penanganannya. Termasuk setiap aktifitas tambahan (survey, drill-blast, equipment
maintenance) yang berada pada radius 40 meter dari dinding penggalian harus dengan
sepengatahuan supervisor yang bertugas.
F. Kesimpulan.
G. Saran
1. Perlu dilakukan kajian ekonomis terhadap pit Inul East akibat penambahan
overburden dari material longsoran.
2. Perlu dilakukan pemantauan dan peninjauan sexcara continue terhadap Risk
Assesment yang telah dibuat untuk terus meminimalisir resiko penambangan yang
belum teridentifikasi.
3. Perlu dilakukan kajian geoteknis, setelah proses pembentukan sloping dengan dozer
selesai dilaksanakan untuk menghindari longsoran lanjutan dan penentuan action
plan operasional berikutnya.
4. Perlu dilakukan analisa kestabilan lereng lebih mendetail dan lebih mendalam pada
area rencana pit yang di dominasi rawa dan lembah untuk menghindari kasus longsor
akibat unidentified soft material.
H. Daftar Pustaka
1. Johnstone, I.W.1991. Geomechanics and the Emergence of Softrock Technology,
Australian Geomechanics.
2. Broadbent, C. D and Zavodni, Z. M. 1982. Influence Of Rock Structure On Stability,
Stability In Surface Mining. Volume 3. Society Of Mining Engineers.
3. Cabrejo, Albert. 2011. SSR Method And Atmospherics : MS.01. Groundprobe
299
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
PT Newmont Nusa Tenggara merupakan tambang emas-tembaga yang terletak dibagian barat-
daya Pulau Sumbawa, memiliki kondisi geologi yangsangat kompleks.Selain itu, intensitas
curah hujan yang cukup tinggi seringkali mempengaruhi proses operasional penambangan,
khususnya aspek-aspek yang terkait dengan gejala ketidakstabilan lereng tambang.Kegiatan
operasional penambangan saat ini telah memasuki tahap Phase-6 penambangan dan selanjutnya
akan memasuki tahap akhir (ultimate pit) dengan diameter bukaan sekitar 2.3 km dan total
kedalaman hampir 1 km.
Pemantauan lereng tambang merupakan salah satu aspek penting untuk memastikan
operasional penambangan berjalan dengan lancar dan aman.Oleh karena itu, kegiatan ini perlu
dilakukan secara menerus dan bersifat real time sehingga dapat membantu dalam evaluasi
stabilitas lereng seiring dengan kegiatan penambangan.Fokus studi ini adalah analisis data yang
diperoleh dari hasil pembacaan alat Robotic Total Station (RTS) terhadap sebaran prisma yang
diinstal di setiap lereng penambangan sesuai dengan pola/spasi yang telah ditentukan.
Akurasi data merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan evaluasi kestabilan
lereng di Tambang Batu Hijau – PT Newmont Nusa Tenggara, sehingga data yang dijadikan
sebagai acuan analisis perlu dipastikan kualitasnya.Kualitas data pemantauan dengan
menggunakan alat sebagaimana disebutkan di atas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah faktor atmospheric. Kondisi tersebut disebabkan karena Tambang Batu
Hijau berada pada iklim tropis dengan jumlah total curah hujan tahunan berada pada kisaran
3000 – 4000 mm/tahun. Curah hujan tinggi umumnya terjadi pada periode November hingga
bulan April di setiap tahunnya sehingga pada rentang waktu tersebut terjadi perubahan kondisi
atmospheric yang berpengaruh terhadap data hasil pemantauan lereng.
Berdasarkan hasil studi ini dapat ditentukan besaran/nilai skala error hasil pembacaan data
pemantauan sebagai dampak atmospheric sehingga data yang diperoleh dari alat pantau dapat
dibedakan antara real movement karena adanya deformasi massa batuan atau error movement
yang dapat diabaikan.
Kata Kunci : Batu Hijau, pemantauan lereng, robotic total station (RTS), atmospheric
300
1. Latar Belakang
Tambang Batu Hijau – PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) pada saat ini sedang memasuki
tahap 6 penambangan (phase 6), dan selanjutnya akan memasuki tahap akhir (ultimate pit).
Geometri bukaan tambang sudah mencapai lebar hampir 2 km dengan ketinggian antara 500 -
800 meter dari total ketinggian 1000 meter yang direncanakan. Desain penambangan yang
diaplikasikan bervariasi tergantung kondisi geoteknis batuan penyusun lereng meliputi kondisi
kekuatan massa natuan (rock mass rating; RMR), struktur geologi, dan aspek hidrogeologinya.
Seluruh data tersebut dipadukan dan kemudian diklasifikasikan menjadi Geotechnical Domain.
Kondisi lereng tersebut akan berdampak pada tingkat kestabilan lereng di setiap bloknya. Oleh
karena itu, kegiatan pemantauan lereng tambang merupakan salah satu kunci untuk menjamin
dan memastikan kegiatan operasional penambangan berjalan dengan lancar dan aman.Kegiatan
pemantauan lereng di Tambang Batu Hijau – PTNNT dilakukan secara menerus dengan
mengkombinasikan antara pengataman langsung secara visual oleh engineer geotechnical yang
bertugas di setiap shift-nya serta aplikasi berbagai alat pemantauan. Secara umum, alat-alat
pemantauan ini dapat diklasifikasi menjadi dua jenis, yaitu alat pantau bersifat manual yang
pembacaannya dilakukan langsung oleh engineer geotechnical dan yang bersifat real time
dimana seluruh data yang dibaca oleh alat ditransfer melalui jaringan.
Adapun fokus studi dalam makalah ini adalah analisis data yang diperoleh dari hasil pembacaan
alat pemantauan yang bersifat real time, yaitu setiap pergerakan yang terekam oleh alat Robotic
Total Station (RTS) terhadap sebaran prisma yang diinstal di setiap lereng penambangan sesuai
dengan pola/spasi yang telah ditentukan.Analisi data pergerakan yang diperoleh akan
memberiakn suatu pola deformasi massa batuan sebelum mengalami kelongsoran. Pola
deformasi ini akan memberikan gambaran yang sangat penting untuk menentukan kapan
terjadinya suatu lereng tambang akan mengalami longsor sehingga dapat digunakan sebagai
salah satu bagian dari sistem peringatan dini.
Kualitas data pemantauan sangat di perlukan untuk memperoleh akurasi hasil analisis deformasi
suatu massa batuan. Salah satu hal yang mempengaruhi akurasi data tersebut adalah kondisi
atmospheric.Kondisi tersebut disebabkan karena Tambang Batu Hijau – PTNNT berada pada
iklin tropis yang memiliki jumlah curah hujan cukup tinggi pada periode tertentu dan jumah
curah hujan yang tergolong rendah di periode lainnya.Oleh karena itu diperlukan nilai skala
error dari pembacaan data alat pantau untuk membedakan antara real movement karena adanya
deformasi batuan atau error movement yang dapat di abaikan sebagai dampak gangguan dari
perubahan atmospheric tersebut.
2. Kondisi Geologi
Batuan penyusun lereng Tambang Batu Hijau – PTNNT dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis,
yaitu Volcanic, Diorite dan Tonalite.Berdasarkan genesanya, batuan tonalite dibedakan
menjadi intermediate dan young tonalite (Gambar 1).
Batuan Volcanic merupakan batuan yang tertua dan mendominasi komposisi batuan di Batu
Hijau secara keseluruhan.Kemudian pada bagian utara-timur, batuan ini diintrusi oleh Quartz
Diorite dan dilanjutkan dengan beberapa seri intrusi Porphyry Tonalyte yang menerobos zona
kontak antara Andesite dan Diorite. Sebagian besar proses mineralisasi berasosiasi dengan
intrusi awal batuan Tonalite (Old-intermediate Tonalyte) yang ditandai oleh adanya urat-urat
kuarsa secara intensif, sedangkan intrusi Tonalite akhir (Young Tonalyte) cenderung tidak
berasosiasi dengan mineralisasi (Clode, dkk., 1999).
301
Gambar 1.Sebaran lithologypenyusun lereng pada Tambang Batu Hijau – PTNNT berdasarkan topo
penambangan 2012.
Struktur patahan (sesar) yang terdapat di wilayah operasi Tambang Batu Hijau – PTNNT
berupa Sesar Bambu Santong yang terletak satu km utara deposit Batu Hijau yang mengarah ke
timur laut - barat daya, dan Sesar Tongoloka dengan arah sebaran relatif barat laut - tenggara
yang memotong dan mengontrol endapan mineral ekonomis di Tambang Batu Hijau. Kedua
sesar ini saling berpotongan di bagian barat laut kira-kira tiga km dari pusat deposit Batu Hijau.
Sementara itu, pada tubuh endapan mineral di Tambang Batu Hijau, terdapat struktur lokal yang
mengontrol kondisi massa batuan berupa sesar-sesar yang berarah relatif barat laut - tenggara
dengan kemiringan (dip) antara 40 - 80 derajat. Sedangkan sesar-sesar yang berarah timur laut
- barat daya hadir dengan jumlah yang relatif sedikit (Gambar 2).
302
Gambar 2. Sebaran dan orientasi struktur patahan di Tambang Batu Hijau – PTNNT
Ditinjau dari aspek-aspek pemicu terjadinya longsoran yang terjadi di Batu Hijau, maka tipe
feldspar destructive merupakan zona alterasi yang paling dominan sebagai salah satu pemicu
longsor.Hal ini ditunjang oleh kehadiran mineral lempung sebagai produk alterasi dengan
komposisi sekitar 30%. Walaupun penyebarannya relative kecil dan cenderung bersifat
setempat, namun kondisi tersebut menjadikan zona alterasi ini menjadi bidang-bidang gelincir
suatu longsoran (Adriansyah, dkk., 2012).
303
Gambar 3. Model pengklasifikasian massa batuan (RMR) dan pembagian zona alterasi di Batu Hijau
berdasarkan topo penambangan akhir 2012.
4. Pembahasan
304
Penempatan RTS sebagai alat pantau dan prisma sebagai target pengukuran diinstal secara
permanent di lokasi yang telah ditentukan oleh engineer geotechnicalpada lereng tambang yang
relatif berlawanan. Kemudian prisma-prisma lain sebagai target titik pantau diinstal sepanjang
dinding tambang yang berhadapan dengan lokasi RTS.
Untuk menghasilkan data yang akurat, alat pantau ini akan menembak posisi backsight terlebih
dahulu untuk mengkalibrasi posisinya dan dilanjutkan dengan pengukuran prisma-prisma yang
lain. Ilustrtasi posisi RTS dan prisma tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4.Ilustrasi posisi RTS monitoring dan prisma di dinding tambang terbuka Batu Hijau.
Tingkat akurasi data hasil pemantauan oleh alat ini akantergantung dari tipe, jenis dan juga
dipengaruhi oleh faktor ekternal seperti cuaca (suhu dan kelembaban). Oleh karena itu, alat
pemantauan ini akan lebih baik jika dilengkapi dengan kalibrasi cuaca.
Adapun spesifikasi alat pemantauan RTS yang digunakan di Tambang Batu Hijau – PTNNT
adalah sebagai berikut:
Jangkauan maksimum 3500 m dengan reflector prisma (signal scan) dan 1000 metode
ATR (automatic target recognition)
Akurasi pengukuran: 0.6 mm.
Lamanya pengukuran: 7 detik.
Jarak minimum antar prisma: 0.3 m (pada jarak 200 m dari RTS).
Temperatur pengoperasian: -20 oC sampai 50 oC.
Kelembaban: 95% tanpa pengembunan.
Berdasarkan spesifikasi tersebut di atas dan mengacu pada kondisi area aktif penambangan di
Batu Hijau yang mempunyai lebar bukaan sekitar 2 - 2.5 km, kisaran suhu 25 - 30°C dan
kelembaban rata-rata pertahun 93.4%, maka alat monitoring ini sangat sesuai untuk memenuhi
kebutuhan kegiatan pemantauan di Tambang Batu Hijau.
305
Kesalahan alamiah dalam pengukuran timbul terutama karena perbedaan temperatur, tekanan,
dan kelembaban udara yang mempengaruhi indeks bias dan merubah cepat rambat gelombang
elektromagnetik. Ketiga variabel ini diukur dan diperhitungkan dalam penentuan jarak
instrumen gelombang mikro, tetapi kelembaban udara dapat diabaikan jika memakai
instrumen elektro-optis (Brinker. R.C., 1984).
Pengukuran jarak dengan alat RTS Leica TM30 terbatas pada lapisan bawah atmosfer yaitu
dekat permukaan bumi. Pengamatan temperatur yang digunakan dalam menentukan besarnya
koreksi atmosfer berkurang dengan bertambahnya ketinggian.
Temperatur akan turun mulai dari permukaan bumi sampai pada ketinggian 10 km. Penurunan
temperatur dengan bertambahnya ketinggian dalam lapisan atmosfer dekat permukaan
disebabkan oleh pancaran panas bumi pada lapisan atmosfer tersebut. Pancaran panas bumi
makin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Pancaran panas bumi diperoleh dari panas
matahari yang menyinari bumi,kemudian panas matahari diserap dan dipancarkan kembali oleh
permukaan bumi ke ruang angkasa (Swandana,1999).
Alat pantau RTS memiliki nilai koreksi jarak untuk mengatasi kondisi atmospheric ini, yaitu
0.6mm + 1ppm untuk maksimal jarak 1000 meter pada kondisi temperatur ideal atau suhu
kamar yaitu 12°C , dan untuk setiap pengukuran dengan jarak lebih dari 1 KM, setiap kenaikan
10°C akan mengalami koreksi refraksi sebesar ± 1 mmsebagaimana disebutkan dalam user
manual-nya. Tetapi melihat kondisi iklim di Tambang Batu Hijau yang termasuk kedalam iklim
tropis yang memiliki kisaran temperatur 20 - 40°C, dan jarak pemantauan prisma mencapai
hingga 2500 meter, maka nilai koreksi keakuratan data akan menyesuaikan dengan kondisi
tersebut.Oleh karena itu nilai koreksi (skala error)yang dapat di aplikasikan untuk kondisi iklim
di tambang Batu Hijau adalah 3.6 mm dengan temperatur tertinggi mencapai 37°C.
Dibawah ini dapat dilihat nilai pengukuran temperatur dan Slope Distance dari 2 prisma yang
berada pada jarak kurang dari 1 KM dan lebih dari 1 KM yang berada pada tambang Batu Hijau.
I II III IV V
70
56.98
60
Temperature (C)
56.96
Slope Distance (m)
50
56.94
40
56.92
30
56.9 20
11/21/2013 12/21/2013 1/21/2014 2/21/2014 3/21/2014 4/21/2014
Date
Temperature NS2013-150
Dari grafik 1 di atas terlihat adanya beberapa perubahan temperatur yang signifikan yang
mempengaruhi hasil pengukuran Slope Distance prisma dengan jarak kurang dari 1 KM. Detail
nilai pengukuran beberapa perubahan temperatur dapat dilihat di Tabel 1.
306
Tabel 1.Data pemantauan prisma NS2013-150 dengan jarak < 1 KM
No. Date/Time Temperature (°C) Slope Distance (mm) Delta Temperature (°C) Delta Slope Distance (mm)
12/14/2013 3:29 24.1 56943.3
I 8.4 0.5
12/20/2013 11:50 32.5 56943.8
1/17/2014 7:20 24.6 56956.6
II 7.9 0.9
2/5/2014 14:17 32.5 56955.7
2/22/2014 20:53 23.7 56949.6
III 10.8 10.2
3/2/2014 16:14 34.5 56939.4
3/13/2014 23:54 22.3 56948.2
IV 15 1.3
4/1/2014 15:50 37.3 56949.5
4/28/2014 18:17 25.1 56957.8
V 12.2 1.7
5/7/2014 14:38 37.3 56959.5
Berdasarkan tabel di atas terdapat perbedaan temperatur dengan nilai 7.9 – 15 °C dengan nilai
rata-rata 10.8 °C dan Slope Distance antara 0.5 – 10.2 mm dengan nilai rata-rata 2.92 mm untuk
prisma dengan jarak kurang dari 1 KM.
Dengan nilai koreksi (skala error) maksimum 3.6 mm yang dapat di aplikasikan di Batu Hijau,
maka dapat dikatakan data dari prisma yang terletak kurang dari 1 KM dengan rata-rata
perubahan nilai 2.92 mm masih didalam ambang batas skala error.Jadi data yang dihasilkan
memiliki akurasi yang tinggi untuk kegiatan pemantauan lereng tambang.
I II III IV V
90
1996.075
80
1996.07
70
Temperature ( C)
Slope Distance (m)
1996.065 60
50
1996.06
40
1996.055
30
1996.05 20
4/21/2014 5/11/2014 5/31/2014 6/20/2014 7/10/2014 7/30/2014 8/19/2014 9/8/2014
Date
Temperature NS2013-147
Dari grafik 2tersebutdimana prisma terletak dengan jarak lebih dari 1 KM, terlihat juga adanya
beberapa perubahan temperatur yang signifikan yang mempengaruhi hasil pengukuran Slope
Distance. Detail nilai pengukuran beberapa perubahan temperatur dapat dilihat di Tabel 2.
307
No. Date/Time Temperature (°C) Slope Distance (mm) Delta Temperature (°C) Delta Slope Distance (mm)
4/28/2014 18:23 25 1996070
I 9.1 9
5/7/2014 12:40 34.1 1996061
6/14/2014 19:04 35.3 1996067
II 10.7 1
6/16/2014 21:10 24.6 1996066
7/12/2014 0:07 24.7 1996063
III 10.6 7
7/16/2014 9:58 35.3 1996070
8/11/2014 0:33 23.5 1996068
IV 8.7 9
8/31/2014 14:49 32.2 1996059
9/12/2014 15:07 33.6 1996057
V 10.2 8
9/15/2014 19:01 23.4 1996065
Dari tabel di atas terdapat perbedaan temperatur dengan nilai 8.7 – 10.7 °C dengan nilai rata-
rata 9.8 °C dan Slope Distance antara 1 –9 mm dengan nilai rata-rata 6.8 mm untuk prisma
dengan jarak lebih dari 1 KM.
Berdasarkan nilai rata-rata perubahan Slope Distance tersebut, terlihat bahwa prisma yang
terletak lebih dari 1 KM memiliki nilai yang lebih tinggi dari skala error yang di aplikasikan di
Batu Hijau, dengan selisih 3.2 mm dari skala error yang ada.Dari data tersebut temperatur
secara umum meningkat pada pukul 10.00 – 17.00 WITA.
4.3 Solusi
Data yang diperoleh dari prisma dengan jarak lebih dari 1 KM memiliki rata-rata nilai deviasi
3.2 mm. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis data pemantauan untuk sebaran prisma dengan
jarak lebih dari 1 KM dari RTS perlu di lakukan re-assessment lanjutan untuk memastikan
apakah deformasi batuan yang terekam oleh RTS adalah real movement atau error movement.
5. Kesimpulan
Kondisi atmospheric (temperature) tidak berpengaruh terhadap data prisma yang
terletak kurang dari 1 KM.
Kondisi atmospheric (temperature) berpengaruh terhadap data pemantauan yang
diperoleh dari prisma yang terpasang dengan lebih dari 1 KM, nilai rata-rata perubahan
slope distance sebesar 6.8 mm. Sedangkan ambang batas nilai koreksi (skala error) yaitu
3.6 mm untuk area tambang Batu Hijau.
Besaran deviasi slope distance yang didapatkan dari rata-rata nilai pengukuran RTS
adalah 3.2 mm
Peningkatan temperatur secara umum terjadi pada pukul 10.00 – 17.00 WITA.
6. Daftar Pustaka
--------,2011, Leica GeoMoS Automatic Monitoring System,Leica Geosystem.
Adriansyah, Y., dan Pujiastuti, S.K., 2012, Impact Alteration Into Pit Wall Stability, Technical
Presentation on Monthly Geotechnical – Asia Pacific Teleconference, Newmont
Corporation, tidak diterbitkan.
Bertaccini, E., et.al., 2011, Atmospheric corrections for topographic monitoring systems in
landslides, FIG Working Week 2011,Marrakech, Morocco.
Brinker, R.C.,1984, Elementary Surveying, Seventh Edition, Harper & Row Publisher Inc.
Clode, C., Proffett, J., Mitchell, P., dan Munajat, I., 1999, Relationship of Intrusion, Wall-Rock
Alteration and Mineralization in the Batu Hijau Copper – Gold Porphyry Deposit
308
Kayesa, G., 2006, Prediction of Slope Failure at Letlhakane Mine With The Geomos Slope
Monitoring System, International Symposium on Stability of Rock Slope in Open Pit
Mining and Civil Engineering, The South African Institute of Mining and Metalurgy,
Johannesburg.
Swandana,I.G.A.G, 1999, Studi Pengaruh Koreksi Atmosfer Terhadap Pengukuran Jarak
Secara Elektronik, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia.
309
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
1. Latar Belakang
Longsor lereng merupakan resiko yang harus diterima ketika melakukan penambangan
batubara. Peningkatan kedalaman dari suatu tambang terbuka semakin meningkatkan
kemungkinan terjadi longsor baik itu di area lowwall maupun high wall dan dapat
menyebabkan terganggunya aktivitas tambang. Longsor pada lowwall umumnya disebabkan
oleh adanya lapisan weak material yang terletak di bawah material yang longsor dan
bertindak sebagai bidang gelincir, pengelolaan air permukaan, lereng yang jenuh dan
penggalian kaki lereng juga berkontribusi besar sebagai penyebab terjadinya longsor. Apabila
perlapisan batuan penyusun lereng lowwall mempunyai ketebalan yang relatif kecil, maka
kemungkinan longsor yang terjadi adalah longsor jenis buckling (Giani, 1992). Sedangkan
bila perlapisan material tersebut mempunyai ketebalan yang relatif besar, maka longsor yang
mungkin terjadi adalah longsor semi busur dengan bidang gelincir di sepanjang bidang
perlapisan batuan kemudian berbelok memotong batuan sampai muka lereng atau melewati
bidang lemah yang lain.
Paper ini akan membahas mengenai perilaku dan karakteristik longsor yang terjadi di lowwall
tambang terbuka batubara ditinjau dari monitoring dengan Slope Stability Radar (SSR). Data
geologi dan parameter geoteknik tidak diketahui dalam penelitian ini. Perilaku lereng yang
dianalisis adalah bagaimana respon lereng ketika akan terjadi longsor sedangkan karakteristik
longsor yang dianalisis adalah deformasi, velocity, inverse velocity dan waktu menuju longsor
(warning time) dengan mekanisme longsor yang berbeda. Paper ini diharapkan dapat menjadi
pertimbangan bagi insinyur geoteknik untuk memahami karakteristik perilaku material yang
akan longsor ketika melakukan monitoring di area lowwall.
2. Lokasi Penelitian
PT Teguh Sinar abadi merupakan bagian dari Bayan Resources Group yang secara
administrasi berlokasi di Kecamatan Muara Pabu, Muara Lawa, Damai dan Melak, Kabupaten
Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur. PT. TSA masuk ke dalam perjanjian Karya
Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi ketiga dengan kualitas batubara
bituminous dan total kalori 5.900 – 6.000 Kcal.
Secara umum daerah penelitian sebagian besar berada pada Formasi Pulaubalang dengan
litologi umum yaitu batupasir kuarsa, batulempung dengan sisipan batugamping dan batubara.
Terdapat 20 lapisan batubara dengan ketebalan bervariasi yaitu dari 0.03 - 4.53 meter dengan
sisipan batulempung dan batulempung karbonan. Batupasir pada daerah penelitian berukuran
310
halus – kasar, dijumpai berselingan dengan batulanau serta sisipan batulempung, batulempung
karbonan dan batulanau. Terdapat 2 jenis batupasir, yaitu batupasir loose dan batupasir
kompak. Batulanau dijumpai dengan sisipan batulempung dan batulempung karbonan.
Sedangkan pada batulempung hanya dijumpai sisipan batulempung karbonan. Berdasarkan
hasil analisa laboratorium, nilai properties batupasir paling tinggi kemudian batulanau dan
batulempung. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan bahwa kejadian longsor yang terjadi
pada umumnya di litologi batulempung dan batupasir loose. Kehadiran sisipan batulempung
karbonan sebagai lapisan lemah menjadi pemicu tersendiri terjadinya longsor planar di area
low wall. Struktur yang berkembang di daerah penelitian didominasi oleh kekar yang terdiri
dari 3 joint set (TSA, 2013).
Lokasi Penelitian
Gambar 1. Lokasi penelitian di PT. Teguh Sinar Abadi, Kabupaten Kutai Barat Kalimantan
Timur
3. Dasar Teori
Deformasi batuan dalam berbagai bentuk memiliki besaran perpindahan yang berbeda yang
dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor. Deformasi bisa sederhana dan mudah ketika itu
terjadi pada diskontinuitas struktural yang sudah ada sebelumnya, atau melalui massa batuan
utuh atau kompleks ketika melibatkan kombinasi dari tipe longsor. Deformasi batuan dari
longsor lereng tambang berbeda dari satu tambang ke yang lain dan kadang-kadang dari
lereng dalam tambang yang sama. Massa batuan yang sama dalam situasi yang berbeda
mungkin menunjukkan reaksi yang berbeda.
Menurut Broadbent dan Zavodni (1982) ada tiga jenis perilaku deformasi utama pada batuan
yaitu perilaku regresif, progresif, dan perilaku transisi. Sedangkan Mercer (2006)
mengklasifikasikan deformasi lereng batuan menjadi dua tahapan utama yaitu sebelum
311
longsor dan setelah longsor. Tahapan setelah longsor dapat berupa pemulihan sebagian atau
pemulihan penuh (stabilisasi). Kramadibrata dkk, (2007) menjelaskan mengenai bagaimana
karakteristik batuan penyusun di tambang batubara di Indonesia yang dikenal sebagai coal
bearing strata, yang dipengaruhi oleh proses tektonik lempeng, yang secara umum tidak
tersementasi dengan baik dan memiliki bobot isi kecil serta porositas tinggi, faktor lain yang
mempengaruhi perubahan karakteristik kekuatan batuan coal bearing strata yang berada di
equator adalah cuaca dan air hujan yang akan sangat berperan saat batubara sudah tersingkap
atau karena penambangan.
Gambar 3. Model deformasi massa batuan berdasarkan waktu dan kejadian setelah longsor
dan perilaku setelah penambangan (Mercer, 2006).
312
4. Perilaku longsor lereng
Total 21 longsor dideteksi pada area low wall selama analisis data radar di PT. Teguh Sinar
Abadi dengan karakteristik masing–masing. Berdasarkan hasil analisis perilaku material
sebelum dan pada saat mengalami longsor, perilaku longsor lereng massa batuan pada low
wall PT.TSA dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap utama, yang terdiri dari tiga tahap
sebelum longsor (Broadbent dan Zavodni, 1982, Mercer, 2006) dan satu tahap setelah longsor
yaitu pemulihan sebagian dan atau pemulihan penuh (Mercer, 2006) yang ditunjukkan pada
Gambar 4 dan 5:
1. Tahap sebelum longsor terdiri dari tahap perilaku perpindahan linear.
2. Tahap perilaku perpindahan progresif dan timbulnya longsor untuk menjadi longsor.
Perilaku sebelum longsor umumnya dipicu oleh geometri lereng yang tinggi (30 m)
dimana rekomendasi normal adalah 15 meter. Kehadiran bidang lemah pada lapisan
batuan memicu terjadinya perilaku progresif. Faktor eksternal yang memicu perubahan
perilaku batuan adalah air, peledakan dan kegiatan penggalian pada kaki lereng yang
berkontribusi menghilangkan gaya penahan dari dinding low wall.
3. Tahap timbulnya longsor, mode perilaku longsor
4. Tahapan setelah longsor tipe dua (Mercer, 2006) dimana lereng mengalami pemulihan
sebagian dan perlambatan bertahap untuk merayap, tipe ini biasanya terjadi bila longsor
terjadi pada perlapisan material yang mempunyai ketebalan yang relatif besar.
5. Tahapan setelah longsor tipe tiga (Mercer, 2006) dimana lereng mengalami pemulihan
penuh, kecepatan material hampir sepenuhnya berhenti, tipe ini biasanya terjadi apabila
longsor terjadi pada perlapisan batuan yang mempunyai ketebalan yang relatif kecil, atau
biasa disebut dengan longsor buckling (Giani, 1992)
Gambar 4. Perilaku lereng massa batuan sebelum dan setelah terjadinya longsor di lowwall
PT. TSA dengan tipe semi busur (kombinasi bidang dan busur) (linear – progresif
– longsor – regresif)
313
Gambar 5. Perilaku lereng massa batuan sebelum dan setelah terjadinya longsor di lowwall
PT. TSA dengan tipe buckling (linear – progresif – longsor – stabil)
Waktu terjadinya longsor (warning time) merupakan periode dimana lereng menunjukkan
perilaku progresif sampai menjadi longsor. Pada tipe semi busur waktu menuju longsor
berkisar antara 4,3 jam sampai 31 jam, sedangkan longsor tipe buckling warning time yang
ditunjukkan adalah 1,3 jam sampai 16,5 jam.
Analisis pada deformasi maksimum saat terjadinya longsor pada low wall menunjukkkan
bahwa longsor pada tipe semi busur menunjukkan perpindahan yang lebih besar dengan
variasi 57 mm sampai 882 mm sedangkan longsor dengan tipe buckling menunjukkan variasi
nilai dari 10 mm – 147 mm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Hal yang sama juga terlihat pada hubungan kecepatan (velocity) maksimum dengan
mekanisme longsor yang berbeda. Tipe longsor semi busur menunjukkan kisaran velocity
yang lebih besar yaitu 20 mm/jam sampai 58 mm/jam sedangkan longsor tipe buckling
memiliki nilai velocity yang lebih kecil yaitu 8 mm/jam sampai 31 mm/jam seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 7.
Nilai inverse velocity sebagai acuan untuk memprediksi terjadinya longsor menunjukkan
bahwa nilai dari kedua mekanisme longsor tidak pernah menyentuh angka 0 pada aksis waktu.
Variasi nilai juga dijumpai dengan mekanisme longsor yang berbeda. Longsor tipe semi busur
menunjukkan variasi nilai inverse velocity dari 0,017 jam/mm sampai 0,05 jam/mm.
Sedangkan longsor tipe buckling menunjukkan nilai yang lebih besar dengan variasi nilai dari
0,032 jam/mm sampai 0,13 jam/mm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Hasil analisis memperlihatkan variasi dari hubungan variabel-variabel tersebut seperti terlihat
pada nilai deformasi, velocity dan inverse velocity. Variasi yang ada dalam mekanisme
314
longsor dan faktor yang mempengaruhi longsor lereng menjadi penyebab utama perbedaan
perilaku dan karakteristik longsor lereng yang terjadi di lowwall.
Gambar 6. Karakteristik nilai deformasi maksimum dan warning time pada longsor di low
wall PT.TSA
Gambar 7. Karakteristik velocity dan warning time pada longsor di low wall PT.TSA
315
Gambar 8. Karakteristik inverse velocity dan warning time pada longsor di low wall PT.TSA
Penelitian ini membuktikan bahwa penentuan ambang batas (threshold) dari suatu longsor
pada lereng tambang menunjukkan variasi dari setiap mekanisme longsor. Variasi yang ada
dalam mekanisme longsor dan faktor yang mempengaruhi longsor lereng menjadi penyebab
utama perbedaan perilaku dan karakteristik longsor lereng yang terjadi di lowwall. Penentuan
ambang batas (threshold) tidak hanya tergantung pada aspek geologi tetapi juga pada personel
geoteknik dan peralatan pemantauan lereng yang digunakan. Setelah mengetahui bahwa
mekanisme longsor dapat bervariasi dalam lereng yang sama, hal itu berarti bahwa tingkat
ambang batas (threshold) deformasi dapat pula bervariasi dalam lereng dan tambang yang
sama seperti yang dikemukakan oleh Varnes (1978) bahwa setiap lereng alamiah memiliki
perbedaan karakteristik geologi yang berbeda dan juga Pavlovic (1998) mengemukakan
bahwa massa batuan yang sama dalam situasi yang berbeda mungkin menunjukkan reaksi
yang berbeda. Tingkat ambang batas (threshold) deformasi dari lereng harus ditentukan oleh
personil geoteknik dari pengalaman, analisis dan desain.
6. Kesimpulan
316
Acknowledgements
Penelitian ini tidak akan dapat terwujud tanpa dukungan dan bantuan dari PT. Teguh Sinar
Abadi (TSA), Rahmad (geotechnical engineer) dan Warren Tamblyn (Manager Geotechnical
Bayan Resources), PT. GroundProbe Indonesia dan Magister Teknik Pertambangan UPN
Veteran Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Broadbent C.D. and Zavodni, Z.M. (1982) : Influence of Rock Structures on Stability, in
Stability in Surface Mining, Society of Mining Engineers, Denver, Co. Vol. 3, Ch. 2.
Kramadibrata, K., Saptono, S., Wicaksana, Y., Prassetyo, S., (2009) : Soft Rock Behaviour
With Particular Reference to Coal Bearing Strata. 2nd International Symposium of
Novel Carbon Resource Science - ITB, 10-11 March 2009
Mercer, K. G. (2006) : Investigation into the Time Dependent Deformation Behaviour and
Failure Mechanisms of Unsupported Rock S lopes Based on the Interpretation of
Observed Deformation Behaviour, Unpublished PhD Thesis, University of the
Witwatersrand, Johannesburg, South Africa.
Sulistianto, B., Sulaiman, S,. Wattimena, R,. Arif, I., Analisis Kemantapan Lereng Lowwall
Tambang Terbuka Batubara Dengan Kemiringan Perlapisan Curam, Program Studi
Teknik Pertambangan, FIKTM, ITB, Bandung, Indonesia
TSA Geotech (2014) : Laporan Geoteknik Pada Area Longsoran Low Walll Blok 6 - 9.
Internal Document, Melak, Kaltim, Indonesia
Varnes, D. J. (1982) : Time-deformation relations in creep to failure of earth materials,
Proceedings of the Seventh Southeast Asian Geotechnical Conference, Hong Kong,
Vol. 2, pp 107-130
317
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Dalam setiap pekerjaan pasti akan ada potensi bahaya, termasuk dalam pekerjaan
penambangan atau penggalian. Salah satu potensi bahayanya adalah longsoran tanah atau
batuan. Untuk dapat meminimalkan akibat yang disebabkan oleh adanya bahaya perlu
dilakukan pengelolaan terhadap bahaya itu sendiri. Pengelolaan yang dimaksud adalah
dengan melakukan identifikasi terhadap bahaya, pemantauan terhadap perkembangan
bahaya, dan sosialisasi terhadap potensi bahaya kepada semua orang yang kemungkinan
dapat terdampak oleh bahaya tersebut. PT. Berau Bara Energi merupakan sebuah tambang
batubara skala menengah yang mempunyai permasalahan ketidakstabilan lereng terutama
pada lereng Low Wall. Ketidakstabilan lereng ini dikarenakan dip/kemiringan perlapisan
yang cukup terjal (40o-60o). Monitoring dilakukan dengan sebuah system sederhana yaitu
dengan program Pengamatan Visual Harian (PVH). Pengelolaan potensi bahaya yang
diterapkan di PT Berau Bara Energi merupakan sebuah system dilakukan secara terstruktur,
terencana dan terorganisasi dengan baik. Diharapkan dengan system ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan pengertian setiap karyawan tetang potensi bahaya yang ada di lingkungan
kerjanya.
318
PENDAHULUAN
319
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi dan pengertian tentang
potensi bahaya ketidakstabilan lereng tambang, pengelolaan, antisipasi dan mitigasi
bahayanya, sehingga diharapkan dapat meminimalkan kerugian yang diakibatkannya.
Penilaian Bahaya
Penilaian bahaya dilakukan berdasarkan dari kemungkinan terjadinya bahaya dan
konsekuensi dari bahaya tersebut (standart AS/NZS 4360 : 2004). Kemungkinan adalah
peluang cidera atau dampak yang mungkin terjadi diakibatkan oleh suatu bahaya. Faktor-
faktor yang menentukan terhadap penilaian :
Jumlah orang yang terlibat dalam sebuah kegiatan atau pekerjaan.
Frequensi dilakukannya pekerjaan yang sama dalam jangka waktu tertentu.
Kemungkinan kejadian atau keadaan bahaya terulang dalam pekerjaan tersebut.
320
Tabel 1a. Penilaian terhadap kemungkinan terjadinya bahaya
Faktor (Menetapkan Kemungkinan) Variable
Jumlah orang
>10 6-10 3-5 2 1
yang terlibat
Frequensi
> 1x/ hari 1x/ hari 1x/ minggu 1x/ bulan 1x/ tahun
pekerjaan
Diperkirakan Diperkirakan
Kemungkinan Diperkirakan Diperkirakan Diperkirakan
hampir hampir
kejadian selalu terjadi sering terjadi jarang terjadi
selalu terjadi selalu terjadi
terulang lagi (>90 %) (10%-25%) (<10%)
(75%-90%) (25%-75%)
KOMBINASI
NILAI KEMUNGKINAN
(F1XF2XF3)
Konsekuensi dari bahaya adalah keparahan (hasil/akibat) dari kejadian yang tidak diinginkan.
Konsekuensi dapat diukur dari :
- Cidera
- Sakit
- Dampak lingkungan
- Kerugian materi
321
Tabel 2. Penilaian terhadap konsekuensi dari bahaya
Kerugian
Konsekuensi Cidera Sakit Lingkungan
Materi
Sakit ringan,
Tidak Kecil/tidak ada Kerugian
Luka ringan contoh: sakit
berarti pengaruh (<$5,000)
kepala, mual
Musibah /
Fatal/cacat Sakit yang fatal Pengaruh ke Kerugian (>
Bencana
tetap atau cacat tetap lingkungan $500,000)
sangat luas
322
Tabel 3. Penilaian tingkat resiko
KONSEKUENSI
KEMUNGKINAN Tidak
Ringan Sedang Berat Bencana
berarti
Hampir pasti H (15) H (10) E (6) E (3) E (1)
Mungkin sekali M (19) H (14) H (9) E (5) E (2)
Mungkin L (22) M (18) H (13) E (8) E (4)
Kemungkinan H
L (24) L (21) M (17) E (7)
kecil (12)
H
Jarang L (25) L (23) M (20) H (11)
(16)
323
Gambar 3. Peta Layout Tambang PT. BBE
324
Gambar 4. Peta Topografi PT. BBE
325
Zona High Wall :
- Longsoran busur
- Longsoran baji
- Longsoran aliran (debris flow)
- Jatuhan batu (rock fall).
Seluruh zona :
- Penggalian over cut
- Sistem dewatering yang kurang baik, sehingga sering ditemukan genangan air pada
bench. Juga tingginya muka air tanah sehingga berpengaruh pada tingginya tingkat
kejenuhan batuan. Pada beberapa tempat dijumpai adanya rembesan/seepage.
- Berkembangnya massa batuan dengan frequensi bidang diskontinyu yang tinggi. Dari
kajian lebih lanjut, bidang diskontinyu yang terbentuk ini dipicu oleh kurang
terkontrolnya sistem peledakan dalam pembongkaran batuan penutup.
326
Gambar 7. Bagan alir system monitoring geoteknik.
327
Dari hasil penilaian bahaya/resiko ini kemudian dituangkan dalam sebuah peta
tingkat bahaya/resiko (hazard/risk map) sehingga dapat mudah dipahami oleh semua team
yang bekerja di tambang.
KESIMPULAN
Perencanaan dimensi lereng tambang harus melalui penyelidikan geoteknik.
Monitoring ketidakstabilan lereng sangat penting, disamping aplikasi terhadap hasil
penyelidikan geoteknik.
Koordinasi internal sangat diperlukan dalam melakukan pengelolaan potensi
ketidakstabilan
Informasi tentang potensi ketidakstabilan lereng tambang harus di sosialisasikan
kepada seluruh karyawan, terutama yang bekerja di areal penambangan,
DAFTAR PUSTAKA
Paidi, 2012, Pengelolaan Manajemen Resiko Bencana Alam di Indonesia, Widya, tahun 29
Nomor 321 Juli-Agustus 2012.
Rachmat, Agus, Manajemen dan Mitigasi Bencana.
Sudradjat, Adjat, 1999, Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Mineral, Penerbit ITB
bandung.
Hardiyatmo, Hary Christady, 2012, Tanah Longsor dan Erosi Kejadian dan Penanganan,
Gadjah Mada University Press.
Suyartono, dkk, 2003, Good Mining Practice, Studi Nusa, Jakarta.
328
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstract
Pit E1G1 merupakan salah satu Pit di area Tambang Sambarata Blok B1 PT Berau Coal yang
ditambang pada tahun 2009 - 2010 dengan kedalaman sampai elevasi -75, karena alasan faktor
teknis dan jarak angkut yang terlalu jauh maka penambangan di area tersebut dihentikan
sementara. Sejak akhir tahun 2010 Pit E1G1 difungsikan sebagai Sediment Pond untuk
menampung air terganggu dari Pit di Blok B1 sebelum dialirkan ke WMP (Water Monitoring
Point).
Pada prosesnya genangan air di di Pit E1G1 mencapai elv +5 atau hampir menggenangi seluruh
tinggi lereng. Secara geoteknik kondisi genangan air tersebut menimbulkan permasalahan lain
jika akan dilakukan penambangan kembali seperti akumulasi endapan lumpur dan penjenuhan
material lereng tambang yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan lereng tambang.
Pada pertengahan tahun 2014 Pit E1G1 ditambang kembali, mengacu kepada kondisi tersebut
maka perlu dilakukan kajian geoeteknik untuk memastikan proses penambangan Pit E1G1
dapat dilakukan dengan lancar dan aman sesuai kaidah Good Mining Practice.
Kata Kunci : Penambangan, material jenuh, endapan lumpur
Abstract
Pit E1G1 is one of Pit Mine areas in Sambarata Block B1 of PT Berau Coal. Pit E1G1 mined
from 2009 to 2010 until RL -75. However, because of technical reason and the haul distance
which was too far, the mining activity in the area was stopped temporarily. Since the end of
2010, Pit E1G1 has functioned as a Sediment Pond to collect water distracted from Pit in Block
B1 before being drained into WMP (Water Monitoring Point).
In the process, water accumulation in Pit E1G1 reached RL +5 or nearly flooded the entire
height of the slope, Geotechnically, that conditions could make other problems when re-mining
the pit, such as the accumulation of sedimentation and the saturation of the mine slope material
which could lead to instability of the mine slope.
In mid-2014, Pit E1G1 started to mine again. Considering the conditions mentioned above, it
is necessary to make a geotechnical analysis and recommendation to ensure the mining process
can be carried out smoothly and safely according to the rules of Good Mining Practice.
Keyword : Mining, saturation material, accumulation of sediment
329
Pendahuluan
PT Berau Coal (PTBC) merupakan salah satu perusahaan tambang batubara terbesar di
Indonesia dengan target produksi mencapai 26.5 juta ton batubara pada tahun 2015 yang
mencakup 3 area penambangan yaitu Lati Mine Operation (LMO), Binungan Mine Operation
(BMO) dan Sambarata Mine Operation (SMO). Mengingat harga indeks batubara yang terus
mengalami penurunan pada tahun 2015, diperlukan pemilihan lokasi penambangan dengan
Stripping Ratio (SR) kecil untuk mereduksi cost sehingga margin dapat terjaga.
Salah satu area yang memiliki nilai SR kecil yaitu ex-Pit E1G1 yang terletak di Site SMO Blok
B1 Birang, secara umum litologi penyusun area ini terdiri atas Sandstone, Mudstone dan
Interelaminated Sandstone with Mudstone serta sisipan Batubara dengan beberapa seam
batubara utama yaitu seam E, Seam F, Seam G dan Seam H yang memiliki ketebalan 3 – 4
meter. Di area permukaan secara setempat-setempat terdapat akumulasi endapan tanah lunak
yang memiliki nilai kuat geser yang kecil, kemampatan yang besar, dan koefesien permeabilitas
yang kecil. Dengan sifat yang dimilikinya dan ketebalan yang bervariasi 3 – 6 meter merupakan
masalah tersendiri dalam proses pembentukan desain tambang.
Sebelumnya pit ini pernah ditambang tahun 2009 sampai tahun 2010 karena alasan jarak angkut
tidak ekonomis maka penambangan di area ini dihentikan sementara, dengan elevasi terdalam
sampai elevasi -75. Selanjutnya sejak akhir tahun 2010 ex-Pit E1G1 di fungsikan sebagai
sediment pond untuk menampung akumulasi air terganggu dari Pit Blok B1 dan OPD-IPD C
sebelum di alirkan ke Water Monitoring Point ( WMP ).
330
Latar Belakang
Pit E1G1 terletak di Site Sambarata Blok B1 Birang dimana sisi utara dan timur berbatasan
dengan Pit C2 sementara sisi barat berbatasan dengan area revegetasi dan sisi selatan berbatasan
dengan area pengembangan Pit C2 yang memiliki jarak cukup dekat dengan sungai Segah yang
merupakan sungai terbesar di Kabupaten Berau.
Rencana penambangan Pit E1G1 dengan kondisi telah terendam selama ± 4 tahun dari akhir
tahun 2010 sampai akhir tahun 2014 menimbulkan permasalahan lain jika akan dilakukan
penambangan kembali seperti penjenuhan material lereng tambang yang berpotensi
menimbulkan ketidakstabilan lereng tambang dimana kontak material batuan/soil dengan air
dapat menyebabkan turunnya nilai kuat geser material, selain itu keterdapatan akumulasi
endapan lumpur yang menjadi permasalahan tersendiri ketika dilakukan loading.
Penanganan yang tidak tepat pada saat penggalian dan pembentukan desain dapat menyebabkan
kegagalan geoteknik seperti heaving, subsidence dan sliding yang beresiko tinggi terhadap
keselamatan kerja dan lingkungan.
Oleh karena itu langkah pencegahan diperlukan untuk mengurangi resiko terhadap keselamatan
kerja dan lingkungan, karena potensi resikonya yang tinggi baik dari aspek keselamatan
maupun aspek geoteknik. Mengacu kepada kondisi tersebut, maka perlu dilakukan kajian
geoteknik untuk memastikan proses penambangan Pit E1G1 dapat dilakukan dengan lancar dan
aman sesuai kaidah Good Mining Practice.
Observasi Dan Tinjauan Lapangan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, secara umum lithologi penyusun utama pit E1G1
merupakan batupasir (Sandstone), dan sebagian kecil merupakan batulempung (mudstone),
batubara dan interlaminated Sandstone with Mudstone. Data litologi diperoleh dari beberapa
331
data pemboran geoteknik pada tahun 2014 dan mapping yang dilakukan pada sebagian area
side wall pit E1G1.
Gambar 3. Peta Sebaran Titik bor Geoteknik di area Pit E1G1 dan Pit C2
Setelah dilakukan pemompaan air pada area Pit E1G1di sisi Low wall teramati kondisi material
yang mengalami penjenuhan dengan ketebalan yang berkisar 0,5 meter sampai dengan 1 meter
sedangkan pada sisi side wall dan high wall ketebalan lapisan batuan yang mengalami
penjenuhan < 1 meter.
Material Jenuh
Material yang (Mudstone)
telah jenuh
Material keras
Pada lereng sisi low wall kondisi lapisan yang telah mengalami penjenuhan memperlihatkan
adanya pergerakan material dinding lereng, hal tersebut terjadi seiring dengan pemompaan air
yang sebelumnya berperan menahan dan atau memperlambat pergerakan material lereng.
332
Rayapan material lereng
Dari pengukuran bathimetri yang dilakukan oleh Survey Departemen PTBC di ketahui volume
lumpur yang terdapat di pit E1G1 sebesar 683.830 m3 dan volume genangan air sebesar
5.400.000 m3. Selain itu keberadaan akumulasi endapan material tanah lunak di area
permukaan secara setempat – setempat dengan ketebalan berkisar 2-8 meter berpotensi terjadi
heaving seperti area ex-water fill dan inlet WMP, sehingga perlu dilakukan treatment dengan
baik.
Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi dimaksudkan untuk mengetahui optimasi waktu pemompaan (dewatering)
genangan air Pit E1-G1. Pit E1G1 menerima debit masuk (inflow) dari pemompaan Pit C2 dan
run off catchment Pit nya sendiri yang merupakan sumber aliran terganggu.
Kondisi morfologi catchment area Pit E1G1 berupa areal tambang, disposal dan perbukitan
dengan vegetasi lebat, luas total catchment area 450 ha yang terdiri dari catchment area original
143 ha dan catchment area terganggu 307 ha. Kemiringan tebing berkisar antara 30-70 derajat
dan koefisien limpasan diasumsi 0,60 – 0,90.
Dalam melakukan analisa hidrologi pendekatan dan data yang digunakan diantaranya :
Desain Pit C2 (Pengembangan Pit E1G1) dan peta topografi situasi.
Curah hujan memamkai pendekatan rerata harian site Sambarata periode 2005- November
2013 ( Intesitas Curan Hujan Rencana = 16,01 mm/jam, Intesitas Curah Hujan rerata 3
mm/jam dan koefisien limpasan = 0,06 (original), 0,90 (Pit).
Elevasi dasar (bottom) genangan Pit E1G1 di elv -29 dan elevasi muka air di 5,4 dengan
volume air 5,44 jt m3.
Volume sedimentasi selama 3 tahun mulai 2010 s/d 2013 sebesar 683.831.
Dari analisa yang dilakukan diperoleh perhitungan simulasi waktu dewatering dibuat dalam 4
alternatif dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Debit outflow pompa 0,33 m3/dt dan waktu operasi waktu pompa selama 18 jam.
2. Debit outflow pompa 0,44 m3/dt dan waktu operasi waktu pompa selama 18 jam.
3. Debit outflow pompa 0,33 m3/dt dan waktu operasi waktu pompa selama 20 jam.
4. Debit outflow pompa 0,44 m3/dt dan waktu operasi waktu pompa selama 20 jam.
333
Sehingga diperoleh estimasi waktu dewatering sbb:
Dari beberapa alternatif tersebut dalam perkembangannya yang diterapkan yaitu alternatif ke 4
dengan pertimbangan waktu rencana penambangan yang dipercepat dan pengadaan unit pompa
yang mengalami keterlambatan.
Analisa Geoteknik
Analisis geoteknik dilakukan untuk mengetahui nilai faktor keamanan desain lereng Pit E1G1
berdasarkan data aktual yang diperoleh dari pemboran geoteknik baik itu untuk area side wall
maupun low wall. Desain dinyatakan aman jika mempunyai FK ≥ 1.3.
Dalam melakukan analisis dilakukan beberapa pendekatan, antara lain :
1. Lokasi analisis adalah Pit E1G1 Sambarata Blok B1.
2. Analisis dilakukan pada section kritis sehingga diasumsikan mewakili desain lereng secara
keseluruhan.
3. Desain yang dianalisis dalam kajian ini diperoleh dari mine plan engineer PTBC.
4. Analisis menggunakan metode circular dan non circular failure software SLIDE.
5. Muka air tanah dimodelkan berada pada kondisi jenuh untuk sisi LW dan berada pada level
tertentu pada sisi side wall, sehingga diketahui pengaruh muka air tanah terhadap kestabilan
lereng yang dapat memenuhi FK yang disyaratkan ( FK ≥ 1,3 ).
6. Seismic load pada kegiatan peledakan diasumsikan sebesar 0.035 g.
7. Parameter material yang digunakan dalam analisis dibagi mejadi dua, yaitu parameter
batuan hasil tes laboratorium dan pendekatan dengan metode general Hoek & Brown dari
diskripsi geoteknik dari pemboran inti. Parameter batuan hasil tes lab diperoleh dari sampel
titik bor DD-GT-07-01, DD-GT-07-02, DD-GT-07-03, DD-GT-07-06, DD-GT-07-07 dan
parameter batuan dengan pendekatan metode general Hoek & brown dari diskipsi inti bor
DDGT-B1-14-05, DDGT-B1-15-07) dikarenakan hasil tes lab yang masih dalam proses
penegerjaan. Untuk parameter tanah lunak rawa diperoleh dari hasil SPT tes yang
dikonversi ke dalam nilai kohesi tanah undrained dari titik bor SDGT-SMO-12-08, SDGT-
12-02).
334
Tabel 2. Parameter yang digunakan dalam analisis lereng pit E1G1
335
Hasil analisis desain awal single slope ~98m, diperoleh FK 1.19 sedangkan FK lereng >1.3
diperoleh dengan merevisi desain dengan membentuk bench di elevasi -20 dengan lebar 10m.
Desai Desain
R
R
R
TAHAPAN PENAMBANGAN
Dalam proses penambangan di area Pit E1G1 dilakukan dalam dua tahapan yaitu :
1. Tahap dewatering dan loading material sedimentasi, pada tahap ini beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya :
Penerapan konsep surface water management secara menyeluruh sesuai rekomendasi
hidrologi.
Secara konsisten dan kontinyu dilakukan pemompaan sesuai kapasitas dan waktu
operasi pompa.
Perlu direncanakan manajemen pengurasan sedimentasi dengan volume estimasi akhir
tahun 2014 sebesar 843.391 m3.
Dilakukan monitoring berkelanjutan baik monitoring visual atau pemasangan
instrument monitoring berupa patok monitoring untuk memantau pergerakan material
ketika loading material lumpur dilakukan dan pengisian checklist pemantauan lereng.
Dihindari adanya pembentukan lereng bedding undercut karena keberadaan material
jenuh dilereng.
336
2. Tahap penambangan, pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya :
Melakukan revisi desain LW seam E pit C2 sisi barat sebagaimana hasil analisis.
Melakukan revisi desain lereng pada SW selatan pit C2 dengan membentuk berm lebar
10m tiap penurunan tiga bench (30m) sebagaimana hasil analisis.
Monitoring pergerakan lereng secara visual maupun menggunakan prisma monitoring
secara kontinyu sesuai prosedur pemantauan lereng PT BC.
Memastikan pengecekan rutin dan tertulis oleh pengawas kontraktor pada awal shift,
setelah blasting dan setelah hujan untuk memastikan kondisi kerja di area di bawah
lereng aman.
Kesimpulan
1. Berdasarkan aspek geoteknik untuk membentuk desain pit yang aman di lakukan dengan
melakukan revisi desain pada area low wall dan side wall.
2. Agar proses penambangan kembali dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, secara
operasional perlu dilakukan perencanaan dewatering dan loading material sedimentasi,
penerapan surface water management, menghindari pembentukan lereng bedding undercut,
monitoring berkelanjutan baik visual maupun dengan instrument monitoring dan
pengawasan yang kontinyu untuk memastikan kondisi area kerja aman sebelum memulai
pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abramson, L.W., Lee, S.T., Sharma, S., Boyce, G.M. (1995). Slope Stability And Stabilization
Methods, John Willey & Sons, inc, New York
Arif, Irwandy, 2008, Falsafah Kemantapan Lereng, internal PT Berau Coal Training
Geotechnical Awareness.
Kramadibrata, Suseno, 2010, Rock Slope & Geotechnical Risk Assessment, Geotechnical
Workshop, Balikpapan.
Simons, Noel., Menzies, Bruce., Mattews, Marcus., 2001, Soil and Rock slope Engineering,
Thomas Telford.
2005, SlideTutorials V5 : 2D limit equilibrium slope stability, Rocscience Inc.
2013, Technical Memorandum Kajian Hidrologi Desain Pit C2 2014/2015, G&H Departemen
PT Berau Coal
2013, Technical Memorandum Kajian Geoteknik Desain Pit C2 2014/2015, G&H
Departemen PT Berau Coal
2014, Laporan Hasil Kunjungan Lapangan, PT Berau Coal, PT LAPI - ITB
337
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstract
The Grasberg Open Pit is one of the largest mine in the world. It is located on the island of New
Guinea in the province of Papua, Eastern of Indonesia. Current production rate is 350,000 tpd
(tones per day) which consists of 200,000 tpd waste rock mined and 150,000 tpd processed ore.
Large volume of overburden stockpile or dumping location is required to ensure feasible
location to place overburden safely and meet with mining standards and regulations.
Wanagon Overburden Stockpile (WOBS) is one of dumping area for supporting Grasberg Mine
which consist of upper, middle and lower area. Combination of conventional shovel-truck also
conveyor-stacker through underground tunnel providing systematic and fast dumping process
into this area. The steep topography, high rainfall event (4000-5000 mm per year), and high
average flow of surface water and groundwater create specific challenges which need to be
mitigated.
High surface water and groundwater flow creates significant risks to this overburden stockpile,
especially geotechnical risk (dumping stability for more than 1000 meters bench height) and
environmental risk in the future (potential acid rock drainage). Wanagon drainage drift is
designed as a dedicated tunnel to capture the water. Some programs include tunnel
development-reinforcement, dewatering target identification, massive dewatering drilling,
drainage pipe construction, and system optimization are our effort to capture as much as
possible water into this tunnel from overburden stockpile.
This paper outlines the importance of Wanagon Drainage Drift for Grasberg Open Pit operation.
The tunnel has been providing significant advantages and critical contribution on geotechnical
stability (during construction and long-term requirement), ensure water quality (if there is any
potential acid rock drainage in the future), additional fresh water supply to mill operation, and
potential utilization of hydropower in the future.
Keywords: Open Pit, Overburden Stockpile, Systematic and Fast Dumping, Steep Topography,
High Rainfall, Surface Water, Ground Water, Geotechnical Risk, Environmental Risk,
Dedicated Tunnel, Dewatering Drilling, Geotechnical Stability, Water Quality, Water Supply,
Hydropower
338
1. Latar Belakang
Tambang terbuka Grasberg PT. Freeport Indonesia memulai kegiatannya sejak tahun 1990 dan
direncanakan akan beroperasi hingga tahun 2017. Pada saat ini produksi tambang berkisar pada
350.000 ton/hari, terdiri dari 150.000 ton bijih dan sisanya merupakan batuan penutup. Jumlah
batuan penutup yang telah dan akan diproduksi hingga akhir tambang terbuka berjumlah sekitar
3,35 milyar ton, ditempatkan pada tiga kawasan timbunan disekitar tambang yaitu Timbunan
Bagian Timur, Timbunan Bagian Barat dan Timbunan Wanagon (Gambar 1).
Timbunan Wanagon terbagi menjadi 3 area, yaituUpper Wanagon, Middle Wanagon, dan
Lower Wanagon, merupakan daerah timbunan yang perlu mendapatkan perhatian khusus,
karena terkait dengan isu kestabilan lereng timbunan. Timbunan Wanagon memiliki jenjang
dengan total beda ketinggian lebih dari 1000m, dan dipengaruhi olehintensitas curah hujan yang
tinggi, dengan kisaran 4.000-5.000 mm/tahun.Sebagian besar air hujan ini akan terinfiltrasi,
karena komposisi material timbunan berukuran relatif kasar.Air hasil infiltrasi secara alamiah
akan bergerakke bawah karena gravitasi dan terakumulasi dibagian dasar timbunan membentuk
zona jenuh air. Lebih lanjut, air pada bagian dasar timbunan akan mengalir mengikuti topografi
dan akan muncul sebagai mata air pada kaki lereng yang relatif rendah.
Ketika ikatan antar butiran material pada kaki lereng tidak mampu menahan debit aliran air
maka akan terjadi erosi pada tempattersebut. Zona jenuh air dibagian dasar timbunan dan erosi
pada kaki lereng berpengaruh pada kestabilan lereng, dan jika tidak terkelola dengan benar akan
mengakibatkan kelongsoran lereng.Dalam hal ini diperlukan upaya penirisan yang efektif untuk
menurunkan muka air pada zona jenuh air dan meminimasi debit aliran air pada kaki lereng
timbunan.
Berdasarkan hasil analisa data terdahulu, diidentifikasi bahwa target program penirisan ini
adalah outlet aliran airdanau Wanagon, yang dikenal dengan Wanagon Lip.Sedangkan metode
penirisan yang dipilihadalah pemboran incline melalui terowongan bawah tanah, karena
dianggap paling efektif.Dengan metode ini, proses penirisan hanya menggunakangaya gravitasi
dan lebih lanjut airnya dialirkan menuju mill untuk dimanfaatkan sebagai air proses pada
pengolahan bijih.
339
2. Kondisi Alam
Cekungan Wanagon merupakan suatu lembah memanjang dimana pada bagian dasarnya
terdapat aliran air pemukaan dengan arah Timur Laut – Barat Daya. Air yang mengalir disini
berasal dari limpasan air larian dan juga beberapa mata air yang muncul disekitar lembah. Pada
bagian tengah lembah ini terdapat sebuah danau yang dikenal dengan nama Danau Wanagon
dan pada bagian outlet-nya terdapat tinggian alamiah (berbentuk seperti tanggul) dikenal
sebagai wanagon lip. Aliran air dari bagian hulu (Upper Wanagon) akan mengisi danau
Wanagon, dan selanjutnya melimpas melalui wanagon lip menuju area yang lebih rendah
(Lower Wanagon).
Salah satu destinasi penimbunan bantuan menutup yang berasal dari tambang terbuka Grasberg
adalah area timbunan Wanagon. Area yang dahulunya merupakan Cekungan Wanagon saat ini
sudah terisi oleh material timbunan,terbagi menjadi 3 area yaituUpper Wanagon, Middle
Wanagon, dan Lower Wanagon. Untuk area Upper Wanagondan Middle Wanagon penimbunan
batuan penutup menggunakan metode direct truck dumping, sedangkan untuk area Lower
Wanagon menggunakan metode kombinasi truck dumping-crusher-conveyor belt-stacker.
Material yang dijatuhkan dari bibir lereng akan mengalami proses segregasi secara alamiah,
dimana material yang relatif kasar akan terakumulasi pada kaki lereng/lembah.Akumulasi
material kasar yang terbentuk disepanjang lembah diharapkan menjadi zona aliran air bawah
tanah (rock drain)ketika area ini tertutup oleh material timbunan. Permukaan timbunan batuan
penutup dibuat berjenjang searah panjang lembah dengan desain lereng akhir 2H:1V.Elevasi
permukaan timbunan berkisar dari elevasi tertinggi 4.200 mdpl (Upper Wanagon) hingga
terendah 3.200 mdpl (Lower Wanagon).
Air hujan yang jatuh di area timbunan memiliki kecenderungan untuk terinfiltrasi karena ukuran
butir material timbunan yang relatif kasar. Melalui pemodelan, diestimasi bahwa besarnya
aliran air bawah timbunan adalah 14.250gpm(gallon per minute), dimana 12.130gpm berasal
dari infiltrasi curah hujan dan 2.120gpm berasal dari resapan/mata air yang berada disekitar
timbunan. Air hasil infiltrasi akan bergerak secara alamiah ke bawah karena gravitasi dan
terakumulasi dibagian dasar timbunan membentuk zona jenuh air. Lebih lanjut, air pada bagian
dasar timbunan akan mengalir mengikuti topografi dan akan muncul sebagai mata air pada kaki
lereng yang relatif rendah.Keberadaan rock drain, hasil segregasi material berukuran kasar pada
bagian dasar timbunan akan membentuk zona dengan permeabilitas tinggi.Seluruh air yang
meresap kedalam timbunan diharapkan akan terakumulasi dan mengalir dengan baik pada zona
ini.
340
Gambar 2. Timbunan Wanagon
3. Permasalahan
Salah satu kriteria desain timbunan Wanagon yang terkait dengan kestabilan lereng adalah
bahwa zona jenuh air di dasar timbunan (rock drain) tidak boleh melebihi 30m, karena tekanan
pori yang dihasilkannya akan memberikan beban yang cukup besar pada kaki timbunan dan
dapat mengakibatkan terjadinya longsoran. Zona jenuh pada dasar timbunan akan semakin
tinggi levelnya apabila terjadi penyumbatan pada rongga-rongga rock drain. Hal ini mungkin
terjadi, karena selain air, material halus juga akan terbawa aliran air di bawah timbunan dan
dapat terakumulasi padarongga-rongga rock drain. Selain itu, material hasil pelarutan batu
kapur, yang merupakan batuan utama pengisi dasar lembah, juga dapat menyumbat rock drain.
Hal lain yang dapat mengganggu kestabilan lereng adalah erosi pada kaki timbunan. Material
kasar yang ditimbun di Lower Wanagon memiliki ukuran sekitar 20cm (sesuai dengan bukaan
maksimal crusher), dan hasil pengamatan mengindikasikan bahwa material ukuran ini ternyata
tidak mampu menahan aliran air bawah timbunan, terutama pada saat debit aliran sedang tinggi.
Untuk mencegah terganggunya kestabilan lereng dan antisipasi terjadinya longsoran karena
aliran air bawah timbunan,diperlukan upaya penirisan yang efektif untuk mengontrol muka air
pada zona jenuh air dan meminimasi debit aliran air pada kaki lereng timbunan Lower
Wanagon.
4. Konsep Penirisan
Dengan pertimbangan beberapa faktor terkait seperti, bentang alam, geometri timbunan, aliran
air bawah timbunan, ketersediaan teknologi, serta manfaat jangka panjang dari kegiatan
penirisan ini, maka disusun suatu konsep penirisan sebagai berikut :
Wanagon rock drain merupakan target penirisan, terutama area disekitar Wanagon Lip,
karena sebagian besar aliran air bawah timbunan Upper dan Middle Wanagonakanmelalui
area ini, sehingga besar kemungkinan akan ditemukan air disini. Dengan memotong aliran
341
air di Wanagon Lip, berarti akan mengurangi aliran air ke area Lower Wanagon, sehingga
akan memperkecil kemungkinan longsoran kaki lereng.
Untuk mendekati zona target dipilih akses melalui terowongan bawah tanah. Akses seperti
ini dianggap paling efektif untuk diterapkan, karena posisi zona target yang berada ratusan
meter dibawah permukaan tanah setempat, dapat bertahan secara jangka panjang (tidak
bergantung pada operasional pit), dan didukung oleh ketersedian teknologi tambang bawah
tanah yang telah ada.
Metode penirisan menggunakan pemboran inclinedipilih, karena secara luas sudah
diterapkan untuk penirisan tambang terbuka dan tambang bawah tanah yang ada di PT.
Freeport Indonesia, serta terbukti dapat mengontrol level air disekitar tambang dengan
mengeluarkan air dalam jumlah yang besar secara kontinyu. Disamping itu, metode ini juga
sangat hemat biaya karena tidak membutuhkan biaya operasional, air dapat mengalir secara
gravitasi tanpa tambahan energi lain.
Selain manfaat utama program penirisan ini adalah untuk mengontrol muka air pada zona
jenuh air dan meminimasi debit aliran air pada kaki lereng timbunan, aliran air hasil
penirisan juga akan digunakan sebagai tambahan air proses untuk memenuhi kebutuhan
pengolahan bijih di Mill.
342
5. Pelaksanaan Program Penirisan
Pembuatan terowongan bawah tanah (dikenal dengan Terowongan Penirisan Wanagon atau
Wanagon Drainage Drift (WDD)) adalah pekerjaan pertama yang dilakukan untuk
menyediakan akses mendekati zona target penirisan. Terowongan WDD mulai dibuat pada
tahun 2001 hingga mencapai panjang sekitar 350 meter dan kemudian dihentikan
pembuatannya. Terowongan dilanjutkan kembali pembangunannya pada tahun 2009 dan
selesai tahun 2012, dengan panjang total 1969m. Portal berada pada elevasi 3.580mdpl diarea
HEAT Road km. 5.5 dan ujungnya berada dibawah area Timbunan Lower Wanagon dengan
elevasi 3.740mdpl. Secara umum, terowongan ini memiliki lebar 4,7-6,0m dan tinggi 5,0-6,5m,
dengan kemiringan 2-13%.
Lubang-lubang bor penirisan disekitar ujung WDD, dibuat menggunakan mesin bor jenis tekan
putar, dengan diameter lubang sekitar 10cm. Kedalaman pemboran bervariasi dari 32m hingga
403m, dan memiliki kemiringan ke arah atas (incline) dengan sudut berkisar dari +3o hingga
+71o.
343
Gambar 5. Lubang bor penirisan WDDDW3-25 mengalirkan air ~500gpm
Program pemboran penirisan Timbunan Wanagon dimulai pada bulan Mei 2012 dengan target
utama adalah area disekitar Wanagon Lip. Kegiatan pemboran dihentikan pada bulan
September 2014, karena jumlahnya sudah dianggap cukup (sesuai hasil evaluasi) untuk
memenuhi kebutuhan penirisan. Total lubang bor penirisan yang telah dibuat berjumlah 81
lubang, menghasilkan air dengan debit bervariasi 30-500gpm. Sebagian besar dari lubang-
lubang bor penirisan tersebut masih mengalirkan air hingga saat ini, dan debitnya dipengaruhi
oleh curah hujan.
5.3. Pemipaan
Seluruh air yang berasal dari lubang bor penirisan dikumpulkan di DAM01 dan selanjutnya
dialirkan keluar WDD menggunakan pipa HDPE 24”. Pekerjaan pemipaan terdiri dari 2
tahapan, tahap 1 (DAM01-WDD Portal) sepanjang 1.600m dimulai bulan Juni 2011 dan selesai
bulan Oktober 2012, tahap 2 (WDD Portal-Amole X/C#4) sepanjang 3.000m dimulai bulan
Februari 2012 dan selesai bulan Januari 2014. Pipa HDPE 24” memiliki kapasitas desain hingga
15.000gpm, dan secara aktual telah teruji dilalui air dengan debit maksimal sebesar 10.200gpm,
yang terjadi pada bulan Januari 2015.
Program monitoring dirancang sebagai perangkat kontrol keberhasilan program penirisan yang
telah dilaksanakan, dan lebih jauh dapat dijadikan acuan untuk menyempurnakan program
penirisan secara keseluruhan. Adapun beberapa parameter yang dimonitor terkait dengan
program penirisan ini meliputi curah hujan, ketinggian muka air di dalam timbunan, dan debit
penirisan.
Pemantauan data curah hujan menggunakan data yang berasal dari stasiun pemantau curah
hujanKoteka Besar (Upper Wanagon) dan TPLW (Lower Wanagon). Kedua stasiun ini
344
menggunakan penakar hujan otomatis dengan interval waktu pencatatan 15 menit. Periode
pemantauan yang digunakan dimulai dari tahun 2012, sesuai dengan dimulainya kegiatan
pemboran penirisan pada bulan Mei 2012. Hasil pemantauan menunjukan bahwa rerata curah
hujan harian stasiun TPLW adalah 14mm/hari dan stasiun Koteka adalah 11mm/hari.Curah
hujan maksimum tercatat pada bulan Februari 2015, 113mm/hari untuk stasiun TPLW dan 98
mm/hari untuk stasiun Koteka.Sedangkan hujan minimum terjadi pada bulan Juli dan Agustus
2015, yang terkait dengan fenomena El Niño.
Pemantauan total debit penirisan dilakukan secara berkala diarea sekitar WDD Portal, dimana
air yang berasal dari lubang bor penirisan diukur di pipa HDPE 24” menggunakan ultrasonic
flow meter, dan rembesan air disepanjang terowongan diukur pada saluran drainase
menggunakan current meter. Untuk mengontrol data pengukuran debit, dilakukan juga
pencatatan muka air secara kontinyu di DAM01 menggunakan water level logger.
Pengukuran muka air di dalam timbunan dilakukan melalui 12 lubang bor penirisan yang telah
dikonversi menjadi lubang-lubang pemantauan muka air tanah. Dibagian ujung lubang-lubang
(titik pantau) tersebut dipasang Vibrating Wire Piezometer (VWP) sensor, untuk mengukur
tekanan hidrostatis diatas titik pantau.
Analisis data tahun 2015 menunjukan bahwa korelasi antara curah hujan, tinggi muka air, dan
debit penirisan masih konsisten. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem penirisan yang ada
saat ini kondisinya masih baik. Cadangan air yang ada di bawah timbunan Wanagon jumlahnya
kian berkurang dan penurunan muka air hingga bulan September 2015 tercatat setinggi
6m.Posisi muka air saat ini berada pada elevasi 3.771mdpl atau 6m di atas elevasi Wanagon
Lip (3.765mdpl). Gambaran tersebut merupakan indikasi keberhasilan program penirisan WDD
(ketinggian muka air dari Wanagon Lip < 30m) dan sistem yang ada masih bekerja secara
optimal.Pengamatan secara visual di area Lower Wanagon juga mengindikasikan kenampakan
yang konsisten, dimana aliran air yang muncul di kaki lereng Lower Wanagon kian berkurang,
dan tingkat erosi akibat aliran bawah timbunan juga semakin kecil.
345
5.5. Pemodelan Air Bawah Timbunan
Saat ini model 3D (finite element) aliran air bawah timbunan sedang dibangun. Tujuan
pembuatan model ini adalah untuk dapat memberikan informasi tentang kondisi aliran air
bawah timbunan secara lebih luas, termasuk prediksinya sebelum dan setelah ada program
penirisan. Data pengukuran aktual, yang merupakan hasil program monitoring,digunakan
sebagai input dan kalibrasi model. Adapun hasil sementara dari pemodelan ini adalah sebagai
berikut :
Dalam kondisi setimbang, diprediksi jumlah aliran air bawah timbunan adalah 14.250gpm,
dimana 12.130gpm berasal dari infiltrasi curah hujan dan 2.120gpm berasal dari
resapan/mata air yang berada disekitar timbunan.
Aliran air bawah timbunan terbagi menjadi aliran air melalui rock drain, bermuara pada
ujung kaki timbunan Lower Wanagon, dan aliran air yang meresap ke batuan dasar (batu
kapur) di sepanjang cekungan Wanagon.
Sekitar 6.500gpm aliran air bawah timbunan berhasil dialirkan melalui WDD, dimana
5.400gpm mengalir melalui lubang-lubang bor penirisan, dan sisanya 1.100gpm merupakan
rembesan air disepanjang WDD.
Air hasil penirisan telah diuji dan memenuhi syarat untuk digunakan secara langsung sebagai
air proses pengolahan bijih. Setelah melalui pemipaan sejauh 4.6km, air hasil penirisan WDD
akan bergabung dengan aliran air dari sumber lain, dan selanjutnya diarahkan menuju Mill
untuk dimanfaatkan sebagai air proses. Pada saat musim kering yang disebabkan oleh El Nino
(Juli-Agustus 2015), WDD dapat mengalirkan air sebesar 2.000gpm untuk Mill.
346
6. Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
Terowongan WDD (Wanagon Drainage Drift) dibuat untuk meningkatkan kestabilan lereng
timbunan pada saat konstruksi dan juga di masa yang akan datang, sebagai antisipasi
kemungkinan terjadinya air asam tambang dari daerah timbunan di kemudian hari, menjadi
pemasok kebutuhan air bagi pabrik pengolahan (mill and concentrating) dan kemungkinan
pemanfaatan sebagai hydropower di masa yang akan datang.
81 lubang bor penirisan telah dibuat melalui WDD untuk meniriskan aliran air di bawah
timbunan Wanagon.
Korelasi yang konsisten ditunjukan oleh Curah Hujan – Muka Air – Debit Penirisan,
membuktikan bahwa sistem penirisan yang ada dalam kondisi baik.
Debit penirisan dari WDD dipengaruhi oleh kondisi storageatau cadangan air dibawah
timbunan Wanagon.
Hasil pemodelan mengindikasikan bawah sekitar 45% (6.500gpm) air yang mengalir
dibawah timbunan dapat ditiriskan melalui sistem penirisan yang ada WDD saat ini.
Penurunan muka air diarea Wanagon Lip, periode Januari-September 2015 tercatat setinggi
6m.Posisi muka air saat ini berada pada elevasi 3.771mdpl atau 6m di atas elevasi Wanagon
Lip (3.765mdpl). Gambaran tersebut merupakan indikasi keberhasilan program penirisan
WDD (ketinggian muka air dari Wangon Lip < 30m).
Air hasil penirisan memenuhi syarat untuk digunakan secara langsung sebagai air proses
pengolahan bijih, dan saat ini sudah dimanfaatkan seluruhnya oleh Mill.
6.2. Saran
Kegiatan monitoring dan perawatan harus senantiasa dilakukan di WDD, untuk memastikan
bahwa sistem penirisan dan infrastruktur penunjangnya berada dalam kondisi baik.
Perlu penambahan lubang bor pemantau muka air bawah timbunan Lower Wanagon, untuk
memastikan bahwa ketinggian muka air dikaki timbunan terbawah memenuhi kriteria
kestabilan lereng.
Perlu penyempurnaan model aliran air bawah timbunan,sehingga dapat mereplikasi kondisi
debit rendah, saat musim kemarau atau ketika pasokan hujan kecil.
7. Pustaka
347
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Masalah Hidrogeologi Tambang pada urat emas (vein) yang terhubung secara hidrolik dengan
air permukaan (contoh: sungai dan danau) tidak ekonomis bila hanya ditangani dengan
mengandalkan pada pemompaan saja sebagai intinya, karena air tanah yang masuk kedalam
permuka kerja tambang bawah tanah akan sangat besar. Penanganan masalah ini sebaiknya
diintegrasikan dalam perencanaan tambang yang intinya adalah mengoptimasikan perolehan
manfaat atas bahan tambang terhadap biaya penambangan dengan kendala hidrogeologi dan
geoteknik yang biasanya menyertainya. Umumnya penambangan bawah tanah untuk uratumas
direncanakan berdasar prinsip over hand mulai dari posisi terbawah dariurat yang akan
ditambang dengan kemajuan keatas. Akses pertama kali kepada vein dapat dilakukan dengan
vertical shaft, decline atau ramp down. Akses pertama ini akan mengalami beban akibat air
tanah masuk yang sangat besar, karena kondisi air tanah masih dalam kesetimbangan dan belum
mengalami drainase, akibatnya dibutuhkan usaha (dana dan tenaga) yang besar pada saat
tersebut. Dalam makalah ini akan diberikan konseptualisasi kerangka kerja penanganan
masalah ini yang intinya adalah pemodelan konseptual tentang optimasi dengan fungsi tujuan
perolehan manfaat atas bahan galian, dalam hal ini bijih emas terhadap kendala utama
hidrogeologi dengan veriabel keputusan berupa kedalaman akses pertama dari permukaan
tanah.
Kata kunci: hidrogeologi tambang, vein, tambang bawah tanah, prinsip overhand, koneksi
hidrolik air
Permukaan dan air tanah lewat vein, drainase tambang, optimisasi dalam
pertambangan
Abstract
348
by means of vertical shaft, decline or ramp down. It will possibly be suffer from high GW impact as its
inflow will be very significant since the GW is still at the equilibrium condition, while there is still no
mining drainage. Accordingly, it needs big effort to overcome. The paper will be devoted to
conceptualize a frame work for the mining hydrogeological problems. It focuses on the conceptual
model about operation research or optimization in mining with the objective function maximizing the
benefit under the primarily hydrogeological condition, in which the depth of designed first access to
underground mining front is set as the primary decision variable.
Even though the actual problem may not often exist in the field, but there are few gold mining
activities with vein-typed deposit intersecting SW body such as river, creek, flood plain, river
bank, river alluvial plain, lake etc. In most general cases, the vein-typed deposit can be
considered to be a permeable zone acting as a GW-bearing media. If it is excavated then the
excavation front will be suffered from significant impact of GW inflow. The underground
mining of the vein-typed deposit was usually carried out with regard to the optimal operation
cost and rocks stability by means of overhand principle starting from the lowest planned
position and progressing up. Accordingly, the first access point toward the deposit needs to be
developed preceding the excavation. It is basically the lowest position and may be connected
from the ground surface by using vertical shaft, decline or ramp down. The first access point
will be suffered froma biggest load due to the GW impact. Therefore, all efforts to reduce the
impact will take much time, energy and cost. The paper follows Widodo (2013) and will be
devoted to give a solution frame work addressing the typical mining hydrogeological problem
of hydraulic inter-connection between GW and SW through the vein. It will be presented here
in conceptual fashion and will be followed by other sequel quantitative detailed papers
containing different aspects and angle of views within the solution frame work to be shared in
the next occasions of the Association of Indonesian Mining Professional annual meeting.
This paper focuses on the underground mining based on the overhand principle since it is more
challenging from the mining hydrogeological point of view than the underhand principle under
a similar hydrogeological constraint. According to the underhand principle, there is in general
GW drainage effect following the progress of mining, then the hydrogeological constraint is
very simply to overcome. By employing the overhand principle, the first access to the deposit
will be made by means of vertical shaft, decline or ramp down until the lowest planned mining
opening and later on was called here as the lowest point. The permeable vein-typed gold deposit
layer behaves as GW-bearing layer connecting the lowest point to the point of SW body leading
to the GW head difference equal to the level difference between two points. It governs the GW
to flow into the mining front with proportional flow rateto the head difference. The GW inflow
is not reducible since the mining front is hydraulically inter-connected to the SW body which
can be considered to be the unlimited source for the GW.
The considered mining hydrogeological problem will not be economical if it relies only on the
mining drainage by pumping as the primary option. Instead, it needs to be integrated into the
349
comprehensive mine plan as a whole based on the system approach (Widodo, 2013) involving
the resource sub-system regarding the gold resource benefit, the hydrogeological sub-
systemfocusing on the GW inflow treatment cost and the geotechnical sub-system focusing on
theacceptable risk of maximum possible stability of rocks under variable mining lay out and
geometry.The gold resource, the GW inflow and the maximum possible stability of rocks are
basically vertical-dependent which will be affected by the decision on the level or position of
the lowest point as the independent decision variable.
Widodo (2013) has already shared the concept of system approach to mining hydrogeological
problems. This paper follows Widodo (2013) up which offersthe implementation of the trade-
off model from Meredith et al (1985) leading to a continuous optimal solution compromising
the benefit of mineable gold reserve and the cost of mining operation including the cost of
mining drainage under a certain acceptable risk. The continuous optimal solution relies on the
fully-computerized optimization method. Moreover, beside the continuous optimal solution,
Widodo (2013) also offers a discrete optimal solution based on Freeze et al (1990). It is
basically the most preferred solution among a set of prescribed given alternatives subject to be
optimized under a certain combination of benefit-cost-risk profile. The discrete optimal solution
is only a relative solution that exists only among the given alternatives not the absolute optimal
solution that may exist under the possible range of solution. From this point of view, the
continuous optimal solution can be considered to be the absolute solution. In contrast to the
continuous optimal solution, the discrete optimal solution can be carried out by means of
manual selection.An example of a set of prescribed alternatives is given in Widodo (2013).
They can be applied in order to meet the solution of mining hydrogeological problems in
underground excavation of vein-typed gold deposit under hydraulic inter-connection with
SWbody based on the discrete optimal solution.
This paper focusesdetailer on the continuous optimal solution employing trade-off model
fromMeredith et al (1985) adopted by Widodo (2013).According to the trade-off model, there
are two optimization models, i.e. (1) what is wanted and (2) what is available. What is wanted
is intuitively associated with wishand in this paper was assignedfor benefit obtaining from the
mineable gold reserve that has to be maximized subject to aset of criteria or constraintswhichare
basically geometry of mine layout, cut-off grade and gold price. The geometrical constraint
comprises of the horizontal boundary and the vertical boundary. For simplicity, the horizontal
boundary can be taken to be a unit length of vein or afinite horizontal length in the strike
direction of the vein which leads in the measured resource per unit length.The mineable reserve
per unit length can be obtained by using proportionality or ratio between total sectional areas
of mine excavation (stope, caving etc.) to the total sectional areasaccording to which resource
is measured. The vertical boundary consists of the upper boundary, i.e. the top or the outcrop
of the vein and the lower boundary that is basically the lowest point (the first access toward the
vein) which is also assigned in this paper to be the independent decision variable. Maximum
benefit can be associated with as deepest as possible excavation.The objective function that is
usually monetary term, expresses the quantitative measure of the target or the benefit.
What is available that is the second optimization modelwhich can be assigned in this paper for
cost of development, cost of mining or operation, cost of mining drainageas well as cost of
failure or cost to compensate technical failure under certain acceptable risk. For simplicity, the
risk can be alternatively assigned as criteria or constraint or it is totally disregarded leading to
the risk free case. Moreover, cost of development, cost of mining operation and cost of mining
350
drainage can be given as unit price for typical development and mining operation since this
paper focuses on the hydrogeological aspects. To get more insight in the hydrogeological
consideration, cost of mining drainage can be possibly considered in more detail.In contrast to
the benefit, the cost has in general to be minimized subject to a set of criteria or constraints
which are basically geometry of mine layout, environmental policy or aspects, strength and
characteristic of materials and rocks, technical specifications etc. The geometrical constraint is
similar to that of what is wanted optimization model. The lowest point is also assigned as the
independent decision variable. In contrast to the maximum benefit, minimum cost can be
associated with as shallowest as possible excavation. The objective function that is usually
monetary term, expresses the quantitative measure of the cost.
Gold resource and reserve estimation have already been widely well known. Therefore, theywill
not be further elaborated in detail. Theyrely mainly on the ore body modeling in which
modeling the spatial distribution of grade is essential. The modeling can be carried out by means
geo-statistical tool or soft computing. The geometrical boundary or constraint and the cut-off
grade were then used to estimate the gold resource and reserve.
In order to give example for the typical problem, an underground method using sublevel
stopingaccordingGrieco&Dimitrakopoulos (2007)is adopted since it considers optimization
method in stope design, but it still disregards the hydrogeological constraint. To establishan
optimal design layout of open stopes, the problem definition has tobe set to identify the optimal
locationas well assize and number of stopes within a given orebody model. An understanding
of the stope layout and mining constraints are essential to achieve the objective. Minimum and
maximum allowable stope size aremainly based on the geotechnical constraints, production
requirements such as material and equipment capability constraints as well access constraints.
This allows geometrical constraints to be in terms of the minimum and maximum number of
rings allowable for defining a given stope and pillar. In understanding the mathematical model,
it is important to note the configuration of the orebody model, where each layer is composed of
a number of rows or panels with each panel consisting of a series of rings (Figure 1). The
mathematical formulation will encompassesthe operational constraints to generate
amathematical programming model that identifies anoptimal stoping layout in the presence of
gradeuncertainty. Identifying the optimal stoping layoutinvolves selecting rings that together
satisfy the constraintswhile maximizing the objective.
351
Figure 1: Components of Required Ore Body Model used for Stope Design Optimization
(Modified by Grieco&Dimitrakopoulos, 2007 from Ovanic, 1998)
The paper is focused on the mining hydrogeological problems. Therefore, the topic about
hydrogeological sub-system will be slightly elaborated more than the two previous sub-
systems. It is adopted here according to Freeze et al (1990).The hydrogeological sub-system or
frame work consists of six components as illustrated schematically by Figure 2, i.e.: (1) field
investigation program or data acquisition system, (2) geological uncertainty model, (3)
hydraulic parameters uncertainty model, (4) hydrogeological simulation model, (5) engineering
reliability model and (6) decision model.
The form of uncertainty models and the values of their parameters (including geological and
hydraulic parameters uncertainties) are determined from the data generated by the field
investigation program. Assessment on the additional field data observation only been made if
it can be economically beneficial for the optimization in the hydrogeological sub-system as a
whole. In general, it applies that the more data are given the more accuracy will be aimed. But
it is not always economically optimal. The engineering reliability model is used to represent the
expected performance of engineering component of the system. The hydrogeological
simulation model is used to represent the expected performance of the hydrogeological
component of the system. It can be analytical solution, numerical solution or empirical solution
representing the site. The hydrogeological simulation model by means of numerical solution
using software ModFlow, FEFlow or GMS is widely well known. In the next paper the
352
hydrogeological simulation model will be carried out by means combination between numerical
and empirical solution in order to increase accuracy. The hydrogeological simulation model
and engineering reliability model are then used in the stochastic mode to predict the probability
of failure which is a component in term of risk in the decision model. The hydrogeological must
be stochastic in order to take into account the uncertainty in the hydrogeological system that
always exists in heterogeneous hydrogeological environments. The uncertainty in geological
boundaries is described by the geological uncertainty model and the uncertainty in parameter
values is described by the hydraulic parameters model. All models from (1) to (5) will be
incorporated to in then decision model.
The decision model is based on the benefit – cost – risk scheme. It is usually expresses following
Freeze et al (1990) as the objective function such as follows.
t j
B ( t ) C j ( t ) R j ( t )
T
1
j (1)
t 0 ( 1 i )
The Rj(t) component in the equation (1) is the expected costs that are associated with the
probability of failure. It is can be expressed in more detail as follows.
The benefit can be obtained from the mineable gold reserve. While the costs can be any cost of
development, mining or operation, of mining drainage as well as cost of failure or cost to
compensate technical failure under certain acceptable risk.The C f ( t ) is the cost that would be
incurred only in the event of failure. The ulility function ( C f ) allows the incorporation of
possible risk-averse tendencies from the view of the management.
353
Figure 2: Hydrogeological Sub-System or Frame Work Adopted from Freeze et al (1990)
for The Solution of Mining Hydrogeological Problems
List of References
Freeze, R.A; Massmann, j.; Smith, L.; Sperling, T.; James, B. (1990):
Hydrogeological Decision Analysis, 1. A Frame Work; Journal of Groundwater, Vol.
28, No. 5.
Grieco, N. &Dimitrakopoulos (2007):
Managing Grade Risk in Stope Design Optimisation: Probabilistic Mathematical
Programming Model and Application in Sublevel Stoping; Mining Technology, Vol.
116, No.2.
Meredith, D.D.; Wong, W.; Woodhead, R.W.; Wortman, R.H. (1985):
Design and Panning of Engineering System; Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Ovanic, J. (1998):
Economic Optimization of Stope Geometry; Ph.D. Thesis, Michigan Technical
University, Houghton, MI, USA.
Widodo (2013):
Introduction toThe Concept of System Approach to Mining Hydrogeological Problems;
Prosiding Temu Profesi Tahunan 23 Perhapi, Jogjakarta, ISBN 978-979-8420-14-6.
354
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Lokasi bekas pit E1G1 berada 1 km di sebelah selatan pit C2 aktif, dan sesuai rencana akan
dilakukan penambangan pada kuartal ke-2 tahun 2015. Pada akhir 2010 pit ini tidak dikerjakan
dan selanjutnya dimulai pengisian air (impounding) pada bekas pit E1G1 dari runoff hujan
maupun pemompaan dari pit C2 dan berlangsung sampai akhir 2014. Volume genangan air di
bekas pit E1G1 sebanyak 5.4 juta m³ dengan elevasi air di RL +5.4. Dari hasil bathymetry pada
bulan November 2013 diperoleh total sedimentasi sebesar 683,831 m3 dan estimasi pada akhir
tahun 2014 sebesar 843,391 m3.
Untuk merealisasikan rencana penambangan kembali di bekas pit E1G1 tersebut perlu
dilakukan proses dewatering genangan air dan penanganan material sedimentasi bersamaan
dengan pengalihan catchment area seluas 195 ha. Proses pertama dewatering area bekas pit
E1G1 dengan menggunakan 3 pompa Multi Flow 420 dan Pioneer PP86S17 serta mixer
pump. Sedangkan penanganan material sedimentasi dilakukan dengan menggunakan kombinasi
metoda pompa lumpur (slurry pump). Kombinasi ini dilakukan dengan pertimbangan biaya
yang dikeluarkan lebih efesien daripada biaya jika dilakukan penanganan secara konvensional
dengan menggunakan unit excavator dan hauler serta diyakini lebih efektif berdasarkan kajian
yang sudah dilakukan sebelumnya. Penanganan material sedimentasi dengan menggunakan
slurry pump membutuhkan waktu sekitar 6 bulan dengan spesifik flowrate rencana 450 m3/jam
dengan Spesifik Gravity (SG) maksimal pada range 1.4– 1.5 (SG lumpur bekas pit E1G1 : 1.73)
dan prosentase ketercapaian 80% dan akan meninggalkan material sisa 20%. Material
sedimentasi diarahkan di lokasi dumpingan khusus di in pit dump pit C2 dengan menggunakan
pipa HDPE sepanjang 2,200 m.
Kata kunci : catchment , mixer pump, slurry pump, bathymetry, pipa HDPE
355
PENDAHULUAN
Bekas pit E1G1 adalah salah satu pit di site Sambarata Mine Operation PT. Berau Coal yang
aktif periode 2008 sampai dengan 2010. Dengan tidak beroperasinya pit tersebut sehingga
mengakibatkan terjadinya pengisian air (impounding) pada bekas pit E1G1 dari runoff hujan
maupun pemompaan dari pit C2 dan berlangsung sampai akhir 2014. Pada tahun 2015 bekas
pit E1G1 tersebut direncanakan untuk dilakukan penambangan kembali sebagai extension dari
pit C2.
Target produksi di area bekas pit E1G1 sebesar 1,032,000 MT atau 33% dari target batubara pit
C2 tersebut akan dilakukan penambangan pada kuartal ke-2 tahun 2015. Akan tetapi sebelum
dilakukan penambangan diperlukan beberapa penanganan khusus terkait masalah air yang
merendam bekas pit E1G1 sebesar 5,440,000 m3 yang mengakibatkan sedimentasi hasil
pengukuran bathimetri 2013 sebesar 683,831 m3 dan estimasi pada akhir tahun 2014 sebesar
843,391 m3.
356
LATAR BELAKANG
Beberapa faktor yang menjadi latar belakang dilakukan proses dewatering di area bekas pit
E1G1 diantaranya :
Volume lumpur sedimentasi di bekas pit E1G1 yang cukup besar sesuai dengan data
dari pengukuran bathimetri.
Bekas pit E1G1 yang ditinggal sejak tahun 2010 dan akan ditambang kembali pada
tahun 2015 berdasarkan Annual Mine Plan atau target SMO blok B1 di tahun 2015.
357
Slurry Pump
rental rate qty usage cost
Description
value unit unit month (usd)
BY SLURRY PUMPS
TOTAL COST - nett of fuel 1,076,376
fuel for slurry pumps genset 144,863
fuel for booster pumps genset 144,863
fuel for genset mixer -
Proses dewatering di area bekas pit E1G1 berbeda dengan proses dewatering di bekas pit
lainnya yang berada di area konsesi PT. Berau Coal. Metode yang biasa digunakan yaitu dengan
memompa air dari area bekas pit dan dilanjutkan dengan handling material lumpur dengan unit
loading dan hauling. Sedangkan yang dilakukan di area bekas pit E1G1 penanganan air dan
lumpur dilakukan bersamaan dengan menggunakan metoda pompa lumpur atau slurry pump.
358
Prinsip kerja unit slurry pump adalah dengan cara menghisap air dan lumpur sampai dengan
Spesifik Gravity (SG) pada range 1.4 – 1.5 (SG lumpur bekas pit E1G1 : 1.73) dengan tambahan
assesoris pompa berupa cutter head yang berfungsi untuk pencampuran material dan
menghancurkan material agar dapat dengan mudah dilakukan feeding ke pompa sehingga tidak
menimbulkan blocked.
Secara teknis pemompaan dengan slurry pump banyak dipengaruhi dari jenis material yang
berada di area sekitarnya seperti batu pasir (sandstones), batu gamping (limestones), batu
lempung (claystones) dan lain-lain. Mengapa hal tersebut berpengaruh pada teknis pemompaan
tersebut? Pada dasarnya kemampuan slurry pump dalam hal ini inlet pompa (suction) hanya
mampu melakukan penghisapan dalam radius 3- 4 meter. Area yang memiliki dominan material
batu pasir akan lebih mudah dilakukan pemompaan karena sesuai sifatnya material tersebut
bertekstur clactic yang dimana partikel penyusunnya kebanyakan berupa butiran berukuran
pasir dengan ukuran 1/16 hingga 2 milimeter, akan lebih mudah dihisap dibandingkan dengan
area yang dominan material lainnya. Lumpur yang terdapat di area bekas pit E1G1 merupakan
material yang berasal dari disposal pit C2 yang memiliki lithologi penyusun utama merupakan
batu lempung (claystones) dan sebagian kecil merupakan batu pasir (sandstones) sehingga
proses reposisi pompa sangat intens dilakukan agar pemompaan dapat maksimal dilakukan.
Tahapan-tahapan pemompaan yang dilakukan pada bekas pit E1G1 sebagai berikut :
1. Sebelum dilakukan proses dewatering dengan pemompaan slurry pump, terlebih dahulu
diawali dengan pengambilan data surface lumpur diarea tersebut dengan pengukuran
bathimetri, hal dilakukan agar dapat diketahui jumlah lumpur yang ada serta
mendapatkan acuan seberapa besar volume yang dapat terambil oleh unit pompa.
Sehingga dapat diketahui seberapa besar produktivitas yang dihasilkan oleh slurry pump
tersebut.
359
2. Setelah mendapat situasi lumpur maka dibuatkan pemetaan lumpur untuk mengetahui
penyebaran lumpur dan dibuatkan sekuen berdasarkan volume terkecil sampai dengan
volume terbesar. Hal ini dilakukan karena kondisi material di bekas pit E1G1 yang
dominan material lempung mengakibatkan frekuensi reposisi pompa ketika melakukan
pemompaan akan sering dilakukan.
3. Dengan semua data dan persiapan yang sudah dilakukan, operasional slurry pump
dilakukan dengan menempatkan 2 unit slurry pump diposisi lumpur dengan volume
besar sedangkan tambahan dewatering pump ditempatkan diposisi lumpur yang
mempunyai kapasitas volume kecil. Operasional slurry pump dapat dilakukan dengan
tetap menyediakan minimal 80% air yang akan digunakan sebagai media pencampuran
dengan lumpur agar mendapatkan material lumpur yang memiliki SG (spesifik gravity)
sesuai spec pompa pada range 1.4 – 1.5 (SG lumpur bekas pit E1G1
: 1.73). seperti pada tabel simulasi berikut :
360
5
-5
Elevation (m)
-10
-15
-20
-25
Storage
-30
1.94
0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000
Storage (10^3 m3)
Slurry pump dan cutter head Slurry tank dan booster pump
Outlet to sump
361
Komposisi unit slurry pump di bekas pit E1G1 terdiri dari :
Untuk memaksimalkan kinerja operasional slurry pump maka 1 (satu) unit dari slurry pump
akan dioperasikan oleh 1 (satu) orang operator yang berada dalam kabin yang berfungsi untuk
mengatur naik dan turunnya posisi cutter head serta 4 (empat) crew pompa yang membantu
operator saat melakukan reposisi pompa karena unit slurry pump yang digunakan di bekas pit
E1G1 masih dilakukan dengan cara manual. Sedangkan untuk mengetahui rata-rata SG maka
dilakukan pengambilan sample rutin setiap 1 (satu) jam sekali di slurry tank
menggunakan gelas ukur 500 ml sehingga didapatkan SG (spesifik gravity) untuk 1.4 pada
ukuran 790 ml.
Berdasarkan target sequence penambangan di bekas pit E1G1 harus sudah dilakukan pada
kuartal 2 tahun 2015. Dengan demikian, 80% dari volume lumpur yang berada di area bekas pit
E1G1 harus segera dipindahkan pada awal tahun 2015 supaya bisa dilanjutkan dengan manual
handling dengan unit excavator. Pada proses pengerjaan terjadi kendala teknis dan non-teknis
diantaranya terjadi deviasi volume lumpur yang signifikan di area bekas pit E1G1 sehingga
mempengaruhi kinerja slurry pump menjadi tidak maksimal. Salah satu contohnya adalah
362
ketebalan lumpur aktual yang berbeda dengan plan awal sehingga menyebabkan tingginya
frekuensi reposisi pada slurry pump yang berakibat pada hilangnya waktu kerja efektif.
Penyebab lainnya yaitu terlambatnya pengiriman unit slurry pump dari pabrikan Amerika ke
Indonesia sehingga tidak dapat memulai pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
sehingga terjadi deviasi dari rencana awal pekerjaan. Hal ini menyebabkan operasional slurry
pump hanya berjalan dalam rentan waktu 3 bulan saja dengan total pencapaian handling
3
lumpur sebesar 111,344 m .
Manual handling
Parameter unit Rate Contractor SMO B1
BY EXCAVATOR-TRUCK Material OB Blending OB + Mud
Mud volume - 100% (x) bcm - 111,344
OB volume (y) 167,016 167,016
Total volume (x + y) bcm 167,016 278,360
Dstance OB km 1.00 2.36
Cost OB usd 231,518 503,219
Cost Fuel usd 148,644 342,383
Sub Total usd 380,162 845,602
Total usd 1,225,764
Rate (usd/bcm mud) usd/bcm 11.01
Slurry pump
300,000
250,000
200,000
Volume m3
Slurry Pump
150,000
Manual pc1250
100,000
50,000
-
20-Mar-15 20-Apr-15 20-May-15
(50,000)
Berdasarkan pada pencapaian lumpur tersebut, secara aspek ekonomi dan efektivitas kerja,
penggunaan slurry pump menghasilkan cost efficiency sebesar $700,247.70 jika dibandingkan
dikerjakan dengan manual handling. Waktu pengerjaan lebih cepat 10 hari jika dibandingkan
363
dengan manual handling. Sehingga operasional penambangan di Pit C2 Blok B1 masih bisa
berjalan sesuai rencana.
KESIMPULAN
Dari penyampaian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan slurry pump di area bekas pit
E1G1 sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
1. Edward J.Wasp, John P. Kenny, Ramesh L Gandhi, Solid-Liquid Flow Slurry Pipeline
Transportation, San Fransisco, California USA, Series on Bulk Materials Handling Vol
1 (1975/77) No 4
2. Pump Classification and specification. Slurry pump apparatus including fluid housing,
diperoleh 9 September 2015 dari http://patents.justia.com/patent/4776753
3. Dokumen BeGems PT. Berau coal, P-MNO-08. Pit Dewatering,Tanggal efektif 10
April 2015 dari
http://portalbc/Docs/1/Dokumen%20Kerja/Dokumen%20Level%202/P-MNO-08.PDF
364
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstract
Big Gossan underground mine is one of several underground mine which is operated by PT
Freeport Indonesia using open stoping with cement paste backfill method. Big Gossan mine,
located at High Land of Papua which has high rate of rain fall (average 6727.34 mm/year) and
causing water inflow through the fractured rock, fault, and permeable zone. High groundwater
level condition in Big Gossan mine can cause mining process inefficient and ineffective.
Therefore dewatering drilling program is importantto decrease groundwater level. In 2014,
dewatering drilling program had been done by targeting Big Gossan Fault and North Big
Gossan Fault in North of Big Gossan. Vibrating wire piezometer also installed in Big Gossan
to monitor groundwater level fluctuation especially after dewatering drilling program done.
Dewatering drilling program is succeed when groundwater level in Big Gossan decreasing.
Key word: Big Gossan, dewatering drilling, groundwater level.
Introduction
Big Gossan is one of several Underground Mine operated by PT Freeport Indonesia. Mining
method used for Big Gossan is open stoping with cement paste backfill. Big Gossan mine,
located at High Land of Papua which has high rate of rain fall (average 6727.34 mm/year) and
causing water inflow through the fractured rock, fault, and permeable zone. In this case, water
inflow is one of the biggest problem in Big Gossan Mine, therefore managing water is very
important.
Regional Geology
Big Gossan stratigraphy from the oldes are Kembelangan Ekmai Sandstone Formation (Kkes),
Kembelangan Ekmai Limestone (Kkel) Formation, and Tertiary Waripi (Tw).
365
Figure 1. Big Gossan Stratigraphy Column (Meiriyanto, Soeldjana, & Soebari, 2012)
There are four geological structures occurred at Big Gossan, including Big Gossan North Fault,
Big Gossan Fault, Big Gossan Cross Fault, and also existence of Shear Zone located at
lithological contact of Kembelangan Ekmai Limestone Formation (Kkel) and Kembelangan
Ekmai Sandstone Formation (Kkes).
Based on geological data gained from several drilling, these geological structure influence as
water channel (Meiriyanto, Soeldjana, & Soebari, 2012).
Figure 2. Geological Structure Map of Big Gossan and Water Channel Distribution (Meiriyanto, Soeldjana, & Soebari,
2012).
Hydrogeology Condition
Rainfall
Three different rainfall stations were installed to monitor rainfall intensity above Big Gossan
mine. Those rainfall stations installed at GBT, Mill, and Heat Road (Figure 3).
366
Figure 3. Big Gossan Rainfall Monitoring and Rainfall Influence Area of Big Gossan
Rainfall monitoring data in 2008-2012 showed that average water infiltration in Big Gossan
was 9.72 m3/day and average rainfall in 2008-2012 was 6727.34 mm/year (Table 1 and Table
2).
Table1. Average Rainfall Data and Water Infiltration at Big Gossan Mine Area in 2008-2012.
Tracer Test
Tracer test is one of hydrology method to determine groundwater flow path and interconnection
between aquifers. By understanding the groundwater flow path and aquifers interconnection, it
can be used to apply appropriate mitigation. Tracer test at Big Gossan was conducted in 2009
to get better understanding from hydrological condition at hanging wall exploration drift 3046L
which producing artesian flow since 1999, significant water intersection from geological infill
drilling on 2008 at footwall 2540L and its recent flow monitoring and also some other area at
BG (Kasuang 2860L).
Tracer test results confirm the interconnection between upper level and lower level of Big
Gossan aquifers as the dye introduced at surface appeared at several locations in Big Gossan
(Figure 4 and Figure 5). This also confirms that surface infiltration is the main source of water
at BG. Even though the flow monitoring between Upper and Lower BG aquifers indicated
different saturated zones, tracer test proves there is a direct connection from surface down to
Lower BG aquifers. The dye recoveries for 23, 68 and 74 hours at 3046L, 2860L and 2540L
367
respectively after introduced from the surface indicated that the dye has travelling down
sequently.
Figure 4. Dye Appearance Location at Big Gossan area (PTFI Internal Document).
Hydrogeological analysis based on tracer test and geological drilling, it is confirm that
geological structure such as: Big Gossan North Fault, Big Gossan Fault, Big Gossan Cross
Fault, and also existence of Shear Zone located at lithological contact of Kembelangan Ekmai
Limestone Formation (Kkel) and Kembelangan Ekmai Sandstone Formation (Kkes), are main
water channel (Figure 6). These water channel can be the target for dewatering drilling.
Figure 5. Relation Between Geological Structure and Water Channel (Meiriyanto, Soeldjana, & Soebari, 2012)
368
Vibrating Wire Piezometer (VWP) that installed in Big Gossan Mine are as follow:
1. One VWP (BGPZ3020-01A) was installed at North Big Gossan, to monitor
groundwater level in Big Gossan North Fault and Big Gossan Fault.
2. One VWP (BGPZ3020-1B) was installed at North Big Gossan, to monitor groundwater
level in Big Gossan Cross Fault.
3. Two VWP (BGPZ3020-02A and BGPZ3020-02B) were installed at West Big Gossan,
to monitor groundwater level in lithological contact of Kembelangan Ekmai Limestone
Formation (Kkel) and Kembelangan Ekmai Sandstone Formation (Kkes).
First measurement in October 2013 (Table 3), showed that groundwater level position is still
high (above production level), especially at North of Big Gossan. It means that priority target
for dewatering drilling are North Big Gossan Fault and North Big Gossan Fault.
Table3. VWP Station in BG3020L and Groundwater Level Data on October 2013.
369
Figure 7, Geological Map of Dewatering Drilling in Big Gossan, 2014.
Drilling series at BG2510L divide into two series, BGPZ2510 series and BGDW2510 series.
The purpose of BGPZ2510 series is for piezometer installation (piezometer were installed at
the collar), and the purpose of BGDW2510 series is for dewatering (valves full open).
The biggest number of water flow recorded were 28.8 lps (Figure 8 and Table 4). Lowest water
flow recorded from BGDW2510-03 and BGDW2510-04. One piezometer was installed at hole
BGPZ2510-02 to monitor groundwater level at current dewatering drilling site.
Groundwater level monitoring were done during progress of dewatering drilling in Big Gossan,
and showing decreasing number at piezometer BGPZ3020-01A (Figure 9), which is monitor
groundwater level at North Big Gossan Fault and Big Gossan Fault. BGPZ3020-01B which is
monitor groundwater level at Cross Fault still showing high number.
Constraint of this dewatering drilling program is drainage system at BG2510L is not ready to
handle amount of water from this dewatering drilling program. All valves were closed and wait
for drainage system to be ready.
370
Table4. Water Intersection Data of Dewatering Drilling at Big Gossan.
th
March 27 14 0.768 7.56
316.9 317 - Fault
2 BGPZ2510-02 482.4
th
463 464 March 31 14 650 28.8 Lithological Contact 8.39
th
435 437 April 14 2014 - 6.4 Fault -
th
440 443 April 14 2014 - - Fault -
th
3 BGDW2510-01 543 486 488 April 16 2014 - 16 Fault 7.93
th
488 491 April 16 2014 - - Fault -
th
503 504 April 17 2014 - 19.2 Fault -
th
260 263 April 30 2014 - 12.6 Fault 7.89
th
4 BGDW2510-02 488 304 306 April 30 2014 - Fault -
6
st
311 314 May 1 2014 - Fault -
rd
5 BGDW2510-03 500 440 441 June 3 2014 - 3.1 Fault 8.55
th
6 BGDW2510-04 400 176.6 179.6 June 14 2014 - 2.5 Fault 7.62
Figure 9. Groundwater Level Monitoring Data during Dewatering Drilling in Big Gossan, 2014.
371
Summary
Big Gossan dewatering drilling program has been succeeded to decrease groundwater level of
North Big Gossan Fault and Big Gossan Fault.
Water channel at Cross Fault still has high elevation of groundwater level. Additional drilling
should be done to decrease its groundwater level.
All valves of Dewatering Drilling Program should be opened to optimizedewatering and
decrease groundwater level in Big Gossan.
References
Freeport Mc Moran Copper & Gold Inc,2005, Feasibility Study for Big Gossan Mine (Internal
Document). PT Freeport Indonesia.
Underground Hydrology Group. (2009). Big Gossan Tracer Test Result (Internal Document).
Tembagapura. PT Freeport Indonesia.
Meiriyanto, F., Soeldjana, A., & Soebari, L. (2012). Relationship Big Gossan Structure With
Groundwater at The Big Gossan Stope and Fill Mine, Papua, Indonesia. TPT XXI
PERHAPI 2012.
372
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Kolam pengendap lumpur merupakan merupakan salah satu persyaratan yang harus dibuat
sebelum aktivitas pembukaan lahan dimulai dibagian hulu dalam suatu proses penambangan.
Kolam pengendap lumpur berfungsi sebagai tempat mengendapnya material sedimen yang
berasal dari aktivitas penambangan yang dilakukan di hulu.Tujuannyaagar kualitas air yang
keluar dari areal tambang memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya
standar untukTSS (Total Suspended Solid) , PH dan lain-lain. Setiap kolam pengendapan
lumpur telah dihitung kapasitas (volume) dan waktu penuhnya. Sebelum kolam terisi penuh,
maka material lumpur di dalam kolam perlu dipindahkan untuk mengembalikan kapasitas
kolam seperti awal sehingga kolam tetap bisa berfungsi menampung lumpur. Strategi pond
maintenance di KPCterdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring.
Tahap perencanaan terdiri dari mendata semua kolam yang ada, menghitung kapasitas
tampungan kolam dan jumlah sedimen yang masuk ke dalam kolam, menghitung kebutuhan
alat untuk kegiatan pond maintenance dan membuat jadwal pond maintenance.Pada tahap
pelaksanaan, KPI utama adalah pencapaian target pemindahan volume sedimen di dalam kolam
dan standar safetypadasaatpelaksanaan kegiatan pond maintenance. Pada Tahap
monitoringdilakukan aktivitas survey kolam secara regular untuk memantau kapasitas kolam
sehingga menjadi acuan dalam pembuatan jadwal pond maintenanceselanjutnya.Dengan
adanya proses yang baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoringaktivitas pond
maintenance maka kapasitas kolam dapat tersedia sesuai rencana sehingga pengendapan
lumpur bisa optimal dan kualitas air yang keluar dari areal tambang memenuhi standar yang
ditetapkan oleh pemerintah.
373
1. Latar Belakang
PT. Kaltim Prima Coal (KPC) adalah salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di
Indonesia. Areal operasional PT. KPC berada di kota Sangatta, kabupaten Kutai Timur, provinsi
Kalimantan Timur.Posisi geografis dan peta areal konsensi PT. KPC dapat dilihat di Gambar
1.1.
Sebagaimana moto dari PT. Kaltim Prima Coal “LebihdariMenambang” (More than Mining),
dalam bidang pengelolaan air tambang PT. Kaltim Prima Coal melakukan kegiatan
penambangan yang terintegrasi dengan pengelolan air seperti sistem drainase yang baik, kolam
pengendali debit air, kolam pengendap lumpur, water treatment system, pond maintenance dan
aktivitas – aktivitas improvement lainnya untuk mengurangi tingkat erosi di bagian
hulu.Makalah ini akan menjelaskan aktivitas Pond maintenance yang telah dilakukan di PT.
Kaltim prima Coal.
Kolam pengendap lumpur merupakan merupakan salah satu persyaratan yang harus dibuat
sebelum aktivitas pembukaan lahan dimulai dalam suatu proses penambangan. Kolam
pengendap lumpur berfungsi sebagai tempat mengendapnya material sedimen yang berasal dari
aktivitas penambangan yang dilakukan di hulu. Tujuannya agar kualitas air yang keluar dari
areal tambang memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya standar untuk
TSS (Total Suspended Solid), PH dan lain-lain. Berdasarkan tipenya, terdapat 2 tipe kolam
pengendapan lumpur yang ada di PT. KPC, yaitu tipe blocking dan kolam gali. Setiap kolam
pengendapan lumpur telah dihitung kapasitas (volume) dan waktu penuhnya. Sebelum kolam
terisi penuh, maka material lumpur di dalam kolam perlu dipindahkan untuk mengembalikan
kapasitas kolam seperti awal sehingga kolam tetap bisa berfungsi menampung lumpur. Strategi
pond maintenance yang baik menjadi sangat penting dalam memastikan material lumpur di
374
kolam telah dipindahkan sebelum kapasitasnya penuh. Strategi pond maintenance di KPC
terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring.
2. Isi Makalah
Pond Maintenance adalah kegiatan pemindahan material sedimen yang berada dikolam-kolam
pengendapan untuk mengembalikan kapasitas kolam seperti awal sehingga kolam tetap bisa
berfungsi menampung lumpur. Berikut penjelasan aktivitas pond maintenance dari tahapan
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring.
Tahap perencanaan ini terdiri dari pengelompokan kolam berdasarkan clustering, perhitungan
estimasi jumlah sedimen yang masuk ke dalam kolam dan penjadwalan kegiatan pond
maintenance.
Dalam satu sistem clustering terdapat beberapa kolam pengedap lumpur dimana posisinya
bertingkat dari hulu ke hilir. Tujuannya adalah agar proses pengendapannya terjadi
bertahap pada beberapa kolam. Pengelompokan inijuga akanmemudahkan identifikasi
tingkat sedimentasi di masing-masing kolam dan memudahkan penjadwalan aktivitaspond
maintenace pada satu cluster yang sama.
Salah satu clusteringkolam di areal PT. KPC adalah clusteringMelawai. Kolam-kolam
yang termasuk dalam cluster melawai dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Dari Gambar 2.1. dapat dilihat bahwa sistem pengendapan di cluster melawai dilakukan
secara bertahap dari hulu ke hilir(beberapa pocket pondlainnya juga terdapat di areal pit).
375
2. Menghitung estimasi sedimen yang masuk kekolam pengendap lumpur
Pada tahap awal perencanaan kolam, perhitungan jumlah sedimentasi telah dilakukan.
Tetapi perhitungan sedimentasi perlu diperbaharui jika terjadi perubahan luasan catchment
dan perubahan tatagunalahan yang menjadi catchment kolam pengendap
lumpur.Perhitungan jumlah sedimen yang masuk ke kolam menggunakan rumusan USLE.
Rumusan USLE :
A=RKLS CP
A : Volume sedimen
R : Faktorerosivitashujan, yang didapatkan dari data hujan
K : Faktorerodibilitastanah, yang didapatkan daridata jenistanah
LS : Faktorkemiringanlereng
C : Faktorpenutuptanah, yang didapatkan dari data tatagunalahan
P : Faktor praktek pengendalian laju erosi secara mekanis
1. Dredging
Dredging pump dapat memindahkan material sedimen dengan spesifikasi density
material sampai dengan 30%.
Produktivitas : 200 m3 solid/jam
Kedalaman dredging : 5 m
376
Gambar 2.2.Dredging Pump
Sumber : (Rockcrush, 2011)
2. Excavator
Kegiatan pengambilan material sedimen di dalam kolam juga dilakukan menggunakan
excavator.Untuk kegiatanhaulingnya menggunakan truck.
Excavator Amphibi
Excavator amphibiberfungsi memindahkan material di dalam kolam pengedap
lumpur ke areal yang bisa di jangkau oleh excavator longarm.
377
Gambar 2.4.Excavator amphibi di kolam pengendap lumpur
KPI (Key Performance Indicator) pada tahap operasional adalah pencapaian target pemindahan
volume sedimentasi di dalam kolam dan standar safety pelaksanaan kegiatan pond
maintenance.
1. Dredging Pump
Densitydischarge dredging
Pengontrolan density dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel di outlet pipa
dredging.Berfungsiuntukmemastikandensity discharge mencapai target.
Physical Avaibility dan Usage
Operasional dredging dilakukan selama 24 jam.Planuntuk physical avaibilitydredging
series (Tersedianya alat dalam kondisi siap untuk dioperasikan) sebesar 73% (1
dredging dan 2 booster) dan Usagenya(total waktu alat dioperasikan terhadap waktu alat
dalam kondisi siap dioperasikan) sebesar 67%.
SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam mengoperasikan dredging.
SOP berfungsi sebagai standar dalam mengoperasikan dredging dan juga sebagai
kontrol terhadap resiko kecelakaan kerja.
Di dalam cluster melawai, areal operasional dredging berada di kolam Melawai. Foto
aktivitas dredging di kolam melawaidan dischargedredging melawai dapat dilihat pada
gambar 2.5 dan 2.6.
378
Gambar 2.5.Aktivitasdredging di kolammelawai
Excavator
379
Di dalam cluster melawai, areal operasional excavator berada di kolam Upper Melawai.
Foto aktivitas excavator di kolam upper melawai dapat dilihat pada gambar 2.7.
Gambar 2.7. Aktivitas pond maintenance menggunakan excavator di kolam Upper melawai
Untuk aktivitas pond maintenance dengan kombinasi excavator amphibi dan excavator long
arm dapat dilihat di gambar 2.8 di areal volvo pond.
Gambar 2.8. Aktivitas Pond Maintenance dengan Excavator Amphibi dan Long arm di kolam
Volvo
2.3. Monitoring
Kegiatan monitoring dilakukan dengan alat sounding. Tujuannya adalah untuk mengetahui
kedalaman sedimen di dalam kolam. Data hasil dari sounding ini akan digunakan untuk
meninjau aktual tingkat sedimentasi di kolam danuntuk proyeksi penjadwalan kegiatan pond
maintenance selanjutnya.
380
Gambar 2.9. Aktivitas sounding di daerah kolam
Source :(PT. KPC, 2015 c)
Daftar Pustaka
PT. KPC. (2015 a). Introducing of PT. Kaltim Prima Coal. Sangatta: PT. Kaltim Prima Coal.
PT. KPC. (2015 b). Mining Service Department Report.
PT. KPC. (2015 c). SOP Pengukuran Sounding di Kolam berair dengan Perahu Motor.
Rockcrush. (2011). Rockcrush Dredge Operation Manual.
381
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRACT
Water resource is one of such important elements in mining operations. The implication in lack
of water management could deliver negative outcomes, from environmental to economic
concerns. HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center – Hydrologic Modeling System) as one
of the software in performing hydrological model could be utilized to analyse the water
resources management system, where low impact device (LID) could be implemented within
it. LID gives an innovative and comprehensive approach in stormwater management, where
this method integrates flood control using the environment’s urban landscape or through the
catchment area (watershed) as a whole. One of the most common used LID is wetland. Wetland
has numerous amounts of advantages in a watershed system if it is well constructed, especially
in upstream areas. This aforementioned method enables the management of flood control from
a mining pit by managing the surface water in upstream regions before reaching the mining
areas. An innovation is available to be applied if the innovation is feasible economically.
Therefore, this paper analyzes the technical and economic aspects of the application of
constructed wetlands in coal mining with a case study at “ABC”Watershed. The analyses were
not specified in mining operation cost aspect alone, the economic benefits to the environment
and social community wereanalysed as well. It is expected that the result could assist mining
stakeholders and practitioners to optimize water resources management in coal mining.
Keywords: Water resources management, constructed wetlands, watershed, HEC-HMS
382
INTRODUCTION
Watershed is an area bounded by ridges and mountains where the rain water that falls on
the area will flow towards the main river at a point of interest. Rainwater that falls on a
watershed will be divided into accumulations that were suspended temporarily as ground water
and surface water. Afterwards, runoff will enter the flow as river discharge, which then flows
into the sea. Water moves constantly in the air, soil, and the surface of the earth which is called
the hydrologic cycle. Certain processes such as precipitation, infiltration, runoff,
evapotranspiration move continuously with different phases. This whole occurrence resulted in
the water moves in a cycle, so the total volume of water will always be the same and limited.
Therefore, when the movement of water is disturbed, this situation will affect the water cycle
in other areas, either in a positive or negative influence (pollution).Mentioned in the American
Geophysical Union Research Article by Yoon, et al (2014), it is crucial to develop management
models that could support in settling upstream with downstream interests, as well as to increase
the social benefits from this critical resource (Bahri, 2012).Hence, replicating natural systems
that may potentially use cost effective solutions to reduce surface water and other
environmental impacts are essential.
Water resource management in mining activity is increasingly coming into a spotlight.
Water resources management at mining operations can affect many aspects, from the risk of
water pollution (both surface water and ground water) to the disruption of mining activities
itself, due to discharge of excess water into open pits and other surface mine structures.
Indonesia itself is a well-known country for its richness in water resources. Therefore, in
general, the applications of water resources management in open-pit mining are a
commonplace. The goal of this paper is to give approach how to do water management in
upstream area before water get to the pit area. To apply the aforementioned upstream
management practices, the storm management device is applicable to be carried out.
Low Impact Device (LID) is a unique approach to conduct conventional stormwater
management. Basically, LID is a comprehensive technology-based approach to managing urban
stormwater, where stormwater is managed in small, cost-effective landscape features located
on each lot rather than being conveyed and managed in large, costly pond facilities located at
the bottom of drainage areas (Prince George’s Country Maryland, 1999). One of such LIDs is
constructed wetland, a basin purposed to provide flood control and water quality treatment,
while creating appealing habitat for both avian and aquatic species.
In general, constructed wetlands can be used as a media in increasing the channel’s
hydraulic, performing uniform flows, maintaining erosion from sedimentation, and many
others. These concepts are mainly used to reduce the impact of stormwater, which in advance
could ease the water resources management in mining operations.As stated by DuPoldt, et al
(1999), constructed wetland is a shallow basin filled with some sort of substrate, usually soil or
gravel, and planted with vegetation tolerant of saturated conditions, where water is introduced
at one end and flows over the surface or through the substrate, and is discharged at the other
end through a weir or other structure which controls the depth of the water in the
wetland.Constructed wetlands have been used to treat a variety of wastewaters including urban
runoff, municipal, industrial, agricultural and acid mine drainage (U.S. Environmental
Protection Agency, 1999).
Overcoming the condition of mining nowadays, especially the declining trends in coal
mining, innovations are highly required. One of such innovations that could be performed is
the development of constructed wetlands. This method enables the control management of
stormwater from a mining pit by managing the water in a catchment area as a whole.
383
METHODOLOGY AND DATA PROCESSING
Catchment Area
As part of the study area, “ABC” River catchment (Watershed) is located in southern
region of South Sumatera Province.
The River catchment covers an area of 6,305km2 (shown in Figure 2) which is drained
by several parallel rivers running from Bukit Barisan Range towards the north-east and flows
195 km away to the downstream boundary of the study area. The river flows toward the open
floodplain within the southern-west part of the region and finally merges into the Major River.
Rainfall Analysis
One of such purposes of rainfall analysis is to obtain rainfall areas of the study area by
considering rainfall depth which occurs at the rainfall stations within the area and the basin’s
surroundings. The hydrological network of the rainfall stations in and around the catchment of
“ABC”Watershedwas established by BMKG Officetaken from rainfall station atsurrounding
river area. Rainfall data was collected from 3 rainfall stations near the River, i.e. Stasiun 1
(Upstream), Stasiun 2(Middle-Stream) and Stasiun 3 (Downstream). Such records of rainfall
data were collected within the last 10 years.
Monthly Rainfall Data
Although long-term hydrological data (water stage and runoff, etc) is necessary for the
estimation of runoff flowing in “ABC” River (near the open pit mine site), unfortunately there
are no such records in this area. Therefore only rainfall records were used for the runoff
estimation. The rainfall data are then applied for the estimation of monthly rainfall data.
4 2007 362 422 157 430 147 104 102 87 79 226 163 163
5 2008 159 94 390 198 284 135 44 191 235 253 304 526
6 2009 610 204 233 335 113 54 101 42 137 276 146 399
7 2010 484 446 484 165 241 132 317 291 367 253 261 275
8 2011 293 191 161 245 171 157 39 15 38 201 353 237
9 2012 210 565 93 216 242 145 99 31 84 317 296 511
10 2013 484 245 181 387 576 80 191 136 252 162 200 481
1 2004 217 361 90 394 420 60 272 69 163 178 292 378
2 2005 190 596 347 345 447 170 241 199 248 531 297 329
Sta. Pagar Alam
1 2004 499 430 99 338 61 76 119 148 148 406 291 450
2 2005 250 350 480 400 200 230 100 145 200 280 329 176
3 2006 591 585 258 379 194 104 63 58 93 87 149 238
3
Sta. Lahat
4 2007 470 289 245 407 109 66 61 164 119 207 257 369
Stasiun
5 2008 434 55 324 546 266 45 39 702 149 151 140 480
6 2009 588 282 550 264 130 77 160 74 18 144 378 510
7 2010 291 866 610 386 181 108 337 116 240 308 444 140
8 2011 323 185 332 334 318 229 141 31 160 315 376 641
9 2012 459 491 94 327 132 95 96 31 46 335 355 381
10 2013 257 493 468 311 260 151 274 31 116 135 296 676
384
Daily Maximum Rainfall
Daily maximum rainfall data are obtained from the data that have been collected from
rainfall station atsurrounding river area. Rainfall data of the hydrological study area from the
three stations has been collected and analyzed. The final R24 Max (daily maximum rainfall)
used for the hydrological analysis is shown in Table 2.
Frequency Analysis
Probable rainfalls by frequency were statistically calculated and analysed on annual
extreme series data. The daily maximum rainfall was then obtained by return period using
methods such as normal, two-parameter log-normal, three-parameter log-normal, type I normal,
type III pearson, type III log-pearson, and Gumbel-Chow distributions. As results, the outputs
of the methods are tabulated in Table 3.
385
Figure 1. Plotting position of daily maximum rainfall
HEC-HMS Analysis
As soon as all hydrological data has been attained, the data was then input into HEC-
HMS, software designed to simulate a complete hydrologic process using dendritic watershed
systems. Within this process, the watershed was modeled performing the whole “ABC”
Watershed system. As seen in Figure 2, the dendritic divisions were based on each watershed
within it. The first watershed, occurring at the most upstream are of the watershed was estimated
to be 5,557km2, where the second watershed taken place in a more downstream region was
estimated to be 748km2. The third watershed occurring at the most downstream was 238 km2,
where afterwards, the water was then flown to a lower elevation region, which occurs outside
the area of “ABC” Watershed.
Figure 2.“ABC”Watershed Hydrological Model
386
The model used hydrologic elements provided within HEC-HMS. Three key elements
were used, i.e. sub-basin, junction, and reach elements. Within the outflow of the watershed, a
sink element was added showing that the waterflow went to another catchment area. After the
watershed had been modeled, additional hydrologic element had been inserted. This additional
element was used to describe the mined-out pits, and insert them in the watershed model. Using
reservoir element, the model was then performed in the watershed.
387
Assessment of Constructed Wetlands
From the case study in “ABC”Watershed, assessment of the performance of mined-out
pits as constructed wetlands was then carried out. Assessment was done in terms of its
economical perspectives, which is not only discussed through the mining’s direct cost, but to
its continuous (long term) economic benefits as well, i.e. environmental and social perspectives.
Downstream Pit
Wetland 1 Wetland 2
As seen in Figure 4, adding the mined-out pits as constructed wetlands, which had a
specification of structures as stated within the aforementioned context, 2-year return period of
flood event performed a formidable results with only 12.24 m3/s, where a 50-year return period
of 40.92 m3/s. These numbers carried out outstanding efficiencies, where a 2-year flood event
resulted up to 89.51% of efficiency, and 88.66% for a 50-year flood event.
388
Economical AssessmentStudy Results
Creating constructed wetlands, flood that occurs in downstream area could be controlled
so it could beneficially reduce/removeanyadditional water resource infrastructure at the mine
area, such as Embankment. Furthermore, from the mine planning point of view, it is also
feasible to start finishing and mining out the pit at the upstream area, where afterwards, mining
the pit at downstream regions without creating embankment to prevent flood could be
performed. Eventually, it would be better to do mining sequence rather than mining all potential
pits at the same time (parallel). Summary of surface water control cost can be seen at the table
below.
Without Sequencing (Parallel Mining), the total costs needed for water management
are:
Table 4.Cost for Water Management without Sequencing and Wetlands
Embankment Cost River Diversion TOTAL
No. Year
($/year) Cost($/year) ($/year)
1 2014 80,190 547,073 627,263
2 2015 1,007,033 272,464 1,279,497
3 2016 2,696,815 566,288 3,263,103
4 2017 1,093,562 - 1,093,562
5 2018 - - -
6 2019 - - -
7 2020 - - -
8 2021 79,280 - 79,280
9 2022 - - -
10 2027 - - -
11 2032 - - -
12 2037 877,607 - 877,607
13 2041 8,266,119 283,590 8,549,709
TOTAL 14,100,605 1,669,415 15,770,020
With sequencing mining (serial mining) and wetland creation, the total costs needed for
water management are:
Table 5.Cost for Water Management with Sequencing Mining and Wetland Creation
Embankment River Diversion Wetland Creation TOTAL
No. Year
Cost ($/year) Cost($/year) Estimation Cost ($) ($/year)
1 2014 80,190 547,073 - 627,263
2 2015 1,007,033 272,464 - 1,279,497
3 2016 2,696,815 566,288 - 3,263,103
4 2017 1,093,562 - - 1,093,562
5 2018 - - - -
6 2019 - - - -
7 2020 - - - -
8 2021 79,280 - - 79,280
9 2022 - - - -
10 2027 - - - -
11 2032 - - - -
12 2037 877,607 - - 877,607
13 2041 - 283,590 1,249,385 1,532,975
TOTAL 5,834,487 1,669,415 1,249,385 8,753,287
389
Cost Reduction:
= (Total Cost without Wetlands – Total Cost with Wetland Creation) *100%
Total Cost without Wetlands
= (15,770,020 – 8,753,287)/(15,770,020) = 0.4449 *100% = 44.5%
1. Environmental Advantages
It is important to be noted that these constructed wetlands are not only beneficial to their
direct cost, this structure could somewhat be an advantage in environmental perspectives. In
environmental concerns, these constructed wetlands could provide many functions and values
in the future time (DuPoldt, et al, 1999), i.e.:
1. water quality improvement, including the retention of fine sediment, hydrocarbons,
metals, and nutrients;
2. flood storage and the desynchronization of storm, to attenuate downstream flows;
3. rainfall and surface runoff control;
4. cycling of nutrients and other materials;
5. habitat for fish- and wildlife;
6. education and research;
7. aesthetics and landscape enhancemerit, and many others.
2. Social Advantages
In social concerns, these constructed wetlands can be used as Community Social
Responsibility tools, which are given to local people around the mine area. These structures
could be utilized as good water resources (for domestic, agricultural, and other purposes) during
dry season and could be used as flood control during wet season, so that the local people will
not suffer losses due to the floods that may potentially occur within a certain period of time.
In sum, constructed wetlands are one of such low-cost solutions in after mining
operations. Most of the open pit miningare left untreated, where this particular condition could
lead to negative impacts to the environment. Moreover, this untreated open pit mining in
practical perspective is not ethical, because it gives an unpleasant overview to the society, as
well as making the mining businesses to be unstable. One of such strategies to establish a
sustainable mining business is its environmental friendly and conservative act, where
constructed wetlands could be implemented.
390
CONCLUSION AND RECOMMENDATION
1. Mined-out pit can be treated as constructed wetlands that will provide good water
resource control after mining operations.
2. As far as mine planning is concerned, in order to establish mining sequences,
hydrological concerns needed to be put into an account, especially the catchment area’s
upstream and downstream conditions where the mining operation is established. This
concern leads to a point where initial opening of a pit in upstream area could perform
cost-saving in water resources management within the downstream area.
3. Mined-out pit is a potential construction that could contribute in sustainable
development for economic concerns, environment (as reservoir or water reserve), social,
and flood-prevention structure.
REFERENCES
391
PROSIDING TPT XIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Sari
Terdapat 2 Pos Stasiun Hujan Otomatis yaitu Pos Hujan Site Lati dan Pos Hujan Bandara
Kalimarau di sekitar Tambang PT. Berau Coal. Kedua pos hujan tersebut mewakili kejadian
hujan aktual Tambang PT. Berau Coal dan digunakan dalam analisis intensitas hujan yang
terjadi. Beberapa rumus umum yang biasanya digunakan untuk penentuan nilai intensitas hujan,
antara lain menggunakan metode Monobe, Talbot, Sherman dan Ishiguro. Besarnya Intensitas
hujan yang dihasilkan oleh masing - masing metode tersebut pastinya berbeda jika
dibandingkan dengan intensitas hujan hasil pengukuran pos hujan otomatis.
Kajian dilakukan di Pos Hujan Site Lati PT. Berau Coal dan Pos Hujan BMKG Bandara
Kalimarau,Tanjung Redeb Berau. Hasil pengukuran intensitas hujan dari kedua pos hujan
otomatis tersebut akan dibandingkan dengan hasil perhitungan intensitas hujan menggunakan
metode Talbot, Sherman, Ishiguro. Uji perbandingannya dengan uji peak-weighted root mean
square error.
Hasil kajian menunjukkan bahwa metode intensitas hujan yang sesuai dengan karaktersitik data
kedua pos hujan tersebut adalah metode talbot untuk kala ulang 2, 5, 10, 20, 25 dan 50 tahun
sedangkan untuk kala ulang 100 tahun adalah metode sherman. Intensitas hujan dengan
menggunakan metode Ishiguro tidak menunjukkan kesesuaian dengan karakteristik data kedua
pos hujan tersebut.
Kata Kunci : intensitas hujan, metode Talbot, metode Sherman, metode Ishiguro, uji peak-
weighted root mean square error
392
Abstract
There are 2 Automatic Rainfall Recorder (ARR) around PT. Berau Coal : Lati Mine Operation
rain station and BMKG Kalimarau Airport Rain Station. Both the rain station heading
represent actual rainfall event Mine Beraucoal and used in the analysis of rainfall intensity
occurs. Some general formula normally used to determine the value of the intensity of the rain,
among others using methods of Mononobe, Talbot, Sherman and Ishiguro. The amount of
rainfall intensity produced by each method is certainly different compared to the rain intensity
measurement results automatic rain post.
Studies conducted in the Rain Post Site Lati PT. Berau Coal and Rain Stations BMKG
Kalimarau Airport, Tanjung Redeb-Berau. Rainfall intensity measurement results from
automatic rain posts will be compared with the results of calculations using the methods of
Mononobe rainfall intensity, Talbot, Sherman, Ishiguro. Comparison test used peak-weighted
root mean square error test.
The study shows that the rainfall intensity method according to the characteristics of data both
rain posts are Talbot to return period 2, 5, 10, 20, 25 and 50 year return period while for 100
years is a method of sherman. Rainfall intensity using ishiguro not indicate conformity with the
characteristics of both the data of the rain posts
Key words : rainfall intensity, Talbot, Sherman, Ishiguro, peak-weighted root mean square
error test
PENDAHULUAN
Salah satu Kegiatan Penambangan yang memerlukan besaran intensitas hujan adalah mine
drainage untuk menghitung debit banjir rancangan, sepeti : perencanaan kolam pengendap
(WMP), spillway, saluran maupun bangunan air lainnya. Pada perencaan tersebut, perhitungan
debit banjir rancangan memerlukan besaran Intensitas Hujan. Analisis intensitas hujan di suatu
Daerah Tangkapan Air (Catchment Area) dapat dihitung dengan beberapa metode, antara lain
: metode Talbot (1881), Sherman (1905) dan Ishiguro (1953).
Masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah pemilihan metode yang sesuai dengan
karakteristik data Pos hujan Otomatis PT. Berau Coal. Hasil perhitungan intensitas hujan
dengan menggunakan metode-metode tersebut nantinya akan dibandingkan dengan hasil
perhitungan intensitas hujan pengukuran alat ukur hujan otomatis PT. Berau Coal
menggunakan metode Uji Peak-Weight Root Mean Square Error. Lokasi Pos Hujan Otomatis
PT. Berau Coal (LMO) dan Pos Hujan Bandara Kalimarau dapat dilihat pada Gambar-1. Peta
Lokasi Pos Hujan Otomatis sekitar PT. Berau coal.
393
Lokasi Pos Hujan Site LMO
N: 564081 E : 249407
Gambar 1. Peta Lokasi Pos Hujan Otomatis sekitar PT. Berau coal
394
TINJAUAN PUSTAKA
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Adapun rumus umum
intensitas hujan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
𝑅
𝐼= (1)
𝑡
Rumus Talbot dikemukakan oleh professor Talbot pada tahun 1881. Adapun rumus tersebut :
𝑎
𝐼= (2)
𝑡+𝑏
∑(𝐼).∑(𝐼.𝑡)−𝑁.∑(𝐼2 .𝑡)
𝑏= (4)
𝑁.∑(𝐼2 )−∑(𝐼).∑(𝐼)
Rumus Sherman dikemukakan oleh professor Sherman pada tahun 1905. Adapun rumus
tersebut :
𝑎
𝐼= (5)
𝑡𝑛
10
∑(log 𝐼).∑(log 𝑡)2 −∑(log 𝑡.log 𝐼).∑(log 𝑡)
𝑎=[ ] (6)
𝑁.∑(log 𝑡)2 −∑(log 𝑡).∑(log 𝑡)
Rumus Ishiguro ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro tahun 1953. Adapun rumus tersebut :
𝑎
𝐼= (8)
√𝑡+𝑏
∑(𝐼.√𝑡).∑(𝐼)−∑(𝐼 2 .√𝑡)
𝑏= (10)
𝑁.∑(𝐼 2 )−∑ 𝐼.∑ 𝐼
dengan :
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
N = banyaknya data.
Uji Peak-Weight Root Mean Square Error (RMSE) digunakan untuk membandingkan semua
ordinat-ordinat, perbedaan kuadrat dan nilai dari perbedaan-perbedaan kuadrat dari besaran
besaran yang diperoleh. Nilai tersebut diberikan untuk masing-masing ordinat yang sesuai
dengan besarnya ordinat. Adapun rumus fungsi ini (US Army Corps of Engineers, 2000), adalah
sebagai berikut :
395
1
1 2 𝐼0 (𝑖)+𝐼0 (𝑚𝑒𝑎𝑛) 2
𝑍={ . [∑(𝐼0 (𝑖) − 𝐼𝑠 (𝑖)) ( )]} (11)
𝑁𝐼 2𝐼0 (𝑚𝑒𝑎𝑛)
dengan :
METODE PENELITIAN
1. Studi Literatur
2. Survei dan Pengumpulan Data
3. Analisis dan Pembahasan
Analisis yang dimaksud adalah menganalisis frekuensi data curah hujan jam-jaman dan
menghitung intensitas hujan menggunakan metode Talbot, Sherman dan Ishiguro. Sedangkan
pembahasan yang dimaksud adalah membandingkan hasil perhitungan intensitas hujan antara
hasil pengukuran dengan metode Talbot, Sherman, Ishiguro sehingga didapatkan metode
intensitas hujan yang sesuai dengan karakteristik data pos Hujan Otomatis PT. Berau Coal.
Langkah dalam studi ini dirangkum dalam bagan alir kajian yang dapat dilihat pada Gambar
2.
PEMBAHASAN
Hasil analisis frekuensi data pos hujan Otomatis PT. Berau Coal adalah intensitas hujan tiap
durasi dengan kala ulang tertentu. Besaran intensitas hujan untuk kala ulang T tahun (XT)
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Besaran Intensitas Hujan (mm/jam) Kala Ulang T Tahun (XT) Durasi 60, 120, 180,
240, 300 dan 360 menit
Periode Durasi Hujan (menit)
Ulang
No
Hujan 60 120 180 240 300 360 420 480
(Tahun)
1 2 31.82 24.21 17.17 13.28 11.17 9.11 7.54 4.90
2 5 38.83 28.64 21.31 16.96 14.11 12.06 10.39 7.79
3 10 43.85 31.86 24.54 19.87 16.44 14.24 12.45 10.26
4 20 48.95 35.16 28.02 23.03 18.98 16.48 14.57 13.12
5 25 50.63 36.25 29.20 24.12 19.85 17.23 15.27 14.14
6 50 56.00 39.75 33.12 27.73 22.75 19.66 17.53 17.67
7 100 61.67 43.46 37.45 31.77 25.99 22.27 19.93 21.82
Sumber : Hasil Perhitungan
396
Mulai
Studi Literatur
Analisis Frekuensi
Kseimpulan
Selesai
Konstanta intensitas hujan metode Talbot, Sherman dan Ishiguro dihitung berdasarkan besaran
intensitas hujan yang tertera pada Tabel 1 dengan memasukkan data tersebut di rumus (3), (4),
(6), (7), (9) dan (10). Hasil perhitungan konstanta intensitas hujan metode Talbot, Sherman dan
Ishiguro untuk kala ulang selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 2.
397
Tabel 2. Hasil Perhitungan Konstanta-Konstanta Intensitas Hujan Menggunakan Metode
Talbot, Sherman dan Ishiguro Kala Ulang 2, 5, 10, 20, 25, 50, dan 100 tahun
Konstanta
Kala Ulang
Talbot Sherman Ishiguro
(Tahun)
a b a n a b
2 3,422.45 37.97 400.92 0.64 173.14 -1.45
5 4,333.84 27.80 693.64 0.69 222.79 -1.83
10 4,947.85 18.76 1,117.73 0.74 258.73 -2.19
20 5,598.49 10.95 1,863.33 0.81 298.52 -2.51
25 5,825.50 8.78 2,209.77 0.83 312.77 -2.60
50 6,610.90 3.12 3,814.91 0.90 363.46 -2.83
100 7,556.87 -1.09 6,734.46 0.98 427.20 -3.00
Sumber : Hasil Perhitungan
Hasil perhitungan intensitas hujan menggunakan metode Talbot untuk durasi dan kala ulang
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil perhitungan intensitas hujan menggunakan metode Sherman untuk durasi dan kala ulang
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil perhitungan intensitas hujan menggunakan metode Ishiguro untuk durasi dan kala ulang
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.
398
Tabel 5. Hasil Perhitungan Intensitas Hujan (mm/jam) Menggunakan Metode Ishiguro
Durasi Kala Ulang (Tahun)
(Menit) 2 5 10 20 25 50 100
60 27.48 37.65 46.60 57.06 60.82 73.99 90.04
120 18.21 24.41 29.53 35.37 37.45 44.76 53.71
180 14.46 19.23 23.05 27.38 28.93 34.34 41.02
240 12.33 16.31 19.46 23.00 24.27 28.71 34.20
300 10.91 14.38 17.10 20.16 21.25 25.09 29.83
360 9.88 12.99 15.42 18.14 19.11 22.52 26.75
Sumber : Hasil Perhitungan
Hasil perhitungan uji peak-weighted root mean square error antara intensitas hujan hasil
pengukuran dan intensitas hujan ketiga metode untuk kala ulang 2, 5, 10, 20, 25, 50 dan 100
tahun selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Uji Peak-weighted root mean square error Intensitas Hujan antara Hasil
Pengukuran dan Metode Untuk Kala Ulang 5, 10, 20, 25, 50 dan 100 Tahun
Kala Ulang Z
No
(Tahun) Talbot Sherman Ishiguro
1 2 0.37 1.23 1.68
2 5 0.49 1.49 2.60
3 10 0.81 1.89 4.46
4 20 1.83 3.33 9.54
5 25 2.42 4.02 12.81
6 50 5.88 7.01 34.81
7 100 15.01 11.90 115.10
Sumber : Hasil Perhitungan
Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat diambil kesimpulan bahwa metode yang paling representatif
(ditunjukkan dengan nilai Z yang kecil) adalah metode Talbot untuk kala ulang hujan 2, 5, 10,
20, 25,50 tahun dan metode Sherman untuk kala ulang 100 tahun.
Tabel 7. Rumus Metode Intensitas Hujan untuk Kala Ulang 2, 5, 10, 20, 25, 50 dan 100
Tahun
Kala Ulang Konstanta
No Metode Rumus Rumus
(Tahun) a b
3422,45
1 2 3,422.45 37.97 𝐼=
(𝑡 + 37,97)
4.333,84
2 5 4,333.84 27.80 𝐼=
(𝑡 + 27,80)
4.947,85
3 10 𝑎 4,947.85 18.76 𝐼=
(𝑡 + 18,76)
Talbot 𝐼=
(𝑡 + 𝑏) 5.598,49
4 20 5,598.49 10.95 𝐼=
(𝑡 + 10,95)
5.825,50
5 25 5,825.50 8.78 𝐼=
(𝑡 + 8,78)
6.610,9
6 50 6,610.90 3.12 𝐼=
(𝑡 + 3.12)
𝑎 6.734.46
7 100 Sherman 𝐼= 6,734.46 0.98 𝐼=
(𝑡 𝑛 ) (𝑡 0.98 )
Sumber : Hasil Perhitungan
399
Tabel 8. Intensitas Hujan (mm/jam) dengan Metode talbot untuk Berbagai Kala Ulang
Penerapan hasil analisa pemilihan metode intensitas hujan yang sesuai dengan karakteristik data
hujan ini antara lain : Penetuan dimensi spillway Pit E1-G1 Sambarata Mine Operation,
Penetuan dimensi kolam sediment Pond (WMP), Penetuan dimensi saluran terbuka.
400
Gambar 4. Saluran Geomembrane Pit T-2, SMO
401
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara
lain:
1. Metode perhitungan intensitas hujan yang paling sesuai dengan karakteristik data
stasiun Hujan stasiun Otomatis PT. Berau Coal untuk kala ulang 2, 5, 10, 20, 25 dan 50
tahun adalah metode talbot.
2. Metode perhitungan intensitas Hujan yang paling sesuai dengan karakteristik data
stasiun hujan Otomatis PT. Berau Coal untuk kala ulang 100 tahun adalah metode
sherman.
3. Penerapan metode perhitungan tersebut pada tambang PT. Berau Coal selama ini sangat
layak, belum pernah terjadi ketidakmampuan hidraulis (hydraulic adequency).
DAFTAR PUSTAKA
Suripin, Dr. Ir, (2004) Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit ANDI
Yogyakarta
Nugroho Hadisusanto, Dr, Ir, Drs, Dipl. H, (2011) Aplikasi Hidrologi, Penerbit Jogja
Mediautama Yogyakarta
Hanafi, (2013) Kajian dan Rekomendasi Hidrologi untuk Desain Sediment Pond WMP
PQRT 1, LMO, Arsip intenal (tidak diterbutkan)
Hanafi, (2012) Kajian Hidrologi saluran Geomembrane Low wall - site wall Pit T-2 SMO,
Arsip Intenal (tidak diterbitkan)
402
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstract
Keywords : Bauxite Mining, Integrated Quality Control Sistem, Macro Sistem, Micro Sistem,
Upstream Process, Downstream Process, Grade Control, Quality Assurance, Blending
Strategy, Ore Feed, CGA Plant
403
I. Pendahuluan
Antam merupakan salah satu BUMN yang bergerak di sektor pertambangan. Dengan
wilayah operasi yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, Antam melakukan kegiatan
berbasis pertambangan dari hulu ke hilir, mulai dari eksplorasi, penggalian, pengolahan,
hingga pemasaran bijih nikel, feronikel, emas, perak, bauksit, dan batubara. Perusahaan ini
memiliki pelanggan jangka panjang setia yang terletak di Eropa dan Asia. Karena luasnya
wilayah eksplorasi serta sumber daya yang sangat besar, Antam telah membentuk beberapa
anak perusahaan dengan mitra internasional untuk mengembangkan sumberdaya bijih yang
ada menjadi tambang yang bersifat menguntungkan.
Untuk visi ke depan, tujuan Antam langsung diarahkan pada peningkatan nilai
pemegang saham melalui penurunan biaya serta memperluas wilayah operasi secara
berkelanjutan. Antam fokus pada mempertahankan bisnis inti di komoditas nikel, emas, dan
bauksit dengan maksud untuk memaksimalkan output dalam rangka meningkatkan
pendapatan serta menurunkan biaya per unit. Selain itu, Antam juga berencana untuk
mempertahankan pertumbuhan melalui proyek ekspansi terpercaya, aliansi strategis,
peningkatan kualitas cadangan, dan penambahan nilai dengan bergerak menjauh dari menjual
bahan baku dan meningkatkan kegiatan pengolahan. Di sisi lain, Antam juga akan terus
mempertahankan kekuatan finansialnya. Dengan menghasilkan profit sebanyak mungkin,
Antam dapat memastikan akan memiliki dana yang cukup untuk membayar hutang, mendanai
pertumbuhan, dan membayar dividen bagi para pemegang saham.
Menindaklanjuti kebijakan pemerintah terkait larangan ekspor bijih pada bulan Januari
2014, Antam berkomitmen untuk meningkatkan nilai tambah mineral dengan cara
membangun pabrik pengolahan. Pada komoditas bauksit, dilakukan pembangunan Chemical
Grade Alumina (CGA) plant, yang mengolah bauksit menjadi alumina. Untuk menyuplai
pabrik pengolahan tersebut, diperlukan strategi khusus dalam pengelolaan operasional
tambang. Melihat kondisi harga komoditas yang semakin turun, tentunya dibutuhkan
penerapan operasional tambang yang lebih efisien, dengan biaya lebih rendah, dan efektif,
sesuai dengan output produk yang dibutuhkan. Selain kuantitas atau tonase, kualitas juga
menjadi salah satu faktor penting dalam menunjang kelancaran operasional pabrik. Adapun
target kualitas suplai pabrik tahun 2015 untuk kadar Al2O3 minimum sebesar 50,16% dan
R.SiO2 maksimum sebesar 3,84%. Agar target tersebut dapat dicapai, dilakukan penerapan
sistem quality control terpadu dalam proses penambangan bauksit. Melalui metode ini
diharapkan dapat diperoleh target feed suplai CGA plant sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditetapkan.
404
Gambar 1: WIUP Tambang Bauksit Tayan
405
material ore yang akan menjadi feed washing plant (WP). Di WP, ore dicuci dan mengalami
proses konsentrasi. Produk WP (yang disebut washed bauxite atau WBx) kemudian
disampling dan ditumpuk di Exportable Fine Ore (EFO) stockyard untuk selanjutnya
dipersiapkan untuk suplai ke CGA plant. Adapun bagan dari siklus penambangan dapat
ditunjukkan sebagai berikut
406
dapat berjalan efektif dan efisien. Rencana 5 tahunan inilah yang dijadikan
acuan awal oleh UBPB dalam membuat rencana penjadwalan produksi dan
blending tahunan hingga mingguan.
b. Proses Hilir
Berdasarkan rencana penjadwalan produksi 5 tahunan, UBPB
menetapkan rencana blending tahunan, bulanan, dan mingguan. Disini terjadi
siklus yang tidak terputus dimana apabila terdapat kendala rencana blending
mingguan, dapat dilakukan perubahan rencana pada rencana blending bulanan.
Begitu juga dengan rencana blending bulanan terhadap tahunan.
Adapun proses quality control secara makro dapat disampaikan sesuai gambar dibawah ini
b. Quality Assurance
Melanjutkan proses di hulu, quality assurance bertanggung jawab untuk
memastikan proses transfer ore hasil produksi sesuai dengan standar yang telah
407
ditetapkan sehingga sesuai spesifikasi yang diminta. Wilayah kerja quality
assurance dimulai dari output washing plant sampai dengan stockyard pabrik.
Setelah keluar dari washing plant, WBx ditumpuk di EFO stockyard dengan
sublot 1,500 per tumpukan. Di sini dilakukan proses blending akhir sebelum
WBx disuplai ke pabrik. Berdasarkan blending plan mingguan/bulanan, WBx
diangkut, disampling, dan ditimbang di jembatan timbang. Terakhir, WBx
didumping di lokasi stockyard pabrik.
Origin Month Pile Code Tonase Al2O3 Fe2O3 T-SiO2 R-SiO2 TiO2 LOI MC Ket
Cum Cum Cum Cum 80,183 51.11 14.77 7.01 3.76 1.01 24.14 11.25
Origin Month Pile Code Tonase Al2O3 Fe2O3 T-SiO2 R-SiO2 TiO2 LOI MC Ket
HG2 Feb DAY56 240215-WBX-ICA-HG2-1-DAY56 1,393 51.31 16.08 4.52 2.29 1.21 28.26 10.40 Sent
HG2 Mar DAY56 240215-WBX-ICA-HG2-1-DAY56 127 51.31 16.08 4.52 2.29 1.21 28.26 10.40 Sent
HG2 Mar DAY57 070315-WBX-ICA-HG2-1-DAY57 1,512 52.05 16.23 4.72 3.26 1.25 28.02 9.72 Sent
HG1 Mar DAY59 100315-WBX-ICA-HG1-1-DAY59 1,504 52.53 14.10 5.10 4.10 1.06 28.46 11.06 Sent
HG1 Mar DAY60 110315-WBX-ICA-HG1-1-DAY60 1,504 53.02 13.66 4.82 3.73 1.02 28.15 10.32 Sent
MG1 Mar DAY61 120315-WBX-ICA-MG1-1-DAY61 1,505 50.86 17.09 6.31 4.85 1.23 26.35 10.44 Sent
MG1 Mar DAY62 120315-WBX-ICA-MG1-1-DAY62 1,538 49.35 15.36 10.56 5.24 1.10 26.07 9.50 Sent
HG1 Mar DAY63 130315-WBX-ICA-HG1-1-DAY63 1,515 52.28 15.67 5.02 3.98 1.10 28.51 9.99 Sent
HG5 Mar DAY64 180315-WBX-ICA-HG5-1-DAY64 1,520 51.96 16.18 5.70 3.85 1.10 27.87 10.48 Sent
HG5 Mar DAY65 170315-WBX-ICA-HG5-1-DAY65 1,505 51.76 13.25 5.30 4.16 0.91 28.21 10.77 Sent
HG5 Mar DAY66 190315-WBX-ICA-HG5-1-DAY66 1,518 51.91 14.37 5.28 3.69 1.03 28.46 10.02 Sent
HG1 Mar DAY67 200315-WBX-ICA-HG1-1-DAY67 1,514 51.93 14.17 5.11 4.15 1.03 28.14 10.75 Sent
HG1 Mar DAY68 230315-WBX-ICA-HG1-1-DAY68 1,500 52.29 14.62 5.06 3.59 1.09 28.18 10.92 Sent
HG7 Apr DAY69 100415-WBX-ICA-HG7-1-DAY69 1,515 52.21 13.01 7.56 6.08 0.92 27.74 10.53 Sent
HG7 Apr DAY70 110415-WBX-ICA-HG7-1-DAY70 1,521 51.82 13.61 6.52 4.71 0.89 27.73 11.56 Sent
HG5 Apr DAY71 130415-WBX-ICA-HG5-2-DAY71 1,517 52.21 14.72 6.46 4.99 1.01 27.71 10.58 Sent
Adapun proses quality control yang diaplikasikan di UBPB dapat dilihat sesuai gambar
berikut
Dengan melihat sistem quality control terpadu yang telah diterapkan di atas, dilakukan
fungsi control terhadap realisasi suplai pabrik berdasarkan target kualitas yang ditetapkan di
awal tahun. Adapun spesifikasi kadar target feed untuk kadar Al2O3 minimum sebesar 50,16%
dan R.SiO2 maksimum sebesar 3,84%. Sampai dengan bulan Juli 2015, diperoleh realisasi
408
suplai CGA plant dengan kadar Al2O3 dan R.SiO2 masing-masing 51,05% dan 3,79%.
Pencapaian ini sudah sesuai dengan target kadar feed CGA plant yang dibutuhkan.
V. Summary
Aplikasi sistem quality control terpadu merupakan rangkaian kegiatan yang berperan
penting dalam mencapai sasaran mutu dalam proses penambangan. Melalui metode ini, kadar
output penambangan dapat direncanakan secara detail dan terperinci bahkan sejak kegiatan
penambangan di lokasi tersebut belum beroperasi. Ketika operasi penambangan mulai
berjalan, metode ini dapat memberikan dampak yang cukup signifikan dalam hal efisiensi
biaya penambangan dan optimisasi cadangan. Proses penambangan juga dapat berlangsung
lebih efektif sebab lokasi yang akan ditambang sudah direncanakan dengan matang. Di
samping hal tersebut, melalui proses ini customer satisfaction index juga dapat ditingkatkan
karena pabrik dapat memperoleh suplai feed dengan spesifikasi sesuai kebutuhan. Dengan
menerapkan sistem quality control terpadu, peranan tambang dalam menunjang suplai feed
pabrik dapat berjalan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
- PT ANTAM (Persero) Tbk, 2014. Feasibility Study Report. Jakarta: Mineral Resource
Development Division
- PT ANTAM (Persero) Tbk, 2003. Tayan Chemical Alumina Project Feasibility Study
Report. Japan: Mizuho Corporate Bank, Ltd.
- Parabi, Iqbal. 2014. Perbedaan Quality Assurance dan Quality Control.
http://iqbalparabi.com. Diakses pada 3 September 2015.
- Armunanto. 2013. Pengertian QC.
https://qifconsultant.wordpress.com/2013/06/12/pengertian-qc. Diakses pada 3
September 2015.
- Hayu, Intannisa. 2014. Coal Quality Supply Chain Management. PT Adaro Indonesia
- Pascal, John Irawan. 2014. Perbedaan antara Quality Assurance dan Quality Control.
http://mengenaldasarqualitycontrol.blogspot.co.id/2014/07/perbedaan-antara-quality-
assurance-dan.html. Diakses pada 3 September 2015
409
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Dalam bisnis penambangan batubara selain faktor kuantitas, faktor kualitas juga
merupakan Parameter atau tolak ukur keberhasilan dalam suatu proses penambangan. Kuantitas
produksi yang tinggi tetapi tidak diikuti oleh kualitas yang baik akan menurunkan nilai (value)
dari produk. Untuk menjaga kualitas batubara dilakukan sistem pengendalian mutu terhadap
pengaruh bahan pengotor (impurities).Dalam hal ini batupack (carbonaceous silicified
siltstone) yang memiliki pola penyebaran tidak menerus (lenses)merupakan fokus impurities
yang penulis maksud.
Paper ini menggambarkan praktek pelaksanaan kontrol mutu atau kualitas batubara
dengan penentuan pola penyebaran batupacksecara actual berdasarkan keberadaan batupack
(lenses)tiap periode (per bulan) kemajuan tambang.
Pola penyebaran yang diketahui, kemudian dapat dijadikan landasan dalam pembagian
zona frekuensi batupack yang dimulai dari posisi insitu pit tambang.Zona frekuensi yang akurat
kemudian dapat dijadikan acuan dalam penentuan strategi pemisahan batupack dari batubara
yang dibutuhkan.
Kata kunci : pengendalian mutu, praktek pelaksanaan kontrol mutu, penyebaran batupack,
zona frekuensi, strategi pemisahan
410
1. Latar Belakang
Energi sumberdaya alam menjadi suatu kebutuhan penting untuk menunjang kegiatan
perindustrian. Tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan energi oleh suatu perusahaan tambang
batubara menjadi acuan perlunya dilakukan kegiatan penambangan. Penambangan batubara
dengan kualitas yang memadai merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan energi
yang diperlukan.Suatu perusahaan tambang batubara dengan izin usaha tertentu memiliki
kebutuhan dengan kriteria kualitas batubara yang berbeda-beda.Hal ini kemudian menjadi
acuan bagi perusahaan penambangan (owner) untuk melakukan pengendalian kuantitas dan
kualitas batubara sesuai permintaan.
Dalam penambangan batubara seringkali dijumpai kendala dalam pengendalian mutu/
kualitas batubara tersebut. Hal ini menjadi sangat penting diperhatikan, karena berpengaruh
terhadap kuantitas berdasarkan jenis kualitas batubara (calorific variable) yang dibutuhkan.
Adapun kendala yang muncul khususnya pada tambang terbukaPT. Bukit Asam (Persero) Tbk
Unit Pertambangan Tanjung Enim adalah kemunculan batupack sebagai pengotor (impurities)
pada hampir semua lapisan batubara baik secara lateral berupa perlapisan (keybed) maupun
fragmen-fragmen melensa (lenses/spotty). Keberadaan batupack yang bersifat melensa pada
suatu seam batubara menjadi faktor utama sulitnya melakukan pengendalian terhadap proses
penambangan pada frontgalian tambang. Hal ini diperparah dengan adanya keluhan terhadap
kerusakan alat-alat pengolahan batubara yang dapat mempengaruhi optimalisasi pengolahan
bahan galian. Berdasarkan keadaan tersebut maka perlu dilakukan pemetaan untuk menentukan
pola penyebaran batupack tersebut dalam setiap seam batubara yang diproduksi.
Penentuan pola penyebaran batupack dilakukan dengan metode pemetaan (mapping) pada
setiap lapisan batubara baik secara lateral maupun vertikal. Pemetaan dilakukan secara periodik
berdasarkan kemajuan tambang tiap bulannya. Keberadaan dan posisi batupack (tebal, panjang,
kemenerusan) yang ditemui tiap bulannya menjadi acuan penentuan pola penyebaran batupack
dan menjadi informasi aktual bagi para pengawas penambangan dan operator alat berat untuk
dapat melakukan penambangan secara selektif (selective mining) sehingga mengurangi volume
batuan pengotor (batupack) yang terangkut ke stockpile dan menghindari terjadinya kerusakan
pada fasilitas penanganan batubara (coal handling facilities).
3. Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam rangka pengendalian mutu batubara dan optimalisasi
fasilitas penanganan batubara diprioritaskan pada daerah IUP OP Tambang Air Laya
(garisbatas warna kuning) dengan luasan 7.621 Ha dan IUP OP Banko Barat (garis batas
warna biru) dengan luasan 4.500 Ha yang merupakan bagian dari IUP OP PT. Bukit Asam
(Persero) TbkUPTE (Gambar 1). Kegiatan pengambilan data hanya terfokus pada daerah front
tambang saja.
411
Gambar 1.Daerah penelitian batupack IUP OPTAL (garis batas warna kuning) dan
IUP OP Banko Barat (garis batas warna biru) (Citra Satelit, 2014).
4. Stratigrafi Regional
Lokasi penelitian terletak pada cekungan Sumatera Selatan. Daerah cekungan ini meliputi
daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier
Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tiga puluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung. Menurut Gafoer.
dkk (1986), urutan stratigrafi dari tua ke muda :
- Kikim Tuff
- Formasi Lahat
- Formasi Talang akar
- Formasi Baturaja dan Formasi Gumai
- Formasi Benakat
- Formasi Muara Enim
- Formasi Kasai
- Alluvial
Daerah penelitian termasuk ke dalam Formasi Muara Enim, dimana menurut Gafoer
(1986). Formasi Muara Enim terdiri atas batulempung, batulanau, dan batupasir tufaan dengan
sisipan batubara. Batulempung, berwarna kelabu, kecoklatan; berlapis; lunak sampai agak
padat, mengandung bahan karbonan. Batulanau dan batupasir tufaan, berwarna putih, kelabu,
kekuningan, lunak,berlapis tipis-tebal, mengandung komponen kuarsa, feldspar, kepingan
batuan dan karbonan.
412
Gambar 2. Stratigrafi regional daerah Tanjung Enim (tanpa skala)
(Bamco, 1983 ; Gafoer et. Al, 1986).
413
(>256 mm), secara lateral tersebar melensa pada lapisan batubara dan pada atap (roof) seam
A2 berbentuk lapisan (layer) yang berfungsi sebagaikey bed.
Secara mikroskopis (analisis petrografi) terhadap 5(lima) contoan batupack di daerah
TAL (2 contoan batuan) dan Banko Barat (3 contoan batuan) berupa sayatan tipis yaitu
coklat kehitaman, memperlihatkan bidang laminasi, komposisi tersusun oleh mineral
karbon (rata-rata 40%) sebagai mineral utama, mineral silika/quartz (rata-rata 30%),
mineral lempung (rata-rata 24%), dan mineral fe hydroxide/ limonit (rata-rata 16%).
Mineral silika hadir sebagai mineral pengisi dari cleat batubara, dan di beberapa bagian
muncul mineral fe hydroxide (limonite) yang hadir mengisi rongga parting, cleat dan
rekahan batuan (fracture).
Gambar 3.Korelasi penampang vertikal Seam A1 daerah Prebench, MT4 dan Suban
IUP OP TAL (Tambang Air Laya)
Sebaran batupack seam A1 dengan tebal seam batubara (seam thickness) sekitar 10
meterbaik di front Prebench, MT4 dan Suban berada di bawah parting 3, cenderung
menerus dengan jarak rata-rata 1 meter di atas lantai (floor) batubara, berbentuk lensa
(lenses) dengan fragmen menyudut tanggung hingga membundar tanggung (Gambar 3).
414
Gambar 4. Penampang vertikal Seam A2 daerah Prebench, MT4, dan Suban
PIT TAL (Tambang Air Laya)
Sebaran batupack seam A2 dengan tebal (seam thickness) sekitar 9,5 meter baik
dibagian front dari Prebench, MT4 dan Suban berada di 2 posisi atau tempat yaitu batupack
sebagai keybed atau batupack dengan kemenerusan berupa perlapisan(40 cm-50cm di
bawah atap/roof batubara) dan di bawah keybed. Untuk batupack yang berada di bawah
keybed dengan karakteristik lensa teramati 30 cm-100cm. Dapat disimpulkan bahwa batas
aman batubara yaitu 1-1,5 meter di bawah atap (roof) (Gambar 4).
Sebaran batupack seam B1 dengan tebal seam batubara (seam thickness) 9
meterbaik di front Prebench, MT4 maupun Suban secara umum tidak teramati batupack.
MT4 SUBAN
Batupack (Lenses)B2
Sebaran batupack seam B2 dengan tebal (seam thickness) sekitar 4-5 meter baik di
front MT4 maupun Suban berada di bawah parting (clayband) atau 1-1,5 meter di atas
lantai/floor batubara (Gambar 5).
Sebaran batupack seam C dengan tebal seam batubara (seam thickness) sekitar 7-8
meter sangat jarang ditemukan batupack. Keterdapatan batupack yang sangat jarang pada
seam batubara C salah satunya dikarenakan expose coal yang terbatas. Dari pemetaan yang
dilakukan hanya fokus pada daerah MT4 Lingkar 2 dan Prebench.
415
tegak sangat membantu dalam pemetaan penentuan pola penyebaran batupack yang ada
secara aktual. Metode pengambilan data didaerah Banko PIT 3 Timur dilakukan dengan
metode yang sama seperti pada daerah TAL (Prebench, MT4 dan Suban).
Berdasarkan hasil pemetaan terhadap setiap seam batubara IUP OP Banko Barat,
maka didapat kesimpulan sementara yang penulis jelaskan dengan gambar di bawah ini.
Seam A1
Seam A2
Seam B1
Seam B2
Seam C
Seam A1 :
Lebar :± 13 cm
Seam A2 :
Panjang :± 60 cm Lebar :± 14 cm
Interval : rapat (10 cm- 3m Seam B2 :
Panjang :± 70-100cm Lebar : ± 13 cm
Posisi dari lantai : 1m-1,5m Interval :cukup rapat (29 cm-5m) Panjang :± 60 cm
Posisi dari lantai : 0.5m-1m Interval :rapat (10 cm-3m)
Posisi dari lantai :0,4m-1m
Gambar 6. Pola penyebaran batupack pada penampang vertikal seam A1, A2, B1, B2 dan C
IUP Operasi Produksi Banko Barat.
Gambar di atas menjelaskan pola penyebaran batupack pada tiap seam batubara di
Banko Barat Pit 3 Timur. Secara umum keberadaan atau posisi batupack di daerah ini
memiliki persamaan dengan IUP OP TAL. Contohnya pada seam B1 dan C cenderung
jarang bahkan tidak dijumpai batupack.
Sebaran batupack seam A1 dengan tebal sema batubara (seam thickness) sekitar 9,1
meter memiliki pola penyebaran dengan posisi batupack (lenses) yang sama dengan pola
penyebaran pada seam A1 daerah TAL yaitu 1-1,5 meter dari lantai batubara. Lensa-lensa
batupack yang cenderung menerus ditentukan berdasarkan interval batupack yang rapat
(Gambar 6).
Sebaran batupack seam A2 dengan tebal seam batubara (seam thickness) sekitar 9,7
meter memiliki pola penyebaran dengan posisi batupack sekitar 80cm-1m di atas lantai
batubara. Posisi ini berbeda dengan posisi batupack pada seam A2 daerah TAL, namun
dengan tingkat kerapatan yang hampir sama (Gambar 6).
Sebaran batupack seam B2 dengan tebal seam batubara (seam thickness) sekitar 4-
5 meter berada dibawah parting (clayband) atau sekitar 40cm meter di atas lantai (floor)
batubara. Keberadaan batupack yang lebih dekat dengan lantai batubara, sedikit berbeda
dengan posisi batupack seam B2 daerah TAL (Gambar 6).
5.4 Frekuensi Penyebaran Batupack Daerah Tambang Air Laya dan Banko Barat PT.
Bukit Asam (Persero) Tbk.
Keberadaan batupack dengan pola yang telah ditentukan menjadi acuan penting dalam
penentuan strategi pemisahan terhadap batubara yang dibutuhkan, namun untuk
keakuratannya maka perlu dilakukan penentuan frekuensi berdasarkan intensitas
kemunculan batupack pada rentang ukur tertentu.
416
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan pada front galian tambang dengan rentang
ukur atau bentangan horizontal sepanjang 25 meter pada 20 titik pengamatan yang tersebar
di daerah Tambang Air Laya dan Banko Barat didapatkan jumlah batupack (lenses) yang
akan digunakan untuk mengetahui frekuensi umum penyebaran batupack.
Sebelum dilakukan uji statistik terlebih dahulu ditentukan batas nilai untuk variabel
“character”,untuk menentukan intensitas kemunculan batupack pada tiap bentangan 25
meter pada front galian tambang berdasarkan jumlah kemunculan batupack (Gambar 7B),
interval jarak antar batupack dalam rentang 20 cm- 500 cm sesuai dengan kondisi di
lapangan dan asumsi dimensi panjang dari batupack yang melensa tidak lebih dari 2 meter.
Keterkaitan antara intensitas, interval dan dimensi batupack didapatkan dalam bentuk
klasifikasi (Gambar 7A).
A B
Rare
Intermediate
Abundance
0 6 14
Jumlah fragmen (lensa) Batupack
417
front galian, oleh karenanya diperlukan strategi khusus dalam penambangannya. Strategi yang
perlu dilakukan adalah penanganan ketika proses penambangan Batubara di front, dilihat dari
intensitas batupack dan kerapatannya dan juga berdasarkan spesifikasi dimensi bucket
excavator untuk klasifikasi batupack yang jarang (rare) masih relatif aman menggunakan
excavator PC 800 (2.300-2.670mm), sedangkan untuk klasifikasi sedang (intermediete)
menggunakan excavator PC 400 (1.100-1.250mm) atau tipe excavator dibawahnya, begitupula
dengan batupack yang relatif melimpah (abundance) harus lebih hati-hati dalam penggaliannya.
Penanganan yang baik dalam penggalian di front galian, kemudian dapat dilanjutkan pada
penanganan di temporary stockpile hingga life stock. Dalam penanganan terhadap keberadaan
batupack tersebut telah dilakukan 2 metode penyaringan yaitu hand picking dan selective
breaker rotary(SBR). Secara teknis kegiatan penanganan yang sedang berjalan antara lain ;
1. Hand picking yang dilakukan pada jalur konveyor (conveyor belt) dari temporary stockpile
menuju life stock, bahkan juga dilakukan di pelabuhan sebelum dimuat di tongkang/vessel.
2. Pemilahan jenis batubara berdasarkan kualitas yang akan dipisahkan dari pengotor
(impurities/ non coal material) dengan alat selective breaker rotary (SBR), masih dilakukan
secara menyeluruh terhadap ketebalan seam batubara.
3. Pada alat sortir berupa selective breaker rotary (SBR) khususnya di temporary stockpile
IUP OP TAL menggunakan screen filter berdiameter 20 cm dengan muatan 600 ton/jam,
namun dengan mesin rotary motor yang kurang bertenaga dan hanya 1 kali putaran,
sehingga masih banyak pengotor atau batupack yang dapat lewat sampai ke life stock.
4. Pengangkutan batubara sampai ke life stock dengan jalur konveyor dan dump truck (DT).
Hal ini menyebabkan masih banyaknya dijumpai batupack dan berdimensi boulder (> 256
mm).
Berkaitan dengan keadaan tersebut maka perlu dilakukan optimalisasi terhadap langkah-
langkah pengurangan volume pengotor (impurities) khususnya batupack berdasarkan pola
penyebaran yang telah ditentukan sebagai acuan, antara lain ;
1. Pemilahan jenisbatubara berdasarkan kualitas yang akan dipisahkan dari pengotor
(impurities/ non coal material) dengan alat selective breaker rotary (SBR) sebaiknya
dilakukan lebih fokus pada batubara yang mengandung batupack berdasarkan pola
penyebaran yang telah dilakukan.
2. Seperti halnya di IUP OPBanko Barat, penyetaraan spesifikasi alat dan pengolahannya
dapat juga dilakukan pada IUP OP TAL screen filter berdiameter 10cm dan tenaga rotary
motor yang memadai serta proses sortir dilakukan 2 kali putaran. Secara umum langkah ini
diharapkan dapat meminimalisir volume pengotor batupack sampai 30% sampai di Life
Stock.
3. Berdasarkan pola penyebaran batupack yang telah ditentukan dan strategi penggalian,
sehingga di temporary stockpile dapat dibedakan tumpukan batubara yang mengandung
batupack dan tidak mengandung batupack. Pembagian tumpukan batubara tersebut menjadi
acuan dalam proses pengangkutan batubara dari temporary stockpile hingga lifestock.
418
7. Kesimpulan
1. Pola penyebaran umum dari batupack pada seam A1 berada 1-1,5 meter di atas lantai
batubara, seam A2 berada 1 meter di bawah atap batubara (daerah TAL) dan 1 meter di atas
lantai batubara (daerah Banko Barat), seam B2 terpola 1-1,5 meter di atas lantai batubara
(daerah TAL) dan 40cm di atas lantai batubara (daerah Banko Barat). Sedangkan pada seam
B1 dan C cenderung sangat jarang bahkan tidak teramati batupack.
2. Dari uji statistik didapatkan frekuensi penyebaran batupack daerah Tambang Air Laya dan
Banko Baratdidominasi batupack dengan intensitas jarang sebanyak 55%, normal/sedang
sebanyak 35%, sedangkan intensitas melimpah sebanyak 10%.
3. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengurangi volume batupack adalah dengan
melakukan selective mining di front galian, penyortiran manual atau hand picking pada jalur
konveyor (conveyor belt) dari temporary stockpile hingga lifestock, dan secara mekanis
dengan alat selective breaker rotary (SBR) dengan spesifikasi screenfilter 10 cm, rotary
motor yang memadai terhadap muatannya. Pola penyebaran batupack menjadi acuan dalam
pembagian tumpukan batubara yang mengandung batupackdan tidak mengandung
batupackdi temporary stockpile, sehingga proses pengangkutan menuju lifestock dapat lebih
efektif.
8. Daftar Pustaka
Davis, John C., 1973, Statistics and Data Analysis in Geology, Kansas Geology Survey,
Canada
Gafoer, S. Cobrie, T and Purnmo, J, 1986, Peta Geologi Lembar Lahat, Sumatera Selatan,
Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G).Bandung.
G, S, James, 2005, Handbook Coal of Analysis, A John Wiley & Sons, Inc., Publication,
United State of America.
Gofoer et. Al, 1986, Regional Stratigrafy Column of Tanjung Enim (Tanpa Skala), Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G).Bandung.
419
PROSIDING TPTXXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
420
perencanaan penambangan, sehingga dapat diketahui pengaruh masing masing deviasi tersebut
terhadap target EBITDAdi Pit H tersebut.
Kata kunci : perencanaan penambangan , rekonsiliasi , desain , model geologi , deviasi ,
EBITDA
1. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
PT Arutmin Indonesia adalah salah satu perusahaan tambang batubara di Indonesia yang
memperoleh ijin Perjanjian Karya Pengusahaan Penambangan Batubara ( PKP2B ) generasi
pertama pada tahun 1981 dari Pemerintah Republik Indonesia. PT Arutmin indonesia memiliki
lima wilayah pertambangan dengan luas total 59.261,25Ha yang tersebar di wilayah Kalimantan
Selatan, yaitu Tambang Asam Asam, Tambang Kintap, Tambang Satui, Tambang Batulicin, dan
Tambang Senakin.Makalah ini mengambil studi kasus Pit Hsalah satu Pit yang berada di area
konsensi penambangan PT Arutmin Indonesia Tambang Satui ( DU-318 ) dan termasuk bagian
dari Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Gambar 1 dibawah ini menunjukan
daerah usaha yang dimiliki oleh PT Arutmin Indonesia.
421
sangat sensitif terhadap perubahan rencana penambangan. Salah satu parameter keberhasilan
suatu perencanaan penambangan adalah adanya kesesuaian antara perencanaan yang telah dibuat
dengan kondisi aktual di lapangan, sehingga target produksi dan target EBITDA (Earning Before
Interest, Tax, Depreciation & Amortization) yang telah ditetapkan pada awal pembuatan
perencanaan penambangan dapat tercapai.
Secara ideal antara perencanaan tambang dan kondisi aktual dilapangan tidak akan memiliki
perbedaan yang signifikan, tetapi pada kenyataan perbedaan antara perencanaan tambang yang
telah dibuat dengan kondisi aktual dilapangan masih sering kita jumpai. Perbedaan ini
diantaranya disebabkan karena adanya perubahan pada saat pembuatan desain tambang dari
LOM menjadi desain tahunan, adanya perubahan pemodelan geologi, akibat operasional
penambangan, kesalahan data survey ataupun sebab lain nya. Untuk itu diperlukan suatu
rekonsiliasi dari setiap tahap perencanaan penambangan tersebut, sehingga bisa diketahui
deviasi dari masing masing tahapan perencanaan penambangan tersebut.
Tulisan ini akan membahas mengenai proses rekonsiliasi perencanaan tambang yang
pernah dilakukan di Pit H, Tambang Satui PTArutmin Indonesia. Rekonsiliasi dilakukan secara
berurutan dan dititikberatkan pada empat poin rekonsiliasi antara lain rekonsiliasi desain
tambang jangka panjang (LOM) dan desain tahunan, pemodelan geologi,penjadualan produksi
dan kondisi aktual penambangan.Keempat proses ini adalah kegiatan yang saling terintegrasi
satu sama lain dalam proses perencanaan penambangan.Hasil rekonsiliasi dari proses tersebut
dapat dijadikan acuan untuk mengetahui ketidak sesuaian antara rencana penambangan dengan
kondisi aktual dilapangan. Selanjutnya adalah melakukan analisa keekonomian dari deviasi
hasil rekonsiliasi masing masing proses perencanaan penambangan, sehingga dapat diketahui
pengaruh masing masing deviasi tersebut terhadap target EBITDAdi Pit H tersebut.
3. TAHAPAN REKONSILIASI
Dalam makalah ini akan menggunakan studi kasus Pit H yang merupakan salah satu pit
yang ada di Tambang Satui PT Arutmin Indonesia. Data yang digunakan adalah data pemodelan
geologi, perencanaan tambang tahunan, dan penjadualan produksi periode Desember Y1
sampai Desember Y2. Adapun diagram alir urutan pekerjaan rekonsiliasi ini adalah sebagai
berikut :
422
Gambar 02. Diagram Alir proses Rekonsiliasi
2. Tahap Rekonsiliasi.
423
Hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan ini adalah model geologi yang digunakanuntuk
penjadualan produksi haruslah samadengan yang digunakan dalamproses pembuatan face
position. Proses ini dilakukan dengan cara membandingkan tonase batubaradan volume
wastehasil dari perhitungan penjadualan produksidan face position. Secara ideal variansi antara
kedua proses ini adalah sangat kecil atau bisa dikatakan tidak ada. Beberapa factor yang dapat
menyebabkan variansi tersebut antara lainpembuatanface position yang tidak tepat atau
perbedaan parameter dalam pembuatan keduanya. Selain itu penggunaan software yang
berbeda dapat juga menyebabkan perbedaan hasil perhitungan dalam proses tersebut.
Berikut adalah hasil rekonsiliasi antara penjadualan produksi dengan hasil perhitungan face
position.
Tabel 1.
Rekonsiliasi antara penjadualan produksi terhadap desain tahunan
Dari table di atas dapat diketahuai bahwa ada ketidaksesuaian antara angka rencana produksi
pada proses penjadualan produksi dan hasil perhitungan dari rencana desain tahunan (face
position). Ketidaksesuaian untuktonase batubara sebesar 0.29% dan untuk material waste
sebesar 0.9%.
Pada tahap ini akan dilakukan rekonsiliasi antara desain tahunan terhadap hasil perhitungan
dari aktual survey EOM. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara
dua hal tersebut,antara lain :
1. Overcut : Kelebihan penggalian pada pit atau dinding tambang
2. Undercut : Kekurangan penggalian pada area yang sudah di rencanakan
3. Over striping :Kelebihan penggalian pada sisi higwall,sidewall atau area lain
yang
berada di luar area yang sudah direncanakan
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan menghitung tonase batubara dan volume
wastedarirencana desain tahunan (face position). Dimana topografi awal periode digunakan
sebagai batas surfaceatasdan desain rencana tahunan(face position) sebagai batas surface
bawah. Langkah berikutnya adalah menghitung tonase batubara dan volume waste dari aktual
survey penambangan,dimana topografi awal periode digunakan sebagai batas surface atas dan
424
topografi akhir periode kemajuan tambang (EOM survey) digunakan sebagai batas surface
bawah. Pada kasus pit H ini setelah dilakukan perhitungan ternyata ada ketidaksesuaian antara
volume perhitungan face position dan volume perhitungan dari EOM survey. Secara visual
ketidaksesuaian tersebut dapat dilihat dengan cara meng overlayantar topo EOM survey dengan
topo face position.
Gambar 05. Perbandingan rencana face position terhadap actual survey penambangan
Beberapa area yang tidak sesuai dengan dengan perencanaan penambangan inilah yang
menyebabkan perbedaan antara volume hasil perhitungan face position dengan hasil
perhitungan aktual survey EOM.
Tabel 2.
Volume ketidaksesuaian aktual produksi
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ketidaksesuaian antara face position dan perhitungan
survey aktual adalah sebesar 436Kton batubara dan 2,251 Kbcm material waste.
Gambar 06. Penampang melintang perbandingan face position terhadap topo EOM
425
3. Rekonsiliasi model geologi awal dan model geologi baru terhadap aktual survey
penambangan ( Survey roof dan floor lapisan batubara ).
Rekonsiliasi ini sering disebut juga sebagai rekonsiliasi model geologi. Tujuan dari
rekonsiliasi ini adalah untuk mencari variansi antara data pemodelangeologi ( statigrafi) dengan
data aktual penambangan hasil pengambilan survey. Tahap pertama dalam proses rekonsiliasi
ini adalah melakukan perbadingan tonase batubara dan volume waste hasil perhitungan dengan
menggunakan model geologi awal dan model geologi baru. Selisih perhitungan tonase antara
model geologi awal dan model geologi baru biasanya terjadi akibat adanya penambahan data
bor geologi atau penambahan data survey lain nya yang menjadikan model geologi baru ini
semakin akurat dan tingkat kepercayaan terhadap model geologi ini akan menjadi semakin
tinggi. Perbedaan seam batubara antara model geologi awal dan model geologi baru dapat
dilihat seperti gambar berikut.
Proses yang dilakukan selanjutnya adalah membandingkan antara tonase batubara hasil
perhitungan dengan menggunakan model geologi,terhadaptonase batubara hasil perhitungan
data aktual yang didapat dari hasil pengukuran survey. Dengan menggunakan data kemajuan
tambang pada akhir periode atau data EOM (End of month).
Secara visual yang dapat menyebabkan perbedaan tonase batubara antara model geologi dengan
hasil pengambilan data survey dilapangan, dapat dilihat pada gambar berikut
Gambar 08.batubara berdasar model geologi dan batubara hasil pengambilan data survey
Perhitung tonase batubara berdasar model geologi dapat dilakukan dengan menggunakan
metode penampang (cross section). Tetapi pada kasus model geologi yang kompleks maka
seorang engineer geologi biasanya menggunakan alat bantu perangkat lunak khusus untuk
pemodelan geologi. Sedangkan untuk perhitungan tonasebatubara hasil pengukurn survey,
426
dilakukan dengan cara mengumpulkan data roof-floor semua lapisan batubara yang di
akumulasikan dalam satu periode rekonsiliasi (Satu tahun).Kemudian masing masingroof-floor
tersebut dihitung volumenya berdasar luas dan ketebalanmasing masing lapisan batubara.
Sedangkan utuk mendapatkan tonase batubara, maka hasil perhitungan volume tadi dikalikan
dengan berat jenis dari batubara itu sendiri. Secara visual perhitungan tonasebatubara dari hasil
pengambilan data survey dapat di lihat pada gambar berikut.
Berikut adalah hasil rekonsiliasi batubara antara model geologi awal,model geologi baru dan
hasil perhitungan dari data survey.
Dilihat dari tabel rekonsiliasi batubara diatas, menunjukan adanya perbedaan tonase antar hasil
perhitungan dengan menggunakan model geologi awal dan model geologi baru sebesar 1.89 %.
Selisih tonaseantara hasil perhitungandata survey aktual dengan hasil perhitungan dengan
menggunakan model geologi awal adalah sebesar 2.32 %. Sedangkan selisihtonase antara data
survey aktual dengan hasil perhitungan dengan model geologi baru adalah sebesar 0.39%.
427
tidak dilakukan pengambilan data survey ataupun data survey yang sudah di ambil hilang,
Khususnya pengambilan data survey di roof dan floor batubara sebelum dilakukan coal getting.
Apabila hal ini terjadi maka akan berpengaruh terhadap perhitungan tonase batubara,dimana
apabila data roof ataupun floor batubara ini tidak ada (roof floor data missing) maka batubara
tersebut tidak akan terhitung tonase nya dalam perhitungan survey. Cara paling mudah untuk
memastikan ada tidak nya roof floor data missing adalah dengan mengumpulkan data roof
floor semua seam batubara selama satu periode. Dari situ dapat dilihat seam seam mana saja
yang tidak terambil oleh survey.
Gambar 10. roof & floor batubara yang tidak terambil oleh survey
Selain karena kesalahan survey,hilang nya dataroof dan floor ini juga bisa dikarenakan tidak
adanya batubara di area tersebut . Misalnya karena ada struktur geologi yang menyebabkan
ketidak menerusan batubara di daerah tersebut atau juga karena sebab lain. Hal ini dapat
diketahui dari laporan yang dibuat oleh seorang pit geologist pada saat kegiatan coal getting
dilakukan.
Tabel 4.
tonase batubara yang hilang akibat kesalahan data surveyDesember Y1 – Desember Y2
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam periode Desember Y1 sampai Desember Y2 ada
beberapa seam batubara yang tidak terambil data roof dan floor nya oleh survey. Setelah
428
dilakukan perhitungan di masing masing lapisan batubara diketahui ada sekitar 21Kton
Batubara yang tidak terhitung akibat roof floor data missing tersebut.
Dari rangkaian rekonsiliasi yang telah dibuat tersebut,dapat diketahui bahwa masing masing
tahap rekonsiliasi ini memberikan kontibusi terhadap ketidak tercapaian target produksi yang
telah direncanakan. Seperti yang terangkum dalam tabel rekonsiliasi berikut
Tabel 5.
Rangkuman seluruh proses rekonsiliasi
Untuk dapat menentukan besaran EBITDA ini makaharus diketahui terlebih dahuluasumsi
harga batubara sesuai dengan spesifikasi product yang kita miliki serta asumsi biaya
operasional penambangan antara lain pre-striping cost,overburden removal cost,Coal mining
cost , Coal preparation cost, overhaul distance cost,fuel consumption cost,blasting cost,mine
closure cost,barging cost,fixed cost dan biaya operational lain nya.
Setelah asumsiasumsi tersebut diketahui,maka kita dapat menentukan besarnya EBITDA
sesuai dengan target tonase batubara dan volume waste. Selanjut nya hasil rekonsiliasi yang
telah dibuat dapat digunakan untuk menghitung pengaruhdari masing masing tahap
429
rekonsilaiasi tersebut terhadap ketercapaian EBITDA perusahaan. Tabel perhitungan berikut
dapat menunjukan pengaruh hasil rekonsiliasi perencanaan tambang terhadap target
EBITDA.
Tabel 6.
Rekonsiliasi perencanaan tambang dan pengaruhnya terhadap target EBITDA
100% 16%
2% 1% 81%
100% 1% 28%
4%
3% 64%
Gambar 11.
Grafikwaterfall untuk ketercapaiantarget Batubara dan EBITDA
430
KESIMPULAN
Dari rekonsiliasiyang telah dilakukan dapat dilihat bahwa pencapaian Ebitda aktual adalah
sebesar 64%. Sedangkan ketidak tercapain target Ebitda masing masing disebabkan oleh 1%
akibat proses pendetailan design tambang, 28% akibat operasional penambangan,4% akibat
perubahan model geologi, dan 3% akibat penyebab lain nya.
Rangkaian rekonsiliasi ini dapat diterapkan sebagai panduan langkah langkah dalam melakukan
evaluasi perencanaan tambang tahunan. Hasil rekonsiliasi ini juga bisa dipakai untuk
mengidentifikasi tahapan proses pekerjaan sehingga dapat digunakan untuk peningkatan
keakuratan dalam merencanakan kegiatan penambangan.
DAFTAR PUSTAKA
D.G. Newnan, T.G. Eschenbach, J.P. Lavelle, 2004, “Engineering Economic Analysis 9th
Edition”, Oxford University Press, New York
I.C. Runge, 1998, Mining Economics and Strategy, Society of Mining Metallurgy and
Exploration
431
PROSIDING TPT XXIV PERHAPI 2015
ABSTRAK
Penentuan pit limit merupakan tahap awal yang harus dilakukan dalam tahapan penambangan.
Setelah didapatkan pit limit maka tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi penjadualan
produksi. Dalam membuat penjadualan produksi yang baik hal pertama yang dilakukan adalah
menentukan arah penambangan. Salah satu pertimbangan dalam menentukan arah
penambangan adalah factor keekonomisan. Dengan mengasumsikan tidak ada permasalahan
dalam area penambangan seperti masalah lahan, lokasi disposal dan jarak angkut material OB,
maka arah penambangan yang dapat memberikan NPV terbesar merupakan opsi terbaik yang
bias dipilih.
Dalam Paper ini akan diberikan hubungan antara arah penambangan dengan bentuk pit.
Simulasi arah penambangan yang berbeda akan memberikan bentuk pit limit yang berbeda juga.
Hal ini dikarenakan pengaruh dari konsep nilai waktu terhadap uang (time value of money)
dimana blok yang akan ditambang di awal tahun memiliki biaya eskalasi dan factor diskonto
yang lebih kecil dari pada blok yang ditambang di akhir tahun sehingga akan mempengaruhi
keekonomisan dari setiap blok. Dengan menggunakan bahas pemerograman, setiap blok
penambangan tersebut akan dimasukkan parameter-parameter yang sudah mewakili factor
waktu tersebut.
Dalam studi ini akan dibuatkan beberapa simulasi arah penambangan di Pit X yaitu
Dari semua simulasi tersebut akan menghasilkan bentuk pit ekonomis yang berbeda. Dengan
mengasumsikan kualitas deposit dan kapasitas peralatan yang sama, maka dengan melakukan
penjadualan produksi akan memberikan NPV dimana hasilnya dibandingkan dengan hasil dari
penjadualan produksi dari pit ekonomis yang tidak mempertimbangkan arah penambangan.
Hasilnya, NPV dari keempat simulasi tersebut memberikan nilai NPV yang lebih besar
meskipun memberikan cadangan yang lebih kecil. Dari keempat simulasi tersebut dapat
ditentukan opsi mana yang dipilih berdasarkan arah penambangan dengan melihat NPV yang
paling maksimal
Kata kunci : Optimasi, Biaya Eskalasi, Arah Penambangan, Diskonto Aliran Kas, NPV
432
1. Pendahuluan
Seperti yang diketahui bersama bahwa proses perencanaan tambang merupakan suatu proses
iterasi dimulai dari perencanaan eksplorasi sampai kelayakan suatu proyek secara
keekonomian. Begitupula dalam menentukan pit limit. Penentuan pit limit merupakan bagian
yang saling berhubungan dengan dari beberapa strategi penambangan lain seperti penentuan
Break even, penjadualan produksi, pembuatan pit design, dan tentunya batas keekonomisan
suatu proyek penambangan.
Hubungan iterasi antara pit limit dengan strategi penjadualan produksi yang optimal dapat
memberikan nilai keekonomisan yang maksimal. Bentuk pit limit tentunya akan menjadi acuan
dalam menentukan strategi penambangan seperti penentuan kapasitas produksi, umur tambang
dan arah penambangan, dan begitu pula sebaliknya dimana ketika sudah masuk ke tahap
penjadualan produksi maka kita bisa melihat kembali apakah memang pit limitnya masih bisa
dioptimalkan sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal.
Dalam paper ini akan coba dijelaskan langkah-langkah dalam melakukan melakukan suatu
iterasi pit limit dengan penjadualan produksi sampai mendapatkan nilai NPV terbesar dengan
cara melihat dari salah satu strategi penambangan yaitu arah penambangan. Dalam menentukan
arah penambangan biasanya yang menjadi acuan adalah area pembebasan lahan, ketersediaan
disposal , mengoptimalkan jarak angkut serta bentuk rona akhir dari suatu tambang.Selain
pertimbangan di atas, sebenarnya ada faktor yang cukup krusial yaitu faktor nilai waktu
terhadap uang. Blok penambangan yang akan dikerjakan di periode awal penambangan
memiliki biaya eskalasi dan faktor diskonto yang lebih kecil daripada blok penambangan yang
terakhir ditambang.
Kesemua biaya tersebut setiap tahunnya akan terkena faktor eskalasi yang besarnya
diasumsikan sama. Dalam studi ini faktor eskalasi biaya diasumsikan meningkat 3 % setiap
tahunnya. Pada saat pembuatan pit limit, faktor eskalasi biaya tersebut kemudian dapat
didefinisikan ke dalam bentuk surface grid dan selanjutnya diolah untuk menkonversi semua
biaya operasional (waste cost, Mining cost dan processing cost) menjadi biaya operasional yang
tereskalasi. Karakteristik Pit X yang memanjang dan terdiri dari beberapa block penambangan
akan menjadi studi kasus dalam paper ini. Beberapa skenario arah penambangan dengan
menggunakan pit limit hasil optimasi yang menggunakan faktor eskalasi dan skenario pit limit
yang tidak menggunakan faktor eskalasi akan disimulasikan. Untuk pit limit yang
menggunakan faktor eskalasi bentuk pit tentunya akan berbeda di setiap skenarionya. Hal ini
disebabkan berbedanya BESR (Break Even Stripping Ratio) di setiap blok dikarenakan
perbedaan biaya. Selanjutnya dengan melakukan penjadualan produksi dan dengan
mengasumsikan faktor diskonto 10% maka akan memberikan perbandingan nilai NPV yang
dapat memudahkan kita dalam mengambil keputusan suatu proyek yang lebih ekonomis.
433
2. PENGOLAHAN DATA
Sebelum melakukan optimasi ulang dan iterasi beberapa parameter dalam studi ini diasumsikan
tetap yaitu adalah :
Beberapa tahapan yang dilakukan dalam menentukan pit limit berdasarkan arah penambangan
dimulai dengan membuat iterasi antara Pit limit dengan penjadualan produksi dengan mengikuti
diagram alir seperti di bawah ini :
434
Secara detail mengenai proses iterasi penambangan yang dilakukan pada studi kasus ini adalah
sebagai berikut ini :
2.2.1 Membuat Pit limitdan penjadualan produksi menggunakan biaya tanpa eskalasi
Tahap awal yang dilakukan adalah melakukan optimisasi pit seperti pada umumnya dengan
menggunakan metode yang sudah diperkenalkan oleh Lerch Grossman (1965).
Metodealgoritma LG masihberdasarkannilaifixed ekonomiuntuksetiap block. Dengan
memasukkan faktor teknis dan ekonomis dimana harga deposit dan biaya operasional adalah
tetap maka akan terbentuk suatu pit limit dengan BESR yang sama di setiap blok nya. Dari
pit limit yang terbentuk kemudian dibuatkan 4 skenario produksi berdasarkan arah
penambangan dengan asumsi umur tambang 6 tahun dan kapasitas stripping per tahun yang
sama. 4 skenario tersebutyaitu :
Skenario A1 - Arah penambangan dari arah blok barat menuju block timur
Skenario B1 - Arah penambangan dari arah blok timur menuju block barat
Skenario C1 – Arah penambangan dengan dua arah yaitu dari blok tengah pit menuju blok
timur dan blok barat
Skenario D1- Arah penambangan dengan dua arah dari blok timur dan dari blok barat
menuju keblok tengah pit
Seluruh skenario produksi tersebut mengasumsikan bahwa semua pit akan selesai dalam 6
tahun. Dikarenakan bentuk pit limitnya sama maka kapasitas stripping per tahunnya adalah
tetap.
2.2.2 Membuat data eskalasi biaya untuk setiap skenario arah penambangan
Hasil penjadualan produksi dari tahap 2 dapat dibuatkan suatu tabel yang memberikan
hubungan antara blok penambangan yang diambil dengan tahun produksinya. Dari
hubungan tersebut akan bisa diketahui proporsi waste yang terambil di setiap bloknya yang
435
selanjutnya dapat dibobotkan. Ilustrasi di bawah ini adalah contoh urutan penambangan
model 2D setiap periode waktunya yang sudah dimasukkan factor eskalasi dimana sudah
ada angka factor eskalasi yang mewakili setiap bench level dari setiap block.
Urutan penambangan
B01 B02 B03 B04 B05 B06 B07 B08 B09 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
1.00 1.03 1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.06 1.06 1.09 1.09 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12
Urutan penambangan
B01 B02 B03 B04 B05 B06 B07 B08 B09 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00
1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.09 1.09 1.06 1.06 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03 1.03 1.00
Urutan penambangan
B01 B02 B03 B04 B05 B06 B07 B08 B09 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12
Urutan penambangan
B01 B02 B03 B04 B05 B06 B07 B08 B09 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.00 1.00 1.00
1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03
1.03 1.03 1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03 1.03 1.03
1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03
1.03 1.06 1.06 1.09 1.09 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.09 1.09 1.06 1.06 1.03
Dengan menerapkan teknik pembobotan volume waste dari setiap bench level dalams
atu block maka akan didapatkan satu angka factor eskalasi yang mewakili satu block
penambangan secara vertikal.
∑𝑛𝑖=1[𝑉𝑙 𝑥 𝐹𝑒𝑙]
𝐹𝑒𝑏 =
∑𝑛𝑖=1 𝑉𝑙
Feb= Faktor eskalasi per Block
Fel =Faktor eskalasi per block per elevasi
Vl= Kuantitas material per block per elevasi
n = jumlah elevasi dalam satu block
436
Hasilnya factor eskalasi block penambangan di atas akan disederhanakan menjadi seperti pada
gambar 4 dibawah ini (contoh gambar adalah untuk skenario A)
B01 B02 B03 B04 B05 B06 B07 B08 B09 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23
1.00
1.00 1.12
1.00 1.12
1.00 1.12
1.01 1.02 1.02 1.03 1.04 1.05 1.05 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.10 1.11 1.11 1.12
Dimana Ce = Biaya eskalasi per block ; Feb = Faktor eskalasi per block ; Cb = Biaya awal
Maka akan didapatkan biaya eskalasi seperti yang terlihat pada gambar 5 di bawah ini.
B01 B02 B03 B04 B05 B06 B07 B08 B09 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23
10.00 10.00 10.00 10.00 10.08 10.15 10.23 10.30 10.38 10.45 10.53 10.60 10.68 10.75 10.83 10.90 10.98 11.05 11.13 11.20 11.20 11.20 11.20
10.00
10.00 11.20
10.00 11.20
10.00 11.20
10.08 10.15 10.23 10.30 10.38 10.45 10.53 10.60 10.68 10.75 10.83 10.90 10.98 11.05 11.13 11.20
Dalam software penambangan bentuk biaya seperti ini bias dijadikan kedalam bentuk surface
berupa grid. Seperti terlihat pada gambar 6 di bawah ini. Setiap block akan diwakili dengan
nilai dari biaya masing-masing secara vertikal.
B20
B15
B10
B05
B01 Low Wall
Highwall
437
Selanjutnya biaya tersebut akan dijadikan acuan dalam melakukan optimasi ulang guna
mendapatkan batas penambangan yang baru.
2.2.3 Membuat pit limit dan penjadulan produksi dari setiap skenario arah
penambangan
Setelah terbentuk biaya iterasi untuk setiap skenario maka dilakukan optimisasi pit kembali.
Dari hasil pit tersebut kemudian dilakukan penjadualan produksi sesuai skenarionya
yaitudengan mengasumsikan umur tambang 6 tahun dan kapasitas peralatan stripping yang
sama setiap tahunnya.
Untuk 4 skenario produksi berdasarkan arah penambangan hasil pit iterasi yaitu :
Skenario A2- Arah penambangan dari arah blok barat menuju block timur
Skenario B2 - Arah penambangan dari arah blok timur menuju block barat
Skenario C2 - Arah penambangan dengan dua arah yaitu dari blok tengah pit menuju blok
timur dan blok barat
Skenario D2 – Arah penambangan dengan dua arah dari blok timur dan dari blok barat
menuju keblok tengah pit
Gambar7 .Urutan penambangan berdasarkan arah penambangan pit limit hasil iterasi
Untuk setiap skenario penambangan pit X yang disimulasikan pada studi kasus ini dapat
dilihat pada tabelberikut ini
438
3. Analisa Data
Bentuk pit limit hasil iterasi akan berbeda dengan bentuk pit limit sebelum dilakukan iterasi.
Hal ini dikarenakan perubahan batasan BESR (Break Even Stripping Ratio) untuk setiap
bloknya dikarenakan perbedaan input biaya. Peningkatan biaya akan mengakibatkan BESR
menjadi lebih kecil sehingga blok yang dilakukan penambangan lebih awal akan memiki BESR
yang lebih besar daripada blok-blok selanjutnya. Hal itu terlihat dari gambar 8 dan gambar 9
dibawah ini.
439
Untuk penambangan yang dimulai dari arah timur, maka semakin ke barat pit limit hasil
iterasinya akan lebih kecil dibandingkan pit limit originalnya (skenario A2) . Begitupula untuk
skenario penambangan dari arah barat maka semakin ke timur batas pit limit hasil iterasinya
akan semakin kecil (Skenario B2). Sementara untuk skenario penambangan yang dimulai dari
tengah maka semakin menuju kearah kedua sisi pit batas pit limit hasil iterasinya akan semakin
kecil (Skenario C2) dan yang terakhir untuk skenario penambangan dari kedua sisi pit maka
semakin ke tengah batas pit limit hasil iterasinya akan semakin mengecil.
Selain ada perubahan bentuk Pit limit maka tentu saja terjadi perubahan jumlah cadangan dan
SR (Stripping Ratio). Untuk kasus pit X perubahan cadangan batubara dan Stripping Ratio (SR)
dapat dilihat pada gambar 10
440
Gambar 11. Perbandingan kumulatif NPV untuk setiap skenario
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa seluruh skenario yang disimulasikan menunjukkan
bahwa pit limit hasil iterasi akan memberikan NPV yang lebih besar daripada menggunakan
pit limit sebelum iterasi.
Untuk mengetahui penyebab meningkatnya NPV ini maka dapat dilakukan analisa NPV per
blok penambangan. Untuk skenario dengan iterasi akan mengoptimalkan BESR di setiap
bloknya sehingga memberikan kumulatif margin yang lebih tinggi. Pada gambar 12
menunjukkan perbandingan NPV per blok antara skenario tanpa iterasi dan setelah adanya
iterasi. Terlihat bahwa pada skenario tanpa iterasi, blok-blok penambangan yang terakhir
ditambang akan menunjukkan nilai NPV yang rendah dan kebanyakan nilainya negatif.
Dengan dilakukan iterasi maka ada peningkatan NPV di area blok-blok yang terakhir
ditambang sehingga secara keseluruhan memberikan total NPV yang lebih besar.
441
Skenario Penjadualan produksi original Skenario Penjadualan produksi iterasi
Untuk seluruh skenario iterasi pada studi kasus pit X maka skenario A2 yaitu skenario dimana
arah penambangan dari timur memberikan NPV terbesar. Sementara untuk skenario C2 yaitu
dimana arah penambangandari tengah memberikan NPV terkecil
442
4. Kesimpulan
Perencanaan tambang merupakan suatu proses iterasi teknis dan ekonomis agar dapat
memaksimalkan keuntungan suatu perusahaan. Salah satu iterasi yang dilakukan pada studi
kasus ini adalah mengoptimalkan bentuk pit limit berdasarkan pada arah penambangan
sehingga dapat memaksimalkan NPV.
Dari analisa di atas terlihat bahwa metode iterasi ini dapat meningkatkan NPV untuk semua
skenario. Hal ini dikarenakan optimalisasi BESR di setiap blok sehingga ada peningkatan
NPV di setiap blok penambangan.
Metode tradisional yang melakukan analisa perencanaan tambang berdasarkan arah
penambangan menggunakan pit limit yang sama ternyata dapat digantikan dengan metode
iterasi di atas.Arah penambangan dapat menentukan danmempengaruhi bentuk suatu pit
limit sehingga ketika kita ingin mengubah arah urutan penambangannya dikarenakan
sesuatu hal, maka harus dilakukan kembali optimisasi pit dengan cara iterasi.
Daftar Pustaka
- E. Latorre and T.S. Golosinski, 2012 ,Definition of economic pit limits taking into
consideration time value of money, CIM J. 2
- I.C. Runge, 1998, Mining Economics and Strategy, Society of Mining Metallurgy and
Exploration
- Kahar, A, 2014, Penentuan Pit Limit Berdasarkan Eskalasi Biaya, TPT XXIII Perhapi 2014
- Lerchs, H and Grossman, L, 1965. Optimum design of open pit mines, Trans CIM, Vol
LXVIII : 17 -24
- Marinho, A, 2013, Surface Constrained Stochastic Life-of-Mine Production Scheduling.
MSc. Thesis, McGill University, Montreal
- Whittle J, 1988. Beyond Optimization in Open Pit Design, Proc. 1st Canadian Conf. on
Comp. App. in the Mineral Industry, Quebec City
443
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
PT. Bhumi Rantau Energi (PT. BRE) merupakan pemegang Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) Operasi Produksi tambang batubara dengan Surat Keputusan Bupati Tapin nomor
188.45/60/KUM/2010. Area tambang masuk ke dalam Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten
Tapin, Kalimantan Selatan, dengan luas area ± 2,096 hektar dan area yang sudah dieksploitasi
± 600 Ha atau sekitar 30% dari luas IUP.
Di sebelah selatan, IUP PT. BRE berbatasan langsung dengan IUP PT. Energi Batubara
Lestari (PT. EBL) yang merupakan anak perusahaan Hasnur Group. Saat ini kedua belah pihak
sudah pada tahap finalisasi tambang sehingga pada area perbatasan tersebut menyisakan
potensi cadangan batubara yang cukup besar, akan tetapi terbentur oleh batas izin IUP
Penambangan.
Untuk mengoptimalkan sumberdaya batubara yang ada, kedua belah pihak sepakat untuk
melakukan optimalisasi penambangan dengan tujuan memperoleh hasil produksi yang
maksimal, dengan pertimbangan kedua IUP terletak pada formasi gelogi yang sama dengan
bentuk dimensi maupun kualitas batubara tidak jauh berbeda, sehingga dapat mencegah
terjadinya sterilisasi cadangan batubara akibat design tambang dan metoda penambangan
yang berbeda. Hal ini sejalan dengan kaidah Good Mining Practices tentang pentingnya
konservasi sumberdaya.
Oleh karena itu untuk optimalisasi cadangan batubara, maka PT. BRE dan PT. EBL
sepakat untuk melakukan kerjasama penambangan dengan metoda Joint Pit Seam AB di blok
Ambalat. Kerjasama tersebut dituangkan dalam perjanjian berupa “Nota Kesepahaman”
untuk program optimalisasi penambangan yang akan menguntungkan bagi Para Pihak (PT.
BRE dengan PT. EBL).
Dengan demikian diperlukan kerjasama kedua belah pihak dalam melakukan operasi
penambangan yaitu pembagian area kerja tambang, pengaturan jadwal sekuen tambang,
volume overburden maupun batubara serta pengaturan disposal area.
Kata kunci : joint pit
444
Latar Belakang
Namun bagi PT. BRE hal ini dianggap sebagai peluang yang mana saat ini proses
penambangan masih berjalan. Sehingga sangat memungkinkan jika dilakukan kerjasama
simbiosismutualisme antara kedua pihak karena ada beberapa keuntungan yang diperoleh
kedua belah pihak jika kedua pit disatukan, antara lain :
1. PT. EBL tidak kesulitan memperoleh material penutup lubang bekas tambang, sedangkan
PT. BRE tidak kesulitan mencari alokasi buangan material OB.
2. Jarak buang material OB PT. BRE lebih efisien dan sekaligus membantu percepatan
backfilling.
3. Cadangan batubara di perbatasan IUP bias dioptimalkan.
445
Hal ini sejalan dengan sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No.4 Tahun 2009 Ps.
96 ayat d, bahwa dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik (Good Mining
Practices), maka pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan upaya konservasi sumberdaya
mineral dan batubara.
Pit AB, berada di wilayah IUP PT. EBL dengan target kedalaman sampai elevasi-60
meter. Side wall utara berbatasan langsung dengan batas IUP PT BRE. Pit ini terdiri dari 2 seam
utama yaitu Seam A tebal (true thickness) ± 40 meter dan Seam B tebal ± 10 meter dengan
strike N 202⁰ dan dip 22-25⁰. Ditargetkan penambangan di pit ini selesai di tahun 2014 dan ada
kewajiban PT. EBL untuk mengembalikan posisi jalan kabupaten keposisi semula paling
lambat tahun 2015.
Pit Mahoni, berada di wilayah IUP PT. BRE dengan target kedalaman sampai elevasi -80
meter. Pit ini terdiri dari 4 seam utama yaitu Seam A tebal ± 40 meter, Seam B tebal ± 10 meter,
Seam C tebal ± 8 meter dan Seam D tebal ± 14 meter dengan strike N 202⁰ dan dip 23-28⁰.
Saat ini penambangan di Pit Mahoni sudah sampai pada elevasi -50 dpl
446
Topo dan cropline Batubara BRE dan EBL
447
Pembahasan
Sebelum dilakukan kerjasama penambangan ada beberapa tahapan yang harus dilakukan
diantaranya adalah inventarisasi data, validasi data, rencana pit design, perhitungan cadangan,
tahapan penambangan, dan skema kerjasama.
1. Inventarisasi data
Sebelum merancang suatu pekerjaan, proses inventarisasi data sangat diperlukan dengan
tujuan untuk mengumpulkan semua informasi terkait data-data yang diperlukan untuk
perencanaan tambang, diantaranya adalah: topo terakhir, data bor atau roof/floor
batubara, pola aliran air tambang, infrastruktur (bangunan, jalan dll).
2. Validasi data
Tujuan dari validasi data adalah untuk menyamakan persepsi data, terutama titik ikat
(bench mark) pengukuran sehingga perlu transformasi data kedalam satu titik ikat yang
sama sebelum dilakukan pemodelan geologi.
3. Rencana pit design
Rencana design tambang dibuat dengan mempertimbangkan beberapa factor
diantaranya : factor kestabilan lereng (sudut dan tinggi lereng, lebar bench) dan dimensi
untuk ruang kerja alat yang beroperasi (lebar ramp, grade ramp, space front kerja)
448
4. Perhitungan cadangan.
Setelah dilakukan perencanaan pit design maka dapat dihitung volume secara tiga
dimensi baik batubara maupun material OB.
5. Tahapan penambangan
Karena dalam pekerjaan joint pit nantinya ada dua kontraktor yang bekerja, maka untuk
keseimbangan penurunan elevasi harus diatur tahapan-tahapannya, sehingga tidak
menyulitkan operasional salah satu kontraktor.
Tahap Pertama, pekerjaan dilakukan adalah pembuatan akses dan area working space
sehingga sebagian area kerjanya masuk wilayah IUP BRE. Material OB dumping di out
dump EBL. Lama pekerjaan tiga bulan
Tahap Kedua, tahap ini material OB sudah di dumping keeks Pit AB (EBL) sampai RL-
30. Akses penambangan melalui high wall dan low wall eks pit AB. Kontraktor BRE
mengikuti kemajuan penurunan elevasi.
Tahap Ketiga, material OB di dumping keeks Pit AB (EBL) sampai RL-20. Akses
penambangan melalui high wall dan low walleks pit AB. Kontraktor BRE mengikuti
kemajuan penurunan elevasi. Lama pekerjaan tiga bulan
Tahap Keempat, pekerjaan joint pit selesai selanjutnya dilakukan serah terima ke BRE
6. Skema kerjasama
Kedua pihak (BRE dan EBL) sepakat untuk melakukan kerjasama penambangan di area
yang disepakati (blok Ambalat) dengan menunjuk satu Kontraktor Tambang. Karena di
449
masing-masing wilayah masih ada pit aktif dan Kontraktor Tambang yang lain, maka
untuk menyesuaikan dengan rencana kerja masing-masing kontraktor dibuatlah
tahapan-tahapan penambangan, sehingga tidak mengganggu wilayah kerja masing-
masing kontraktor.
Pembagian volume di area kerjasama dihitung berdasarkan pengukuran joint survey di
masing-masing wilayah IUP, dan batubara akan diangkut kemasing-masing pemilik
stockpile dan akan direkonsiliasi oleh kedua belah pihak setiap bulannya.
Segala hal yang menyangkut keamanan operasional kerja menjadi tanggung jawab
masing-masing pemilik IUP.
Kesimpulan
1. Di area perbatasan IUP BRE dan EBL masih ada potensi cadangan batubara sekitar 2,7
juta ton yang bias dioptimalkan oleh kedua belah pihak, sehingga layak untuk dilakukan
kerjasama penambangan. Hal ini sebagai bagian dari konservasi sumberdaya batubara
sehingga tidak ada batubara yang tertinggal sia-sia.
2. Konsep kerjasama adalah mengoptimalkan cadangan yang ada oleh kedua belah pihak
dan pemanfaatan area bekas bukaan tambang EBL oleh BRE sehingga kebutuhan area
untuk out dumping bisa di minimalkan.
3. Pelaksanaan kerjasama penambangan dilakukan secara bertahap menyesuaikan sekuen
kemajuan tambang dan tetap berkaidah pada kaidah Good Mining Practices.
4. Kerjasama tidak berarti melepas tanggungjawab masing-masing pemegang IUP dalam
hal Keselamatan Kerja dan Lingkungan.
Daftar Pustaka
1. _______, 2014, Pre-Feasibility Study Report For Open Cut Coal Mine PT. Bhumi
Rantau Energi, Tapin Regency, South Kalimantan, PT. Britmindo Utama Indonesia
2. _______, 2013, Penyelidikan Geoteknik dan Penyelidikan Hidrogeologi Untuk
Tambang Terbuka Batubara PT Bhumi Rantau Energi, LAPI ITB
3. _______,2009, Undang-Undang Mineral dan Batubara No. 4 Th. 2009
4. _______, 2015, Annual Mine Plan 2015, PT. Bhumi Rantau Energi
450
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES PERHAPI IX 2015
Patar Simbolon
Senior Mining Engineer
Mining One Consultants Pty Ltd
psimbolon@miningone.com.au
Abstract
Mining industry, ranging from exploration, mining, processing, transportation, and marketing,is always
known as a high risk industry. The risk management is important to avoid the losses associated with
those activities. Several layersof study based on the level of accuracy, such as scoping, pre-feasibility,
etc.,areundertaken prior to mining start-up to identify and minimise (or even mitigate) the risks. At the
mining production stage, it is important to maintain the production efficiency and effectiveness to the
expected level to minimise / mitigate the potential losses.
In general, mining production stages are classified to several costing items, but not limited to, as follows:
Topsoil removal;
Drilling and blasting;
Loading;
Hauling;
Ancillary;
Labour;
Fixed Cost/Overhead; and
Capital Cost.
Hauling activity itself would take approximately 20%-30% of the total mining costs, depending on the
haul truck type used and the haulageprofile. The number of haul trucks used will thenbe estimated based
on these two factors.
The study outlined in this paper is the study to estimate the number of haul trucksrequired at Mt. Rawdon
Gold Mine, Queensland, Australia by utilising SurpacMinesched Scheduling software program.
Several parameters and assumptions using in this study are summarised in the following table.
451
Table 1: Project Parameters and Assumptions
The results of the study demonstrate that the required haul trucks over the life of mine are ranging from
4 to 13units, with an average of 9units per annum.
A. Background
Mining industry, ranging from exploration, mining, processing, transportation, and marketing, is always
known as a high risk industry. The risk management is important to avoid the losses associated with
those activities. Several layers of study based on the level of accuracy, such as scoping, pre-feasibility,
etc., are undertaken prior to mining start-up to identify and minimise (or even mitigate) the risks. At the
mining production stage, it is important to maintain the production efficiency and effectiveness to the
expected level to minimise / mitigate the potential losses.
In general, mining production stages are classified to several costing items, but not limited to, as follows:
Topsoil removal;
Drilling and blasting;
Loading;
Hauling;
Ancillary;
Labour;
Fixed Cost/Overhead; and
Capital Cost.
Hauling activity itself would take approximately 20%-30% of the total mining costs, depending on the
haul truck type used and the haulageprofile. The number of haul trucks used will then be estimated based
on these two factors.
452
model, pit staging, disposal and stockpile set-up, material movement, production rate, haul profiles, and
output target (i.e. gold ounces input to mill).
453
Au grade > 1.2 ppm; and
Within dacite lithology.
12 HG_VOLC 10 Material which:
Below the latest topography pick-up data;
Au grade > 1.2 ppm; and
Within volcaniclastic lithology.
In addition, the following ‘quality’ targets are created to accommodate further mine scheduling process:
‘gold’ is the Au grade in ppm unit.
‘silver’ is the Ag grade in ppm unit.
‘gold_recovery’ is the gold recovery number based on the metallurgical test results.
The formula applied for the gold_recovery is (((94.5018 * au_ppm)/(0.0403406 + au_ppm) +
0.25)/100)).
‘gold_oz_recovered’ is the estimated recovered gold from processing plant in ounces unit.
The formula applied for the gold_oz_recovered is block tonnage * gold * gold_recovery /
31.103477.
2. Pit Staging
The pit staging atMt Rawdon Gold Mine consist of 3 (three) stages namely Stage 2, Stage 3 and Stage
4. These pit stages was developed in the previous study. The following figure depicts the pit stages.
454
Table 3: Pit Sub-Stages
No. Stage Name Sub-Stage Name Description
1 Stage 23 Below the latest topography pick-up data;
Between RL000 to RL+030; and
Above Stage 2 Pit Design.
2 Stage 24 Below the latest topography pick-up data;
Between RL-010 to RL000; and
Above Stage 2 Pit Design.
Stage 2
3 Stage 25 Below the latest topography pick-up data;
Between RL-020 to RL-010; and
Above Stage 2 Pit Design.
4 Stage 27 Below the latest topography pick-up data;
Between RL-030 to RL-020; and
Above Stage 2 Pit Design.
5 Stage 31 Below the latest topography pick-up data;
Above RL+030; and
Above Stage 3 Pit Design.
6 Stage 32 Below the latest topography pick-up data;
Between RL-060 to RL+030; and
Stage 3
Above Stage 2 Pit Design.
7 Stage 33 Below the latest topography pick-up data;
From Y coordinate of 7,203,960 to north area;
Above RL+070; and
Above Stage 3 Pit Design.
8 Stage 41 Below the latest topography pick-up data;
Above RL+120; and
Above Stage 4 Pit Design.
9 Stage 42 Below the latest topography pick-up data;
Between RL+040 to RL+120; and
Above Stage 4 Pit Design.
Stage 4
10 Stage 43 Below the latest topography pick-up data;
Between RL-040 to RL+040; and
Above Stage 4 Pit Design.
11 Stage 44 Below the latest topography pick-up data;
Between RL-160 to RL-040; and
Above Stage 4 Pit Design.
Furthermore, each pit stage is divided onto several pit sub-stages as illustrated in the following series of
figures.
455
SUB-STAGE 23 SUB-STAGE 24
SUB-STAGE 25 SUB-STAGE 27
SUB-STAGE 31 SUB-STAGE 32
SUB-STAGE 33
456
SUB-STAGE 41 SUB-STAGE 42
SUB-STAGE 43 SUB-STAGE 44
457
Moreover, stockpiles are set-up based on the following material class as previously explained:
Acid Stockpile to accommodate all the Potential Acid Forming (‘PAF’) material;
HG Stockpile to accommodate all the High Grade Ore material;
OG Stockpile to accommodate all the Medium Grade Ore material;
LG Stockpile to accommodate all the Low Grade Ore material; and
MW Stockpile to accommodate all the Mineralised Waste material.
Production rate is set based on the maximum recorded equipment actual production in bcm/day unit.
The following table summarises the production rates for each year.
Year
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Production
Rate (bcm/day) 13,000 10,000 10,000 10,000 10,000 7,000 6,000 6,000 6,000 6,000
5. Haul Profile
Haul profiles consists of Bench Profiles and Ramp Profiles.
Bench Profilearecreated from each bench polygon centroid to the each bench exit ramp whilst Ramp
Profileiscreated from bench exit ramp to its respective material destination.
The following series of figures depict the Bench and Ramp Profiles for each pit stages.
458
Figure 5: Stage 2 Haul Profiles
459
Figure 7: Stage 4 Haul Profiles
6. Output Target
The output target for the project is 100,000 ounces of gold produced.
Based on the estimation for pit haul profiles, the haul truck travel times are ranging from 1.46 to 20.43
minutes with haul distances ranging from 384m to 6,514m.
460
While for outpit haul profiles, travel times were ranging from 5.17 to 10.37 minutes for all haul profiles
with haul distances ranging from 455m to 4,179m.
Using the aforementioned parameters, the required haul trucks for the project over the life of mine are
ranging from 4 to 13units , with an average of 9 units per annum.
461
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Kelelahan pada pekerja tambang, apabila tidak segera teridentifikasi akan menimbulkan
berbagai macam dampak negatif. Kelelahan tidak hanya berdampak pada penurunan
produktivitas alat, namun yang paling berbahaya adalah dampak kelelahan terhadap
keselamatan pekerja tambang itu sendiriserta orang – orang disekitarnya.
Sadar akanbesarnya dampak yang diakibatkan olehkelelahan pekerja tambang, maka PT.
Kaltim Prima Coal bekerja sama dengan Modular Mining Systemmembuat sebuah system
untuk memonitor tingkat kelelahan operator truck yang dinamakan Fatigue Monitoring Alert
terintegrasi dengan sistem Dispatch.Fatigue monitoring alert terintegrasi dengan
teknologiDispatch ini pertamakali diaplikasikan pada overburden truckdiakhir tahun 2012.Saat
ini,fatigue monitoring alertterintegrasi dengan teknologi dispatch sudah diaplikasikan ke semua
overburden truck dan coal truck yang ada di PT. Kaltim Prima Coal.
Fatigue monitoring alert pada system dispatch (GOIC) akan mulai aktif saat overburden
truck dalam kondisi traveling(loading point ke dumping point atau sebaliknya). System
dispatch akan memberikan pertanyaan kepada operator truck dalam periode waktu tertentu,
untuk memastikan respon dari operator trucksaat menjawab pertanyaan tersebut.Selanjutnya,
system dispatch akan memberikan informasi kepadadispatcher terkait kondisi operator truck
tersebut apakahfit atau unfit. Apabila operator truck dalam kondisi unfit, maka dispatcher akan
menginstruksikan operator truck untuksegera berhenti dan memarkirkan truckditempat yang
aman,kemudian melaporkan kondisinya kepada supervisor lapangan. Supervisor lapangan akan
memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap operator truck yang terindikasi
mengalami kelelahan.
Penerapan teknologi fatigue monitoring alert terintegrasi dengan teknologi dispatch ini
dapat mengidentifikasi tingkat kelelahan operator truck, sehinggadapat menekan angka
kecelakaan kerja akibat kelelahan di PT. Kaltim Prima Coal.
Kata Kunci: Kelelahan, Fatigue Monitoring Alert, Traveling, Fit & Unfit, Operator overburden
truck, Dispatcher, Supervisor.
462
I. PENDAHULUAN
Kelelahan adalah kondisi akut yang dimulai dari rasa letih, kemudian mengarah pada
kelelahan mental ataupun fisik dan dapat menghalangi seseorang untuk dapat melaksanakan
aktifitasnyadalam batas-batas normal.Perasaan lelah ini lebih dari sekedar perasaan letih dan
mengantuk, perasaan lelah ini terjadi ketika seseorang telah sampai kepada batas kondisi fisik
atau mental yang dimilikinya[7].Efek dari kelelahan saat sedang bekerja antara lainkeinginan
yang kuat untuk tidur, berkurangnya konsentrasi, mudah marah atau tersinggung, dapat
mengambil keputusan yang tidak tepat, berkurangnya koordinasi antara mata dengan tangan
maupun kaki, tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja dialami, menurunnya penglihatan,
menurunnya tingkat kewaspadaan, lambat untuk merespon sesuatu dan meningkatnya perilaku
tidak aman dalam melakukan pekerjaan[6].
Industri pertambangan adalah salah satu lingkungan kerja yang paling berbahaya dari
seluruh industri yang ada di dunia.Jumlah kecelakaan kerja baik fatal maupun tidak fatal sangat
tinggi, terutama bagi pekerja yang mengoperasikan truck.Kelelahan pada pengemudi truck,
telah teridentifikasi sebagai faktor utama yang berkontribusi terhadap kecelakaan yang
melibatkan haul truck[2].
Kelelahan pada pekerja tambang, apabila tidak segera teridentifikasi akan menimbulkan
berbagai macam dampak negatif, karena dapat mengurangi tingkat kewaspadaan para pekerja
tambang. Ketika pekerja tambang mengalami kelelahan, mereka tidak dapat mengambil
keputusan yang tepat terhadap keadaan yang berubah dan hal ini akan berpotensi terjadinya
kecelakaan karena faktor kesalahan manusia. Kelelahan tidak hanya berdampak pada
penurunan produktivitas alat, namun yang paling berbahaya adalah dampak kelelahan terhadap
keselamatan pekerja tambang itu sendiri serta orang – orang disekitarnya.
Melalui pendekatan dan analisa yang tepat, kelelahan dapat diukur dan dikelola sehingga
memperkecil potensi terjadinya kecelakaan kerja di industri pertambangan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Caterpillar Global Mining pada tahun 2007,
diketahui bahwa 65% dari kecelakaan haul truck dalam operasional tambang terbuka secara
langsung berhubungan dengan kelelahan operator[5].Operator truck sangat rentan terhadap
resiko kelelahan karena beberapa aspek terkait pekerjaan mereka seperti kondisi lingkungan
kerja yang panas maupun dingin, suara mesin yang bising,serta tingginya paparan debu.Faktor
– faktor tersebut dapat membuat operator truck cepat merasa kelelahan sehingga mempengaruhi
produktivitas operator. Faktor – faktor lain yang juga dapat mempengaruhi kelelahan pada
operator truck adalah sifat pekerjaan yang monoton, jumlah jam kerja yang panjang dan system
kerja bergilir[1].
Berdasarkan data kecelakaan dari tahun 2001-YTD Agustus 2015, telah terjadi
467(94,7%) kecelakaan tidak berpotensi fatal, 25 (5,1%) kecelakaan berpotensi fatal dan 1
(0,2%) kecelakaan fatal yang disebabkan oleh kelelahan di PT. Kaltim Prima Coal (Gambar
I.1). Dalam sejarah operasional pertambangannya, PT. Kaltim Prima Coal telah memiliki
beberapa metode untuk mengidentifikasi kelelahan pada operator alat berat diantaranya fatigue
alarm yang dimulai pada Tahun 2000.
Fatigue alarm yang telah terpasang pada overburden truck dan coal truck sejak Tahun
2000, bekerja secara manual dan tidak terhubung dengan sebuah system yang bisa mencatat
kejadian-kejadian selama shift berlangsung. Sebagai salah satu alat kontrol terhadap isu
keletihan pada operator, diperlukan system fatigue yang dapat berkomunikasi dengan kontrol
463
room ketika operatorterindikasi mengalami keletihan selama shift berlangsung[3].Atas dasar
itulah pada tahun 2012, PT. Kaltim Prima Coal dan Modular Mining System membuat sebuah
system untuk memonitor tingkat kelelahan operator truck yang dinamakan Fatigue Monitoring
Alert terintegrasi dengan sistem Dispatch.Fatigue monitoring alert terintegrasi dengan
teknologi Dispatch ini pertamakali diaplikasikan pada overburden truckdi akhir tahun
2012.Saat ini fatigue monitoring alert terintegrasi dengan teknologi dispatch sudah
diaplikasikan ke semua overburden truck dan coal truck yang ada di PT. Kaltim Prima Coal.
I.3 METODOLOGI
Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari operasional pertambangan
terbuka batubara di PT. Kaltim Prima Coal.Studi kasus bersifat deskriptif, karena melibatkan
pengamatan, pengumpulan data dan informasi dari tambang, yang kemudian dibandingkan
dengan teori-teori yang sudah ada terkait dengan kelelahan dan manajemen kelelahan.Semua
data yang dikumpulkan dari operasional tambang terbuka batubara adalah kualitatif di alam;
Oleh karena itu, tidak ada uji statistik yang diterapkan.Ringkasan dari data yang dikumpulkan
dilaporkan dalam makalah ini.
Fatigue Monitoring Alert terintegrasi system dispatch adalah sebuah alat bantu untuk
mengidentifikasi tingkat kelelahan operator saat sedang mengoperasikan truck, dengan cara
menghitung respon operator terhadap pertanyaan yang diberikan secara acak oleh system
464
dispatch melalui monitor GOIC dalam durasi waktu tertentu. Berdasarkan respon operator
tersebut, system dispatch akan mengirimkan hasil tesfatigue kepada dispatcher untuk dapat
mengidentifikasi tingkat kebugaran operator saat mengoperasikan truck, kemudian
menginformasikan kepada supervisor lapangan apabila terdapat operator yang teridentifikasi
kelelahan untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan (Gambar II.1).
Fatigue monitoring alert terintegrasi system dispatch ini memiliki beberapa keunggulan,
diantaranya:
1. Proses data secara real time, dimana ketika operator log in maka segala aktifitas yang
dilakukan operator tersebut akan tercatat dan terekam dalam system dispatch.
2. Dapat mengidentifikasi kondisi operator secara langsung melalui respon yang diberikan
operator terhadap pertanyaan yang diberikan system dispatch.
3. Setiap respon yang diberikan operator akan langsung disampaikan kepada dispatcher
melalui system dispatch, sehingga tindakan untuk pencegahan terjadinya kecelakaan
karena kelelahan dapat segera dilakukan.
4. Rekaman data hasil tes fatigue operator dapat digunakan sebagai analisa terhadap
operator yang memiliki frekuensi kegagalan yang cukup tinggi untuk dapat dilakukan
tindakan yang diperlukan.
5. Durasi waktu setiap tes fatigue dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan.
465
II.1 CARA KERJA FATIGUE MONITORING ALERT
c. Ketika jawaban operator benar, maka system dispatch akan merespon dengan
mematikan bunyi “beep” pada GOIC.
d. Apabila jawaban operator salah atau melebihi waktu respon (> 5 detik), maka
monitor GOIC akan menampilkan pertanyaan berikutnya “ANDA GAGAL
DALAM TEST FATIGUE LEVEL 1, APAKAH ANDA FIT?”.Operator wajib
menjawab “YA/TIDAK” dari pertanyaan tersebut.
e. Setelah operator menjawab “YA/TIDAK”system dispatch akan mengirimkan
informasi kepada Dispatcher sebagai berikut “OPERATOR TRUCK NO XXX
GAGAL PADA TEST FATIGUE LEVEL 1 DAN TERINDIKASI DALAM
KONDISI FATIGUE”.
f. Dispatcher akan memberikan informasi kepada supervisor lapangan bahwa
Operator Truck NOXXX mengalami kegagalan pada pertanyaan level 1.
Berdasarkan informasi tersebut supervisorakan melakukan monitoring terhadap
operator yang mengalami kegagalan saatmelakukanrandom fatigue check.
466
g. System dispatch secara otomatis meningkatkan pertanyaan ke level 2, setelah
operator truck gagal menjawab pertanyaan level 1.
2. Pertanyaan Level 2
a. Ketika operator mengalami kegagalan pada pertanyaan level 1, secara otomatis
system dispatch akanmemunculkanpertanyaan level 2 pada monitor GOIC dalam
periode waktu 5 – 8 menit.
b. Sebagaimana pertanyaan level 1, operator wajib memberikan jawaban dari
pertanyaan yang muncul pada monitor GOIC dalam durasi waktu ≤ 5 detik, dengan
cara yang sama seperti pertanyaan level 1 (Gambar II.1).
c. Apabila operator berhasil menjawab dengan benar sebanyak dua kali dari
pertanyaan level 2, maka system dispatch akan secara otomatis kembali ke
pertanyaan level 1.
d. Apabila jawaban operator salah atau melebihi waktu respon (> 5 detik), maka akan
muncul bunyi “beep” disertai pesan pada monitor GOIC sebagai berikut “ANDA
GAGAL TESTFATIGUE LEVEL 2, PARKIR DI TEMPAT YANG AMAN DAN
LAKUKAN PROSEDUR FATIGUE”. Bunyi “beep” akan hilang saat operator
menekan “OK” (Gambar II.2).
3. Pertanyaan Level 3
a. Ketika operator mengalami kegagalan pada pertanyaan level 2, secara otomatis
system dispatch akan memunculkan pertanyaan level 3 pada monitor GOIC dalam
periode waktu 4 – 6 menit.
467
b. Sebagaimana pertanyaan level 1, operator wajib memberikan jawaban dari
pertanyaan yang muncul pada monitor GOIC dalam durasi waktu ≤ 5 detik, dengan
cara yang sama seperti pertanyaan level 1 (Gambar II.1).
c. Apabila operator berhasil menjawab dengan benar sebanyak dua kali dari
pertanyaan level 3, maka system dispatch akan secara otomatis kembali ke
pertanyaan level 2.
d. Apabila jawaban operator salah atau melebihi waktu respon (> 5 detik), maka akan
muncul bunyi “beep” disertai pesan pada monitor GOIC sebagai berikut “ANDA
GAGAL TEST FATIGUE LEVEL 3, PARKIR DI TEMPAT YANG AMAN DAN
TUNGGU INSTRUKSI PENGAWAS”. Bunyi “beep” akan hilang saat operator
menekan “OK” (Gambar II.3).
Lulus
Hasil Test??
468
Tidak Lulus
Berdasarkan data Fatigue Monitoring Alert dari Januari – Agustus 2015, diketahui telah
terjadi 227.411kasus kegagalan pertanyaan level 1, 25.839kasus kegagalan pertanyaan level 2
dan 12.221kasus kegagalan pertanyaan level 3 (Gambar III.1).Dari beberapa jumlah kegagalan
baik dari pertanyaan level 1, level 2 dan level 3 tersebut, Safety MOD-KPC memfokuskan
perhatian dan pengawasan kepada operator yang memiliki frekuensi kegagalan lebih dari 10
kali pertanyaan pada level 2 dan level 3 dalam 1 minggu operator tersebut bekerja baik saat
shift pagi maupun shift malam(Tabel III.1).Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan yang diakibatkan kelelahan pada operator tersebut.
1554 1745
30000 3362 1673
4215 1363 3751 Level 3
25000 3248
20000 Level 2
15000 Level 1
10000
5000
32321 32161 32288 26585 26224 21967 23962 31903
0
Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 May-15 Jun-15 Jul-15 Aug-15
Gambar III.1. Jumlah kegagalan test fatigue dari Januari – Agustus 2015
Tabel III.1. Operator yang gagal tes fatigue dengan frekuensi diatas 10 kali dalam 1 minggu
469
Department|BadgeNo # OperatorName Freq Level 2 Department|BadgeNo # OperatorName Freq Level 3
Bintang|12957 # SUPARNO 16 Bintang|14624 # FAJAR ARDIANTO 12
Bintang|14679 # MIYONO 17 Bintang|14916 # RACHMAN 166
Bintang|14916 # RACHMAN 39 Bintang|17204 # Sutrisno 19
Bintang|16990 # RUBIANSYAH 15 Bintang|71062 # Leonardus B Opang 28
Bintang|17204 # Sutrisno 11 Hatari|14069 # Arris Taruk Allo 38
Bintang|18075 # Junaidi 46 Hatari|14246 # PUNJUL MARIYATNO 15
Bintang|70729 # Marten lembong 37 Hatari|14571 # SUPRIYADI 14
Bintang|71062 # Leonardus B Opang 16 Hatari|15224 # MATIUS PADONDAN 17
Hatari|11248 # HASAN SALEH 15 Hatari|15233 # SANDI 15
Hatari|14069 # Arris Taruk Allo 28 Hatari|18084 # Joulivandy 12
Hatari|14246 # PUNJUL MARIYATNO 16 Hatari|18227 # Roby Priyanto 12
Hatari|14571 # SUPRIYADI 39
Hatari|14595 # ABDUL RAHIM R 11
Hatari|15224 # MATIUS PADONDAN 16
Hatari|15233 # SANDI 18
Hatari|15789 # WIRCUN 13
Hatari|15826 # HERI KUSUMA 15
Hatari|16352 # ISKANDAR 15
Hatari|16961 # PERIANTO 13
Hatari|16980 # Anita 12
Hatari|17109 # Riya 33
Hatari|17544 # Syahabuddin U. 21
Hatari|17931 # Achmad Yani 15
Hatari|18074 # Hendra L. 13
Hatari|18084 # Joulivandy 18
Hatari|18164 # Victor 13
Hatari|18227 # Roby Priyanto 15
Hatari|57666 # EDI TAWIL 18
Efektifitas dari Fatigue Monitoring Alert terintegrasi dengan system dispatch ini dapat
terlihat dari menurunnya tingkat kecelakaan yang melibatkan operator overburden truck akibat
kelelahan dari tahun 2013 –Agustus 2015 (Gambar III.2). Hal ini tidak terlepas dari peran serta
Operator sebagai pengguna, Dispatcher sebagai pihak yang memonitor pelaksaanaan dan
Supervisor sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk memastikan operator siap dan bugar
(fit) untuk bekerja.
25 Fatigue
Monitoring Alert
Jumlah kecelakaan
5
20
15 8 6 9
10 5
10 20 4
3 4 13 1
5 11 9 11 11 9
5 7 5 7 7 3
0 2
Gambar III.2. Jumlah kecelakaan overburden dan coal truck dari tahun 2013-Agustus 2015
470
III. KESIMPULAN
IV.
Fatigue monitoring alert terintegrasi system dispatch adalah salah satu alat bantu untuk
mengukur tingkat kelelahan yang dialami operator saat mengoperasikan truck. Menjadi
tanggungjawab pekerja tambang khususnya operator truck, untuk dapat mengendalikan risiko
yang terkait dengan kelelahan.Operator harus menggunakan waktu istirahat dengan bijaksana,
sehingga kondisi tubuh bugar (fit) saat melakukan pekerjaan.Operator bertanggungjawab untuk
memastikan bahwa perilaku mereka tidak membuat dan memperburuk resiko terjadinya
kecelakaan.
V. DAFTAR PUSTAKA
471
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstract
Truck/shovel fleet forms the backbone of the Indonesia coal open cut mining industry. The
conventional truck/shovel mining method is generally the preferred option given the flexibility
and relatively low in capital cost. However, the truck/shovel is also considered to have a
relatively high operating cost. Note that the term truck/shovel does not just refer to face shovel
but also includes hydraulic excavator.
Beyond Indonesia, dragline is often applied to open cut coal mines. In general, dragline is the
lowest cost of the waste removal mining method (in the right deposit) but less flexible and has
a relatively higher capital cost compare to truck/shovel. Dragline is usually the predominant
machine which is used to remove the overburden and expose the coal when the deposit’s
characteristics match the draglines’ physical capabilities. Once the characteristics of the deposit
alter from the physical limitations of the dragline, the overburden removal becomes costly as
the machines’ rehandle increases. In this situation, typically in multi-seam mines, truck and
shovels are introduced to create an integrated mining sequence, which operates in tandem to
generate a cost effective and efficient mining system.
In most cases, the dragline operation is also assisted by cast blast (throw blast) and bulk dozing
method. Cast blast is a blasting method to move overburden/waste material across the pit and
reduce the cost of handling it with mine equipment; whilst dozer push is a method where a
dozer pushes waste into a previously mined out area. This combination of mining methods
creates an integrated mining operation, from cast blast to dragline, in particular to remove the
waste in an effective and efficient matter to retain the lowest mining cost as possible while still
achieving the production target.
The deployment of each method can be varied and thus the outcomes of the method chosen to
exploit the pit can be different. A comprehensive mine planning to define the optimum mining
method for each mining section is necessary to ensure the optimum outcomes are achieved.
The aim of the paper is to therefore share some of Author’s experiences as well as to present a
lone of logic to prepare thetypical mine planning involving cast blast, bulk dozing, dragline
and truck/shovel itself.
The approach adopted for this paper is to begin with a broad overview of basic features of each
mining method and then describe the parameters to consider to generate the basic mine plan
for this integrated mining method. Several examples of mining software application used to
generate the plan are also presented in this paper.
472
Mining Method Overview
Cast Blast
Cast blast (also known as ‘throw blast’)is a blasting method to move overburden/waste material
across the pit, to the mined out area. This technique allows for an increasing number of
explosives to be used to blast and throw material to its final position, eliminating the need to
move it by the other mining equipment. After the blast has occurred, other mining equipment
(e.g. truck/shovel, dozer, dragline, etc.) is deployed to remove the remaining waste material to
its final destination and uncover the coal.
One of the key parameters that influence thecast blast performance is powder factor. Although
higher powder factor usually contributes to the more amount of material can be removed to its
final position, the pit wall damage due to blasting also needs to be considered.In most cases,
the concern on wall damage limits the application of the cast blast method to the maximum
performance.
Based on Author’s experience, the cast blast generally moves 5% to 15% of the total waste
volume.
473
Another application commonly used in the typical integrated mining operation is the dozer
pushes the upper burden to maximise the use of the void as well as to prepare the dragline
bench. This application will be discussed later in this paper.
Dragline
Dragline is one of the lowest cost waste removal machine but is generally restricted to:
Large deposit to ensure adequate strip length and sufficient reserves to justify the capital
expenditures;
Gently dipping deposit due to spoil instability on steep dipping deposit;
Simple geology and gentle terrain to ensure changes in overburden thickness along a strip;
and
Shallow deposit as dragline usually excavate a maximum of 60-70m of overburden due to
the limitation of dump reach and height limitations.
Dragline is often supplemented by throw blasting and/or dozer assistance to increase
overburden removal capacity.
Dragline productivity and its stripping capabilities are directly affected by the selection of
digging method, strip layout, and pit geometry. Every mine has a unique combination of
geological conditions. The operating methods that work well at one mine may not necessarily
work at another site. Selection of an optimal stripping method, strip layout and pit geometry
for a given dragline must be considered with respect to the geological conditions of the mine.
474
Figure 3 Dragline Operation
Truck / Shovel
The truck/shovel mining method is the most flexible mining method and therefore bettersuited
to geological complex deposits, varying overburden depths and thicknesses, and size of
deposits. This mining method also has the ability to haul material in a long distance with the
minimum amount of rehandle, even zero rehandle. Note that the term truck/shovel does not
just refer to face shovel but also includes hydraulic excavator.
The method offers cheaper capital investments than dragline; however, the unit operating cost
on a bcm per hour removal rate is comparatively higher.
475
Mining Method Overview Summary
The following table summarises the advantage and constraints for each mining method.
Table 1 Mining Method Advantages and Constrains Summary
476
Figure 5Strip Mining Illustration
477
require further blasting or when to minimise coal losses and dilution, the post-strip
operation is carried out.
6. Coal Mining – The last activity on the strip is to mine the coal, generally carried out by
truck shovel operation.
The steps of this operation are depicted in Figure 6.
478
in this analysis. The post-blast surface is predicted based on the mining engineer
experience and inputs from the drill and blast engineer.
479
Computer simulation of mining operation has the potential for rapid, low cost analysis of
different mining scenarios. Simulation of the mining operation also enables an operator to
test the logic of how the machine should be used, and the design of optimum operating
methods for the varying mining conditions. Such an application may also be used as a
training simulator or to evaluate mining performance with a given set of geological and
operational conditions.
The following series of picture illustrates the 3D simulation for the dragline operation. The
simulation is undertaken after the completion of range diagram analysis and to confirm the
dragline bench of each block.
Figure 9 3D Simulation
4. Mine Schedule
Based on the outputs from the aforementioned analysis, the mine schedule for each mining
method is developed. The mine schedule comprises of coal uncover rate, prime and
rehandle volume, and identify the critical milestone when one operation should be
completed prior the next operation commences. The mine schedule can be developed in the
simple Microsoft Project or any other mining software packages.
480
5. Monitoring and Reconciliation
During the mining, it is important to monitor the mining performance in order to ensure the
plan is followed. Any design refinements during mining may also occur. When the strip
excavation is complete, the reconciliation should be conducted to reconcile the actual
performance against the budget (i.e. volume, productivity, etc.). Most importantly, any
lessons learned from the excavation of this strip should be documented and any corrections
/ improvements should be implemented in the next strip.
Conclusions
In summary, like other mine planning, the development of the integrated mine planning for the
combination of cast blast, dozer, push, truck shovel and dragline mining method should address
all key parameters that may affect the disruption to the continuity of mining operation. The
mine planning is an iterative process and should not stop in one stage. Any lessons learned
from the previous excavation should be documented and any correction / improvements should
be implemented to ensure the mistake is not repeated. The best option for other projects is not
necessarily the best option for our project.
Furthermore, the mine planning should be iterated from the strategy level (long term mine
planning) down to the short term planning as illustrated in Figure 11. This is to ensure that all
designs and planning carried out in the mine planning align with the business objectives and
strategy.
481
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES PERHAPI IX 2015
Sari
Tambang bawah tanah memiliki karakteristik yang khusus yang selalu terkait dengan ventilasi
untuk menyalurkan udara kedalam tambang secara mekanis. Peraturan yang mengatur tentang
sistem ventilasi tambang bawah tanah terdapat pada Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi No 555.K/26/M.PE/1995. Untuk mempermudah dalam merancang ventilasi diperlukan
alat bantu berupa perangkat lunak yang dapat memodelkan dan mensimulasikan sistem ventilasi
secara keseluruhan yang mengakomodasi faktor lingkungan dan teknis sehingga mampu
menghasilkan rancangan yang optimum sesuai dengan peraturan.PT.XYZ adalah perusahaan
tambang batubara bawah tanah yang menggunakan sistem ventilasi hisap (Exhaust) yang
dibantu dengan ventilasi tambahan untuk mengalirkan udara ke lokasi kerja (front)
menggunakan sistem hembus (forcing). Debit udara yang keluar melalui kipas utama sebesar
34,3 m3/detik, sedangkan debit udara masuk sebesar 34,27 m3/detik yang berasal dari tiga
lubang masuk yaitu Adit Sawahluwung sebesar 25,41 m3/detik, Lurah Sapan 1 sebesar 7,39
m3/detik, dan Lurah Sapan 2 sebesar 1,47 m3/detik. Terdapat perbedaan sebesar 0,03 m3/detik
pada jalur udara keluar dengan jalur udara masuk. Perbedaan ini disebabkan karena adanya
kebocoran pada kipas utama yang menyebabakan debit udara keluar menjadi lebih besar. Dari
hasil analsisis pemodelan menggunakan perangkat lunak Ventsim Visual 3, menunjukkan
bahwa Aliran udara yang ada pada tambang bawah tanah telah memenuhi sesuai peraturan
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995. Kecepatan udara pada
tambang bawah tanah melebihi 7 meter setiap menitnya sesuai dengan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995. Temperatur dan Kelembapan relatif
melebihi ambang batas sehingga perlu diturunkan dan dilakukan pemeriksaaan berkala.
Kata kunci: tambang, debit udara, bawah tanah, Ventsim, ventilasi, kipas
482
I. LATAR BELAKANG
Tambang bawah tanah memiliki karakteristik dan perlakuan yang khusus, karena
Lokasi kerja yang tidak terpapar langsung dengan atmosfer menjadikan tambang bawah tanah
memerlukan suatu sistem yang dapat memenuhi keselamat dan kesehatan para pekerja. Salah
satu faktor penting dalam pemenuhan keselamatan dan kesehatan pekerja adalah kebutahan
udara di dalam tambang. Oleh karena itu, sistem ventilasi menjadi hal yang sangat penting pada
petambangan bawah tanah. Fungsi ventilasi sendiri yaitu menyediakan udara segar kedalam
tambang (Quantity Control), mengalirkan gas-gas beracun dan partikel debu yang muncul di
dalam tambang (Quality Control), serta mengatur suhu dan tingkat kelembaban udara di dalam
tambang (Temperature-Humidity Control).
Udara yang diperlukan tidak hanya untuk bernafas, tetapi juga untuk menghilangkan
kontaminasi kimia dan fisika (gas, debu, panas, dan kelembaban). Di dunia, praktek ventilasi
tambang sangat diatur, terutama pada tambang yang mengandung gas di tambang batubara dan
ketetapan lainnya terkait jumlah udara minimal yang dibutuhkan untuk menghilangkan emisi
diesel, asap peledakan, radiasi, debu dan kontaminasi lainnya. Untuk menjaga kondisi tambang
yang sesuai sepanjang berlangsungnya tambang, perencanaaan ventilasi yang baik harus
diperhitungkan dari awal agar dapat terencana untuk kedepannya.
Untuk dapat mengetahui ketersedian fungsi–fungsi tersebut diperlukanlah suatu analisis
model jaringan ventilasi. Salah satu metode yang digunakan dalam permodelan jaringan
ventilasi adalah dengan menggunakan software Visual VentSim 3. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui dan mempelajari sistem ventilasi yang ada di tambang batubara bawah tanah.
Peraturan yang mengatur mengenai sistem ventilasi tambang bawah tanah terdapat dalam
Keputusan Menteri Pertambangan dan Kesehatan Kerja No555.K/26/M.PE/1995. Peraturan
tersebut mengatur jumlah udara yang harus dipenuhi dan kualitas udara yang harus dicapai agar
memenuhi prinsip kesehatan dan keselamatan kerja. Peraturan tersebut menjadi parameter
kelayakan dari sebuah sistem ventilasi tambang bawah tanah di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mempelajari sistem ventilasi yang ada di
tambang batubara bawah tanah PT. XYZ dan memodelkan jaringan ventilasi yang ada sesuai
dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995 dengan
menggunakan perangkat lunak Ventsim Visual 3
Dalam melakukan perencanaan ventilasi tambang bawah tanah dapat dilakukan secara
manual yang memerlukan ketelitian, waktu dan tenaga yang cukup besar atau dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan perangkat lunak. Penggunaan perangkat lunak mempermudah
pemodelan dalam merencanakan sistem ventilasi tambang bawah tanah. Perangkat lunak yang
digunakan dapat berupa perangkat lunak dua dimensi atau dengan menggunakan perangkat
lunak tiga dimensi. Pada penilitian ini akan digunakan perangkat lunak Visual VentSim 3 dalam
melakukan perencanaan sistem ventilasi tambang batubara bawah tanah. Perangkat lunak ini
memiliki keunggulan dapat memodelkan aliran udara secara tiga dimensi dan dapat
mengakomodasi kondisi lapangan berupa dimensi bukaan, kondisi bukaan, kandungan gas di
udara, simulasi panas, spesifikasi kipas, spesifikasi duct dan lain-lain.
483
- Mengontrol debu pada udara bersih yang masuk ke dalam tambang.
Pada PT. XYZ debu dikendalikan dengan ventilasi. Untuk mendilusi partikel debu dengan
udara pada lokasi kerja yang disebabkan karena proses penambangan dapat menggunakan
persamaan berikut (McPherson, 1997) :
Ed x P
Q= (𝑚3 /𝑠)
𝐶𝑑
Dimana :
Q = udara minimal mendilusi debu (m3/s)
Ed = konsentrasi debu (mg/ton)
P = production rate (ton/s)
Cd = batas minimum debu (mg/m3)
484
IV. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995
Ketentuan mengenai ventilasi tambang telah diatur dalam Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi nomor 555.K/26/M.PE/1995 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Pertambangan Umum atau biasa disingkat dengan KepMen 555. Aturan yang dibuat
harus dipenuhi oleh pelaku usaha tambang bawah tanah agar keselamatan dan kesehatan pekerja
tambang terjamin.
Ayat (2)
Selain ketentuan umum sebagaimana maksud pada ayat (1), kondisi ventilasi di tempat kerja
harus:
Untuk rata-rata 8 jam:
1. Karbon Monoksida (CO) volumenya tidak lebih dari 0,005 persen;
2. Gas Methana (CH4) volumenya tidak lebih dari 0,25 persen;
3. Hidrogen Sulfida (H2S) volumenya tidak lebih dari 0,001 persen dan
4. Oksigen Nitrat (NO3) tidak lebih dari 0,0003 persen.
Dalam tenggang waktu 15 menit:
1. CO tidak boleh lebih dari 0,04 persen;
2. NO2 tidak boleh lebih dari 0,0005 persen.
Ayat (6)
Kecepatan udara ventilasi yang dialirkan ke tempat kerja harus sekurang – kurangnya 7 meter
per menit dan dapat dinaikkan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan dan setelah peledakan
kecepatan. Jalan udara harus mempunyai ukuran yang memadai sesuai dengan jumlah udara
yang dialirkan.
Ayat (10)
Lokasi pengukuran aliran meliputi:
a. Setiap jalan masuk udara utama sedapat mungkin dekat dengan jalan masuk ke semua
sumuran atau jalan keluar;
b. Setiap tempat terbaginya udara sedapat mungkin dekat dengan persimpangan;
c. Di tempat kerja yang pertama 50 meter dari mulai masuknya udara dan di tempat kerja
yang terakhir 50 meter dari ujung keluarnya udara;
d. Lokasi udara keluar sedapat mungkin dekat dengan persimpangan jalan keluar utama dan
e. Tempat lain yang ditetapkan oleh pelaksana inspeksi tambang.
485
Ayat (16)
Apabila dilakukan perubahan pada arah atau penyebaran aliran udara yang berakibat
mempengaruhi jumlah udara masuk atau keluar maka pengukuran udara harus dilakukan
secepat mungkin setelah perubahan dilakukan.
Ayat (7)
Kipas angin tambahan harus dilengkapi alat penyalur udara sampai jarak 5 kali akar kuadrat
dari luas penampang.
486
VI. PENGOLAHAN DATA
Debu yang dihasilkan adalah pada saat proses penambangan sehingga production rate
yang digunakan adalah produksi alat Roadheader MK2A dalam satu siklus penggalian. Batas
minimal konsentrasi debu yang diperbolehkan adalah 2mg/m3 (Hartman,1997). Maka didapat
udar minimal untuk mendilusi debu adalah
14,82 x 0,113
Q= (𝑚3 /𝑠)
2
Q = 0,0107 m3/s
6.2 Kebutuhan Udara Pekerja
Jumlah pekerja maksimal yang terdapat di setiap frontnya adalah sebagai berikut:
NO BAGIAN JUMLAH
1 Operasional 2
2 mesin dan listrik 3
3 Transportasi 1
4 Penyanggaan 3
5 Ventilasi 2
6 Pengawas 1
Total pekerja 12
487
Tabel 3. Perkiraan Kebutuhan Udara Bersih di Lokasi Kerja
No Lokasi Jumlah Pekerja* Kebutuhan Udara (m³/s) Total (m³/s)
6.3 Kipas
Tabel 4. Data Kipas
No Tipe Kipas HP Fungsi
1 54 D Canadian Buffalo 150 Main fan
2 Engart Bifurcated Axial 1x25 Auxillary fan
3 Brush Bifurcated Axial 1x50 Auxillary fan
Kipas digunakan untuk menyalurkan udara secara terus menerus ke dalam tambang.
Untuk menyalurkan udara ke dalam tambang yang jauh dari permukaan perlu digunakan kipas
dengan deskripsi seperti pada tabel 4. Untuk kipas utama digunakan Vane Axial tipe 54 D
Canadian Buffalo yang mempunyai daya 150 HP dengan diameter 1,4 meter. Kipas utama
digunakan untuk menghisap udara dalam tambang. Untuk menyalurkan udara segar ke area
muka tambang dibutuhkan kipas tambahan dimana digunakan kipas Engart Biffurcated Axial
1x 25 HP dan Brush Bifurcated Axial 2x 50 HP.
VII. PEMBAHASAN
Lokasi Q (m³/s) %
488
Jalur udara kotor hanya berasal dari satu lubang exhaust yaitu pada lubang ventilasi
utama. Jumlah udara yang keluar dari tambang ke permukaan pada lubang exhaust adalah
sebesar 34,3 m3/s. Dari pengukuran tersebut terdapat perbedaan antara udara intake dengan
udara exhaust yaitu sebesar 0,03 m3/s dimana masih dalam batas yang diperbolehkan.
SKEMA TAMBANG BAWAH TANAH PT XYZ
D
DOSCO J.3
D
FRONT J6C ADIT SL
J.12c
20.80 m 3/dt
Manual J.13c J.37 25.41 m 3/dt
J.11c J.13c
V : 0,34 m / dt
Forc. 50 HP Q : 4,08 m 3 / dt
Manual J.6c
J.10c
J.8c
Forc. 25J.7c
HP J.2 0.85 m 3/dt J.
J.8c J.9c Forc. 50 HP
J.7c J.6c D D D
J.6c
Forc. 30 Kw J.59
8,41 m 3/dt Forc. 25 HP
19.95m 3/dt
4.90 m 3/dt
J.4c J.5
24.85m 3/dt
J.5c
J.5c J.4c
11,31 m 3/dt
11,02 m 3/dt
17.60 m 3/dt
DD
J.68
J.63 J.1c J.57 J.56 17.60 m 3/dt J.65
: Arah Udara Bersih
10.90 m 3/dt
J.23 : Arah Udara Kotor
: Air Crossing
h
489
J8C-J5C 0,83 10,13 8,41 28,50 27,00 89,00 20,9 0 0 0
J5C-J3C 1,37 8,26 11,31 28,00 27,50 94,00 20,9 0 0 0
J3C-J64 1,10 10,98 12,08 28,00 27,00 93,00 20,9 0 0 0
J63-J1C 1,38 8,83 12,16 28,00 27,00 93,00 20,9 0 0 0
J1C-J56 2,02 7,81 15,74 28,00 27,00 93,00 20,9 0 0 0
J56-J65 3,49 5,28 18,44 27,40 26,70 94,00 20,9 0 0 0
J7-J1 2,64 9,31 24,56 27,00 26,00 92,00 20,9 0 0 0
Pompa LS II 7,70 4,30 33,11 26,00 24,00 85,00 20,9 0 0 0
Secara keseluruhan perbandingan nilai debit udara antara model dengan pengukuran
tidak melebihi error lebih dari 10% (McPherson, 1997). Nilai error paling tinggi terjadi pada
J1C-J56 yaitu 10,43% dan nilai error terendah terjadi pada front J3C. Dengan demikian data
pemodelan tersebut dapat dipakai untuk melakukan pemodelan perencanaan ventilasi lebih
lanjut.
Debit udara yang mampu disalurkan oleh duct ke front penambangan mempunyai nilai
lebih dari 0,4 m3/s yang merupakan batas minimal kebutuhan udara pekerja di lokasi
penambangan, sehingga rancangan aliran udara telah sesuai dengan Keputusan Menteri
490
Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995. Kecepatan udara pada lokasi
penambangan yang ada pada model perencanaan menggunakan perangkat lunak mencukupi
dari kecepatan udara minimal yang harus ada pada Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi No 555.K/26/M.PE/1995 yaitu 7m/menit, tetapi keepatan udara dapat ditingkatkan
sesuai dengan kebutuhan udara dan diturunkan jika menggangu pekerja di front penambangan.
Oleh karena itu diperlukan analisis lebih lanjut mengenai kenyamanan kecepatan udara pada
front penambangan ini.
Sesuai dengan peraturan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No
555.K/26/M.PE/1995 temperatur udara di dalam tambang harus dipertahankan antara18-24 °C
dengan kelembaban relatif maksimum 85 persen. Dari hasil pengukuran didapatkan nilai
temperatur udara berkisar antara 24-26°C pada jalur intake, 26-28°C pada jalur exhaust dan 28-
30°C pada front penambangan. Pada saat melakukan pengukuran kondisi udara luar saat itu
berada pada musim hujan (Oktober-November), sehingga udara yang masuk ke dalam tambang
memiliki nilai kelembaban yang sangat tinggi. Jalur J2C-J4C, J5C-J3C, J56-J65 pada umumnya
saat dilakukan pengukuran memiliki kondisi yang sangat basah akibat adanya rembesan air
pada dinding. Nilai temperatur efektif pada jalur intake, exhaust, dan front penambangan
melebihi dari rentang yang diperbolehkan peraturan sehingga sesuai dengan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995 pasal 370 ayat 14 apabila temeperatur
efektif melebihi 24°C maka tempat tersebut harus diperiksa setiap minggunya. Efek dari
tingginya temperatur adalah tingginya kelembapan relatif melebihi batas yang diperbolehkan
yaitu 85%. Dari hasil simulasi yaitu berada pada rentang atas dari batas yaitu 85-94 %.
VIII. SIMPULAN
8.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan :
1. Sistem ventilasi pada tambang bawah tanah PT XYZ menggunakan sistem hisap (exhaust).
Kuantitas udara keluar sebesar 34,3 m3/detik sedangkan kuantitas udara masuk yaitu
sebesar 34,27 m3/detik melalui tiga lubang masuk yaitu Adit Sawah Luwung sebesar 25,41
m3/detik, Lurah Sapan I sebesar 7,39 m3/detik dan Lurah Sapan II sebesar 1,47 m3/detik.
Jumlah udara masuk dengan udara keluar ada perbedaan sebesar 0,03 m3/detik hal ini
disebabkan adanya kebocoran udara pada saluran Main Kipas sehingga udara dari luar
merembes masuk ke dalam saluran udara pada Mainfan.
2. Debit udara yang mengalir pada front penambangan dihasilkan dari kipas bantu dengan
sistem forcing melalui saluran pipa yang mengalirkan udara ke muka tambang. Debit udara
pada front penambangan melebihi 0,4 m3/detik yang menjadi batas kuantitas kebutuhan
udara pekerja sehingga memenuhi kriteria Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
No 555.K/26/M.PE/1995.
3. Kecepatan udara pada front penambangan tiap tahunnya telah mencukupi dari kecepatan
udara minimal yang harus ada pada Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No
555.K/26/M.PE/1995 yaitu 7 meter setiap menit.
UCAPAN TERIMAKASIH
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan
penelitian beserta semua pihak yang telah mendukung baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
491
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartman, H.L., Mutmansky,J., Ramani, R., Wang, Y. 1997. Mine Ventilation and Air
Conditioning. John Wiley & Sons,
2. LeRoux, W.L. 1979. Mine Ventilation Notes for Beginners. The Mine Ventilation Society
of South Africa.
3. AMC ConsultantPty Ltd. 2005. Basic Mine Ventilation.
4. Chasm Consulting. 2014. Ventsim Visual™ User Guide. Australia.
5. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 555.K/26/M.PE/1995 Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pertambangan Umum
6. McPherson, M.J. 1997. Subsurface Ventilation and Environmental Engineering.Chapman &
Hall.
7. Anggraini, Dola. 2010. Evaluasi Konsentrasi Debu dan Penangannya di Penggalian Lubang
Maju Sigalut PT Tambang batubara Bukit Asam (Persero) Tbk, Unit Pertambangan
Ombilin. Bandung.
492
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access merupakan salah satu lokasi di GBC yang
menggunakan metode peledakan untuk pembongkaran batuan. Lokasi ini berada pada batuan
diorite dengan densitas 2,7 ton/m3. Kerusakan akibat peledakan (blast damage)dapat
menimbulkan batuan menggantung yang dapat membahayakan keselamatan pekerja dan
apabila terjadikerusakan berlebih (overbreak) akan menimbulkan biaya tambahan karena
penambahan material ground support yang harus dipasang (Farouq dkk, 2015).
Kajian dilakukan dengan menghitung persen overbreak dan jumlah penyangga yang dipasang.
Total waktu pemasangan ground support (cycle time) dihitung setelah mengetahui jumlah
penyangga yang dipasang kemudian dilakukan perhitungan biaya material (material cost),
biaya tenaga kerja(labour cost), dan biaya penggunaan bahan bakar alat ground supporting.
Grafik antara persen overbreak dengan total biaya ground suporting dibuat untuk mengetahui
seberapa besar biaya tambahan ground support yang muncul akibat overbreak yang terjadi
(tambahan biaya per ton overbreak).
1. PENDAHULUAN
BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access merupakan salah satu lokasi di GBC
yang menggunakan metode peledakan untuk pembongkaran batuan. Lokasi ini berada pada
batuan diorite dengan densitas 2,7 ton/m3. Kerusakan akibat peledakan (blast damage)dapat
menimbulkan batuan menggantung yang dapat membahayakan keselamatan pekerja dan
apabila terjadikerusakan berlebih (overbreak) akan menimbulkan biaya tambahan karena
penambahan material ground support yang harus dipasang (Farouq dkk, 2015). Biaya tambahan
yang dihasilkan karena terjadinya kerusakan berlebih (overbreak) perlu diteliti agar terjadinya
kerusakan berlebih (overbreak) menjadi perhatian perusahaan karena akan meningkatkan biaya
operasional pemasangan ground support.
493
2. BATASAN MASALAH
Batasan dari permasalahan dalam penenelitian ini antara lain:
Biaya yang akan dihitung yaitu biaya yang langsung terpengaruh apabila terjadi overbreak
pasca scaling/barring down, yaitu biaya material (material cost), biaya tenaga kerja (labour
cost), dan biaya bahan bakar alat (borehole dan instalation cost).
Material losses dan indirect cost tidak diperhitungkan.
Biaya yang muncul karena pengangkutan material (material transportation)dari gudang
serta mobolisi alat penyangga dari workshop menuju lokasi proyek tidak diperhitungkan
karena akan selalu berubah dan berbanding lurus dengan jarak lokasi proyek
3. TUJUAN
Tujuan dari penenelitian ini yaitu untuk mengkaji biaya tambahan pemasangan ground
support yang dihasilkan karena terjadinya kerusakan berlebih (overbreak)
4. TINJAUAN PUSTAKA
Total biaya penyanggaan terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung (B. Stillborg,
1994).
A. Direct Cost (Biaya Langsung)
Biaya langsung terdiri dari seluruh biaya mulai dari persiapan awal hingga penyangga selesai
dipasang. Komponen biaya langsung terdiri dari beberapa komponen antara lain:
Material Cost (bolt, butterfly, plate, nut, dll)
Material Losses (tidak semua material penyangga yang disiapkan dapat dipasang karena
terjadinya kerusakan baik sebelum dipasang ataupun ketika dipasang)
Material Transportation(pengangkutan penyangga dari gudang atau tempat penyimpanan
menuju lokasi yang akan dilakukan pemasangan penyangga)
Borehole Cost (biaya pembuatan lubang penyangga yang terdiri dari alat bor, bahan bakar
dll)
Instalation Cost (biaya pemasangan penyangga yang terdiri dari alat, bahan bakar, dll)
Labour Cost (biaya tenaga kerja untuk pemasangan penyangga)
B. Indirect Cost (Biaya Tidak Langsung)
Biaya tidak langsung merupakan biaya yang tidak dapat diprediksi. Sebagai contoh yaitu
dinding yang runtuh ketika sedang dilakukan pemasangan penyangga. Penyangga yang
sudah terpasang akan rusak sehingga diperlukan biaya tambahan untuk pemasangan ulang
penyangga.
Geometri lubang bukaan yang diukur yaitu dinding (left rib dan right rib) dan atap (back
dan shoulder) (Gambar 1). Ukuran lubang bukaan yang direncanakan di lokasi BC-613 Tail
Access dan BC-612 Transfer Access adalah 5,5 m x 5,5 m. Setelah diketahui ukuran aktual
lubang bukaan, kemudian dilakukan perhitungan besar overbreak (% overbreak) dengan
membandingkan dengan ukuran lubang bukaan rencana (5,5 m x 5,5 m) dan jarak antar ring
1,2 m. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan volume lubang bukaan yang direncanakan
yaitu 36,17 m3 atau jika dikalikan dengan densitas batuan 2,7 ton/m3, didapatkan berat batuan
494
yang ditambang yaitu 97,659 Ton. Berdasarkan hasil perbandingan volume aktual dengan
volume rencana, didapatkan besaran overbreak seperti pada Gambar 2.
80%
70%
60%
% Overbreak
50%
40%
30%
20%
10%
0%
CC-CC’
CR-CR’
A-A’
F-F’
K-K’
P-P’
U-U’
Z-Z’
AE-AE’
AT-AT’
BI-BI’
BS-BS’
AJ-AJ’
CW-CW’
DL-DL’
EA-EA’
AO-AO’
AY-AY’
BD-BD’
BN-BN’
BX-BX’
CH-CH’
EF-EF’
EK-EK’
CM-CM’
DB-DB’
DG-DG’
DQ-DQ’
DV-DV’
Sayatan/ring
5.2. Geometri Penyangga di Lokasi BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access
Kegiatan penyanggaan dibedakan menjadi 2 yaitu primary ground support dan secondary
ground support.Primary ground support terdiri dari split set dan weld mesh, sedangkan untuk
secondary ground support terdiri dari thread bar, cable bolt, dan shotcrete.Geometri
penyangga di lokasi BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access sebagai berikut:
Split Set
Panjang : 2,4 m
Spasi Antar Penyangga : 1,2 m
Spasi Antar Ring : 1,2 m
Pemasangan : Dipasang 1 m dari dasar lubang bukaan
495
Weld Mesh
Panjang 1 sheet :5m
Lebar 1 sheet : 2,4 m
Tebal 1 sheet : 5,6 mm
Tipe : Galvanized
Thread Bar
Panjang :4m
Spasi Antar Penyangga : 1,2 m
Spasi Antar Ring : 1,2 m
Pemasangan : Dipasang 0,5 m dari dasar lubang bukaan
Shotcrete
Ketebalan : 5 cm
Tipe : Non Fiber
Kegiatan penyanggaan yang dipantau dibagi menjadi 3 yaitu penyangga split set dan weld
mesh, thread bar, dan penyemprotan beton bertekanan (shotcrete). Berikut adalah waktu
pengeboran dan pemasangan penyangga hasil pemantauan di lapangan:
Split Setdan Weld Mesh
Total waktu pengeboran 1 lubang dan pemasangan 1 penyangga split set dan weld mesh yaitu
3,32 menit untuk di rib dan 3,25 menit untuk di back dan shoulder.
Thread Bar
Total waktu pengeboran 1 lubang dan pemasangan 1 penyangga thread bar yaitu 3,35 menit
untuk di rib dan 4,08 menit untuk di back dan shoulder.
Shotcrete
Total waktu penyemprotan beton bertekanan (shotcrete) yaitu 21,83 menit per 4m3shotcrete
atau 5,46 menit/m3shotcrete)
Harga material ini terdiri dari harga material split set, weld mesh, thread bar, grout, dan
shotcrete
Split Set
Material split set terdiri dari plate butterly,doom plate dan split set dengan harga total sekitar
US$ 26.3 per set.
Weld mesh
Material weld mesh yang digunakan yaitu tipe galvanized dengan harga sekitar US$ 153 per
set.
Thread Bar
Material thread bar terdiri dari plate, nut, dan thread bardengan harga total sekitar US$ 27
per set.
Grout
Material grout terdiri dari campuran semen dan accelerator dengan harga total sekitar US$
1,48 per m3 campuran.
Shotcrete
Material shotcreteterdiri dari beberapa campuran material seperti semen, pasir, dll dengan
harga total sekitar US$ 14.45 per m3 campuran.
496
5.5. Jumlah Material Ground Support yang Dipasang
Jumlah material ground support yang dipasang disesuaikan dengan ukuran lubang bukaan
aktual dan geometri penyangga yang telah direncanakan kemudian dihubungkan dengan besar
overbreak yang terjadi sehingga didapatkan grafik linear dengan persamaan jumlah material
yang dipasang adalah sebagai berikut:
Jumlah split setyang dipasang (Unit) = 6,291 x (%Overbreak) + 13,246
Jumlah weld meshyang dipasang (Sheet) = 0,7345x (%Overbreak) + 1,6161
Jumlah thread Baryang dipasang (Unit) = 6,003x (%Overbreak)+ 14,177
Volume materialgroutyang digunakan (m3) = 0,0788x (%Overbreak)+ 0,1724
Volume materialshotcreteyang digunakan (m3) = 0,4407x (%Overbreak) + 0,9649
497
Tabel 2. Biaya Bahan Bakar Per Jam
Alat Biaya Bahan Bakar Listrik/Jam (US$) Biaya Bahan Bakar Solar/jam (US$)
Jumbo Drill DD420-60 17,55
Jacon Maxijet 0400 11,7
AD1916-1248 Remixer 6,29085
Pump Grout GP-2000 3,237
TLH CAT TL943 KSCP 9,62
400
350
300 Biaya Material Split Set (US$) = 164,4 (%OB) + 346,15
250 R² = 0,8547
200
150
100
50
0
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
Gambar 3. Grafik Hubungan Biaya Material Split Set Terhadap Besar Overbreak
250
200 Biaya Material Weld Mesh (US$) = 112,38 (%OB) + 247,26
R² = 0,9322
150
100
50
0
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
Gambar 4. Grafik Hubungan Biaya Material Weld Mesh Terhadap Besar Overbreak
498
Biaya Material Thread Bar
600
500
Biaya Material (US$)
400
Biaya Material Thread Bar (US$) = 162,08 (%OB) + 382,78
300 R² = 0,8471
200
100
0
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
Gambar 5. Grafik Hubungan Biaya Material Thread Bar Terhadap Besar Overbreak
25
20 Biaya Material Grout (US$) = 9,7781 (%OB) + 23,093
R² = 0,8471
15
10
5
0
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
100
Biaya Material (US$)
80
Biaya Material Shotcrete (US$) = 38,768 (%OB) + 84,881
60 R² = 0,9322
40
20
0
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
Berdasarkan Gambar 3 sampai 7, diketahui besar tambahan biaya material jika terjadi
overbreakadalah sebagai berikut:
499
Tambahan Biaya Material Split Set =164,4 x (%Overbreak)
Untuk mengetahui biaya tambahan yang muncul per ton batuan overbreak, maka
1 ton
perhitungan %overbreak= x 100% = 1,02 %. Kemudian besar overbreak tersebut
97,659 ton
dimasukkan ke dalam rumusan tambahan biaya, sehingga didapatkan biaya tambahan
material per ton overbreak =164,4 x 1,02% = US$ 1.68/ton
Tambahan Biaya Material Weld Mesh = 112,38 x 1,02%= US$ 1.15/ton
Tambahan Biaya Material Thread Bar = 162,08 x 1,02% = US$ 1.66/ton
Tambahan Biaya Material Grout = 9,7781 x 1,02% = US$ 0.10/ton
Tambahan Biaya Material Shotcrete = 38,768 x 1,02% = US$ 0.40/ton
Hasil perhitungan antara jumlah material yang dipasang dikalikan waktu pemasangan,
jumlah tenaga kerja, dan gaji tenaga kerja, kemudian dihubungkan dengan besar overbreak
yang terjadi, maka didapatkan grafik hubungan sebagai berikut:
Biaya Tenaga Kerja
50,00 Biaya TK Penyanggaan Thread bar (US$) = 15,826 (%OB) + 37,376
45,00
40,00
35,00 Biaya TK Pe yanggaan Split Set dan Weld Mesh (US$) = 11,347 (%OB) + 23,892
Biaya (US$)
10,00
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
Berdasarkan Gambar 8, diketahui besar tambahan biaya tenaga kerja jika terjadi
overbreak adalah sebagai berikut:
Tambahan Biaya TK Split Set dan weld mesh = 11,347 x 1,02% = US$ 0.12/ton
Tambahan Biaya TK Thread Bar = 15,826 x 1,02% = US$ 0.16/ton
Tambahan Biaya TK Shotcrete = 7,4312 x 1,02% = US$ 0.08/ton
Hasil perhitungan antara jumlah material yang dipasang dikalikan waktu pemasangan,
jumlah alat, penggunaan bahan bakar, dan harga bahan bakar, kemudian dihubungkan dengan
besar overbreak yang terjadi, maka didapatkan grafik hubungan sebagai berikut:
500
Biaya Bahan Bakar
Biaya Bahan Bakar Alat Penyanggaan Split Set dan Weld Mesh (US$)
18,00 = 5,9804 (%OB) + 12,592
16,00
14,00
12,00
Biaya (US$)
10,00
Fuel Cost Split Set
8,00
Biaya Bahan Bakar Alat Penyanggaan thread bar = 3,1307 (%OB) + 8,9242 Fuel Cost Thread Bar
6,00
Fuel Cost Shotcrete
4,00 Biaya Bahan Bakar Alat penyemprotan beton bertekanan (shotcrete) = 0,5765 (%OB) +
1,2622
2,00
0,00
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
% Overbreak
Berdasarkan Gambar 9, diketahui besar tambahan biaya bahan bakar jika terjadi overbreak
adalah sebagai berikut:
Tambahan Biaya Bahan BakarAlat Split Set dan weld mesh = 7,4312 x 1,02%
= US$ 0.06/ton
Tambahan Biaya Bahan BakarThread Bar = 3,1307 x 1,02%
= US$ 0.03/ton
Tambahan Biaya Bahan BakarShotcrete = 0,5765 x 1,02%
= US$ 0.01/ton
Total biaya tambahan akibat terjadinya kerusakan berlebih (overbreak) yang terdiri dari
biaya tambahan material ground support, biaya tambahan tenaga kerja, dan biaya tambahan
bahan bakar alat ground support yaitu sebesar US$ 5.44/ton overbreak
501
6. DAFTAR PUSTAKA
B. Stillborg, 1994, Professional Users Handbook For Rock Bolting, Lulea University of
Technology, Sweden.
E.T. Brown, 2003,Block Caving Geomechanics, Juliis Kruttschnitt Mineral Research Centre,
Isles Road, Indooroopilly, Queensland, Australia.
E. Hoek, dkk., 2000, Support Of Underground Excavations In Hard Rock, A.A. Balkema,
Rotterdam, Brookfield.
Mohammad Farouq, dkk., 2015, Causes of Dynamic Overbreak and Control Measures Taken
at the Alborz Tunnel, Iran, 15th Coal Operators' Conference, University of Wollongong, The
Australasian Institute of Mining and Metallurgy and Mine Managers Association of
Australia.
502
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Oleh :
Hadiid Ilman Rahman (Drill & Blast Engineer)
Untung Pramana (Senior Engineer Drill & Blast)
ABSTRAK
Peledakan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam memberikan lapisan
overburden sehingga memudahkan alat gali muat saat melakukan proses pengupasan lapisan
overburden. Dalam prosesnya, peledakan menyebabkan dampak yang perlu dikontrol. Salah
satunya adalah getaran tanah (ground vibration). Pemerintah telah menetapkan standar tertentu
mengenai tingkat getaran tanah yang dituangkan melalui Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 dan SNI 7571:2010.
Pit Pinang South merupakan salah satu pit yang berada di area PT. Kaltim Prima Coal.
Letaknya cukup dekat dengan pemukiman warga, yaitu 440 meter. Karena letaknya yang cukup
dekat dengan pemukiman warga, isu getaran tanah merupakan hal yang perlu dikontrol dan
diperhatikan secara khusus. Berdasarkan SNI 7571:2010, bangunan yang berada dekat dengan
Pit Pinang South dapat digolongkan sebagai bangunan kelas 2 dengan batas tingkat getaran
tanah 3 mm/detik. Peledakan di Pit Pinang South menggunakan metode pyrotechnic. Untuk
mengontrol tingkat getaran tanah yang dihasilkan di area Pit Pinang South, dilakukanlah
beberapa simulasi peledakan dengan mengontrol beberapa parameter, diantaranya:
1. Jumlah row, pada peledakan yang menggunakan metode pyrotechnic semakin banyak
jumlah row maka kemungkinan lubang meledak secara bersamaan akan semakin tinggi
yang berimplikasi pada besarnya tingkat getaran tanah yang dihasilkan.
2. Kedalaman lubang dan isian maksimum, dimana semakin dalam lubang maka semakin
banyak isian bahan peledak dalam satu lubang.
3. Jarak lokasi peledakan, semakin dekat lokasi peledakan dengan pemukiman maka
semakin besar pula getaran tanah yang dihasilkan.
Dari hasil simulasi didapatkan beberapa opsi yang perlu dilakukan dalam pengontrolan getaran
tanah yang dihasilkan dari aktivitas peledakan. Opsi pertama, lokasi peledakan hanya dibatasi
12 row saja dengan kedalaman maksimum 15 meter dan isian maksimum 288 kg/lubang dengan
jarak minimum 700 meter dari lokasi peledakan. Opsi kedua, lokasi peledakan dibatasi 14 row
saja dengan kedalaman maksimum 15 meter dan isian maksimum 288 kg/lubang dengan jarak
minimum 1000 meter dari lokasi peledakan. Kedua opsi tersebut menghasilkan getaran tanah
kurang dari 3 mm/detik.
kata kunci : ground vibration, Pyrotechnic, simulasi peledakan
503
LATAR BELAKANG
Peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran yang merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melepas batuan dari batuan induknya dengan
harapan menghasilkan bongkaran batuan yang berukuran lebih kecil sesuai dengan yang
diharapkan sehingga memudahkan dalam proses pendorongan, pemuatan, pengangkutan, dan
konsumsi material (Kartodharmo, 1989).
Fragmentasi yang baik tentunya akan menghasilkan produktivitas alat muat yang baik
pula. Selain fragmentasi, ada hal lain yang perlu kita perhatikan dari proses peledakan, yaitu
dampak peledakan itu sendiri. Salah satunya adalah getaran tanah (ground vibration).
Pemerintah telah menetapkan standar tertentu mengenai tingkat getaran tanah yang dituangkan
melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 dan SNI 7571:2010.
Getaran tanah (ground vibration) menjadi salah satu concern di Pit Pinang South yang
perlu dikontrol karena letaknya yang cukup dekat dengan jalan umum dan pemukiman warga.
Jaraknya terdekatnya bisa mencapai 440 meter hingga 1.300 meter dari pit limit terluar. Dalam
hal ini, perlu dilakukan kajian teknis pengontrolan tingkat getaran tanah agar memenuhi
regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak mengganggu operasi penambangan.
504
Gambar 1. Peta Situasi Pit Pinang South
Dari gambar peta situasi diatas dapat dilihat 5 bangunan terdekat dengan Pit Pinang
South dengan jarak yang bervariasi mulai dari 440 m sampai 1,3 Km. Kelima titik tesebut ini
nantinya akan dijadikan titik pengukuran dimana pada daerah Rumah Potong Hewan akan
dijadikan sebagai titik wajib monitoring/compliance point. Kemudian dari crosssection
berdasarkan model batubara, dapat disimpulkan kecenderungan perlapisan tidak akan berada
pada layer yang sama antara area pit dengan area bangunan dimana area bangunan berada pada
elevasi yang lebih tinggi kecuali pada section 4 (Hana Mas) & section 5 (Rumah Masyarakat).
Dari data UCS dari geologist diperoleh tipe/karakteristik material untuk PitPinang
South terdiri dari mudstone, sandstone dan siltstone dengan rincian dapat dilihat pada tabel
dibawah :
505
Tabel 1. Tipe dan UCS Material di Pinang South
Note :
SS = Sandstone
MS = Mudstone
SL = Siltstone
Berdasarkan table diatas, diperoleh rata-rata density batuan sebesar 2,31 t/m3 sementara
angka rata-rata kekerasan material sebesar 4,65 Mpa. Angka ini akan digunakan untuk
perhitungan perkiraan fragmentasi peledakan dengan menggunakan metode Kuz-Ram.
506
Tabel 2. Baku Tingkat Getaran Tanah berdasarkan KEPMEN LH
Untuk getaran tanah, bangunan di sekitar Pit Pinang South bisa diklasifikasikan di kelas
2 dikarenakan tidak terdapat bangunan kuno yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi
sehingga kecepatan getaran maksimum yang diperbolehkan berada di angka 5 mm/detik.
Berdasarkan SNI, bangunan di sekitar Pit Pinang South masih diklasifikasikan di kelas
2 tetapi dengan tingkat baku getaran tanah yang berbeda. Pada SNI, kecepatan getaran
maksimum yang diperbolehkan berada di angka 3 mm/detik.
507
ANALISAGETARAN TANAH (GROUND VIBRATION)
Di area jalan umum Sangatta-Bengalon terdapat sejumlah komunitas masyarakat yang
akan bertindak sebagai reseptor sensitif sehingga diperlukan control manajemen dalam rangka
meminimalkan getaran tanah (ground vibration). Yang dikhawatirkan adalah struktur dan
bangunan dalam radius 400 sampai kurang lebih 1300 m dari daerah Pit Pinang South.
Bangunan dan masyarakat dalam zona ini akan menjadi yang paling rentan terhadap getaran
tanah tinggi akibat peledakan.
Untuk dapat mengontrol getaran tanah (ground vibration), perlu dilakukan analisa
terlebih dahulu. Apa saja penyebabnya dan variabel mana yang bisa dikontrol untuk
mengurangi getaran tanah (ground vibration). Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi getaran
tanah (ground vibration) peledakan, yakni :
1. Isian bahan peledak yang meledak pada satu waktu
Semakin banyak isian tentunya semakin banyak juga amplitude getaran yang
berlangsung. Untuk menghindari bahan peledak yang meledak bersamaan maka
dilakukan pengontrolan timing & sequence peledakan.
508
SIMULASI TINGKAT GETARAN TANAH TERHADAP ISIAN DAN JARAK PADA
PELEDAKAN PYROTECHNIC
Sebelum melakukan simulasi, kita harus menentukan parameter mana yang akan kita
ubah-ubah dan parameter mana yang nilainya tetap. Berikut asumsi yang kami gunakan untuk
melakukan simulasi peledakan:
1. Parameter Tetap
a. Nilai k= 467,53 dan b=-1,362 (site specific condition)
b. Scatter time sebesar ± 8 ms (metode pyrotechnic)
2. Parameter Ubah
a. Jumlah Row : 12 dan 14 Row
b. Kedalaman Lubang dan Isian Maksimum
Isian maksimum disesuaikan dengan loading sheet yang telah
memperhitungkan fragmentasi dengan metode Kuz-Ram. Untuk lubang dengan
kedalaman 12 meter memiliki isian maksimum 227 kg/lubang, sedangkan
lubang dengan kedalaman 15 meter memiliki isian maksimum 288 kg/lubang.
Kedalaman lubang juga disesuaikan dengan tinggi face penggalian alat yang
bekerja di Pit Pinang South, yaitu Hitachi EX-3600B (3-4 meter) dan Liebherr
996B (4-5 meter).
c. Jarak terhadap Lokasi peledakan
Jarak kami sesuaikan dengan kebutuhan blasting di Pit Pinang South. Jarak
terdekat terhadap lokasi peledakan adalah 645 meter.
Setelah parameter tersebut ditetapkan, simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan
software 2D bench - JK Sim Blast. Berikut estimasi getaran tanah (ground vibration) akibat
peledakan dari hasil simulasi:
1. Jumlah Row 12, Kedalaman Lubang 12 meter (isian maksimum 227 kg), Jarak 645
meter
PATTERN 8X8.5
12 ROW
H MAX 12M
ISIAN MAKSIMUM 227 KG
DISTANCE 645 M
CONTROL 150 MS
ECHELON 65 MS
PEMBEDA 175 MS
509
2. Jumlah Row 12, Kedalaman Lubang 15 meter (Isian Maksimum 288 kg, Jarak 645
meter
3. Jumlah Row 12, Kedalaman Lubang 15 meter (Isian Maksimum 288 kg, Jarak 700
meter
510
4. Jumlah Row 14, Kedalaman Lubang 15 meter (Isian Maksimum 288 kg, Jarak 645
meter
5. Jumlah Row 14, Kedalaman Lubang 15 meter (Isian Maksimum 288 kg, Jarak 1000
meter
511
KESIMPULAN
Getaran tanah akibat peledakan yang diperbolehkan di Pit Pinang South berdasarkan
SNI adalah kecepatan getaran maksimum 3 mm/detik. Angka itu pula yang digunakan
KPC sebagai Standar baku.
Agar getaran tanah akibat peledakan di Pinang South tidak melebihi Standar Baku yang
diizinkan, maka perlu dilakukan beberapa pembatasan pada lokasi peledakan.
Berdasarkan hasil simulasi, untuk peledakan dengan metode pyrotechnic/non-electric,
yang perlu dibatasi adalah sbb:
o Option 1 (Jumlah Row 12) dengan jarak minimum 700 m
Kedalaman maksimum 15 m (isian maksimum 288 kg) dengan PPV 2.9
mm/detik
o Option 2 (Jumlah Row 14) dengan jarak minimum 1000 m
Kedalaman maksimum 15 m (isian maksimum 288 kg) dengan PPV 2.9
mm/detik
Untuk peledakan dengan metode electric (Unitronic & Ikon untuk TSB) akan dikaji
lebih lanjut.
PUSTAKA
Oriard L.L, 2005, Explosives Engineering, Construction Vibration and Geotechnology,
Published by the International Society of Explosives Engineers, Pages 553 to 557.
Oriard. L.L, 1999. The Effects of Vibration and Environmental Forces- a Guide for the
Investigation of Structures. Published by the International Society of Explosives Engineers.
29100 Aurora Road, Cleveland OH.
Borg, D.G., Chiappetta, R.F., Morhard, R.C. & Sterner, V.A., 1987. Explosives and Rock
Blasting, Chapter 11, pp 321-410, Atlas Powder Company.
Siskind, D.E., Stagg, M.S., Kopp, J.W. &Dowding, C.H., 1980. Structure Response and
Damage Produced by Ground Vibration from Surface Mine Blasting, U.S. Bureau of Mines
RI 8507.
Chiappetta, R.F., 2000, Vibration/air blast controls, Damage criteria, record keeping and
dealing with complaints. The Institute of Quarrying, Southern Africa, Symposium, Durban.
Persson, P-A, Holmberg, R and Lee, J, 1994, Rock Blasting and Explosives Engineering. CRC
Press, USA.
512
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Imansah
(imansah@nnt.co.id)
Abstrak
Kegiatan drilling dan blasting merupakan salah satu aspek penting di dalam proses
penambangan. PT Newmont Nusa Tenggara melalui seksi Fleet Management Sistem (FMS)
saat ini telah berhasil mengembangkan cara untuk dapat mengelola proses kegiatan pemboran
dan peledakan melalui sistem Leica Jigsaw® secara otomatis dan berkelanjutan.
SistemLeica Jigsaw® adalah system manajemen armada alat angkut dan muat untuk
mengatur alat produksi tambang menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu juga berguna untuk
merekam data produksi, parameter produksi seperti siklus waktu alat, produktifitas alat, dll.
PT NNT sudah memanfaatkan kemampuan sistemLeica Jigsaw® untuk:
1. Efisiensi dan otomatisasi proses didalam proses pemboran dan pengisian bahan peledak
antara lain:
a. Otomatisasi pengiriman design peledakan ke alat
b. Otomatisasi pengeboran, keakuratan kedalaman pengeboran
c. Perhitungan jumlah bahan peledakyang dibutuhkan perlubang per ”pattern” secara
otomatis.
d. Perhitungan “cycle time explosive truck”.
e. Perhitungan status kerja alat untuk mengukur kinerja alat (PA, Usage, dll).
f. Memudahkan operator dalam memilih lubang isian dengan benar melalui panduan GPS.
g. Manajemen jenis “explosive” dan “blending”.
2. Manejemen report
a. Manajemen report dari drill sampai blasting
b. Manajemen tipe dan “explosive cost”
c. Manajemen “blasted hole”, “sleep blasting” dan “misfire”
d. “Monitoring dashboard” untuk penyelia
Penggunaan system Leica Jigsaw® untuk drilling dan blasting ini dapat meningkatkan
kontrol terhadap utilisasi drill, “explosive truck” termasuk pemakaian komponen bahan
peledak, “cost” peledakan, densitas bahan peledak, dan jumlah lubang actual yang diledakkan.
513
LATAR BELAKANG
Sistem Leica Jigsaw adalah suatu sistem manajemen pengatur alat alat berat di tambang
berbasiskan program simulasi komputasi yang menggunakan panel sentuh di alat untuk
berinteraksi dengan operator.
PT. Newmont Nusa Tenggara memasang sistem ini pada hampir semua tipe alat berat
pendukung produksi utama seperti pada alat muat dan angkut, drill dan dozer dan alat berat
pembantu seperti water truck, grader, wheel dozer, dan lain lain sehingga secara total terpasang
pada sekitar 183 unit alat berat.Sistem Leica Jigsaw ini berdasarkan kategori presisi GPS dibagi
menjadi dua jenis yaitu jenis yang mempunyai presisi tinggi dan yang mempunyai presisi
rendah. Presisi tinggi maksutnya adalah keakuratan sistem dalam memberikan data koordinat
survey secara horizontal dan vertical dengan ketepatan antara 1 - 2 milimeter sementara jenis
presisi rendah keakuratannya dalam horizontal berkisar antara 1 – 2 meter.
Cara kerja sistem Leica Jigsaw dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini, dimana sistem
bergantung kepada satelit untuk mendapatkan informasi koordinat posisi alat, radio pemancar
untuk berkomunikasi dengan server dan panel sentuh untuk berinteraksi dengan pengemudi alat
berat. Dari proses kerja tersebut sistem akan menghitung dengan algoritma linier dan dynamic
514
programming sehingga kemudian system akan memberikan arahan kepada alat pengemudi baik
secara otomatis ataupun secara umpan balik kepada pengendara alat berat tersebut.
Keluaran dari proses ini disimpan di server untuk dapat dikontrol oleh petugas yang
disebut sebagai Dispatcher dan untuk kemudian dipergunakan juga oleh penyelia tambang
dalam memonitor indikator indikator produksi untuk menentukan arah produksi.
Dalam makalah ini penulis akan berkonsentrasi khusus kepada sistem yang
berhubungan dengan alat berat drill dan truk explosive saja dimana kedua alat tersebut terlibat
dalam proses kegiatan pemboran dan peledakan di PT. Newmont Nusa Tenggara dan dalam hal
ini melalui sistem Leica Jigsaw® sudah dirancang sedimikian rupa sehingga bisa memberikan
keuntungan yang optimal terhadap produksi.
Secara umum kegiatan pemboran dan peledakan dalam sudut pandang manajemen
dispatch dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pembuatan desain lobang drill, pemboran dan
pengisian bahan peledak (Gambar 2.).
515
Mine Plan Drilling Charging
(MineSight) (Drills) (Explosive Truck)
Dari rangkaian kegiatan diatas maka PT. Newmont Nusa Tenggara melihat peluang
untuk bisa memanfaatkan sistem yang ada untuk mengoptimalkan penggunaan bahan peledak
dengan cara melakukan terobosan untuk menghitung jumlah alat bahan peledak yang akan
diisikan kedalam lubang bor berdasarkan perhitungan PF (Powder Factor) yang dibuat oleh
seksi perencanaan drill dan blast engineering. Perhitungan dilakukan oleh sistem dengan
memasukan parameter yang dibutuhkan seperti kedalaman lobang bor aktual, ukuran diameter
lubang bor, dll secara otomatis. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dan detail di bagian akhir
makalah ini.
Di PT. Newmont Nusa Tenggara dalam praktek perencanaan desain jenis peledakannya
dibagi atas 6 kategori yaitu jenis peledakan produksi, trim, line drilling, pre-splitting, trim
bayangan dan ramp grade. Dengan demikian perencanaan dril pattern juga dibagi kedalam 6
tipe drill pattern juga (Gambar 3). Drill pattern design dibuat dengan software Minesight
dengan output dalam bentuk file yang akan di import otomatis langsung oleh system Jigsaw
kedalam tabeldrill pattern design(Gambar 4) di database postgresql di server Jigsaw. Selain
informasi nomor lubang, koordinat survey (x, y) , target kedalaman (z) lubang bor, juga
dimasukkan parameter lain seperti nomor pattern design, angka PF rencana, tipe drill point,
spasi, burden, toe offset, diameter lubang atau diameter drill bit, pola pemboran, jenis batuan
yang dibor, dll.
516
.
Informasi rencana drill pattern tersebut diatasdigunakan oleh system drill presisi tinggi
untuk ditampilkan di layar sentuh operator drill (Gambar 5), dan dikarenakan proses import
berlangsung secara otomatis maka operator akan bisa langsung melihat drill pattern tersebut
dilayarnya, kemudian operator akan memilih lobang bor dan memposisikan drill bit ke lobang
yang akan di bor sementara penyelia melihatnya dalam dashboard (gambar 6).
517
Gambar 6. Dashboard drill
Melengkapi proses kegiatan drill dan blasting dalam system Leica Jigsaw ini maka
proses pengisian bahan peledak menjadi penting untuk memastikan saat pengisian bahan
peledak, jumlah isian mengikuti perhitungan dari angka Powder Factor yang sudah
direncanakan per lubang bor-nya oleh drill blast engineer.
Untuk melakukan perhitungan berapa banyak bahan peledak yang harus di isi ke masing
masing lobang bor berdasarkan acuan PF rencana, maka beberapa hal berikut harus dilakukan
didalam system:
Mendapatkan input untuk total bahan peledak yang digunakan
Mendapatkan input untuk perhitungan ton batuan yang akan diledakkan
Perhitungan ton batuan yang akan diledakkan didapatkan dari kombinasi informasi yang
didapatkan dari perencanaan desain drill pattern dan dari data pemboran actual yang sudah
dilakukan.
Seperti yang sudah disampaikan bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara membagi jenis
pemboran menjadi 6 jenis (Gambar 3) sehingga dengan ilustrasi desain pemboran pada gambar
7 dibawah ini, maka rumus berikut di pasang di sistem untuk menghitung berapa tonnes tiap
lobangnya yang digambarkan dengan rumus sebagai berikut:
518
WhereB1, B2, B3, B4, B5,… = Burden of Row #1, #2, #3, #4, #5,…
S1, S2, S3, S4, S5,… = Spacing of Row #1, #2, #3, #4, #5,…
Bench Height = Hole Depth (NO Sub drill)
BFA (Bench Face Angle) = 65 degreesdan Rock Density = 2.58 (t/m3) (Constant number)
Drill Point Type C,
Tonnage per hole (t) at Row #2 (C) = ((B1+C1)/2) * BH * S2 * Rock Density
Drill Point Type D,
Tonnage per hole (t) at Row #3,4,5 (D) = ((C1+D1)/2) * BH * S3 * Rock Density
3) Line drilling (Kode pada DGN file = A)
NO Tonnage per hole
4) Pre-Splitting (Kode pada DGN file = E)
No need to calculate tonnage. Just use fixed number of Explosives per hole = 12.5kg
5) Trim “Bayangan” (Kode pada DGN file = T)
Tonnage per hole (t) = Burden x Spacing x Bench Height x Rock DensityWhere
If Hole Depth > 15 or If Hole Depth < 15ThenBench Height = Hole Depth - 1.5 (Sub drill)
6) Ramp grade (Kode pada DGN file = P)
Tonnage per hole (t) = Burden x Spacing x Bench Height x Rock DensityWhereIf Hole
Depth > 15 or If Hole Depth < 15ThenBench Height = Hole Depth
Data aktual bahan peledak dimasukkan pada saat blaster akan mengisi bahan peledak
yaitu antara lain data kedalaman aktual lubang bor, stemming material, gas bag, jenis dynamite,
detonator dan kedalaman air di lubang, kemudian system akan menghitung berapa kilogram
bahan peledak yang harus di charge ke dalam lobang (Gambar 8).
519
Gambar 8. Panel antar muka pada Explosive truck
Dengan lengkapnya informasi yang dikumpulkan dari desain pattern, aksesoris drill
part, actual drill hole sampai dengan saat charging explosive dilakukan pada lubang bor maka
PT. Newmont Nusa Tenggara memanfaatkan kelengkapan tersebut kedalam reporting system
yang bisa diakses baik lewat MS Excel maupun lewat web. Beberapa fact table dan dimensi
dari reporting drill dan blasting bisa dilihat pada snapshot pada gambar 9 untuk explosive dan
gambar 10 untuk drill sebagai berikut.
520
Gambar 9. Fact table dan dimensi pada Cube Drilling
Salah satu keuntungan dari manajemen reporting tadi adalah memudahkan untuk
melakukan analisa terhadap trend atau kondisi apapun yang menjadi subject perhatian termasuk
untuk membandingkan antara rencana dan aktualisasinya dilapangan. Berikut pada gambar 10
dibawah ini adalah salah satu contohnya, dengan mudah kami bisa membuat graphic untuk
membandingkan perbandingan angka powder factor sebelum dan setelah implementasi
perhitungan explosive dilakukan secara otomatis berdasarkan PF dari plan. Terlihat bahwa
setelah pengisian bahan peledak di hitung secara otomatis berdasarkan plan dan di kontrol lewat
panel sentuh antarmuka di explosive truck maka penggunaan bahan peledak bisa dikontrol
untuk tidak melebihi rencana yang sudah dibuat oleh seksi perencanaan drill dan blast.
KESIMPULAN
Otomatisasi dalam operasional dan pencatatan pada proses pemboran dan pengisian bahan
peledak adalah kunci dari produktifitas, efisiensi, utilisasi drill dan pemakaian bahan peledak
521
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Terbatasnya jumlah agregat (limestone) yang dimiliki PT. KPC, sedangkan limestone sangat
dibutuhkan dalam melakukan peledakan dengan hasil yang baik sebagai material stemming.
Karena itu, dilakukan penelitian menggunakan stemtite sebagai pengganti limestone dari
operasi peledakan di Departemen Pit Jupiter. Penelitian dilakukan dengan menghitung
fragmentasi hasil peledakan lokasi pengamatan. Pengamatan (trial) peledakan dilakukan
sebanyak dua kali untuk membandingkan hasil yang menggunakan stemtite dan tidak
menggunakan, untuk mendapatkan posisi stemtite yang tepat. Pada trial pertama stemtite di
tempatkan di kedalaman 2 m dari permukaan, sedangkan pada trial ke-2 stemtite ditempatkan
1 m dari permukaan. Pada trial ke-2 dilakukan tiga perlakuan pada lokasi pengamatan yaitu
menggunakan stemtite biasa untuk lubang kering, stemtite biasa untuk lubang basah dan
stemtite modifikasi untuk lubang bor basah.
Pengamatan peledakan dilakukan dengan burden 8 m, spasi 8,5 m dan diameter lubang ledak
200 mm. PT.KPC menetapkan persentase kelolosan 30 cm > 60% untuk hasil fragmentasinya.
Pada pengamatan 1 didapatkan rata-rata persentase lolos 30 cm sebesar 86,28%; 99,37% dan
46,52%. Pada pengamatan ke-2 untuk fragmentasi batuan dengan stemtite modifikasi pada
lubang basah didapatkan persentase lolos 30 cm sebesar 90,68%; 100% dan 100%. Untuk
fragmentasi batuan dengan stemtite pada lubang basah didapatkan persentase lolos 30 cm
sebesar 34,62% dan 75,93 % . Untuk fragmentasi batuan dengan stemtite pada lubang basah
didapatkan persentase lolos 30 cm sebesar 93,71% dan 91,41%. Pada trial 1 terdapat boulder
di 2 meter bagian atas lokasi, lalu berdasarkan hal tersebut dilakukan perubahan pada decking
dan stemming yang digunakan.
Abstract
The limited number of aggregate (limestone) owned by PT. KPC, while limestone is needed in
conducting blasting with good results as stemming material. Therefore, research using stemtite
to replacement limestone in blasting operations at the Department of Pit Jupiter. The study was
conducted by calculating the results of blasting fragmentation observation location.
Observations blasting is done twice to compare results using stemtite and do not use, to get the
position right stemtite. In the second observation conducted three treatments on the location of
the observation is to use regular stemtite for dry holes, regular stemtite for wet and stemtite
modification with drill holes to wet.
Observations blasting is done with burden 8 m, 8.5 m spaced and 200 mm diameter blast holes.
KPC set percentage breakouts of 30 cm to> 60% for fragmentation results. In the first
observations obtained an average percentage of passes of 30 cm by 86.28%; 99.37% and
522
46.52%. In observation of the 2nd to rock fragmentation with stemtite modifications to the
percentage obtained wet hole passes 30 cm by 90.68%; 100% and 100%. For rock
fragmentation with stemtite on wet hole 30 cm qualify percentage obtained by 34.62% and
75.93%. For rock fragmentation with stemtite on wet hole 30 cm qualify percentage obtained
by 93.71% and 91.41%. In the first trial contained in 2-meter boulder top location, and based
on such things do change in the decking and stemming used,
I. Pendahuluan
Pada pertengahan bulan Oktober 2013 PT. KPC telah membuka pit baru yaitu pit Pinang South
yang merupakan bagian dari perluasan pit Jupiter. Kegiatan yang dilakukan sebelum
mengambil batubara adalah membongkar lapisan penutup. Kegiatan pembongkaran tanah
penutup yang dilakukan di PT. KPC adalah dengan pemboran dan peledakan yang ditangani
oleh Departemen Drill and Blast. Kegiatan pemboran di pit Pinang South yang dilakukan
dengan menggunakan mesin bor Sandvik D55SP dengan jenis mata bor tricone bit berdiameter
77/8 inchi (200.025 mm). Produk bahan peledak curah yang dipakai adalah fortis eclipse HD.
Terbatasnya jumlah agregate (limestone) yang dimiliki PT. KPC, sedangkan limestone sangat
dibutuhkan dalam melakukan peledakan dengan hasil yang baik sebagai material stemming.
Karena itu, dilakukan penelitian menggunakan stemtite sebagai pengganti limestone dari
operasi peledakan di Departemen Pit Jupiter.
523
III. Data-Data
Data Primer
Pada tahap ini hal yang dilakukan yaitu mengamati, mencatat, dan mewawancarai (jika
diperlukan) secara langsung di lapangan untuk memperoleh data-data yang diperlukan. Data-
data tersebut yaitu :
Data peledakan lokasi trial
Foto hasil peledakan, untuk dilakukan analisis ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan
Digging time alat gali (didapatkan dari dispatch), sebagai penunjang keberhasilan
peledakan
Data Sekunder
Pada tahap ini data-data diperoleh dari PT. KPC, yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian
ini. Data-data tersebut antara lain :
Data Sifat fisik dan mekanik batuan
Spesifikasi stemtite
Spesifikasi bahan peledak, digunakan sebagai dasar perhitungan energi peledakan
Ketentuan ukuran fragmentasi minimum PT. KPC, sebagai dasar keberhasilan peledakan
IV. Stemtite
Stemtite adalah alat bantu pemampat untuk menjalankan fungsinya sebagai penyumbat atau
penyangga energi peledakan. Terbuat dari high impact polystyrene dengan kuat tekan 103,4
MPa berbentuk kerucut berdiameter beragam. Diameter stemtite yg dipilih disesuaikan dengan
diameter lubang ledak yg digunakan. Beberapa lubang ledak di PT. KPC menggunakan stemtite
dengan ukuran 200,25 mm.
Gambar 2 Stemtite
V. Pengukuran Fragmentasi
Prosedur pengukuran dilakukan dalam 2 tahap, yaitu :
1. Pengambilan foto fragmentasi hasil trial dengan menggunakan kayu sepanjang 75 cm
sebagai skala foto.
2. Foto dianalisis dengan menggunakan software split desktop 3.1.
524
VI. Analisis
Pengamatan (Trial)
Pengamatan (trial) dilakukan sebanyak dua kali, pada trial pertama stemtite ditempatkan di
kedalaman 2 m dari permukaan, sedangkan pada trial ke-2 stemtite ditempatkan 1 m dari
permukaan. Dari data hasil pengamatan maka akan dilakukan analisis fragmentasi yang
kemudian akan dilakukan kajian lebih lanjut. Adapun hasil dari trial adalah sebagai berikut :
Gambar desain peledakan lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.
525
Gambar 4 Desain peledakan PN36
Trial 1
Pada trial 1, ada 3 foto yang di analisis. Foto-foto tersebut dapat dilihat pada gambar 6.
526
Hasil analisis foto-foto tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
Dari hasil analisis foto didapatkan ukuran fragmentasi batuan di bawah 30 cm adalah 86,28%
untuk foto (a); 99,37% untuk foto (b) dan 46,52% untuk foto (c). Dari ketiga foto tersebut
didapatkan rata-rata 77,39%.
Trial 2
Pada trial 2, dilakukan 3 perlakuan berbeda pada satu lokasi peledakan. Pertama dengan
menggunakan stemtite modifikasi pada lubang basah. Kedua, stemtite pada lubang basah. Dan
ketiga, stemtite pada lubang kering. Seperti pada gambar 5. 4
Fragmentasi Batuan dengan Stemtite Modifikasi Pada Lubang Basah
Pada perlakuan ini, ada 3 foto yang di analisis. Foto-foto tersebut dapat dilihat pada gambar 8.
527
Hasil analisis foto-foto tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
Dari hasil analisis foto didapatkan ukuran fragmentasi batuan di bawah 30 cm adalah 90,68%
untuk foto (a); 100% untuk foto (b) dan 100% untuk foto (c). Dari ketiga foto tersebut
didapatkan rata-rata 96,89%.
Fragmentasi Batuan dengan Stemtite Pada Lubang Basah
Pada perlakuan ini, terdapat 2 foto yang di analisis. Foto-foto tersebut dapat dilihat pada gambar
10.
Hasil analisis foto-foto tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
528
Gambar 11 Hasil Analisis Fragmentasi Stemtite Pada Lubang Basah (1)
Dari hasil analisis foto didapatkan ukuran fragmentasi batuan di bawah 30 cm adalah 34,62%
untuk foto (a) dan 75,93% untuk foto (b). Dari kedua foto tersebut didapatkan rata-rata 55,28%.
Fragmentasi Batuan dengan Stemtite Pada Lubang Kering
Pada perlakuan ini, terdapat 2 foto yang di analisis. Foto-foto tersebut dapat dilihat pada gambar
12.
Hasil analisis foto-foto tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
529
Dari hasil analisis foto didapatkan ukuran fragmentasi batuan di bawah 30 cm adalah 93,71%
untuk foto (a) dan 91,41% untuk foto (b). Dari kedua foto tersebut didapatkan rata-rata 92,56%.
Perbandingan Fragmentasi Batuan yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan
Stemtite
Hasil fragmentasi batuan lokasi trial stemtite dibandingkan dengan fragmentasi lokasi yang
tidak menggunakan stemtite berdasarkan elevasi yang sama. Perbandingan tersebut dapat
dilihat pada grafik 14 dan 15.
Dari hasil analisis ukuran fragmentasi batuan PN32 yang di bawah 30 cm adalah 40,46% dan
67,32%.
Dari hasil analisis ukuran fragmentasi batuan PN31 yang di bawah 30 cm adalah 73,86%;
64,21% dan 45,14 %. Fragmentasi batuan rata-rata tiap lokasi adalah :
530
Tabel 2 Rata-Rata Fragmentasi ≤ 30 cm Batuan di Setiap Lokasi
VII. Penutup
Kesimpulan
Hasil fragmentasi persentase lolos dengan menggunakan stemtite lebih baik dari fragmentasi
yang tidak menggunakan stemtite. Dan terjadi peningkatan fragmentasi dan dari trial 1 (2 m)
ke trial (1 m).
Saran
1. Jika mendapatkan lubang peledakan yang sempit, sebaiknya tidak terlalu dipaksakan saat
memasangkan stemtite karena dapat merusak in hole delay.
2. Pemasangan dilakukan dengan teliti agar kedalaman stemtite tepat dan posisinya tidak
miring.
3. Sebaiknya dipasang untuk lokasi sleep.
4. Stemtite di bor untuk lubang basah, dengan total 10 lubang dengan diameter 1 cm untuk
masing–masing lubang.
5. Pemasangan stemtite dari permkaan bervariasi tergantung dari coloum charge seperti pada
loading sheet.
6. Sebaiknya, stemtite diberikan lubang untuk in hole delay.
Ucapan Terimakasih
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada PT. KPC yang telah bersedia memberikan
kesempatan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.
Daftar Pustaka
531
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access merupakan salah satu lokasi di GBC yang
menggunakan metode peledakan untuk pembongkaran batuan. Lokasi ini berada pada batuan
diorite dengan densitas 2,7 ton/m3. Percobaan peledakan dengan menggunakan geometri yang
sama dilakukan pada beberapa tempat di lokasi ini dan menghasilkan besar kerusakan yang
berbeda-beda. Penyebab terjadinya kerusakan berlebih (overbreak)di lokasi ini diperkirakan
akibat perbedaan kondisi massa batuan (rock mass rating) (Schmitz, 2003).
Analisis balik dari radius kerusakan yang dihasilkan, dilakukan untuk mendapatkan hubungan
antara konstanta batuan dengan rock mass rating. Rumus yang digunakan yaitu perhitungan
burden menurut Ash (1963). Berdasarkan grafik hubungan antara konstanta batuan dengan rock
mass rating akan didapatkan rumusan faktor koreksi untuk nilai konstanta batuan dalam
penentuan burden sehingga geometri peledakan yang dirancang dapat sesuai dengan kondisi
massa batuan (RMR) yang ada di lapangan.
1. PENDAHULUAN
BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access merupakan salah satu lokasi di GBC
yang menggunakan metode peledakan untuk pembongkaran batuan. Lokasi ini berada pada
batuan diorite dengan densitas 2,7 ton/m3.
Kegiatan peledakan akan menghasilkan zona retakan (cracked zone) di sekitar lubang
ledak dengan tingkat retakan yang berbeda-beda. Radius kerusakan (blast damageradius)terdiri
dari zona dengan tingkat retakan tinggi (crushed zone)sampai zona dengan tingkat retakan
sedang. Penentuan jarak burden antar lubang ledak utama harus mewakili radius kerusakan
yang dihasilkan agar ukuran lubang bukaan hasil peledakan sesuai dengan yang telah
direncanakan (Hustrulid, 2013).Percobaan peledakan dengan menggunakan geometri yang
sama dilakukan pada beberapa tempat di lokasi ini dan menghasilkan besar kerusakan yang
berbeda-beda. Penyebab terjadinya kerusakan berlebih (overbreak)di lokasi ini diperkirakan
akibat perbedaan kondisi massa batuan (rock mass rating) (Schmitz, 2003).
Penelitian mengenai hubungan geometri peledakan dan rock mass rating terhadap
kerusakan akibat peledakan (blast damage)perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh kondisi massa batuan (rock mass rating)terhadap peningkatan kerusakan yang
532
dihasilkan serta mendapatkan nilai konstanta batuan yang sesuai dengan lokasi penelitian
sebagai masukan dalam penentuan jarak burden agar terjadinya overbreak dapat diminimalisir.
2. BATASAN MASALAH
Batasan dari permasalahan dalam penenelitian ini antara lain:
Geometri peledakan menggunakan desain dari PT. Freeport Indonesia untuk ukuran lubang
bukaan 5,5 m x 5,5 m..
Radius kerusakan yang dihasilkan karena gagal ledak tidak diperhitungkan dalam penelitian
ini (yang digunakan hanya radius kerusakan terbesar).
3. TUJUAN
Tujuan dari penenelitian ini yaitu:
a. Membuktikan bahwa kondisi massa batuan (rock mass rating)berpengaruh terhadap
kerusakan akibat peledakan (blast damage) yang dihasilkan.
b. Mendapatkan nilai konstanta batuan yang sesuai dengan kondisi massa batuan di lapangan
untuk merancang geometri peledakan.
4. TINJAUAN PUSTAKA
4.1. Kerusakan Akibat Peledakan
533
perancangan geometri peledakan, jarak burden diasumsikan sama dengan jarak kerusakan atau
radius kerusakan (damage radius) (Hustrulid, 2013). Beberapa peneliti menemukan rumusan
untuk memperhitungkan jarak burden diantaranya adalah Ash (1963) yang menemukan
rumusan jarak burden dengan memperhitungkan ukuran lubang ledak dan konstanta batuan (B=
Kb x De) (Jimeno dkk, 1995).
Parameter geologi seperti kekuatan rock mass, karakteristik bidang diskontinu, kondisi
stress, topografi, dan lain lain memiliki pengaruh yang besar terhadap terjadinya fenomena
overbreak. Diantara faktor-faktor geologi, orientasi bidang diskontinu adalah salah satu faktor
utama yang mempengaruhi fenomena overbreak. Bidang diskontinuitas memiliki arah sejajar
dengan sumbu terowongan dianggap memiliki efek mengurangioverbreak. Bidang
diskontinuitas yang hampir tegak lurus terhadap sumbu terowongan dapat memperbesar
overbreak yang dihasilkan(Hoek dan Brown, 1980). Kondisi massa batuan (rock mass rating)
juga berpengaruh terhadap overbreak yang dihasilkan, namun penurunan kondisi massa batuan
(rock mass rating)tidak berbanding lurus dengan overbreak yang dihasilkan (Schmitz, 2003).
Berdasarkan data dari divisi underground geotech PT. Freeport Indonesia, geometri
peledakan di lokasi BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access dapat dilihat pada
Gambar 1. Kedalaman lubang ledak yaitu 4 m dengan diameter lubang ledak 45 mm. Bahan
peledak utama yang digunakan adalah ANFO dengan densitas dan daya ledak rendah.
Gambar 1. Geometri Peledakandi Lokasi BC-613 Tail Access dan BC-612 Transfer Access
534
5.2. Radius Kerusakan
Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa jarak burden lubang ledak terluar adalah 0,75 m
untuk mendapatkan ukuran lubang bukaan 5,5 m x 5,5 m. Hasil peledakan aktual menunjukkan
terjadinya kerusakan berlebih (overbreak) yang menunjukkan bahwa jarak kerusakan yang
dihasilkan oleh lubang ledak terluar, sehingga dilakukan pengukuran jarak kerusakan (damage
radius)aktual dari lubang ledak terluar untuk selanjutnya dianalisis nilai konstanta batuan dalam
penentuan jarak burden menggunakan rumus perhitungan dari Ash (1963). Lokasi pengukuran
radius kerusakan dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3, sedangkan hasil pengukuran jarak
kerusakan aktual dari lubang ledak terluar dapat dilihat pada Gambar 4.
535
Radius Kerusakan Berdasarkan Lokasi Sayatan
1,80
1,60
Radius Kerusakan (m)
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
CC-CC’
A-A’
Q-Q’
U-U’
Y-Y’
E-E’
I-I’
M-M’
AC-AC’
AG-AG’
AK-AK’
AO-AO’
AS-AS’
BA-BA’
BE-BE’
BI-BI’
BM-BM’
BQ-BQ’
BU-BU’
BY-BY’
CG-CG’
CK-CK’
CO-CO’
CS-CS’
CW-CW’
DA-DA’
DE-DE’
DI-DI’
DM-DM’
DQ-DQ’
DU-DU’
DY-DY’
EC-EC’
EG-EG’
EK-EK’
AW-AW’
Sayatan
Data mapping RMR dari setiap sayatan dapat dilihat pada Gambar 5. Pengukuran RMR
dilakukan pada dinding (heading) yang akan dilakukan peledakan.
Data RMR Berdasarkan Lokasi Sayatan
70
60
50
40
RMR
30
20
10
0
J-J’
BC-BC’
BR-BR’
A-A’
D-D’
G-G’
P-P’
S-S’
V-V’
Y-Y’
AE-AE’
AT-AT’
AZ-AZ’
BI-BI’
BL-BL’
M-M’
AB-AB’
AH-AH’
AK-AK’
AN-AN’
AQ-AQ’
BF-BF’
BO-BO’
BU-BU’
BX-BX’
CA-CA’
CD-CD’
CG-CG’
AW-AW’
Sayatan
536
5.4. Pengaruh Kondisi Massa Batuan Terhadap Kerusakan yang Dihasilkan Akibat
Kegiatan Peledakan
Berdasarkan data RMR dan pengukuran radius kerusakan, didapat grafik hubungan antara
RMR dengan radius kerusakan seperti pada Gambar 6.Gambar 6 menunjukkan bahwa RMR
dan radius kerusakan memiliki hubungan berbanding terbalik. Semakin rendah kondisi massa
batuan, maka semakin besar radius kerusakan yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Schmitz (2003) bahwa kondisi massa batuan berbanding terbalik dengan
radius kerusakan yang dihasilkan.
60
50
RMR
40
RMR = -11,887 (RK) + 67,422
R² = 0,3881
30
20
10
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80
Radius Kerusakan (m)
Gambar 6. Grafik Hubungan Antara Kondisi Massa Batuan Terhadap Radius Kerusakan
yang Dihasilkan
5.5. Nilai Konstanta Batuan yang Sesuai dengan Kondisi Massa Batuan
Nilai konstanta batuan didapat menggunakan rumus perhitungan burden rumusan Ash
(1963) yaitu:
Burden
Kb =
𝐷𝑒
Hasil perhitungan nilai konstanta batuan kemudian dihubungkan dengan nilai RMR
sehingga didapatkan Grafik hubungan seperti pada Gambar 7 berikut ini.
537
70
60
50
R² = 0,466
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Konstanta Batuan
6. DAFTAR PUSTAKA
C. Lopes Jimeno, dkk., 1995, Drilling and Blasting of Rock, A.A. Balkema, Rotterdam,
Brookfield.
E.T. Brown, 2003,Block Caving Geomechanics, Juliis Kruttschnitt Mineral Research Centre,
Isles Road, Indooroopilly, Queensland, Australia.
Hustrulid, dkk., 2013, A New Perimeter Control Blast Design Concept for Underground
Metal/Nonmetal Drifting Applications, Department of Health and Human Services,
Office of Mine Safety and Health Research, Pittsburgh.
Hyongdo Jang dan Erkan Topal., 2013, Optimizing Overbreak Prediction Based On Geological
Parameters Comparing Multiple Regression Analysis And Artificial Neural Network,
Department Of Mining Engineering, Western Australian School Of Mines, The Curtin
University, Kalgoorlie, Australia.
Mohammad Farouq, dkk., 2015, Causes of Dynamic Overbreak and Control Measures Taken
at the Alborz Tunnel, Iran, 15th Coal Operators' Conference, University of Wollongong,
The Australasian Institute of Mining and Metallurgy and Mine Managers Association of
Australia.
R.M. Schmitz, dkk., 2006,The Role Of Rock Mechanics In Analysing Overbreak: Application
To The Soumagne Tunnel, Belgium.
538
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
N. Iman Suansa
PT ANTAM (Persero) Tbk.-Unit Bisnis Pertambangan Bauksit
Dusun Piasak, Desa Pedalaman, Kec. Tayan Hilir, Kab. Sanggau, Prov. Kalimantan Barat
Abstrak
Kata Kunci : Kestabilan Lereng, Top soil, Erosi, TKKS, LCC, Revegetasi
539
1. Tambang Bauksit Tayan
Tambang Bauksit Tayan merupakan salah satu proyek Antam yang terletak di Provinsi
Kalimantan Barat. Selain proyek ini, Antam juga memiliki proyek tambang bauksit lain di
Kalimantan Barat, yang kedepannya diharapkan dapat dibangun pabrik Smelter Grade Alumina
(SGA) sebagai pabrik pengolahan. Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Antam untuk
Tambang Bauksit Tayan terletak di Kabupaten Sanggau, 80 km di sebelah timur Kota
Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat. WIUP ini terletak di 3 kecamatan, yaitu
Kecamatan Tayan Hilir, Toba, dan Meliau, sesuai pada Gambar 1.
Sumberdaya bauksit Tambang Tayan berada di sebuah endapan yang terletak di sebelah
selatan Sungai Kapuas. Keseluruhan sumberdaya ini dibagi menjadi 5 blok, yaitu blok A,B,C,D,
dan E. Total tonase sumberdaya tersebut sebesar 50,25 juta wmt washed bauxite (WBx), yang
terdiri dari 27,8 juta wmt sumberdaya terukur dan 22,45 juta wmt sumberdaya tertunjuk. Untuk
blok A sendiri, terdapat 26,75 juta wmt sumberdaya terukur dan 9,95 juta wmt sumberdaya
tertunjuk. Pembagian area sumberdaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
540
Gambar 2 Ilustrasi proses penambangan bauksit.
4. Dasar Teori
Pemanfaatan limbah kelapa sawit yang berupa TKKS dapat digunakan untuk membantu
menyuburkan tanah sebagai pengganti pupuk.TKKS merupakan bahan organik kompleks yang
mempunyai kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman. Komponen
penyusunnya adalah material yang kaya unsur karbon meliputi Sellulosa 42,7%, Hemisellulosa
27,3%, lignin 17,2% (Darnoko et al., 2006). Sellulosa merupakan polymer dari glukosa. Proses
541
degradasi sellulosa menjadi glukosa (soluble sugars) yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk proses biosintesis memerlukan waktu yang cukup lama, karena
menggunakan setidaknya tiga jenis enzim: exoglucanase, endoglucanase dan β-glucosidase
(cellulase complex). Hal tersebut menyebabkan keseluruhan proses dekomposisi TKKS
memerlukan waktu yang lama (Wardani DI, 2012).
Dengan mempertimbangkan komponen penyusun TKKS tersebut, maka diperkirakan
pemanfaatan TKKS dapat mengatasi permasalahan yang ada dalam kegiatan penambangan,
khususnya kestabilan lereng.TKKS dapat dijadikan sebagai alternatif karena dapat membantu
mengikat tanah agar tidak tererosi dalam waktu yang relatif lama hingga cover crops dapat
tumbuh dengan baik.
Secara fisik, dengan tekstur TKKS yang keras dan runcing mampu melekat stabil pada
topografi lereng sehingga tanah menjadi tidak mudah tererosi.Selain itu, dengan meningkatnya
bahan organik tanah maka struktur tanah semakin mantap dan kemampuan tanah menahan air
bertambah baik, perbaikan sifat fisik tanah tersebut berdampak positif terhadap pertumbuhan
akar dan penyerapan unsur hara.Secara kimia, TKS berpengaruh terhadap perbaikan
perimbangan Mg/K dan peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) (Ginting EN & Rahutomo
S, 2012). Secara biologi, TKKS dapat berfungsi sebagai bahan makanan bagi mikroorganisme
(terimmobilisasi/digunakan oleh mikroorganisme tanah untuk menunjang kelangsungan
hidupnya), sehingga dapat membantu meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme yang akan
menguraikan bahan organik dan mendaur ulang unsur hara di dalam tanah. Melalui kegiatan
mikroorganisme tanah, unsur hara yang didapati pada TKKS kembali ke dalam tanah, sehingga
tanah menjadi semakin subur.
5. Pengumpulan Data
Data diperoleh dari pengamatan terhadap 2 (dua) lokasi yaitu lereng yang menggunakan
media TKKSdan tanpa TKKS.Pada setiap lokasi dibuat 3 (tiga) plot contoh yang berisi 9
(sembilan) tanaman cover crop yang ditanam dengan jarak 50 x 50 cm².Pengukuran dilakukan
dengan rentang waktu antar pengamatanselama 3 hari.Hasil dari pengukuran dapat ditunjukkan
pada Tabel 1 berikut.
542
Tabel 1 Data Pengamatan Pertumbuhan LCC
Panjang LCC (cm)
N Titik
Media Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9
o Pengamatan
(T0) (T1) (T2) (T3)
1 Sampel 1 36.28 39.78 41.28 43.78
Mengguna
2 Sampel 2 24.00 26.00 28.33 30.50
kan TKKS
3 Sampel 3 19.35 22.73 24.81 27.54
4 Sampel 1 24.44 27.17 27.89 29.61
Tanpa
5 Sampel 2 22.44 24.06 24.42 25.41
TKKS
6 Sampel 3 29.17 30.89 31.94 33.33
5. Pengolahan Data
Data hasil pengamatan dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif maupun
kuantitatif.Secara kualitatif, data yang didapatkan akan diolah dengan cara menelaah seluruh
data yang terkumpul, mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi, menyusun
kategori, dan memberikan makna terhadap data. Kelebihan analisis deskriptif kualitatif yaitu
karena lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti (Idrus, 2009).Secara
kuantitatif data yang diperoleh akan dianalisa secara statistika deskriptif dengan menggunakan
nilai rata-rata atas laju pertumbuhan dari masing-masing sampel. Berdasarkan data pada Tabel
1, diperoleh pertumbuhan dan laju pertumbuhan LCC sesuai Tabel 2, Tabel 3, Gambar 5, dan
Gambar 6di bawah ini.
543
Pertumbuhan Kumulatif LCC
9,00
8,00 8,19
7,50
7,00
Panjang LCC (cm)
5,00 4,93
4,00 4,10
Sampel TKKS
3,00 2,96 2,73 Sampel tanpa TKKS
2,00 2,02
1,00
-
T 0-1 T 1-2 T 2-3
Durasi Pertumbuhan
6. Pembahasan
Berdasarkan pengolahan data di atas, diperoleh nilai laju rata-rata pertumbuhan LCC
yang ditanam pada media TKKS dan tanpa TKKS masing-masing sebesar 0.82 cm/hari dan
0.46 cm/hari. Berdasarkan data laju pertumbuhan, secara keseluruhan LCC yang ditanam pada
media TKKS memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan LCC yang
ditanam tanpa TKKS.Hal tersebut terjadi karena TKKS memiliki beberapa keunggulan,
diantaranya kandungan kalium yang tinggi, tidak membutuhkan penambahan bahan kimia,
memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia,
serta biologi tanah.
544
Kemudian secara kualitatif, LCC yang ditanam pada media TKKS dapat tumbuh lebih
cepat, memiliki daun yang lebar, dan warna daun yang hijau.Sedangkan LCC yang ditanam
tanpa TKKS memiliki pertumbuhan yang lambat, kerdil, warna daun menguning, dan relatif
stagnan jika pertumbuhan sudah menjauhi lubang tanam karena ketersediaan bahan organik
yang terbatas.
(a) (b)
Gambar 6 Kondisi LCC yang Ditanam (a) Menggunakan TKKS(b) tanpa TKKS.
7. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa laju pertumbuhan rata-
rata LCC yang ditanam pada media TKKS dan tanpa TKKS masing-masing adalah 0.82 cm/hari
dan 0.46 cm/hari.LCC yang ditanam menggunakan media TKKS memiliki laju pertumbuhan
lebih tinggi dibandingkan dengan LCC yang ditanam tanpa menggunakan TKKS.Dengan
begitu, dapat disimpulkan bahwa TKKS berpengaruh dalam meningkatkan laju pertumbuhan
LCC sehingga cover crop tersebut dapat tumbuh secara optimal.
Daftar Pustaka
Darnoko dan Ady SS. 2006. Pabrik Kompos di Pabrik Sawit. Tabloid Sinar Tani, 9
Agustus 2006
Ginting EN & Rahutomo S. 2012. Pengaruh kompos tandan kosong kelapa sawit
terhadap produksitanaman kelapa sawit dan perubahan sifat kimia tanah. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit
Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Edisi kedua. Jakarta:Erlangga
Wardani DI. 2012. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Sebagai Alternatif Pupuk
Organik
545
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Tambang yang ditelantarkan akan mewariskan masalah yang pelik bagi pemerintah,
masyarakat dan perusahaan tambang, yang dapat merusak citra industri pertambangan. Untuk
itu, pemerintah telah mengembangkan suatu rangkaian kerangka kerja untuk mendorong
praktek kerja pertambangan yang lebih baik, salah satunya adalah Permen ESDM No 07/2014
tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Peraturan ini secara rinci menjabarkan kewajiban perusahaan dalam
menyusun Rencana Reklamasi dan Rencana Pascatambang, serta prinsip dan tata cara
penyusunannya. Tulisan ini secara khusus mendiskusikan penentuan kriteria keberhasilan
reklamasi sebagai salah satu pokok uraian dalam (menyusun) rencana reklamasi lahan
tambang, dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai perspektif
analisis.
Dalam Permen ESDM No 07/2014, perusahaan tambang diwajibkan menyusun kriteria
keberhasilan sebagai standar mutu yang harus dicapai dalam kegiatan reklamasi lahan bekas
tambang. Pada bagian lampiran X peraturan tersebut, pemerintah telah menentukan kriteria
keberhasilan sebagai acuan untuk mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan reklamasi. Sebagai
konsekuensinya, kriteria keberhasilan dan cara penilaian reklamasi akan dilakukan
berdasarkan standar tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, operasi pertambangan tidak hanya
menguntungkan secara ekonomi, tapi pada saat yang sama juga menimbang faktor sosial dan
lingkungan hidup. Dalam rangka itu, tataguna akhir lahan reklamasi dan pascatambang harus
diputuskan bersama-sama oleh para pemangku kepentingan, termasuk perusahaan, warga
masyarakat di sekitar tambang, pemerintah, pemerhati lingkungan, dan lain-lain. Gagasan
dasarnya adalah untuk mewujudkan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan di lahan
pascatambang. Pelibatan masyarakat secara khusus akan memunculkan isu-isu spesifik dalam
menilai kesuksesan reklamasi pada level lokal. Karena itu, tataguna akhir lahan dapat
bervariasi sesuai dengan keputusan para pemangku kepentingan dan kriteria keberhasilan
reklamasi pun akan bervariasi dan spesifik. Dengan cara ini, hasil akhir reklamasi dapat
diterima oleh para pemangku kepentingan setempat.
Dengan demikian, penetapan suatu kriteria keberhasilan reklamasi yang berlaku umum,
seperti lampiran X Permen ESDM No 7/2014, adalah antitesis dari prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam industri pertambangan.
546
Pendahuluan
Industri pertambangan menyadari bahwa masa depannya terkait erat dengan upaya
pencapaian pembangunan berkelanjutan. Karena itu, operasi pertambangan harus selaras
dengan harapan masyarakat dan perusahaan tambang mengakui bahwa kegiatan usahanya
harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah dan masyarakat luas untuk membantu
memfasilitasi pengembangan masyarakat yang kuat dan berkelanjutan.
Konon, tambang sering kali dianggap sebagai kunci mesin-ekonomi di wilayah
tempatnya beroperasi. Tetapi bukti terkini dari banyak negara telah menunjukkan bahwa
dampak positif langsung dari investasi pertambangan terhadap masyarakat lokal sering kali
sangat terbatas. Hal ini terjadi karena kurangnya automatic spillover effects. Namun
demikian, melalui instrumen-instrumen Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic
Development, LED) yang memadai, sebuah pertambangan dapat memberi lebih dari sekedar
kesempatan menjadi karyawan bagi masyarakat. Melalui partisipasi atau bahkan mengarahkan
sebuah program LED di masyarakat, perusahaan pertambangan dan pemangku kepentingan
(pemerintah daerah, lembaga pendidikan, bidang usaha lain) dapat bekerja sama untuk
memastikan bahwa penduduk setempat, termasuk segmen yang paling miskin sekalipun,
dapat memperoleh manfaat dari keberadaan investasi baru dan mendapat bagian dari potensi
pertumbuhan ekonomi lokal (Balkau dan Parsons, 1999).
Dari segi pemanfaatan lahan, pertambangan adalah pemanfaatan lahan sementara.
Kegiatan pertambangan yang mengubah bentang alam harus diimbangi dengan reklamasi.
Reklamasi yang baik bertujuan untuk mengembalikan daya dukung lingkungan hidup.
Karena, sebanyak apapun sumberdaya atau cadangan tertambang yang tersedia di suatu
tempat, pada suatu waktu tambang tetap harus ditutup.
Tambang yang ditelantarkan akan mewariskan masalah yang pelik bagi pemerintah,
masyarakat dan perusahaan tambang. Pada akhirnya masalah seperti ini akan merugikan
masyarakat serta merusak citra industri pertambangan. Untuk itu, pemerintah telah
mengembangkan suatu rangkaian kerangka kerja kebijakan pembangunan berkelanjutan yang
kini berfungsi sebagai faktor pendorong praktek kerja pertambangan yang lebih baik.
Salah satu rangkaian kebijakan pendorong praktek kerja pertambangan yang lebih baik
adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor: 07 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan
Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Permen ESDM No
07/2014). Peraturan ini secara rinci menjabarkan kewajiban perusahaan dalam menyusun
Rencana Reklamasi dan Rencana Pascatambang, serta prinsip dan tata cara penyusunannya.
Tulisan ini secara khusus mendiskusikan penentuan kriteria keberhasilan reklamasi sebagai
salah satu pokok uraian dalam (menyusun) rencana reklamasi lahan tambang.
Menyusun Kriteria Keberhasilan Reklamasi Tambang
Reklamasi dan penutupan tambang adalah proses yang kompleks. Reklamasi jika tidak
dilaksanakan dengan baik akan mewariskan masalah lingkungan hidup, sosial dan ekonomi,
serta keselamatan masyarkat setempat. Di sisi lain, reklamasi tambang yang baik akan
meminimalkan risiko-risiko tersebut. Keberhasilan proses transisi lahan dari lokasi tambang
menjadi sumberdaya yang lain akan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat
dan generasi mendatang.
547
Oleh karena itu, dalam mepersiapkan rencana reklamasi, pihak perusahaan tambang
harus mengidentifikasi metode yang akan digunakan untuk memverifikasi bahwa proses
reklamasi dan revegetasi telah selesai. Dengan kata lain, keberhasilan reklamasi tambang
harus memiliki standar mutu tertentu yang dapat diukur untuk menilai tingkat keberhasilan
kegiatan reklamasi tersebut. Standar mutu ini dituangkan dalam bentuk kriteria keberhasilan
reklamasi tambang. Kriteria keberhasilan ini nantinya akan memberikan titik acuan untuk
mengevaluasi keberhasilan reklamasi secara obyektif. Kriteria keberhasilan diperlukan
sehingga akan jelas bagi perusahaan tambang dan pemerintah ketika titik akhir periode
reklamasi telah tercapai.
Penentuan kriteria keberhasilan yang baik akan menentukan kesuksesan proses transisi
lahan dari lokasi tambang menjadi sumberdaya yang lain, yang akan memberikan manfaat
yang berkelanjutan bagi masyarakat dan generasi mendatang.
Kriteria Keberhasilan Reklamasi dalam Permen ESDM No 07/2014
Perjalanan kebijakan reklamasi tambang di Indonesia kontemporer ditandai dengan
terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 Tahun 2008 tentang
Reklamasi dan Penutupan Tambang. Selanjutnya, pasca-pemberlakuan Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, pemerintah memandang perlu
menetapkan peraturan mengenai pelaksanaan reklamasi dan pascatambang dalam bentuk
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pelaksanaan Reklamasi dan
Pascatambang Pada Kegiata Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini
bernomor 07 tahun 2014, yang lalu dikenal dengan Permen ESDM No 07/2014.
Dalam Permen ESDM No 07/2014, perusahaan tambang diwajibkan menyusun kriteria
keberhasilan sebagai standar mutu yang harus dicapai dalam kegiatan reklamasi lahan bekas
tambang. Panduan dalam menyusun kriteria keberhasilan ini ditampilkan dalam lampiran I
(Pedoman Penyusunan Rencana Reklamasi Tahap Eksplorasi) dan lampiran II (Pedoman
Penyusunan Rencana Reklamasi Tahap Operasi Produksi) peraturan tersebut. Dalam pedoman
tersebut, kriteria keberhasilan merupakan bagian dari rencana reklamasi yang memuat uraian
mengenai kriteria keberhasilan reklamasi meliputi standar keberhasilan penatagunaan lahan,
revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir.
Selanjutnya, pada bagian lampiran X peraturan tersebut, pemerintah telah menentukan
kriteria keberhasilan sebagai acuan untuk mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan reklamasi
(Tabel 1). Sebagai konsekuensinya, kriteria keberhasilan dan cara penilaian reklamasi akan
dilakukan berdasarkan standar tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Konsep Pertambangan Berkelanjutan
Konsep pertambangan berkelanjutan sering dihadapkan pada dua masalah utama.
Pertama, karakteristik sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources).
Adalah hal yang sudah umum diketahui bahwa cadangan, baik mineral dan batubara,
betapapun banyaknya, suatu saat akan habis ditambang. Bahkan umur proyek yang tidak lebih
dari 10 tahun sering ditemui pada tambang-tambang skala menengah dan kecil dengan
volume cadangan yang sangat terbatas. Sekali cadangan habis ditambang, maka selesailah
kegiatan pertambangan tersebut. Tidak peduli betapa menguntungkan ia pada awalnya dan
betapa banyak orang yang menggantungkan hidup darinya, tambang harus tetap ditutup.
Sekali berarti, sesudah itu mati.
548
Tabel 1
Sebagian Kriteria Keberhasilan Reklamasi tahap Operasi Produksi dalam Lampiran X
Permen ESDM No 07/2014
549
2. Meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan
lokal serta kaum perempuan;
3. Menumbuhkan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan melalui penyediaan
dukungan teknis, pembangunan kapasitas dan keuangan, kepada negara berkembang
dan sejahtera.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam industri
pertambangan diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan
pertambangan dan pada saat yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan
sosial. Artinya, konsep keberlanjutan pada sektor ekstraksi mineral dan batubara ditekankan
pada optimalisasi dampak-dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut serta
pembukaan ruang partisipasi dan pembangunan kapasitas para pemangku kepentingan. Proses
ini menitikberatkan pada akulturasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan (the triple
bottom-line).
550
tanaman industri, padang penggembalaan atau taman rekreasi. Setiap reklamasi akan
memerlukan kriteria keberhasilan yang spesifik. Selain itu, karakteristik lingkungan geofisika
kimia, biologi, dan sosial-ekonomi-budaya (Sosekbud) di lokasi tambang akan membuatnya
menjadi lebih spesifik lagi.
Lebih dari itu, kegiatan reklamasi merupakan bagian yang diharapkan dapat membuat
perusahaan tambang berkontribusi terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu, untuk
menjamin tujuan reklamasi dapat dicapai dengan baik, maka tujuan-tujuan dan kriteria
keberhasilan reklamasi perlu ditetapkan secara bersama-sama melalui proses konsultatif yang
melibatkan oleh para pemangku kepentingan.
Mengingat pihak yang paling memahami karakteristik lokal dan penanggung risiko
lahan reklamasi dan pascatambang adalah para pemangku kepentingan setempat, termasuk
masyarakat adat dan kaum perempuan, maka mereka harus dilibatkan dalam menentukan
standar penilaian keberhasilan program-program lingkungan hidup perusahaan tambang.
Konsultasi publik harus dilakukan secara intensif sehingga kepentingan sosial ekonomi
masyarakat dapat diidentifikasi secara jelas yang nantinya dapat dirancang sebagai bagian dari
rencana kerja reklamasi dan pascatambang perusahaan (Gambar 2).
Gambar 2. Searah jarum jam: Round table discussion untuk mendapatkan karakteristik
lingkungan dan sosial-ekonomi-budaya; masyarakat menuangkan gagasannya dalam
rencana kerja; pelibatan perempuan; masyarakat memaparkan hasil usulan ke pemangku
kepentingan lainnya.
Proses penentuan kriteria keberhasilan reklamasi harus dilakukan secara transparan dan
dialektis. Usulan dapat diberikan oleh perusahaan atau pemerintah, tapi keputusannya harus
dibuat dan disepakati secara bersama-sama dengan para pemangku kepentingan lainnya. Pada
level ini diskusi dan konsensus dibangun secara multi-pihak. Tujuannya adalah hasil akhir
551
reklamasi lahan reklamasi dan pascatambang nantinya dapat diterima oleh para pemangku
kepentingan setempat.
552
Daftar Pustaka
_______. (2012). Breaking New Ground, the Report of the MMSD Project. International
Institute for Environment and Development and World Business Council for
Sustainable Development. UK.
_______. (2009). Guide for Surface Coal Mine Reclamation Plans. Nova Scotia Environment.
Balkau F. and Parsons A. (1999). Emerging Environmental Issues For Mining In The Pecc
Region. United Nations Environment Programme.
Nichols, O.G., Grant, C., Bell, L.C. (2005). Developing Ecological Completion Criteria to
Measure the Success of Forest and Woodland Establishment on Rehabilitated Mines
In Australia. National Meeting of the American Society of Mining and Reclamation.
ASMR. Lexington, KY.
Peraturan Menteri ESDM Nomor: 07 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan
Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Poscente and Charette. (2012). Criteria and Indicators Framework for Oil Sands Mine
Reclamation Certification. Charette Pell Poscente Environmental Corp. Alberta.
http://sustainabilityreport.newmont.com/2014/environmental/environmental-
closure.php#sthash.Fh0xqNus.dpuf
http://www.ruskcounty.org/wp-content/uploads/2011/03/Success-Criteria.pdf
http://sustainabledevelopment.un.org/index.php?menu=230. Diakses 13 Januari 2014.
http://www.theguardian.com/sustainable-business/blog/responsible-mining-live-discussion.
Diakses 15 Januari 2014.
553
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama mineral.
Emas merupakan salah satu mineral paling berharga yang mempunyai nilai keekonomisan
tinggi, tentunya hal ini sangat berpengaruh pada ketahanan ekonomi nasional dalam bentuk
penambahan devisa negara. Mengingat cadangan emas di Indonesia yang cukup besar,
menjadikan prospek pertambangan emas sangat menjanjikan, sehingga mengakibatkan
banyaknya pertambangan emas rakyat yang beroperasi secara konvensional. Hal ini tentunya
menjadi dilema yang dihadapi oleh berbagai pihak, terutama dampak langsung maupun tidak
langsung dari aspek lingkungan. Adanya limbah sisa produksi berupa merkuri menyebabkan
tanah kehilangan unsur hara serta gangguan kesehatan bagi makhluk hidup. Sehingga
pentingnya penanganan dan pengelolaan dampak merkuri ini dengan menggunakan zeolit
alam. Sebenarnya potensi zeolit alam yang ada di Indonesia cukup besar, sehingga dapat
digunakan langsung sebagai media penyerapan akan merkuri.
Berdasarkan hasil analisis zeolit alam yang digunakan adalah zeolit alam tipe mordenit,
dari formasi Kebo Butak, Kecamatan Gedang Sari, Klaten, Jawa Tengah. Nilai kapasitas
tukar kation sebesar 2.29 meq/g, kandungan feldspar rata-rata sebesar 45% dengan penamaan
petrografis Andesitic Crystall Tuff (klasifikasi Williams, 1982). Analisis zeolit menggunakan
SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan bahwa ukuran pori zeolit sebesar 10 μm
dengan perbandingan Si/Al adalah 6.125 sehingga zeolit ini dinamakan zeolit dengan tipe
modernit dengan tingkat penyerapan sedang sebagai adsorben.
Selain manfaatnya dalam bidang lingkungan, pemanfaatan zeolit dalam sektor
pertambangan emas rakyat juga akan menghasilkan dampak positif dalam bidang ekonomi,
mengingat saat ini pemasaran zeolit di Indonesia masih dalam bentuk alam. Peningkatan
manfaat ekonomi tersebut akan diperoleh melalui perhitungan menggunakan analisis
multiplier effect, dengan menggunakan data tabel input-output tahun 2005. Berdasarkan dari
analisis yang dilakukan, adanya pemanfaatan bahan galian zeolit alam sebagai bahan
remediasi pencemaran merkuri berpotensi untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan
pendapatan daerah yang memiliki pengusahaan zeolit alam, yang secara langsung
mempengaruhi peningkatan perekonomian primer masyarakat.
554
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang terletak pada sistem cincin api (ring of fire) sehingga
pembentukan sumber daya mineral cukup tinggi pada daerah yang dilewati oleh sistem
tersebut. Salah satu mineral yang dihasilkan sebagai endapan akibat proses tersebut adalah
emas (Au). Seperti yang diketahui bahwa emas merupakan salah satu bahan tambang yang
mempunyai nilai keekonomisan yang cukup tinggi dan menjadi salah satu pemasukan bagi
devisa negara.
Sementara itu dengan peningkatan aktivitas ekplorasi bijih pada sejumlah daerah berakibat
pada meningkatnya pula aktivitas masyarakat umum pada daerah sekitar untuk melakukan
penambangan emas dengan metode amalgamasi. Hal ini cukup riskan dikarenakan tidak
adanya pengawasan dalam metode penambangan tradisional ini sehingga dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan seperti pencemaran oleh logam berat merkuri (Hg) yang sangat
berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar lokasi tambang. Pada penambangan rakyat
banyak sekali yang menggunakan merkuri untuk proses amalgamasi, sedangkan pengelolaan
limbah yang dihasilkan dari proses tersebut sangat besar berpotensi mencemari tanah disekitar
areal penambangan.
Mengingat sifat merkuri yang berbahaya, maka penyebaran logam ini perlu diawasi agar
penanggulangannya dapat dilakukan sedini mungkin secara terarah. Selain itu, untuk menekan
jumlah limbah merkuri, maka perlu dilakukan perbaikan sistem pengolahan yang dapat
menekan jumlah limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas. Untuk
mencapai hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pendekatan melalui penanganan tailing
atau limbah B3 yang berwawasan lingkungan dan sekaligus peningkatan efisiensi penggunaan
merkuri untuk meningkatkan perolehan (recovery) logam emas.
Pengolahan air limbah maupun tanah yang mengandung merkuri dapat dilakukan dengan
proses penyerapan (adsorpsi) bahan pencemar dengan menggunakan resin-organik yang
berfungsi sebagai penukar ion baik berupa anion atau kation (Michael dan Pierre, 1994 dan
Jianlong et al, 2000), karbon aktif (giequel et al., 1997), dan silika gel (leeis et al., 1996),
tetapi harganya relatif mahal. Hal tersebut yang mendorong beberapa peneliti untuk mencari
bahan penyerap alternatif yang lebih murah.
Mineral zeolit merupakan mineral yang terdapat dalam batuan hasil proses pengendapan alam
(Las, T. 1999) yang akhir-akhir ini banyak diteliti untuk digunakan sebagai bahan penukar
kation. Zeolit alam telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu, akan tetapi penggunaannya
terbatas sebagai bahan bangunan (semen, batu ukiran dan lain-lain). Dari hal tersebut timbul
ide dalam menggunakan zeolit sebagai media pengabsorp limbah merkuri pada tanah yang
tercemar akibat proses penambangan emas oleh rakyat dengan metode yang konvensional.
Di Indonesia zeolit pertama kali ditemukan pada tahun 1985 oleh Pusat Pengembangan
Teknologi Mineral (PPTM) Bandung dalam jumlah yang besar, diantaranya tersebar di
beberapa daerah di pulau Sumatera dan Jawa. Zeolit adalah senyawa alumino silikat dengan
struktur rangka (frameworks) dan mempunyai pori (rongga) dan saluran yang diisi oleh kation
dan molekul air yang dapat mudah dipertukarkan (exchangeable) sehingga dapat
mengadsorbsi ion (Sand, L. 1978).
Pada penelitian ini pengambilan sampel zeolit adalah zeolit tipe mordenit alam pad formasi
kebo butak, pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi pada koordinat X=0460955,
Y=9138215, Z=149 dan X=0460033, Y=9136516, Z=352 (Zona 49), diambil dari formasi
555
Kebo Butak, Kecamatan Gedang Sari, Klaten, Jawa Tengah, nilai KTK (Kapasitas Tukar
Kation) sebesar 2.29 meq/g. Sedangkan untuk lokasi pengambilan sampel tanah tercemar
limbah merkuri terletak di daerah X=0387396, Y=9134524, Z=116 ( Zona 49). Masalah yang
dapat ditimbulkan oleh karena penggunaan merkuri adalah kerusakan sistem metabolisme
tubuh, timbulnya kecacatan pada janin, peningkatan sel kanker pada tubuh, menyebabkan
penurunan tingkat fertilitas pada tanah dan tumbuhan, pencemaran pada air tanah maupun air
permukaan.
II. Tujuan
Penelitian ini bermaksud untuk :
1. Memanfaatkan zeolit untuk mengetahui efisiensi dan kemampuan zeolit dalam
mengadsorb merkuri pada tanah tercemar merkuri dengan prinsip kapasitas Tukar Kation
(KTK).
2. Mengetahui teknologi ramah lingkungan yang murah sebagai solusi untuk mengatasi
permasalahan limbah hasil tambang emas rakyat.
3. Mengetahui manfaat ekonomi dari pemanfaatan pemanfaatan bahan galian zeolit sebagai
bahan remediasi pencemaran merkuri pada pertambangan emas rakyat.
556
IV. Pembahasan
Dari hasil pengamatan lapangan di contoh lokasi tambang rakyat di daerah Kulon Progo
dengan koordinat lokasi 1: X=0397396, Y=9134524, Z=116, lokasi 2: X=038041,
Y=9136007, Z=371, lokasi 3: X=0398026, Y=9136021, Z=377. Pengolahan bijih pada daerah
tersebut menggunakan teknik amalgamasi umumnya dilakukan di halaman rumah atau
dipinggir sungai berdekatan dengan lokasi tambang. Peralatan yang digunakan adalah
gelundung yang bisa mengolah 10-30 Kg bijih dalam sehari. Pada prakteknya pencampuran
merkuri terjadi di dalam gelundung tersebut selama 8-24 jam dengan tenaga listrik atau tenaga
air jika kondisi sungai memungkinkan. Proses amalgamasi selesai, amalgam dipisahkan dari
tailingnya dengan cara diperas dengan kain parasite dan tailing diarahkan ke dalam bak
penampungan tailing atau dibiarkan mengalir ke halaman rumah, hal inilah yang berpotensi
mencemari lingkungan.
557
Dari hasil sayatan petrografi yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut yaitu
zeolit yang diamati adalah jenis batuan piroklastik dengan warna abu-abu kehijauan,
berstruktur masif bertekstur klastik dengan Ukuran butir pasir sangat halus sampai lempung,
well sorted, kemas tertutup, dengan komposisi mineral Feldspar Lithic, kuarsa, mineral opak
dan Ash. Dari hasil analisis tersebut serta dilihat dari kandungan lempung jenis monmorilonit,
zeolit tersebut masuk dalam jenis mordenit.
Hasil dari analisa petrographic sampel 1 dan 2. Antara sayatan 1 dan 2 tidak jauh berbeda
karna masih dalam satu formasi yang sama, zeolit ini mempunyai kepolaran relatif tinggi atau
bersifat hidrofilik.
Zeolit yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini mempunyai rasio Si/Al relatif
rendah. Berdasarkan hasil pengukuran dengan spektroskopi serapan atom diketahui bahwa
zeolit alam ini mempunyai rasio Si/Al = 2,852 (Sriatun, Dimas Buntarto dan Adi Darmawan).
Tingginya kadar alumina berarti zeolit ini mempunyai kepolaran relatif tinggi atau bersifat
hidrofilik. Menurut Inglezakis 2005, zeolit jenis mordenite memiliki kapasitas tukar kation
sebesar 2.29 meq/g (Gambar 3).
Gambar 3. Ideal cation exchange capacity (CEC) dari beberapa jenis zeolit: data dihitung
menggunakan unit cell formula (Inglezakis, 2005)
558
Secara lengkap untuk masing-masing kompsosiis zeolit yang dipakai adalah sepertui gambar
dibawah ini menunjukan perbndingan Si/Al adalah 6.125 sehinggan tergolong tipe modernite.
Hasil analisis conto tanah menunjukkan kadar Merkuri (Hg) yang cukup tinggi yaitu berkisar
antara 0,27034-1 ppm Hg, sedangkan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang diikuti
berdasarkan KEP-03/MENKLH/II/1991 untuk air raksa (Hg).
Sementara itu untuk pengujian pori batuan menggunakan analisis SEM menunjukkan bahwa
ukuran pori batuan adalah 10 µm.
Selain itu, berdasarkan hasil dari perhitungan tingkat keefektifan absorbsi maka didapatkan
bahwa dengan penggunaan 40 zeolit pada setiap 100 gram tanah terkontaminasi dapat
mengabsobsi merkuri sebesar 99,7 % seperti pada Tabel 1.
559
Tabel 1. Tingkat Keefektifan Absorbtion
Contamined Soil with Hg Zeolit Water Mercury Value Absorbtion
(gram) Solution (gram) (ppm) Effectively (%)
100 0 562,67 0
100 20 327,86 41.7
100 30 36.83 93.5
100 40 0.89 99.7
100 50 7.24 80.3
Berdasarkan dari analisis diatas, maka dapat diketahui bahwa penggunaan zeolit alam
berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku remediasi tanah tercemar merkuri didaerah
pertambangan rakyat.
Selain manfaatnya dalam bidang lingkungan, pemanfaatan zeolit dalam sektor pertambangan
emas rakyat juga akan menghasilkan dampak positif dalam bidang ekonomi, mengingat saat
ini pemasaran zeolit di Indonesia masih dalam bentuk alam. Pengaruh penambangan zeolit
tersebut diperoleh dari perhitungan nilai multiplier effect menggunakan data input output
tahun 2005, dengan melihat linkage dari sektor pertambangan dan industri lainnya, terkait
dengan banyaknya penggunaan zeolit dalam sektor industri lain. Dari data multiplier effect
didapat nilai forward linkage dari sektor pertambangan adalah 1.3, forward linkage dari
sektor industri lainnya adalah 2.37, backward linkage dari sektor pertambangan adalah 2.853,
dan backward linkage dari sektor industri lainnya adalah 5.738. Dari data tersebut kita peroleh
bahwa multiplier effect dari sektor industri lain jauh lebih besar dari sektor pertambangan,
sehingga pemanfaatan zeolit dalam sektor industri lain, salah satunya dalam bentuk media
remediasi pencemaran merkuri pada pertambangan emas rakyat akan menghasilkan efek
pengganda yang sangat besar. Berdasarkan dari analisis yang dilakukan, adanya pemanfaatan
bahan galian zeolit alam sebagai bahan remediasi pencemaran merkuri berpotensi untuk
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang memiliki pengusahaan
zeolit alam, yang secara langsung mempengaruhi peningkatan perekonomian primer
masyarakat.
V. Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pengolahan tanah tercemar merkuri sangat penting dilakukan, karena merkuri tersebut
dapat menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan
manusia.
2. Zeolit alam dari formasi Kebo Butak Klaten Jawa Tengah termasuk ke dalam tipe
mordenite yang mengandung 45% mineral feldspar, 10% mineral lithic, dan 10%
piroksen, 5% opak, dan ash (debu) 30%.
3. Berdasarkan hasil uji laboratorium kimia, EDS, dan SEM dapat disimpulkan bahwa pori
pada zeolit yang digunakan adalah 10 µm dengan persentasi massa SiO2 66,7 %
memberikan hasil dengan kadar merkuri yang tersisa di tanah paling kecil terdapat pada
560
tanah yang dicampur dengan 40 gram zeolit atau perbandingan tanah vs zeolit sebesar
2,5:1 yaitu sebesar 0,89 ppm.
4. Pemanfaatan zeolit sebagai media pengabsorbsi merkuri sangat prospek untuk
management tanah tercemar merkuri, karena dapat mencegah dampak negatif terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia.
5. Pemanfaatan bahan galian zeolit alam sebagai bahan remediasi pencemaran merkuri
berpotensi untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang
memiliki pengusahaan zeolit alam, yang secara langsung mempengaruhi peningkatan
perekonomian primer masyarakat.
561
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
WETLAND :
EKO-TEKNOLOGI PENGOLAHAN PASIF AIR ASAM TAMBANG
SARI
Kegiatan pertambangan baik penambangan mineral maupun batubara akan memberikan
dampak terhadap lingkungan, salah satunya adalah Air Asam Tambang (AAT) yang
mengandung logam berat, berpotensi mencemari badan perairan. Air asam tambang yang tidak
dapat dicegah dari sejak awal penambangan, maka jika AAT sudah terbentuk, diperlukan
tindakan pengelolaan AAT, salah satu metode yang digunakan untuk pengelolaan AAT adalah
dengan metode Wetland, yang termasuk salah satu teknik pengolahan AAT secara pasif atau
suatu sistem pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia dan juga
merupakan salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat potensial. Peran utama wetland
AAT adalah menurunkan keasamaan dan mengurangi cemaran logam berat serta perbaikan
kualitas air melalui tiga proses utama yaitu fisik, biologi dan kimia. Indonesia memiliki sekitar
40,5 juta hektar wetland sehingga tergolong sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia
setelah China. Tanaman wetland dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok, diantaranya : 1)
Floating, tanaman yang tumbuh bebas terapung dan tidak menyentuh media (substrat), 2)
submergerd, tanaman yang dapat menyentuh substrat atau terapung, tetapi daun dan batangnya
tetap submerged serta 3) emergent, tanaman yang bersentuhan dengan substrat dan daun dan
batang dipermukaan air. Beberapa jenis vegetasi wetland dengan potensi akumulasi logam berat
diantaranya; Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Typha angustifolia, Salvina natans,
Vetiveria zizanioides dan Eleocharis dulcis.
PENDAHULUAN
Kegiatan pertambangan baik pertambangan mineral maupun batubara mengakibatkan
berbagai persoalan atau perubahan lingkungan, antara lain perubahan bentang alam, perubahan
habitat flora dan fauna, perubahan struktur tanah, perubahan pola aliran permukaan dan air
tanah serta komposisi kimia air permukaan. Perubahan komposisi kimia air permukaan antara
lain disebabkan terjadinya air asam tambang (AAT) atau dikenal istilah Acid Mine Drainage
(AMD). Fenomena munculnya air asam tambang dapat terjadi pada pertambangan mineral dan
batubara yang dilaksanakan secara terbuka (open pit mining) maupun pertambangan bawah
tanah (underground mining) (Soekarjono dkk, 2005; Australian Government, 2007; Gautama,
2008a).
Secara singkat AAT terbentuk karena adanya kontak antara batuan yang bersifat asam
(sulfide mineral) yang terdapat pada batuan penutup (overburden rock) dengan udara dan air.
Air yang mengaliri batuan asam tersebut akan mengalami perubahan pH sehingga dapat
mencapai keasaman 2-3. Dengan kondisi keasaman tersebut AAT dapat melarutkan berbagai
562
macam logam berat dalam alirannya (Soekarjono dkk, 2005; Gautama, 2008a). Menurut
Gautama (2008a) bahwa sumber AAT di daerah tambang terjadi di Pit penggalian aktif atau
bekas pit, timbunan batuan penutup, timbunan biji atau batubara, timbunan tailing dan pada
tambang bawah tanah : stopes (lombong) dan lubang bukaan lain serta tambang yang sudah
ditinggalkan.
Proses terjadinya AAT tersebut melibatkan air sebagai faktor dominan. Pada saat
senyawa pyrite yang terkandung alami pada batuan tambang tersebut terkontak dengan oksigen
yang ada di udara dan atau air, dan dengan melalui rangkaian reaksi kimia oksidasi akan
membentuk senyawa asam tertentu yang menyebabkan air tersebut akan memiliki sifat asam
(pH rendah) yang selanjutnya disebut Air Asam Tambang.
Aliran AAT yang mengandung logam berat yang memasuki badan air (sungai, danau
dan rawa) akan mencemari perairan tersebut dan mengakibatkan kerusakan terhadap habitat
flora dan fauna perairan (Gautama, 2008a; Marganingrum dan Noviardi, 2010). Selain itu,
berdampak negatif juga terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta korosivitas alat-alat
yang terbuat dari besi atau baja (Hard and Higgins, 2004 dalam Fajarwati, 2010; Gautama,
2008a). Oleh karena itu, pengelolaan atau penanganan AAT menjadi sangat penting dalam
mereduksi dampak yang dapat ditimbulkan. Berbagai teknik penanganan AAT telah dilakukan,
diantaranya teknik penanganan aktif dan pasif (Ford, 2003; Australian Government, 2007;
Gautama, 2008a).
Penanganan aktif umumnya lebih efektif dan dilakukan oleh banyak industri pertambangan di
Indonesia. Namun, teknik ini lebih mahal dibanding wetland. Oleh karena itu, perlu inovasi
metode cost-efektif dalam upaya dekontaminasi polutan. Wetland merupakan proses
pengolahan yang tidak memerlukan intervensi, operasi atau perawatan oleh manusia secara
reguler Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat teknik pengolahan AAT secara pasif
berdasarkan praktek di Indonesia dan review publikasi yang telah ada.
563
Indonesia memiliki sekitar 40,5 juta hektar wetland sehingga tergolong sebagai negara dengan
lahan basah terluas di Asia setelah China.
Tipe atau Jenis
Berdasarkan konvensi Ramsar, sistem pengelompokan Tipe-Tipe Wetland menjadi 3
(tiga) utama yaitu :
1. Lahan basah pesisir dan lautan,
Daerah pesisir yang jenuh atau tergenang air; yang umumnya payau atau asin baik secara
tetap atau musiman. 11 tipe antara lain hutan bakau, muara dan rawa-rawa di daerah
pesisir.
2. Lahan basah daratan,
Daerah yang jenuh atau tergenang oleh air yang pada umummnya bersifat tawar baik secara
permanen atau musiman, terletak di darat atau dikelilingi oleh daratan dan tidak terkena
pengaruh air laut. 20 tipe diantaranya sungai dan danau
3. Lahan basah buatan,
Lahan basah dikelompokkan berdasarkan tujuan dan manfaat dari pembuatan lahan basah
tersebut. 9 Tipe, yakni tambak dan kolam, dll.Wetland Air Asam Tambang termasuk
wetland buatan (constructed wetland).
Fungsi
Lahan basah mempunyai fungsi antara lain (Wetland Conservation Plan, 1997) :
1) Penyimpanan dan fluk hidrologi : recharge dan discharge air tanah, sungai, cadangan
air tanah dan evapotranspirasi.
2) Produktivitas biologis : produktivitas primer, sekunder, penyimpanan karbon dan fiksasi
karbon
3) Penyimpanan dan siklus biogeokimia : lahan basah sebagai sumber dan penenggelaman
hara, tempat proses oksidasi reduksi, denitirifikasi dan penampungan sedimen dan
bahan organik
4) Dekomposisi : membantu pelepasan karbon, mineralisasi dan melepaskan senyawa
kimia
5) Habitat komunitas kehidupan liar : menyediakan habitat untuk alga, bakteri, fungi,
serangga, invertebrata, tumbuhan lahan basah, ikan, kerang, ampibi, reftil, burung,
unggas air dan kehidupan liar lainnya.
6) Stabilisasi iklim mikro dan pengendali iklim makro
7) Rekreasi dan estetika serta penelitian dan pendidikan.
564
menjadi 4058 di 2009. Penting wetland untuk siklus hara, kontrol kualitas air, stabilisasi
sediment dan habitat mikroorganisme aquatik.
Wetland termasuk salah satu teknik pengolahan AAT secara pasif. Wetland merupakan
suatu sistem pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami
seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba, fotosintesis dan energy kimia dan
membutuhkan perawatan secara reguler tetapi jarang untuk beroperasi sepanjang umur
rancangannya (Pulles et al, 2004, dalam GARD Guide, 2009). Suatu proses secara bertahap
menghilangkan logam dan/atau keasaman dalam suatu biosistem seperti alami tetapi buatan
manusia yang mendukung reaksi ekologi dan geokimia. Proses tsb tidak memerlukan tenaga
atau bahan kimia setelah konstruksi dan akan berumur puluhan tahun dengan bantuan manusia
secara minimum (Gusek, 2002, dalam GARD Guide, 2009)
Secara umum, terdapat dua tipe wetland untuk tujuan penurunan keasaman dan
pengurangan/penghilangan logam-logam terlarut pada AAT yakni lahan basah alami (natural
wetland) dan buatan (constructed wetland). Wetland buatan merupakan sistem komplek yang
didesain dan dibuat manusia yang berisi substrat, vegetasi, hewan liar dan air yangmeniru
sistem wetlan alami untuk digunakan dan dimanfaatkan mansuia. Wetland buatan AAT terdiri
atas wetland aerobik dan wetland anaerobik. Mays and Edwards (2001) melaporkan bahwa
wetland buatan lebih efektif daripada wetland alami dalam mengurangi Fe dan Mn pada
cemaran AAT di Amerika Utara.Meskipun demikian, keberadaan wetland alami juga memiliki
kemampuan untuk menangani keberadaam logam berat di AAT. Hasil telah Sobolewski (1999)
terhadap 60 wetland alami, bahwa 1) wetland alami mampu menghilangkan berbagai
kontaminan seperti Al, Ar, Co, Fe, Mn, Ni, U dan Zn, 2) cocok untuk berbagai jenis tumbuhan
dna iklim dan 3) sukses menaikan keasaman (netral).
Berikut perbedaan kedua tipe wetland buatan AAT (Lonttermoser, 2010) :
1) Aerobik wetland (surface flow)
- Air bersifat Net alkaline
- Dengan dan atau tanpa tanaman
- Kedalaman air ± 0,3 meter
- Air permukaan diatas permukaan bahan organik atau tanah
- Didesain untuk mendukung oksidasi dan presipitasi logam
- Rekasi oksidasi dan hidrolisis
- Presipitasi Fe
Wetland AAT terdiri atas 3 komponen utama yaitu (Kivaisiet al, 2001; Rai, 2008) :
565
1. Hidrologi, faktor utama yang berpengaruh terhadap tipe vegetasim aktivitas mikroba dan
siklus biogeokimia mineral dalam tanah. Sumber utama air adalah air asam tambang yang
berasal dari tambang aktif atau timbunan serta lokasi lainnya. AAT memiliki pH rendah
(sangat masam) dan kelarutan logam tinggi (Fe, Mn). Pertimbangan lain terkait hidrologi
adalah jumlah aliran air dan komposisi kimia air tambang.
2. Tanah, bersifat supporting material bagi pertumbuhan tanaman dan aktivitas mikroba.
Campuran media pasir dan gravel termasuk bagus untuk kondisi hidrolik air dan
penghilangan kontaminan.
3. Vegetasi, mempengaruhi proses perlakuan di wetland. Akar tanaman (rhizosper) sebagai
zona pengaktif proses fisik-kimia dan biologi dan tempat interaksi tumbuhan,
mikrooragnisme, tanah dan bahan pencemar.
566
Gambar 1. Pencegahan AAT dengan jenis tanaman pada wetland
Kelebihan Kelemahan
Bahan pembuat wetland, spt bakeri, Perbanyakan bakteri membutuhkan
tumbuhan air, bahan organik mudah waktu yg cukup lama dan keahlian
didapat dan banyak tersedia disekitar khusus,
lokasi, dan serta
567
DESAIN KONSTRUKSI WETLAND
Wetland buatan (constructed wetland= CWs) didesain dan konstruksi mengikuti sistem
wetland alami (porses alami) dimana menggunakan tanaman, tanah dan asosiasi dengan
mikroorganisme untuk penghilangan kontaminan. Dasar skema desain konstruksi wetland yaitu
: 1) substrat organik (dibutuhkan bakteri, vertebrata & invertebrata), 2) kontrol inlet dan outlet,
3) pertumbuhan tanaman (Lottermoser, 2010). Lebih lanjut Idris et al (2010) menyatakan ada
empat komponen kunci konstruksi wetland yaitu 1) dukungan media tanah atau gravel (aerobik)
dan gravel (anareobik), 2) pertumbuhan vegetasi aquatik baik di dalam mapun diatas media dan
air, 3) organisme mikroskopik dan makroskopik serta 4) air, baik di permukaan media maupun
di dalam media.
Smith (1997), desain konstruksi wetland untuk penanganan AAT bervariasi disesuaikan
dengan karakterisasi lokasi. Fennesy dan Mitch (1989), beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan yaitu proses biokimia, rata-rata volume dan waktu retensi, slope, substrat,
vegetasi, kontrol sediment, kondisi setempat dan sesuai dengan perundangan.
1) Proses biokimia
Konstruksi wetland sebaiknya direncanakan dan dibangun dengan mempertimbangkan
kondisi yang cocok untuk siklus kimia, aktivitas mikroba (bakteri), reduksi, adsorpsi,
netralisasi dan presipitasi yang sangat berhubungan dengan interaksi tanah, hidrologi,
vegetasi dan lokasi
2) Rata-rata volume dan waktu retensi
Kemampuan maksimum konstruksi wetland AAT juga perlu mempertimbangkan rata-
rata volume air (daya tampung). Waktu retensi dikaitkan dengan volume dan
konsentrasi AAT, stnadar effluent dan laju treatment, presipitasi, run-off, infiltrasi dan
evapotranspirasi.
3) Substrat dan vegetasi
4) Kontrol sediment
Tingginya masukkan sediment ke wetland sehingga akan terjadi akumulasi sediment.
Salah satu kontrol, memanen biomassa untuk mengurangi akumulasi sediment.
5) Konfigurasi
Bentuk rectangular lebih efektif mengurangi kontaminan AAT. Bentuk juga harus enak
dipandang (estetika), habitat hidup liar dan pengembangan tumbuhan.
6) Pertimbangan perundangan yang berlaku
568
Kivaisi et at. (2001) menjelaskan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam
konstruksi wetland, diantaranya :
1) Biaya pembangunan dan pemeliharaan
Meliputi : ketersediaan lahan (milik sendiri atau bayar), lahan relatif datar (minimum biaya
konstruksi), ketersediaan tanah alami yang tersedia serta biaya operasi dan pemeliharaan
(pemanenan biomassa vegetasi dan kontrol terhadap hidupan liar)
2) Pelatihan sesuai untuk desain dan pengelolaan CWs
Pelatihan dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan dari insititusi eksternal yang
berkompeten (peneliti, ilmuwan, praktisi, dll)
3) Tipe cemaran dan target kualitas air
Karakterisasi sumber cemaran di wetland dapat menjadi dasar dalam mengkonstruksi
wetland. Campuran bahan organik dan inorganik mungkin dapat menghambat aktivitas
mikroba dan menurunkan efisiensi wetland. Tujuan akhir dari pembangunan wetland adalah
kualitas air yang akan masuk ke badan sungai.
4) Ketersediaan air memadai
Berhubungan dengan prediksi hidrolik wetland.
5) Seleksi dan pengelolaan jenis vegetasi yang sesuai dan tersedia
Jenis yang dipilih adalah jenis yang dapat beradaptasi dan mampu berfungsi untuk
mengurangi atau menghilangkan bahan organik dan inorganik pada cemaran air.
6) Kemampuan mengontrol vektor penyakit
Wetland dapat menjadi habitat yang sesuai bagi vektor penyakit seperti nyamuk
7) Kemampuan mengontrol hewan liar
Wetland menyediakan makan yang cukup (vertebrata dan ikan) bagi buaya dan ular air.
Dengan demikian, informasi dan kemampuan kontrol pengelola terhadap keberadaan hewan
liar tersebut sangat diperlukan untuk keamanan dan keselamatan manusia.
8) Kontrol terhadap pengaruh senyawa berbahaya
- Oksigen terlarut di wetland rendah dapat mengganggu vegetasi dan fauna
- Akumulasi logam berat di biomassa : hewan dan manusia
- Pengelola harus bisa menurunkan potensi resiko bagi lingkungan dan manusia.
569
PEMILIHAN JENIS WETLAND
Tanaman wetland dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok, diantaranya : 1) Floating,
tanaman yang tumbuh bebas terapung dan tidak menyentuh media (substrat), 2) submergerd,
tanaman yang dapat menyentuh substrat atau terapung, tetapi daun dan batangnya tetap
submerged serta 3) emergent, tanaman yang bersentuhan dengan substrat dan daun dan batang
dipermukaan air (Gambar 2 ).
Jenis tanaman aquatik pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat
penting, diantaranya : 1)stabilisasi sediment (substrat) – akar tanaman memegang substrat
bersana-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland serta memperluas area
permukaan tanaman, 2) stimulasi proses jasad renik – tanaman menyediakan tapak (site) untuk
menempelnya mikroba, memproduksi oksigen dari akarnya serta menyediakan sumber bahan
organik untuk mikroba heterotrof, 3) habitat satwa liar – tanaman memasok pakan dan
perlindungan bagi hewan, 4) estetika – lahan basah dengan pertanamannya lebih enak
dipandang mata, 5) siklus hara, 6) akumulasi logam – akar tanaman dapat bertindak sebagai
permukaan jerapan Fe dan logam-logam lainnya serta penyaring logam, serta 7) perbaikan
kualitas air.
570
Tabel 3. jenis vegetasi yang umum digunakan di wetland AAT
Wetland Vegetasi
Fabious Coal Prepartion Plant, USA Scripus cypernus, Typha latifolia, Juncus effusus
Windows Creek, USA Scripus cypernus, Typha latifolia, Juncus effusus
Bulgaria Typha latifolia, T. Angustifolia, Phragmites
australis, Scirpus lacustris, Juncus sp., Eleocharis
sp., Carex sp., Poa sp.
Kanada Typha latifolia
Afrika Selatan Typha sp.
Amerika Scripus cypernus, Typha sp., Juncus effusus,
Eleocharis quadrangulata
Ohio dan Virginia, USA Sphagnum sp.
Stockpile I PTBA Salvinia molesta, Eichornia crassipes
Wetland Tupak, PTBA Typha latifolia
Wetland Tupak, PTBA Fimbristylis globulosa (Eleocharis dulcis)
Sumber : Vyzamal (2013),
Pemilihan jenis tanaman sangat dibutuhkan dalam pembangunan wetland. Kapan pemilihan
jenis tanaman untuk konstruksi wetland, sangat tergantung pada beberapa faktor dibawah ini :
Jenis tersedia dan sesuai dengan tujuan pembangunan wetland
Substrat yang digunakan cocok untuk mendukung pertumbuhan tanaman
Kondisi aerobik vs anaerobik
Kedalaman air dimana dibutuhkan oleh pertumbuhan normal tanaman, dangkal atau
dalam
Frekuensi dan volume air
Periode kekeringan dan kemampuan tanaman tumbuh pada kondisi tersebut
pH air dan variasi setiap waktu
kondisi iklim lokal
571
Tabel 4. Jenis vegetasi wetland dengan potensi akumulasi logam berat (studi literatur)
Akumulasi
Jenis tanaman Logam berat
(mg/kg berat kering)
Pistia stratiotes Hg 156
Cr 800-1,600
Cu ~ 1,000
Pb 143-476
Eichhornia crassipes Cr 4,000-6,000
Cu 6,000-7,000
Cd 2,200
Arsinite 909.58
Arsenate 805.20
Ni 1,200
Zn 10,000
Hg 1,000
Typha angustifolia Pb 7,492
Cr, Cu, Zn, Mn, Ni
Salvina natans Cr 10.6
Zn 4.8
Ni, As, Cu
Vetiveria zizanioides Ar 21-72 (toksik:1-10 mg/kg)
Cd 5-18
Cr 0.02-0,20
Ni 347
Eleocharis dulcis Al, As, Cd, Ce, Co, Cu, Fe, La, Ni, Pb, Se, Th, U, Y, Zn, Mn
PENUTUP
Air asam tambang (AAT) merupakan persoalan penting di pertambangan batubara yang
perlu dikendalikan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan AAT dapat didekati dengan
perlakuan aktif dan pasif. Wetland merupakan salah satu teknik pasif AAT yang sudah lama
diterapkan. Pembangunan wetland buatan perlu mempertimbangkan aspek hidrologi, media
(substrat) dan vegetasi (tanaman air). Peran utama wetland AAT adalah menurunkan
keasamaan dan mengurangi cemaran logam berat serta perbaikan kualitas air melalui tiga proses
utama yaitu fisik, biologi dan kimia.
572
Daftar Pustaka
Australian Government. 2007. Mengelola Drainase Asam dan Logam. Di Traslate : Global Village
Translations Pty Ltd dan di review oleh : Hendry Baiquni. Canberra.
Bose S, J Vedamati, V Rai, and A.L. Ramanathan. 2008. Metal uptake and transport by Tyaha angustata
L. grown on metal contaminated waste amended soil: An implication of phytoremediation.
Geoderma 145 : 136–142
Dhir B and S Srivastava. 2011. Heavy metal removal from a multi-metal solution and wastewater by
Salvinia natans. Ecological Engineering, 37 (6): 893–896
Dhir B, NA Nasim, S Samantary and S Srivasta. 2012. Assessment of osmolyte Accumulation in heavy
metal Exposed Salvinia natans. International Journal of Biology 8(3): 153-158
Dhir B. 2013. Phytoremediation: Role of AquaticPlants in Environmental Clean-Up. Springer.
Dhir, B. 2009. Salvinia: an Aquatic Fern with Potential Use in Phytoremediation. Environ. We Int. J.
Sci. Tech. 4: 23-27
Fajarwati, A. 2010. Kajian Uji Kinetik Menggunakan Free Draining Leach Column Test dan Humidoty
Cell Test Untuk Memprediksi Potensi Air Asam Tambang di Tambang Batubara [Tesis]. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Ford, KL. 2003. Passive Treatment Systems for Acid Mine Drainage. Technical Note 409. National
Science & Technology Centre. Colorado.
Gautama, RS. 2008a. Air Asam Tambang. Pengertian, Proses Pembentukan dan Uji Geokimia [Modul
1]. Materi Kursus Singkat Air Asam Tambang di Indonesia dan Reklamasi Lahan Bekas
Tambang di Indonesia. Teknik Pertambangan ITB, 30 Juni 2008. ITB. Bandung.
Gautama, RS. 2008b. Air Asam Tambang. Teknik Pengelolaan dan Mitigasi [Modul 2]. Materi Kursus
Singkat Air Asam Tambang di Indonesia dan Reklamasi Lahan Bekas Tambang di Indonesia.
Teknik Pertambangan ITB, 30 Juni 2008. ITB. Bandung.
Gautama, RS. 2012a. Pendahuluan. Pelatihan Air Asam Tambang. Bandung, Februari 2012. INAD.
Bandung.
Gautama, RS. 2012b. Penanganan AAT-Treatment. Pelatihan Air Asam Tambang. Bandung, Februari
2012. INAD. Bandung.
Herniwanti, Priatmadi.J.B, Yanuwiadi. B dan Soemarno. 2013. Water Plants Characteristic for
Phytoremediation of Acid Mine Drainage Passive Treatment. International Journal of Basic &
Applied Sciences IJBAS-IJENS 13 (06):14-20
Jian Lu., T Chen., Jun Wu., P.C Wilson., X Hao and J Qian. 2011. Acid Tolerance of an acid drainage
bioremediation system based on biological sulfate reduction. Bioresources Technology 102 :
10401-10406.
Kumari M and BD. Tripathi. 2014. Effect of aeration and mixed culture of Eichhornia crassipes and
Salvinia natans on removal of wastewater pollutants. Ecological Engineering62: 48– 53
Lottermoser, BG and Ashley, PM. 2011. Trace element uptake by Eleocharis equisetina (spike rush) in
an abandoned acid mine tailings pond, northeastern Australia: Implications for land and water
reclamation in tropical regions. Environmental Pollution 159 (10):3028-3035.
Marganingrum D dan R Noviardi. 2010. Pencemaran Air dan Tanah di Kawasan Pertambangan
Batubara di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No.
1 : 11-20.
573
Munawar A, F.O Leitu and H Bustamam. 2011. Aquatic plants for acid mine drainage remediation in
simulated wetland systems. Jurnal natur Indonesia 13(3):244-249
Munawar A. 2007. Pemanfaatan sumberdaya biologis lokal untuk pengendalian pasif air asam
tambang:lahan basah buatan. Jurnal Ilmu Tanah dan lingkungan, 7(1): 31-42.
PT. Kaltim Prima Coal. 2008. Penanganan Air Asam Tambang (AAT) secara Terintegrasi di PT. KPC.
Makalah Seminar Nasional Air Asam Tambang dan Reklamasi Lahan Pasca Tambang,
Bandung, 1-2 Juli. ITB. Bandung
PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. 2008. Pengelolaan air asam tambang PT. Tambang
Batubara Bukit Asam (Persero, Tbk.). Makalah Seminar Nasional Air Asam Tambang dan
Reklamasi Lahan Pasca Tambang, Bandung, 1-2 Juli. ITB. Bandung.
Sastrapradja S dan R Bimantoro. 1984. Tumbuhan Air. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor
Soekarjono, I., Anwar S dan R Nugroho. 2005. Pedoman Teknis Penanganan Air Asam Tambang.
Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Tabak, HH dan R Govind. 2003. Advances in biotreatment of acid mine drainage and biorecovery of
metals : 2. Membran bioreactor system for sulfate reduction. Biodegradation 14 : 437-452.
Tabak, HH dan R Govind. 2003. Advances in biotreatment of acid mine drainage and biorecovery of
metals : 1. Metal precipitation for recovery and recycle. Biodegradation 14 : 423-436.
Truong, P.N.V., Y.K. Foong, M. Guthrie, and Yung-Tse Hung. 2010. Phytoremediation of Heavy Metal
Contaminated Soils and Water Using Vetiver Grass. [Chapter 8]. In : Lawrence K. Wang , Joo-
Hwa Tay , Stephen Tiong-Lee Tay , Yung-Tse Hung (Edit.), Environmental Bioengineering,
VOLUME 11 HANDBOOK OF ENVIRONMENTAL ENGINEERING. Humana Press. New
York.
Widyati, E. 2010. Acid Mine Drainage – Momok Lahan Bekas Tambang. Lingkungan Pasca Tambang.
http://tambang.blogspot.com/2010/05/air-asam-tambang.html. 4 Juni 2010
574
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
LATAR BELAKANG
Turunnya harga komoditas tambang belakangan ini, memaksa para praktisi tambang untuk
putar otak, menekan biaya operasional serendah mungkin untuk tetap menjaga keuntungan
perusahaan yang signifikan. Kita ketahui bersama bahwa berdasarkan struktur biaya
penambangan, dana untuk penggunaan energi solar merupakan biaya yang terbesar, yang
besarnya sekitar 30% sampai dengan 40% dari total biaya keseluruhan.Sebagai contoh,
perusahaan sebesar tambang batubara PT Kideco Jaya Agung, menggunakan solar total
sebanyak 300 – 400 juta liter solar per tahun. Artinya Kideco membeli solar seharga sekitar
Rp 4 sampai Rp 5 Triliun setiap tahunnya. Disinilah tantangan terbesar dari para praktisi
tambang, yaitu bagaimana menurunkan biaya penggunaan solar serendah mungkin.
575
PERATURAN PEMERINTAH & PERATURAN MENTERI ESDM TENTANG
HEMAT ENERGI
Tercatat, minimal ada 3 buah kebijakan pemerintah, khususnya yang dikeluarkan oleh
Menteri ESDM yang mendesak diimplementasikannya Sistem Manajemen Energi di
perusahaan-perusahaan khususnya yang menggunakan energi secara signifikan :
576
Pada masa awal pelaksanaan ISO 50001 di organisasi, harus dilakukan Kajian Energi, dimana
tim khusus ini berkeliling ke semua departemen dan semua area didalam perusahaan untuk
mencatat dimana saja ada proses-proses yang menggunakan energi, baik energi listrik, energi
solar ataupun energi lainnya.
Tim harus melakukan “mapping” penggunaan seluruh energi didalam organisasi. Berdasarkan
peta penggunaan energi inilah dilakukan analisa-analisa serta evaluasi, pada point-point mana,
penghematan energi dapat dilakukan secara optimal.
Pada industri pertambangan, penggunaan energi secara signifikan digunakan pada konsumsi
solar dari alat-alat berat, genset, pompa dan juga kendaraan ringan. Selain itu, walaupun
perhitungan penggunaan energi-nya tidak terlalu signifikan, namun penggunaan energi listrik
juga harus diperhatikan dan dibuat program penghematannya.
Program penghematan solar khususnya banyak terkait dengan karakter para operator dalam
mengendarai kendaraannya, penempatan rambu-rambu hemat energi yang sesuai, prosedur
operasional yang tepat, peningkatan kesadaran energi karyawan, pelaksanaan energi talk
&energi meeting serta efektivitas inspeksi energi.
577
Beberapa program dan aktivitas yang dinilai cukup signifikan berdampak pada penghematan
energi antara lain :
- Komitmen manajemen PT SIMS untuk ikut terlibat didalam proses implementasi ISO
50001, seperti : ikut menghadiri energi meeting, secara periodik memberikan
pengarahan pada aktivitas energi talk, selalu memberikan feedback terhadap laporan-
laporan kinerja sistem manajemen energi.
- Pemasangan spanduk, poster, banner dan sticker terkait promosi penghematan energi.
- Energi meeting dan energi talk yang dilakukan secara periodik dengan tema-tema
yang disusun oleh timenergi.
- Proses-proses perbaikan manuver alat-alat berat, misalnya : efektivitas penggunaan
power mode dan economy mode pada DT 777 dan DT 785, perbaikan rute jalan
angkut yang lebih efektif, proses kerja excavator dalam penggalian over burden dan
lain-lain.
- Pemasangan rambu-rambu pada area pit penambangan dan fasilitas-fasilitas lain
terkait penghematan energi.
- Efisiensi letak dan jumlah pompa air.
- Penanganan kebocoran pada stasiun-stasiun pengisian solar.
- Penambahan tenaga pengawas untuk memonitor dan memastikan para operator alat
berat bekerja efektif dan efisien.
- Perbaikan karakter operator melalui training-training dan sosialisasi.
- Proses inspeksi dan audit yang dilakukan secara kontinyu dan periodik.
Dari proses penambangan yang dilakukan oleh PT SIMS JAYA KALTIM didapatkan bahwa
subproses kegiatan yang paling banyak menggunakan energi adalah pengangkutan over
burden dari area penambangan menuju area pembuangan.
Dari data operasional PT SIMS tahun 2013 dicatat pada aktivitas pengupasan dan
pengangkutan over burden sebagai berikut :
a. Pada Pit Roto Utara :
Jumlah over burden = 21.810.428 BCM
Penggunaan solar = 44.440.372 Liter
Rata-rata jarak tempuh = 4,08 Km
Sehingga indeks efisiensi = 0,5 Liter/BCM/Km
578
Sehingga dihasilkan penghematan solar sebesar = 2.712.036 Liter (2,7 Juta Liter)
Dengan harga solar industri Rp 13.000 perliter maka penghematan energi yang terjadi
pada pit ini adalah sebesar = ± Rp 35 Milyar.
KESIMPULAN
1. Pada kondisi terpuruknya harga komoditas tambang, terutama batubara dalam beberapa
tahun terakhir, dimana hal ini memaksa perusahaan-perusahaan tambang untuk
mengencangkan ikat pinggang maka implementasi ISO 50001:2011 (Sistem Manajemen
Energi) adalah pola pendekatan yang tepat dan efektif untuk menurunkan biaya produksi
dan operasional secara optimal.
2. Implementasi sistem manajemen energi tidaklah terlalu sulit namun membutuhkan
komitmen yang tinggi terutama dari unsur manajemen perusahaan serta konsistensi dalam
pelaksanaannya.
3. Penerapan sistem manajemen energi selain memberi keuntungan bagi internal perusahaan,
juga sebagai bukti keseriusan perusahaan didalam mematuhi Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri terkait efisiensi energi.
4. Dalam jangka panjang dan secara makro, implementasi sistem manajemen energi ini
menunjang kebijakan dunia untuk mengupayakan secara terus menerus program
konservasi energi.
---selesai---
579
LAMPIRAN FOTO
Kata kunci: Industrial Hygiene, Lingkungan kerja, Pengenalan, Evaluasi, Control, Sampling,
Nilai Ambang Batas (NAB), SMK3, SMKP, OHSAS 18001
Latar Belakang
Lingkungan kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu
kegiatan dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya dari lingkungan kerja berupa
bahaya fisika, kimia, biologi, radiasi, dan kebersihan lingkungan kerja. (UU No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja dan PP 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Minerba).
Pelaksanaan pengelolaan lingkungan kerja berarti pula sebagai bentuk ketaatan terhadap
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38 Tahun 2014 tentang Penerapan
Sistem Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu pada Pasal 1 angka (3) yang
mengatur bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi pekerja tambang agar selamat dan sehat, salah satunya melalui pengelolaan
lingkungan kerja.
Elemen kunci dari suatu program industrial hygiene adalah sumberdaya manusia,
finansial, fasilitas, peralatan dan sistem informasi, perencanaan dan evaluasi yang
berkelanjutan. Program dapat dijalankan dengan berhasil memerlukan dasar kebijakan dan
komitmen dari manajemen puncak (ILO, 1998). Menurut American Board of Industrial
581
Hygiene terdapat tiga bidang tugas industrial hygiene yaitu 1) Penilaian risiko (risk
assessment); 2) Pengendalian bahaya (Hazards Control); 3) Manajemen Program (Program
Management). (Fleeger, 2002)
Gambar 1. Peran Industrial Hygiene di dalam Interaksi Pekerja dan Lingkungan Kerja
Pertambangan (Modifikasi dari Ferrari dalam Kusnoputranto, 1995)
582
PTFI adalah perusahaan yang mengusahakan pertambangan mineral (tembaga, emas, dan
perak) yang berlokasi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, dengan luas wilayah kontrak karya
(COW) ± 127.000 ha. PTFI merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dengan
kepemilikan mayoritas oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. PTFImemproduksi
”konsentrat” yg mengandung tembaga, emas dan perak. Kandungan rata-rata 27,5% tembaga
(Cu), 25,8 gr/ton emas (Au) dan 76 gr/ton perak (Ag), dengan rata-rata produksi 3.000 - 6.000
ton konsentrat per hari.
Terdapat lima tambang di distrik pertambangan PTFI, satu adalah tambang terbuka dan
empat lainnya adalah tambang bawah tanah. Tambang terbuka Grasberg menghasilkan sekitar
75% produksi bijih, sisanya berasal dari Tambang Bawah Tanah DOZ. Tiga tambang bawah
tanah lainnya masih dalam tahap pengembangan. PTFI saat ini berada dalam fase transisi, di
mana era tambang terbuka (Grasberg) akan berakhir di sekitar akhir tahun 2017 dan selanjutnya
semua bijih akan berasal dari tambang bawah tanah pada awal tahun 2018. Fase transisi ini
memberikan tantangan terkait dengan peningkatan keterampilan/kemampuan karyawan,
pengembangan dan konstruksi dengan tepat waktu, dan memastikan keselamatan kerja dapat
ditangani secara tepat. Setelah menyelesaikan transisi, PTFI akan memiliki kompleks tambang
bawah tanah terbesar di dunia.
PTFI menyadari bahwa terdapat masalah berupa bahaya kesehatan (fisik, kimia, dan
ergonomik) di tempat kerja sebagai konsekuensi kegiatan-kegiatan di dalam operasi
pertambangan dan operasi pendukungnya. Sebagai bentuk kehati-hatian, PTFI melakukan
identifikasi bahaya kesehatan sebagai langkah awal mengenali risiko kesehatan dan kemudian
menggunakannya sebagai database untuk membuat rencana aksi program perlindungan
karyawan terhadap bahaya kesehatan di tempat kerja. Pada pelaksanaannya, Bagian Industrial
Hygiene juga melibatkan operasional departemen, engineering dan kesehatan untuk menjamin
bahwa semua aspek telah dipertimbangkan.
Pelaksanaan program industrial hygiene merupakan komitmen perusahaan dalam rangka
taat terhadap ketentuan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor:
555.K/26/M.PE/1995. Komitmen ini adalah merupakan kewajiban Kepala Teknik Tambang
menjamin pekerja agar terlindung terhadap risiko kesehatan yang diakibatkan pencemaran
udara, zat padat, zat kimia dan bahaya akibat kebisingan, penerangan dan getaran (Pasal 80).
Selain itu pelaksanaan program tersebut, yang merupakan bagian dari SMK3 perusahaan
merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam Panduan SMK3 OHSAS 18001
a. Organisasi
Untuk melaksanakan program industrial hygiene, PTFI membentuk struktur organisasi
yang terdesentralisasi, seperti tergambar di dalam Gambar 2. Dari susunan organisasi
tersebut di atas, terlihat bahwa organisasi bersifat desentralisasi yang terdiri dari Sentral
industrial hygiene atau IH Pusat dan Industrial Hygiene Divisi. IH Pusat memiliki fungsi
manajerial sedangkan IH Divisi sebagai pelaksana lapangan.
Mengingat masing-masing melapor ke pimpinan yang berbeda, untuk itu diperlukan
sistem informasi Industrial Hygiene yang baik, agar koordinasi antar divisi operasional
dengan Bagian IH Pusat dapat berjalan lebih baik dan implementasi program dapat
dilaksanakan secara seragam di seluruh area. Sistem Informasi Industrial Hygiene
(SIIH) dimaksudkan untuk mendokumentasikan pelaksanaan program industrial
583
higiene di PTFI, yang dalam prakteknya SIIH merupakan bagian integral di dalam
SMK3 di PTFI.
SIIH di PTFI mencakup beberapa hal penting, yaitu:
1) Perencanaan program Industrial Hygiene.
2) Pencatatan dan penilaian kegiatan Industrial Hygiene.
3) Pembuatan laporan dan rekomendasi untuk pengambilan keputusan.
4) Pelaporan investigasi Penyakit Akibat Kerja (PAK).
5) Peningkatan kepedulian dan kewaspadaan dalam rangka pencegahan dan
pengendalian bahaya kesehatan di tempat kerja.
b. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia diperlukan untuk menjalankan program industrial hygiene.
Sumberdaya manusia ini disebut sebagai Praktisi Industrial Hygiene (IH) yang memiliki
profil tugas sesuai dengan fungsinya dalam organisasi. Pada Tabel 2 dapat dilihat
masing-masing profil tugas Praktisi IH.
584
Tabel 1. Profil Tugas Praktisi Industrial Hygiene PTFI
NO Fungsi Profil Tugas
585
NO Fungsi Profil Tugas
5 Sampling/Survey Specialist Tugas dan tanggung jawab pokok posisi ini adalah:
586
NO Fungsi Profil Tugas
587
Catatan untuk Pengambilan sampel
Untuk mengetahui secara kuantitatif dugaan kita terhadap adanya potensi bahaya
kesehatan yang memajan pekerja, maka pengambilan sample harus dilakukan. Hasil
pengumpulan informasi untuk penilaian paparan yang sebelumnya telah kita lakukan
menjadi dasar pembuatan jadwal sampling.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengumpulan sampel:
2) Catatan Sampling
Amati kegiatan pekerja selama shift-nya. Catat waktu bekerja di setiap lokasi kerja,
pekerjaan rutinnya dan waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut. Lakukan
wawancara dengan pekerja untuk mendapatkan keterangan tambahan yang
diperlukan. Pastikan pekerja yang disampling mau bekerja sama dengan baik untuk
memastikan sampel yang diambil valid.
Catatan survey di bawah ini bisa anda gunakan.
SURVEY NOTES
Kebutuhan Log Sheet
- Nama, ID, Posisi pekerjaan karyawan
- Nomor sampel, nomor pompa sampling
- Catatan kalibrasi, kalibrator, s/n alat
- Lokasi dan tugas karyawan sampel, lokasi sampling (sketch, foto)
- Produk yang digunakan di area: nama, nomor produk, deskripsi produk
- Peralatan dan mesin yang digunakan (deskripsi, model, nomor, kondisinya)
- Kondisi cuaca (suhu, kelembaban, aliran udara, kabut, berdebu, dll.)
- Data ventilasi
- Kontrol enjinering yang ada; bagaimana performanya
- APD yang digunakan (spesifik); amati penggunaan dan perawatannya
- Catat indikasi yang terasa, terdengar, terlihat (misal adanya bau, debu,
tumpahan, dsb)
- Catat hasil-hasil diskusi dari pengamatan dan komplain dari lapangan
- Tanggal pengamatan atau hal-hal yang perlu ditindaklanjuti.
588
Kebutuhan pendukung
- Lakukan kalibrasi alat di lokasi sampling
- Beri penjelasan singkat tentang sampling yang dilakukan
- Pelajari SDS produk yang digunakan
- Siapkan blank cassette sebagai kontrol, catat di log sheet
- Tutup semua sampel dan simpan di tempat yang kering.
- Ambil foto dokumentasi yang diperlukan
589
1) Identifikasi bahaya dan penilaian risiko terhadap lingkungan kerja secara
menyeluruh di tempat kerja.
2) Menyusun, menetapkan, menerapkan, mendokumentasikan, dan mengevaluasi
prosedur operasi/kerja terkait dengan pengelolaan lingkungan kerja.
3) Mendokumentasikan baik dokumen maupun rekaman terkait dengan pemantauan
dan pengukuran lingkungan kerja.
4) Mengevaluasi dan menindaklanjuti terhadap pelaksanaan pemantauan dan
pengukuran lingkungan kerja.
Daftar Pustaka
oOo
590
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
IMPLEMENTASI
SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN PERTAMBANGAN MINERAL
DAN BATUBARA SESUAI DENGAN PERATURAN MENTERI ESDM
NOMOR 38 TAHUN 2014
DI PT. KALTIM JAYA BARA
Geniusman Sidabutar
Kepala Teknik Tambang, PT. Kaltim Jaya Bara
Abstrak
PT. Kaltim Jaya Bara, merupakan salah satu perusahaan pertambangan batubara yang baru
beroperasi di awal tahun 2014 atau memasuki periode tahun kedua. Sebagai salah satu perusahaan
yang beroperasi, salah satu tantangan yang dihadapi adalah pembentukan sistema manajemen,
dalam hal ini Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang berkaitan dengan
kegiatan pertambangan itu sendiri. Sebuah perusahaan dapat berjalan tanpa sistema, namun
pertanyaannya adalah “Apakah perusahaan itu akan berjalan dengan terarur, terukur, terstruktur dan
terintegrasi, karena kegiatan pertambangan itu sendiri begitu komppleks ?”.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Nomor 38 Tahun 2014 (Permen 38),
merupakan peraturan yang berkaitan dengan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan
Mineral dan Batubara (SMKP Minerba). Peraturan ini dengan detail membahas mengenai
penerapan SMKP Minerba bagi Perusahaan Pertambangan dan Perusahaan jasa Pertambangan. PT.
Kaltim Jaya Bara yang beroperasi di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Berau, sebagai
salah satu pemegang Izin Usaha Pertambangan Batubara memiliki kewajiban dalam penerapan
SMKP Minerba, khususnya ini merupakan tantangan sebagai salah satu perusahaan yang baru
beroperasi.
Dalam penerapan SMKP Minerba, PT. Kaltim Jaya Bara memiliki banyak tantangan, salah
satunya adalah mensosialisasikan apa itu SMKP Minerba, penerapan elemen-elemen yang ada di
SMKP Minerba di dalam perencanaan, implementasi dari SMKP Minerba itu sendiri di kegiatan
ertambangan, serta pelaksanaan audit internal SMKP Minerba. Walaupun belum mencapai tahap
pelaksanaan audit, PT. Kaltim Jaya Bara berusaha menerapkan SMKP Minerba dari tahapan awal
yaitu perencanaan dan implementasi.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi, selaku Kepala Teknik Tambang PT. Kaltim
Jaya Bara, dengan komitmen yang tinggi tetap menerapkan SMKP Minerba untuk mencapai tujuan
yang diharapkan, yaitu meningkatkan efektivitas keselamtan pertambangan, mencegah kecelakaan
pertambangan, penyakit akibat kerja dan kejadian berbahaya, menciptakan kegiatan operasional
tambang yang aman, efisien dan produktif serta menciptakan tempat yang aman, sehat, nyaman dan
efisien untuk meingkatkan produktivitas dan dapat menjadi contoh bagi perusahaan pertambangan
lainnya dalam menerapkan SMKP Minerba.
Kata Kunci ; PT. Kaltim Jaya Bara, Baru Beroperasi, Permen 38, SMKP Minerba
591
I. Latar Belakang
PT. Kaltim Jaya Bara adalah salah satu perusahaan pertambangan batubara yang berada di
Kalimantan Timur,tepatnya di Kabupaten Berau, yang memiliki izin usaha pertambangan operasi
produksi (IUP OP) dengan Nomor 41 Tahun 2009 dari Bupati Berau. PT. Kaltim Jaya Bara
memiliki luas 5.000 Ha, dan baru memulai kegiatan produksi di awal tahun 2014, dengan target
poduksi batubara sebesar 1.400.000 MT dan akan meningkat di tahun kedua mencapai 2.000.000
MT.
Sebagai perusahaan pertambangan batubara yang baru beroperasi, tentunya PT. Kaltim Jaya
Bara memiliki tantangan baik dari kegiatan operasional dan non operasional, terutama dengan
peningkatan produksi batubara di tahun kedua.Salah satu tantangan yang dihadapi adalah
implementasi sistema manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dalam setiap kegiatan
operasional petambangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012
(PP 50) tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Dalam perjalanan penerapan SMK3 di kegiatan operasional pertambangan PT. Kaltim Jaya
Bara di tahun 2015, ternyata di akhir tahun 2014, telah lahir Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 38 tahun 2014 (Permen 38) tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara (SMKP Minerba), dimana Permen 38
dikeluarkan dengan menimbang Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dan PP 50. Dengan lahirnya Permen 38, maka perusahaan pertambangan dan
perusahaan jasa pertambangan wajib menerapkan SMKP Minerba di perusahaannya.
Sebagai perusahaan yang baru beroperasi serta dalam proses implementasi SMK3, maka
Permen 38 merupakan peraturan yang menjadi pedoman, khususnya bagi perusahaan pertambangan
dan perusahaan jasa pertambangan dalam mengimplementasikan SMK3 yang erat kaitannya dengan
kegiatan pertambangan, yang selanjutnya dikenal dengan SMKP Minerba. Proses implementasi
SMKP Minerba, sebagai perusahaan yang baru, memiliki tantangan tersendiri terutama Permen 38
merupakan peraturan yang baru, belum seutuhnya disosialisasikan serta belum adanya petugas yang
berkompeten dalam implementasi Permen 38.Tantangan ini memiliki rasa tersendiri untuk
mencapai tujuan, meningkatkan efektivitas keselamatan pertambangan yang terencana,
terukur,terstruktur dan terintegrasi, mencegah kecelakaan tambang, penyakit akibat kerja dan
kejadian berbahaya, menciptakan kegiatan operasional tambang yang aman, efisien dan produktif
serta menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, nyaman dan efisien untuk meningkatkan
produktivitas.
592
Selain PP 50, SMKP Minerba juga tentunya didasarkan dari Undang – Undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai indukperaturan yang
mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Kemudian SMKP Minerba ini juga
lahir dengan pertimbangan dalam rangka menjamin pekerja tambang yang aman, selamat
dan sehat serta operasional tambang yang aman, efisien, dan produktif dalam pelaksanaan
kegiatan usaha pertambangan, perlu menerapkan sistem manajemen keselamatan
pertambangan mineral dan batubara.
Dengan terbitnya PP 50, maka dibentuklah tim yang bertugas untuk melakukan pembahasan
peningkatan pengelolaan keselamatan pertambangan mineral dan batubara. Tim ini dibentuk
pada saat Pertemuan Teknis Tahunan Kepala Teknik Tambang (KTT) seluruh Indonesia di
tahun 2012. Tim perumus ini terdiri dari 15 tim perumus, yang merupakan perwakilan dari
setiap perusahaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Sebagaimana telah tercantum dalam Permen 38, bahwa penerapan SMKP Minerba ini
bertujuan untuk :
- Meningkatkan efektivitas Keselamatan Pertambangan yang terencana, terukur,
terstruktur dan terintegrasi
- Mencegah kecelakaan tambang, penyakit akibat kerja, dan kejadian berbahaya
- Menciptakan kegiatan operasional tambang yang aman, efisien dan produktif; dan
- Menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, nyaman, dan efisien untuk meningkatkan
produktivitas
Selain itu, Penerapan SMKP Minerba juga dijadikan stándar bagi setiap perusahaan
pertambangan dan perusahaan jasa pertambangan dalam menerapkan suatu sistem
manajemen keselamatan yang sistematis dan khusus untuk kegiatan pertambangan mineral
dan batubara. Dengan dasar inilah, PT. Kaltim Jaya Bara selaku perusahaan yang baru 2
(dua) tahun beroperasi produksi berusaha menerapkan SMKP Minerba sebagaimana sudah
diatur dan dijelaskan dalam Permen 38. Penjelasan yang tertuang dalam Lampiran I dalam
Permen 38 sangat lengkap dan komprehensif, hal ini memudahkan dalam pembuatan
manual yang selanjutnya akan diikuti oleh estándar atau peraturan yang harus ada atau
dibuat oleh perusahaan. Pada Lampiran II, yang berisikan pedoman penilaian penerapan
SMKP Minerba, merupakan bagian yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian
penerapan SMKP Minerba, hal ini memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk
melakukan evaluasi mandiri terhadap kepatuhan dalam implementasi SMKP Minerba. Dan
pada lampiran terakhir atau Lampiran III, perusahaan diberikan informasi mengenai
estándar format laporan audit penerapan SMKP Minerba, tentunya hal ini merupakan bagian
yang tak kalah penting dalam melaksanakan audit yang bertujuan untuk mendapatkan
gambaran tingkat penerapan SMKP di perusahaan sesuai dengan periode audit yang
dilaksanakan.
593
Sebagaimana yang disampaikan dalam sosialisasi bahwa SMKP Minerba, bahwa SMKP
Minerba adalah bagian dari sistema manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam
rangka pengendalian risiko keselamatan pertambangan yang terdiri atas keselamtan dan
kesehatan kerja pertambangan dan keselamatan operasi pertambangan. SMKP Minerba
memilah keselamatan pertambangan menjadi dua bagian, yaitu Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Pertambangan (K3 Pertambangan) yang merupakan segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi pekerja tambang agar selamat dan sehat melalui upaya pengelolaan
keselamatan kerjam kesehatan kerja, lingkungan kerja dan sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja (SMK3). Dan Keselamatan Operasi Pertambangan (KO Pertambangan)
yang merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi operasional tambang yang
aman, efisien dan produktf melalui upaya, antara lain pengelolaan sistema dan pelaksanaan
pemeliharaan/perawatan sarana, prasarana, instalasi, dan peralatan pertambangan,
pengamanan instalasi, kelayakan sarana, prasarana instalasi, dan peralatan pertambangan,
kompetensi tenaga teknik, dan evaluasi laporan hasil kajian teknis pertambangan.
SMKP Minerba terdiri dari 7 (tujuh) elemen, yaitu kebijakan, perencanaan, organisasi dan
personel, implementasi, evaluasi dan tindak lanjut, dokumentasi dan tinjauan manajemen.
Elemen yang dimiliki SMKP Minerba sangat spesifik, dalam arti, bahwa elemen yang ada
telah memperhatikan kekhususan dari kegiatan pertambangan itu sendiri. Sebagai contoh,
elemen organisasi dan personel, meliputi penunjukan Kepala Teknik Tambang (KTT),
Penanggung Jawab Operasi (PJO), pengawas pengawas operasional dan pengawas teknik,
tenaga teknik khusus pertambangan dan petugas lainnya serta banyak hal lain yang
menjadikan SMKP Minerba lebih spesifik.
Sosialisasi SMKP Minerba yang dilakukan memberikan gambaran dan pedoman bagi
perusahaan untuk menyusun atau melaksanakan SMKP Minerba, khususnya bagi
perusahaan yang baru, sehingga banyak hal yang disosialisasikan memberikan kemudahan
dalam menerapkan Permen 38. Hal lainnya yang diperoleh dari sosialisasi ini adalah
pemahaman dari setiap personel mengenai implementasi SMKP Minerba menjadi lebih jelas
dan terarah.
594
Setelah adanya kebijakan, tujuan, sasaran dan program keselamatan pertambangan, hal
penting yang wajib disusun, ditetapkan dan didokumentasikan adalah manual SMKP
Minerba, yang meliputi :
- Ruang lingkup SMKP Minerba
- Prosedur terdokumentasi yang ditetapkan untuk SMKP Minerba
- Uraian dari interaksi antara elemen-elemen dalam SMKP Minerba dan acuan dokumen
dari elemen yang terkait
PT. Kaltim Jaya Bara selaku perusahaan yang baru beroperasi selama 1 (satu) tahun dan
yang akan meningkatkan produksinya di tahun kedua memiliki tantangan tersendiri dalam
menerapkan SMKP Minerba. Tahapan yang dilakukan perusahaan dalam menerapkan
SMKP Minerba adalah sebagai berikut :
- Pembuatan kebijakan
- Identifikasi dokumen, prosedur atau rekaman yang harus dipenuhi
- Pembuatan manual SMKP Minerba
- Sosialisasi SMKP Minerba
- Implementasi SMKP Minerba
- Penilaian mandiri SMKP Minerba
- Audit implementasi SMKP Minerba
Pada makalah ini, hal yang akan dibahas lebih mengarah kepada langkah pertama hingga
langkah kelima, hal ini dikarenakan langkah keenam hingga langkah ketujuh sedang dalam
pelaksanaan.
Langkah pertama, sebagaimana tertuang dalam Lampiran I, BAB I tentang Kebijakan bahwa
perusahaan harus mewujudkan komitmen Keselamatan Pertambangan dalam bentuk
kebijakan tertulis, maka dalam hal ini PT. Kaltim Jaya Bara wajib membuat kebijakan
sebagaimana sudah diatur tentang penyusunan kebijakan.
Langkah kedua, identifikasi dokumen, prosedur atau rekaman yang harus dipenuhi.
Lampiran I secara keseluruhan telah menjelaskan setiap dokumen, prosed dan rekaman yang
harus dipenuhi oleh perusahaan, maka untuk itu langkah identifikasi awal sangat diperlukan
guna mengetahui dokumen, prosedur dan rekaman yang sudah ada, belum ada dan sedang
dalam pembuatan.Berikut salah satu contoh dalam membuat identifikasi dokumen, prosedur
dan rekaman yang digunakan.
595
IDENTIFIKASI DOKUMEN
Status
Nomor Elemen / Sub Elemen Isi Dokumen / Rekaman
Ada Tidak Proses
4.1 Kebijakan Perusahaan a Kebijakan Perusahaan Dokumen 1
b Kebijakan baru Rekaman 1
1. Rekaman Tinjauan awal Rekaman 1
2. Rekaman Masukan dari Pekerja Tambang / Serikat Pekerja Rekaman 1
c Penetapan Kebijakan Rekaman 1
d Komunikasi Kebijakan Rekaman 1
e Rekaman Tinjauan Kebijakan Rekaman 1
4.2 Perencanaan
4.2.1 Rekaman Penelaahan Awal Penelaahan Awal Rekaman 1
4.2.2 Manajemen Risiko a Prosedur Manajemen Risiko Dokumen 1
b Komunikasi dan Konsultasi Rekaman 1
c Hasil Manajemen Risiko Rekaman 1
d Hasil Pemantauan dan Peninjauan Rekaman 1
4.2.3 Identifikasi dan Kepatuhan Peraturan a Daftar Ketentuan Peraturan Rekaman 1
b Hasil Evaluasi Kepatuhan Peraturan Rekaman 1
c Komunikasi Ketentuan Peraturan Rekaman 1
d Izin (Lisensi dan Sertifikat) Dokumen 1
e Daftar Izin (Lisensi dan Sertifikat) Rekaman 1
f Hasil Audit Kepatuhan Peraturan Rekaman 1
4.2.4 Penetapan Tujuan, Sasaran dan Program a Penetapan tujuan, sasaran dan program Rekaman 1
Penetapan dan pengesahan tujuan, sasaran dan program
b Keselamatan Pertambangan oleh Komite Keselamatan Rekaman 1
Pertambangan
Komunikasi Hasil Penetapan dan Pengesahan Tujuan, Sasaran
c Rekaman 1
dan Program Keselamatan Pertambangan
Rencana Kerja dan Anggaran Keselamatan
4.2.5 RKTTL dan RKAB Dokumen 1
Pertambangan
Langkah ketiga yaitu pembuatan manual SMKP Minerba sangat ditentukan dari langkah
kedua, sebagaimana isi dari manual SMKP Minerba merupakan prosedur (dalam hal ini
dokumen, prosedur dan rekaman) serta interaksi dari setiap elemen yang ada.Langkah kedua
harusnya telah dilengkapi terlebih dahulu, meskipun ada elemen-elemen yang dapat berdiri
sendiri, harus terpenuhi agar manual SMKP Minerba dapat dibuat dengan prinsip integrasi
dan interaksi dari setiap elemen yang ada saling menunjang dan mendukung.
596
Langkah kelima, implementasi SMKP Minerba, merupakan langkah konkret dalam
penerapan SMKP Minerba itu sendiri.Sebagai salah satu langkah konkret adalah dengan
membuat atau melengkapi setiap prosedur, dokumen dan rekaman yang harus dimiliki oleh
perusahaan.Bilamana prosedur, dokumen dan rekaman telah dibuat atau dilengkapi maka
harus didokumentasikan serta diimplementasikan. PT. Kaltim Jaya Bara dalam kegiatannya
telah membuat atau melengkapi beberapa prosedur, dokumen dan rekaman yang harus ada.
Beberapa prosedur, dokumen dan rekaman yang sudah ada dan sedang dalam penyusunan
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Status
Nomor Elemen / Sub Elemen Isi Dokumen / Rekaman
Ada Tidak Proses
597
III. Kesimpulan
SMKP Minerba diterapkan dengan tujuan menciptakan suatu sistema manajemen
keselamatan pertambangan yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi demi terciptanya
kegiatan operasional tambang dan tempat kerja yang aman, efisien, produktif, nyaman dan
mencegah terjadinya kecelakaan tambang, penyakit akibat kerja dan kejadian berbahaya.
PT. Kaltim Jaya Bara, selaku perusahaan yang baru 2 (dua) tahun beroperasi mencoba
mengimplementasikan SMKP Minerba di kegiatan operasionalnya dan memberikan dampak yang
baik dalam menciptakan suatu sistema yang mudah dipahami dan diterapkan karena SMKP
Minerba dikhususkan bagi perusahaan pertambangan. Kegiatan sosialisasi SMKP Minerba bagi
perusahaan sangat berdampak besar dalam penerapan SMKP Minerba itu sendiri serta memberikan
gambaran bagi perusahaan dalam melaksanakannya.
Bagian penting dalam penerapan SMKP Minerba adalah dengan terlengkapinya semua
dokumen, prosedur dan rekaman sebagaimana dijelaskan secara detil dalam Permen 38 dan
dikendalikan dalam suatu pengendalian dokumen dan rekaman agar terbentuk suatu sistema yang
terintegrasi.
Sebagai perusahaan pertambangan, makan PT. Kaltim Jaya Bara turut mendukung dan
berpartisipasi dalam penerapan SMKP Minerba untuk kegiatan pertambangan yang lebih baik
sebagaimana yang diinginkan setiap perusahaan serta pemerintah.
V. Daftar Pustaka
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38, Tahun 2014,“Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara”.
Undang-Undang No 4, Tahun 2009, “Pertambangan Mneral dan Batubara”
Website www.mine-plan.blogspot.com
598
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Bauksit merupakan jenis bahan galian laterit yang memiliki banyak pengotor berupa
tanah liat (clay), sehingga diperlukan adanya pabrik pencucian (washing plant) yang
berfungsi sebagai sarana pencucian crude bauxite (CBx) menjadi washed bauxite (WBx).
Dalam proses pencucian ini, hal yang menjadi perhatian adalah ukuran WBx, karena akan
mempengaruhi tingkat produktivitas serta supply WBx ke PT. Indonesia Chemical Alumina
(PT.ICA). Hal ini lah yang menjadi permasalahan penting di PT. Antam (Persero), Tbk UBPB
Tayan, karena dalam praktiknya ukuran rata-rata produk WBx adalah ±100 mm. Sementara
itu, dalam kesepakatan PT. Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan dan PT. ICA tanggal 24
Maret 2014, parameter acuan produk WBx adalah -50 mm +2 mm. Berdasarkan permasalahan
diatas, dilakukanlah penyaringan manual dengan menggunakan kombinasi excavator - mini
grizzly - dump truck, sehingga tidak efisien dalam produktivitas supply ke PT. ICA yaitu
sebesar 44,63 ton/jam, yang akan berdampak langsung dalam operational cost. Dari
perhitungan, didapatkan produktivitas product WBx dari unit washing plant sebesar 127,77
ton/jam dari jumlah feed sebesar 245,17 ton/jam dan jumlah tailing sebesar 117,41 ton/jam,
nilai concretion factor sebesar 52,11 %, nilai reduction ratio sebesar 3,30, serta total
operational cost aktual sebesar Rp. 1.238.295.527,48 per bulan. Maka setelah dilakukan
analisis, perlu dilakukan adanya penambahan secondary crusher. Dengan melakukan
pemilihan berdasarkan kapasitas, uji kuat tekan, kadar air, kadar silika, serta reduction ratio,
didapatkan semi-mobile double roll crusher sebagai secondary crusher yang paling sesuai.
Dengan ukuran set semi-mobile double roll crusher sebesar 50 mm, didapatkan ukuran
product WBx estimasi sebesar ≤ 50 mm, dengan produktivitas supply WBx estimasi sebesar
189,20 ton/jam. Sementara itu, dari biaya investasi semi-mobile double roll crusher sebesar
Rp. 1.605.666.700,00, akan didapatkan total operational cost estimasi sebesar Rp.
906.891.997,92 per bulan. Sehingga didapatkan penghematan operational cost sebesar Rp.
331.403.529,55 per bulan atau sebesar 26,76 %, dengan payback period dari biaya
penghematan selama 4,85 bulan.
PENDAHULUAN
PT. Antam (Persero), Tbk merupakan salah satu perusahaan pertambangan yang
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi mineral logam di Indonesia. PT. Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan merupakan
salah satu unit bisnis pertambangan bauksit yang dimiliki oleh PT. Antam (Persero), Tbk
yang berada di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
599
Bauksit merupakan jenis bahan galian laterit yang memiliki banyak pengotor berupa
tanah liat (clay), sehingga diperlukan adanya pabrik pencucian (washing plant) yang
berfungsi sebagai sarana pencucian bauksit kotor yang belum tercuci yang disebut crude
bauxite (CBx), untuk menjadi bauksit bersih yang sudah tercuci yang disebut washed bauxite
(WBx). Proses pencucian CBx memegang peranan penting dalam produksi WBx. Hal ini
diperlukan karena CBx yang baru ditambang masih mengandung banyak impurities atau
pengotor, sehingga untuk selanjutnya dibersihkan menjadi WBx. Dalam pencuciannya selain
membersihkan impurities juga berfungsi sebagai sarana penyesuaian ukuran yang dihasilkan
sehingga mampu memenuhi spesifikasi WBx dari pabrik chemical grade alumina (CGA) di
PT. Indonesia Chemical Alumina (ICA) untuk diolah menjadi alumina. Terdapat beberapa
tahapan yang dilakukan dalam proses washing plant meliputi pengayakan (screening) dan
penghancuran (comminution).
Dalam proses pencucian bauksit ini, hal yang menjadi perhatian adalah ukuran WBx,
karena akan mempengaruhi tingkat produktivitas serta supply WBx ke PT. ICA. Hal ini lah
yang menjadi permasalahan penting di PT. Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan dalam
memproduksi WBx, karena dalam praktiknya ukuran rata-rata produk WBx adalah ±100 mm.
Sementara itu, dalam kesepakatan PT. Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan dan PT. ICA,
parameter acuan produk WBx memiliki ukuran -50 mm +2 mm. Berdasarkan permasalahan
diatas, dilakukan penyaringan manual dengan menggunakan kombinasi excavator - mini
grizzly - dump truck, sehingga tidak efisien dalam produktivitas supply ke PT. ICA, yang akan
berdampak langsung dalam operational cost.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan menggabungkan antara teori dan
data-data dilapangan, sehingga dari keduanya akan didapatkan penyelesaian masalah. Studi
literatur dilakukan untuk mencari sumber pustaka yang mendukung data penelitian seperti
karakterisitik umum bahan galian, dan teknologi baru terkini, yang diperoleh dari arsip PT.
Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan, perpustakaan Jurusan Teknik Pertambangan Universitas
Sriwijaya, instansi yang terkait. Sementara itu, pengamatan secara langsung terhadap kondisi
lapangan dan kegiatan washing plant dilakukan sebagai langkah awal memulai proses
pengambilan data. Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah pada unit washing plant
PT. Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan, yang dilakukan pada 23 Januari 2015 – 31 Maret
2015. Pengambilan data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer yang diukur langsung di lapangan, meliputi sifat mekanik, sifat fisik, sifat kimia,
ukuran butir, geometri alat terpasang pada unit washing plant, produksi bauksit pada unit
washing plant dan supply, serta perhitungan operational cost aktual, seperti bahan bakar
minyak, jasa sewa kontraktor, dan biaya investasi rekomendasi perbaikan. Sedangkan data
sekunder yang berasal dari data perusahaan, meliputi desain rancangan unit washing plant,
kapasitas alat gali muat dan alat angkut, serta efisiensi dan efektivitas waktu kerja.
Data dari pengamatan lapangan diolah secara manual melalui dasar teori yang sudah
diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang menunjang. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software-software yang mendukung penelitian, yaitu Microsoft Excel 2010 dan
Split Engineering Versi 2.0. Ada dua aspek yang pengolahan data yang dilakukan dalam
penelitian ini, yaitu aspek teknis meliputi kapasitas, produktivitas, efektivitas, distribusi
ukuran, material balance, serta rekomendasi teknis dari unit washing plant. Sementara itu
aspek ekonomis meliputi, operational cost aktual, investasi perbaikan, operational cost
estimasi, serta penghematan operational cost dari unit washing plant. Dari hasil analisis dan
600
pembahasan, didapatkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan, serta saran untuk
rekomendasi bagi perusahaan.
Dari hasil pengamatan produktivitas aktual dari unit washing plant, didapatkan jumlah
feed yang masuk beserta product sebesar 245,17 ton/jam, dengan produktivitas sebesar 127,77
ton/jam, serta jumlah tailing yang sebesar 117,40 ton/jam. Dari produktivitas tersebut,
didapatkan nilai concretion factor aktual dari unit washing plant sebesar 52,11 %, maka
didapatkan persentase tailing sebesar 47,89 %.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dibuat grafik harian laju produktivitas serta concretion
factor selama jadwal pengamatan seperti Gambar 1. Sehingga dapat dilihat bahwa semakin
besar produktivitas, concretion factor juga semakin meningkat terhadap jumlah feed. Semakin
kecil produktivitas, concretion factor juga semakin kecil. Produktivitas serta concretion factor
ini dipengaruhi oleh ukuran dari bauksit pada masing-masing front, dimana pada bukit 7 pit B
laju produktivitas dan concretion factor lebih stabil dan fluktuatif karena memiliki ukuran
boulder yang bervariasi. Pada bukit 7 pit A, menunjukkan bahwa laju produktifitas serta
concretion facor nya lebih cenderung naik dibandingkan pada pit B, hal ini dikarenakan
ukuran boulder yang relatif besar dan seragam. Sedangkan pada bukit 16, laju produktivitas
serta concretion factor cenderung lebih menurun atau kecil, hal ini disebabkan ukuran butir
dari bukit ini lebih kecil dan seragam.
Berdasarkan produktivitas pada unit washing plant serta perhitungan concretion factor, maka
dapat dihitung produktivitas desain dari unit washing plant. Nilai concretion factor secara
aktual sebesar 52,11 %, sehingga didapatkan produktivitas desain unit washing plant sebesar
261,47 ton/jam
Berdasarkan perhitungan kapasitas unit aktual dan desain, maka dapat dibuat suatu
grafik dari unit washing plant antara kapasitas desain dan aktual serta efektivitas dari masing-
masing unit, seperti pada Gambar 2.
601
Gambar 2. Kapasitas dan Efektivitas Unit Washing Plant
602
Gambar 3. Bagan Alir Material Balance Unit Washing Plant Saat ini
Selanjutnya Product washed bauxite (WBx) akan dimuat dan di dumping dengan
menggunakan wheel loader LiuGong CLG856, serta dump truck Nissan CWA260X ke
stockyard washed bauxite (WBx) sebanyak 127,77 ton/jam. Berdasarkan analisis dengan
menggunakan software Split Engineering versi 2.0, didapatkan distribusi rata-rata produk
WBx seperti Tabel 2.
Kegiatan supply WBx dilakukan untuk kebutuhan bauksit pada PT. ICA untuk dapat
langsung dilebur. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan 1 unit excavator Hitachi
ZX330MF, 1 unit Mini Gizzly, dan 2 unit dump truck Nissan CWA260X. Saat ini yang paling
menjadi permasalahan adalah pada ukuran WBx yang tidak sesuai standar. Berdasarkan hal
tersebut, digunakan mini grizzly atau alat penyaring manual. Tujuannya untuk menyaring
WBx agar memiliki ukuran yang sesuai dengan spesifikasi pabrik CGA. Berdasarkan analisis
distribusi ukuran product WBx dengan menggunakan software Split Engineering versi 2.0,
didapatkan rata-rata produktivitas penyaringan WBx dengan mini grizzly sebesar 76,57
ton/jam.
Untuk menghitung produktivitas aktual supply WBx, diambil dari data record cycle
time dan tonnage alat angkut supply WBx ke PT. ICA yang dilakukan di jembatan timbang.
Dari total ritase sebanyak 935 rit, didapatkan jumlah total produksi sebesar 20.676 ton dengan
waktu kerja total 463,26 jam, didapatkan nilai produktivitas rata-rata supply sebesar 44,63
ton/jam dengan menggunakan 2 unit Dump Truck Nissan CWA260X, sehingga untuk
produktivitas per unitnya adalah 22,32 ton/jam.
Berdasarkan pengamatan dan perhitungan didapatkan biaya operasi (operational cost)
washing plant secara aktual, dimana cakupan perhitungan biaya produksi dimulai dari biaya
pemuatan feed dari stockyard exportable transit ore (ETO) ke hopper, pemuatan product ke
stockyard, pemuatan dan penyaringan WBx di stockyard ke alat angkut, serta supply WBx ke
stockyard PT. ICA. Komponen-komponen perhitungan meliputi jasa sewa alat, bahan bakar
minyak, perbaikan, biaya mini grizzly, serta upah pekerja. Dalam prosesnya PT. Antam
(Persero), Tbk UBPB Tayan menggunakan sebagian jasa sewa atau kontraktor, yaitu PT.
Mitra Multi Niti Usaha (MMNU), PT. Mama Megah Mandiri (Mega), dan PT. Meta Estetika
Graha (Meta). Berdasarkan perhitungan secara aktual, maka didapatkan total biaya operasi
seperti Tabel 3.
603
Berdasarkan dari perhitungan biaya operasi aktual seperti Tabel 3, maka dapat dilihat
bahwa total cost terbesar terdapat pada operasi supply product WBx menggunakan excavator
Hitachi ZX330MF dengan total cost sebesar Rp. 357.554.880,00 (belum termasuk pajak) dari
total biaya operasi sebesar Rp. 1.238.295.527,48 (sudah termasuk pajak). Hal ini terjadi
karena banyaknya waktu kerja total dari excavator Hitachi ZX330MF dalam melakukan
penyaringan manual dengan menggunakan mini grizzly. Selanjutnya diikuti dengan biaya
dump truck Nissan CWA260X yang masih termasuk dalam kegiatan supply product WBx
sebesar Rp. 196.162.814,40 (belum termasuk pajak). Adapun perhitungan biaya ini
berdasarkan pada biaya kontrak sewa alat pada kontraktor, mengingat kegiatan pada unit
washing plant serta supply ini sebagian besar menggunakan jasa kontraktor.
Tabel 2. Distribusi Ukuran Product WBx Unit Washing Plant Aktual Berdasarkan Split
Engineering Versi 2.0
604
Dari hasil uji WBx pada Tabel 5 tersebut, maka dapat ditentukan tipe secondary
crusher yang cocok terhadap parameter pemilihan. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka
secondary crusher yang paling cocok adalah semi-mobile double roll crusher.
Tabel 3. Total Biaya Operasi (Operational Cost) Washing Plant dan Supply Product WBx
per Bulan
Berdasarkan hasil survey semi-mobile double roll crusher yang ada dipasaran,
didapatkan jenis semi-mobile double roll crusher dengan merk Sandvik CR420. Penambahan
unit semi-mobile double roll crusher dapat mempengaruhi secara langsung ukuran dari
product WBx yang didapatkan, yaitu ≤ 50 mm. Sehingga dapat dihitung estimasi hasil
distribusi product WBx pada Tabel 6 dan Gambar 4, dengan ukuran product WBx yang
dihasilkan pada Tabel 7.
Tabel 5. Hasil Uji Product WBx Oversize Maximum PT. Antam (Persero), Tbk UBPB
Tayan
Tipe Crusher Kapasitas (tpj) Kapasitas (tpj) UCS Reduction SiO2 H2O
D = 1,45 ton/m3 D = 1,7 ton/m3 (Mpa) Ratio RSiO2 TSiO2
Washed Bauxite (WBx) 93,75 109,91 70,09 3,18 9,05 32,64 12,76
605
Tabel 6. Estimasi Material Balance Hasil Product WBx pada Unit Washing Plant Setelah
Perbaikan
Tabel 7. Distribusi Ukuran Hasil Product WBx pada Unit Washing Plant Estimasi
606
Diketahui cycle time rata-rata alat muat excavator Hitachi ZX330MF yang berjumlah
1 unit adalah 22 detik, dengan kapasitas bucket 2,82 m3, density sebesar 1,45 ton/m3,
Utilization Availability (UA) sebesar 78 %, serta Physical Availability (PA) sebesar 85 %.
Sehingga didapatkan produktivitas excavator Hitachi ZX330MF sebesar 443,62 ton/jam.
Dengan adanya perubahan cycle time dari alat angkut excavator Hitachi ZX330MF,
maka akan mempengaruhi cycle time rata-rata alat angkut dump truck Nissan CWA260X
yang berjumlah 2 unit sebesar 7,02 menit. Sehingga didapatkan persentase dari cycle time
supply dengan menggunakan dump truck Nissan CWA260X sebelum dan sesudah perbaikan
sebesar 23,59 %.
Dari persentase ini, didapatkan waktu kerja estimasi sebesar 109,28 jam. Sehingga
dengan adanya upaya penambahan semi-mobile double roll crusher, maka didapatkan
produktivitas supply product WBx akan meningkat sebesar 189,20 ton/jam dari produktivitas
awal sebesar 44,63 ton/jam atau naik sebesar 423,93 %.
Selain itu, dapat dihitung juga match factor dari proses supply product WBx estimasi
sebesar 0,43. Dengan demikian masih terdapat waktu tunggu yang cukup lama dari alat muat
excavator Hitachi ZX330MF, waktu tunggu ini dapat diantisipasi dengan penambahan alokasi
kerja waktu terbuang dalam perapihan lokasi stockyard WBx agar dapat terjaga sesuai dengan
posisinya. Akan tetapi, jika diperlukan dalam pencapaian target produksi, maka
memungkinkan untuk dilakukan adanya penambahan alat muat sebesar 4 unit agar kesesuaian
kinerja alat dapat berjalan dengan baik dan serasi.
Estimasi biaya perbaikan ditaksir berdasarkan harga maksimum penjualan dipasaran
Indonesia maupun Dunia yang diakses melalui toko online pemesanan alat berat Alibaba.com.
Dari hasil penaksiran harga pada Tabel 8, didapatkan total biaya investasi sebesar Rp.
1.605.666.700,00 (sudah termasuk PPn 10 %), dengan nilai sisa sesuai dengan peraturan di
PT. Antam (Persero), Tbk UBPB Tayan berjumlah Rp. 1,00 diakhir tahun umur peralatan,
sehingga didapatkan nilai depresiasi sebesar Rp. 15.205.177,07 per bulan.
Berdasarkan hasil perhitungan biaya operasi estimasi pada Tabel 9, didapatkan total
estimasi biaya operasi sebesar Rp. 906.891.997,92 (sudah termasuk PPn 10 %). Sehingga dari
hasil perhitungan selisih biaya operasi sebelum dan sesudah perbaikan, didapatkan
penghematan biaya operasi sebesar Rp. 331.403.529,55 per bulan atau sebesar 26,76 %.
Dari hasil perhitungan waktu balik modal biaya investasi berdasarkan biaya
penghematan per bulannya, maka didapatkan waktu kembali (payback period) selama 4,85
bulan. Artinya, waktu pengembalian modal ini termasuk cepat karena dapat kembali hanya
dalam hitungan bulan saja, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya proses perbaikan
dengan penambahan alat pada unit washing plant sangat layak untuk dilakukan.
607
Tabel 9. Estimasi Biaya Operasi Setelah Perbaikan Unit Washing Plant per Bulan
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan perhitungan teknis washing plant didapatkan produktivitas rata-rata product
washed bauksit (WBx) adalah sebesar 127,77 ton/jam dari jumlah feed sebesar 245,17
ton/jam, serta jumlah tailing sebesar 117,41 ton/jam. Sehingga didapatkan efektivitas unit
washing plant sebesar 48,87 %.
2. Berdasarkan analisis ukuran, didapatkan nilai reduction ratio aktual pada ukuran linear
feed crude bauxite (CBx) dan product washed bauxite (WBx) sebesar 3,30, dimana ukuran
linear maximum feed CBx adalah 323 mm dan maximum product WBx adalah 98 mm.
3. Berdasarkan perhitungan ekonomis didapatkan total operational cost aktual sebesar Rp.
1.238.295.527,48 per bulan (sudah termasuk PPn 10 %). Sehingga setelah dilakukan upaya
penambahan saringan talang serta semimobile double roll crusher didapatkan total
operational cost estimasi sebesar Rp. 906.891.997,92 per bulan (sudah termasuk PPn 10
%). Sehingga didapatkan penghematan operational cost sebesar Rp. 331.403.529,55 per
bulannya atau sebesar 26,76 %.
608
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinas Pertambangan dan Energi. (2008). Bahan Galian Bauksit Di Kalimantan Barat.
Laporan Penelitian, Tim Peneliti Pertambangan dan Energi. Pontianak: Dinas
Pertambangan dan Energi.
2. Napitupulu, A. T., Darmawan, A., Kurniasih, T. N., Kusumawanto, A., Sitohang, G.
S., Supriadi, A., et.al. (2012). Kajian Kebijakan Pengembangan Industri Mineral
Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Laporan Penelitian, Pusat Data dan Informasi
Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta: Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral.
3. Wills, B.A., dan Munn, T.J.N. (2005). Mineral Processing Technology 7th Edition: An
Introduction to the Practical Aspects of Ore Treatment and Mineral Recovery.
Australia: Elsevier Science & Technology Books.
4. Irwandy, A., dan Kadarsah, S. (1998). Manajemen Proyek dan Manajemen Peralatan.
Makalah disajikan dalam Diklat Manajemen Proyek, Bandung: Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum.
5. Jeffrey, W. S., Rodgers, M. H., dan James, F. S. (1992). The Place of The Trommel in
Resource Recovery. Journalof National Waste Processing, 1(1), 1-8
6. Taggart, A. F. (1927). Handbook of Ore Dressing. New York: Wiley.
7. Tenriajeng, A. T. (2008). Pemindahan Tanah Mekanis. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
8. Silbermann, F. (2013). Overview about Capabilities of ThyssenKrupp Resource
Technologies for Crushing and Grinding Applications. International Journal of
Comminution Research Association, 1. 5-15
9. Muckermann, J. (2009). Optimized Crusher Selection for The Cement Industry.
Journal of BU Processing, 26, 1-9
609
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Rinto Dwihartanto*)
*) Process Engineer pada PT Antam (Persero), Tbk dan PT Indonesia Chemical Alumina
ABSTRAK
Industri pengolahan alumina dapat dibagi menjadi dua produk yaitu smelter grade
alumina (SGA) dan chemical grade alumina (CGA). Produk SGAdipergunakan untuk
menghasilkan alumunium dan produk CGAdipergunakan dalam industri keramik, elektrik
maupun manufaktur. Namun kedua proses pengolahan bauksit tersebut menggunakan proses
produksi yang sama, yaitu proses Bayer. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
perbedaan parameter proses dan hasil produksi dari kedua proses produksi tersebut untuk
menghasilkan produk alumina. Adapun metode yang akan digunakan adalah dengan
menggunakan perbandingan proses pada pabrik pengolahan yang meliputi temperature
presipitasi dan waktu kalsinasi. Sedangkan karakteristik produk yang dihasilkan akan
membandingkan ukuran partikel alumina, pembentukan α-alumina dan specific surface area
(SSA). Hasil dari kajian menunjukkan bahwa ukuran partikel alumina untuk SGA adalah 80-
90 mikron, sedangkan CGA adalah 0,5-90 mikron. Sedangkan specific surface area (SSA) pada
SGA adalah 60-80 m2/g dan CGA adalah 0,5-10 m2/g. sedangkan α-alumina yang terbentuk
pada SGA adalah maksimal 12% dan CGA adalah 99%. Dari perbedaan produk yang dihasilkan
tersebut, maka akan menghasikan parameter proses yang berbeda pula. Dimana temperature
presipitasi untuk menghasilkan produk SGA adalah sekita 70-800C, sedangkan untuk produk
CGA adalah 60-850C. Dan waktu tinggal untuk proses kalsinasi untuk produk SGA adalah
hanya beberapa detik, sedangkan untuk produk CGA bisa beberapa menit bahkan jam.
Kata kunci :
SGA, CGA, alumina, kalsinasi, temperatur
1. PENDAHULUAN
Aluminium oksida adalah senyawa kimia dari aluminium dan oksigen, dengan rumus
kimia Al2O3. Dalam bidang pertambangan, teknik material dan keramik senyawa ini lebih
banyak disebut dengan nama alumina. Dalam industri pengolahan, alumina dibagi menjadi dua
produk yaitu Smelter Grade Alumina (SGA) dan Chemical Grade Alumina (CGA). Produk SGA
dipergunakan untuk menghasilkan alumunium dan produk CGA dipergunakan dalam industri
keramik, elektrik maupun manufaktur. Berdasarkan data studi market, produksi MGA yang
dihasilkan dunia adalah sebesar 132.362.000 ton. Sedangkan produk CGA hanya sekitar 18%
dari jumlah SGA yang dihasilkan yaitu sebesar 7.118.000 ton.
Untuk produk SGA dikenal juga dengan istilah metallurgical grade alumina (MGA),
sedangkan untuk CGA terkadang ada yang menggunakan non metallurgical grade alumina
(NMGA). Namun kedua proses tersebut menggunakan jalur proses yang sama, yaitu proses
Bayer. Proses bayer adalah proses ekstraksi bijih bauksit dengan menggunakan kaustik soda
610
sehingga menghasilkan alumina. Dalam proses bayer ini terdapat tiga tahap penting
pengolahan, yaitu proses pelarutan mineral alumina dengan menggunakan kaustik soda, proses
pengendapan alumina menjadi alumina trihidrat, dan yang terakhir adalah proses kalsinasi,
yaitu mengubah alumina trihidrat menjadi alumina. Perbedaan proses antara SGA dan CGA
terletak pada proses pengendapan dan kalsinasi. Dimana pada produk SGA yang dihasilkan di
Australia memiliki spesifikasi kadar alumina sekitar 98.7%, ukuran partikel +45 mikron
minimal 88%, dan -45 mikron maksimal 12%, LOI maksimal 1,0% dan specific surface area
adalah 60-80 m2/g. Sedangkan pada CGA kadar alumina yang dihasilkan harus diatas 99%,
ukuran partikel rata-rata adalah 1.1-97 μm, LOI sebesar 0.02-0.21%, dan specific surface area
adalah 0.4-3.2 m2/g.
Dari persamaan dan perbedaan antara produk SGA dan CGA tersebut maka diperlukan
suatu kajian untuk mengetahuinya persamaan dan perbedaan tersebut. Adapun secara umum
diagram blok dari proses bayer dimana baik untuk menghasilkan produk SGA adaupun produk
CGA menggunakan proses ini dapat dilihat pada gambar 1.
Untuk itulah penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji parameter
produksi dan karakteristik dari produk yang dihasilkan dari jalur proses yang sama namun dapat
menghasilkan karakteristik produk yang berbeda. Adapun parameter produksi yang akan dikaji
adalah temperature presipitasi dan waktu kalsinasi. Sedangkan dari karakteristik akan
membandingkan ukuran partikel alumina, pembentukan α-alumina dan specific surface area.
2. METODOLOGI PENELITIAN
611
Parameter Produksi
Parameter lain yang akan dikaji adalah waktu yang dibutuhkan untuk proses kalsinasi.
Karena waktu kalsinasi ini akan berpengaruh terhadap banyaknya α-alumina yang akan
terbentuk. Selain waktu kalsinasi, temperature kalsinasi ikut berperan besar dalam proses
pembentukan α-alumina.
Karakteristik Produk
Perbandingan produk yang akan dilakukan adalah meliputi ukuran partikel alumina,
pembentukan α-alumina dan specific surface area. Adapun ukuran partikel alumina adalah
ukuran partikel yang terjadi pada produk yang diukur berdasarkan dari diameter rata-rata, baik
alumina hidrat maupun alumina. sedangkan specific surface area adalah jumlah luas
permukaan dalam 1 gram produk. Untuk α-alumina adalah fasa yang terbentuk dalam alumina.
Adapun transformasi yang akan terjadi dalam proses kalsinasi dalam dilihat pada gambar 2.
612
Gambar 2. Transformasi dari Al(OH)3 menjadi Al2O3
Parameter produksi yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk yang berbeda
adalah dengan mengatur temperature presipitasi dan juga waktu proses kalsinasi.
Temperatur Presipitasi
Berdasarkan dari tipikal produk SGA yang berasal dari Australia bahwa ukuran partikel
alumina yang +45 mikron minimal 88%. Adapun spesifikasi dari produk SGA secara lengkap
dapat dilihat dari table 2.
613
Table 3. Tipikal Produk CGA
Untuk temperature produk CGA dapat bervariasi antara 60-850C. Temperatur ini
tergantung dari produk yang ingin dihasilkan, jika temperature rendah maka produk yang
dihasilkan akan berukuran cukup halus. Sedangkan jika temperature tinggi akan menghasilkan
produk CGA yang besar. Hal ini dapat dilihat dari persamaan berikut :
Jika semakin tinggi temperatur maka kinetika pertumbuhan Kristal alumina hidrat akan
semakin cepat. Dalam persamaan tersebut, selain factor temperature ada pengaruh dari
konsentrasi alumina dalam larutan kaustik aluminat, konsentrasi kaustik soda dan juga luas
permukaan alumina hidrat yang diumpankan.
Waktu Kalsinasi
614
terbentuk. Perbedaan parameter produksi untuk waktu kalsinasi dan juga waktu tinggal dalam
reactor/kiln dapat dilihat pada table 4.
Table 4. Perbedaan Paramater Produksi di Kalsinasi Untuk Proses SGA dan CGA
Untuk calciner SGA pada umumnya menggunakan jenis fluidized bed, sedangkan pada
CGA menggunakan rotary kiln. Selain itu waktu tinggal dalam dalam reactor/kiln untuk produk
SGA cukup singkat, yaitu hanya beberapa detik saja. Hal ini untuk mencegah terjadinya
terbentuknya α-alumina yang terlalu banyak dalam produk. Sedangkan pada CGA
menggunakan rotary kiln dan waktu tinggal bisa beberapa menit bahkan jam agar α-alumina
yang terbentuk dapat mencapai lebih dari 99%.
Berdasarkan dari tipikal produk SGA dan CGA, ukuran partikel alumina (D50) untuk
sekitar antara 70-80 mikron. Sedangkan untuk produk CGA adalah 0,5-90 mikron. Untuk detail
perbedaan ukuran partikel alumina antara produk SGA dan CGA dapat dilihat pada table 5.
Table 5. Perbedaan Paramater Produksi di Kalsinasi Untuk Proses SGA dan CGA
Ukuran partikel alumina untuk produk SGA sangat besar/kasar, hal ini dikarenakan
produk ini akan digunakan untuk refinery alumunium dan jika terlalu halus akan sangat sulit
untuk dilakukan proses transportasi. selain itu dengan ukuran yang besar/kasar, maka specific
suface area yang dihasilkan akan cukup tinggi jika menggunakan metode fuidized bed reactor
dengan waktu tinggal yang singkat dan temperature sekitar 10000C.
Sedangkan untuk produk CGA, variasi ukuran partikel sangat luas. Hal ini tergantung
dari proses yang dilakukan dan juga maksud penggunaan dari alumina yang akan dipakai dalam
produk akhir. Adapun penggunaan alumina berdasarkan dari variasi ukuran partikel alumina
dapat dilihat pada table 6.
615
Table 6. Kegunaan Alumina Berdasarkan Ukuran Partikel Alumina
Pembentukan α-Alumina
Pembentukan α-alumina tergantung dari temperature dan waktu tinggal dalam proses
kalsinasi. Untuk produk SGA diperlukan α-alumina yang rendah, yaitu maksimum 12%.
Sehingga temperature yang digunakan adalah 10000C dengan waktu tinggal beberapa detik.
Sedangkan untuk produk CGA diperlukan α-alumina yang tinggi, yaitu hingga 99%. Sehingga
temperature yang digunakan adalah 1100-13000C dengan waktu tinggal beberapa beberapa
menit hingga beberapa jam.
Adapun maksud dari terbentuknya α-alumina yang kecil dalam produk SGA adalah
karena alumina ini akan diekstraksi lebih lanjut sehingga dapat menghasilkan alumunium.
Sehingga bila α-alumina yang terbentuk tinggi akan sulit untuk dipecah dan dimurnikan karena
Kristal α-alumina ini sangat stabil.
Sedangkan untuk produk CGA diperlukan α-alumina yang tinggi, karena produk ini
digunakan sebagai filler atau bahan baku yang tidak mudah beraksi dengan senyawa lain
ataupun karena produk ini memiliki sifat insulator yang sangat baik. Pada table 8 dapat dilihat
mengenai karakteristik dari α-alumina.
616
Table 8. Karakteristik α-Alumina
Spesific surface area adalah luas permukaan pada 1 gram pada produk alumina. Pada
produk SGA, SSA yang yang terbentuk adalah sekitar 70-80 m2/gram. Sedangkan pada produk
CGA cukup rendah yaitu 0,5-10 m2/gram. Perbedaan specific surface area antara produk SGA
dan CGA dapat dilihat pada 8able 9 berikut ini.
Table 9. Perbedaan Specific Surface Area Untuk Proses SGA dan CGA
Adapun pada produk SGA, SSA yang tinggi diperlukan agar ketika proses ekstraksi
dengan tinggi SSA maka laju proses reaksi pelepasan senyawa oksigen dari alumina menjadi
lebih besar. Sedangkan pada produk CGA,SSA yang diperlukan harus kecil agar tidak mudah
bereaksi dengan senyawa lain. Adapun untuk untuk mengontrol SSA ini dapat dilakukan
dengan cara mengatur temperature dan waktu ketika kalsinasi. Hal ini dapat dilihat pada grafik
1.
617
4. KESIMPULAN
Proses produksi SGA dan CGA menggunakan proses produksi yang sama, yaitu proses
Bayer. Dimana proses bayer ini secara garis besar menggunakan 3 tahap proses, yaitu digestion,
presipitasi dan kalsinasi. Namun produk dari SGA dan CGA memiliki kegunaan yang berbeda
sehingga diperlukan karakteristik produk tertentu yang berakibat pada adanya perbedaan
parameter proses untuk menghasilkan produk sesuai yang diinginkan.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan untuk karakteristik produk SGA maupun CGA
diperoleh hasil sebagai berikut :
a. ukuran partikel alumina untuk SGA adalah 80-90 mikron, sedangkan CGA adalah 0,5-90
mikron
b. Specific surface area (SSA) pada SGA adalah 60-80 m2/g dan CGA adalah 0,5-10 m2/g.
c. α-alumina yang terbentuk pada SGA adalah maksimal 12% dan CGA adalah 99%. Dari
perbedaan produk yang dihasilkan tersebut, maka akan menghasikan parameter proses yang
berbeda pula.
Dari perbedaan karakteristik produk, maka diperlukan parameter proses produksi yang
berbeda pula. Adapun perbedaan parameter proses produksi tersebut adalah sebagai berikut :
a. temperature presipitasi untuk menghasilkan produk SGA adalah sekita 70-800C, sedangkan
untuk produk CGA adalah 60-850C.
b. waktu tinggal untuk proses kalsinasi untuk produk SGA adalah hanya beberapa detik,
sedangkan untuk produk CGA bisa beberapa menit bahkan jam.
5. REFERENSI
Glayson Stopa Gontijo, dkk. 2009. Improving the Bayer Process productivity – An industrial
case study. Minerals Engineering 22 (2009) 1130–1136.
Karl Wefers dan Chanakya Misra. 1987. Oxides and Hydroxides of Aluminum Alcoa Technical
Paper No. 19, Revised. Alcoa Laboratories
Liu Zhijian,dkk. 2010. Global Development and Situation of Bauxite Exploitation and Alumina
Production. (SAMI of Chalieco, Shenyang City of China 110001). TRAVAUX Vol. 35
(2010) No. 39
Lindsay, SJ. 2005. SGA Properties and value stream requirements. Alcoa Aluminum,
Proceeding of the 7th international alumina quality workshop.
McGraw Hill Financial. 2014. Methology and Specification Guide of Alumina. Platts, McGraw
Hill Financial.
Nalco, “Nalco Product Profile”. India.
618
Ostbo, N.Peter. 2002. “Evolution of Alpha Phase Alumina in Agglomerates upon Addition to
Cryolitic Melts”.Norwegian University of Science and Technology.
Perander L, dkk. 2008. Impact of calciner technologies on smelter grade alumina
Microstructure and properties. Light Metals Research Centre, The University of Auckland,
Auckland, New Zealand
Showa Denko K.K, “Product Guide, Higilite and Alumina”. Japan: Inorganic Sector Ceramics
Division
619
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Research Centre for Geotechnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Jl. Sangkuriang
Komplek LIPI, Gd. 70 Bandung 40135, Indonesia
Abstract.
Carbonization of spent carbon catalyst obtained from oil refinery process and conversion
of Sumatra coal and recycled petroleum cokes in an atmospheric flipped beehive of about 2
m length and 120 cm diameter and 12 m length and 80 cm diameter of rotary kiln
(carbonization) has also been experimented at temperature ranging at approximately for
600oC to 1100oC for 30 to 120 min. respectively. Coal char and its products have the
quality and its properties for carbon raiser and used for metallic mineral reduction and
smelting experiment such as Mn ore and laterite mineral. An application process for
smelting of laterite ore in arc furnace will also be presented in this paper.
620
1 Introduction
Foundry cokes demand in Indonesia is fairly and largely consumed by small scale and
medium scale of pig, cast and ductile iron industry for about 150.000 tonnes a year (Suganal,
2009). For example, a small industrial center in Ceper Central Java need for about 12.000
tonnes per year in 2005 and predicted for 10 manifold of the demand in 5 years. Since then,
we have imported for metallurgical and foundry cokes from China and Taiwan, and some
from Australia. Indonesian Industrial and Commerce Ministry will be granted by the
investment in steel industry for about 71.83 trillions Rupiahs until 2104 and there will be 7
major steel industries will be constructed (Berita Satu 2011; Bisnis Indonesia 2011). The
production of steel etc. and other products from steel industry will reach for about 12 Millions
tonnes per year and 47 Millions tonnes of iron ore and cokes will be needed.
The increasing requirement to use low rank coal in Indonesia is part of the government’s
energy development program. Indonesian coal reserves amounted approximately 28.9 billion
tons and as resources around 119.4 billion tons (GA-MEMR, 2012). Its quality varies
according to the calorific value (CV) and it mostly consists of low CV namely (29%),
medium CV (62%), high CV (8%) and very high CV (1%). Coal demand grew at the fastest
rate of 4.7% per year, followed by oil and natural gas at 2.8%, hydro at 2.6% and renewable
energy at 1.3%. Coal demand is mainly driven by electricity generation, as Indonesia
promotes the construction of mine mouth coal fired electricity generation plants. Electricity
production grew an annual at 4.4% over 2005 with the total installed generation capacity in
2012 about 33GW is forecasted to grow in 2030 (DGMC-MEMR, 2014). Of this total, coal
was account for about 42% of the installed capacity requirements. Utilization of low rank coal
and petroleum cokes has also been used as feed material for production of foundry cokes as
well as applied in Mn ore reduction (Mursito, et al, 2012, 2014).
Selected raw material as a feed of carbon raiser and reductant was a spent carbon catalyst
obtained from oil refinery process. The spent carbon is containing for about 15 wt% of
bitumen and most probably oil/bitumen derived volatile matter of the material itself. A typical
property of raw material is described in Table 1. The carbonization experiments were
conducted in a single atmospheric flipped beehive of about 2 m length and 120 cm diameter
and maintaining at about 600oC for 2 hours. Main product of carbonization experiment was a
physically char like structure containing of fixed carbon content for about 75 wt% and
621
calorific value of about 7200 kcal.kg-1. Ash content of the product is remained stable and
about half of the bitumen derived volatile matter was reduced.
Table 2 Typical properties of raw material (feed) and carbon raiser and reductant
product
Properties Raw Product
Calorific value (kcal.kg-1) (adb) ~6800 ~7200
Proximate analysis (wt%)
Moisture (adb) 1.03 1.32
Volatile Matter (adb) 15.74 10.08
Fixed Carbon (adb) 69.85 75.34
Ash (adb) 13.21 12.38
Bitumen (wt%) 14.46 7.70
Several raw material such as laterite ore containing of Ni for about 1.834 wt.% was
selected for pellet preparation. Pellet was prepared in pelletized machine and formed at
about 1.5 cm diameter containing of laterite ore (85.5 wt.%): carbon raiser/reductant (12.5
wt.%) of a carbonization product (Table 1): bentonite binder (2 wt.%). An experiment of
laterite ore smelting was conducted in 100 kg ore/batch of arc furnace for a three phase
EAF equipped with an electric power for about 250 kVA, 65 V and 3 electrodes. A typical
property of raw material is described in Table 2. Selection of a limestone containing of
about 90 wt.% of CaCO3 and the rest of aluminosilicate and a very view containing metal.
Pellet product was mainly contained for Fe, Mg, Cr and Ni.
Fig 1. explained several picture for setting up the smelting experiments of laterite ore. Mixing
of 40 kg of pellet, 8 kg of cokes and 10.8 kg of limestone were first divided into 8 containers.
3 electrodes with the diameter of 30 mm were set afterward. Charging time was selected from
5 to 10 min. depending on the temperature. In total, for about 74.4 kWh were used for the
experiment. Reduction process of formed pellet wasn’t done prior the process, due to energy
consuming reason.
622
Figure 1 Pictures of setting up the smelting experiment evolved in the arc furnace
Limestone’s major containing calcite mineral was used as P and S reducing agent as well as
slag forming material described in Fig. 2. Mineral found in a pellet such as hematite, trevorite,
aluminosilicate, chromium iron oxide and graphite obtained from carbon raiser was also
described in XRD pattern of Fig. 2. Most of metallic mineral in a pellet was confirmed and
derived from laterite ore while the rest of aluminosilicate is mainly derived from binder and
gangue mineral. Graphite occurred in XRD pattern indicate that carbon raiser as a reductant
has a perfect carbon crystalline quality which normally has an amorphous pattern.
7000
CaCO3
6000 Batugamping
Intensity (Å) (a.u.)
5000
Col 1 vs Col 2
4000
3000
CaCO3
2000
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaCO3
1000
0
20 30 40 50 60 70 80
623
Col 3 vs Col 4
Pellet
SiO2
600
Fe2O3 NiFe2O4
Intensity (Å) (a.u.)
CaCO3
400
CaCO3
Fe2O3
Fe2O3
Al2O3
Fe2O3
Fe2O3
Fe2O3
200
SiO2
SiO2
0
20 30 40 50 60 70 80
Col 7 vs Col 8
Fe, Ni
600
FeNi product
Intensity (Å) (a.u.)
400
200
0
20 30 40 50 60 70 80
An experiment of laterite ore smelting resulted a metal product containing for Fe, Ni and Cr of about 70 wt%.
As indicate in Fig. 3 that most of major component of reducing agent and binder as well as carbon were not
appeared in the product. Most of the major element were found is Fe (56.34 wt%) and Ni (4.88 wt.%).
Therefore the metal product is classified as NPI (nickel pig iron).
624
Ca
Limestone
Fe
Counts (a.u.)
Ni
Cr
Pellet
Eu
Fe
Ni
Cr
Eu
FeNi product
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Energy (keV)
4 Conclusions
Smelting experiment for laterite ore without prior mineral reduction process has been
successfully produced for NPI product containing for Fe (56.34 wt%) and Ni (4.88 wt.%).
Utilization of spent carbon obtained from oil refinery process was also used as a feed material
for production of carbon raiser and/or reductant contained of fixed carbon of about 75 wt.%
and calorific value of about 7200 kcal/kg which suitable for energy and carbon raiser for
smelting process.
5 References
Suganal, Production and economical assessment of foundry coke from low ash coal of South
Kalimantan, Journal of Mineral and Coal Technology (In Indonesian), 5(14), pp.38-
49 (2009).
Berita Satu, Selasa, 20 September 2011, Hingga 2014, ada tujuh investasi besar di Industri
pengolahan bijih besi (Until 2004, there will be 7 large investment on steel industry).
20 September 2011.
Bisnis Indonesia, Indonesia Eximbank kucurkan kredit US$50 juta ke Indoferro (Indonesian
Eximbank provide US$50 Million credits for Indoferro), Senin 20 Juni 2011
Directorate General for Mineral and Coal (DGMC) – MEMR, 2014. Indonesian Coal
Resources. http://www.minerba.esdm.go.id/public/38477/produksi-
batubara/.produksi/
625
APERC (Asia Pacific Energy Research Centre), 2006. APEC energy demand and supply
outlook 2006. Tokyo.
Geological Agency (GA) -MEMR, 2012. Indonesian Balance of Fossil Energy Resources.
http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1026&
Itemid=641
Hadiyanto, Indonesian coal, resources and reserve. Coal distribution map of Indonesia.
Indonesian Geological Agency (BGN). Centre for Geological Resources. Indonesian
Ministry of Energy and Mineral Resources. 2005.
Hartoyo B., Indonesian National Coal Policy 2003–2020. In : Proceedings of the 16th
Japanese Committee for Pacific Coal Flow (JAPAC) International Symposium,
Tokyo, Japan; 2004.
Mursito AT., Listiyowati LN., Dida EN., Saepuloh A., Syazwani D. and Najiah A.,
Carbonization of Low Quality Coal and Recycled Petroleum Cokes and Its
Application for Foundry Cokes Production. Proc. International Symposium on Earth
Science and Technology 2012 (Bandung-Indonesia), pp.351-355, Sept.18-19, 2012.
Mursito AT., Syazwani D., Najiah A., Wibawa A., and Erlangga BD., Coal Processing and
Recycling Technology for Foundry Cokes and Carbon Raiser Production and Its
Application for Metallic Mineral Reduction. Proc. International Seminar Chemical
Engineering in Minerals and Materials Processing, In conjunction with Seminar
Teknik Kimia Soehadi Reksowardojo 2014 (Bandung-Indonesia), October 30-31,
2014.
626
PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
ABSTRAK
Salah satu tujuan peningkatan nilai tambah melalui proses pengolahan dan pemurnian,
sebagaimana dinyatakan dalam UU No.4/2009 pasal 102 dan 103 adalah untuk
mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak perusahaan dan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP), misalnya royalti. Berbagai aturan telah diterbitkan untuk mendukung kebijakan
tentang nilai tambah tersebut, termasuk kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah atau
konsentrat. Diterbitkannya PP No.9 Tahun 2012 merupakan penjabaran dari kebijakan tersebut.
Penelitian ini mengkaji dampak dari kebijakan nilai tambah terhadap perekonomian
khususnya pengembangan industri hilir yang merupakan pengembangan dari pertambangan
tembaga. Pembangunan smelter baru yang dilakukan saat ini dapat mengolah seluruh
konsentrat tembaga Indonesia dan mampu menghasilkan tembaga katoda yang dibutuhkan oleh
Indonesia sampai dengantahun 2020 serta merupakan mata ranai industri yang penting.
Terlambatnya pemberlakuan tarif royalti sesuai dengan PP No.9 Tahun 2012 untuk
pertambangan tembaga menyebabkan terjadinya selisih penerimaan negara dari royalti untuk
tahun 2012, 2013, dan 2014 berturut-turut sebesarRp. 2,4 Trilyun, Rp. 1,96Trilyun, dan Rp. 2,08
Trilyun.Sementara itu untuk kurun waktu yang samaterdapattambahan penerimaan negara
sekitar Rp. 37 – 38 Milyar jika lumpur anoda yang dihasilkan oleh smelter diolah di dalam
negeri.
Kata Kunci : Mineral ikutan, Peningkatan Nilai Tambah, Penerimaan Negara Bukan Pajak.
1 PENDAHULUAN
Bijih tembaga adalah salah satu komoditas mineral yang telah diusahakan di Indonesia
sejak pertengahan tahun 70 an.Dengan kandungan mineral utama kalkopirit (CuFeS2) dan
bornit (Cu5FeS4)tambang tembaga dan smelternya di Indonesia menghasilkan logam tembaga
bernilai tinggi (dalam bentuk katoda Cu) dan berbagai produk samping (by product) lain yang
juga memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan dapat diserap oleh industri hilir.
Sebelum diberlakukannya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubaraberbagai mineral ikutan yang terkandung di dalam bijih tembaga tidakdirasakan
manfaatnya baginegara, karena perusahaan tambang tembaga menjual (ekspor) produknya
dalam bentuk konsentrat sehingga penerimaan negara didasarkan pada harga jual konsentrat
tembaga. Padahal di dalam konsentrat tembaga tersebut terdapat unsur logam utama tembaga
dan emas selain berbagai macam unsur lainnya, seperti: perak,paladium, platinum, selerium,
dan tellurium.
627
Sejalan dengan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
dimana salah satu isinya adalah adanya kewajiban perusahaan tambang untuk meningkatkan
nilai tambah dan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri,
maka terbuka peluang bagi pemerintah untuk juga memperoleh tambahan pendapatan dari
penjualan berbagai jenis mineral ikutan yang terdapat dalam konsentrat tembaga. Dalam
penelitian ini dilakukan pemodelan ekonometrika untuk memprediksi kebutuhan Cu katoda di
dalam negeri untuk memastikan bahwa produksi Cu katoda yang dihasilkan oleh PT. Smelting
dan smelter-smelter baru yang sedang dibangun dapat mencukupi kebutuhan domestic Cu
katoda.Selain itu dilakukan juga analisis beberapa kebijakan pemerintah, khususnya yang
terkait dengan tembaga, yang berdampak kepada penerimaan negara bukan pajak.
2 METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan melakukan peramalan kebutuhan Cu katoda untuk industri
hilir secara nasional. Peramalan dilakukan menggunakan pemodelan ekonometrika dengan
variable bebas Harga tembaga dan GDP. Untuk mendapatkan gambaran di tahun-tahun
mendatang, masing-masing variabel bebas diperkirakan menggunakan metode peramalan
exponential smoothing berdasarkan data tahun 2000 – 2012.
Selanjutnya dilakukan analisis untuk menghitung dampak yang terjadi sebagai akibat
tidak segera diberlakukannya kebijakan pemerintah yang terkait dengan tarifroyalti. Dampak
dari kebijakan pemerintah tentang nilai tambah jugadianalisis, terutama untuk melihat pengaruh
keekonomiannya.
Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan
dari berbagai lembaga terkait, berbagai sumber rujukan, penelusuran melalui internet dan
lainnya.
3 DATA YANG DIGUNAKAN
Penelitian ini didasarkan pada data historis yang terkait dengan kebutuhan domestik Cu
katoda yang digunakan oleh industri hilir, harga Cu katoda, dan GDP Indonesia. Kebutuhan
domestik Cu katoda dihitung berdasarkan penjumlahan dari produksi Cu katoda oleh PT.
Smelting, impor, dan ekspor Cu katoda. Volume ekspor Cu katoda oleh PT. Smelting
diperkirakan sebesar 30% dari produksinya (lihatTabel 1).
Tabel 1. Produksi, Impor, Ekspor, dan Kebutuhan Cu Katoda Indonesia, 2000 – 2012
(Ton Cu katoda)
Produksi Impor Ekspor Kebutuhan
Tahun
Cu katoda (PT. Smelting)* Cu katoda** Cu katoda Cu katoda Domestik
2000 200,000 80,677 60,000 220,677
2001 210,000 91,451 63,000 238,451
2002 230,000 153,096 69,000 314,096
2003 247,000 45,880 74,100 218,780
2004 253,838 46,795 76,151 224,482
2005 261,755 111,476 78,527 294,704
2006 270,000 68,239 81,000 257,239
2007 276,000 42,836 82,800 236,036
2008 283,000 98,427 84,900 296,527
2009 287,000 121,016 86,100 321,916
2010 275,000 114,213 82,500 306,713
2011 282,000 121,463 84,600 318,863
2012 271,000 180,242 88,800 362,442
Sumber:
*) KESDM, 2013; **) Statistik Perdagangan Luar Negeri, 2013
628
Sementara itu Tabel 2 menunjukkan harga Cu katoda dan GDP Indonesia selama periode
tahun 2000 – 2012 yang digunakan untuk melakukan proyeksi kebutuhan Cu katoda di masa
mendatang.
Tabel 2. Harga Cu Katoda dan GDP Indonesia, 2000 – 2012 (USD)
Harga GDP
Tahun
Cu Katoda (USD)* Indonesia (USD)**
2000 1,815 165,021,012,261.51
2001 1,580 160,446,947,638.31
2002 1,560 195,660,611,033.85
2003 1,779 234,772,458,818.10
2004 2,863 256,836,883,304.55
2005 3,676 285,868,610,016.59
2006 6,731 364,570,525,997.05
2007 7,132 432,216,737,774.86
2008 6,963 510,244,548,959.97
2009 5,165 539,579,955,780.06
2010 7,538 709,190,823,319.75
2011 8,824 845,931,645,338.70
2012 7,865 876,719,347,689.16
Sumber:*) LME,2013. **) World Bank, 2014
4 PEMBENTUKAN MODEL
Kebutuhan domestik Cu katoda di masa mendatang diperkirakan menggunakan model
ekonometrika berdasarkan kebutuhan domestik Cu katoda, harga Cu Katoda, dan GDP selama
kurun waktu tahun 2000 – 2012.
4.1 Model Kebutuhan Cu Katoda
Model kebutuhan Cu katoda diasumsikan dipengaruhi oleh harga jual Cu katoda, GDP
dan permintaan/kebutuhan Cu katoda dalam perioda sebelumnya. Model terdiri dari dua
variabel, yaitu variabel terikat, yang merupakan kebutuhan domestik Cu katoda, dan variabel
bebas, yang direpresentasikan oleh harga jual Cu katoda dan GDP.Tabel 3 berikut ini
merangkum variabel-variabel yang digunakan dalam model ekonometrika kebutuhan Cu
katoda.
Tabel 3. Variabel-variabel Yang Digunakan Dalam Model
Variabel Jenis Keterangan
COPPERD Variabel terikat Kebutuhan Tembaga Indonesia (ribu ton Cu katoda)
PCOPPER Variabel bebas Harga Tembaga (USD/ton Cu katoda)
GDP Variabel bebas GDP Indonesia (USD)
Berdasarkan data historis yang tercantum dalam Tabel 1 dan Tabel 2, diperoleh model
kebutuhan domestik Cu katoda dalam bentuk persamaan matematis berikut:
629
R2 yang diperoleh dari model tersebut bernilai kurang dari 0,8, menunjukkan bahwa
model tidak memenuhi persyaratan kesesuaian (goodness of fit). Oleh sebab itu maka perlu
dilakukan modifikasi terhadap model agar model dapat merepresentasikan kondisi (data) nyata.
Modifikasi model dilakukan dengan melakukan transformasi variabel ke dalam bentuk
logaritma. Selain itu, untk menghindari terjadinya autokorelasi pada residual, ke dalam
persamaan model ditambahkan variabel bebas baru, yaitu kebutuhan Cu katoda pada tahun
sebelumnya selama tiga tahun terkahir (COPPERD (t-1); COPPERD (t-2); COPPERD (t-3)).
Dengan demikian maka model matematis yang diperoleh menjadi :
Model matematis di atas memberikan nilai R2 sebesar 0,93 yang menunjukkan kesesuaian
model dengan kondisi nyata.
Berdasarkan model matematis di atas terlihat bahwa harga Cu katoda berpengaruh secara
negatif terhadap kebutuhan domestik Cu katoda. Setiap kenaikan 1 USD/ton harga Cu katoda
ajan menurunkan permintaan domestik sebesar 52,27 ton Cu katoda. Sebaliknya GDP memiliki
pengaruh yang positif; setiap kenaikan 1 juta USD GDP akan meningkatkan konsumsi Cu
katoda di dalam negeri sebesar 229,9 ton.
Untuk menjamin model matematis yang dihasilkan memenuhi standar, maka dilakukan
pengujian asumsi klasik terhadap model tersebut. Pengujian asumsi klasik meliputi aspek
Normalitas, Signifikansi, Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas menggunakan berbagai test
yang sesuai.Tabel 4 berikut ini menunjukkan hasil pengujian asumsi klasik terhadap model
yang digunakan untuk peramalan.
Tabel 4. Hasil Pengujian Normalitas, Signifikansi, Autokorelasi dan eteroskedastisitas
Pengujian Pvalue Hipotesis Null Syarat Keterangan
Nomalitas
Rsidual terdistribusi Hipotesis
Jarque-Bera 0.687127 Pvalue > α
normal diterima
Signifikansi
Variabel bebas
Hipotesis
F test 0.019731 mempengaruhi Pvalue < α
variabel terikat Diterima
Autokorelasi
Hipotesis
Durbin-watson 2.51386 Tidak terjadi autokorelasi DW > 2
Diterima
Heterokedastisitas
Breusch-Pagan- Tidak terjadi Hipotesis
0.2660 Pvalue > α
Godfrey Test Heterokedastisitas Diterima
α = 5%
630
4.2 Pengukuran Akurasi Model
Peramalan memiliki dua jenis ukuran akurasi yakni di dalam sampel (in sample) dan di
luar sampel (out of sample).Ukuran akurasi ini penting mengingat bahwa kualitas prediksi
regresi sangat terikat dengan struktur dan asumsi yang digunakan. Apakah struktur dan asumsi
yang digunakan ketika melakukan estimasi melalui model tidak berubah pada periode prediksi.
Instrumen yang umum dipakai untuk mengukur akurasi proyeksi sebuah model
diantaranya:Root Mean Square Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE), Mean Absolute
Percentage Error (MAPE), dan THEIL. Hasil pengukuran akurasi model dapat dilihat pada
Tabel5 berikut.
500,000
Kebutuhan Tembaga (ton)
450,000
400,000
350,000 Aktual
Model
300,000
250,000
200,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Tahun
631
4.3 Metode Peramalan Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan dalam Model Kebutuhan Cu Katoda adalah harga Cu
katoda dan GDP. Peramalan kedua variabel bebas tersebut dilakukan menggunakan 3 alternatif
metode peramalan, yaitu: exponential smoothing, moving average orde 2, dan moving average
orde 3. Metode peramalan yang dipilih akan didasarkan pada nilai Mean Square Error (MSE)
yang terkecil. Hasil peramalan harga Cu katoda menggunakan ketiga alternatif metode
peramalan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Moving Moving
Tahun PCOPPER Ex. Smoothing |e|2 MSE |e|2 MSE |e|2 MSE
Average Average
2000 1,815 1,535 78,414
Orde 2
2001 1,580 1,803 49,849 Orde 3
2002 1,560 2,119 311,999 1,698 18,850
2003 1,779 2,489 504,212 1,570 43,737 1,652 16,267
2004 2,863 2,925 3,766 1,670 1,424,785 1,640 1,497,023
2005 3,676 3,436 57,650 2,321 1,836,239 2,068 2,588,199
2006 6,731 4,037 7,257,325 1,959,095 3,270 11,981,073 2,813,330 2,773 15,667,679 3,837,525
2007 7,132 4,744 5,702,949 5,204 3,716,051 4,424 7,332,492
2008 6,963 5,573 1,932,933 6,931 1,023 5,846 1,247,666
2009 5,165 6,548 1,911,633 7,048 3,542,872 6,942 3,157,197
2010 7,538 7,693 23,954 6,064 2,172,612 6,420 1,250,444
2011 8,824 9,039 46,256 6,352 6,109,550 6,556 5,143,229
2012 7,865 10,620 7,587,300 8,181 99,843 7,176 475,059
Dari ketiga alternatif metode peramalan di atas, maka dipilih metode exponential
smoothing untuk meramalkan harga jual Cu katoda. Metode exponential smoothing
memberikan nilai MSE yang paling kecil.
Tabel 7 berikut ini menunjukkan hasil peramalan GDP menggunakan ketiga alternatif
metode peramalan yang sama dengan metode peramalan harga Cu katoda.
Moving Moving
Tahun GDP Ex. Smoothing |e|2 MSE |e|2 MSE |e|2 MSE
Average Average
2000 165.021 146.114 357.462
Orde 2
2001 160.447 170.197 95.057 Orde 3
2002 195.661 198.248 6.696 162.734 1,084.163
2003 234.772 230.923 14.817 178.054 3,217.008 173.710 3,728.682
2004 256.837 268.983 147.539 215.217 1,732.253 196.960 3,585.240
2005 285.869 313.317 753.406 245.805 1,605.119 229.090 3,223.812
2006 364.571 364.957 150 742.961 271.353 8,689.554 1,2530.219 259.159 11,111.522 21,714.579
2007 432.217 425.109 50.522 325.220 11,448.394 302.425 16,845.806
2008 510.245 495.175 227.105 398.394 12,510.627 360.885 22,308.187
2009 539.580 576.788 1,384.464 471.231 4,671.628 435.677 10,795.767
2010 709.191 671.854 1,394.066 524.912 33,958.591 494.014 46,301.173
2011 845.932 782.587 4,012.494 624.385 49,082.743 586.338 67,388.630
2012 876.719 911.572 1,214.714 777.561 9,832.331 698.234 31,856.968
Untuk mengestimasi nilai GDP Indonesia di masa mendatang maka dipilih metode
exponential smoothing karena memberikan nilai MSE yang terkecil.
632
5 PERKIRAAN KEBUTUHAN Cu KATODA, HARGA Cu KATODA DAN GDP
Variabel bebas Harga Cu katoda dan GDP yang diasumsikan mempengaruhi kebutuhan
domestik Cu katoda diestimasi menggunakan metode exponential smoothing. Estimasi tahunan
Harga Cu Katoda dan GDP tersebut digunakan sebagai masukan dalam model ekonometrika
untuk memperkirakan kebutuhan Cu katoda di Indonesia.
Kebutuhan Cu katoda untuk keperluan di dalam negeri sampai dengan tahun 2020 dapat
dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 2 berikut ini.
500,000
Kebutuhan Tembaga (ton)
450,000
400,000
350,000
Aktual
300,000 Forecast
250,000
200,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Tahun
633
Berdasarkan grafik pada Gambar 2 di atas, terlihat bahwakebutuhan Cu katodaIndonesia
sampai dengan tahun 2020 mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh makin tingginya penggunaan tembaga untuk aplikasi listrik, energi dan
jaringan telekomunikasi serta untuk kebutuhan rumah tangga yang terus meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan penduduk Indonesia.
Secara keseluruhan PT. Smelting hanya mampu mengolah sekitar 30% - 40% produksi
total konsentrat tembaga Indonesia. Selebihnya, yaitu sekitar 70% - 60% konsentrat tembaga
Indonesia di ekspor ke berbagai negara tujuan, seperti: Jepang, India, Spanyol, Korea Selatan
dll. Terbatasnya tonase konsentrat tembaga yang dapat diolah di dalam negeri saat ini
menyebabkan sebagian kebutuhan nasional Cu katoda untuk umpan industri hilir masih harus
di impor. Selain itu, terbatasnya kemampuan smelter yang ada saat ini untuk memproduksi Cu
katoda akan menyebabkan perusahaan tambang tembaga harus mengurangi produksinya. Hal
ini akan menyebabkan penerimaan negara dari kegiatan pertambangan tembaga menurun.
634
Sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dan berbagai aturan yang terbit setelahnya terkait dengan nilai tambah komoditas, maka perlu
dibangun pabrik peleburan dan pemurnian tembaga yang baru di Indonesia agar seluruh tonase
konsentrat tembaga dapat dilebur dan dimurnikan di dalam negeri. Mengingat jumlah total
produksi konsentrat tembaga Indonesia mencapai 2.580.170 ton (tahun 2012), maka perlu
dibangun pabrik peleburan dan pemurnian yang baru dengan kapasitas produksi 2 kali PT.
Smelting.
635
Tabel 10 Estimasi produksi dan kebutuhan Cukatoda sebelum dan sesudah
beroperasinya smelter baru
Produksi Smelter Estimasi Kebutuhan Ekspor 30% Impor Sisa Produksi Smelter
Tahun Tembaga Katoda Tembaga Indonesia Produksi Tembaga Katoda Tembaga Katoda Tembaga Katoda
(ton Cu) (ton Cu Katoda) (ton Cu) (ton Cu) (ton Cu)
2013 270.000 368.079 81.000 179.079 0
2014 270.000 362.844 81.000 173.844 0
2015 270.000 420.754 81.000 231.754 0
2016 270.000 426.358 81.000 237.358 0
2017 810.000 416.031 243.000 0 150.969
2018 810.000 459.086 243.000 0 107.914
2019 810.000 480.091 243.000 0 86.909
2020 810.000 472.669 243.000 0 94.331
Dari Tabel di atas dapat dilihat kebutuhan tembaga nasional pada tahun 2013 adalah
368.079 ton. Setelah dikurangi ekspor sebesar 30%, maka produksi Cukatoda yang dipasarkan
di dalam negeri menjadi 287.079 ton, sedangkan kebutuhannya mencapai 368.079 ton.Oleh
sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan tembaga katoda bagi Indonesia sendiri perlu dilakukan
impor tembaga katoda sejumlah 179.079 ton.
Mulai tahun 2017 dengan berproduksinya smelter baru, produksi Cu katoda menjadi
810.000 ton/tahun. Dengan produksi sebesar itu, kebutuhan tembaga katoda dalam negeri dapat
dipenuhi bahkan terdapat sisa produksi tembaga katoda (sebesar 150.969 ton), yang dapat
meningkatkan jumlah ekspor Cu tembaga dari Indonesa.
7 DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP PENERIMAAN NEGARA
Kebijakan yang akan dikaji adalah terkait dengan penetapan tarif royalti berdasarkan PP
No 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas PNBP yang berlaku pada kementerian ESDM dan
hasil regenosiasi kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Freeport
Indonesia Company tahun 1991 terutama yang terkait dengan kewajiban PT. FI untuk
membangun pabrik pengolahan dan pemurnian baru.
7.1 Perubahan Tarif Royalti
Sampai saat ini tarif royalti sesuai PP No. 9 Tahun 2012 masih belum digunakan untuk
konsentrat Cu (yang juga mengandung Au dan Ag) yang dihasilkan secara nasional. Sebagai
contoh, PT. FI masih menghitung dan membayarkan royalti konsentrat Cu yang dihasilkannya
berdasarkan tarif yang terdapat dalam Kontrak Karya, yaitu mengikuti rumusan sbb.:
636
Tabel 11. Perhitungan Royalti Berdasarkan KK dan PP No. 9/2012
Tarif
Jumlah Mineral Tarif
Unsur Mineral Royalti Royalti PP
Yang Dihasilkan Unit royalti (PP Harga Unit Royalti KK
Ikutan Dalam 9/2012
per tahun No.9/2012)
KK
Tahun 2012
Produksi konsentrat 2,659,597 Ton/thn
Tembaga 676,867 ton 3% 4% 7.72 $/kg 146,964,490 195,952,653
Emas (Au) 78.591 ton 1% 3.75% 56,437.39 $/kg 44,354,761 166,330,353
Perak (Ag) 176.5 ton 1% 3.25% 1,164.02 $/kg 2,054,698 6,677,770
Total 193,373,949 368,960,776
Selisih Penerimaan Royalti Tahun 2012 175,586,827
Tahun 2013
Produksi konsentrat 2,793,921 * Ton/thn
Tembaga 711,053 ton 3% 4% 5.66 $/kg 110,337,263 147,116,350
Emas (Au) 82.560 ton 1% 3.75% 45,855.38 $/kg 37,858,369 141,968,883
Perak (Ag) 185.433 ton 1% 3.25% 571.53 $/kg 1,059,811 3,444,385
Total 149,255,442 292,529,618
Selisih Penerimaan Royalti Tahun 2013 143,274,176
Tahun 2014
Produksi konsentrat 2,775,050 * Ton/thn
Tembaga 706,250 ton 3% 4% 6.90 $/kg 135,970,457 181,293,943
Emas (Au) 82.003 ton 1% 3.75% 46,560.85 $/kg 38,181,164 143,179,365
Perak (Ag) 184.180 ton 1% 3.25% 533.51 $/kg 982,619 3,193,510
Total 175,134,240 327,666,818
Selisih Penerimaan Royalti Tahun 2014 152,532,579
*) Estimasi
Tarif royalti (%) untuk tembaga bervariasi tergantung harga jualnya. Tarif royalti untuk
tembaga akan maksimum (= 3,5%) jika harga tembaga ≥ US $ 1,1. Sedangkan tarif royalti untuk
emas dan perak masing-masing adalah 1%.
Dengan diberlakukannya tarif baru sesuai PP No. 9 tahun 2012, maka tarif royalti untuk
tembaga, emas, dan perak menjadi 4%, 3,75%, dan 3,25% dari masing-masing harga jual
komoditas. Meskipun sudah diundangkan sejak tanggal 6 Januari 2012, tarif yang baru tersebut
belum diterapkan untuk konsentrat tembaga. Tabel berikut ini menunjukkan selisih penerimaan
pemerintah dari royati tahun 2012 – 2014 seandainya tarif baru tersebut langsung diberlakukan
sejak tahun 2012.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terlambatnya pemberlakuan tarif baru untuk
konsentrat tembaga menyebabkan hilangnya potensi royalti yang cukup signifikan. Estimasi
selisih royalti untuk tahun 2012, 2013, dan 2014 berturut-turut adalah USD 2.405 Milyar, USD
1.962 Milyar, dan USD 2.08 Milyar.
7.2 Pengolahan lumpur anoda di dalam negeri.
Lumpur anoda adalah produk samping dari proses peleburan dan pemurnian konsentrat
tembaga di PT. Smelting. Analisis kimia lumpur anoda menunjukkan kandungannya yang
terdiri dari berbagai mineral termasuk Au dan Ag yang tidak terambil oleh proses peleburan
dan pemurnian sebelumnya dan berbagai mineral jarang (rare earth). Tabel 12 menunjukkan
hasil analisis beberapa lembaga terhadap kandungan lumpur anoda.
637
Tabel 12. Komposisi lumpur anoda berdasarkan analisis beberapa lembaga
Kadar (% )
Jumlah mineral yang dapat
Unsur Mineral Ikutan Puslitbang
PT Antam Tbk PT SMELTING *) dihasilkan
tekmira
Emas (Au) 1.57% 1.0% 2.1% 18 – 37,8 ton/tahun
Perak (Ag) 4.52% 3,8% 5.03% 68,4 – 90,54 ton/tahun
Bismut (Bi) 4.10% 2,7% 4.47% 48,6 – 80,46 ton/tahun
Paladium (Pd) 75 ppm 185 ppm 135 - 333 kg/tahun
Platinum (Pt) 15 ppm 13 ppm 23,4 - 27 kg/tahun
Telurite (Te) 0.12% 0,21% 0.33% 2,16 - 5,94 ton/tahun
Selenium (Se) 8.83% 6,52% 15.76% 117,36 – 283,68 ton/tahun
MC (moisture contain) 7.0% 10.1%
Timbal (Pb) 52.58% 55.0% 47.5% 855 – 990 ton/tahun
Produk samping lainnya :
Terak Tembaga mengandung 30%-40% Fe (besi) 655.000 ton/tahun
Asam Sulfat (H2SO4), mengandung 95% sulfur (S) 920.000 ton/tahun
Gipsum 31.500 ton/tahun
Sumber : Puslitbang tekmira (2011), PT Aneka Tambang (2009) dan PT. Smelting (2012)
Saat ini lumpur anoda tersebut tidak diproses di dalam negeri melainkan menjadi
komoditas ekspor. Padahal jika lumpur anoda tersebut diproses di dalam negeri, maka
pemerintah berpotensi mendapatkan kenaikan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang
berasal dari pengenaan royalti berbagai logam tersebut, kecuali logam Au dan Cu, karena
royalti untuk kedua logam tersebut sudah dikenakan dalam bentuk (berbasis) konsentrat Cu.
Berdasarkan tabel di atas dan mengacu kepada hasil analisis PT. Smelting dilakukan
estimasi penerimaan royalti yang berasal dari mineral jarang (lihat Tabel 13).
638
Tabel 13. Estimasi Royalti DariMineral Jarang Tahun 2012 – 2013 (USD)
Jumlah
Tarif
Mineral Yang Harga Nilai Royalti PP
Unsur Mineral Ikutan Unit royalti PP Unit
Dihasilkan per Mineral Penjualan 9/2012
No.9/2012
tahun
Tahun : 2012
Produksi konsentrat 2,659,597 ton/thn
Mineral Ikutan (Logam jarang)
Bismut (Bi) 130 ton 4.50% 26.90 $/kg 3,497,535 157,389
Paladium (Pd) 361 kg 2.00% 22,927.69 $/kg 8,281,777 164,364
Platinum (Pt) 72 kg 3.75% 54,320.99 $/kg 3,924,288 147,161
Selenium (Se) 759 ton 2.00% 128.97 $/kg 97,892,758 1,957,855
Telurite (Te) 16 ton 2.00% 300.00 $/kg 4,768,010 95,360
Timbal (Pb) 2,649 ton 3.00% 2.30 $/kg 6,092,457 182,774
Total Royalti Mineral Jarang Tahun 2013 2,704,903
Tahun : 2013
Produksi konsentrat 2,793,921 * ton/thn
Mineral Ikutan (Logam Jarang)
Bismut (Bi) 137 ton 4.50% 26.90 $/kg 3,674,179 165,338
Paladium (Pd) 379 kg 2.00% 22,927.69 $/kg 8,700,051 172,665
Platinum (Pt) 76 kg 3.75% 54,320.99 $/kg 4,122,486 154,593
Selenium (Se) 797 ton 2.00% 128.97 $/kg 102,836,870 2,056,737
Telurite (Te) 17 ton 2.00% 300.00 $/kg 5,008,820 100,176
Timbal (Pb) 2,783 ton 3.00% 2.30 $/kg 6,400,159 192,005
Total Royalti Mineral Jarang Tahun 2013 2,841,515
Tahun : 2014
Produksi konsentrat 2,775,050 * ton/thn
Mineral Ikutan (Logam Jarang)
Bismut (Bi) 136 ton 4.50% 26.90 $/kg 3,649,363 164,221
Paladium (Pd) 377 kg 2.00% 26,431.98 $/kg 9,962,031 197,914
Platinum (Pt) 75 kg 3.75% 26,315.88 $/kg 1,983,655 74,387
Selenium (Se) 792 ton 2.00% 128.97 $/kg 102,142,278 2,042,846
Telurite (Te) 17 ton 2.00% 300.00 $/kg 4,974,989 99,500
Timbal (Pb) 2,764 ton 3.00% 2.30 $/kg 6,356,930 190,708
Total Royalti Mineral Jarang Tahun 2014 2,769,576
*) Estimasi
Dengan menggunakan harga LME tahun 2012, dapat dilihat bahwa jika pengolahan
lumpur anoda dilakukan di dalam negeri maka selama tahun 2012 – 2014 pemerintah akan
mendapatkan tambahan pendapatan sekitar 37 – 38 Milyar rupiah (USD 1 ~ IDR 13.700)
639
8 KESIMPULAN
Berdasarkan pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
Pembangunan smelter baru sesuai dengan kapasitas yang direncanakan mampu
mengolah konsentrat tembaga yang dihasilkan secara nasional sampai dengan tahun
2020.
Produksi Cu katoda yang dihasilkan dari smelter-smelter tersebut dapat menjamin
kebutuhan domestik Cu katoda, bahkan masih berlebih, yang dapat dimanfaatkan
untuk keperluan ekspor.
Berlarutnya penerapan suatu kebijakan dapat berakibat pada hilangnya potensi
tambahan penerimaan negara dari royalti tembaga. Untuk tahun 2012, 2013, dan 2014
potensi tersebut berturut-turut bernilai USD 2.405 Milyar, USD 1.962 Milyar, dan
USD 2.08 Milyar.
Pemerintah kehilangan potensi tambahan penerimaan sebesar USD 37 Milyar – USD
38 M dalam kurun waktu tahun 2012 – 2014 yang berasal dari royalti mineral jarang
jika lumpur anoda yang selama ini di ekspor dapat diolah di dalam negeri.
640
DAFTAR PUSTAKA
641
Arda, N.,et, al(2006), Karakteristik Konsentrat PT. Freeport
Ardha, N., et, al(2000); “Mill Plant Overview of Batu Hijau Project, PT. Newmont Nusa
Tenggara”, Indonesian Mining Journal, Vol. 6, No. 1, Febr., hlm
PT. Smelting; (2011) Brosur, Katalisator Pembangunan Ekonomi, Pabrik Peleburan dan
Pemurnian Tembaga Gresik.
PT. Freeport Indonesia, (2012), Rencana kerja dan Anggaran Biaya, Mimika Papua.
PT. Newmont Nusa Tenggara, (2012), Rencana kerja dan Anggaran Biaya, Batu Hijau, NTB
USGS, (2014), Mineral Commodity Summaries, Departement of The Interior.
642
STUDENT PAPER CONTEST TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
1
Mahasiswa Teknik Pertambangan, Universitas Negeri Padang, Jl.Prof Dr. Hamka Kampus
UNP Air Tawar Padang Indonesia 25171
2
JurusanTeknik Pertambangan, Universitas Negeri Padang, Jl.Prof Dr. Hamka Kampus UNP
Air Tawar Padang Indonesia 25171
ABSTRAK
Sebahagian kecil dari rangkaian kegiatan pertambangan merupakan unit lingkungan dan
ekonomi. Hasil kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah air asam tambang (AAT). AAT
termasuk kedalam limbah cair industri bersifat asam dan mengandung berbagai logam berat
yang tidak sesuai dengan baku mutu air limbah (KepMen LH No.13 tahun 2003). Diperlukan
metode pengolahan AAT yang efektif sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan. Penelitian
ini membandingkan dua metode pengelolaan AAT, yaitu dengan menggunakan CaO dan
Biostimulan. Hasil penelitian menginformasikan bahwa metode Biostimulan lebih efektif dari
pada penggunaan CaO. Penilaian tersebut dilihat dari tingkat keefektian terhadap peningkatan
pH (sesuai dengan baku mutu).
Dari segi ekonomi, indikator yang dilihat adalah harga bahan yang digunakan dan kemudahan
dalam pengelolaannya.
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan
oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Dengan pertumbuhan
penduduk yang sangat pesat di Indonesia saat ini, mengakibatkan ketersediaan air bersih
semakin berkurang. Selain itu banyak masyarakat yang hidup di sekitar sungai dan
memanfaatkan air sungai sebagai kebutuhan hidupnya. Jika terjadi penurunan kualitas air
sungai (tercemar) akibat dari aktivitas manusia itu sendiri, maka air tersebut akan menjadi
barang yang sangat langka dan mahal karena tidak dapat digunakan lagi untuk kelangsungan
hidup makhluk hidup (khususnya manusia).
Kegiatan penambangan batubara dengan sistem tambang terbuka menghasilkan AAT. AAT
merupakan hasil dari oksidasi batuan yang mengandung pyrite (FeS2) dan mineral sulfida dari
sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling.et.al, 2008). AAT
mengandung logam berat seperti besi (Fe), alumunium (Al), mangan (Mn) dan juga memiliki
keasaman di bawah baku mutu.
AAT terbentuk akibat oksidasi mineral sulfida, terutama pirit (FeS2) yang tersingkap ke
permukaan pada saat operasi pertambangan dan mengalami kontak dengan air dan oksigen
(Baiqunni, 2007).
Penanganan AAT yang selama ini berkembang pesat adalah metode active treatment
dengan cara menaburkan secara langsung bahan yang bersifat basa Calcium Oxide (CaO)
dengan dosis tertentu. Hal tersebut dilakukan karena selain mudah didapat, kapur juga tergolong
sangat praktis dalam penggunaannya. Namun, dalam penggunaannya, CaO dapat
mengakibatkan endapan pada settling pond dan dalam aplikasi di lapangan belum dapat
menurunkan kadar Fe secara maksimal. Sedangkan berdasarkan uji coba teknik bakteri
pereduksi sulfat (Biostimulasi) menunjukkan peningkatan pH dari 2 menjadi 7 dalam waktu 14
hari dan menurunkan Fe dengan efisiensi >80% dalam waktu 10 hari (Widyati, 2007).
Bioremediasi merupakan suatu teknologi inovatif pengolahan air asam tambang, yang dapat
menjadi teknologi alternatif dalam menangani pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan
pertambangan di Indonesia.
Bioremediasi adalah proses pembersihan air asam akibat aktifitas penambangan dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau
mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang berbahaya (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi yang melibatkan mikroba terbagi menjadi tiga macam yaitu biostimulasi,
bioaugmentasi, dan bioremediasi intrinsik. Biostimulasi adalah sebagai penambahan nutrient
untuk menstimulasikan pertumbuhan mikroba indigenous dan mikroorganisme seperti bakteri
pendegradasi bahan pencemar. Biostimulasi dilakukan untuk proses biodegradasi, biostimulasi
menyediakan kebutuhan mikroba sehingga mikroba dapat hidup dan melakukan proses
biodegradasi. Teknologi biostimulasi adalah penggunaan nutrisi untuk memicu mikroba
melakukan biodegradasi yang terjadi secara alami dengan biostimulan.
Nutrisi yang berikan di dalam biostimulan merupakan pemicu pertumbuhan mikroba yang
umum, bahkan keberadaan sejumlah kecil bahan pencemar, dapat difungsikan sebagai pemicu
untuk mengaktifkan enzim pada mikroba. Biostimulan yang di produksi diproduksi di pabrik
telah melakukan seleksi mikroorganisme, sehingga mikroorganisme yang dihasilkan
merupakan bakteri unggul serta dapat beradaptasi terhadap semua kondisi lingkungan, dan
dapat menetralisir bahan pencemar.
Teknologi Biostimulasi penerapannya sama seperti metode pasif aerobic wetland. Biostimulan
yang digunakan yaitu:
1. Biostimulan A mengandung asam-asam organik, unsur makro, unsur mikro dan
mikroorganisme yang menghasilkan enzim-enzim yang berfungsi mendegradasi polutan,
dengan mengubah struktur kimia menjadi kompleks yang akhirnya menjadi metabolit yang
tidak berbahaya, serta berfungsi untuk menetralkan AAT yang memiliki pH dan kandungan
logam yang tidak sesuai dengan baku mutu air (Kepmen LH No 113 Tahun 2003), dengan
memanfaatkan bakteri Thiobacillus ferrooxidans. asam asam organik sebagai sumber
makanan dari bakteri pedegradasi sulfat tersebut.
2. Biostimulan B bahan organik sebagai sumber makanan untuk mikroorganisme.
3. Biostimulan C merupakan Bakteri utama pelarut posfat, bakteri pendegradasi dan bakteri
pengurai. dimana bakteri tersebut akan berkembang bila terkontaminasi dengan air dan
mendapatkan nutrisi dari water treatment tersebut .
Biostimulan tersebut mempunyai fungsi diantaranya:
a. Menetralisir pH
b. Menetralisir logam-logam berat seperti Fe, Mn, dll.
c. Asam organik yang terkandung dalam 4 produk mampu merombak senyawa kompleks kekal
dalam tanah menjadi unsur siap serap.
d. Mampu menyerap senyawa atau logam-logam yang bersifat toksin
e. Tidak menimbulkan efek samping terhadap lingkungan sekitar
f. Pemberian teratur mampu memperbaiki dan menjaga kelestarian lingkungan hidup
(memperbaiki struktur tanah baik secara fisik maupun kimia.
g. Ramah lingkungan.
Untuk membandingkan metode CaO dengan Biostimulan, parameter yang digunakan
adalah keefektifan terhadap indikator baku mutu air limbah berdasarkan KepMen LH No. 113
tahun 2003 dan tingkat keekonomisan.
Dapat kita lihat bahwa perubahan pH pada kapur tohor (CaO) tidak stabil. Tingkat
keasaman (pH) cepat meningkat yaitu sehari setelah pemberian treatment, tetapi pada hari
berikutnya kembali mengalami penurunan. Rata-rata penurunan tingkat keasaman dengen
pemberian kapur tohor adalah 0,12375/hari.
Berdasarkan data statistik tersebut dikuatirkan pada hari ke-17 pH akan kecil dari 6 (di
bawah baku mutu air limbah menurut KepMen LH No. 113 tahun 2003). Hal tersebut
dikarenakan oleh reaksi antara CaO dan H2SO4 akan menghasilkan endapan CaSO4. Sehingga
pengendapan akan mengembalikan tingkat keasaman seperti semula dalam jangka waktu
tertentu. Sesuai dengan aturan pelarutan yang terdapat dalam tabel :
Tabel III.2 Aturan Daya Larut untuk Larutan Encer (Anonim, 2014)
Berikut adalah reaksi yang terjadi pada penambahan kapur tohor ke dalam air asam tambang :
CaO(s) + H2SO4(l) → H2O(l) + CaSO4(s)
Sedangkan pada biostimulan, peningkatan pH dapat dilihat secara perlahan namun selalu
mengalami kenaikan hingga hari ke-10. Rata-rata kenaikan pH dengan treatment Biostimulan
adalah 0,2/hari.
2. Analisis TSS
Hasil Uji Lapangan mengenai kadar tss (pH) (Wijaya, 2015) dapat di lihat pada tabel III.3
Tabel III.3 Hasil Uji Lapangan Kadar TSS
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa biostimulan lebih efektif untuk mengurangi kadar tss
pada AAT dibanding kapur tohor. Namun kandungan TSS pada kapur tohor masih dalam batas
wajar.
3. Analisis Fe
Hasil uji lapangan mengenai kadar Fe (Wijaya, 2015) dapat dilihat pada tabel III.4.
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa biostimulan sangat efektif untuk mengurangi kadar Fe
pada AAT dibanding kapur tohor. Namun kandungan Fe pada kapur tohor masih dalam batas
wajar.
4. Analisis Mn
Hasil uji lapangan mengenai kadar Mn (Wijaya, 2015) dapat di lihat pada tabel III.5.
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa CaO lebih efektif untuk mengurangi kadar Mn pada AAT
dibanding biostimulan. Namun, kadar Mn pada biostimulan masih dalam batas wajar.
Tabel III.6 Hasil Uji Lapangan Keseluruhan parameter
2. Perhitungan Pemakaian
Penggunaan kapur tohor (CaO) untuk 1 m3 sebesar 250 gram.
Pengeluaran per 10 hari = Rp 2,5 x 250
= Rp 625,-
Pengeluaran perbulan = Rp 1.875,-
Pengeluaran pertahun = Rp 22.500,-
Sebagai contoh, berdasarkan hasil perancangan sump di Pit South Pinang PT Kaltim Prima Coal
Sangatta Kalimantan Timur (Hermawan, 2014), sump yang dibutuhkan untuk mengakomodir
limpasan sebesar 20801,725 m3. Jadi perusahaan akan mengeluarkan biaya sebesar Rp 22.500,-
x 20801,725 yaitu Rp 468.038.812,5,-/tahun.
3. Harga Biostimulan
Berdasarkan data yang diperoleh dari perusahaan, harga biostimulan; biostimulan A (SAN
Tanaman) Rp 35.000/500 gram atau Rp 10.500,-/150gram; biostimulan B (SAN PT)
Rp 45.000/4 Kg atau Rp 168,75,-/15 gram; biostimulan C (SAN RBT) Rp 300.000,-/1Kg atau
Rp 4.500,-/15 gram.
4. Perhitungan Pemakaian
Penggunaan biostimulan untuk 1 m3 adalah biostimulan A 150 gram; biostimulan B 15
gram; biostimulan C 15 gram. Biostimulan diharapkan lebih murah karena pemberian bakteri
utama tidak kontinyu ataupun rentang pemberian tidak sesering kapur tohor. Bakteri akan cepat
berkembang biak jika cukup nutrisi. Jadi pemberian yang dibutuhkan secara kontinyu hanya
asam–asam organik, unsur makro, unsur mikro dan mikroorganisme yang menghasilkan enzim
saja (SAN tanaman dan SAN PT). Untuk penentuan dosis kontinyu yang optimal perlu
dilakukan penelitian lanjutan mengenai pemberian nutrisi bakteri agar dapat lebih ekonomis
dibandingkan dengan pengguaan kapur tohor. Mengingat semakin meningkatnya pH dari hari
ke hari dikuatirkan akan menyebabkan adanya kelebihan nutrisi bakteri dapat mengganggu
kestabilan pH. Oleh karena itu uraian pengeluaran tidak dapat diberikan untuk jangka waktu
panjang.
Pengeluaran pertama (bakteri utama) = Rp 4.500,-
Pengeluaran lanjutan 10 hari = Rp 10.500,- + Rp 168,75,- = Rp 10.668,75,-
V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa metode biostimulan lebih efektif dari
metode kapur tohor karena tingkat keasaman dengan metode kapur tohor tidak stabil ataupun
cenderung turun. Itu dikarenakan bahwa pencampuran kapur dan asam merupakan campuran
heterogen yang dapat mengalami pengendapan.
Hal tersebut akan mengakibatkan air hasil pengolahan yang dialirkan ke sungai akan
mengalami penurunan pH lagi dan merusak lingkungan. Parameter pH yang menjadi salah satu
pilar utama Kepmen LH No 113 Tahun 2003 tidak boleh dilanggar.
VI. SARAN
Semakin meningkatnya pH dari hari ke hari dikuatirkan akan menyebabkan adanya
kelebihan nutrisi bakteri sehingga dapat mengganggu kestabilan pH. Perlu adanya penelitian
lanjutan mengenai penentuan dosis continue yang optimal pemberian nutrisi bakteri agar dapat
lebih ekonomis dibandingkan dengan penggunaan kapur tohor dan tidak begitu memberatkan
perusahaan.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003.Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003, tentang
Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan.
Elberling, Et, Al. 2008. Acid mine drainage control and treatment.2nd Edition.National
Research Center for Coal and Energy, West Virginia University, Morgantown, WV.
356.
Wijaya, Made.(2015). Analisis Netralisasi Air Asam Tambang Menggunakan CaO dan
Biostimulan pada PT Aman Toebillah Putra Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera
Selatan. Tesis Magister Teknik Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta : diterbitkan.
STUDENT PAPER CONTEST TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Abstrak
Lokasi penelitian dilaksanakan pada daerah tambang batupasir yang terletak pada bidang lemah.
Bidang lemah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kestabilan lereng suatu
proses penambangan. Tidak adanya informasi mengenai stabilitas lereng menimbulkan kondisi
ketidakpastian selama aktifitas penambangan berlangsung, terutama pada tambang batupasir,
karena sebagian besar tambang batupasir, terutama di Loa Janan Kutai Kartanegara Kalimantan
Timur, merupakan tambang rakyat “tambang batupasir” yang masih tergolong sedikit dan hanya
ditekuni oleh orang-orang yang kurang pengetahuannya terhadap keadaan lereng yang mereka
tambang, dan bisa mengakibatkan terjadinya longsoran seperti pada lokasi penelitian (Loa Janan,
Kutai Kartanegara, Kalimantam Timur), tidak hanya itu lokasi tambang batupasir juga tidak jauh
dari pemukiman padat penduduk tentunya dapat membahayakan nyawa pekerja dan penduduk di
sekitar. penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kestabilan lereng dari longsoran. Penelitian
diawali dengan melakukan klasifikasi massa batuan berdasarkan pembobotan massa batuan dengan
metode RMR, dan dikoreksi berdasarkan pembobotan orientasi kekar dan jenis penggalian dengan
metode SMR. Dari hasil pengukuran dinding Selatan dan utara didapatkan nilai RMR sebesar 73
(batuan baik) dan nilai SMR sebesar 88 (deskripsi massa batuan sangat baik) lereng sangat stabil.
This research location has conducted on sandstone quarry which lies on the weak plane, Weak plane
is one of the most factor that affected stability of mining slope a mining proccess. The absence of
information about slope stability create uncertainly condition during mining actifity take place,
especially in the sandstone mines, especially at Loajanan Kuatai Kartanegara East Borneo, an
artisanal mining "sandstone quarry" is still relatively small and only elaborated by people who lack
knowledge of the state of the slope which they are mining, and could result in an avalanche as the
study location (Loa Janan, Kutai Kartanegara, East Kalimantam), not only the sandstone mine site
is also not far from the densely populated area could certainly endanger the lives of workers and
nearby residents. This study was conducted to analyze the stability of the slopes of avalanches.
Research was initiated by rock mass classification based on weighting method RMR rock mass, and
corrected based on the weighted orientation and type of excavation stocky with SMR method. From
the measurement results obtained south and north walls RMR value of 73 (good rock) and SMR
value by 88 (the description of the rock mass is very good) and very stable slopes.
Gambar 2 : (A) Lokasi Penambangan Batu Pasir dan (B) Longsoran pada tambang batu pasir
disekitar lokasi.
Keterangan : (1)
.........................
Priset dan Hudson (1976) juga mengusulkan hal serupa dalam menentukan RQD yang dapat
dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan persamaan.
Keterangan :
a = Jumlah total kekar
Tabel 4. Pembobotan F1, F2, dan F3 SMR, Romana (1985) dalam singh dan Goel (1995)
Tabel 6. Deskripsi klas SMR, Roman (1985) dalam singh dan Goel (1995)
Menurut Vutukuri dan katsuyama(1991), kekasaran suatu bidang diskontinu merupakan ukuran
ketidakrataan dan ketidakakuratan dari bidang diskontinu relatif terhadap bidang rata-rata.
Roughness sangat mempengaruhi kekuatan batuan khususnya pada batuan yang saling
interlocking. Dalam menentukan bobot kondisi rekahan secara langsung di lapangan
Bieniawski (1993) dalamTardaguila dkk (2014) membuat sistem klasifikasi untuk kondisi
diskontinuitas. (lihat tabel 7)
2.4 Kondisi Kekar
Tabel 7. Klasifikasi Kondisi diskontinuitas, Bieniawski (1993) dalam Tardaguila dkk (2014)
D
Gambar 4:Sampel batuan
silinder
Hoek dan Brown (1989) dalam hoek dkk (1993) menyarankan bahwa uji kuat tekan uniaksial
batuan di laboratorium harus berdiameter 50 mm dengan tinggi 100 mm. Untuk mendapatkan
nilai yang ekivalen dari sampel batuan yang telah berbentuk silinder dapat menggunkan
persamaan berikut:
𝜎𝐶
𝜎𝐶50 = 50 0,18
( ⁄𝑑 )
Keterangan :
𝜎𝐶 = kuat tekan uniaksial
d = Diameter perconto (mm)
Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan mencari literatur yang berhubungan dengan
metode RMR dan SMR. Tahap selnjutanya melakukan pengumpulan data di lapangan berupa
pengukuran orientasi kekar, spasi kekar, kondisi kekar, dan air tanah secara langsung di lokasi
penelitian. Serta uji sampel batuan di labortorium dilakukan pada serangkaian sampel batuan
yang telah di ambil dari lokasi penelitian.
Hasil dari pengukuran di lapangn dan uji di laboratorium pada tahap selnjutnya akan di olah
untuk menentukan banyaknya bidang diskontinu, kuat tekan uniaksial, rock quality designation,
spasi kekar, kondisi kekar, air tanah yang merupakan parameter dalam menghitung RMRsan
SMR.
Gambar 6:Alir Penelitian
A B C D E
Gambar 9 : (A) Proses coring blok batuan, (B) Hasil coring, (C) Uji sifat fisik, (D) Proses
Pemotongan percontoh dan preparasi, (E) Uji kuat tekan uniaxial batuan.
Jumlah hasil pengukuran bidang diskontinu di lapangan sebanyak 60 data. Dari hasil analisis
dengan menggunakan stereonet yakni dalam hal ini peneliti menggunakan perangkat lunak Dips
5.103, terlihat lokasi penelitian terdapat 5 joint set (set kekar). Berdasarkan penyebarannya,
joint set terbentuk cenderung ke arah selatan – timur dengan arah kemiringan (dip direction)
joint set N 107oE hingga N 155oE. (lihat tabel 8
Tabel 8. Joint set lokasi penelitian
1 5,19 5.51
2 6,49 6.90
3 7.79 8.28
4 9,09 9.66
5 9,09 9.66
Rata – Rata 8.0
4.3 Spasi Kekar dan Rock Quality Designation (RQD)
Dalam menghitung spasi kekar dengan menggunakan persamaan 5 yang dilakukan oleh Priest
(1985) dalam Kramadibrata (1996). Spasi kekar rata – rata daerah penelitian bervariasi antara
0.26 m hingga 2.17 m (sedang – sangat lebar). Spasi kekar berdasarkan pembobotan RMR,
dinding timur dan dinding selatan memiliki bobot masing masing 15. RQD dinding timur dan
dinding selatan masing – masing memiliki 99.63 % dan 99.45 %. Berdasarkan pembobotan
RMR, dinding timur dan dinding selatan masing – masing berbobot 20. Dari kedua dinding
tersebut nilai kualitas massa batuan cenderung sama dan diklasifikasikan baik (good).
Tabel 10. Spasi Kekar Dinding Timur dan Dinding Selatan
1 0,31
2 0.71
Dinding Timur 0,75
3 0,28
4 2,17
1 0,4
2 0,07
Dinding Selatan 3 0,66 0,67
4 1,18
5 1,05
Berdasarkan tabel 5, bobot kuat tekan uniaksial (𝞂c), Rock Quality Designation (RQD), dan air
tanah cenderung sama pada dinding selatan dan dinding timur. Khusus pada air tanah (Gw),
lokasi penambangan batupasir masih berada di permukaan, sehingga berdasarkan pengamatan,
air tanah tidak ada yang mengalir. Perbedaan bobot nilai terletak pada spasi kekar (Js) dan
kondisi kekar (Jc) untuk masing – masing dinding. Nilai total pembobotan pada dinding selatan
dan dinding timur 73 yang berarti batuan baik.
Tabel 12. RMR Lokasi Penelitian
Dinding Timur 2 20 15 21 15 73
Dinding Selatan 2 20 15 21 15 73
Jenis Longsoran
Dinding
Plane (P) Wedge (W) Toppling (T)
Dinding Selatan - - JS 1 dan JS 2
Dinding Timur - - JS 3, JS 4 dan JS 5
V. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terdiri dari 5 set kekar yang
berpotensi membentuk longsoran guling (topling) pada dinding selatan terhadap JS 1 dan JS 2,
sedangkan pada dinding timur terhadap JS 3, JS 4 dan JS 5, dengan nilai SMR sebesar 88,
Stabilitas dinding timur dan dinding selatan cukup stabil dan termasuk kedalam deskripsi
batuan baik.
Tabel 14. SMR lokasi penelitian
Jenis Deskrips
Dindin Longsora RM F1xF2xF F SM i Stabilita Kelongsora
g n R 3 4 R Massa s n
Batuan
Dindin Topling 73 1x1x0 15 88 Sangat Sangat -
g (Guling) Baik Stabil
Selatan
Dindin Topling 73 1x1x0 15 88 Sangat Sangat -
g (Guling) Baik Stabil
Timur
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Bapak Tommy Trides ST, MT,.
Selaku KPS S1 Teknik Prtmbangan dan dosen pengampuh mata kuliah Mekanika Batuan dan
Pimpinan serta teknisi Lab. Tekmira, Lab. Geologi dan Survey Fakultas Teknik, Lab. Rekayasa
Sipil Universitas Mulawarman atas fasilitas yang diberikan. Dan juga kepada Dewi Qory
Auliya dan Suhbajir yang telah membantu melakukan pengukuran dan pengujian selama
penelitan berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bieniawski, Z.T., 1989, Enginering Rock Mass Classification, The Pennsylvania State
University, America.
2. Brown, E.T., 1981, Rock Characterization Testing & Monitoring, International Society
for Rock Mechanics (ISRM), England.
3. Ulusay, R., Hudson . J.A, 2007, Rock Characterization Testing & Monitoring,
International Society for Rock Mechanics (ISRM), Ankara, Turkey.
4. Hoek. E., & Bray. J.W., 1981, Rock Slope Engineering, 3rd Ed., The Institution of
Mining
And Metallurgy, London.
5. Wyllie, D.C., Mah, C.W., 2004, Rock Slope Engineering, 4th Ed., Spon Press, London.
6. Jumikis, A.R., 1983, Rock Mechanics, 2nd Ed., The State University of New Jersey,
USA.
7. Rai, M.A., 1999, Analisis Kemantapan Lereng, Pendidikan dan Perencanaan Tambang
Batubara dengan tambang Terbuka Secara Terintegrasi, Pusat Antar Universitas
Ilmu Rekayasa, ITB, Jurusan Teknik Pertambangan, Bandung.
8. Singh, B., Goel, R.K., 1999, Rock Mass Classification, A Practical Approach in Civil
Engineering,University of Roorkee, India
9. Sulistianto, B., 2006, Analisis kemantapan lereng, Kursus Singkat Geoteknik Terapan
Untuk Tambang Terbuka, Program Studi Teknik Pertambangan, ITB, Bandung.
10. Vutukuri, V.s., Katsuyama, K., 1994, Introduction to Rock Mechanics, Industrial
Publishing & Consulting, Inc., Tokyo.
11. Zakaria, Z., muslim, D., Sophian, l., 2012, Koreksi SMR pada Desain Lereng Tambang
Terbuka Batubara pada Formasi Balikpapan & Formasi Kampungbaru,
Sangasanga, Kalimantan Timur, Buletin Sumberdaya Geologi, Universitas
Padjajaran, Bandung, vol: 7, nomor : 3
12. Kramadibrata, S., 1996, 1996, Thesis : The Influence of Rock Mass and Intact Rock
Propertes On The Design Mines With Particular reference to The Excavatability
of Rock, Curtin University of Technology, Australia.
13. Swana. G.W., Z., Muslim, D., Sophian, I., 2012, Desain Lereng Final dengan Metode
RMR, SMR dan Analisis Kestabilan Lerng Pada Tambang Batubara Terbuka,
di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan, bulletin Sumber Daya
Geologi, Universitas Padjajaran, Bandung, vol : 7, nomor 2
14. Dipatunggoro, G., Zakaria, Z., 2012, Kajian Geoteknik Terhadap Formasi Tanjung di
Pit
Sayuna, Satui, Kalimantan Selatan, Dengan Menggunakan Metode Slope Mass
Rating, Buletin of Scientific Contribution, Universitas Padjajaran, Bandung. Pp
; 77 – 78
15. Romana, M., Seron, J.B., Montalar, E., 2003, SMR Geomechanics and Validation,
Technology Roadmap for Rock Mechanics, South African Institute of Mining
and Metallurgy.
16. Kafle, K.R., 2010, Slope Mass Rating in Middle Mountain of Nepal: A Case Study on
Landslide at Rabi VDC OPI Village, Kavre, Kathmandu University Journal of
Science, Nepal, pp: 28-38
17. Umaro, R.K., R., Ahmad, M., Singh, T.N., 2011, Stability Analusis of Cut Slopes Using
Continuous Slope Mass Rating and kinematic Analysis in Rudraprayag District,
Uttarakhand, Geomaterials, India, PP: 79-87
18. Celeda, B., Tardaguila, I., Varona, P., Rodriguez, A., Bieniawski, Z.T., 2014,
Innovating
Tunnel Design by an Improved Experience-Based RMR System, Procceding of
Word Tunnel Congress, 5 Mei 2014, Brazil.
19. Hoek, E., Kaiser, P.K., Bawden, W.F., 1993, Support of Underground Excavation in
Hard Rock, mining research Directorate and Universities Research Incentive
Fund, Canada.
Gambar 11 : Dinding Selatan dan Dinding Timur
Tabel 15. Hasil pengukuran dan pembobotan kondisi kekar masing-masing dinding
Jenis Deskrips
Dindin Longsora RM F1xF2xF F SM i Stabilita Kelongsora
g n R 3 4 R Massa s n
Batuan
Dindin Topling 73 1x1x0 15 88 Sangat Sangat -
g (Guling) Baik Stabil
Selatan
Dindin Topling 73 1x1x0 15 88 Sangat Sangat -
g (Guling) Baik Stabil
Timur
Tabel 16. Hasil perhitungan bobot pengatur untuk kekar (F1, F2 dan F3)
𝑎𝑗 𝑎𝑠 P 𝑇 W P F2 T P T F3 F1xF2xF3
(𝑎𝑗 − 𝑎𝑠) (𝑎𝑖 − 𝑎𝑠) F1 𝛽𝑗 W = (𝛽𝑗 − 𝛽𝑠) W (BJ+BS)
(̊) (̊) (̊) (̊ (̊) (̊ 𝛽𝑖 F (̊) (𝛽𝑖 − 𝛽𝑠) T
) ) (̊ 2 (̊)
)
93 193 -100 86 -107 1 - - 0,15 1 -293 -300 93 0 0
10 10
0 7
= 88
STUDENT PAPER CONTEST TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015
Mori Ferdiansyah
NPM : 11.2012.1.00359
ABSTRAK
Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan.
Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara
fisik perubahan morfologi dan topografi lahan. Pencampuran antara air asam tambang dengan
fly ash dapat meningkatkan pH air asam tambang tersebut, Air asam tambang yang semula
memiliki pH 4,25 meningkat menjadi rata-rata memiliki pH 6,0Fe dari 0,81 mg/l menjadi 0,44
mg/l dan laju penurunan untuk logam Mn dari 10,2 mg/l menjadi 5,2 mg/l. Fly ash memiliki
efektifitas penurunan logam Fe sebesar 45,65% dan penurunan logam Mn sebesar 49,01 %.
Penurunan logam Fe penggunaan kapur tohor sebesar 51,85 % dan penurunan logam Mn
sebesar 62,54 %.
Pemanfaatan fly ash menjadi campuran top soil pada saat rekontruksi tanah sehingga
meningkatkan kesuburan tanah serta meningkatkan volume top soil sehingga perbedaan kontur
tanah dapat berkurang. Komposisi 75% tanah lembang dicampur dengan 25% abu batubara dan
50% tanah lembang dicampur dengan 50% abu batubara menyebabkan terjadi percepatan
pertumbuhan sehingga abu batubara dapat dimanfaatkan sebagai media tanam. Fly ash dan
bottom ash sangat berpeluang menjadi lapisan NAF pada metode encapsulation untuk
mencegah terjadinya air asam tambang.
Pencampuran abu batubara dengan top soil terbukti tidak menimbulkan pengaruh
negatif pada lingkungan. Serta karena biaya untuk pembangunan dan pengelolaan disposal area
untuk fly ash dan bottom ash sangat mahal sehingga dapat mengurangi biaya pengelolaan fly
ash dan bottom ash serta dapat membantu dalam melaksanakan reklamasi lahan asam bekas
tambang sesuai rencana tata ruang wilayahnya serta membantu dalam rekontruksi tanah,
revegetasi dan penataan lahan asam bekas tambang.
Kata Kunci : Fly Ash, Bottom Ash, Top soil, Rekontruksi Tanah, Revegetasi, Penataan Lahan
Asam Bekas Tambang
1. LATAR BELAKANG
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, yang terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap dan selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan
kimia yang berlangsung selama jutaan tahun,sehingga batubara termasuk dalam kategori bahan
bakar fosil. Pada saat ini kalangan industri di Indonesia mulai beralih menggunakan bahan
bakar batubara.Hal ini dilakukan untuk menyiasati mahalnya harga bahan bakar minyak
(BBM), karena penggunaan bahan bakar batubara lebih murah dan bisa lebih hemat sampai 80
persen dibandingkan solar. Permasalahan yang ditimbulkan dari pemakaian batubara sebagai
sumber energi adalah abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara tersebut yaitu fly ash dan
bottom ash. Fly ash merupakan padatan dari sisa pembakaran batubara yang terbawa bersama
gas buang dan ditangkap oleh alat pengendali udara sedangkan bottom ash merupakan padatan
dari sisa pembakaran bautubara yang keluar dari dasar tungku boiler. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 85 tahun 1999 Jo Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, abu batubara diklasifikasikan sebagai limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) karena memiliki kandungan logam berat, sehingga penggunaannya
harus sesuai dengan ketentuan tersebut.
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan
yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya
guna sesuai peruntukannya. Bentuk permukaan wilayah bekas tambang pada umumnya tidak
teratur dan sebagian besar dapat berupa morfologi terjal. Pada saat reklamasi, lereng yang
terlalu terjal dibentuk menjadi teras-teras yang disesuaikan dengan kelerengan yang ada,
terutama untuk menjaga keamanan lereng tersebut.
Fly ash batubara banyak mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tanaman seperti
unsur hara makro Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na), Kalium (K), Nitrogen (N),
dan Fosfor (P) dan unsur hara mikro Besi (Fe), Seng(Zn), Mangan (Mn), dan Tembaga(Cu)
sehingga penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa kandungan yang ada pada fly ash
batubara bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman, dan bila dibandingkan dengan bottom ash, fly
ash mempunyai sifat polazoik (memperkeras lahan) yang rendah sehingga cocok dijadikan
sebagai media tanam pada reklamasi lahan bekas tambang.
Penelitian ini bermaksud untuk meneliti kemungkinan dari abu batubara untuk
pengganti tanah uruk sebagai menutup lahan pasca tambang. Jika terbukti tidak menimbulkan
pengaruh negatif pada lingkungan maka abu batubara tersebut dapat dijadikan sebagai
substitusi (pengganti) tanah uruk karena biaya untuk pembangunan dan pengelolaan disposal
area untuk fly ash dan bottom ash sangat mahal, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui hasil analisa penggunaan abu batubara sebagai penutup lahan pasca tambang
sehingga memudahkan reklamasi lahan pasca tambang tersebut sesuai rencana tata ruang
wilayahnya.
2. METODE PENELITIAN
Pengujian dilakukan secara tiga tahap. Tahap pertama dilakukan pengkajian literatur
terhadap terhadap lobang asam bekas tambang, pengaruh fly ash dan bottom ash terhadap
kualitas air asam tambang,bemanfaatan fly ash dan bottom ash sebagai median tanam. Tujuan
tahap pertama ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perubahan pH, Fe dan Mn pada air
asam setelah pencampuran fly ash dan bottom ash, dan Berapa banyak penggunaan fly ash dan
bottom ash untuk penanganan limbah air asam sesuai dengan baku mutu lingkungan serta
sebagai media tanam.
Tahap kedua yaitu mengkaji literatur terhadap potensi air asam dari lahan bekas
tambang. Kajian lahan bekas tambang ini akan mengetahui seberapa besar potensi keasaman
dari lahan bekas tambang sehingga bisa dibandingkan berapa banyak fly ash dan bottom ash
yang dibutuhkan sehingga bisa diketahui ketebalan fly ash dan bottom ash untuk mereklamasi
suatu lahan asam bekas tambang.
Tahap ketiga yaitu merencanakan rekontruksi tanah pada lahan asam bekas tambang.
Rekontruksi tanah ini bertujuan untuk mengembalikan tanah. Untuk mencapai tujuan
rekontruksi perlu dilakukan upaya seperti restorasi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada
kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan
kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada
tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian
ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya sehingga dapat diperuntukan juga bagi
penempatan tanaman revegetasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pencampuran antara sample air asam tambang
dengan fly ash dapat meningkatkan pH air asam tambang tersebut, Air asam tambang yang
semula memiliki pH 4,25 meningkat menjadi rata-rata memiliki pH 6,0. Hal ini terjadi ketika
pencampuran dilakukan selama 80 menit. Hasil yang paling optimum didapat ketika air asam
tambang dicampurkan dengan 55gr/l fly ash, dimana kandungan logam Fe turun dari 0,63 mg/l
menjadi sebesar 0,28 mg/l. Demikian juga kandungan logam Mn. Kandungan logam Mn yang
semula sebesar 11,5 mg/l menjadi sebesar 4,5 mg/l (table 1.).
Untuk mengetahui kadar konsentrat fly ash yang telah dilakukan pencampuran,
digunakan rumus pengenceran:
𝑀1 . 𝑉1 = 𝑀2 . 𝑉2
Dimana :
V1 = volume awal
M1 = gram awal
V2 = volume akhir
M2 = gram akhir
Pada penelitian ini, volume awal yang digunakan adalah sebanyak 1000 ml dan volume
akhir setelah pengenceran adalah sebanyak 2000 ml. Berat fly ash yang digunakan sebelum
pengenceran adalah sebesar 55 gr, sehingga berat atau kadar fly ash setelah dilakukan
pengenceran adalah sebagai berikut :
1000 ml . 55 gr = 2000 ml . 𝑀2
55.000 𝑔𝑟/𝑚𝑙
𝑀2 =
2000 𝑚𝑙
𝑀2 = 27,5 gr
Gambar 1. Grafik Hubungan pH Pencampuran Larutan Fly Ash Terhadap Waktu Kontak
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa setelah dilakukan pengenceran kandungan
logam Fe mengalami penurunan dari 0,81 mg/l menjadi 0,44 mh/l dan logam Mn dari 10,2 mg/l
menjadi 5,2 mg/l setelah dilakukan pencampuran dengan air sungai dengan pH 6,55. Tabel 2
menunjukan analisa logam Fe dan Mn pencampuran kadar 1000 ml dari 55 gr/l Fly Ash
Berdasarkan hasil uji analisa maka Laju Penurunan Logam Fe adalah sebagai berikut :
C0 = 0,81 mg/l
Ce = 0,44 mg/l
0,81−0,44
E= x 100 % = 45,65 %
0,81
Berdasarkan hasil uji analisis maka Laju Penurunan Logam Mn adalah sebagai berikut:
C0 = 10,2 mg/l
Ce = 5,2 mg/l
10,2−5,2
E= x 100 % = 49,01 %
10,2
Dari perhitungan diatas laju penurunan kandungan logam Fe dan Mn menunjukan hasil
sebesar 45,65 % untuk logam Fe dan 49,65 % untuk logam Mn.
Gambar 2. Grafik Kenaikan pH Fly Ash Terhadap Waktu Kontak Pada Konsentrasi 55gr/l
Tabel 2. Hasil Analisa Logam Fe Dan Mn Pencampuran Kadar 1000 ml dari 55 gr/l Fly Ash
3.3. Pemanfaatan Abu Terbang (Fly Ash) Batubara Sebagai Campuran Media
Tanam
Fly ash merupakan padatan dari sisa pembakaran batubara yang terbawa bersama gas
buang dan ditangkap oleh alat pengendali udara sedangkan bottom ash merupakan padatan dari
sisa pembakaran bautubara yang keluar dari dasar tungku boiler. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 85 tahun 1999 Jo Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, abu batubara diklasifikasikan sebagai limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) karena memiliki kandungan logam berat, sehingga penggunaannya
harus sesuai dengan ketentuan tersebut.
Fly ash batubara banyak mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tanaman seperti
unsur hara makro Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na), Kalium (K), Nitrogen (N),
dan Fosfor (P) dan unsur hara mikro Besi (Fe), Seng(Zn), Mangan (Mn), dan Tembaga(Cu)
sehingga penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa kandungan yang ada pada fly ash
batubara bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman, dan bila dibandingkan dengan bottom ash, fly
ash mempunyai sifat polazoik (memperkeras lahan) yang rendah sehingga cocok dijadikan
sebagai media tanam di lahan bekas tambang.
Pemakaian kompos atau pupuk organik sebanyak 20% dari 3 kg tanah bertujuan untuk
menghindarkan pengerasan lahan. Diperoleh hasil bahwa komposisi 75% tanah lembang
dicampur dengan 25% abu batubara dan 50% tanah lembang dicampur dengan 50% abu
batubara menyebabkan terjadi percepatan pertumbuhan yang melebihi kontrol pada tanaman
tomat dan tidak terjadi gejala toksifikasi pada tanaman tomat tersebut sehingga abu batubara
dapat dimanfaatkan sebagai media tanam. Hasil penelitian pada konsentrasi abu batubara 100%
terjadi gejala toksifikasi yaitu perhambatan pertumbuhan tanaman tetapi tanaman tidak sampai
mati. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan maka dapat dilakukan penelitian lanjutan
dengan menggunakan tanaman tomat dan memakai rentang perlakuan yang lebih kecil untuk
melihat lebih lanjut pengaruh abu batubara terhadap tanaman.
BOTTOM ASH
LERENG ASLI
3.4.2. Revegetasi
Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi
tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi
setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti
adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah
iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam
merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-
tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas
tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya,
pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut,
peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut,
maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan
bekas tambang (Rahmawaty, 2002).
C BOTTOM
ASH
BOTTOM
B TOP SOIL + FLY
ASH
ASH
NAF
BOTTOM
ASH
4. KESIMPULAN
Dari penelitian studi literatur di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pencampuran antara sample air asam tambang dengan fly ash dapat meningkatkan pH
air asam tambang tersebut, Air asam tambang yang semula memiliki pH 4,25 meningkat
menjadi rata-rata memiliki pH 6,0Fe dari 0,81 mg/l menjadi 0,44 mg/l dan laju
penurunan untuk logam Mn dari 10,2 mg/l menjadi 5,2 mg/l.
2. Fly ash memiliki efektifitas penurunan logam Fe sebesar 45,65% dan penurunan logam
Mn sebesar 49,01 %. Penurunan logam Fe penggunaan kapur tohor sebesar 51,85 % dan
penurunan logam Mn sebesar 62,54 %.
3. Komposisi 75% tanah lembang dicampur dengan 25% abu batubara dan 50% tanah
lembang dicampur dengan 50% abu batubara menyebabkan terjadi percepatan
pertumbuhan sehingga abu batubara dapat dimanfaatkan sebagai media tanam.
4. Revegetasi memanfaatkan fly ash menjadi campuran top soil pada saat rekontruksi tanah
sehingga meningkatkan kesuburan tanah serta meningkatkan volume top soil sehingga
perbedaan kontur tanah dapat berkurang.
5. Fly ash dan bottom ash sangat berpeluang menjadi lapisan NAF pada metode
encapsulation untuk mencegah terjadinya air asam tambang.
DAFTAR PUSTAKA
[1] EKA, MUMU, ANGGI H. D., “Evaluasi Pemanfaatan Abu Terbang (Fly Ash) Batubara
Sebagai Campuran Media Tanam pada Tanaman Tomat (Solanum lycopersicum)”
[2] Ayu H., Harminuke E. H., Hartini I., “PENGARUH FLY ASH DAN KAPUR TOHOR
PADA NETRALISASI AIR ASAM TAMBANG TERHADAP KUALITAS AIR ASAM
TAMBANG (pH, Fe & Mn) DI IUP TAMBANG AIR LAYA PT.BUKIT ASAM
(PERSERO),TBK”
[3] https://bumiridho.wordpress.com/2012/01/24/dsc0028613/
[4] http://pusdaling.jatimprov.go.id/peraturan/cari-
peraturan.html?searchword=potensi%20tambang%20jawa&ordering=newest&searchphra
se=all&limit=20
[5] http://m.tribunnews.com/nasional/2014/12/03/greenpeace-beberkan-skandal-perusahaan-
tambang-batubara-racuni-penduduk
Sekretariat PERHAPI
Komplek Crown Palace Blok D No. 9
Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No . 231 Jakarta Selatan 12870
Telp. : 021-83783766; Fax. : 021-83783765
Email : sekretariat.perhapi@gmail.com
website : www.perhapi.or.id