Anda di halaman 1dari 24

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian


PT Bukit Asam Tbk terletak di Kelurahan Tanjung Enim, Kecamatan
Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Kelurahan
Tanjung Enim dapat di tempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat
dengan jarak tempuh ± 200 kilometer menggunakan fasilitas jalan umum (jalan
raya) dari kota palembang atau ± 160 kilometer dengan menggunakan kereta api
kearah Barat Daya. Untuk menempuh perjalanan dari Kota Palembang menuju
Lokasi Penelitian Tanjung Enim membutuhkan waktu tempuh selama 4-5 jam.
Daerah penambangan Batu Andesit (Quarry) berada di Bukit Tapuan.
Wilayah Izin Usaha Penambangan (WIUP) PT Bukit Asam Tbk terletak
pada posisi 3˚ 53’ 44’’ LS – 3˚ 34’ 12” LS dan 103˚ 28’ 30’’ BT – 103˚ 41’ 34” BT,
untuk selengkapnya dapat dilihat pada peta kesampaian daerah PT Bukit Asam
Tbk seperti dibawah ini.

Gambar 1. Peta Kesampaian Daerah PT Bukit Asam Tbk


(Sumber : PT Bukit Asam Tbk)

4
5

PT Bukit Asam Tbk di Unit Penambangan Tanjung Enim (UPTE)


mempunyai 3 site di Wilayah Izin Usaha Penambangan (WIUP) yaitu sebagai
berikut:

Tambang Muara Tiga Besar


Tambang Muara Tiga Besar (MTB) menggunakan sistem penambangan
konvensional yakni dengan teknologi penambangan terbuka secara
berkesinambungan (continous mining) dan backhoe and dump truck. Pada metode
BWE sistem ini sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak PT Bukit Asam sedangkan
pada metode backhoe and dump truck dilaksanakan oleh pihak ketiga (kontraktor)
yaitu PT Pama Persada Nusantara. Di MTB ada dua wilayah penambangan, yaitu
Muara Tiga Besar Utara (MTBU) dan Muara Tiga Besar Selatan (MTBS). Cara kerja
sistem penambangan MTB dimulai dengan land clearing (pembersihan semak-
semak dan pepohonan), pengupasan top soil (tanah pucuk), dengan shovel, lalu
diangkut dengan dump truck. Tanah diangkut menuju lokasi penimbunan
sedangkan batubara ditumpuk di stockpile.

Tambang Air Laya (TAL)


Pada lokasi Tambang Air Laya terdapat dua metode penambangan utama
yaitu metode shovel dan truck (menggunakan excavator dan dump truck) serta
memanfaatkan Bucket Wheel Excavator (BWE) sistem untuk mengangkut
batubara dari temporary menuju ke stockpile. Pada metode BWE sistem ini
sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak PT Bukit Asam dalam hal untuk melakukan
produksi, sedangkan pada metode shovel dan truck dilaksanakan oleh pihak
ketiga (kontraktor). Semua hasil penggalian batubara dengan metode shovel dan
truck akan ditampung di temporay stockpile dan TLS 1 dan TLS 2. Melalui TLS ini
kemudian batubara dimuat ke gerbong untuk dikirim ke pelabuhan Tarahan
(Lampung) dan dermaga Kertapati (Palembang) menggunakan kereta api yang
memiliki 40 – 60 gerbong sekali jalan, dengan kapasitas 30-50 ton untuk satu
gerbong kemudian dipasarkan baik untuk
keperluan domestik maupun keperluan ekspor.

Tambang Banko Barat


Tambang Banko Barat memiliki luas WIUP 4500 Ha.Tambang Banko
Barat yang terdiri dari Pit 1, 2 dan Pit 3, dimana pada masing-masing Pit telah
dibagi lagi Pit 1 Barat dan Pit 1 Timur, Pit 2 sedangkan pada Pit 3 dibagi menjadi
Pit 3 Timur dan Pit 3 Barat dipegang oleh kontraktor yaitu PT SMJ (Sumber Mitra
Jaya) dan Pit 3 Timur oleh PT BKPL (Bangun Karya Pratama Lestari). Pada Pit 3
Timur, pengelolaan dipegang oleh PT SMJ, di Pit 1 Barat oleh Swakelola PTBA.
6

Adapun Wilayah Izin Usaha penambangan (WIUP) PT Bukit Asam Tbk di


Unit Penambangan Tanjung Enim (UPTE) dapat dilihat seperti pada gambar
dibawah ini.

Gambar 2. Peta WIUP PT Bukit Asam Tbk


(Sumber : PT Bukit Asam Tbk)

2.2 Keadaan Topografi

Secara umum, daerah tambang PT Bukit Asam Tbk mempunyai topografi


yang bervariasi mulai dari dataran rendah hingga perbukitan. Pada bagian
selatan penambangan terdapat dataran rendah, yaitu daerah yang terdapat aliran
sungai-sungai kecil yang bermuara di Sungai Enim dan Sungai Lematang dengan
ketinggian ± 50 m di atas permukaan laut. Sedangkan daerah perbukitan
terdapat di bagian Barat dengan elevasi tertinggi ± 282 m di ats permukaan laut.
Pada kedua daerah ini banyak dijumpai vegetasi yang sebagian besar merupakan
tumbuhan hutan tropika dan semak belukar.

2.3 Geologi Regional

Struktur geologi yang berkembang adalah antiklin yang membentuk


kubah, sesar normal, sesar-sesar minor dengan pola radial, dan sesar yang tidak
menerus sampai bagian bawah dari lapisan batuan yang ada. Hal ini terjadi
sebagai akibat dari intrusi andesit di daerah cadangan dan juga dipengaruhi
7

adanya gaya tektonik pada zaman pliosen dengan arah utama utara – selatan.
Secara regional wilayah penambangan PT Bukit Asam Tbk termasuk dalam Sub
Cekungan Palembang yang merupakan bagian dari cekungan Sumatera Selatan
dan terbentuk pada jaman Tersier. Sub cekungan Sumatera Selatan yang
diendapkan selama jaman Kenozoikum terdapat urutan litologi yang terdiri atas
dua kelompok besar, yaitu kelompok Telisa dan kelompok Palembang.

Kelompok Telisa terdiri dari formasi lahat, formasi talang akar, formasi
baturaja dan formasi gumai. Kelompok Palembang terdiri dari Formasi Air
Bekanat, Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai.

Formasi Lahat
Formasi Lahat diendapkan tidak selaras di atas batuan pra tersier pada
lingkungan darat. Formasi ini berumur Oligosen bawah, tersusun oleh tuffa
breksi, lempung tuffan, breksi dan konglomerat. Pada tempat yang lebih dalam
fasiesnya berubah menjadi serpih tuffan, batu lanau dan batu pasir dengan
sisipan batubara. Ketebalan formasi ini berkisar antara 0 – 300 m.

Formasi Talang Akar


Formasi Talang Akar diendapkan tidak selaras di atas formasi Lahat.
Formasi ini berumur Oligosen ats sampai Oligosen bawah, tersusun oleh batu
pasir, batu sampingan, batu lempung dan batu lempung sisipan batubara.
Formasi Talang Akar diendapkan di lingkungan fluviatil, delta dan laut dangkal
dengan ketebalan berkisar 0 – 400 meter.

Formasi Baturaja
Formasi Baturaja diendapkan selaras di atas formasi Talang Akar. Formasi
ini berumur Miosen bawah yang tersusun oleh napal, batu gamping terumbu.
Ketebalan formasi ini berkisar antara 0 – 400 meter.

Formasi Gumai
Formasi Gumai diendapkan selaras di atas formasi Baturaja yang berumur
miosen bawah sampai miosen tengah. Formasi ini tersusun oleh serpih dan
sisipan napal dengan batu gamping di bagian bawah. Lingkungan pengendapan
formasi ini adalah laut dalam dengan ketebalan 300 – 2200 meter.

Formasi Air Bekanat


Formasi Air Bekanat diendapkan selaras di atas Formasi Gumai yang
berumur Miosen tengah tersusun oleh batu lempung pasiran dan batu pasir
Glaukonitan. Formasi Air Bekanat diendapkan pada lingkungan laut neritic dan
berangsur menjadi laut dangkal, dengan ketebalan antara 100 – 800 meter.
8

Formasi Muara Enim


Formasi Muara Enim diendapkan selaras di atas formasi bekanat. Formasi
ini berumur Miosen atas yang tersusun oleh batupasir lempungan dan batubara.
Formasi ini merupakan pengendapan lingkungan laut neritic sampai rawa,
dengan ketebalan berkisar antar 150 – 750 meter.

Formasi Kasai
Formasi Kasai diendapkan selaras di atas Formasi Muara Enim. Formasi
ini tersusun oleh batubara tuffan yang dicirikan berwarna putih, batu lempung
dan sisipan batubara tipis seperti yang tersingkapdi daerah suban. Lingkungan
pengendapan formasi kasai ini adalah darat sampai transisi formasi yang ada
disekitarnya.
Adapun Geologi Regional PT Bukit Asam Tbk di Unit Penambangan
Tanjung Enim (UPTE) dapat dilihat seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Peta Geologi Regional PT Bukit Asam Tbk


(Sumber : PT Bukit Asam Tbk)
9

2.4 Keadaan Stratigrafi


Litologi yang dijumpai di daerah penambangan Banko Barat umumnya
berada di formasi Muara Enim. Perlapisan pada lokasi Penambangan Elektrifikasi
Pit 2 Banko Barat sama dengan perlapisan pada Banko Barat Pit 1, terdiri dari
tiga lapisan batubara, yaitu Manggus, Suban, dan Petai. Penampang litologi
daerah Tambang Banko Barat:

Lapisan Tanah Penutup


Lapisan ini dicirikan dengan adanya gravel pasir, lanau,dan lempung.
Lapisan ini ditemukan lapisan batubara gantung (hanging coal) dengan ketebalan
0,3 – 3 meter

Lapisan Batubara A1
Lapisan batubara ini memiliki lapisan pengotor sebanyak 2-3 lapis dan
bagian “base” kadang-kadang dijumpai lensa-lensa batu lanau dan pita pengotor
dengan ketebalan 2-15 cm. Ketebalan lapisan Batubara A1 ini adalah 7,3 meter.

Lapisan Interburden A1 – A2
Lapisan ini terdiri dari batu lempung, bentonit dan batu pasir tufaan
dengan ketebalan berkisar antara 4,0 meter.

Lapisan Batubara A2
Lapisan ini dicirikan oleh adanya lapisan silikan di bagian atas 20-40 cm
dan ketebalannya berkisar 9,8 m.

Lapisan Interburden A2 – B
Lapisan ini terdiri dari batu lanau, lempungdan batu pasir, dikenal
dengan nama Suban Marker Seam. Ketebalan lapisan ini berkisar 18 meter.

Lapisan Batubara B1
Lapisan Batubara B biasanya tedapat dua sampai tiga lapisan pengotor
yaitu lapisan lempung. Ketebalan lapisan ini berkisar 12,7 meter.

Lapisan Interburden B1-B2


Lapisan ini terdiri dari lempungan. Ketebalannya berkisar 3 meter.

Lapisan batubara B2
Lapisan Batubara dangan pengotor lempung dan dijumpai lensa
lensanbatulanau dengan ketebalan batubara berkisar 4,5 m.

Lapisan Interburden B2-C


Lapisan ini terdiri dari batu pasir dan clay dengan ketebalannya berkisar
38 meter.
10

Lapisan Batubara C/C1


Lapisan ini merupakan lapisan yang umumnya sedikit memiliki lapisan
pengotor seperti siltstone. Ketebalan berkisar 5,1 meter.

Lapisan pengotor C/C1 – C2


Lapisan Interburden antara lapisan C/C1 dengan C2 yang memiliki
pengotor seperti claystone dan siltstone dengan ketebalan 3,5 meter.

Lapisan Batubara C/C1 – C2


Lapisan ini bersebelahan dengan pengotornya dengan tebal lapisan
batubara berkisar 11,3 meter.

Lapisan Batubara C2
Lapisan ini memiliki sedikit pengotor seperti clay dan siltstone berbentuk
lensa-lensa. Ketebalan lapisan C2 yaitu 6,2 meter.
Adapun Keadaan Stratigrafi PT Bukit Asam Tbk di Unit Penambangan
Tanjung Enim (UPTE) dapat dilihat seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 4. Keadaan Stratigrafi


(Sumber : PT Bukit Asam Tbk)

2.5 Metode Peledakan


Metode peledakan yaitu suatu metode pemberaian batuan dari batuan
induk dengan menggunakan bahan peledak. Menurut kamus pertambangan
umum, bahan peledak adalah senyawa kimia yang dapat bereaksi dengan cepat
apabila diberikan suatu perlakuan, menghasilkan sejumlah gas bersuhu dan
bertekanan tinggi dalam waktu yang sangat singkat.
11

Peledakan memiliki daya rusak bervariasi tergantung jenis bahan peledak


yang digunakan dan tujuan digunakannya bahan peledak tersebut. Peledakan
dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik itu positif maupun negatif,
seperti untuk memenuhi tujuan politik, ideologi, keteknikan, industri dan lain-
lain. Contohnya besi, baja dan logam lainnya, serta bahan galian industri, seperti
batubara dan gamping seringkali menggunakan peledakan untuk memperoleh
bahan galian tersebut, apabila dianggap lebih ekonomis dan efisien dari pada
penggalian bebas (free digging) maupun penggaruan (ripping).
Suatu operasi peledakan dinyatakan berhasil dengan baik pada kegiatan
penambangan apabila:
1. Target produksi terpenuhi (dinyatakan dalam ton/hari atau ton/bulan).
2. Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah batuan
yang berhasil dibongkar perkilogram bahan peledak (disebut powder
faktor).
3. Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit bongkah
(kurang dari 15% dari jumlah batuan yang terbongkar per peledakan).
4. Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata (tidak ada overbreak,
overhang, retakan-retakan).
5. Aman. (Koesnaryo, 1988)
2.6 Pola Pemboran
Kegiatan pemboran lubang ledak merupakan suatu hal yang sangat
penting diperhatikan sebelum kegiatan pengisisan bahan peledak. Kegiatan
pemboran lubang ledak dilakukan dengan menempatkan lubang-lubang ledak
secara sistematis, sehingga membentuk suatu pola. Berdasarkan letak lubang
bor maka pola pemboran dibagi menjadi dua pola dasar, yaitu:

Pola Pemboran Sejajar (Parallel Pattern)


Pola pemboran sejajar (parallel pattern), terdiri dari dua macam, yaitu:
pola bujursangkar (square patern) dan pola persgi panjang (rectangular pattern).
Pola bujursangkar (square pattern) yaitu jarak burden dan spasi yang sama. Pola
persegi panjang (rectangular pattern) yaitu jarak spasi dalam satu baris lebih
besar dibandingkan dengan burden.

Pola Pemboran Selang Seling (Staggered Pattern)


Pola pemboran selang seling (staggered pattern), adalah pola pemboran
yang penempatan lubang ledak ditempatkan secara selang seling pada setiap
kolomnya. Dalam pola ini distribusi energi peledakan antar lubang akan lebih
terdistribusi secara merata dari pada pola bukan staggered.
12

Adapun beberapa pola dasar pemboran dapat dilihat pada gambar


dibawah ini.

3m 3m

3m 2,5 m

Bidang bebas Bidang bebas


a. Pola bujursangkar b. Pola persegipanjang

3m 3m

2,5 m
3m

Bidang bebas
Bidang bebas
c. Pola zigzag bujursangkar d. Pola zigzag persegipanjang

Gambar 5. Pola Pemboran


(Sumber : Suwandi, 2009)

2.7 Pola Peledakan


Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang-
lubang bor dalam satu baris dengan lubang bor pada baris berikutnya ataupun
antara lubang bor yang satu dengan lubang bor yang lainnya. Pola peledakan ini
ditentukan berdasarkan urutan waktu peledakan serta arah runtuhan material
yang diharapkan. Urutan waktu peledakan juga sangat mempengaruhi arah dan
ukuran material yang terledakan.
Umumnya jika menggunakan masa tenggang urutan waktu (delay) batuan
yang terledakkan memiliki distribusi ukuran fragmen yang lebih beragam atau
dapat dikatakan persentase menghasilkan boulder lebih kecil. Beberapa contoh
pola peledakan berdasarkan sistem inisiasi dapat dilihat pada gambar berikut:
Berdasarkan arah runtuhan batuan, pola peledakan diklasifikasikan
sebagai berikut, box cut, “v” cut dan corner cut. Box cut yaitu pola peledakan yang
arah runtuhan batuannya ke depan dan membentuk kotak. “V” cut yaitu pola
peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan membentuk huruf V.
Corner cut yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke salah satu
sudut dari bidang bebasnya.
13

Adapun beberapa pola dasar peledakan dapat dilihat pada gambar


dibawah ini.

Gambar 6. Pola Peledakan Berdasarkan Sistem Inisiasi


(Sumber : Suwandi, 2009)
Energi yang dilepaskan tersebut tidak dapat terkonsentrasi sepenuhnya
untuk menghancurkan massa batuan (membentuk fragmentasi), tetapi terbagi
dalam beberapa jenis energi yang terdistribusi menjadi dua bagian besar, yaitu
energi terpakai (work energy) dan energi tak terpakai (waste energy). Secara
umum pola peledakan menunjukan urutan atau sekuensial ledakan dari
sejumlah lubang ledak. Adanya urutan peledakan berarti terdapat jeda waktu
ledakan diantara lubang-lubang ledak yang disebut dengan waktu tunda atau
delay time. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan waktu
tunda (delay time) pada sistem peledakan antara lain adalah:
1) Mengurangi getaran.
2) Mengurangi overbreak dan batu terbang (flyrock).
3) Mengurangi getaran dan suara.
4) Dapat mengarahkan lemparan fragmentasi batuan.
5) Dapat memperbaiki ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan.
(Sumber : Suwandi, 2009)
14

2.8 Geometri Peledakan Menurut C.J. Konya (1990)


Untuk memperoleh hasil pembongkaran batuan sesuai dengan yang
diinginkan maka perlu suatu perencanaan peledakan dengan memperhatikan
besaran-besaran geometri peledakan, karena keberhasilan dari suatu proses
peledakan juga ditentukan dari perencanaan geometri peledakan. Berikut
penjelasan mengenai perhitungan geometri peledakan yang diambil berdasarkan
pendapat ahli yaitu menurut C.J. Konya (1990) tentang perencanaan geometri
peledakan. Adapun sketsa gambaran mengenai geometri peledakan dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.

Gambar 7. Geometri Peledakan Jenjang


(Sumber : C.J. Konya, 1990)

Terminologi dan simbol yang digunakan pada geometri peledakan seperti


terlihat pada Gambar 6 yang artinya sebagai berikut:
B = burden ;L = kedalaman kolom lubang ledak
S = spasi ;T = penyumbat (stemming)
H = tinggi jenjang ; PC = isian utama (primary charge atau powder column)
J = subdrilling

Burden (B)
Burden yaitu jarak tegak lurus terpendek antara muatan bahan peledak
dengan bidang bebas yang terdekat atau ke arah mana pelemparan batuan akan
15

terjadi. Burden terlalu kecil, bongkaran terlalu hancur dan tergeser dari dinding
jenjang serta kemungkinan terjadinya batu terbang sangat besar.
Burden terlalu besar, Fragmentasi kurang baik (gelombang tekan yang
mencapai bidang bebas menghasilkan gelombang tarik yang sangat lemah
dibawah kuat tarik batuan). Besarnya burden tergantung dari karakteristik
batuan, karakteristik bahan peledak dan diameter lubang ledak.

 
B  3,15 x d e x 3  e 
 r  ......................... (1)
Keterangan:
B = burden (ft),
de = diameter lubang ledak (inci),
e = berat jenis bahan peledak, dan
r = berat jenis batuan.

Spacing (S)
Spasi adalah jarak diantara lubang ledak dalam satu garis yang sejajar
dengan bidang bebas. Spacing terlalu besar, fragmentasi tidak baik, dinding akhir
yang ditinggalkan relative tidak rata. Spacing terlalu kecil, tekanan sekitar
stemming yang lebih besar dan mengakibatkan gas hasil ledakan dihamburkan
ke atmosfer diikuti dengan suara bising (noise). Adapun penentuan spasi pada
geometri peledakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Penentuan Spasi Geometri Peledakan

Sistem Penyalaan H/B < 4 H/B > 4

Serentak H  2B S = 2B
S
3

Tunda H  7B S = 1,4 B
S
8
(Sumber : C.J.Konya, 1990)

Stemming (T)
Stemming disebut juga “collar”. Stemming berfungsi untuk mengurung gas
yang timbul dan mendapatkan stress balance. Jenis batuan massif dengan
persamaan T = B, sedangkan batuan berlapis T = 0,7 B.

Subdrilling
Subdrilling merupakan tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah
rencana lantai jenjang. Lantai yang tidak rata disebabkan oleh tonjolan-tonjolan
yang terjadi setelah dilakukan peledakan akan menyulitkan waktu pemuatan dan
16

pengangkutan. Tingginya subdrilling tergantung dari struktur dan jenis batuan


dan arah lubang bor. Pada lubang bor yang miring, subdrilling lebih kecil. Sub
Drilling (J) = 0,3 B.

Penentuan Diameter Lubang dan Tinggi Jenjang


Penentuan diameter lubang dan tinggi jenjang terlebih dahulu akan
mempertimbangkan aspek berikut, efek ukuran lubang ledak terhadap
fragmentasi, airblast, flyrock, dan getaran tanah dan biaya pengeboran.

Powder Faktor (PF)


Powder factor (PF) menunjukkan jumlah bahan peledak (kg) yang dipakai
untuk memperoleh satu satuan volume atau berat fragmentasi peledakan, jadi
satuannya biasa kg/m³ atau kg/ton. Pemanfaatan PF cenderung mengarah pada
nilai ekonomis suatu proses peledakan karena berkaitan dengan harga bahan
peledak yang digunakan dan perolehan fragmentasi peledakan yang akan dijual.
Powder faktor dihitung dengan:
E
𝑃𝐹 = ................. (2)
𝑉

Keterangan:
PF = Powder Faktor (kg/ton)
E = bahan peledak (kg)
V = Volume batuan yang diledakan (Ton).

Adapun karakteristik PF yang diterapkan pada mass blasts, maupun


presplit dan smooth dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Karakteristik PF yang diterapkan di Mass Blasts


Jenis Batuan PF (kg/m3)
Keras (hard) 0.7 - 0.8
Sedang (medium) 0.4 - 0.5
Lunak (soft) 0.25 – 0.35
Sangat lunak (very soft) 0.15 – 0.25
(Sumber : Dyno Nobel, 2010)

Tabel 3. Karakteristik PF yang diterapkan di Presplit dan Smooth


Blasting
Diameter Lubang PF (kg/m3)
Keras (hard) 0.6 - 0.9
Sedang (medium) 0.4 - 0.5
Lunak (soft) 0.2 – 0.3
(Sumber : Dyno Nobel, 2010)
17

PF biasanya sudah ditetapkan oleh perusahaan karena merupakan hasil


dari beberapa penelitian sebelumnya dan juga karena berbagai pertimbangan
ekonomi. Umumnya bila hanya berpegang pada aspek teknis hasil dari
perhitungan matematis akan diperoleh angka yang besar yang menurut penilaian
secara ekonomi masih perlu dan dapat dihemat. Tolok ukur dalam menetapkan
angka PF adalah:
Ukuran fragmentasi hasil peledakan yang memuaskan, artinya tidak
terlalu banyak bongkahan (boulder) atau terlalu kecil. Terlalu banyak bongkahan
harus dilakukan peledakan ulang (secondary blasting) yang berarti terdapat
tambahan biaya; sebaliknya, bila fragmentasi terlalu kecil berarti boros bahan
peledak dan sudah barang tentu biaya pun tinggi pula. Ukuran fragmentasi harus
sesuai dengan proses selanjutnya, antara lain ukuran mangkok alat muat atau
ukuran umpan (feed) mesin peremuk batu (crusher).
Keselamatan kerja peledakan, artinya disamping berhemat juga
keselamatan karyawan dan masyarakat disekitarnya harus terjamin,
Lingkungan, yaitu dampak negatif peledakan yang menganggu kenyamanan
masyarakat sekitarnya harus dikurangi. Dampak negatif tersebut getaran yang
berlebihan, gegaran yang menyakitkan telinga dan suara yang mengejutkan.
(Sumber : C.J.Konya, 1990).
Dalam menyusun perencanaan geometri lubang ledak untuk proses
peledakan, tinggi jenjang (H) dan burden (B) sangat erat hubungannya untuk
keberhasilan peledakan dan ratio perbandingan antara tinggi jenjang dengan
burden H/B (yang dinamakan Stifness Ratio) yang bervariasi memberikan respon
berbeda yang ditimbulkan setiap proses peledakan di lakukan terhadap
fragmentasi distribusi ukuran material yang dihasilkan, airblast, flyrock, dan
getaran tanah yang besaran dan dampak yang akan ditimbulkan harus sesuai
dengan standar aman yang telah ditetapkan dari pemerintah dan hal tersebut
haruslah menjadi perhatian penting dan hasilnya seperti terlihat pada Tabel 4.
Adanya dampak yang akan muncul dimungkinkan untuk melakukan
evaluasi secara bertahan terhadap proses peledakan yang dilakukan. Penentuan
diameter lubang ledak untuk proses peledakan dapat ditentukan secara
sederhana dengan menerapkan “Aturan Lima (Rule of Five)”, yaitu menentukan
ketinggian jenjang (dalam feet) “Lima” kali dari diameter lubang ledaknya (dalam
inci).
Adapun potensi yang terjadi akibat variasi stiffness ratio dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
18

Tabel 4. Potensi yang Terjadi Akibat Variasi Stiffness Ratio

Stifness Ledakan Batu Getaran


Fragmentasi Komentar
Ratio udara terbang tanah

1 Buruk Besar Banyak Besar Banyak muncul back-


break di bagian toe.
Jangan dilakukan dan
rancang ulang
2 Sedang Sedang Sedang Sedang Bila memungkinkan,
rancang ulang
3 Baik Kecil Sedikit Kecil Kontrol dan
fragmentasi baik
4 Memuaskan Sangat Sangat Sangat Tidak akan
kecil sedikit kecil menambah keuntung-
an bila stiffness ratio
di atas 4
(Sumber : C.J.Konya, 1990)

2.9 Ruang Udara (Air Decking)


Air Deck merupakan istilah yang digunakan untuk ruang kosong yang
terdapat pada lubang tembak yang telah diisi bahan peledak. Ruang kosong berisi
udara ini sengaja diciptakan untuk berbagai macam tujuan. Teknik air-decking
mempergunakan satu atau lebih celah udara di lubang ledak sebagai salah satu
cara mengoptimalkan fragmentasi sebagai hasil kegiatan peledakan.
Menurut Melnikov dan Marchenko (1971) dan Melnikov et al. (1979), bahwa
gelombang kejut, ketika terpantul dan menyebar di dalam lubang bor, akan
menghasilkan gelombang kejut sekunder yang memperluas jaringan rekahan
pada batuan sebelum tekanan udara dari gas setelah peledakan.
Tekanan yang dihasilkan oleh bahan peledak, bagaimanapun, dalam hal
ini akan berkurang, tetapi tingkat rekahan batuan akan meningkat sebagai
akibat tekanan berulang terhadap batuan di sekitar lubang ledak oleh
serangkaian gelombang susulan.
Durasi gelombang kejut pada massa batuan sekitarnya akan
diperpanjang. Akibatnya, jaringan celah pada massa batuan di sekitar lubang
ledak meningkat. Besarnya gelombang kejut tergantung pada pemilihan bahan
peledak dan akan menurun dengan cepat seiring dengan jarak yang ditempuh.
Tingkat rekahan pada peledakan metode air decking akhirnya tergantung pada
panjang dan jenis bahan peledak.
19

2.10 Alternatif Posisi Air Deck


Dalam pengaplikasian metode air decking pada proses peledakan, ada
beberapa alternatif pemilihan posisi celah udara (air deck) di dalam lubang ledak,
yang nantinya dapat disesuaikan dengan kondisi aktual di lapangan. Adapun
alternatif posisi penempatan air deck ini yaitu, posisi air deck di atas (top decking),
posisi air deck di tengah (middle decking), dan posisi air deck di bawah (bottom
decking).

Posisi Air Deck di Atas (Top Decking)


Penggunaan air deck dibagian atas dapat digunakan pada lubang dengan
kondisi kering dan basah. Tujuan utama top decking ini adalah untuk menghemat
penggunaan blasting agent, mendapatkan distribusi yang lebih baik di bagian
kolom stemming, dan mencegah terjadinya over confined (mampat yang
berlebihan). Adapun posisi air deck di atas (top decking) dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.

Gambar 8. Posisi Air Deck di Atas (Top Decking)


(Sumber : Melnikov et al. 1979)

Posisi Air Deck di Tengah (Middle Decking)


Umumnya praktek penggunaan produk air deck dibagian tengah (middle
decking) digunakan pada lubang dalam dengan kondisi kering. Tujuannya adalah
untuk menghemat penggunaan blasting agent dan mendapatkan distribusi yang
lebih baik serta mengurangi energi yang berlebih. Hal yang harus diperhatikan
dalam penerapan middle decking ini adalah penggunaan aksesoris yang lebih
banyak berupa detonator dan booster (primer). Hal ini diperlukan untuk
menginisiasi kolom isian dibagian bawah dan bagian atas yang terputus oleh air
deck.
20

Jika kondisi normal biasanya menggunakan 1 primer (1 detonator dan 1


booster) maka pada kondisi middle decking ini dibutuhkan 2 primer (2 detonator
dan 2 booster). Berdasarkan rule of thumb, penggunaan middle decking ini cocok
digunakan pada lubang kering dengan kedalaman ≥ 11 meter. Dengan panjang
decking minimal 1 meter. Sehingga tercapai cost efficiency yang diinginkan.
Adapun posisi air deck di tengah (middle decking) dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.

Gambar 9. Posisi Air Deck di Tengah (Middle Decking)


(Sumber : Melnikov et al. 1979)

Posisi Air Deck di Bawah (Bottom Decking)


Selama ini praktek penggunaan produk Air Deck dibagian bawah (subdrill)
disebabkan adanya air statis (static water) didasar lubang. Penempatan air deck
di atas air statis ini diharapkan dapat memutus kontak antara air dan bahan
peledak (blasting agent) yang tidak tahan air seperti ANFO. Tujuan utamanya
adalah untuk menjaga cost serendah-rendahnya dengan tetap memakai ANFO
sebagai blasting agent.
Perusahaan yang tidak memiliki produk based emulsion (hanya ANFO)
maka pengaplikasian air deck di bagian dasar lubang ini jauh lebih efisien
dibandingkan menggunakan kondom (liner) jika dikaji dari sisi cost dan
kemudahan praktek di lapangan. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan di
dunia blasting, sekarang ini banyak yang menggunakan produk sejenis ini untuk
menciptakan air deck di area subdrill dengan tujuan utama menghemat
penggunaan bahan peledak tanpa adanya tambahan aksesoris seperti primer
(detonator dan booster). Adapun posisi air deck di bawah (bottom decking) dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.
21

Gambar 10. Posisi Air Deck di Bawah (Bottom Decking)


(Sumber : Melnikov et al. 1979)

2.11 Definisi Fragmentasi


Suatu metode pembongkaran batuan dapat dilakukan dengan cara
peledakan berdasarkan pendekatan dari pengukuran sifat karakteristik massa
batuan sebagai acuan diberlakukannya metode pembongkaran batuan dengan
metode tersebut. Hasil akhir dari peledakan batuan adalah fragmentasi.
Fragmentasi adalah istilah yang digunakan sebagai petunjuk ukuran
setiap bongkah batuan setelah peledakan. Keberhasilan suatu proses peledakan
dapat dilakukan dengan menganalisis distribusi ukuran fragmentasi bongkah
batuan. Fragmentasi yang optimal berkaitan dengan peningkatan produktivitas,
berkurangnya tingkat keausan alat muat dan berkurangnya perbaikan alat mesin
pengolahan di pabrik. Disamping itu, menginginkan fragmen hasil peledakan
yang optimal juga memerlukan biaya dalam pemboran dan peledakan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pembongkaran batuan dalam bentuk bongkah-
bongkah.
Fragmentasi yang dihasilkan pada proses peledakan terjadi akibat
gelombang kejut yang dihasilkan dari pemantulan gelombang tekan pada bidang
bebas, tegangan tarik yang dihasilkan dalam massa batuan di sekeliling lubang
ledak oleh tekanan gas-gas peledakan dan benturan antar fragmen batuan yang
terlempar antara fragmen di dinding batuan yang menyebabkan energi dari suatu
fragmen tersampaikan akibat saling tumbukan antar partikel.
Suatu fragmentasi hasil peledakan dapat dikatakan optimal apabila
mudah digali, didapatkan bentuk muckpile hasil peledakan tidak rata, melainkan
menumpuk keatas, didapatkan distribusi ukuran material yang rata, dan tidak
terdapat material berukuran besar. (Demenegas, Vasileicos, 2008)
22

2.12 Faktor–faktor Fragmentasi


Kegiatan peledakan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor rancangan
yang dapat dikendalikan dan faktor rancangan yang tidak dapat dikendalikan.

Faktor Rancangan yang Dapat Dikendalikan


Faktor rancangan yang dapat dikendalikan sebagai berikut, geometri
pemboran, pola pemboran, geometri peledakan, pola peledakan, bahan peledak.
Pada faktor geometri pemboran terdiri dari diameter, kedalaman, kemiringan, dan
tinggi jenjang. Faktor pola pemboran terdiri dari paralel pattern dan staggerd
pattern. Geometri peledakan terdiri dari burden, spasi, stemming, subdrill, kolom
isian, kedalaman lubang. Pola peledakan terdiri dari box cut, corner cut, dan V-
cut. Serta bahan peledak terdiri dari macam-macam bahan peledak, kekuatan,
detonasi, densitas, sumbu ledak, ketahanan terhadap air.

Faktor Rancangan Yang Tidak Dapat Dikendalikan


Faktor rancangan yang tidak dapat dikendalikan sebagai berikut,
karakteristik massa batuan, bidang-bidang diskontinu, dan litologi batuan dan
formasi batuan.
Tingkat ukuran fragmentasi diukur berdasarkan batuan hasil
pembongkaran yang akan di tambang. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat
keekonomian baik dalam penggunaan alat angkut serta perawatan yang
digunakan dalam mengangkut material hasil peledakan. Hal tersebut berkaitan
dengan seberapa berhasilnya proses peledakan yang dilakukan sehingga
mendapatkan ukuran fragmentasi dengan perencanaan peledakan baik
berdasarkan geometri lubang ledak, hingga bahan peledak yang akan digunakan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi fragmentasi adalah karakteristik
batuan, kelurusan lubang ledak, properti bahan peledak, pemuatan lubang
ledak, spesifikasi isian, sistem pembakaran. (Demenegas, Vasileicos, 2008)

2.13 Metode Pengukuran Fragmentasi


Metode pengukuran fragmentasi hasil peledakan dapat dilakukan dengan
berbagai cara meliputi, pengayakan (screening), boulder counting (production
statistic), image analysis (photographic), dan manual (measurement).

Pengayakan (Screening).
Metode ini menggunakan ayakan dengan ukuran saringan berbeda untuk
mengetahui persentase lolos fragmentasi batuan hasil peledakan.

Boulder Counting (Production Statistic)


23

Metode ini mengukur hasil peledakan melalui proses berikutnya, apakah


terdapat kendala dalam proses tersebut, misalnya melalui pengamatan
‘Digging rate’, ‘secondary breakage’ dan produktivitas ‘crusher’.

Image analysis (Photographic)


Metode ini menggunakan perangkat lunak (software) dalam melakukan
analisis fragmentasi. Software tersebut antara lain fragSize, split engineering, gold
size, power sieve, fragscan, wipfrag, dan lain-lain.

Manual (Measurement)
Dilakukan pengamatan dan pengukuran secara manual dilapangan,
dalam satuan luas tertentu yang di anggap mewakili (representatif). (Siddiqui.
F.I.Ali Shah, S.M., Behan,M.Y. 2009)

2.14 Hubungan Perencanaan Peledakan dengan Fragmentasi


Suatu perencanaan peledakan pada dasarnya juga memperhatikan letak
dan posisi serta keadaan bidang diskontinu. Hal ini juga akan menentukan
seberapa optimal fragmentasi yang akan terbentuk sebagai hasil dari proses
peledakan. Sebagai prinsip umum pembongkaran batuan yang lebih efektif
dicapai dengan menempatkan lubang ledak pada blok padatan yang dibatasi oleh
bidang diskontinu daripada mencoba untuk mentransfer energi peledakan ke
area yang akan di ledakan.
Optimalisasi ukuran fragmentasi dari proses peledakan memang menjadi
perhatian utama dari keberhasilan proses peledakan tersebut terhadap biaya
produksi. Hal tersebut data dilakukan dengan meningkatkan jumlah dan kualitas
bahan peledak yang digunakan dengan meningkatkan densitas dan komposisi
bahan peledakan yang akan di ledakan. Untuk memperkirakan fragmentasi
dari hasil peledakan dapat digunakan rumusan yang dikemukakan oleh
Kuznetsov (1973):
𝑣𝑜 0,8 𝐸 −0,63
𝑋̅ = 𝐴𝑜 × [ ] × 𝑄e0,17 × [ ] ................... (3)
𝑄e 115

Keterangan:
𝑋̅ = Ukuran Fragmen batuan rata-rata (cm)
𝐴𝑜 = Faktor Batuan
Vo = Jumlah batuan per lubang tembak (B x S x L) dalam m3
Qe = Berat bahan peledak per lubang tembak (Kg)
E = RWS bahan peledak : ANFO = 100, TNT = 115, Dabex = 87

Untuk menentukan nilai faktor batuan secara umum dapat digunakan


nilai pada Tabel berikut ini.
24

Tabel 5. Pembobotan Massa Batuan untuk Peledakan menurut Lily,


1996 (Hustrulid, 1999 : 107)

JENIS PEMBOBOTAN NILAI PEMBOBOTAN


1) Rock Mass Description (Rmd) Pembobotan
Powder/Friable 10
Blocky 20
Totally Masive 50
2) Joint Plane Spacing (Jps) Pembobotan
CLOSE (<0,1 m) 10
INTERMEDIET (0,1 – 1,0 m) 20
WIDE (>1,0 m) 50
3) Joint Plane Orientation (Jpo) Pembobotan
Harizontal 10
Dip Out Of Face 20
Strike Normal To Face 30
Dip Into Face 40
4) Specific Gravity Influence (Sgi) Sgi = (25 X Bobot Isi) – 50
5) Hardness (Hd) 1-10
(Sumber : Lily, 1996)

Untuk menentukan distribusi fragmentasi batuan hasil peledakan


digunakan persamaan Rossin-Rammler, yaitu:

  B   W    A 1 PC
𝑛 = 2,2  14 x  x 1   x 1  ................. (4)
D   B  
x
  2  H
𝑋
𝑋𝑐 = 1 ....................... (5)
(0,693) ⁄𝑛

Keterangan :
Xc = Karakteristik ukuran (cm)
n = Indeks keseragaman
B = Burden (m)
D = Diameter lubang (mm)
W = Standar deviasi dari keakuratan pengeboran (m)
A = Ratio spasi/burden
L = Panjang muatan isian handak PC (m)
H = Tinggi jenjang (m)
25

Indeks n adalah indeks keseragaman, artinya jika nilai n semakin besar


maka kemungkinan fragmentasi yang dihasilkan semakin seragam. Tetapi
sebaliknya, jika nilai n semakin kecil maka fragmentasi yang dihasilkan
ukurannya tak terkontrol, dimana akan terjadi bongkahan yang sangat besar
atau sangat kecil.
𝑛
𝑅𝑥 = [𝑒 –( 𝑥/𝑥𝑐) × 100 %] ....................... (6)
Rx merupakan (%) material yang tertahan pada ayakan, maksudnya
adalah bila dilakukan pengayakan maka terdapat persentase material yang tidak
lolos. (J.M. Adebola, 1983)

2.15 Analisis Menggunakan Sofware Split-Dekstop


Program Split Desktop merupakan program yang berfungsi untuk
menganalisa ukuran fragmen batuan. Split Desktop adalah program
penganalisaan gambar yang dikembangkan oleh Universitas Arizona, Amerika
Serikat. Pada penelitian ini program split desktop digunakan untuk membantu
menganalisis gambar fragmen material hasil peledakan, hasilnya berupa grafik
prosentase lolos material dan ukuran fragmen rata-rata yang dihasilkan dalam
suatu peledakan.
Split Desktop merupakan program pemprosesan gambar (image analysis)
untuk menentukan distribusi ukuran dari fragmen batuan pada proses
penghancuran batuan yang terjadi pada proses penambangan. Program Split
Desktop dijalankan oleh engineer tambang atau teknisi di lokasi tambang dengan
mengambil input data berupa foto digital fragmentasi.
Sistem split desktop terdiri dari software, computer, keyboard dan monitor.
Terdapat mekanisme untuk mengunduh gambar dari kamera digital ke dalam
komputer. Software split dekstop dirancang untuk menghitung distribusi ukuran
fragmentasi hasil peledakan berdasarkan teknik digital image processing, gambar
diambil dari hasil peledakan di lapangan dengan menggunakan kamera digital
atau kamera handphone. Hasilnya berupa grafik hubungan antara persen
kumulatif dan distribusi ukuran fragmentasi.
Berdasarkan gambar yang diambil dilapangan dengan menggunakan
kamera, software ini dapat melakukan penggambaran pada batas-batas (split)
batuan secara otomatis maupun manual. Setelah dilakukan pengeditan, dari
hasil penggambaran tersebut kemudian dianalisis ukuran (compute size) untuk
menghasilkan suatu output berupa informasi distribusi fragmentasi yang
ditampilkan dalam suatu grafik hubungan persen kumulatif material yang lolos
dengan ukuran distribusi fragmentasi batuan yang ada pada gambar. (Siddiqui.
F.I.Ali Shah, S.M., Behan,M.Y. 2009)
26

2.16 Hubungan Fragmentasi dengan Faktor Isian Bucket Alat Gali

Fragmentasi batuan merupakan pengamatan utama dari suatu


keberhasilan dari peledakan sehingga dapat dilakukan beberapa pengamatan dan
pengukuran. Perhitungan tingkat fragmentasi batuan berdasarkan analisa
produktivitas alat gali adalah dengan cara membandingkan batuan dengan
ukuran tertentu yang dapat dimuat ke dalam alat angkut secara optimal dengan
keseluruhan berat batuan yang terbongkar. (Indonesianto, Yanto, 2013)
Alat gali merupakan alat berat yang digunakan untuk menggali tanah
serta batuan. Salah satu yang termasuk ke dalam kategori ini adalah excavator.
Excavator merupakan alat berat serbaguna yang dapat digunakan untuk
mengangkat benda, menggali parit, menggali massa batuan, memuat material ke
dalam dumptruck dan scaper (Iseley dan Sanjiv, 2003).
Ukuran fragmentasi yang baik dapat ditentukan oleh dimensi mangkok
alat gali yang akan memuatnya ke dalam alat angkut. Berdasarkan kapasitas alat
gali, dapat diketahui parameter target fragmentasi yang dimuat oleh alat gali
untuk menentukan ukuran maksimal fragmentasi hasil peledakan, yaitu ukuran
fragmentasi optimal yang dapat diangkut bucket alat gali.
Berikut ini merupakan persamaan untuk menentukan ukuran
fragmentasi optimal yang digali oleh bucket alat gali:
3
𝑃𝑑egree = (0,15 − 0,2) √E ...................... (7)
Keterangan:
𝑃𝑑egree = ukuran rata-rata fragmentasi yang digali (cm)
E = kapasitas bucket (m3)

Salah satu cara untuk mencapai ukuran fragmentasi hasil peledakan yang
sesuai dengan kapasitas bucket alat gali, sehingga akan meningkatkan atau
mengoptimalkan faktor isian bucket alat gali.
Faktor pengisian adalah perbandingan antara kapasitas nyata muat
dengan kapasitas baku alat gali yang dinyatakan dalam persen. Semakin besar
faktor pengisian, maka semakin besar pula kemampuan nyata dari alat tersebut.
Faktor pengisian mangkuk disebut juga backet fill facktor. Untuk menghitung
faktor pengisian digunakan persamaan sebagai berikut: (P.Fleider, 1972)
𝑉𝑏
𝐹𝑝 = 𝑋 100% ........................ (8)
𝑉𝑑

Keterangan:
Fp : Faktor pengisian (%)
Vb : Kapasitas bucket nyata alat gali (m3)
Vd : Kapasitas bucket teoritis alat gali (m3)
27

Menurut spesifikasi alat gali, bucket fill factor pada kapasitas nyata alat
gali adalah sebagai berikut:

Gambar 11 : Bucket Fill Factor Range pada Kapasitas Nyata Alat Gali
(Sumber: Yanto Indonesianto, 2013)

Sedangkan bucket fill factor range pada kapasitas teoritis alat gali adalah
sebagai berikut:
Tabel 6. Fill Factor Range yang Menunjukkan Persentase Isian Bucket
Material Fill Factor Range
(Percent of heaped bucket capacity)
Moist Loam or Sandy Clay (A) 100-110%
Sand and Gravel (B) 95-110%
Hard, Tough Clay (C) 80-90%
Rock – Well Blasted (D) 60-75%
Rock – Poorly Blasted (E) 40-50%
(Sumber: Sumber: Yanto Indonesianto, 2013)

Anda mungkin juga menyukai