PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai jenis Sumber Daya Alam
(SDA). Minyak dan gas merupakan salah satu SDA yang menjadi andalan utama
perekonomian Indonesia, baik sebagai penghasil devisa negara maupun pemasok
kebutuhan energi dalam negri. Jumlah produksi minyak mentah yang diproduksi Indonesia
bahkan pernah hingga di atas 1 juta barel per harinya pada saat periode 1972-2006 (BP,
2015). Sedangakan pada tahun 2014 hingga sekarang produksi minyak dan gas semakin
menurun dikarenakan cadangan minyak dan gas yang terbatas. Dengan menurunnya
jumlah produksi tersebut, Indonesia memulai eksplorasi dari darat ke laut. Demi
menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di laut diperlukan transportasi yang efektif
agar penyaluran minyak dan gas dapat berjalan secara efektif. Penyaluran minyak dan gas
ini dapat dilakukan dengan menggunakan kapal atau pipa bawah laut. Hasil minyak dan
gas ini nantinya disalurkan menuju daerah-daerah yang akan merasakan manfaatnya dan
diperlukan alat transportasi untuk mengalirkan hasil minyak dan gas.
Penggunaan pipa bawah laut (Subsea Pipeline) dalam industri minyak dan gas bumi
lepas pantai merupakan salah satu alternatif moda transportasi untuk memindahkan produk
tersebut. Misal dari sumur minyak atau gas ke tempat pengumpul, dari tempat pengumpul
ke terminal, dari terminal ke proses dan sebagainya (Marina, 2009). Jaringan pipa bawah
laut pertama kali digunakan di Summerland, California yaitu pada saat pertama kali proses
produksi minyak bumi dilakukan di lepas pantai pada tahun 1897 (Leffler et.al, 2011).
Perencanaan jaringan pipa bawah laut merupakan masalah kompleks dari biaya yang
mahal sampai resiko yang besar, namun untuk jangka panjangnya pipa bawah laut tidak
memakan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan kapal.
Penggunaan pipa bawah laut untuk transportasi fluida hidrokarbon seperti minyak
atau gas, relatif aman dibandingkan dengan transportasi secara curah. Sebagai contoh di
AS 1983 kebocoran (leakage) untuk setiap 100 milyar ton kilometer hanya 2,3, sedangkan
untuk road tanker 11.6 dan rail tanker 8.3 (Soegiono, 2004). Namun dalam kondisi
beroperasi struktur pipa juga mengalami kerusakan mekanika. Adapun penyebab dari
kerusakan tersebut yaitu sebagian besar disebabkan oleh aktifitas operasi, kesalahan dalam
fabrikasi ataupun kecelakaan (Bai, 2001).
Salah satu dari kerusakan yang terjadi pada saat pipa beroperasi yaitu berupa dent
(penyok). Dent dapat diakibatkan adanya ketidakmampuan material pipa dalam menahan
tekanan, misalnya benturan dari jangkar kapal atau tekanan fluida yang mengalir dalam
pipa tersebut.
Jika ditinjau kembali, dent pada pipa bukan merupakan faktor utama kegagalan pada
pipa, namun jika dent tersebut terjadi pada pipa terutama saat pipa sedang dalam kondisi
beroperasi dapat menjadi penyebab kegagalan yang cukup fatal. Dimana akibat dent pada
struktur pipa tersebut menimbulkan adanya initial crack yang nantinya akan memicu
terjadinya kebocoran pipa. Selain itu, dent pada pipa juga menyebabkan timbulnya Stress
Concentration Factor (SCF) atau konstentrasi tegangan pada bagian-bagian pipa. Hal
tersebutlah yang nantinya akan mengurangi ketahanan dari pipa tersebut terhadap beban
statis maupun siklis. Oleh sebab itu, cacat berupa dent pada pipa tidak bisa begitu saja
diabaikan karena menimbulkan efek yang berbahaya bagi struktur pipa dan mengurangi
umur pemakaian dari pipa saat beroperasi.
1. Mengetahui besar tegangan pipa akibat aliran internal dan eksternal fluida pada dented
pipe.
2. Mengetahui aliran fluida yang terjadi di sekitar dented pipe.
3. Mengetahui pengaruh aliran internal dan eksternal fluida terhadap dented pipe.
4. Mengetahui besarnya umur kelelahan dented pipe akibat aliran internal dan eksternal
fluida.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari menganalisa pengaruh aliran internal dan eksternal
fluida terhadap dented pipe yaitu untuk mengetahui bentuk dimensi dented pipe
terhadap pola aliran fluida yang mengalir didalam dan diluar pipa. Serta untuk
mengetahui berapa umur kelelahan pipa yang mengalami dent dengan pengaruh
aliran internal dan eksternal pipa sebelum terjadinya kegagalan.
1.5 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dan asumsi pada penelitian ini, yaitu:
Pipa bawah laut (Offshore Pipeline) berfungsi untuk transportasi fluida seperti
minyak, gas atau air dalam jumlah besar dan jarak yang jauh melalui laut atau daerah di lepas
pantai. Offshore Pipeline umumnya digunakan untuk mengangkut produk hidrokarbon dari
lapangan lepas pantai ke daratan. Produk yang diangkut adalah gas alam bertekanan tinggi
dan crude oil serta condensate yang relatif bertekanan rendah. Pipeline bekerja 24 jam
sehari, 365 hari dalam setahun selama umur pipa yang bisa sampai 30 tahun atau bahkan
lebih (Soegiono, 2007).
Berdasarkan Det Nonke Verisas (DNV, 2000), dent didefinisikan sebagai depression
gross disturbance pada kelengkungan dari pipa atau tubular member dan yang mana
menghasilkan suatu perubahan diameter yang bervariasi lebih dari 2% nominal diameter.
Mineral Management Service (MMS, 2000) mendefinisikan dent sebagai perubahan bentuk
atau lekukan pada bagian setruktur yang disebabkan oleh suatu kejadian (aksi) sehingga
menimbulkan kerusakan visual pada area kelengkungan pipa atau komponen tanpa
mengurangi ketebalan dindingnya.
Idealisasi dari penampang melintang dari member yang mengalami dent telah dibahas
oleh beberapa peniliti sebagai berikut:
Smith (1987) : Bagian dent dideskripsikan sebagai bagian bulat sempurna dengan sebuah
titik yang lemah.
Toby & Moan (19850 : Bagian dent dideskripsikan sebagai bagian yang rata dari bagian
bulat sempurna yang tidak dapat mempertahankan dimensi kelengkungan member.
Berkelder (1984) : Bagian dent dideskripsikan sebagai bagian rata, dengan bagian melebar
pada bagian lokat yang bulat sempurna.
Durkin (1987) : Bagian dent dideskripsikan sebagai bagian yang rata, dengan bagian
melebar pada bagian lokal yang bulat sempurna.
Hopkins & Chosam (2003) : Bagian dent didefinisikan sebagai bagian yang mengalami
deformasi plastis.
Bianca de C. Pinhero dan Ilso P. Pasqualino (2008) telah melakukan percobaan yaitu
menghitung nilai fatigue pada kerusakan pada steel pipelines. Yang mana kerusakan disini
berupa dent yang bentuk dan dimensinya yaitu elliptical cylinder. Pipa yang telah mengalami
cacat tersebut dilakukan pengujian dengan memberikan internal pressure pada pipa tersebut.
Hal ini dilakukan untuk melihat ketahanan pipa tersebut dari nilai fatigue pada tiap-tiap
variasi kedalaman dent.
Ilham Hatta dan Mauludin Hidayat (1999) telah melakukan penilitian tentang analisa
konsentrasi tegangan pada cacat model lubang dengan software NASTRAN. Dalam analisis
ini digunakan lima model cacat lubang yang berbeda yang dibuat pada pelat logam. Model
logam tersebut biasanya digunakan untuk penyambungan bagian atau komponen berbagai
struktur atau konstruksi. Hasil analisis statis tersebut menunjukkan bahwa cacat lubang model
bujur sangkar mempunyai nilai faktor konsentrasi tegangan lebih kecil dibandingkan dengan
cacat lubang model bulat. Sedangkan model lain seperti model belah ketupak elips, dan telah
mempunyai konsentrasi lebih besar dari cacat bodel bulat.
Definisi Fluida
Fluida adalah suatu zat yang berubah secara terus meneurs bila terkena tegangan
geser, berapapun kecilnya tegangan geser tersebut. Tegangan geser initimbul adanya gaya
geser. Gaya geser yang terjadi adalah komponen gaya yang menyinggung permukaan,
kemudian gaya geser ini yang dibagi dengan hasil permukaan tersebut adalah tegangan geser
rata-rata pada permukaan itu (Streeter, 1986).
Fluida dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu cairan dan gas. Adapun perbedaan antara
cairan dan gas adalah: Cairan pada dasarnya incompressible dan gas adalah compressible,
Cairan menempati volume tertentu pada suatu tempat dan mempunyai permukaan bebas
sedang gas akan menempati seluruh ruangan dari tempatnya dan tidak mempunyai
permukaan.
Tekanan Fluida
Dalam mekanika fluida, unsur utama dalam kajian mekanika benda titik adalah tekanan.
Tekanan adalah gaya yang dialami oleh suatu titik pada suatu permukaan fluida per satuan luas dalam
arah tegak lurus permukaan tersebut.
Pada pipa:
Aliran laminer terjadi jika Re < 2100
Aliran turbulen terjadi jika Re > 4000
Berdasarkan gambar 2.1 maka dapat diceritakan bahwa aliran fluida pada bagian 1 dan 2
mengalir dengan laju yang konstan, sehingga kuantitas aliran fluida di berbagai bagian pipa pada
waktu yang sama adalah tetap. Jika tidak ada fluida yang ditambahkan, dipindahkan atau diletakkan
diantara bagian 1 dan 2, maka volume fluida yang mengalir antara bagian 1 dan 2 tiap satuan waktu
adalah tetap, dan dapat dirumuskan dengan (White, 1994)
Q1 = Q2 = konstan (2.1)
Persamaan diatas adalah persamaan kontinuitas aliran dimana Q = .A.V dengan = densitas
fluida (Kg/m3), V = kecepatan fluida didalam pipa (m/s) dan A = luas penampang saluran (m2). Jika
fluida yang mengalir didalam pipa adalah incompressible makan 1 = 2. Sehingga persamaan
kontinuitas dapat dirumuskan sebagai berikut (White, 1994) :
Q1 = A1 = V1 = Q2 = A2 = V2 (2.2)
Dengan :
Q = debit aliran fluida (m3/s),
A = Luas penampang pipa (m2),
V = Kecepatan Aliran Fluida dalam pipa (m/s).
Pada pipa lurus dengan panjang dan diameter tertentu maka kecepatan kritis dari suatu fluida
yang melewati suatu pipa secara teoritis dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut
(Wardana, 2000) :
VC = ( ) (2.3)
Dengan :
VC = Kecepatan kritis fluida (m/s),
L = Panjang pipa (m),
E = modulus elastisitas pipa (N/m2),
I = Inersia pipa (m2),
A = Luas penampang pipa (m2).
VIV ini dipengaruhi oleh bilangan Reynolds (Re) = DU/v dimana D adalah diameter silinder,
U adalah kecepatan arus, dan v adalah viskositas kinematis fluida. Berdasarkan banyak percobaan
visualisasi aliran yang telah dilakukan, nilai Re inilah yang akan menentukan bagaimana bentuk pola
aliran yang akan terjadi. Beberapa diantaranya misalnya bila nilai Re kurang dari 5, maka akan
terbentuk pola aliran yang mulus, tanpa terjadi pusaran-pusaran lokal fluida (vorteks) dan tidak terjadi
pula pemisahan aliran pada saat aliran sudah melewati selinder (creeping flow). Selanjutnya bila
kecepatan aliran dinaikkan, yang berarti nilai Re makin bertambah besar, misalnya untuk rentang Re
diantara 5 dan 40, maka akan mulai terbentuk vorteks. Dalam rentang nilai Re ini akan terbentuk
sepasang vorteks simetris di belakang silinder yang berputar stasioner tanpa terpecah selama rentang
nilai Re tidak berubah (Prastianto, 2006).
Gambar 2.3 Efek Reynolds Number (Rizky, 2013)
Namun ketika nilai angka Reynold (Re) terus dinaikkan, maka medan aliran makin menjadi
tidak stabil, yang mana lambat-laun formasi vorteks yang terbentuk mulai berantakan dengan pola
yang tertentu. Maka pada saat itulah akan timbul suatu fenomena yang dinamakan pelepasan vorteks
(Vortex Shedding), yang mulai terjadi pada nilai Re > 40 (Prastianto, 2006). Vorteks shedding ini
dapat member gaya pada silinder agar dapat berosilasi. Apabila frekuensi dari vortex shedding sama
dengan frekuensi natural struktur yang dikenai, maka akan terjadi resonansi sehingga mempercepat
umur kelelahan struktur tersebut dan struktur tersebut mengalami kegagalan. Persamaan vortex
shedding dapat ditulis sebagai berikut:
= (2.4)
Dengan:
: frekuensi vortex shedding (Hz),
: strouhal number (0,2 untuk silinder bulat),
U : kecepatan partikel (m/s),
D : diameter pipa (m).
1 1
+ [ + ] =
+ , + (2.5)
1 1
+ [ + ] = + + (2.6)
Dimana :
u dan v = kecepatan fluida arah koordinat kartesian (x,y),
Ax dan Ay = daerah terbuka fraksional pada aliran dalam axis x dan y,
Vv =volume terbuka frasional pada aliran,
t = waktu,
p = tekanan,
= densitas air laut,
fx dan fy = percepatan viskositas,
gx dan gy = percepatan gravitasi dalam axis x dan y.
+
=0 (2.7)
Tetapi untuk mengijinkan pengaruh compressibility terbatas maka persamaan 2.7 diatas diulang
oleh persamaan kontinuitas umum (Nichols dan Hirt, 1981) menjadi :
2
+
+
=0 (2.8)
Dimana c adalah kecepatan bunyi adiabatik. Dalam FLOW 3D variabel dependen dibuat dalam
persamaan diatas, disusun grid yang teratur. Kemudian untuk mendefinisikan fluida secara lokal
dalam ruang, sebuah fungsi waktu VOF yang dependen adalah sebagai berikut :
[ + ] = 0 (2.9)
V adalah pecahan volume. Fungsi F juga digunakan untuk mengidentifikasi mesh cell yang
memuat kerapatan densitas fluida. Sebuah sel fluida akan memiliki nilai V nol, satu, atau pecahan,
untuk sebuah kasus dimana hanya fluida tunggal yang digunakan, sel dengan nilai F nol akan kosong
atau tidak ada materi sama sekali, sel fluida tidak sama dengan nol jika sel terisi fluida. Sebuah sel
interface atau sel batas permukaan didefinisikan sebagai sel yang mengandung nilai F bukan nol dan
paling tidak berdekatan yang mengandung nilai F nol. Metode ini juga memiliki kapabilitas untuk
mendefinisikan rintangan sel dimana fluida tidak dapat bergerak.
Prosedur dasar untuk memperoleh sebuah penyelesaian dalam langkah waktu tambahan dt
menurut Nichols dan Hirt (1981) adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan secara eksplisit penyelesaian persamaan Navier-Stokes (persamaan 2.5 dan 2.6)
digunakan untuk perkiraan awal atau nilai dari tahap sebelumya).
2. Untuk memenuhi persamaan kontinuitas (persamaan 2.8), tekanan diperhitungkan secara
iterasi biasa dalam masing-masing sel dan perubahan kecepatan yang dipengaruhi oleh
perubahan masing-masing tekanan ditambahkan pada perhitungan kecepatan yang dihitung
pada tahap pertama atau sebelumnya.
3. Pada akhirnya fungsi F yang mendefinisikan daerah fluida, diperbaharui dengan
menggunakan persamaan untuk memberikan konfigurasi fluida yang baru.
Pada tahap masing-masing, kondisi batas yang cocok harus diterapkan pada semua kondisi mesh,
kondisi batas dan kondisi internal.
Posisi pegas mengalami perubahan dari posisi kesetimbangan statik adalah , gaya pegas
k adalah sama dengan gaya gravitasi g yang bekerja pada massa m = k - mg m,
dengan mengukur simpangan x dari posisi keseimbangan statis.
2. Getaran bebas teredam
Suatu sistem yang memiliki massa, elastisitas dan konstanta peredaman dapat mengalami
getaran tanpa adanya rangsangan gaya dari luar. Sistem berosilasi pada gambar 2.5 yang
terdiri dari massa (m), kekakuan (k) dan konstatnta peredaman (c). Sistem ini memiliki
satu derajat kebebasan yang digambarkan oleh koordinat tunggal x (satu arah).
Gambar 2.6 Getaran Acak dalam domain waktu (Rao, Singiresu S, 2004)
Getaran Pada Pipa Akibat Aliran Internal Fluida
Terjadinya getaran pada suatu pipa diakibatkan oleh banyak faktor. Untuk kasus disini
adanya getaran pada pipa disebabkan oleh karena aliran fluida. Aliran fluida disini tertama
aliran fluida gas dimana fluida gas ini memiliki karakteristik yaitu tiap menit bahkan tiap
detik memiliki kecepatan yang selalu berubah-ubah dan memiliki tekanan yang juga selalu
berubah.
Adapun persamaan getaran pada pipa akan dijelaskan sebagai berikut :
Untuk menganalisa getaran pada pipa dapat dilakukan dengan menentukan persamaan
diferensial getaran pipa dan menentukan gaya-gaya yang bekerja pada pipa akibat aliran
fluida.
Gambar 2.7 Pipa pengalir fluida dengan kedua ujung tertumpu (Wardana, 2000)
Pada gambar 2.7 menunjukkan bahwa sebuah bentangan pipa yang melengkung ke arah
horizontal. Fluida mengalir dengan densitas , tekanan dan kecepatan konstan V melalui
penampang pipa dengan luas A, panjang pipa adalah L, modulus elastisitasnya E, dan momen
inersia penampangnya adalah I. Perhatikan elemen kecil yang dipotong dari pipa seperti
terlihat dalam gambar 2.8
Gambar 2.8 Gaya dari momen yang bekerja pada elemen fluida (a) dan elemen pipa (b)
(Wardana, 2000)
Elemen fluida pada gambar 2.8 (a) dikeluarkan dari elemen pipa pada gambar 2.9 (b).
Fluida yang mengalir di dalam pipa yang melengkung akan mengalami percepatan karena
perubahan lengkungan pipa dan gerakan lateral pipa. Percepatan tersebut dilewati oleh
komponen vertikal tekanan fluida yang dikenakan ke elemen fluida oleh gaya tekan F tiap
satuan panjang yang dikenakan ke elemen fluida oleh dinding pipa. Kesetimbangan gaya pada
elemen fluida ke arah y pada perubahan kecil menghasilkan : (Wardana, 2000)
2
= 2 + + 2Y (2.10)
Persamaan gerak untuk getaran bebas pipa pengalir fluida pada gambar diatas sebagai berikut
(Wardana, 2000)
4 2 2 2
4 + 2 2 + 2 + 2 = 0 (2.11)
Dengan mt = m + A adalah massa tiap satuan panjang pipa ditambah fluida dalam pipa. Suku
pertama dan terakhir persamaan adalah kekakuan dan massa yang selalu muncul tidak peduli
ada atau tidaknya aliran fluida. Suku ke dua dari kiri menyatakan gaya yang diperlukan untuk
mengubah arah fluida agar sesuai dengan kelengkungan pipa. Pada pipa yang dialiri oleh
fluida maka frekuensi naturalnya dapat menggunakan persamaan (Wardana, 2000) berikut :
1/2
1 2
= [1 ( ) ] (2.12)
Keterangan :
1 = frekuensi natural yang dialiri fluida
= frekuensi natural tanpa dialiri fluida
v = kecepatan fluida
vc = kecepatan kritis fluida, yang mana :
2
=
2
(2.13)
Setiap frekuensi natural akan mempunyai bentuk defleksi yang sesuai dengan frekuensinya
masing-masig, biasa disebut mode shape. Respon vc terhadap eksitasi yang terjadi tergantung
pada hubungan antara frekuensi dengan natural sistem tersebut dan lokasi dari terjadinya
eksitasi tadi berhubungan dengan mode shape (Medio, 2009).
2.2.6 Tegangan Pipa
Teori tegangan pada perpipaa merupakan pengembangan dari teori tegangan dalam mekanika.
Definisi yang digunakan seperti gaya, momen, tegangan, regangan, dan lain-lain serupa dengan
definisi dalam mekanika dapat digunakan dalam perhitungan dan analisis tegangan perpipaan.
Berdasarkan ASME B31.8 (1992), Dent dengan kedalaman lebih dari 5% OD masih dapat
dikatakan aman jika ditinjau dari :
Batas kemampuan service struktur: pigging operation yang diperbolehkan sebesar 5% OD.
Kekuatan burst: dinding pipa diasumsikan tidak mengalami crack setelah terkena beban
benturan sehingga kekuatan burst tidak berkurang secara signifikan karena kedalaman dent
hanya sebesar 5% OD tanpa ada retak di area dent.
Kekuatan fatigue: pipa dapat beroperasi selama masa paksinya tanpa mengalami kerusakan
akibat beban siklis dari internal pressure (aliran fluida dalam pipa).
Buckling/collapse: tekanan collapse akan berkurang akibat adanya dent.
Tekanan internal juga dapat mengurangi kedalaman dent. Bagaimanapun juga
pengurangan kedalaman dent akibat adanya tekan internal dapat diabaikan. Hal tersebut perlu
dipertimbangkan adalah memeriksa tegangan dan regangan lokal untuk memastikan tidak terdapat
cacat/retak akibat cacat dent tersebut.
ASME B31.3 merumuskan tegangan pipa akibat pengaruh temperatur operasi dengan :
Dimana :
Sn = maksimum tegangan pipa yang diijinkan.
f = faktor yang tergantung jumlah yang dialami pipa.
Sc = tegangan pipa dalam keadaan dingin.
Sh = tegangan pipa dalam keadaan panas.
Momen bending dan stress pada pipa yang terkena dent dengan menggunakan rumus
(Shannon dalam Bai, 2001) :
= (1 1.8
) dan = 0.85 (2.15 dan 2.16)
Dimana :
= tegangan hoop nominal.
Dd = kedalaman dent.
t = ketebalan dinding pipa.
D = diameter luar pipa.
Faktor-faktor penyebab kerusakan pipa yang mengalami cacat mekanis (dalam kasus ini dent)
terutama dipengaruhi oleh kedalaman dent dan ketahanan terhadap rusak getar material. Hubungan
tersebut dikaitkan secara matematis seperti berikut (Hopkins, 2000) :
2 2
= 102
[15,35 0,71 ( ) 0,17 ( ) + 0,09 ( )] (2.17)
Dimana :
Cv = 2/3 dari energi tumbukan.
= perkiraan tegangan ultimate.
SMYS = tegangan yield minimum.
d/t = kedalaman cacat/ketebalan dinding pipa.
d/2R = kedalaman dent/diameter pipa
Perhitungan tegangan akan lebih akurat jika tegangan yang mengakibatkan kegagalan
(collapse defect) ikut diperhitungkan mengingat adanya dent pada struktur.
Penggabngan tegangan-tegangan utama pada suatu elemen merupakan suatu cara untuk
mengetahui nilai tegangan maksimum yang terjadi pada node tersebut. Salah satu cara untuk
mendapatkan tegangan gabungan adalah dengan menggunakan tegangan Von Misses yaitu :
1 0.5
= ( [(1 2 )2 + (2 3 )2 + (3 1 )2 ]) (2.19)
2
Dimana :
= tegangan maksimum.
1 = tegangan utama 1.
2 = tegangan utama 2.
3 = tegangan utama 3.
=
(2.20)
Untuk suatu bentuk detail struktur tertentu, harga SCF dapat diperoleh baik dengan metode
teoritis maupun eksperimental. Pendekatan teoritis sekarang banyak dilakukan dengan menerapkan
Metode Elemen Hingga. Sedangkan metode eksperimental yang umum dilakukan sekarang adalah
ditujukan untuk memperoleh data validasi pendekatan teoritism atau dapat juga secara khusus
dirancang untuk menyelidiki tingkat SCF bentuk-bentuk struktur yang komplek, jika pendekatan
teoritis masih diragukan akurasinya (Eko Budi Djatmiko, 2003).
Selain itu metode perhitungan fatigue pada struktur berupa sambungan juga menggunakan
metode sebagai berikut (Jusuf Sutomo, 2000) :
1. Metode Punching Shear
2. Metode Hot Spot Stress
3. Metode Fracture Mechanics
Perencanaan desain kelelahan sangat penting karena untuk mengetahui umur kelelahan suatu
struktur. DNV (2005) mendefinisikan umur kelelahan sebagai jumlah siklus tegangan dalam besaran
tertentu yang dibutuhkan untuk menyebabkan kegagalan komponen. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi umur kelelahan. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
a. Efek mikro (tekstur)
b. Efek dari teknik pengolahan material (catatan deformasi, manufaktur)
c. Spektrum beban (besar beban, rata-rata beban, catatan pembebanan)
d. Lingkungan (suhu, korosif)
e. Geometri struktur (penyelesaian permukaan struktur, notches, pengelasan, sambungan,
ketebalan)
Analisa kelelahan dapat menggunakan kurva S-N. Kurva S-N digunakan untuk karakteristik
kelelahan pada material yang mempunyai siklus tegangan berulang-ulang pada besaran konstan.
Dengan N adalah jumlah siklus pada rentang tegangan S (MPA atau N/mm2) yang menyebabkan
kerusakan struktur. Jadi kurva S-N adalah garis rata-rata data yang diturunkan dengan pendekatan
regresif dari grafik S-N.
Gambar 3.4 Kurva S-N untuk pipa diameter kecil untuk umbilical (DNV, 2005)