Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Profil Waduk Gondang Karanganyar (Jawa Tengah)

Gambar 2.1 Data Teknis Waduk Gondang Karanganyar Jawa Tengah

Data Teknis Bendungan Gondang (Aliya dan Alfarabi, 2016)

Nama Proyek : Pembangunan Waduk Gondang di Kabupaten


Karanganyar (Multi Years Contract)
Lokasi : Desa Ganten, dan Desa Gempolan, Kecamatan Kerjo
dan Desa Jatirejo Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar
1. Tipe Bendungan : Urugan Random Zonal Inti Tegak
2. Kapasitas Total : 9.150.000 m3
3. Kapasitas Tampung Mati : 2.090.000 m3
4. Kapasitas Tampung Efektif : 7.060.000 m3
5. Luas Genangan Maksimum : 43,86 hektar
6. Tinggi Bendungan : 71 m
7. Panjang Bendungan Utama : 604 m
8. Volume Urugan : 2.570.000 m3

3
4

2.2 Valve (Katup)

Pemilihan katup didasarkan dengan fungsinya, kesesuaian bahan, desain


tekanan, suhu ektremitas, umur pemasangan, sambungan, operasi, berat,
ketersediaan, perawatan, dan biaya. Katup adalah komponen dalam aliran fluida
atau sistem tekanan yang mengatur aliran ataupun tekanan dari aliran. Hal ini
melibatkan penghentian dan pemulaian arus, mengendalikan laju aliran, mencegah
arus balik, mengendalikan tekanan, ataupun mengurangi tekanan. Tugas ini
dilakukan dengan menyesuaikan posisi penutupan anggota di katup. Hal ini bisa
dilakukan baik secara manual maupun otomatis. Operasi manual juga mencakup
pengoperasian katup dengan cara operator daya yang dikendalikan secara manual
(Smith et al, 2003). Selain itu katup juga berfungsi untuk mengatur sedimentasi
pada bendungan agar volume bendungan tetap dalam kondisi steady tidak
berlebihan ataupun kekurangan.

Jenis katup juga sangat penting dalam menunjang kebutuhan yang


diinginkan, baik sesuai dengan debit ataupun kondisi geografis tertentu, pada suatu
bendungan. Tipe katup bendungan yang umumnya, digunakan antara lain: Sluice
Valves, Butterfly Valves, Hollow Cone Valves, Hollow Jet Valves, Needle Valves,
Pressure Reducing Valves (Perforated Cylinder Type), & Sphere Valves (Rotary
Valves) (Lewin, 2001).

1. Sluice Valves (Katup Pintu Air) merupakan jenis katup yang umumnya
digunakan untuk mengontrol aliran pada kecepatan aliran rendah serta sebagai
penutupan dan pembukaan arus. Jenis katup ini merupakan jenis katup yang
murah dan simpel. Namun, katup ini tidak mampu meminimalisir efek shedding
saat peningkatan maupun pengurangan aliran.
2. Butterfly Valve (Katup Kupu-kupu) merupakan jenis katup yang digunakan
sebagai perangkat penampung atau penyekat di saluran yang bertekanan. Jenis
katup ini memiliki koefesien kerugian yang relative rendah, tersedia dalam
ukuran yang besar, dan mampu bekerja pada head yang tinggi serta penutupan
oleh gravitasi dapat diatur.
3. Hollow Cone Valves (Howell-Bunger Valves) merupakan jenis katup yang
digunakan sebagai terminal pelepasan arus fluida pada bendungan. Dimana
5

katup jenis ini sangat efesien untuk menghilangkan energi, kontruksi yang
sederhana dengan biaya yang relative rendah. Dapat dioperasikan dengan
elektro-mekanis atau dengan hidrolika minyak. Koefesien debit yang baik,
tersedia dalam ukuran yang besar, dan sedikit penyumbatan arus pada terminal
tersebut. Namun disamping itu, seal pada lengan geser dapat bocor. Serta dapat
menjebak puing-puing namun kurang dari 4, 5 dan 6.
4. Hollow Jet Valve jenis katup ini sama halnya dengan Hollow Cone Valve
sebagai terminal pelepasan aliran. Keunggulan dari katup jenis ini adalah
penghilangan energi bisa diatur untuk dibuang ke sebuah basin (dengan sudut
tertentu). Namun kekurangan dari Hollow Jet Valve sendiri adalah kurangnya
efesiensi penghilangan energi (kurang dari 4), kofesien debit lebih rendah dari
4, biaya lebih besar, jalur fluida bisa tersumbat, dan inspeksi servis pada bagian
internal yang bergerak membutuhkan pembongkaran katup.
5. Needle Valves merupakan jenis katup yang digunakan sebagai terminal
pembuangan. Pada katup jenis ini memiliki keunggulan yaitu pembuangan
energi dapat digunakan sebagai tekanan in-line saat pembukaan katup.
6. Pressure Reducing Valves (Perforated Cylinder Type) merupakan jenis katup
yang digunakan untuk mengontrol tekanan pada pipa tertutup. Keunggulan
katup ini adalah dapat mengontrol tekanan tertutup, namun lubang-lubang pada
silinder dapat tersumbat oleh puing-puing kotoran, serta inspeksi dan
perawatan membutuhkan pembongkaran katup.
7. Sphere Valves (Rotary Valves) merupakan jenis valve yang digunakan sebagai
control penutupan aliran dalam tekanan yang tinggi. Jenis katup ini memiliki
kofesien kerugian yang rendah, penutupan sangatlah erat, dapat diproduksi
pada ukuran yang besar, mampu bekerja pada head yang tinggi, serta dapat
dipasok dengan segel perawatan. Namun biaya justru lebih besar dari 2 (Lewin,
2001).
6

2.3 Aplikasi Hollow Cone Valve

Katup Fixed Cone (Gambar 2.2) atau juga dikenal dengan Hollow Cone atau
dengan nama merek dagang Howell-Bunger (hak cipta dari Rodney Hunt
Company), biasanya digunakan untuk mengatur aliran air dari sebuah saluran
keluar pada bendungan dengan head sedang hingga head tinggi. Hollow Cone Valve
merupakan katup silindris dengan lengan geser longitudinal yang menutupi bukaan
silinder pada ujung katup. Sebuah kerucut (biasanya 90°) dipasang melingkar
diujung struktur katup guna membubarkan aliran secara radial dari bukaan antara
bbadan katup dengan lengan geser (Gerbig, 2004). Berkembangnya aliran dan
semprotan berbentuk kerucut merupakan bentuk energi yang diminimalisir sebagai
aliran debit pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Hollow Cone Valve Discharge (Courtesy of Dr. BTA Sagar)

Hollow Cone Valve memiliki rekam jejak yang terbukti dan memberikan
aliran debit yang halus, bebas operasi getaran. Hollow Cone Valve dipilih dan
dipasang sesuai dengan rekomendasi produsen, bebas kavitasi, sangat ekonomis
dan membutuhkan lebih sedikit pemeliharaan dibandingkan dengan kotrol aliran
lainnya / katup pembuang energi. Hollow Cone sendiri merupakan katup pembuang
energi yang sangat baik karena memiliki jet yang sangat dispersive (FEMA, 2010).
Hollow Cone Valve pada awalnya digunakan untuk mengalirkan secara
radial bebas ke atmosfer yang membantu untuk menghilangkan energi air tersebut.
Namun, semprotan air yang dilepaskan, sering merusak lingkungan sekitar katup.
Untuk meminimalisir hal tersebut, tudung bisa digunakan untuk mengurangi energi
pada semprotan air tersebut. Tudung bisa menjadi komponen yang terpisah.
(Gambar 2.3) atau melekat pada katup (Gambar 2.4).
7

Gambar 2.3 Hollow Cone Valve with Separate Steel Lined Hood (Alder Dam, WA)
(Courtesy of Dr. BTA Sagar)

Gambar 2.4 Hollow Cone Valve with Attached Hood (Courtesy of Lee Gerbig)

2.4 Ukuran dan Head Katup

Hollow Cone Valve tersedia pada manufaktur dengan ukuran 0,152 hingga
2,84 meter (6 - 112 inci) dan dirancang dengan ukuran head sedang hingga ukuran
head yang tinggi, 128 meter (420 feet) untuk katup yang besar, dan 428 meter (1400
feet) untuk katup yang lebih kecil. Hollow Cone Valve dibuat dalam bentuk
lingkaran untuk berpasangan dengan saluran melingkar dan pipa pesat (penstock),
biasanya menggunakan flange dengan tipe AWWA C207 (AWWA, 2013).
8

2.5 Persamaan Hidrostatis

Hubungan antara zat cair dan permukaan benda padat adalah zat cair akan
memberikan tekanan pada setiap titik permukaan batas kedua benda tersebut. Jika
tekanan disebabkan oleh alat penekan, maka nilai tekanan diukur dengan tinggi
cairan yang memberi tekanan yang sama. Jika cairan dalam keadaan diam, maka
nilai tekanan di semua titik bidang horizontal adalah sama besar. (Soedradjat,
1983). Sehingga tekanan dapat dicari dengan rumus:

p = ρ.g.h (Maryono et al, 2001)

Dimana:

p : tekanan hidrostatis (N/m2)

ρ : massa jenis air (1000 kg/m3)

g : gravitasi (m/s2)

h : tinggi tekanan air (m)

2.6 Koefisien Aliran

Zat cair yang mengalir melalui lubang berasal dari segalah arah. Ketika zat
cair melewati lubang pancaran air mengalami kontraksi, yang ditunjukkan adanya
pengucupan bentuk aliran. Kontraksi maksimum terjadi pada tampang disebelah
hilir lubang. Tampang kontaksi maksimum disebut vena kontrakta seperti Gambar
2.5.

Gambar 2.5 Vena Kontrakta


9

Aliran zat cair yang melalui lubang akan menglami kehilangan energi
sehingga aliran akan lebih kecil dibanding aliran zat cair ideal yang ditunjukkan
oleh beberapa koefesien, yaitu koefesien kontraksi kecepatan dan debit.
Nilai kontraksi (Cc) merupakan luas penampang aliran dibagi dengan nilai
vena kontrakta (ac) dengan luas lubang (a), (Cc = ac/a). Koefesien kontraksi
tergantung pada tinggi energi, bentuk, dan ukuran lubang, dengan nilai rerata
sekitar Cc = 0,64.
Sedangkan koefisien kecepatan (Cv) dapat diperoleh dengan rumus:
kecepatan nyata vena kontrakta
Cv =
keceptan teoritis
Cv = Vc/V
Nilai koefesien kecepatan tergantung pada bentuk dari sisi lubang (bulat
atau tajam) serta tinggi energinya. Nilai rerata koefesien kecepatan (Cv) adalah
0,97. Untuk nilai koefesien debit (Cd) diperoleh dengan:
debit nyata kecepatan nyata x luas nyata tampang aliran
Cd = =
debit teoritis kecepatan teoritis x luas lubang
𝑉𝑐 ac
𝐶𝑑 = 𝑥
𝑉 a
𝐶𝑑 = 𝐶𝑣 𝑥𝐶𝑐
Nilai koefesien debittergantung pada nilai Cc dan nilai Cv yang nilai reratanya
sekitar 0,62.
2.7 Persamaan Debit Maksimum

Benda cair yang bergerak akan menimbulkan gaya geser akibat viskositas
serta turbelensi yang berlawanan arah dengan gerak tersebut. Salah satunya adalah
debit. Debit sendiri merupakan volume cairan yang melewati suatu penampang tiap
satuan waktu. (Soedradjat, 1983). Dimana debit dari katup dapat dihitung dengan
rumus:

Q = Cd.A.√(2gH) (Lewin, 2001)


10

Dimana:

Q : Debit (m3/s)

Cd : Koefisien debit (sekitar 0.62-0,85)

A : Luas katup berdasarkan bagian dalam katup

H : Tinggi head pada katup

Westinghouse mengutip bahwa nilai Cd 0.85 untuk katup mereka. Sebuah studi
dengan diameter 25 meter yang dilakukan oleh Boving & Co, memberi nilai 0.83.
(Lewin, 2001).

2.8 Tekanan Pancar (Jet)

Jika nilai gaya sama besar dengan nilai arah yang berlawanan, maka
kecepatan serta arah juga akan berubah. Hal ini sesuai dengan Hukum Newton.
Dimana besarnya gaya sama dengan perubahan momentum dari aliran air tersebut.
(Soedradjat, 1983). Sehingga jika pancaran yang mengenai suatu penghalang, maka
pancaran tersebut memiliki gaya FR terhadap penghalang tersebut. Seperti gambar
2.6.

Gambar 2.6 Gaya Pancar Mengenai Dinding Cembung (Maryono et al, 2001)

Untuk mencari nilai FR dapat dicari dengan menggunakan rumus:

FR = ρ.Q.v (1-cos α) (Maryono et al, 2001)

Dimana:

FR : Gaya pancar (N)


11

ρ : Massa jenis air (1000 kg/m3)

Q : Debit air (m3/detik)

v : Kecepatan air (m/detik)

2.9 Pukulan Air Water Hammer

Energi elastik yang terdiri dari gelombang positif dan negatif akan terhenti
karena proses gesekan pada dinding pipa, akibat penutupan katup. Peristiwa ini
disebut sebagai pukulan air (Water Hammer) (Linsley et al, 1985)

Kecepatan perambatan (c) suatu gelombang tekanan didalam medium apa


pun sma dengan kecepatan suara di dalam medium yang bersangkutan (Linsley et
al, 1985) dapat dihitung dengan persamaan:

E 1/2
c=( )
ρ

Dimana:

c : Kecepatan perambatan (4.720 ft/detik atau 1440 m/detik)

E : Modulus elastis bahan

ρ : Massa jenis fluida (kg/m3)

Untuk kecepatan suatau gelombang tekanan (cp) dapat diperoleh dengan


persamaan:
1/2

1
cp = c ( )
ED
1+E t
p

Dimana:

Ep : Modulus elastis pipa

D : Garis tengah pipa (m)

T : Tebal dinding pipa (m)


12

Untuk tekanan akibat pukulan air dapat diperoleh dengan persamaan:

Ph = ρ. Cp. V

Karena adanya tekanan pukulan air dan tekanan statik, tekanan total (Pt)
pada katup segera setelah penutupan dapat diperoleh dengan persamaan Ph + p.
Dengan nilai tegangan tarikan keliling didalam dinding katup dapat dihitung
dnegan persamaan:
p. r
σ=
t

Dimana:

Pt : Tekanan total

r : Jari-jari pipa (m)

t : Tebal dinding pipa (m)

2.10 Gaya Gesek

Menurut ASTM Standard G-40-93 pada Satndar Terminologi yang


berhubungan dengan Erosi dan Keausan “Gaya gesekan merupakan gaya menahan
tangensial antarmuka antara dua benda yang bereaksi dengan sebuah gaya, yang
mana benda lain juga bergerak secara relative ke yang lain ataupun hanya diam
dengan arah tertentu. Sedangkan koefesien gesek merupakan rasio gaya yang
menolak gerakan tangensial antara dua benda dengan gaya normal yang menekan
benda-benda itu secara bersama-sama”. (Blau, 2008)

Gambar 2.7 Gambar Gesekan Antar Muka Dua Benda (Blau, 2008)
13

Sehingga gaya gesekan dapat dicari dengan rumus:

ƒs = µs x Fn (Soedradjat, 1983)

Dimana:

ƒs : Gaya Gesek (kg)

µs : Koefisien gaya gesek

Fn : gaya normal (kg)

2.11 Resultan Gaya Operasi

Resultan gaya merupakan jumlah gaya-gaya dua atau lebih, yang bekerja
pada suatu sistem ataupun dalam garis kerja tertentu. Resultan gaya sendiri dibagi
menjadi 2 jenis diantaranya:

2.11.1 Resultan Gaya Searah

Resultan gaya searah merupakan gaya yang bekerja pada satu arah yang sama.

∑F = F1 + F2

2.11.2 Resulan Gaya Berlawanan

Resultan gaya ini merupakan gaya yang bekerja dengan dua arah atau lebih yang
berbeda atau berlawanan.

∑F = F1 - F2

Dimana:

∑F : Resultan Gaya (N)

F : Gaya yang bekerja (N)

2.12 Poros

Poros befungsi untuk meneruskan tenaga dalam bentuk putaran. Poros


memiliki peranan penting dalam rangkaian mesin. Hampir semua mesin
menggunakan poros terutama pada komponen transmisi, poros memiliki peranan
utama dalam meneruskan putaran ataupun daya (Sularso dan Suga, 1987). Jenis
poros terhadap pembebanan:
14

1. Poros Transmisi
Menerima beban puntir murni dan lentur. Daya dapat diteruskan melalui
kopling, sprocket rantai, atau roda gigi, dll.
2. Spindel
Jenis poros ini harus memiliki nilai deformasi yang minim serta proses
pembuatan yanvg harus dengan teliti.
3. Gandar
Gandar dapat menerima beban lentur, atau puntir. Niasanya aplikasinya pada
gandar kereta.

2.12.1 Poros Beban Puntir

Berikut akan membahas mengenai poros yang menerima torsi:

1. Daya Rencana
Daya dapat dibagi dengan efesiensi mekanis ɳ pada transmisi untuk
memperoleh gerak awal. Koreksi pada nilai gaya dapat diperoleh dengan
menggunakan faktor koreksi pada proses perencanaan. (Sularso dan Suga, 1987).
Maka untuk mencari daya rencana Pd (kW) dengan rumus:
Pd = ƒcP(kW)

Dimana:

Pd : Daya yang direncana (kW)

ƒc : Koreksi daya (Tabel 2.1)

P : Daya nominal output motor


15

Tabel 2.1 Faktor – faktor Koreksi Daya yang Akan Ditransmisikan, ƒc

Daya yang Diteruskan ƒc

1,2 – 2
Daya rata-rata
0,8 – 1,2
Daya maksimum
1 – 1,5
Daya normal

2. Momen Puntir Rencana


Daya dalam satuan PS dapat diubah menjadi kW dengan syarat dikalikan
dengan 0,735. Momen puntir dapat diperoleh dengan rumus:

(T⁄1000)(2πn1⁄60)
Pd =
102
(Sularso dan Suga, 1987)
Sehingga,
Pd
T = 9,74 x 105
n1
(Sularso dan Suga, 1987)
Dimana:
T : Momen Puntir (kg.mm)
3. Tegangan Geser yang Diizinkan
Jika suatu diameter poros ds (mm) menerima beban momen rencana, maka
tegangan geser τ (kg/mm2) adalah
T 5,1T
τ= 3 = d 3
πd s
( 16s )

Menurut standar ASME, nilai tegangan geser sma dengan 40% dari batas
kelelahan tarik. Sedangkan batas kelelahan puntir sama dengan 18% dari kekuatan
tarik σB (kg/mm2).
Faktor keamanan diambil 5,6 untuk 18% bahan SF dan 6,0 untuk bahan S-
C dengan pengaruh masa dan baja paduan, faktor ini dinyatakan dengan Sƒ1. Untuk
memasukkan faktor pengaruh kekasaran permukaan, alur pasak, ataupun alur
bertangga perlu diambil faktor yang dinyatakan Sƒ2 dengan nilai sebesar 1,3 hingga
3,0. (Sularso dan Suga, 1987). Nilai τα dapat dicari dengan rumus:
16

τα = σB / (Sƒ1 x Sƒ2) (Sularso 1978)

Dimana:

τα : Tegangan geser yang diizinkan (kg/mm2)

σB : Kekuatan tarik (kg/mm2)

Sƒ1 : Faktor keamanan bahan

Sƒ2 : Faktor keamanan pasak


4. Diameter Poros
Keadaan momen puntir harus dipertimbangkan. Nilai Kt dipilih sebesar 1,0
jika beban halus, 1,0 – 1,5 jika terjadi sedikit kejuatan, dan 1,5 – 3,0, jika
tumbukkan besar. Selanjutnya jika ada beban lentur di masa mendatang maka dapat
ditambahkan fakto Cb, yang nilainya 1,2 – 2,3. Sebaliknya jika tidak ada
pembebanan lentur, nilai Cb sebesar 1,0. (Sularso dan Suga, 1987). Maka nilai
diameter poros ds dapat diperoleh dengan mengacu pada rumus:
1
5,1 3
ds = [ K t Cb T]
τα

Dimana:

ds : Diameter pada poros (mm)

τα : Tegangan geser yang diizinkan (kg/mm2)

Kt : Faktor koreksi momen puntir

Cb : Faktor koreksi beban lentur

T : Momen (kg.mm)

Diameter poros harus dipilih berdasarkan Tabel 2.2 Diameter Poros.


17

Tabel 2.2 Diameter Poros

Daftar Diameter Poros


4 10 *22,5 40 100 *224 400
24 (105) 240
11 25 42 110 250 420
260 440
4,5 *11,2 28 45 *112 280 450
12 30 120 300 460
*31,5 48 *315 480
5 *12,5 32 50 125 320 500
130 340 530
35 55
*5,6 14 *35,5 56 140 *355 560
(15) 150 360
6 16 38 60 160 380 600
(17) 170
*6,3 18 63 180 630
19 190
20 200
22 65 220
7 70
*7,1 71
75
8 80
85
9 90
95
Keterangan: 1. Tanda * menyatakan bahwa nilai yang bersangkutan dipilih dari bilangan
standar.
2. Bilangan di dalam kurung dipakai untuk bantalan gelinding.
2.13 Pasak
Pasak merupakan bagian pada rangkaian mesin yang digunakan untuk
menghubungkan bagian-bagian mesin seperti pada kopling, puli, roda gigi, sproket.
Momen diteruskan dari poros ke naf atau dari naf ke poros. Bahan dengan kekuatan
tarik lebih dari 60 (kg/mm2) biasanya digunakan untuk pembuatan pasak, yang
harus lebih kuat daripada porosnya. (Sularso dan Suga, 1987). Berikut merupakan
hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pasak diantaranya:

1. Gaya Tangensial
Untuk nilai gaya tengensial dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut dengan
T (kg.mm) dan ds (mm) adalah diameter maka gaya tangensial F (kg):
T
F=
(ds ⁄2)
18

2. Tegangan Geser
Menurut lambang pasak sesuai dengan Gambar 2.8, gaya geser yang bekerja
terhadapa permukaan datar b x l (mm2) oleh gaya F (kg) sehingga nilai τk
(kg/mm2) dapat dicari dengan persamaan:
F
τk =
bl

Gambar 2.8 Gaya Gesek Pada Pasak (Sularso dan Suga, 1987)

Nilai izin tegangan geser τkα (kg/mm2), dengan panjang pasak l1 (mm) yang
direncanakan dapat dihitung dengan:
𝐹
τkα ≥ 𝑏𝑙 (Sularso dan Suga, 1987)
1

Nilai tegangan geser yang diizinkan τkα (kg/mm2) adalah pembagian kekuatan tarik
σB dengan faktor keamanan Sƒk1 x Sƒk2, nilai Sƒk1 adalah 6, dan Sƒk2 adalah 1 – 1,5
pada beban perlahan, 1,5 – 3 jika beban tumbukkan ringan, dan 2 – 5 untuk
pembebanan tumbukkan berat.

3. Tekanan Permukaan Pasak


Gaya keliling F (kg) seperti gambar 2.8 bekerja pada area permukaan samping
pasak. Tinggi alur pasak pada poros adalah t1 dan tinggi alur pasak pada naf adalah
t2. Sehingga, tekanan permukaan P (kg/mm2) adalah

F
P=
l x (t1 atau t 2 )

Dimana harga tekanan permukaan yang diizinkan Pα (kg) dapat dihitung dengan
persamaan:

F
Pα ≥
l x (t1 atau t 2 )
19

Nilai Pα adalah 8 (kg/mm2) pada poros diameter kecil, 10 (kg/mm2) poros diameter
besar, dan 4 – 5 (kg/mm2) poros putaran tinggi. Ketentuan perancangan pasak
sebaiknya lebarnya adalah 25%-35% terhadap diameter poros, dengan panajang
terhadap diameter poros antara 0,75 – 1,5ds). (Sularso dan Suga, 1987).

2.14 Ulir, Baut dan Mur

Jika sebuah lembaran berbentuk segitiga digulung, maka akan berbentuk


ulir, seperti Gambar 2.9.

l : Kisar

d : Diameter efektif

β : Sudut kisar

Gambar 2.9 Ulir (Sularso dan Suga, 1987)

Umumnya ulir memiliki bentuk penampang segi tiga sama kaki. Dimana,
jarak satu puncak ke puncak berikutnya dikenal sebagai istilah jarak bagi seperti
gambar 2.10.

Gambar 2.10 Bagian – bagian Ulir (Sularso dan Suga, 1987)

Berdasarkan bentuk penampangnya, ulir diklasifikasikan menjadi:


trapesium, persegi, serta gergaji dan bulat yang digunakan untuk penggerak atau
penerus gaya. Untuk menghindari kemacetan karena kotoran, biasanya jenis bulat
20

sangat dianjurkan. (Sularso dan Suga, 1987). Gambar 2.11 menunjukkan jenis ulir
berdasarkan bentuk profil penampangnya.

Gambar 2.11 Jenis Bentuk Ulir (Sularso dan Suga, 1987)

Pemilihan jenis ulir untuk pengait ataupun penggerak harus diperhitungkan


agar tidak melebihi kapasitas yang diizinkan. Untuk ukuran ulir poros, ulir baut
ataupun mur baut, gaya yang bekerja pada poros ulir dipertimbangkan sebagai
faktor keamanan . Ukuran ulir, baut dan mur juga dapat ditentukan sesuai Tabel 2.3.
21

Tabel 2.3 Standar Metris Ukuran Baut

2.14.1 Tegangan Statis Aksial Murni


Dalam hal ini tegangan terjadi karena adanya beban aksial sepanjang sumbu
poros. Tegangan tarik ini dapat dicari dengan menggunakan rumus:
𝑊 𝑊
𝜎𝑡 = =
𝐴 (𝜋⁄4)𝑑12
22

W(kg) merupakan beban tarik aksial, σt merupakan tegangan tarik dibagian


yang berulir dengan diameter inti d1 (mm). untuk ukuran baut, poros berulir dan
baut, yang diameter luarnya d ≥ 3 (mm), besar diameter intinya adalah d1 ≈ 0,8 d,
dengan perbandingan (d1/d)2 ≈ 0.64. Tegangan yang dizinkan:
𝑊
𝜎𝑡 = ≤ 𝜎𝑎
(𝜋⁄4)(0,8𝑑)2
Maka diperoleh:

4W 2W
d≤ √ atau d ≥ √
πσa x 0,64 σa

Nilai 𝜎𝑎 berdasarkan jenis material yang digunakan, yaitu tipe SS, SF, atau
SC. Nilai 6 – 8 untuk difinis tinggi, 8 – 10 untuk difinis biasa. Material baja liat
dengan kadar nilai karbon 0,2 – 0,3%, tegangan izinnya adalah 6 (kg/mm2) untuk
tipe difinis tinggi, dan 4,8 (kg/mm2) untuk tipe difinis biasa.
2.14.2 Tekanan Permukaan Ulir
Untuk h (mm), seperti Gambar 2.12, banyaknya lilitan ulir dinyatakan z, d2
untuk diameter efektif luar, dan W (kg) sebagai gaya tarik yang bekerja maka untuk
mencari nilai tekanan permukaan ulir dengan persamaan sebagai berikut:
𝑊
𝑞= ≤ 𝑞𝑎
𝜋𝑑2 ℎ𝑧

Gambar 2.12 Tekanan Permukaan Pada Ulir (Sularso 1978).

Dimana 𝑞𝑎 merupakan nilai izin tekanan terhadap ketelitian dan kerasnya


permukaan ulir pada Tabel 2.4
23

Tabel 2.4 Tekanan Permukaan yang Diizinkan Pada Ulir (Sularso dan Suga, 1987)
Bahan Tekanan permukaan yang diizinkan 𝑞𝑎 (kg/mm2)
Ulir luar Ulir dalam Untuk pengikat Untuk penggerak
Baja liat Perunggu atau baja liat 3 1
Baja solid Perunggu atau baja liat 4 1,3
Baja solid Besi cor 1,5 0,5

Bahan Kecepatan luncur Tekanan permukaan yang diizinkan 𝑞𝑎 (kg/mm2)


Baja Perunggu Kecepatan rendah 1,8 – 2,5
Perunggu < 3 m/min 1,1 – 1,8
Iron cast < 3,4 m/min 1,3 – 1,8
Perunggu 0,6 – 1,0
6 – 12 m/min
Besi cor 0,4 – 0,7
Perunggu 15 m/min atau lebih 0,1 – 0,2
2.14.3 Tegangan Geser
Pada gambar 2.13 untuk nilai W mengakibatkan tegangan geser terhadap
area bidang silinder dengan (πd1.k.p.z) dan k.p merupakan tebal ulir luar.

Gambar 2.13 Gaya Geseran Pada Ulir (Sularso dan Suga, 1987)

Besar tegangan geser ini, τb (kg/mm2) Dapat dicari dengan persamaan berikut:
𝑊
𝜏𝑏 =
𝜋𝑑1 𝑘𝑝𝑧
Tebal ulir mur dinyatakan j.p sihingga tengan gesernya diperoleh:
𝑊
𝜏𝑏 =
𝜋𝐷𝑗𝑝𝑧

2.15 Roda Gigi


Roda gigi merupakan roda yang saling berkaitan dengan jumlah yang
bervariasi serta profil gigi yang terletak disekelilingnya yang saling berkaitan satu
sama lain untuk meneruskan daya.
24

2.15.1 Klasifikasi Roda Gigi


Roda gigi sendiri memiliki berbagai jenis, sesuai dengan kegunaanya.
Roda gigi diklasifikasikan seperti Tabel 2.5 dan Gambar 2.14.
Tabel 2.5 Klasifikasi Roda Gigi (Sularso dan Suga, 1987)
Posisi poros Jenis roda gigi Keterangan
Lurus (a)
Miring (b) Berdasarkan bentuk alur gigi
Miring ganda (c)
Poros yang sejajar
Luar Putaran yang berlawanan
Dalam dan pinion (d) Putaran sama
Batang yang bergigi dan pinion Berputar dan lurus
Kerucut lurus (f)
Kerucut spiral (g)
Kerucut ZEROL Berdasarkan jalur gigi
Poros yang
Kerucut miring
berpotongan
Kerucut miring ganda
Poros dengan perlakuan
Permukaan poros berpotongan (h)
istimewa
Miring silang (i) Titik sebagai bentuk kontak
Miring silang Bergerak lurus dan berputar
Cacing selubung ganda (Globoid) (k)
Cacing samping
Poros silang

Hyperboloid
Hipoid (l)
Permukaan silang
25

Selain transmisi sbuk dan rantai juga bisa berperan untuk meneruskan daya.
Hanya transmisi roda lebih unggul dalam meneruskan daya dengan kontruksi yang
ringkas, mampu putaran tinggi dan presisi. Pada gambar 2.14 adalah contoh macam
roda gigi.
Gambar 2.14 Macam – macam Roda Gigi (Sularso dan Suga, 1987)

2.15.2 Bagian Roda Gigi dan Ukurannya


Bagian roda gigi ditunjukkan pada Gambar 2.15. Roda gigi juga memiliki
ukuran – ukuran yang dinyatakan sesuai dengan nama bagian tersebut.

Gambar 2.14 Bagian – bagian Roda Gigi (Sularso dan Suga, 1987)

Dimana untuk mencari nilai modul dapat dicari dengan menggunakan rumus:
d
m=
z
Dengan d (mm) adalah diameter jarak bagi, serta z adalah jumlah gigi.
26

2.15.3 Perbandingan Putaran dan Perbandingan Roda Gigi


Untuk perbandingan putaran u merupakan putaran roda gigi yang
berpasangan pada poros penggerak terhadap poros yang digerakkan dapat dihitung
dengan persamaan:
z2
i=
z1
Dimana harga i merupakan banyaknya gigi pada roda gigi dibagi pinionnya.
Perbandingan sebesar 4 – 5 untuk jenis roda gigi yang lurus, dan 7 merupakan hasil
perubahan kepala yang diizinkan. Nilai 10 untuk roda gigi miring dan ganda.
Roda gigi untuk reduksi (u < 1 atau i > 1), untuk meningkatkan putaran (u
> 1 atau i < 1). Jika sumbu poros α (mm) dan diameter lingkaran jarak bagi d 1 dan
d2 (mm) maka:
d1 + d2 m(z1 + z2 )
α= =
2 2

d1 =
1+i
2α. i
d2 =
1+i
2.16 Kopling Tetap
Kopling berfungsi untuk meneruskan daya ataupun putaran secara tepat
tanpa slip dari poros penggerak ke poros yang digerakkan yang keduanya berada
sesumbu lurus untuk kopling jenis tak tetap dapat dibongkar pasang sesuai dengan
kriteria assembly. (Sularso dan Suga, 1987).
2.16.1 Macam – macam Kopling Tetap
Untuk kopling tetap tidak boleh adanya ketidaklurusan sumbu poros,
berbeda dengan kopling flexibel yang boleh serta jenis kopling universal yang
membentuk sudut besar (Gambar 2.16) dimana:
27

Gambar 2.16 Macam – macam Kopling Tetap (Sularso dan Suga, 1987)

(a) Kopling yang Kaku


(1) Dengan Bus
(2) Dengan Flens Kaku
(3) Dengan Flens Tempa
(b) Kopling yang Luwes
(1) Dengan Flens Luwes
(2) Dengan Karet Ban
(3) Dengan Karet Bintang
(4) Dengan Gigi
(5) Dengan Rantai
28

(c) Kopling jenis Universal


(1) Dengan Universal Hook
(2) Dengan Universal Kecepatan yang Tetap

2.16.2 Profil Kopling Kaku


Kopling kaku tidak memperbolehkan ketidaklurusan sumbu saat proses
assembly. Selain itu jenis kopling ini tidak mampu untuk mereduksi impact serta
getaran transmisi. Sehingga saat proses assembly sumbu harus sesumbu lurus
sebelum pemasangan pengait pada flens. Momen diperoleh dengan rumus:
Tm = 9,74 x 105 x Pd ⁄n1 (Sularso dan Suga, 1987)
Dimana:
Tm : Gaya puntir (kg.mm)
Pd : Nilai daya dengan ƒc (kW)
N : Nilai putaran poros (rpm)
Untuk menghitung nilai tegangan geser poros yang diizinkan dapat
dihitung dengan persamaan:
σB
τsa = (Sularso dan Suga, 1987)
(Sf1 x Sf2 )

Dimana:
τsa : Nilai tegangan geser poros (kg/mm2)
σB : Nilai kekuatan tarik (kg/mm2)
Sƒ : Nilai faktor keamanan
Untuk menghitung diameter poros dapat menggunakan persamaan:
1
5,1 3
𝑑𝑠 = [ 𝜏𝑎
𝐾𝑡 𝐶𝑏 𝑇𝑚 ] (Sularso dan Suga, 1987)

Dimana:
ds : Besarnya diameter poros (mm)
τsα : Nilai teganga geser poros (kg/mm2)
Tm : Nilai gaya puntir (kg.mm)
Kt : Faktor koreksi untuk puntiran
Tm : Faktor koreksi untuk lenturan
29

Pada perancangan kopling jenis flens ini juga mendapat gaya geser pada
baut, sehingga untuk menghitung gaya geser pada baut dapat menggunakan
persamaan:
8Tm
τb =
πd2r x ne x B
Dimana:
Τb : Gaya geser pada baut ((kg/mm2)
Tm : Momen puntir (kg.mm)
ne = n : Jumlah baut (pada table ukuran flens JIS B 1451 – 1962)
B : Diameter baut (mm)
Sehingga untuk menetukan besarnya tegangan geser minimum, bahan flens,
tegangan geser yang diperbolehkan pada flens, nilai tegangan geser pada flens,
diameter luar kopling, diameter poros, serta diameter baut dapat ditentukan dengan
pemilihan bahan material sesuai dengan kriteria perancangan.
2.17 Bantalan
Bantalan merupakan bagian dari rangkaian mesin yang berfungsi untuk
menopang poros yang menerima beban dinamis agar putaran bolak – balik dapat
diteruskan secara halus dan aman.
2.17.1 Klasifikasi Bantalan
Jenis bantalan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bantalan dengan Gerakan Bantalan Pada Poros


a. Bantalan Jenis Luncur.
Jenis ini yang menerima gesekan poros dengan bantalan dilengkapi dengan
pengaruh pelumas pada bantalan.
b. Bantalan Jenis Gelinding
Bantalan yang menerima gesekan terhadap bagian yang statis dan dinamis
melalui komponen rol jarum, rol burat ataupun peluru,
2. Bantalan dengan Arah Beban Terhadap Poros
a. Bantalan Jenis Radial
Bantalan yang menerima pembebanan secara tegak lurus terhadap sumbu poros.
b. Bantalan Jenis Aksial
Bantalan yang menerima pembebanan secara sesumbu dengan poros.
30

c. Bantalan Jenis Gelinding Khusus


Bantalan ini gabungan antara jenis bantalan radial dan bantalan aksial.

Anda mungkin juga menyukai