Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum
itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya
keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang
mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan
suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan
pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak
kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu
masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin
padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara
komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai
kepentingan baik individu maupun kelompok.

Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai
berikut ; Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang; tindak pidana. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar
belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang
disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah
ini akan membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak
pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?
2. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?
3. Siapa saja subjek tindak pidana ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Buku II dan buku III KUHP berisi tentang tindak pidana-tindak pidana tertentu. Tentang
bagaimana cara pembentuk UU dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya
memang tidak seragam. Dalam hal ini akan dilihat dari tiga dasar pembedaan cara dalam
merumuskan tindak pidana dalam KUHP kita, yaitu :
1. Dilihat dari sudut cara pencantuman unsur-unsur kualifikasi tindak pidana. Dari sudut ini
dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada tiga cara perumusan perbuatan pidana yaitu:
a. Mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana. Cara yang pertama ini adalah
merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan
tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif
maupun subjektif, misalnya pasal 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman),
369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (pengrusakan).
b. Mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana.
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP.
Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualifikasi, dalam
praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap
tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu, stellionaat (385), penghasutan
(!60), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan
oleh pegawai negeri (415).
c. Mencantumkan kualifikasi dan ancaman pidana. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara
ini adalah yang paling sedikit. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian.
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilator belakangi oleh
rasio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351), yang dirumuskan dengan sangat
singkat yakni: penganiayaan (mis hundeling) diancam dengan pdana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak 4500 rupiah.
2. Dilihat dari sudut titik beratnya larangan, dari sudut ini maka ada dua cara merumuskan
tindak pidana yaitu:
a. Cara formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal
melakukan larangan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu
adalah melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana yang dirumuskan secara formil ini
disebut dengan tindak pidana formil (Formeel Delict). Contoh tindakan pidana formal
adalah:
1. Pencurian yang dalam pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud
mengambil barang tanpa disebutkan akibat tertentu dari pengambilan barang itu.
2. Memalsukan surat yang dalam pasal 263 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang
berwujud membuat surat palsu, tanpa disebutkan akibat penentu dari penulisan surat palsu
itu.
b. Cara materiil
Disebut dengan rumusan materiil karena yang menjadi pokok larangan tindak pidana
adalah pada menimbulkan akibat tertentu. Titik beratnya larangan adalah para menimbulkan
akibat, sedang wujud erbuatan yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindak pidana materiil (Materiil
Delict). Contoh tindakan pidana material adalah :
1. Pembunuhan dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan
matinya orang lain, tanpa disebutkan wujud dari perbuatan itu.
2. Pembakaran rumah dengan segaja dalam pasal 187 KUHP dirumuskan sebagai
mengakibatkan kebakaran dengan segaja tanpa disebut wujud dari perbuatan itu.
3. Dilihat dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan
yang lebih ringan.

B. Jenis Delik (Tindak Pidana):


Berberatus-ratus perbuatan diancam dengan hukuman, untuk mendapatkan suatu ikhtisar
tentang segala perbuatan itu, maka perlu delik-delik atau tindak pidana tersebut dibagi menjadi
beberapa jenis yang setiap jenisnya mengandung beberapa delik yang bersamaan tentang satu
sifat. Adapun pembagian jenis-jenis tindak pidana yaitu.
1. Menurut System KUHP, dibedakan antara Kejahatan (dimuat dalam Buku II) dan
Pelanggaran (dimuat dalam Buku III).
Disebut dengan rechtsdelicten atau tindak pidana hukum, yang artinya sifat tercelanya itu
tidak semata-mata pada dimuatnya dalam UU melainkan memang pada dasarnya telah melekat
sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam UU. Walaupun sebelum
dimuat dala UU pada kejahatan telah mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada
masyarakat, jadi berupa melawan hukum materiil. Sebaliknya, wetsdelicten sifat tercelanya suatu
perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam UU. Sumber tercelanya
wetsdelicten adalah UU.
Dasar pembeda itu memiliki titik lemah karna tidak menjamin bahwa seluruh kejahatan
dalam buku II itu bersifat demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung sifat
terlarang karena dimuatnya dalam UU.
Contoh-contohnya:
a. Kejahatan (buku II): penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, pencurian.
b. Pelanggaran (buku III): pelanggaran jabatan, pelanggaran pelayaran, pelanggaran kesusilaan,
pelanggaran ketertiban umum.

Berikut beberapa perbedaan antara buku II dan buku III.:


No. Perbedaan Kejahatan Pelanggaran
1 Percobaan Dipidana Tidak dipidana
2 Membantu Dipidana Tidak dipidana
3 Daluwarsa Lebih Panjang Lebih Pendek
4 Delik Aduan Ada Tidak Ada

Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana selanjutnya masih terdapat sejumlah


pembagian-pembagiannya dari tindak pidana diantaranya:
2. Berdasarkan Perumusannya yaitu: Delik formil dan delik materiil (delik dengan
perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)

a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam
rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan
perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan
rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu
(pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak
dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah
terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal
187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara
delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3. Tindak Pidana Berdasarkan Cara Melakukannya, Delik commisionis, delik ommisionis


dan delik commisionis per ommisionen commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat
sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. Ini termasuk tindak pidana aktif.
b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan
sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di
muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan
(pasal 531 KUHP). Termasuk dalam tindak pidana pasif yang murni.
c. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaran larangan (dus
delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang
ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP),
seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP). Jenis tindak pidana yang pasif tidak murni.

4. Tindak Pidana Berdasarkan Kesalahan berupa Delik dolus dan delik culpa (doleuse en
culpose delicten)

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263,
310, 338 KUHP
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misal : pasal 195, 197,
201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.

5. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan dibedakan antara
Delik tunggal dan delik berantai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali
perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)

6. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan menjadi Delik yang
berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, mengandung sesuatu hal yang diancam hukuman. Selama hal itu tidak
berakhir selama itu delik berlaku terus. misal pasal 221: dengan sengaja menyembunyikan
seseorang sedangkan ia mengetahui yang disembunyikan tersebut dituntut dan dicari karena
sesuatu pidana. Sedangkan delik selesai ialah perbuatan-perbuatan yang selesai sesudah
perbuatan yang dilarang habis dikerjakan atau sesudah akibat yang dilarang timbul. Kebanyakan
delik bersifat berakhir atau selesai terus.

7. Delik aduan dan delik biasa (klachtdelicten en gewone delicten)


Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana
tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan delik aduan adalah tindak pidana
yang untuk dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik aduan yang absolut, ialah misal: pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya
hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
b. Delik aduan yang relative ialah misal: pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini
ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Contoh-contohnya:
a. Delik biasa: pembunuhan (338) dan lain-lain.
b. Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311), dan lain-lain.

8. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan dibedakan antara Delik


sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan
gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau
matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363).
Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal :
pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut geprivelegeerd delict. Delik
sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).

9. Jenis tindak pidana dari subjek hukumnya terdiri dari Delik Communia dan delik
propria
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak
pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delictacommunia ) dan tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan-
perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contoh-contohnya:
Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351) dan lain-lain.
Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

10. Tindak pidana berdasarkan sumbernya terdiri dari Delik Umum dan Delik Khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KHUP sebagai
kodifikasi hukum ppdn materiil. Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana
yang terdapat dalam kodifikasi tersebut.
Walaupun telah ada kodifikasi (KUHP), tetapi adanya tindak pidana diluar KHUP
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai
merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang, sesuai dengan
perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang tidak cukup efektif dengan
hanya menambahkannya pada kodifikasi (KUHP). Tindak pidana diluar KUHP tersebar didalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Peraturan perundang-undangan itu berupa
peraturan perundang-undangan pidana.
Contoh-contohnya:
a. Delik umum: KUHP.
b. Delik khusus: UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 Tahun 1997
tentang psikotropika.

11. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi maka tindak pidana tidak terbatas
macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.
Seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana
pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagianya.
C. Subyek Tindak Pidana
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana
bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung
jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana Selanjutnya,
dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming). Konsep penyertaan ini
berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak
pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam
hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat terdapat lima bentuk, yaitu sebagai berikut.
a. Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.
b. Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak
melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
c. Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan
niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan
tindak pidana yang diinginkan.
d. Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan
orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, dengan
ancaman kekerasan, penyesatan, menyalahgunakan martabat dan kekuasaan beserta
pemberian kesempatan, sebagiamana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
e. Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu
mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Saifullah, BUKU AJAR KONSEP DASAR HUKUM PIDANA, 2004, hlm. 5-7
[2] Moeljatno, ASAS-ASAS HUKUM PIDANA, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1993), hlm. 68
[3] Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama), hlm 36-38
[4] C.S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Pidana, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.
166
[5] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1985),
hlm. 202
[6] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II Fenafsiran Hukum Pidana,Dasar
Peniaadaan,pemberat dan peringan,kejahatan aduan,perbarengan dan ajaran kausalitas,
( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 117-119
[7] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II ,ibid, hlm. 16
[8] R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Serta Komentar
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, 1991), hlm. 73-75.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, hidayah, serta
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang mengenai Kualifikasi tindak
Pidana Undang-Undang Khusus ini tepat waktu.

Dalam penulisan ini penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekeliruan, olehnya
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
penulisan-penulisan selanjutnya.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya.

Banggai, Juni 2017


Penulis

ABDULLAH MONTILAMO

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................ i
...................................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana ............................................ 2


B. Jenis Delik ( Tindak Pidana )......................................................... 3
C. Subyek Tindak Pidana................................................................... 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................... 8
B. Saran.............................................................................................. 8

Daftar Pustaka

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Cara perumusan perbuatan pidana yaitu:
1. Dilihat dari sudut cara pencantuman unsur-unsur kualifikasi tindak pidana yaitu:
a. Mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.
b. Mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana.
c. Mencantumkan kualifikasi dan ancaman pidana.
2. Dilihat dari sudut titik beratnya larangan, dari sudut ini maka ada dua cara merumuskan
tindak pidana yaitu:
a. Cara formil dan materiil
3. Dilihat dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan
yang lebih ringan.
a. Perumusan dalam bentuk pokok
b. Perumusan dalam bentuk yang diperingankan dan yang diperberat
Jenis-jenis tindak pidana:
1. Menurut System KUHP, dibedakan antara Kejahatan (dimuat dalam Buku II) dan Pelanggaran
(dimuat dalam Buku III).
2. Berdasarkan Perumusannya yaitu: Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan
secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
3. Tindak Pidana Berdasarkan Cara Melakukannya, Delik commisionis, delik ommisionis dan
delik commisionis per ommisionen commissa.
4. Tindak Pidana Berdasarkan Kesalahan berupa Delik dolus dan delik culpa (doleuse en
culpose delicten)
5. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan dibedakan antara Delik
tunggal dan delik berantai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
KUALIFIKASI TINDAK PIDANA UNDANG-UNDANG KHUSUS

DI

OLEH :

ABDULLAH MONTILAMO

Anda mungkin juga menyukai