Oleh
AGUSTINUS WIDANARTO
Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan pada dua aspek, yaitu kegunaan
akademi (pengembangan ilmu), dan kegunaan praktis (guna laksana). Adapun kegunaan pada
dua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengembangan Ilmu Administrasi, khususnya yang berhubungan dengan konsep pengawasan
dan pengaruhnya terhadap kinerja Pemerintah Daerah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perumusan kebijakan publik bagi
Pemerintahan Kota Bandung, khususnya Badan Pengawasan Daerah dalam pelaksanaan
pengawasan internal, dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat
Kota Bandung dalam pelaksanaan pengawasan eksternal, guna meningkatkan kinerja
Pemerintah Kota Bandung dalam mensejahterakan masyarakat.
Konsep pengawasan internal dalam penelitian ini merujuk kepada Terry (1960:
530) yang berpendapat bahwa pengawasan internal merupakan proses menentukan
standar untuk pengawasan, mengukur hasil pekerjaan, membandingkan hasil
pekerjaan dengan standar dan memastikan perbedaan bila ada perbedaan, serta mengoreksi
penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan. perbaikan. Sedangkan konsep
pengawasan eksternal merujuk pada Lembaga Administrasi Negara (1997: 161) yang
menyatakan bahwa pengawasan eksternal terdiri dari pengawasan legislatif dan pengawasan
masyarakat. Adapun konsep kinerja pemerintah menggunakan pendapat dari Dwiyanto
(2006: 49-51) yang menyatakan bahwa kinerja pemerintah meliputi produktivitas,
kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan
dikelola kesesuaiannya dengan rencana dalam rangka pencapaian tujuan (Terry, 1960:
395). Fungsi pengawasan yang diarahkan pada: peningkatan kinerja organisasi; pemberian
opini atas kinerja organisasi; dan pemberian rekomendasi kepada manajemen untuk
melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada akan memberikan nilai
tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara intemal maupun eksternal
(Ndraha, 2003: 197). Dibandingkan pengawasan eksternal, pengawasan internal
memiliki tingkat integrasi yang lebih tinggi dengan manajemen yang diawasinya (G.R.
Terry dan Leslie W. Rue, 2001:10). Sedangkan peran DPRD dalam melakukan fungsi
pengawasan sangat penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan,
penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Posisi DPRD
yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan
menjamin objektivitas pengawasan (Budiardjo dan Ambong, 1995:180).
Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan
dikelola pengendaliannya. Dengan demikian kesesuaian pekerjaan dengan rencana
selalu dapat dievaluasi dalam rangka menjamin tercapainya, kinerja yang diharapkan.
Semakin baik pelaksanaan fungsi pengawasan internal oleh Bawasda akan mendorong
manajemen untuk lebih mampu melakukan t indakan pengendalian yang diperlukan
dalam usaha mencapai kinerja yang direncanakan. Demikian pula semakin baik
pengawasan eksternal oleh Komisi DPRD dan masyarakat, semakin rendah
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam
penyelenggaraan pemerintahan sehingga pencapian kinerja lebih dapat dicapai. Paradigm
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1:
Paradigma Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawasan ekstemal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit
pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan
demikian, dalam pengawasan ekstemal antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak lagi
terdapat hubungan kedinasan. Bentuk pengawasan ini dapat dilaksanakan oleh legislatif
(DPRD) mmaupun masyarakat.
Pengawasan eksternal, menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
(1997:160-161), dapat dibedakan menjadi:
a. Pengawasan Legislatif (Wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga
Perwakilan Rakyat baik di pusat (DPR) mmaupun di daerah (DPRD).
Pengawasan ini merupakan pengawasan politik (Waspol).
b. Pengawasan Masyarakat (Wasmas), ialah pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Umar (2006:90) menjelaskan adanya tiga
jenis pengawasan, yakni: pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan
pengawasan masyarakat.
a. Pengawasan melekat.
Istilah pengawasan melekat secara formal diadopsi dari Instruksi Presiders
No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dimana pada salah
satu pasal yakni pasal 3 menjelaskan bahwa: "setiap pimpinan di semua tingkatan
meningkatkan pengawasan melekat dan meningkatkan mutu di lingkungan tugas
masing-masing.
b. Pengawasan fungsional
Pengawasan fungsional digunakan dengan mengacu pada Inpres No. 15 tahun 1983.
Dalam pengawasan ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh aparat yang ditunjuk khusus
(exclusively assigned) yang bertugas untuk melakukan audit secara independen
terhadap obyek yang diawasinya, dalam praktiknya aparat pengawas ini melakukan
pemeriksaan dan melakukan tugas lainnya seperti melakukan verifikasi, konfirmasi, survei,
assessment dan melakukan pemantauan (monitoring) atas sesuatu yang sedang dalam
pengawasan.
c. Pengawasan masyarakat
Pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai social control, yakni
pengawasan yang tercipta karena adanya pengakuan dan kepatuhan pada norma
kelompok yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
Social control adalah pengawasan yang dilakukan secara non-formal oleh publik atau
masyarakat secara lebih luas misalnya kelompok penekan (pressure) organisasi asosiasi, LSM
dan kelompok yang berkepentingan (stakeholders).
Secara umum, menurut Sarundajang (2006:240) fungsi pengawasan adalah
untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu:
1. Meningkatkan kinerja organisasi;
2. Memberikan opini atas kinerja organisasi, dan
3. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian
kinerja yang ada.
Ada kalanya bahwa pengawasan itu perlu dilakukan oleh Pimpinan. Tujuan dari
pengawasan oleh pimpinan adalah untuk meyakinkan apakah usaha-usaha atau kegiatan-
kegiatan dalam manajemen ini sudah baik atau belum. Lagi pula pengawasan ini bukan
sesuatu yang sekali dilakukan itu sudah selesai, akan tetapi secara terus menerus dilakukan
dan pengawasan ini merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Dengan kata lain bahwa pengawasan merupakan bagian yang terintegrasi dengan manajemen,
sekalipun aparat dari pengawasan itu diusahakan sekecil mungkin.
Selanjutnya dalam prosedur, pelaksanaan dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak
sempurna, metode pengawasan tersebut harus diterapkan. Apabila teriadi ketidak-
sempumaan, hal ini berarti bahwa orang-orang yang bekerja di tempat itulah yang tidak
efektif dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan tersebut. Oleh karena itu, maka pimpinan
harus menaruh perhatian dengan menggunakan metode dan prosedur pengawasan yang
bermanfaat, jika apabila pengawasan di sini tidak dilakukan secara efektif. Dengan
demikian, maka pimpinan harus menentukan rencana, dan prosedur pengawasan yang
dapat mencapai pada hasil tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, bahwa tujuan dari
pengawasan adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan, bukan untuk mencari kesalahan
dari orang-orang yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Kaho (1982:143-144) menyatakan bahwa tujuan pengawasan adalah:
1. Untuk menjaga agar standar minimal dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat tetap dipertahankan oleh pejabat-pejabat daerah;
2. Untuk mempertahankan atau menjaga mutu standar administrasi dengan
cara menjalankan koordinasi antara pelbagai macam tingkatan pemerintah yang
ada;
3. Untuk melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat daerah;
4. Untuk mengawasi pengeluaran atau penggunaan uang yang dilakukan oleh
Pemeridtah Daerah, sebagai bagian dari manajemen dan perencanaan
ekonomi nasional;
5. Untuk mengikat rakyat dan mempersatukan rakyat yang berbeda-beda menjadi satu
bangsa.
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari pengawasan
adalah agar dalam pelaksanaan pekerjaan diperoleh hasil yang berdaya guna (efisien) dan
berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Selain mempunyai tujuan sebagaimana tersebut di atas, pengawasan juga
mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dirinci paling sedikit menjadi empat macam. Keempat
fungsi pengawasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan
wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.
2. Untuk mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan;
3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan, kelalaian dan kelemahan,
agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan;
4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak
mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.
Proses tersebut berlangsung di bawah empat prinsip kontrol yang juga adalah
prinsip organisasi. Keempat prinsip itu adalah (1) koordinasi sebagai
hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu. situasi, (2) koordinasi dengan
kontak langsung antar manusia yang berkepentingan, (3) koordinasi pada tahap
awal setiap kegiatan, dan (4) koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus
menerus. Jadi antara kontrol dengan koordinasi terdapat kaitan yang erat sekali.
Pengawasan dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap suatu
organisasi atau kelompok masyarakat, baik internal mmaupun eksternal. Dilihat dari sudut
ini, menurut Ndraha (2003:197) bahwa pengawasan dapat dilakukan misalnya oleh:
Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa
kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika
dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu previous performance), dibandingkan organisasi
lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah
ditetapkan.
Kinerja atau performance dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja. Rue dan
Byars (1981:375) mendefinisikan bahwa: Kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil
atau degree of accomplishment. Ini berarti kinerja merupakan tingkat pencapaian
tujuan organisasi. Stolovitch (dalam Rivai, 2005:14) mengatakan bahwa: kinerja
merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta
pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta". Sedangkan menurut Sedarmayanti
(2001:50), bahwa performance yang diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti "prestasi
kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja/tindakan, unjuk kerja, dan penampilan kerja".
Ndraha (2003:196) menjelaskan bahwa kerja dalam bahasa Inggris perform berarti to
act, to carry out, to execute. Kata performance mengandung arti luas. Beberapa artinya
adalah entertaiment, the act of performing, the xecution or accomplishment of work act, etc.".
Jadi performance bisa diartikan sebagai produk, dan dapat diartikan sebagai proses.
Menurut Mangkunegara (2000:67), bahwa: pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan definisi kinerja yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, maka
yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi berdasarkan tugas dan
kewajibannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Swanson (1999:73) membagi kinerja
atas tiga tingkatan, yaitu kinerja organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu.
Kinerja organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu ogmisasi
telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada;
apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja yang diinginkannya, apakah memiliki
kepemimpinan, modal, dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya,
dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah
organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan,
serta sumberdayanya.
Kinerja proses menunjukkan apakah suatu proses yang dirancang dalam organisasi
memungkinkan organisasi tersebut mencapai misinya dan tujuan para individu, didesain
sebagai suatu sistem, kemampuan untuk menghasilkan, baik secara kuantitas, kualitas,
dan tepat waktu, memberikan informasi dan factor-faktor manusia yang dibutuhkan
untuk memelihara sistem tersebut, dan apakah proses pengembangan keahlian telah sesuai
dengan tuntutan yang ada.
Kinerja individu berkaitan dengan apakah tujuan atau misi individu sesuai dengan
misi organisasi, apakah individu menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil,
apakah para individu memiliki kemampuan mental, fisik, dan emosi dalam bekerja, dan
apakah mereka memiliki motivasi tinggi, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam
bekerja.
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan manajemen kinerja, Surya Dharma (2005:25)
mengemukakan bahwa:
Manajemen Kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi
organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai
dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetansi yang telah
ditentukan..
Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang
harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia
melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sarana akan dapat
dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik pendek maupun panjang.
Bacal (2005:3) menjelaskan mengenai manajemen kinerja adalah: Proses
komunikasi yang berlangsung terus-menerus, yang dilaksanakan berdasarkan
kemitraan, antara seorang karyawan dengan penyelia langsungnya.
Lebih lanjut Bacal (2005:3-4) menyatakan bahwa manajemen kinerja meliputi
upaya membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang: a) fungsi kerja
esensial yang diharapkan dari karyawan; b) seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan
bagi pencapaian tujuan organisasi; c) apa arti konkretnya melakukan pekerjaan dengan
baik; d) bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan,
memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang; e)
bagaimana prestasi kerja akan diukur; dan f) mengenali berbagai hambatan kinerja dan
menyingkirkannya.
Sistem manajemen kinerja terdiri dari beberapa komponen (Bacal, 2005:34), yaitu:
1. Perencanaan Kinerja
Titik awal manajemen kinerja: karyawan dan manajer bekerja sama untuk
mengidentifikasikan, memahami, dan menyepakati apa yang seharusnya dikerjakan
oleh karyawan, seberapa baiknya hal itu perlu dilaksanakan, mengapa, bilamana, dan
seterusnya.
2. Komunikasi Kinerja yang Berlangsung Terus-menerus
Sebuah proses dua arah yang bekerja sepanjang tahun untuk memastikan bahwa
pelaksanaan tugas kerja berjalan sebagaimana mestinya, bahwa masalah dapat
dikenali sebelum berkembang, dan bahwa baik manajer mmaupun karyawan selalu
memperoleh informasi yang segar.
3. Pengumpulan Data, Pengamatan dan Dokumentasi
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang kinerja
organisasi atau perseorangan dengan tujuan meningkatkan kinerja.
Pengamatan merupakan cara bagi manajer untuk mengumpulkan data. Dokumentasi
adalah mencatat informasi yang dikumpulkan.
4. Pertemuan Evaluasi Kinerja
Suatu proses di mana manajer dan karyawan bekerja sama dalam menilai sampai
sejauh mana karyawan telah mencapai sasaran yang telah disepakati dan bekerja
sama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui. Biasanya merupakan
suatu pertemuan tahunan.
5. Diagnosis Kinerja dan Bimbingan
Diagnosis Kinerja adalah proses pemecahan masalah dan komunikasi, yang
digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab dasar yang sebenarnya dari
permasalahan atau kegagalan kinerja, bagi perseorangan, suatu bagian, atau
bahkan keseluruhan organisasi. Sedangkan bimbingan merupakan suatu proses di
mana seseorang yang lebih berpengetahuan mengenai suatu hal, bekerja dengan
seorang karyawan untuk membantunya mengembangkan pengetahuan dan
keahlian dalam rangka meningkatkan kinerja.
Berdasarkan hal tersebut, maka kinerja suatu organisasi pemerintah dapat dinilai
secara administratif, operasional dan strategik. Kinerja unit-unit organisasi dimana
seseorang atau sekelompok orang berada didalamnya merupakan pencerminan dari
kinerja sumber daya manusia bersangkutan. Kaitannya dengan organisasi pemerintah,
maka kinerja yang dicapai oleh organisasi tersebut merupakan pencerminan dari
kinerja aparaturnya sebagai pelaksana dan penggerak dalam mekanisme pemerintahan.
Menurut Ndraha ( 2003 : 196 ) bahwa berdasarkan teori tentang pertanggungjawaban
pemerintahan, dapat dikonstruksi pengertian kinerja pemerintahan, bahwa:
Dari sudut accountability, kinerja adalah pelaksanaan tugas atau perintah (task
accoplishment), dari segi obligation, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji
(penetapan janji), dan dari segi cause, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa)
yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan
yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala resiko (konsekuensi) nya.
Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Pengukuran kinerja merupakan tahapan yang
amat penting dalam sistem manajemen organisasi. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk
menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh organisasi.
Callahan (2003:911) menyatakan bahwa pengukuran kinerja menggambarkan sampai
seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya
terdahulu (previous performance), dibandingkan organisasi lain, dan sampai seberapa jauh
pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Sementara. Simon (2000:196)
berpendapat bahwa: Setiap alat pengukuran kinerja mampu menjelaskan bentuk priontas
yang berbeda, memungkinkan setiap pegawai untuk memasuki arah dan tujuan strategi dan
mewujudkan strategi tersebut kemudian mengkomunikasikan arah dan tujuan bisnis mereka.
Bagi setiap organisasi, pengukuran dan evaluasi kinerja merupakan suatu kegiatan
yang sangat penting. Melalui pengukuran dan evaluasi kerja dapat ditentukan
tingkat keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam mencapai misinya. Kinerja
organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai
dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada; apakah struktur
dan kebijakannya mendukung kinerja. yang diinginkannya, apakah memiliki kepemimpinan,
modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya, dan sistem
insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah organisasi
tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan, serta
sumberdayanya.
Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna
untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan
dan memuaskan penguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya
untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi
mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para. pejabat penyelenggara
pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Adanya akuntabilitas
akan mendorong organisasi pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat
yang dilayani dan menuntut perbaikan dalam pelayanan publik. Efektivitas pengukuran
kinerja pemerintahan hanya dapat menjadi kenyataan, jika dapat dirumuskan dan ditetapkan
indicator yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran
organisasi.
Organisasi publik adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan organisasi publik diukur
keberhasilannya melalui ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Untuk itu organisasi publik harus menetapkan indicator-indikator
dantarget pengukuran kinerja yang berorientasi kepada masyarakat. Pengukuran kinerja pada
organisasi publik dapat meningkatkan pertanggungjawaban dan memperbaiki proses
pengambilan keputusan. Bagi pemerintah daerah, sebagai organisasi yang mengemban fungsi
utama pemerintahan yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang
sangat penting terutama untuk mengukur pelayanan yang telah diberikan kepaa masyarakat,
dan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tahun berikutnya.
Dwiyanto (2006:47) mengemukakan bahwa:
Mengukur kinerja organisasi pelayanan publik sangat berguna untuk menilai seberapa
jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan
pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk
memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.
Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat
penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dengan
adanya informasi mengenai kinerja, maka penilaian dengan mudah dapat dilakukan dan
dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan.
Ada berbagai perspektif dalam menyusun kinerja publik. Secara garis besar, berbagai
parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan
menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari
perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua, melihat kinerja pelayanan publik dari
perspektif pengguna jasa.
Gerakan Reinventing Government menuntut agar kinerja tidak lagi diukur dengan
besarnya input dan bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mencapai output, tetapi dengan
mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat atau pelanggannya
(Osborne dan Gaebler, 1993; Barzesley, 1992; Osborne dan Plastrik, 1997.
Menurut Keban (2004: 1994-195), penilaian suatu kinerja selalu didasarkan pada
kriteria atau indikator yang diilhami oleh suatu paradigm yang dianut. Apabila paradigm
yang dianut lebih didasarkan pada manajemen klasik, maka kriteria karakter pegawai, sikap,
dan tingkah laku pegawai akan menjadi penting. Bila paradigm yang dianut lebih
berpengaruh pada manajemen sumber daya manusia, maka hasil dan partisipasi, inisiatif, dan
perkembangan pegawai akan menjadi pusat perhatian. Sedangkan apabila organisasi
menganut paradigm good governance, maka kedua-duanya akan menjadi sama pentingnya,
karena selain harus bekerja professional dan akuntabel terhadap apa yang telah dijanjikan
kepada publik, aspek transparansi, responsivitas, kepatuhan terhadap hokum, dan sebagainya,
juga harus diperhatikan.
Pengukuran kinerja dengan demikian merupakan suatu proses penilaian kemajuan
pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dansasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi
mengenai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas
barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan. Pengungkapan dan pengukuran kinerja organisasi publik (pemerintah) pada
saat ini menjadi sangat penting, karena dipergunakan sebagai salah satu cara untuk
menunjukkan akuntabilitas organisasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya kepada publik.
Berdasarkan kepentingan untuk membangun good governance, banyak organisasi
pemerintah berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan membangun dan
mengembangkan sistem manajemen pemerintahan berbasis kinerja.
Focus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja sector publik yang
berorientasi pada pengukuran hasil (outcome), tidak sekedar input dan output. Dalam istilah
Osborne dan Gaebler (1992) disebut sebagai result-oriented government, yaitu pemerintahan
yang membiayai outcomes bukan input. Konsep tersebut lahir sebagai reaksi dan
ketidakpercayaan publik kepada kinerja pemerintah dan kebangkrutan birokrasi Amerika
Serikat, sehingga memunculkan konsep reinventing government.
Prawirosentono (2008:27-32) dalam melakukan penilaian kinerja organisasi
melakukan pendekatan dari perspektif pemberi layanan. Adapun indikator yang digunakan
untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah:
1. Efektivitas dan Efisiensi
Efektivitas adalah bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan
kebutuhan yang direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang
dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan
2. Otoritas dan Tanggungjawab.
Otoritas adalah wewenang yang dimiliki seseorang untuk memerintah pada
orang lain agar melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dalam suatu
organisasi. Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tanggung jawab adalah bagian yang
tidak terpisahkan atau sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut.
Bila ada wewenang berarti dengan sendirinya muncul tanggung jawab.
3. Disiplin.
Disiplin adalah taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
4. Inislatif.
Inisiatif berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.
a) Indikator Produktivitas.
Produktivitas dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pemerintah. Namun
produktivitas bukan satu-satunya indikator kinerja organisasi pemerintah karena produktivitas
tidak akan mampu menggambarkan secara keseluruhan tingkat kemampuan pencapaian misi
dan tujuan organisasi pemerintah. Namun ini bukan berarti bahwa produktivitas tidak lagi
penting untuk menilai kinerja organisasi pemerintah. Produktivitas tetap merupakan salah
satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang penting (Perry, 1990). Produktivitas
pada umumnya dipahami sebagai konsep efisiensi atau rasio antara output dan input.
Konsep ini terasa terlalu sempit jika dikaitkan dengan misi dan tujuan organisasi
pemerintah. Hatri (1990) mengusulkan bahwa konsep produktivitas tidak hanya mengukur
efisiensi, tetapi diperluas sehingga mencakup efektivitas pelayanan.
c) Responsivitas.
Lenvile (1990) menyatakan bahwa responsivitas adalah kemampuan organisasi
untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas dalam konteks ini
adalah menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Responsivitas perlu dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena,
menggambarkan secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam menjalankan misi
dan tujuannya. Responsivitas yang rendah, seperti ditunjukkan dengan ketidakselarasan
antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, jelas menunjukkan kegagalan organisasi
pemerintah dalam mewujudkan misi dan tujuannya. Organisasi yang memiliki responsivitas
yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.
d) Responsibilitas.
Lenvile (1990) menyatakan pula bahwa responsibilitas adalah apakah pelaksanaan
kegiatan organisasi pemerintah itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik yang implisit
atau eksplisit. Karena itu responsibilitas bisa saja suatu ketika berbenturan dengan
responsivitas. Keinginan seorang pejabat organisasi pemerintah untuk meningkatkan
responsivitas bisa saja mengorbankan responsibilitas, manakala kebijakan dan prosedur
administrasi yang ada dalam organisasinya ternyata tidak lagi memadai untuk menjawab
dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Ini terjadi disebabkan dinamika
masyarakat selalu lebih cepat dari perubahan organisasi.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Dwiyanto, dkk. (2006: 49-51)
bahwa ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik, yaitu sebagai berikut:
1. Produktivitas.
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio
antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan
kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar
pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu
indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang
terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena, ketidakpuasan masyarakat
terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan
demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi pulik.
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja
adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia secara mudah
dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan sering kali
dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik.
Akibat akses terhadap infonnasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas
layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik
yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter
untuk menilai kinerja organisasi publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program
dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas
dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan
misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara
pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan
organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi
yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang
jelek pula.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan
kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implicit (Lenvine,1990). Oleh
sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi
publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah
bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan
selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas
publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja
sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas
yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat.
Organisasi itu sendiri menurut Gibson (1992:8), pada dasarnya merupakan suatu
bentuk kerjasama antara individu dan proses penggabungan aktivitas untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan bersama. Pada hakekataya organisasi itu tidak berdiri sendiri, akan
tetapi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dengan memuat banyak unsur lain
seperti keluarga, pendidikan, pemerintahan dan organisasi lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan
Pengawasan Daerah Kota Bandung dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat Kota Bandung, serta kinerja Pemerintah Kota
Bandung.
3.3. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) Kota Bandung, yaitu seluruh Perusahaan Daerah, Dinas Daerah, Sekretariat
Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Sekretariat DPRD, serta kecamatan di
lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang berjumlah 84 SKPD. Berdasarkan keadaan
populasi yang kurang dari 100, maka penelitian ini ditetapkan sebagai penelitian
sensus, dimana seluruh anggota populasi diteliti.
Analisis data kuantitatif dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) analisis
deskriptif dengan menggunakan Label frekuensi untuk mendeskripsikan
karakteristik variabel-variabel penelitian ; (2) analisis uji hipotesis dengan menggunakan
statistik deskriptif (untuk kasus sensus) yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
korelasional dan hubungan kausal melalui analisis jalur (path analysis). Kelebihan dari
analisis jalur adalah dapat menjelaskan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung,
demikian pula besar pengaruhnya, dari variabel eksogenus (penyebab). Analisis jalur
wring disebut pula sebagai causal modelling (Chun Li, 1981).
Dalam penelitian sensus seperti penelitian ini, hipotesis penelitian tidak diuji
melalui hipotesis statistik, taraf signifikansi alpha () maupun statistik uji, seperti uji F
dan uji t (Sugiyono, 2003: 112). Hal ini disebabkan hal-hal ini hanya digunakan pada
penelitian sampling yang dimaksudkan untuk menggeneralisasi hasil uji kepada
populasinya. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diuji
dengan menggunakan Koefisien Korelasi Multipel atau Ry.x1x2. Jika nilai Ry.x1x2 > 0,20
maka hipotesis penelitian diterima. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh
secara individual atau parsial diuji dengan menggunakan Koefisien Jalur atau Py.xi . Jika
nilai Py.xi > 0,20 maka hipotesis penelitian diterima. Nilai 0,20 adalah nilai batas kelas
kategori kekuatan pengaruh lemah, sebagaimana merujuk kepada Guilford (1956: 145).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
X1
Rx2x1 = 0,2239
X2
Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung
Hasil analisis mengenai pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal dapat
dilihat pada diagram jalur di bawah ini.
Gambar 3.
Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung
Persamaan struktural
*X *X
Y = PYXI l + PYX2 2 + 6
*
Y = 0,4807% + 0,2122 X2 6
2
(R = 0,3217 atau 32,17% dan R = 0,5672)
dimana : Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung
X1 = Pengawasan Internal
X2 = Pengawasan Eksternal
Besarnya pengaruh Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap
2
Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) secara simultan adalah sebesar R = 0,3217 = 32,17%.
2
Merujuk kepada nilai koefisien korelasi multipel (VR ) yaitu sebesar R = 0,5672 menunjukkan
bahwa pengaruh secara bersama-sama atau secara simultan dari kedua variabel penyebab
tersebut terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong moderat atau cukup kuat, yaitu
0,40 0,70. Dari hasil uji diperoleh bahwa Rhitung lebih besar daripada Rbatas = 0,20 (nilai batas
bawah kelas kategori kekuatan pengaruh yang lemah; Guilford; 1956:145) yang menunjukkan
bahwa Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara simultan
terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian
mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diterima. Besarnya pengaruh, dengan kata lain
juga menunjukkan besarnya variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat dijelaskan
oleh kedua variabel penyebab di atas secara simultan, yaitu sebesar 32,17%. Sisa variasi, sebesar
2 2
p y = 0,6783 atau 67,83% atau 1R , dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak diteliti.
Pengaruh langsung dan tidak langsung yang mengurai besar pengaruh total kedua variabel di atas
dapat dilihat selengkapnya pada tabel berikut:
Tabel 1.
Distribusi Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
dimana :
Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung
X1= Pengawasan Internal
X2 = Pengawasan Eksternal
Tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh terbesar terletak pada pengaruh
langsung dari Pengawasan Internal, yaitu. sebesar 23,10%; sementara kontribusi pengaruh
terkecil pada pengaruh tidak langsung, baik dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan
Eksternal maupun dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal (2,28%). Adanya
korelasi yang positif, walaupun relatif rendah, antara Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal membuat kontribusi pengaruh tidak langsung bernilai positif dan sama besar. Secara
total, pengaruh Pengawasan Internal (25,39%) relatif lebih tinggi daripada. pengaruh
Pengawasan Eksternal (6,79%).
Pengaruh Pengawasan Internal (X1) secara parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung (Y) ditunjukkan oleh koefisien jalur pyxl= 0,4807 dengan pengaruh langsung sebesar
2
P2YXI = (0,4807) x 100% = 23,10%. Dari hasil uji diperoleh bahwa pyx l lebih besar daripada
Pbatas = 0,20 (nilai pbatas adalah batas kelas kategori kekuatan pengaruh lemah) yang menunjukkan
bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh secara individual atau parsial terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian mengenai adanya
pengaruh dari Pengawasan Internal (X1) secara parsial diterima. Merujuk kepada nilai koefisien
jalur yaitu sebesar |pyxI| = 0,4807 menunjukkan bahwa pengaruh Pengawasan Internal (X 1)
secara parsial tergolong cukup kuat; yaitu. antara 0,40 0,70. Arah pengaruh Pengawasan
Internal yang positif secara parsial menunjukkan bahwa pengawasan internal yang lebih baik
pada suatu SKPD, pada derajat pengawasan eksternal yang sama, cenderung mampu
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Pengaruh Pengawasan
Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y)
disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.
Hasil Uji Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
2
Pengaruh RY.X1X2 R Y.X1X2 Kategori Kep. Kesimpulan
Simultan
Pengawasan 0,5672 32,17% Cukup Kuat R>0,20 Hipotesis
Internal (X) diterima
dan
Pengawasan
Eksternal (X
2
Pengaruh pyx1 P YX1 Kategori t Keputusan
Parsial
Pengawasan 0,4807 23,10% Cukup Kuat pyx1 > 0,20 Hipotesis
Internal (X1) diterima
Pengawasan 0,2122 4,50% Lemah pyx1 > 0,20 Hipotesis
Eksternal (X2) diterima
2
pyx1 = koefisien jalur, p yx1 = besar pengaruh langsung
Tabel di atas menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh cukup erat secara
parsial, sedangkan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung (Y) walaupun relatif lemah. Keberpengaruhan Pengawasan Eksternal
(X2) yang lemah ini menggambarkan bahwa derajat pengawasan eksternal yang lebih tinggi, pada
derajat pengawasan internal yang sama, relatif belum cukup menjamin pencapaian kinerja SKPD
yang lebih baik. Walaupun demikian, tampak bahwa secara deskriptif, arah pengaruh Pengawasan
Eksternal sesuai secara teoritis. Hal ini menggambarkan bahwa Pengawasan Eksternal belum
efektif dalam meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota Bandung.
Berdasarkan hasil model secara keseluruhan dan hasil analisis sebagaimana telah
diuraikan di atas, variabel dominan dalam model adalah: Pengawasan Internal. Tampak dari
perbandingan koefisien jalur maupun besarnya pengaruh langsung dan pengaruh total, pengaruh
Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung lebih dominan daripada
Pengawasan Eksternal.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah
Kota Bandung
Sebagai temuan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model pengaruh
Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung,
pada lingkungan SKPD-SKPD Pemerintah Kota Bandung mempunyai tingkat kesesuaian yang
cukup tinggi dan relevan dengan fakta penelitian yang ada. Hal ini tercermin dari nilai koefisien
2
determinasi pada model, yaitu sebesar R = 32,17%. Artinya, besarnya pengaruh secara bersama-
sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung adalah sebesar 32,17%. Dengan kata lain, dari sekian faktor yang secara teoritis
mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung; 32,17% variasi Kinerja Pemerintah Kota
Bandung dapat dijelaskan oleh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal. Besarnya
pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti di luar Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 67,83%. Relatif besarnya
pengaruh faktor luar menunjukkan bahwa hasil pemodelan ini masih membuka peluang
dilakukannya penelitian lanjutan untuk menyertakan faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam
analisis pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heryati (2007:185) yang
menyimpulkan bahwa pengawasan berpengaruh terhadap kinerja sebesar 63%, ini berarti kinerja
pegawai dipengaruhi sangat signifikan oleh pengawasan, walaupun masih ada variabel lain yang
juga mempengaruhi, yakni sebesar 37%.
Hasil penelitian mengenai adanya pengaruh pengawasan, baik pengawasan internal
maupun eksternal, secara simultan terhadap kinerja sesuai dengan pendapat Terry (1960:395)
yang menyatakan bahwa dengan adanya pengawasan dapat diamati apakah pelaksanaan suatu
pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan atau sebaliknya, dan bila terjadi penyimpangan
dari rencana yang telah ditetapkan, akan dapat dengan cepat ditanggulangi guna pencapaian
tujuan yang direncanakan. Fungsi pengawasan dalam membantu manajemen meliputi tiga hal,
yaitu: (1) meningkatkan kinerja organisasi, (2) memberikan opini atas kinerja organisasi dan (3)
mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada.
Fungsi ini dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan manajemen secara
cepat dan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara internal
maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197).
Faktor-faktor lain di luar pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang diduga
ikut mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung terutama adalah kinerja aparatur.
Sebagaimana merujuk kepada Weston (dalam Prawirosentono, 1999:140-142), bahwa kineda
suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun organisasi perusahaan
bergantung pada kinerja subyek pelaksananya, baik dalam kegiatan strategik, operational,
maupun administratif. Kinerja unit-unit organisasi dimana seseorang atau sekelompok orang
berada di dalamnya merupakan pencerminan dari kinerja somber daya manusianya. Selain
dipengaruhi oleh kinerja aparatur, kinerja pemerintah Kota Bandung sebagaimana merujuk
kepada Swanson (1999:73) diduga juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik dan budaya.
Demikian pula struktur organisasi, kebijakan organisasi dan kepemimpman atasan, ketersediaan
anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif
Sebagai model solusi peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung, dalam hal im
SKPD, adanya pengaruh secara bersama-sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal menunjukkan bahwa upaya peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat
dilakukan melalui usaha-usaha perbaikan Pengawasan Internal dan penyelarasan Pengawasan
Eksternal sesuai tujuan pencapaian kinerja. Upaya perbaikan dan penyelarasan seyogyanya
dilakukan dengan mengacu pada hasil analisis deskriptif mengenai kesenjangan-kesenjangan
yang masih ada, baik yang berkaitan dengan teknik pengawasan internal maupun pengawasan
eksternal, selaras dengan pencapaian kinerja yang diharapkan.
Hasil analisis yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara Pengawasan
Internal dengan Pengawasan Eksternal menunjukkan masih adanya kesenjangan atau disparitas
di antara faktor-faktor pembentuk kinerja pemerintah. Pengawasan internal yang lebih intensif
tidak cenderung seiring sejalan dengan pengawasan eksternal yang lebih intensif, demikian pula
sebaliknya. Hal ini menandakan perlunya perbaikan mekanisme pengawasan secara strategik
yang memadukan pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara sinergis dalam upaya
peningkatan kinerja di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Tidak adanya hubungan kedinasan antara Bawasda selaku pengawas internal dengan
DPRD dan masyarakat selaku pengawas eksternal semestinya tidak menjadi hambatan bagi
upaya pengawasan secara sinergis di antara keduanya. Sebagaimana merujuk kepada pendapat
Budiardjo dan Ambong (1995:180), dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD diberikan
kekuasaan untuk memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif
dalam menjalankan pemerintahan. Peran DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi
pengawasan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan
kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran DPRD dan masyarakat dalam pengawasan
eksternal ini cenderung kurang sinergis dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh
Bawasda. Dimungkinkan bahwa hal ini dalam rangka menjaga objektivitas masing-masing
pelaku pengawasan. Akan tetapi jika tujuan pengawasan menjadi tujuan bersama, sesungguhnya
sangat memungkinkan bagi Bawasda dan DPRD dan masyarakat menjalankan fungsi
pengawasannya secara sinergis, baik melalui interaksi komunikasi maupun koordinasi dengan
tetap menjaga kemandiriannya masing-masing. Dengan demikian diharapkan kombinasi
pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara terpadu dari Bawasda dan DPRD Serta
masyarakat, dapat mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah secara lebih baik yang pada
gilirannya dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas perbaikan pengawasan internal dan pengawasan
ekstemal, maka upaya yang dilakukan seyogyanya lebih diarahkan pada optimalisasi komponen-
komponen kinerja yang relatif paling senjang. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa
terdapat tujuh (7) indikator kinerja yang dinilai belum optimal relatif dibandingkan dengan dua
belas (12) indikator lainnya. Indikator-indikator tersebut adalah:
Tabel 3
Prioritas Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung
Tabel 4. 4
Prioritas Peningkatan Pengawasan Internal di Kota Bandung
Dimensi/Indikator Bobot Prioritas
Penentuan Standar Pengawasan
Penentuan Standar Pengawasan
Kejelasan aturan dalam pelaksanaan
pengawasan
Adanya pegawai yang profesional
Pengukuran Hasil Pekerjaan
Bawasda menanyakan kegiatan SKPD
Bawasda mengetahui hasil kegiatan
SKPD
Perbandingan Hasil dengan Standar
Evaluasi dari Bawasda atas hasil
kegiatan SKPD
Penilaian hasil oleh Bawasda sesuai
target yang ditentukan
Koreksi Penyimpangan
Adanya tindakan atas penyimpangan
yang terjadi
Penyerahan tanggung jawab dari
Bawasda kepada
SKPD untuk melakukan perbaikaniika
terdapat penyimpangan
Dari delapan (8) indikator teknik pengawasan internal yang dikaji, tampak bahwa
komposisi prioritas perbaikan yang seyogyanya dilakukan menjangkau seluruh dimensi
pengawasan internal. Perbaikan pengawasan internal perlu dilakukan mulai dari penentuan
standar pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, perbandingan hasil dengan standar dan koreksi
atas penyimpangan. Berkaitan dengan penentuan standar pengawasan, perbaikan terletak pada
peningkatan profesionalitas aparatur Bawasda dalam menjalankan fungsi pengawasan. Berkaitan
dengan pengukuran hasil pekerjaan, perbaikan terletak pada peningkatan kemampuan Bawasda
dalam melakukan pengukuran hasil kegiatan SKPD. Berkaitan dengan perbandingan hasil
dengan standar, perbaikan terletak pada peningkatan kemainpuan Bawasda dalam melakukan
penilaian atas kinerja SKPD sesuai dengan ketentuan. Berkaitan dengan koreksi penyimpangan,
perbaikan terletak pada peningkatan peran Bawasda dalam memantau dan mendorong
pelaksanaan tindak lanjut atas temuan-temuan penyimpangan.
Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan, hampir
semua aparat Bawasda telah melakukan secara profesional. Sebagian kecil aparat Bawasda yang
kurang profesional umumnya karena belum memiliki pengalaman yang cukup dan masih belajar.
Untuk menjaga profesionalitas aparat Bawasda, setiap aparat Bawasda yang bertugas semestinya
menunjukkan ketaatan yang tinggi, baik terhadap profesi dan/atau spesialisasinya.
Bawasda dinilai telah memberikan penilaian atas hasil pekerjaan yang dilakukan oleh
SKPD. Dalam pelaksanaan penilaian tersebut, Bawasda juga telah menyesuaikannya dengan
Rencana Kerja Pengawasan Tahunan. Walaupun demikian, kemungkinan adanya beberapa
rencana penilaian yang tidak dapat dilaksanakan semestinya dapat diantisipasi dengan
pengelolaan alokasi SDM dan waktu yang lebih baik.
Ada penilaian bahwa Bawasda memang mengetahui hasil kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh SKPD, yaitu melalui pemeriksaan reguler, evaluasi LAKIP dan laporan tiga bulanan. Hal
ini mengingat sesuai dengan fungsinya maka seluruh bidang/sub bidang di Bawasda harus
melaksanakan penyusunan dan penyampaian laporan hasil pemeriksaan dan saran tindak sesuai
dengan bidangnya.
Atas hasil yang tidak sesuai dengan rencana pada suatu SKPD, Bawasda umumnya
memberikan tindakan melalui koreksi atas berbagai hal yang tidak sesuai dengan rencana hingga
tujuan dapat tercapai. Dalam melakukan pemeriksaan, Bawasda semestinya harus selalu
membuat Naskah Hasil Pemeriksaan (NHP) yang dipaparkan secara terbuka antara Bawasda
dengan SKPD yang diawasinya agar SKPD dapat memperbaikinya sesuai tenggang waktu yang
diberikan menurut aturan.
Berdasarkan kerangka pemikiran teori sistem tiga tahap, implementasi upaya peningkatan
Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam Tahap II (Die Ubergang / Tahap Transformasi) melalui
perbaikan Pengawasan Internal dapat diskemakan pada gambar 4.6. berikut ini.
Gambar 4.4 Implementasi Upaya Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui
Perbaikan Pengawasan Internal
Tabel 4.5.
Prioritas Peningkatan Pengawasan Eksternal di Kota Bandung
Dari tujuh (7) indikator pengawasan eksternal yang dikaji, tampak bahwa komposisi
prioritas perbaikan yang seyogyanya dilakukan meliputi kedua dimensi, baik dimensi
pengawasan legislatif maupun pengawasan masyarakat. Tampak pula bahwa titik berat perbaikan
pengawasan eksternal terkonsentrasi pada perbaikan pelaksanaan pengawasan langsung oleh
DPRD. Perbaikan dalam pengawasan langsung terletak pada kunjungan kerja Komisi DPRD ke
setiap SKPD. Sedangkan dalam pengawasan masyarakat, perbaikan yang tidak kalah pentingnya
untuk dilakukan adalah mengoptimalkan hasil evaluasi dari Bawasda mengenai SKPD yang
diawasinya dalam bentuk selebaran sebagai masukan penting dalam melakukan evaluasi,
sehingga anggota Komisi DPRD dalam melaksanakan pengawasan tidak hanya mengandalkan
pengaduan/masukan dari masyarakat saja. Hal ini sesuai dengan fungsi DPRD dalam
pelaksanaan pengawasan, yaitu diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan
Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Walikota dan kebijakan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah, seperti yang tertuang di dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kota
Bandung.
Berdasarkan urutan prioritas optimalisasi kinerja sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya dan sesuai dengan kerangka pemikiran teori sistem tiga tahap, implementasi upaya
peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam Tahap II (Die Ubergang/Tahap
Transformasi) melalui perbaikan Pengawasan Eksternal diskemakan pada gambar 4.7 berikut ini.
Gambar
4.2.4. Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal dalam Rangka
Pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung
Gambar
Gambar 4.6.
Hubungan antara Pengawasan Internal Bawasda dengan Pengawasan Ekstemal DPRD Kota
Bandung
Keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal yang lemah
mengindikasikan masih rendahnya tingkat komunikasi dan koordinasi antara Bawasda dan
DPRD serta masyarakat, khususnya dalam melaksanakan ftingsi pengawasan masing-masing.
Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa pengawasan internal yang dilakukan oleh
Bawasda, baik secara keseluruhan maupun per masing-masing Tim Pengawas, memiliki tingkat
keterkaitan yang masih rendah dengan DPRD dan masyarakat, baik secara keseluruhan maupun
per masing-masing Komisi. Khususnya dalam rangka peningkatan kinerja SKPDSKPD yang
menjadi objek tugasnya.
Temuan fenomena ini dimungkinkan akibat masih rendahnya frekuensi pertemuan antara
Bawasda dengan DPRD dalam mengkomunikasikan maupun mengkoordinasikan pelaksanaan
pengawasannya dan hasil pengawasannya masing-masing. Demikian juga masih kurangnya
pemanfaatan berbagai bentuk informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan, baik dalam
pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat dari Bawasda maupun dalam pengawasan
internal oleh Bawasda dari DPRD. Kondisi ini dipicu oleh lemahnya otoritas Bawasda dan
DPRD dalam mendorong peningkatan kerjasama pengawasan. Semestinya walaupun antara
Bawasda dan DPRD serta masyarakat tidak ada hubungan kedinasan, perlu ada mekanisme yang
memungkinkan kedua lembaga pengawas ini dapat menyelaraskan pengawasannya masing-
masing dalam rangka membentuk pengawasan yang sinergis untuk mencapai kinerja yang
diharapkan.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan kerjasama antar kedua lembaga
melalui aktivitas komunikasi dan koordinasi secara terus-menerus dalam mendorong pencapaian
kinerja SKPD.
4.2.5 Pengaruh Langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
Gambar
Gambar 4.7. Pengaruh Langsung Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung
Pengaruh langsung dari Pengawasan Internal yang cukup kuat terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung mengindikasikan cukup efektifnya pengawasan internal yang
dilakukan Bawasda dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dengan kata lain, hal
ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan,
pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap
penyimpangan memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi dalam meningkatkan kinerja
SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Bawasda memiliki hubungan kedinasan
dengan SKPD yang diawasinya sehingga memungkinkan Bawasda untuk berinteraksi secara
intensif dalam melakukan kegiatan pengawasan. Walaupun tingkat efektivitas dari pengawasan
internal dari Bawasda ini cukup tinggi, namun dinilai masih dapat ditingkatkan atau
dioptimalkan. Dari hasil penelitian terungkap beberapa kendala yang melemahkan efektivitas
pengawasan internal oleh Bawasda, diantaranya terbatasnya kapasitas SDM pengawas Bawasda
relatif dibandingkan ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya serta dibandingkan dengan.
jumlah SKPD yang diawasinya. Keterbatasan kapasitas ini baik berkaitan dengan kualitas dan
terlebih lagi dengan kuantitasnya. Demikian juga masih tingginya toleransi pengawasan yang
diberikan oleh Bawasda kepada SKPD yang diawasinya, baik dalam hal pelaporan rencana dan
hasil kegiatan, penilaian hasil dan evaluasinya, maupun koreksi atas dugaan penyimpangan.
Adanya toleransi ini tampaknya merupakan salah satu kelemahan pelaksanaan pengawasan
internal di Bawasda Kota Bandung yang dimungkinkan karena kurang dapat ditegakkannya
independensi Bawasda untuk melaksanakan fungsi pengawasan dalam bentuk hubungan
kedinasan antara pengawas dengan yang diawasi. Terlebih apabila Kepala Daerah selaku
pimpinan lembaga kedinasan kurang memiliki komitmen yang tinggi untuk mendorong tegaknya
fungsi pengawasan di lingkungannya.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan pelaksanaan fungsi
pengawasan internal dari Bawasda dalam mendorong pencapaian kinerja SKPD. Model
perbaikan fungsi pengawasan internal yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar
Pengawasan Manajerial
(Penentuan standar pengawasan,
pengukuran dan pembandingan hasil
pekerjaan, dan koreksi) sesuai tahapan
kinerja yang direncanakan
Gambar 4..8. Model Perbaikan Fungsi Pengawasan Internal dalam Pencapaian Kinerja
Pemerintah Daerah Kota Bandung
Gambar
Gambar 4.9. Pengaruh Langsung Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung
Pengawasan Manajedal
(Langsung dan Tidak
Langsung sesuai tahapan
pencapaian kinerja yang
direncanakan)
4.2.7 Pengaruh tidak Langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung melalui Pengawasan Eksternal
Gambar
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal yang sangat lemah terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal mengindikasikan belum efektifnya
pengawasan internal yang dilakukan Bawasda untuk digunakan. oleh DPRD dan masyarakat
dalam melakukan pengawasan eksternal. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses
pengawasan dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan,
pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan memiliki
tingkat efektivitas yang sangat rendah dalam mendukung pengawasan eksternal oleh DPRD dan
masyarakat. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Bawasda kurang melakukan
komunikasi dan koordinasi dengan DPRD dalam rangka menyelaraskan kedua bentuk
pengawasan pada kinerja pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi perlunya
peningkatan komunikasi dan koordinasi pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari Bawasda
dan hasil-hasilnya yang dapat digunakan DPRD sebagai masukan dalam melakukan pengawasan
ekstemal untuk mendorong pencapaian kinerja SKPD. Berkaitan dengan hal ini, model
peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan ekstemal dalam pencapaian
kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.12 Model Peningkatan Efektivitas Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal
4.2.8 Pengaruh tidak Langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung melalui Pengawasan Internal
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal
merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan oleh DPRD dan masyarakat terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung melalui komunikasi dan koordinasi pengawasan tindak lanjut oleh
Bawasda.
Besarnya pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal adalah sama dengan besarnya pengaruh
tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal, yaitu sebesar 2,28%.
Besarnya pengaruh tidak langsung ini ditunjukkan oleh nilai dari hasil kali antara koefisien jalur
Pengawasan Eksternal, koefisien korelasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan
koefisien jalur Pengawasan Internal atau sebesar (pyx2) (rx2x1) (pyx1) x 100% = (0,2122) (0,4807)
(0,2239) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja
Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara tidak langsung
oleh variasi Pengawasan Internal yang beratal dari variasi Pengawasan Eksternal. Demikian pula
halnya mengenai kuatnya pengaruh Pengawasan Eksternal secara tidak langsung terhadap
Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal yang ditunjukkan oleh nilai akar
dari (pyx2) (rx2x1) (pyx1) sebesar 0,1511. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat
pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
tergolong sangat lemah.
Dalam bentuk gambar, pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal melalui
Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan. Eksternal yang sangat lemah terhadap Kineria
Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal mengindikasikan belum efektifnya
pengawasan eksternal yang dilakukan DPRD untuk digunakan oleh Bawasda dalam melakukan
pengawasan internal. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam
bentuk pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat memiliki tingkat efektivitas yang
sangat rendah dalam mendukung pengawasan internal oleh Bawasda.
Temuan fenomena ini dimungkinkan karena DPRD dan masyarakat kurang melakukan
komunikasi dan koordinasi dengan. Bawasda dalam rangka menyelaraskan kedua bentuk
pengawasan pada kinerja pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi perlunya
peningkatan komunikasi dan koordinasi pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari DPRD dan
hasil-hasilnya yang dapat digunakan Bawasda sebagai masukan dalam melakukan pengawasan
internal untuk mendorong pencapaian kinerja SKPD. Berkaitan dengan hal ini, model
peningkatan efektivitas pengawasan eksternal melalui pengawasan internal dalam pencapaian
kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.14 Model Peningkatan Efektivitas Pengawasan Eksternal Melalui Pengawasan Internal
4.2.9 Pengaruh Faktor-faktor Lain di Luar Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal yang
Mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung
Pengaruh faktor-faktor lain terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung selain dari
Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal merupakan bentuk pengaruh dari berbagai
macam faktor yang secara situasional maupun kondisional ikut memberikan pengaruh terhadap
pencapaian kinerja pemerintah daerah. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor-faktor internal
seperti: kinerja aparatur, baik yang memiliki tanggung jawab strategik, operational, maupun
administratif, struktur dan kebijakan organisasi; gaya kepemimpinan, ketersediaan anggaran dan
infrastruktur, serta sistem insentif. Dapat pula berupa faktor-faktor ekstemal seperti: partisipasi
masyarakat dan dukungan pemerintah pusat.
Besarnya pengaruh dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
adalah sebesar 67,83%. Besarnya pengaruh faktor-faktor luar ini ditunjukkan oleh nilai kuadrat
dari koefisien jalur faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau sebesar
2 2
py) x 100% = (0,8236) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi
Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dijelaskan oleh variasi faktor-
faktor luar pada kondisi tingkat Teknik Pengawasan Internal dan Pengawasan. Eksternal yang
sama. Besarnya pengaruh dari faktor-faktor luar ini sebanding dengan kuatnya pengaruh faktor-
faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang ditunjukkan oleh koefisien jalur
faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau p y = 0,8236. Berdasarkan
kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh langsung dari faktor-faktor luar terhadap
Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong kuat. Sebagaimana hasil uji, eksistensi pengaruh
faktor-faktor luar ini dapat diterima atau ada pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung.
Dalam bentuk gambar, pengaruh dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah
Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.15 Pengaruh Faktor-faktor Luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
Pengaruh dari faktor-faktor luar yang kuat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
mengindikasikan tingginya efek faktor-faktor luar terhadap pencapaian Kinerja Pemerintah Kota
Bandung. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Kinerja Pemerintah Kota Bandung
sebagai output lebih dihasilkan dari ketersediaan input-input langsung (direct input) dan tingkat
pemanfaatannya dibandingkan input-input tidak langsung (indirect input) seperti pengawasan
internal dan pengawasan eksternal. Dengan demikian, fungsi pengawasan, baik internal maupun
eksternal, adalah dalam rangka mendorong penyediaan input yang lebih efisien dan
pemanfaatannya yang lebih produktif bagi pencapaian kinerja. Oleh sebab itu, agar kinerja
Pemerintah Kota Bandung dapat lebih terjamin, seyogyanya Pemerintah Daerah perlu
memperhatikan dan meningkatkan kinerja aparaturnya, menyesuaikan struktur dan kebijakan
organisasi yang dapat menunjang kinerja organisasi, menerapkan gaya kepemimpinan yang
tepat, kecukupan anggaran, ketersediaan infrastruktur atau sarana, dan prasarana yang memadai,
serta sistem insentif yang mampu memotivasi aparatur bekerja lebih baik. Pemerintah Daerah
juga perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam pencapaian kinerjanya. Demikian juga
diperlukan dukungan pemerintah pusat, baik melalui alokasi bantuan keuangan maupun
dukungan kebijakan yang sesuai.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan daya dukung faktor-faktor luar
tersebut di atas yang mengmngi peningkatan pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari
Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat dalam mendorong pencapaian
kinerja SKPD.
Tabel 4.6
Posisi Temuan Penelitian dalam Pengembangan Teori
Tampak pada tabel di atas, proposisi temuan penelitian mendukung teori (dengan catatan)
sebagaimana telah diuraikan dalam, kerangka pemikiran dan pembahasan. Pelibatan teknik
pengawasan, baik internal maupun eksternal, dalam model kinerja atau model pencapaian tujuan
organisasi diharapkan untuk tetap dapat dipertahankan sebagai pengukuran atas proses kegiatan
pengawasan yang penting dalam menjamin terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good
governance). Terry (1960:530) serta O'Donnell dan Weinrich (1980:722) berpendapat bahwa jiwa
pengawasan terletak pada proses kegiatan untuk menjamin bahwa semua pelaksanaan beralan
sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam pengembangan model peningkatan kinerja untuk penelitian selanjutnya, model
pengaruh teknik pengawasan internal dan pengawasan ekternal terhadap kinerja pada penelitian
ini dapat dikembangkan dengan melibatkan kinerja SDM, struktur organisasi, kebijakan
organisasi, kepemimpinan, ketersediaan anggaran, ketersediaan infrastruktur, serta sistem
insentif.
Pelibatan faktor-faktor luar selain teknik pengawasan internal dan pengawasan eksternal
merupakan aplikasi konsepsi dari functional theories. Dalam kerangka middle range theories di
bidang Manajemen Pemerintahan, penelitian lanjutan diharapkan tetap dititik-beratkan pada
evaluasi kinerja dalam arti outcomes sebagaimana disarankan oleh Ndraha (2003:208).
Dalam perspektif manajemen kinerja, sebagaimana merujuk kepada Bacal (2005: 30-45),
sistem pengawasan, baik internal dan eksternal, semestinya merupakan subsistem dari sistem
manajemen kinerja. Dalam manajemen kinerja, pengawasan internal dan eksternal dilakukan
secara terus-menerus berdasarkan prinsip kemitraan antara pengawas dengan yang diawasi dalam
rangka pencapaian kinerja yang diharapkan bersama. Pengawasan juga dilakukan pada setiap
tahapan menajemen kinerja, mulai dari perencanaan kinerja, komunikasi kinerja, pengumpulan
data, pengamatan dan dokumentasi, pertemuan evaluasi kinerja, serta proses diagnosis kinerja
dan konsultasi.
Dalam perspektif manajemen kinerja, model teknik pengawasan internal dan eksternal
dalam pencapaian kinerja pemerintah daerah dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
Gambar
Gambar 4.16 Model Pengawasan Internal dan Eksternal dalam Sistem Manajemen Kinerja
Pemerintah Daerah
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
I. BUKU-BUKU
Abdulrahman, Arifin. 1979. Teori Pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan Kerja. Jakarta:
Bharata.
Albert, Lepawsky. 1960. Administration: The Art and Science of Organizational and
Management. New York: Alfred A. Knoph.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bacal, Robert. 2005. Performance Management. Alih Bahasa: Surya Dharma dan Yanuar
Irawan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bamard, Chester I. 1938. The Function of The Executive. Cambridge: Harvard University Press.
Bellone, J Carl. 1980. Organizational Theory and The New Public Administration.
Bryant, Coralie and Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan: Untuk Negara
Berkembang. Penerjemah: Rusyanto L. Simatupang. Jakarta: LP3ES.
Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambong. 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Chun Li, Ching. 1975. Path Analysis A Primer. Pittsburk: The Bookwood Press. Cikmat,
Sofyan. 1988. Kinerja. Jakarta: Gramedia.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. London:
Sage Publication.
Davis, Keith and John W. Newston. 1989. Organizational Behavior. Seventh Edition. Alih
Bahasa: Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
Dossier, Garry. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1. Alih Bahasa: Benyamin
Molan. Jakarta: Prenhallindo.
Dunn, William, N. 1995. Analisis Kebijaksanaan Publik; Alih Bahasa: Muhadjir Darwin.
Yogyakarta: Hamindita Offset.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Edstrom, Judith dan Hans Antlov. 2009. Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik.
Jakarta: Local Governance Support Program.
Frederickson, II. George. 1980. New Public Administration. Alabama USA: The University
Alabama Press.
Frederick, Carl.J. 1963. Man and His Government. New York: Mc. Graw-Hill.
Gibson, James. L. John M. Ivancevich, James H. Donelly. Jr. 1985. Organizations. Fifth
Edition. Piano Texas: Business Publication, Inc.
, 1997. Organisasi. Alih Bahasa: Nunuk Adriani. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Henry, Nicolas. 1998. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Alih Bahasa:
Luciana D. Jakarta: Rajawali.
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategic Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan
Isu. Yogyakarta: Gaya Media.
Koontz, Harold Cyril O'Donnell, and Heinz Weihrich. 1980. Management (Seven Edition).
Kogakhusa: Mc. Graw-Hill International Book Company.
Lembaga Administrasi Negara. 1992. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jilid I
dan 2. Jakarta: Haji Masagung.
Marbun, B.N. 1993. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Jakarta: Erlangga.
Mintzberg, Henry. 1994. Structure in Fives: Designing Effective Organizations. New Jersey:
Prentive Hall-Engelwood Cliffs.
Nisjar, Karhi dan Winardi. 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang
Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Osborn, David and Ted Geabler. 1993. Reinventing Government. How The Enterpreneurial
Spirit is Transforming The Public Sector. Toronto: Plume Book.
Osborn, David and Peter Plastrik. 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategy For
Reinventing Government. New York: Addison Wesley Publishing Company, Inc.
O'Donnell, Koontz and Weinrich. 1980. Management (Seventh Edition). Kogakusha: Mc.
Grave-Hill International Book Company.
Poelje, Van G.A. 1959. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (Penter emah: Mang Reng Say).
Jakarta: N.V. Soeroengan.
Rivai, Veithzal dan M. Basri Ahmad Fauzi. 2005. Performance Appraisal. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Robbins, P. Stephen. 1995. Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. Alih Bahasa: Yusup
Udaya. Jakarta: Arean.
Robbins, P. Stephen dan Mary Coulter. 2004. Manajemen. (Alih Bahasa: T. Hermaya dan Harry
Slamet). Jakarta: PT. Indeks.
Sarundajang, S.H. 2006. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
Sedarmayanti. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Mandar Maju.
Siagian, Sondang, P. 2003. (a). FilsafatAdministrasi. (Edisi Revisi) Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Simon, Herbert, A. 1984. Administrative Behavior: Perilaku Organisasi. Suatu Studi Tentang
Proses Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi Administrasi. Penerjemah: St.
Dianjung. Jakarta: Bina Aksara.
Simon, Robert. 2000. Performance Measurement and Control System for Implementing
Strategy: Text and Cases. Upper Sadle River, Prentice Hall.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (Editor) 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta:
LP3ES.
Stilman II. Richard S. 1992. Administration Concep and Cases. Boston:Houngton Miffln
Company.
Stoner, James. A.F. & Wankel, Charles. 1986. Management. Prentice-Hall Int. Edition London.
Stoner, James. A.F. & R. Edward Freeman. 1992. Management. Prentice-Hall Internasional, Inc.
Stoner, James. A.F. 1996. Manajemen. Alih Bahasa: Alfonsus Strait. Jakarta:Erlangga.
Sutherland, John W. 1978. Management Handbook For Public Administators. Van Nostrand
Renhold Company.
Terry, George. 1960. Principles of Management (Third Edition). Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Homewood.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Control
Birokrasi pada Era Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia.
, 1999. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung: Mandar
Maju.
II. DOKUMEN
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Eksemplar Lepas.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Revie Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Eksemplar Lepas.
. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung (TV No. 22 Tahun 1999 &
PP No. 84 Tahun 2000).
. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung (UU No. 32 Tahun 2004
dan PP No. 41 Tahun 2007)
. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung dan Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas,
. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas.
Heryati, Ade.2007. Pengaruh Pengawasan Terhadap Kinerja Pegawai dan Aplikasinya Pada
Kualitas Pelayanan Publik Air Bersih di PDAM Kabupaten dan Kota Bogor. (Disertasi)
Bandung: PPs-UNPAD.
Samid, Suripto. 1996. Pengaruh Satuan Pengawasan Intern dan Gaya Kepemimpinan Serta
Persepsi Bawahan Mengenai Perilaku Atasan Terhadap Upaya Manajemen dalam
Meningkatkan Profitabilitas Perusahaan (Survei Pada P. T. Perkebunan Persero di
Sumatera dll). (Disertasi), Bandung:PPs-UNPAD.
Sitepu, S.k. Nirvana. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Unit Pelayanan Statistika
Jurusan Statistik Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran.
Soejadi. 1995. Hubungan Antara Pengawasan Internal dengan Kualitas Pelayanan Medis,
Efisiensi, dan Kepuasan Pasien Rawat Inap pada kasus Manajemen Rumah Sakit Umum
Swasta yang Setingkat (Disertasi). Yogyakarta: PPs-UGM.
Tuasikal, Askam. 2006. Pengaruh Pengawasan Internal dan Eksternal, dan Pemahaman
Mengenai Sistem Akuntansi Keuangan Terhadap Pengelolaan Keuangan dan
Implikasinya Terhadap Kinerja Unit Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Studi pada
Provinsi dan Kabupaten/Kota di Maluku). (Disertasi). Bandung: PPs-UNPAD.