Anda di halaman 1dari 52

PENGARUH PENGAWASAN INTERNAL

DAN PENGAWASAN EKSTERNAL


TERHADAP KINERJA PEMERINTAHAN KOTA BANDUNG

Oleh

AGUSTINUS WIDANARTO

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai perubahan untuk


mengarah ke perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan harapan pelayanan kepada
masyarakat dapat lebih ditingkatkan. Namun dalam kenyataannya banyak pelayanan kepada
masyarakat belum optimal.
Dari penelitian pendahuluan, diperoleh informasi tentang adanya temuan-temuan
terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung yang belum sesuai dengan tolok ukur yang
telah ditetapkan. Temuan selama lima tahun anggaran melalui Laporan
Pertanggangjawaban ( LPJ) Wali Kota Bandung dan Laporan Akuntabilitas
Kineja Pemerintah (LAKIP) Badan Pengawasan Daerah Kota Bandung yaitu sebagai
berikut:
1. Tahun Anggaran 2003.
a. Temuan dari Fraksi Persatuan Pembangunan, yaitu belum adanya kejelasan
tentang penggunaan pos bantuan keuangan organisasi kemasyarakatan
(ormas) pada Bagian Pembangunan, pos bantuan pada Bagian Kesejahteraan
Rakyat (Kesra), dan pos bantuan keuangan ormas.
b. Fraksi Persatuan Pembangunan melihat adanya pengucuran dana bantuan
keuangan tersebut juga tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat.
c. Temuan dari Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) yaitu masalah
penggunaan dana pada pos dana bagi hasil dan bantuan keuangan yang belum
transparan.
d. Temuan Pansus DPRD Kota Bandung, yaitu menyoroti adanya 169 Sekolah
Dasar di Kota Bandung yang kondisinya sangat memprihatinkan dan setiap
tahun anggaran yang disediakan baru terealisasi Rp. 3 milyar dari kebutuhan
sebesar Rp. 30 milyar.
e. Temuan dari Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung, bahwa di
bidang pemerintahan kota, pelanggaran administrasi yang dilakukan aparatur
Pemerintah Kota Bandung masih tinggi, yaitu 440 temuan. Selain itu, di bidang
ekonomi, dari 3 Perusahaan Daerah yang dimiliki Kota Bandung, yaitu
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PD Badan Perkreditan Rakyat (PD
BPR), dan PD Kebersihan, ternyata baru PDAM yang dapat memberikan
kontribusi kepada pendapatan asli daerah, akan tetapi dari segi cakupan
pelayanan masih belum memenuhi standar yang ada. Apalagi kondisi PD BPR
walaupun beberapa kali dibantu APBD, tetapi tidak ada peningkatan kinerja,
malah beban hutang perusahaan terus bertambah sehingga saat ini hampir tidak
ada pelayanan perbankan di PD BPR.

2. Tahun Anggaran 2004.


Pada Tahun Anggaran 2004, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota
Bandung menemukan adanya ketidak sesuaian dalam kinerja sebanyak 445
buah, terdiri dari aspek pemeriksaan di bidang Tugas Pokok dan Fungsi
(Tupoksi) 150 temuan, SDM 70 temuan, Keuangan 84 temuan, Sarana-
prasarana 105 temuan, dan Metode kerja sebanyak 36 temuan.
3. Tahun Anggaran 2005.
Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan berbagai
pelanggaran. Pelanggaran tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan lima sasaran.
Secara kuantitatif jumlah pelanggaran itu menurun dibanding tahun 2004 yang
mencapai 445 kasus pelanggaran. Pelanggaran itu meliputi tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) sebanyak 38 temuan, SDM aparat sebanyak 79 temuan,
masalah keuangan sebanyak 153 temuan, sarana dan prasarana 127 temuan, dan
metode kerja sebanyak 8 temuan.
4. Tabun Anggaran 2006
Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan sebanyak 377
kasus temuan/ pelanggaran. Temuan ini jauh lebih sedikit bila
dibandingkan dengan temuan pada Tahun Anggaran 2005. Pelanggaran ini
meliputi aspek Tupoksi 57 temuan, SDM aparat sebanyak 48 temuan, aspek
Keuangan sebanyak 126 temuan, aspek Sarana-prasarana sebanyak 132
temuan, dan Metode kerja sebanyak 14 temuan.
5. Tabun Anggaran 2007.
Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung melakukan pemeriksaan
kinerja Pemerintah Kota Bandung terhadap 81 (delapan puluh satu) Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung pada Semester I dan Semester II,
dengan mendapatkan temuan pelanggaran seluruhnya sebanyak 681, terdiri dari 368
temuan pada Semester I dan 313 temuan pada Semester II. Jumlah temuan tersebut
justru jauh lebih banyak dibandingkan pada Tabun Anggaran 2006, dengan jumlah
SKPD sebanyak 76. Temuan pada Tabun Anggaran 2007 ini terdiri dari aspek
Tupoksi 110, aspek SDM aparat sebanyak 67, aspek Keuangan 274, aspek Sarana-
prasarana 199, dan aspek Metode kerja sebanyak 31 temuan.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan


pemerintahan daerah di Kota Bandung, pada Tahun Anggaran 2003 dan 2004 (berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999) dan pada Tahun Anggaran 2005, 2006 dan 2007
(berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004) masih diketemukan berbagai masalah.
Padahal di dalam kedua undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut, dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan pembinaan dan pengawasan
berdasarkan ketentuan Pasal 218 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan pada
Tahun Anggaran 2007 dengan dilakukan pemeriksaan sebanyak dua kali, jumlah
temuan yang diperoleh menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun
anggaran sebelumnya.
Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung
berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh
Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD Kota Bandung juga belum optimal.
Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Kota
Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung
tidak akan tercapai. Penelitian tentang pengaruh pengawasan internal dan pengawasan
eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan, agar dapat
direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan pengawasan, baik
pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.
Berdasarkan Tatar belakang di atas, problem statement penelitian ini sebagai
berikut: Pengawasan internal oleh Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD belum
efektif, sehingga kinerja Pemerintah Kota Bandung belum optimal. Dalam kajian ini,
kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintahan Kota Bandung dalam
menjalankan fungsi pelayanan publik. Pengawasan internal dibatasi pada
pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD oleh Inspektorat. Sedangkan
pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal yang dilakukan pada
SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD. Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD
sesuai fungsi pengawasan DPRD berkaitan dengan semua program/kegiatan yang
berhubungan dengan penggunaan APBD, termasuk kinerjanya. Adapun rumusan
masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Seberapa besar
pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kinerja
Pemerintah Kota Bandung?

1.2. Rumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa perubahan untuk mengarah ke perbaikan


penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah dilakukan, dengan harapan untuk lebih
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya
banyak pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah Kota Bandung belum optimal
yang ditandai oleh akuntabilitas yang rendah, kualitas layanan yang kurang, Berta
rendahnya produktivitas kerja.
Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung berkaitan erat
dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda dan
pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat Kota Bandung juga belum optimal.
Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan
Kota Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung tidak
akan tercapai. Penelitian tentang seberapa besar pengaruh pengawasan internal dan
pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan,
agar dapat direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan
pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan problem statement
penelitian ini sebagai berikut: Pengawasan internal oleh Bawasda dan pengawasan
eksternal oleh DPRD dan masyarakat belum efektif, sehingga, kinerja Pemerintah Kota
Bandung belum optimal. Dalam kajian ini, kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan
pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan
Pemerintahan Kota Bandung dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Pengawasan internal dibatasi pada pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD
oleh Bawasda. Sedangkan pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal
yang dilakukan pada SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD dan masyarakat.
Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD sesuai fungsi pengawasan DPRD
berkaitan dengan semua program/kegiatan yang berhubungan dengan
penggunaan APBD, termasuk kinerjanya.
Sebagai rumusan masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Seberapa besar pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap
kinerja Pemerintah Kota Bandung?
Selanjutnya secara lebih terperinci, rumusan masalah tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja Pemerintah Kota
Bandung?
2. Seberapa besar pengaruh pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah
Kota Bandung?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh konsep pengawasan, yang dapat
dijadikan model pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang tepat dalam mendorong
peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan internal
terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan eksternal terhadap
kinerja Pemerintah Kota Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan pada dua aspek, yaitu kegunaan
akademi (pengembangan ilmu), dan kegunaan praktis (guna laksana). Adapun kegunaan pada
dua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1.4.1. Kegunaan Akademis

Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengembangan Ilmu Administrasi, khususnya yang berhubungan dengan konsep pengawasan
dan pengaruhnya terhadap kinerja Pemerintah Daerah.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perumusan kebijakan publik bagi
Pemerintahan Kota Bandung, khususnya Badan Pengawasan Daerah dalam pelaksanaan
pengawasan internal, dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat
Kota Bandung dalam pelaksanaan pengawasan eksternal, guna meningkatkan kinerja
Pemerintah Kota Bandung dalam mensejahterakan masyarakat.

1.5. Kerangka Pemikiran

Konsep pengawasan internal dalam penelitian ini merujuk kepada Terry (1960:
530) yang berpendapat bahwa pengawasan internal merupakan proses menentukan
standar untuk pengawasan, mengukur hasil pekerjaan, membandingkan hasil
pekerjaan dengan standar dan memastikan perbedaan bila ada perbedaan, serta mengoreksi
penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan. perbaikan. Sedangkan konsep
pengawasan eksternal merujuk pada Lembaga Administrasi Negara (1997: 161) yang
menyatakan bahwa pengawasan eksternal terdiri dari pengawasan legislatif dan pengawasan
masyarakat. Adapun konsep kinerja pemerintah menggunakan pendapat dari Dwiyanto
(2006: 49-51) yang menyatakan bahwa kinerja pemerintah meliputi produktivitas,
kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan
dikelola kesesuaiannya dengan rencana dalam rangka pencapaian tujuan (Terry, 1960:
395). Fungsi pengawasan yang diarahkan pada: peningkatan kinerja organisasi; pemberian
opini atas kinerja organisasi; dan pemberian rekomendasi kepada manajemen untuk
melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada akan memberikan nilai
tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara intemal maupun eksternal
(Ndraha, 2003: 197). Dibandingkan pengawasan eksternal, pengawasan internal
memiliki tingkat integrasi yang lebih tinggi dengan manajemen yang diawasinya (G.R.
Terry dan Leslie W. Rue, 2001:10). Sedangkan peran DPRD dalam melakukan fungsi
pengawasan sangat penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan,
penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Posisi DPRD
yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan
menjamin objektivitas pengawasan (Budiardjo dan Ambong, 1995:180).
Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan
dikelola pengendaliannya. Dengan demikian kesesuaian pekerjaan dengan rencana
selalu dapat dievaluasi dalam rangka menjamin tercapainya, kinerja yang diharapkan.
Semakin baik pelaksanaan fungsi pengawasan internal oleh Bawasda akan mendorong
manajemen untuk lebih mampu melakukan t indakan pengendalian yang diperlukan
dalam usaha mencapai kinerja yang direncanakan. Demikian pula semakin baik
pengawasan eksternal oleh Komisi DPRD dan masyarakat, semakin rendah
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam
penyelenggaraan pemerintahan sehingga pencapian kinerja lebih dapat dicapai. Paradigm
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1:
Paradigma Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal

Winardi (1990:587) menyatakan bahwa: "Pengawasan dapat ditujukan ke bidang


interns mmaupun ke bidang ekstem". Pengawasan internal dari sisi pemerintah,
adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari
lingkungan internal organisasi pemerintah. Bila dirinci lebih lanjut, pengawasan internal
dapat dipilah menjadi pengawasan internal dalam arti dan pengawasan internal dalam arti
luas. Pengawasan internal dalam arti sempit adalah pengawasan internal yang dilakukan
oleh aparat pengawas yang berasal dari lingkungan internal organisasi atau lembaga negara
yang diawasi. Sedangkan pengawasan internal dalam arti luas adalah pengawasan internal
yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawas,
yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah atau lembaga eksekutif.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (1996:161) membagi pengawasan
internal ke dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Pengawasan Melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan
terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya.
b. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas
pokoknya melakukan pengawasan, seperti Itjen, Itwilprop. BPKP dan Bapeka.

Pengawasan ekstemal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit
pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan
demikian, dalam pengawasan ekstemal antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak lagi
terdapat hubungan kedinasan. Bentuk pengawasan ini dapat dilaksanakan oleh legislatif
(DPRD) mmaupun masyarakat.
Pengawasan eksternal, menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
(1997:160-161), dapat dibedakan menjadi:
a. Pengawasan Legislatif (Wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga
Perwakilan Rakyat baik di pusat (DPR) mmaupun di daerah (DPRD).
Pengawasan ini merupakan pengawasan politik (Waspol).
b. Pengawasan Masyarakat (Wasmas), ialah pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Umar (2006:90) menjelaskan adanya tiga
jenis pengawasan, yakni: pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan
pengawasan masyarakat.

a. Pengawasan melekat.
Istilah pengawasan melekat secara formal diadopsi dari Instruksi Presiders
No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dimana pada salah
satu pasal yakni pasal 3 menjelaskan bahwa: "setiap pimpinan di semua tingkatan
meningkatkan pengawasan melekat dan meningkatkan mutu di lingkungan tugas
masing-masing.

b. Pengawasan fungsional
Pengawasan fungsional digunakan dengan mengacu pada Inpres No. 15 tahun 1983.
Dalam pengawasan ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh aparat yang ditunjuk khusus
(exclusively assigned) yang bertugas untuk melakukan audit secara independen
terhadap obyek yang diawasinya, dalam praktiknya aparat pengawas ini melakukan
pemeriksaan dan melakukan tugas lainnya seperti melakukan verifikasi, konfirmasi, survei,
assessment dan melakukan pemantauan (monitoring) atas sesuatu yang sedang dalam
pengawasan.

c. Pengawasan masyarakat
Pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai social control, yakni
pengawasan yang tercipta karena adanya pengakuan dan kepatuhan pada norma
kelompok yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
Social control adalah pengawasan yang dilakukan secara non-formal oleh publik atau
masyarakat secara lebih luas misalnya kelompok penekan (pressure) organisasi asosiasi, LSM
dan kelompok yang berkepentingan (stakeholders).
Secara umum, menurut Sarundajang (2006:240) fungsi pengawasan adalah
untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu:
1. Meningkatkan kinerja organisasi;
2. Memberikan opini atas kinerja organisasi, dan
3. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian
kinerja yang ada.

Ada kalanya bahwa pengawasan itu perlu dilakukan oleh Pimpinan. Tujuan dari
pengawasan oleh pimpinan adalah untuk meyakinkan apakah usaha-usaha atau kegiatan-
kegiatan dalam manajemen ini sudah baik atau belum. Lagi pula pengawasan ini bukan
sesuatu yang sekali dilakukan itu sudah selesai, akan tetapi secara terus menerus dilakukan
dan pengawasan ini merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Dengan kata lain bahwa pengawasan merupakan bagian yang terintegrasi dengan manajemen,
sekalipun aparat dari pengawasan itu diusahakan sekecil mungkin.
Selanjutnya dalam prosedur, pelaksanaan dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak
sempurna, metode pengawasan tersebut harus diterapkan. Apabila teriadi ketidak-
sempumaan, hal ini berarti bahwa orang-orang yang bekerja di tempat itulah yang tidak
efektif dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan tersebut. Oleh karena itu, maka pimpinan
harus menaruh perhatian dengan menggunakan metode dan prosedur pengawasan yang
bermanfaat, jika apabila pengawasan di sini tidak dilakukan secara efektif. Dengan
demikian, maka pimpinan harus menentukan rencana, dan prosedur pengawasan yang
dapat mencapai pada hasil tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, bahwa tujuan dari
pengawasan adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan, bukan untuk mencari kesalahan
dari orang-orang yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Kaho (1982:143-144) menyatakan bahwa tujuan pengawasan adalah:
1. Untuk menjaga agar standar minimal dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat tetap dipertahankan oleh pejabat-pejabat daerah;
2. Untuk mempertahankan atau menjaga mutu standar administrasi dengan
cara menjalankan koordinasi antara pelbagai macam tingkatan pemerintah yang
ada;
3. Untuk melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat daerah;
4. Untuk mengawasi pengeluaran atau penggunaan uang yang dilakukan oleh
Pemeridtah Daerah, sebagai bagian dari manajemen dan perencanaan
ekonomi nasional;
5. Untuk mengikat rakyat dan mempersatukan rakyat yang berbeda-beda menjadi satu
bangsa.
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari pengawasan
adalah agar dalam pelaksanaan pekerjaan diperoleh hasil yang berdaya guna (efisien) dan
berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Selain mempunyai tujuan sebagaimana tersebut di atas, pengawasan juga
mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dirinci paling sedikit menjadi empat macam. Keempat
fungsi pengawasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan
wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.
2. Untuk mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan;
3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan, kelalaian dan kelemahan,
agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan;
4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak
mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.

Keempat fungsi pengawasan tersebut selalu terdapat di dalam setiap bentuk


pengawasan, baik yang berskala besar mmaupun kecil. Agar suatu pengawasan
dapat melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya, maka peranan pimpinan pun perlu
mendapat perhatian dalam setiap proses pengawasan.
Luther Gulick dan L. Urwick (dalam Ndraha, 2003:197) berbicara tentang control
sebagai proses sebagai berikut:

Proses tersebut berlangsung di bawah empat prinsip kontrol yang juga adalah
prinsip organisasi. Keempat prinsip itu adalah (1) koordinasi sebagai
hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu. situasi, (2) koordinasi dengan
kontak langsung antar manusia yang berkepentingan, (3) koordinasi pada tahap
awal setiap kegiatan, dan (4) koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus
menerus. Jadi antara kontrol dengan koordinasi terdapat kaitan yang erat sekali.

Pengawasan dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap suatu
organisasi atau kelompok masyarakat, baik internal mmaupun eksternal. Dilihat dari sudut
ini, menurut Ndraha (2003:197) bahwa pengawasan dapat dilakukan misalnya oleh:

1. Atasan terhadap bawahan.


2. Unit kerja kontrol, baik internal mmaupun ekstemal terhadap organisasi yang
berada di dalam lingkungan kompetensinya.
3. Konsumer atau pelanggan terhadap produser atau penjual.
4. Mekanisme built-in-control terhadap organisasi yang bersangkutan.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengawasan daerah


dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk
menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang
sudah terjadi berdasarkan standar yang telah disepakati dalam hal ini peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dengan demikian, pengawasan akan memberikan nilai
tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara pemerintahan daerah.
Menurut Bellone (1980:268 -270) bahwa dalam sebuah organisasi
(pemerintah), pengawasan merupakan masalah yang sangat penting untuk
mendapatkan perhatian, karena pengawasan merupakan upaya untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam sektor organisasi pemerintahan, pengawasan akan dapat menumbuhkan
kepercayaan publik dari pihak-pihak yang terkait dalam organisasi. Dalam sektor organisasi
pemerintahan, terdapat 3 pilar utama, yakni: rakyat, wakil rakyat dan pemerintah. Dalam
menjalankan pemerintahan, pemerintah diawasi oleh rakyat melalui wakil rakyat. Bahkan
rakyat melalui LSM ikut mengawasi kinerja pemerintah agar supaya berjalan sesuai dengan
tujuan pemerintah.
Memperhatikan adanya berbagai konsep pengawasan di atas, jelaslah bahwa
pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi termasuk
diantaranya organisasi pemerintah, karena pengawasan dilakukan dalam upaya untuk
meyakinkan bahwa implementasi suatu aturan/kebijakan telah sesuai dengan yang
diharapkan. Pengawasan juga bermanfaat dalam penentuan keputusan selanjutnya
dalam upaya untuk menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan, dan mencegah berulangnya
kesalahan, penyimpangan.

2.2. Konsep Kinerja

Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa
kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika
dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu previous performance), dibandingkan organisasi
lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah
ditetapkan.
Kinerja atau performance dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja. Rue dan
Byars (1981:375) mendefinisikan bahwa: Kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil
atau degree of accomplishment. Ini berarti kinerja merupakan tingkat pencapaian
tujuan organisasi. Stolovitch (dalam Rivai, 2005:14) mengatakan bahwa: kinerja
merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta
pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta". Sedangkan menurut Sedarmayanti
(2001:50), bahwa performance yang diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti "prestasi
kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja/tindakan, unjuk kerja, dan penampilan kerja".
Ndraha (2003:196) menjelaskan bahwa kerja dalam bahasa Inggris perform berarti to
act, to carry out, to execute. Kata performance mengandung arti luas. Beberapa artinya
adalah entertaiment, the act of performing, the xecution or accomplishment of work act, etc.".
Jadi performance bisa diartikan sebagai produk, dan dapat diartikan sebagai proses.
Menurut Mangkunegara (2000:67), bahwa: pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan definisi kinerja yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, maka
yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi berdasarkan tugas dan
kewajibannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Swanson (1999:73) membagi kinerja
atas tiga tingkatan, yaitu kinerja organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu.
Kinerja organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu ogmisasi
telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada;
apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja yang diinginkannya, apakah memiliki
kepemimpinan, modal, dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya,
dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah
organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan,
serta sumberdayanya.
Kinerja proses menunjukkan apakah suatu proses yang dirancang dalam organisasi
memungkinkan organisasi tersebut mencapai misinya dan tujuan para individu, didesain
sebagai suatu sistem, kemampuan untuk menghasilkan, baik secara kuantitas, kualitas,
dan tepat waktu, memberikan informasi dan factor-faktor manusia yang dibutuhkan
untuk memelihara sistem tersebut, dan apakah proses pengembangan keahlian telah sesuai
dengan tuntutan yang ada.
Kinerja individu berkaitan dengan apakah tujuan atau misi individu sesuai dengan
misi organisasi, apakah individu menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil,
apakah para individu memiliki kemampuan mental, fisik, dan emosi dalam bekerja, dan
apakah mereka memiliki motivasi tinggi, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam
bekerja.
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan manajemen kinerja, Surya Dharma (2005:25)
mengemukakan bahwa:

Manajemen Kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi
organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai
dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetansi yang telah
ditentukan..

Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang
harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia
melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sarana akan dapat
dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik pendek maupun panjang.
Bacal (2005:3) menjelaskan mengenai manajemen kinerja adalah: Proses
komunikasi yang berlangsung terus-menerus, yang dilaksanakan berdasarkan
kemitraan, antara seorang karyawan dengan penyelia langsungnya.
Lebih lanjut Bacal (2005:3-4) menyatakan bahwa manajemen kinerja meliputi
upaya membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang: a) fungsi kerja
esensial yang diharapkan dari karyawan; b) seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan
bagi pencapaian tujuan organisasi; c) apa arti konkretnya melakukan pekerjaan dengan
baik; d) bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan,
memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang; e)
bagaimana prestasi kerja akan diukur; dan f) mengenali berbagai hambatan kinerja dan
menyingkirkannya.
Sistem manajemen kinerja terdiri dari beberapa komponen (Bacal, 2005:34), yaitu:
1. Perencanaan Kinerja
Titik awal manajemen kinerja: karyawan dan manajer bekerja sama untuk
mengidentifikasikan, memahami, dan menyepakati apa yang seharusnya dikerjakan
oleh karyawan, seberapa baiknya hal itu perlu dilaksanakan, mengapa, bilamana, dan
seterusnya.
2. Komunikasi Kinerja yang Berlangsung Terus-menerus
Sebuah proses dua arah yang bekerja sepanjang tahun untuk memastikan bahwa
pelaksanaan tugas kerja berjalan sebagaimana mestinya, bahwa masalah dapat
dikenali sebelum berkembang, dan bahwa baik manajer mmaupun karyawan selalu
memperoleh informasi yang segar.
3. Pengumpulan Data, Pengamatan dan Dokumentasi
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang kinerja
organisasi atau perseorangan dengan tujuan meningkatkan kinerja.
Pengamatan merupakan cara bagi manajer untuk mengumpulkan data. Dokumentasi
adalah mencatat informasi yang dikumpulkan.
4. Pertemuan Evaluasi Kinerja
Suatu proses di mana manajer dan karyawan bekerja sama dalam menilai sampai
sejauh mana karyawan telah mencapai sasaran yang telah disepakati dan bekerja
sama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui. Biasanya merupakan
suatu pertemuan tahunan.
5. Diagnosis Kinerja dan Bimbingan
Diagnosis Kinerja adalah proses pemecahan masalah dan komunikasi, yang
digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab dasar yang sebenarnya dari
permasalahan atau kegagalan kinerja, bagi perseorangan, suatu bagian, atau
bahkan keseluruhan organisasi. Sedangkan bimbingan merupakan suatu proses di
mana seseorang yang lebih berpengetahuan mengenai suatu hal, bekerja dengan
seorang karyawan untuk membantunya mengembangkan pengetahuan dan
keahlian dalam rangka meningkatkan kinerja.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pada Pasal 1 ayat ( 2) Peraturan


Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah, disebutkan bahwa: Kinerja adalah keluaran/ hasil dari
kegiatan/ program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan
penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Selanjutnya dikemukakan
pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, bahwa: Laporan
Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian
Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD.
Kinerja suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun
organisasi perusahaan bergantung pada kinerja subyek pelaksananya. Menurut Weston (dalam
Prawirosentono, 2008:140-142), bahwa di dalam suatu organisasi dikenal 3 jenis kinerja,
yakni:
1. Kinerja Administratif (administrative performance)
Kinerja administratif berkaitan dengan kinerja administrasi organisasi. Termasuk
didalamnya tentang struktur administratif yang mengatur hubungan otoritas
(wewenang) dan tanggung-jawab dari orang yang menduduki jabatan atau bekerja
pada unit-unit kerja yang terdapat dalam organisasi. Di samping itu, kinerja
administratif berkaitan dengan kinerja dari mekanisme aliran informasi antar unit
kerja dalam organisasi, agar tercapai sinkronisasi kerja antar unit kerja.
2. Kinerja Operasional (operational performance)
Kinerja operational berkaitan dengan efektivitas penggunaan setiap sumber daya yang
digunakan perusahaan. Kemampuan mencapai efektivitas penggunaan sumber daya
(modal, bahan baku, teknologi, d1l) bergantung kepada sumberdaya manusia yang
mengerjakannya.
3. Kinerja Strategik (strategic performance)
Kinerja strategik suatu perusahaan dievaluasi atas ketepatan perusahaan dalam
memilih lingkungannya dan kemampuan adaptasi (penyesuaian) perusahaan
bersangkutan atas lingkungan hidupnya dimana dia beroperasi.

Berdasarkan hal tersebut, maka kinerja suatu organisasi pemerintah dapat dinilai
secara administratif, operasional dan strategik. Kinerja unit-unit organisasi dimana
seseorang atau sekelompok orang berada didalamnya merupakan pencerminan dari
kinerja sumber daya manusia bersangkutan. Kaitannya dengan organisasi pemerintah,
maka kinerja yang dicapai oleh organisasi tersebut merupakan pencerminan dari
kinerja aparaturnya sebagai pelaksana dan penggerak dalam mekanisme pemerintahan.
Menurut Ndraha ( 2003 : 196 ) bahwa berdasarkan teori tentang pertanggungjawaban
pemerintahan, dapat dikonstruksi pengertian kinerja pemerintahan, bahwa:
Dari sudut accountability, kinerja adalah pelaksanaan tugas atau perintah (task
accoplishment), dari segi obligation, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji
(penetapan janji), dan dari segi cause, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa)
yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan
yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala resiko (konsekuensi) nya.
Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Pengukuran kinerja merupakan tahapan yang
amat penting dalam sistem manajemen organisasi. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk
menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh organisasi.
Callahan (2003:911) menyatakan bahwa pengukuran kinerja menggambarkan sampai
seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya
terdahulu (previous performance), dibandingkan organisasi lain, dan sampai seberapa jauh
pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Sementara. Simon (2000:196)
berpendapat bahwa: Setiap alat pengukuran kinerja mampu menjelaskan bentuk priontas
yang berbeda, memungkinkan setiap pegawai untuk memasuki arah dan tujuan strategi dan
mewujudkan strategi tersebut kemudian mengkomunikasikan arah dan tujuan bisnis mereka.
Bagi setiap organisasi, pengukuran dan evaluasi kinerja merupakan suatu kegiatan
yang sangat penting. Melalui pengukuran dan evaluasi kerja dapat ditentukan
tingkat keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam mencapai misinya. Kinerja
organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai
dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada; apakah struktur
dan kebijakannya mendukung kinerja. yang diinginkannya, apakah memiliki kepemimpinan,
modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya, dan sistem
insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah organisasi
tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan, serta
sumberdayanya.
Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna
untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan
dan memuaskan penguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya
untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi
mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para. pejabat penyelenggara
pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Adanya akuntabilitas
akan mendorong organisasi pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat
yang dilayani dan menuntut perbaikan dalam pelayanan publik. Efektivitas pengukuran
kinerja pemerintahan hanya dapat menjadi kenyataan, jika dapat dirumuskan dan ditetapkan
indicator yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran
organisasi.
Organisasi publik adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan organisasi publik diukur
keberhasilannya melalui ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Untuk itu organisasi publik harus menetapkan indicator-indikator
dantarget pengukuran kinerja yang berorientasi kepada masyarakat. Pengukuran kinerja pada
organisasi publik dapat meningkatkan pertanggungjawaban dan memperbaiki proses
pengambilan keputusan. Bagi pemerintah daerah, sebagai organisasi yang mengemban fungsi
utama pemerintahan yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang
sangat penting terutama untuk mengukur pelayanan yang telah diberikan kepaa masyarakat,
dan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tahun berikutnya.
Dwiyanto (2006:47) mengemukakan bahwa:
Mengukur kinerja organisasi pelayanan publik sangat berguna untuk menilai seberapa
jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan
pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk
memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.
Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat
penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dengan
adanya informasi mengenai kinerja, maka penilaian dengan mudah dapat dilakukan dan
dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan.
Ada berbagai perspektif dalam menyusun kinerja publik. Secara garis besar, berbagai
parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan
menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari
perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua, melihat kinerja pelayanan publik dari
perspektif pengguna jasa.
Gerakan Reinventing Government menuntut agar kinerja tidak lagi diukur dengan
besarnya input dan bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mencapai output, tetapi dengan
mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat atau pelanggannya
(Osborne dan Gaebler, 1993; Barzesley, 1992; Osborne dan Plastrik, 1997.
Menurut Keban (2004: 1994-195), penilaian suatu kinerja selalu didasarkan pada
kriteria atau indikator yang diilhami oleh suatu paradigm yang dianut. Apabila paradigm
yang dianut lebih didasarkan pada manajemen klasik, maka kriteria karakter pegawai, sikap,
dan tingkah laku pegawai akan menjadi penting. Bila paradigm yang dianut lebih
berpengaruh pada manajemen sumber daya manusia, maka hasil dan partisipasi, inisiatif, dan
perkembangan pegawai akan menjadi pusat perhatian. Sedangkan apabila organisasi
menganut paradigm good governance, maka kedua-duanya akan menjadi sama pentingnya,
karena selain harus bekerja professional dan akuntabel terhadap apa yang telah dijanjikan
kepada publik, aspek transparansi, responsivitas, kepatuhan terhadap hokum, dan sebagainya,
juga harus diperhatikan.
Pengukuran kinerja dengan demikian merupakan suatu proses penilaian kemajuan
pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dansasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi
mengenai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas
barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan. Pengungkapan dan pengukuran kinerja organisasi publik (pemerintah) pada
saat ini menjadi sangat penting, karena dipergunakan sebagai salah satu cara untuk
menunjukkan akuntabilitas organisasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya kepada publik.
Berdasarkan kepentingan untuk membangun good governance, banyak organisasi
pemerintah berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan membangun dan
mengembangkan sistem manajemen pemerintahan berbasis kinerja.
Focus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja sector publik yang
berorientasi pada pengukuran hasil (outcome), tidak sekedar input dan output. Dalam istilah
Osborne dan Gaebler (1992) disebut sebagai result-oriented government, yaitu pemerintahan
yang membiayai outcomes bukan input. Konsep tersebut lahir sebagai reaksi dan
ketidakpercayaan publik kepada kinerja pemerintah dan kebangkrutan birokrasi Amerika
Serikat, sehingga memunculkan konsep reinventing government.
Prawirosentono (2008:27-32) dalam melakukan penilaian kinerja organisasi
melakukan pendekatan dari perspektif pemberi layanan. Adapun indikator yang digunakan
untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah:
1. Efektivitas dan Efisiensi
Efektivitas adalah bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan
kebutuhan yang direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang
dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan
2. Otoritas dan Tanggungjawab.
Otoritas adalah wewenang yang dimiliki seseorang untuk memerintah pada
orang lain agar melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dalam suatu
organisasi. Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tanggung jawab adalah bagian yang
tidak terpisahkan atau sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut.
Bila ada wewenang berarti dengan sendirinya muncul tanggung jawab.
3. Disiplin.
Disiplin adalah taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
4. Inislatif.
Inisiatif berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

Indikator kinerja penyelenggaraan pemerintahan menurut Mc. Donald dan


Lawton (dalam Sadu Wasistiono dkk, 2002:47), adalah output, oriented
measures, throughout, efficiency and effectiveness. Masih dalam buku yang sama,
Sadu Wasistiono dkk. (2002:48) mengutip pendapat Lenvile mengenai tiga konsep yang biasa
digunakan sebagai indikator kinerja untuk mengukur kinerja organisasi pemerintah,
antara lain: responsiveness, responsibility, and accountability.
Dalam kaitan ini, Sadu Wasistiono dkk. ( 2002: 48 -50) menjelaskan beberapa
indikator yang kiranya dapat dijadikan ukuran yang menggambarkan dan menjelaskan tingkat
pencapaian misi dan tujuan organisasi pemerintah sebagai berikut:

a) Indikator Produktivitas.
Produktivitas dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pemerintah. Namun
produktivitas bukan satu-satunya indikator kinerja organisasi pemerintah karena produktivitas
tidak akan mampu menggambarkan secara keseluruhan tingkat kemampuan pencapaian misi
dan tujuan organisasi pemerintah. Namun ini bukan berarti bahwa produktivitas tidak lagi
penting untuk menilai kinerja organisasi pemerintah. Produktivitas tetap merupakan salah
satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang penting (Perry, 1990). Produktivitas
pada umumnya dipahami sebagai konsep efisiensi atau rasio antara output dan input.
Konsep ini terasa terlalu sempit jika dikaitkan dengan misi dan tujuan organisasi
pemerintah. Hatri (1990) mengusulkan bahwa konsep produktivitas tidak hanya mengukur
efisiensi, tetapi diperluas sehingga mencakup efektivitas pelayanan.

b) Indikator Kualitas Layanan


Quality of services atau kualitas layanan kini menjadi isu yang semakin penting
dalam menjelaskan kinerja organisasi pemerintah. Kualitas layanan seringkali membentuk
image masyarakat terhadap organisasi pemerintah. Banyak image negatif yang terbentuk
mengenai organisasi pemerintah muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap
kualitas layanan yang diterima dari organisasi pemerintah. Dengan demikian kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik.
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja
adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan
murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas layanan seringkali dapat
diperoleh dari media masa atau diskusi publik. Karena akses terhadap mformasi
mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi maka bisa
menjadi satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang murah dan mudah
dipergunakan. Kepuasan masyarakat dapat menjadi decibel meters untuk menilai
kinerja organisasi pemerintah.

c) Responsivitas.
Lenvile (1990) menyatakan bahwa responsivitas adalah kemampuan organisasi
untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas dalam konteks ini
adalah menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Responsivitas perlu dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena,
menggambarkan secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam menjalankan misi
dan tujuannya. Responsivitas yang rendah, seperti ditunjukkan dengan ketidakselarasan
antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, jelas menunjukkan kegagalan organisasi
pemerintah dalam mewujudkan misi dan tujuannya. Organisasi yang memiliki responsivitas
yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

d) Responsibilitas.
Lenvile (1990) menyatakan pula bahwa responsibilitas adalah apakah pelaksanaan
kegiatan organisasi pemerintah itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik yang implisit
atau eksplisit. Karena itu responsibilitas bisa saja suatu ketika berbenturan dengan
responsivitas. Keinginan seorang pejabat organisasi pemerintah untuk meningkatkan
responsivitas bisa saja mengorbankan responsibilitas, manakala kebijakan dan prosedur
administrasi yang ada dalam organisasinya ternyata tidak lagi memadai untuk menjawab
dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Ini terjadi disebabkan dinamika
masyarakat selalu lebih cepat dari perubahan organisasi.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Dwiyanto, dkk. (2006: 49-51)
bahwa ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik, yaitu sebagai berikut:
1. Produktivitas.
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio
antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan
kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar
pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu
indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang
terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena, ketidakpuasan masyarakat
terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan
demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi pulik.
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja
adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia secara mudah
dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan sering kali
dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik.
Akibat akses terhadap infonnasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas
layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik
yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter
untuk menilai kinerja organisasi publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program
dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas
dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan
misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara
pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan
organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi
yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang
jelek pula.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan
kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implicit (Lenvine,1990). Oleh
sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi
publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah
bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan
selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas
publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja
sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas
yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat.

Organisasi itu sendiri menurut Gibson (1992:8), pada dasarnya merupakan suatu
bentuk kerjasama antara individu dan proses penggabungan aktivitas untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan bersama. Pada hakekataya organisasi itu tidak berdiri sendiri, akan
tetapi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dengan memuat banyak unsur lain
seperti keluarga, pendidikan, pemerintahan dan organisasi lain.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan
Pengawasan Daerah Kota Bandung dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat Kota Bandung, serta kinerja Pemerintah Kota
Bandung.

3.2. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan teknik eksplanatori


(explanatory research), yaitu suatu penelitian yang bermaksud untuk menguji hipotesis dan
menjelaskan hubungan sebab-akibat (Singarimbun dan Sofian Efendi, 1995:2).

3.3. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) Kota Bandung, yaitu seluruh Perusahaan Daerah, Dinas Daerah, Sekretariat
Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Sekretariat DPRD, serta kecamatan di
lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang berjumlah 84 SKPD. Berdasarkan keadaan
populasi yang kurang dari 100, maka penelitian ini ditetapkan sebagai penelitian
sensus, dimana seluruh anggota populasi diteliti.

3.4. Rancangan Analisis Data

Analisis data kuantitatif dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) analisis
deskriptif dengan menggunakan Label frekuensi untuk mendeskripsikan
karakteristik variabel-variabel penelitian ; (2) analisis uji hipotesis dengan menggunakan
statistik deskriptif (untuk kasus sensus) yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
korelasional dan hubungan kausal melalui analisis jalur (path analysis). Kelebihan dari
analisis jalur adalah dapat menjelaskan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung,
demikian pula besar pengaruhnya, dari variabel eksogenus (penyebab). Analisis jalur
wring disebut pula sebagai causal modelling (Chun Li, 1981).
Dalam penelitian sensus seperti penelitian ini, hipotesis penelitian tidak diuji
melalui hipotesis statistik, taraf signifikansi alpha () maupun statistik uji, seperti uji F
dan uji t (Sugiyono, 2003: 112). Hal ini disebabkan hal-hal ini hanya digunakan pada
penelitian sampling yang dimaksudkan untuk menggeneralisasi hasil uji kepada
populasinya. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diuji
dengan menggunakan Koefisien Korelasi Multipel atau Ry.x1x2. Jika nilai Ry.x1x2 > 0,20
maka hipotesis penelitian diterima. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh
secara individual atau parsial diuji dengan menggunakan Koefisien Jalur atau Py.xi . Jika
nilai Py.xi > 0,20 maka hipotesis penelitian diterima. Nilai 0,20 adalah nilai batas kelas
kategori kekuatan pengaruh lemah, sebagaimana merujuk kepada Guilford (1956: 145).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal

Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal dianalisis melalui


koefisien korelasi rx2x1 sebagaimana tampak dari hasil analisis jalur pada gambar berikut ini:

X1

Rx2x1 = 0,2239

X2

Gambar 2. Hubungan Pengawasan Internal dengan Eksternal

Dimana : X2 = Pengawasan Internal


X2 = Pengawasan Ekstemal

Hubungan korelasional antara Pengawasan Internal (XI) dengan Pengawasan Eksternal


(X2) ditunjukkan oleh koefisien korelasi rx2x1 = 0,2239. Merujuk kepada nilai mutlak dari
koefisien korelasi di atas menunjukkan bahwa keeratan hubungan diantara kedua variabel
tergolong rendah, yaitu antara 0,20 0,40. Tampak bahwa arah hubungan antar variabel adalah
positif yang menunjukkan bahwa SKPD dengan derajat Pengawasan Internal yang lebih tinggi
berkecenderungan mempunyai derajat Pengawasan Eksternal yang lebih tinggi pula, demikian
juga sebaliknya. Walaupun demikian, derajat kecenderungan tersebut relatif lemah. Hasil uji
menunjukkan adanya hubungan antara Pengawasan Internal (X1) dengan Pengawasan Eksternal
(X2) antar SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Tampak nilai korelasi = 0,2239 lebih
besar daripada rbatas = 0,20.

Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung

Hasil analisis mengenai pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal dapat
dilihat pada diagram jalur di bawah ini.

Gambar 3.
Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung
Persamaan struktural
*X *X
Y = PYXI l + PYX2 2 + 6
*
Y = 0,4807% + 0,2122 X2 6
2
(R = 0,3217 atau 32,17% dan R = 0,5672)
dimana : Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung
X1 = Pengawasan Internal
X2 = Pengawasan Eksternal

Besarnya pengaruh Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap
2
Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) secara simultan adalah sebesar R = 0,3217 = 32,17%.
2
Merujuk kepada nilai koefisien korelasi multipel (VR ) yaitu sebesar R = 0,5672 menunjukkan
bahwa pengaruh secara bersama-sama atau secara simultan dari kedua variabel penyebab
tersebut terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong moderat atau cukup kuat, yaitu
0,40 0,70. Dari hasil uji diperoleh bahwa Rhitung lebih besar daripada Rbatas = 0,20 (nilai batas
bawah kelas kategori kekuatan pengaruh yang lemah; Guilford; 1956:145) yang menunjukkan
bahwa Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara simultan
terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian
mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diterima. Besarnya pengaruh, dengan kata lain
juga menunjukkan besarnya variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat dijelaskan
oleh kedua variabel penyebab di atas secara simultan, yaitu sebesar 32,17%. Sisa variasi, sebesar
2 2
p y = 0,6783 atau 67,83% atau 1R , dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak diteliti.
Pengaruh langsung dan tidak langsung yang mengurai besar pengaruh total kedua variabel di atas
dapat dilihat selengkapnya pada tabel berikut:

Tabel 1.
Distribusi Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

dimana :
Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung
X1= Pengawasan Internal
X2 = Pengawasan Eksternal

Tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh terbesar terletak pada pengaruh
langsung dari Pengawasan Internal, yaitu. sebesar 23,10%; sementara kontribusi pengaruh
terkecil pada pengaruh tidak langsung, baik dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan
Eksternal maupun dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal (2,28%). Adanya
korelasi yang positif, walaupun relatif rendah, antara Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal membuat kontribusi pengaruh tidak langsung bernilai positif dan sama besar. Secara
total, pengaruh Pengawasan Internal (25,39%) relatif lebih tinggi daripada. pengaruh
Pengawasan Eksternal (6,79%).
Pengaruh Pengawasan Internal (X1) secara parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung (Y) ditunjukkan oleh koefisien jalur pyxl= 0,4807 dengan pengaruh langsung sebesar
2
P2YXI = (0,4807) x 100% = 23,10%. Dari hasil uji diperoleh bahwa pyx l lebih besar daripada
Pbatas = 0,20 (nilai pbatas adalah batas kelas kategori kekuatan pengaruh lemah) yang menunjukkan
bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh secara individual atau parsial terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian mengenai adanya
pengaruh dari Pengawasan Internal (X1) secara parsial diterima. Merujuk kepada nilai koefisien
jalur yaitu sebesar |pyxI| = 0,4807 menunjukkan bahwa pengaruh Pengawasan Internal (X 1)
secara parsial tergolong cukup kuat; yaitu. antara 0,40 0,70. Arah pengaruh Pengawasan
Internal yang positif secara parsial menunjukkan bahwa pengawasan internal yang lebih baik
pada suatu SKPD, pada derajat pengawasan eksternal yang sama, cenderung mampu
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Pengaruh Pengawasan
Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y)
disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.
Hasil Uji Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
2
Pengaruh RY.X1X2 R Y.X1X2 Kategori Kep. Kesimpulan
Simultan
Pengawasan 0,5672 32,17% Cukup Kuat R>0,20 Hipotesis
Internal (X) diterima
dan
Pengawasan
Eksternal (X
2
Pengaruh pyx1 P YX1 Kategori t Keputusan
Parsial
Pengawasan 0,4807 23,10% Cukup Kuat pyx1 > 0,20 Hipotesis
Internal (X1) diterima
Pengawasan 0,2122 4,50% Lemah pyx1 > 0,20 Hipotesis
Eksternal (X2) diterima
2
pyx1 = koefisien jalur, p yx1 = besar pengaruh langsung

Tabel di atas menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh cukup erat secara
parsial, sedangkan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung (Y) walaupun relatif lemah. Keberpengaruhan Pengawasan Eksternal
(X2) yang lemah ini menggambarkan bahwa derajat pengawasan eksternal yang lebih tinggi, pada
derajat pengawasan internal yang sama, relatif belum cukup menjamin pencapaian kinerja SKPD
yang lebih baik. Walaupun demikian, tampak bahwa secara deskriptif, arah pengaruh Pengawasan
Eksternal sesuai secara teoritis. Hal ini menggambarkan bahwa Pengawasan Eksternal belum
efektif dalam meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota Bandung.
Berdasarkan hasil model secara keseluruhan dan hasil analisis sebagaimana telah
diuraikan di atas, variabel dominan dalam model adalah: Pengawasan Internal. Tampak dari
perbandingan koefisien jalur maupun besarnya pengaruh langsung dan pengaruh total, pengaruh
Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung lebih dominan daripada
Pengawasan Eksternal.
4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah
Kota Bandung

Sebagai temuan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model pengaruh
Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung,
pada lingkungan SKPD-SKPD Pemerintah Kota Bandung mempunyai tingkat kesesuaian yang
cukup tinggi dan relevan dengan fakta penelitian yang ada. Hal ini tercermin dari nilai koefisien
2
determinasi pada model, yaitu sebesar R = 32,17%. Artinya, besarnya pengaruh secara bersama-
sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung adalah sebesar 32,17%. Dengan kata lain, dari sekian faktor yang secara teoritis
mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung; 32,17% variasi Kinerja Pemerintah Kota
Bandung dapat dijelaskan oleh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal. Besarnya
pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti di luar Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 67,83%. Relatif besarnya
pengaruh faktor luar menunjukkan bahwa hasil pemodelan ini masih membuka peluang
dilakukannya penelitian lanjutan untuk menyertakan faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam
analisis pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heryati (2007:185) yang
menyimpulkan bahwa pengawasan berpengaruh terhadap kinerja sebesar 63%, ini berarti kinerja
pegawai dipengaruhi sangat signifikan oleh pengawasan, walaupun masih ada variabel lain yang
juga mempengaruhi, yakni sebesar 37%.
Hasil penelitian mengenai adanya pengaruh pengawasan, baik pengawasan internal
maupun eksternal, secara simultan terhadap kinerja sesuai dengan pendapat Terry (1960:395)
yang menyatakan bahwa dengan adanya pengawasan dapat diamati apakah pelaksanaan suatu
pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan atau sebaliknya, dan bila terjadi penyimpangan
dari rencana yang telah ditetapkan, akan dapat dengan cepat ditanggulangi guna pencapaian
tujuan yang direncanakan. Fungsi pengawasan dalam membantu manajemen meliputi tiga hal,
yaitu: (1) meningkatkan kinerja organisasi, (2) memberikan opini atas kinerja organisasi dan (3)
mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada.
Fungsi ini dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan manajemen secara
cepat dan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara internal
maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197).
Faktor-faktor lain di luar pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang diduga
ikut mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung terutama adalah kinerja aparatur.
Sebagaimana merujuk kepada Weston (dalam Prawirosentono, 1999:140-142), bahwa kineda
suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun organisasi perusahaan
bergantung pada kinerja subyek pelaksananya, baik dalam kegiatan strategik, operational,
maupun administratif. Kinerja unit-unit organisasi dimana seseorang atau sekelompok orang
berada di dalamnya merupakan pencerminan dari kinerja somber daya manusianya. Selain
dipengaruhi oleh kinerja aparatur, kinerja pemerintah Kota Bandung sebagaimana merujuk
kepada Swanson (1999:73) diduga juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik dan budaya.
Demikian pula struktur organisasi, kebijakan organisasi dan kepemimpman atasan, ketersediaan
anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif
Sebagai model solusi peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung, dalam hal im
SKPD, adanya pengaruh secara bersama-sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal menunjukkan bahwa upaya peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat
dilakukan melalui usaha-usaha perbaikan Pengawasan Internal dan penyelarasan Pengawasan
Eksternal sesuai tujuan pencapaian kinerja. Upaya perbaikan dan penyelarasan seyogyanya
dilakukan dengan mengacu pada hasil analisis deskriptif mengenai kesenjangan-kesenjangan
yang masih ada, baik yang berkaitan dengan teknik pengawasan internal maupun pengawasan
eksternal, selaras dengan pencapaian kinerja yang diharapkan.
Hasil analisis yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara Pengawasan
Internal dengan Pengawasan Eksternal menunjukkan masih adanya kesenjangan atau disparitas
di antara faktor-faktor pembentuk kinerja pemerintah. Pengawasan internal yang lebih intensif
tidak cenderung seiring sejalan dengan pengawasan eksternal yang lebih intensif, demikian pula
sebaliknya. Hal ini menandakan perlunya perbaikan mekanisme pengawasan secara strategik
yang memadukan pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara sinergis dalam upaya
peningkatan kinerja di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Tidak adanya hubungan kedinasan antara Bawasda selaku pengawas internal dengan
DPRD dan masyarakat selaku pengawas eksternal semestinya tidak menjadi hambatan bagi
upaya pengawasan secara sinergis di antara keduanya. Sebagaimana merujuk kepada pendapat
Budiardjo dan Ambong (1995:180), dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD diberikan
kekuasaan untuk memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif
dalam menjalankan pemerintahan. Peran DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi
pengawasan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan
kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran DPRD dan masyarakat dalam pengawasan
eksternal ini cenderung kurang sinergis dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh
Bawasda. Dimungkinkan bahwa hal ini dalam rangka menjaga objektivitas masing-masing
pelaku pengawasan. Akan tetapi jika tujuan pengawasan menjadi tujuan bersama, sesungguhnya
sangat memungkinkan bagi Bawasda dan DPRD dan masyarakat menjalankan fungsi
pengawasannya secara sinergis, baik melalui interaksi komunikasi maupun koordinasi dengan
tetap menjaga kemandiriannya masing-masing. Dengan demikian diharapkan kombinasi
pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara terpadu dari Bawasda dan DPRD Serta
masyarakat, dapat mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah secara lebih baik yang pada
gilirannya dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas perbaikan pengawasan internal dan pengawasan
ekstemal, maka upaya yang dilakukan seyogyanya lebih diarahkan pada optimalisasi komponen-
komponen kinerja yang relatif paling senjang. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa
terdapat tujuh (7) indikator kinerja yang dinilai belum optimal relatif dibandingkan dengan dua
belas (12) indikator lainnya. Indikator-indikator tersebut adalah:

Tabel 3
Prioritas Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Dimensi/Indikator Bobot Prioritas


Produktivitas 63,4% I
Kesesuaian penghasilan dengan pelayanan 57,1% 5
Kecukupan SDM dari segi kuantitas dan kualitas 55,1% 4
Kecukupan sarana dan prasarana dari segi kuantitas 53,9% 3
dan kualitas
Adanya alokasi anggaran dalam menunjang 51,5% 1
pelayanan
Adanya pilihan dalam upaya menemukan strategi 74,4% 7
yang tepat untuk meningkatkan kinerja
Kualitas Layanan 68,3% II
Menggunakan keterampilan dalam memberikan 73,8% 6
pelayanan kepada masyarakat
Tidak adanya keluhan dari masyarakat atas pelayanan 51,5% 2

Dari tabel di atas, urut-urutan prioritas optimalisasi kinerja adalah:


1) Meningkatkan kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan;
2) Meningkatkan kepuasan pelayanan dengan meminimalisasi tingkat keluhan;
3) Meningkatkan kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan;
4) Meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM;
5) Memperbaiki sistem penentuan tarif retribusi pelayanan dan menekan kebocoran penerimaan
retribusi atas pelayanan;
6) Meningkatkan keterampilan SDM dalam memberikan pelayanan melalui pelatihan
pelayanan; dan
7) Memperbaiki kemampuan jajaran manajemen dalam perencanaan strategic terutama dalam
menyusun berbagai skenario cara pencapaian kinerja yang diharapkan.

Alokasi anggaran untuk memberikan pelayanan kepada masing-masing SKPD belum


semuanya terpenuhi. Ketersediaan anggaran penting agar SKPD dapat memberikan pelayanan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Terlebih sistem anggaran yang digunakan adalah
sistem anggaran berbasis kinerja dimana anggaran digunakan untuk menunjang kinerja yang
mengedepankan efisiensi dan efektivitas. Kurang tersedianya alokasi anggaran yang diperlukan
akan berekses kepada tidak optimalnya pelayanan kepada masyarakat, baik dalam wujud
keterbatasan sarana dan prasarana serta tidak berjalannya program pelayanan sebagaimana yang
diharapkan.
Dari hasil pengamatan terungkap adanya keluhan ketidakpuasan dari masyarakat
terhadap pelayanan yang diberikan SKPD. Keluhan masyarakat lebih banyak terarah pada
kurang terpeliharanya infrastruktur yang ada, seperti misalnya jalan yang rusak dan buruknya
saluran drainase. Demikian juga keluhan atas lambatnya perbaikan infrastruktur yang rusak.
Berkaitan dengan kecukupan sarana dan prasarana di masing-masing SKPD, penelitian
ini mengungkap bahwa sarana prasarana di lingkungan SKPD cukup memadai, khususnya
ketersediaan alat komunikasi. Walaupun demikian, kecukupan sarana dan prasarana tersebut
seyogyanya tidak hanya disesuaikan dengan standarisasi sarana dan prasarana sesuai dengan
peraturan yang ada, namun juga menyesuaikan dengan penyediaan sarana dan prasarana sesuai
penyelenggaraan pelayanan prima yang diharapkan oleh masyarakat.
Perihal kuantitas dan kualitas SDM, masih banyak SKPD yang menilai bahwa SDM yang
tersedia kurang memadai. Pola rekruitmen dan penempatan pegawai di masing-masing SKPD
masih berdasarkan pada pemenuhan kuantitas dan belum sepenuhnya berdasarkan tingkat
kualitas yang dibutuhkan. Untuk itu, semestinya Pemerintah Kota Bandung secara sertahap dan
berkesinambungan dapat memperbanyak berbagai program pendidikan dan pelatihan dalam
rangka peningkatan kualitas SDM yang dapat menunjang pelayanan prima.
Berkaitan dengan penghasilan, telah ada kesesuaian antara penghasilan dengan pelayanan
yang diberikan oleh SKPD. Walaupun demikian kesesuaian ini relatif terjadi pada beberapa
SKPD saja atau masih belum merata. pada SKPD-SKPD yang memang berpotensi menerima
penghasilan atas pelayanannya. Adapun untuk SKPD-SKPD yang kurang berorientasi
penghasilan, maka seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelayanannya.
Selanjutnya, dari hasil penelitian terungkap ada kecenderungan bahwa masing-masing
SKPD memang menggunakan keterampilan yang sesuai dengan profesinya dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini mengingat dalam kebijakan pengembangan pegawainya,
Pemerintah Kota Bandung sudah mengarahkannya pada pengembangan jabatan fungsional yang
sejalan dengan optimalisasi pelayanan. Peningkatan keterampilan aparatur dalam memberikan
pelayanan sesuai profesinya perlu didorong terus-menerus. Hal ini karena keterampilan
merupakan faktor penunjang lancarnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi SKPD dalam
memberikan pelayanan.
Dalam penentuan strategi peningkatan kinerja, adanya beberapa pilihan bagi SKPD untuk
menemukan strategi yang tepat relatif cukup tersedia. Walaupun demikian, agar strategi yang
dipilih benar-benar dapat meningkatkan kinerja, hal ini harus ditunjang dengan ketersediaan
sarana, dan prasarana serta adanya sistem penilaian kinerja yang jelas dan adil.
Berdasarkan Misi Kota Bandung yang dituangkan ke dalam Rencana Stratejik
(RENSTRA) Kota Bandung Tahun 2004-2008, misi yang bersesuaian dengan upaya peningkatan
kinerja pemerintah Kota Bandung adalah misi ke-5 dan ke-6.
Misi ke-5 adalah meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif,
efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan
masyarakat. Pemberdayaan aparatur pemerintah dikembangkan dalam rangka peningkatan
kompetensi dan profesionalisme sebagai pelayan masyarakat. Misi ini didasarkan atas kondisi
obyektif bahwa kualitas pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada masyarakat belum
optimal, sehingga menyebabkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kota belum
memenuhi harapan. Dari dasar misi ke-5 ini tersirat bahwa kualitas pelayanan dari aparatur
pemerintah merupakan faktor penentu bagi pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggung-jawaban Walikota Bandung Tahun 2006,
pelaksanan misi ke-5 ini pada tahun anggaran 2006 mendapat alokasi anggaran sebesar Rp
98.522.242.765,- yang meningkat sebesar 40,98% dari tahun 2005 Rp 69.882.871.664,-.
Peningkatan alokasi anggaran ini diikuti dengan meningkatnya jumlah kegiatan yang dilakukan,
yaitu dari 207 kegiatan pada tahun 2005 menjadi 255 kegiatan pada tahun 2006 atau meningkat
sebesar 23,19%. Dibatasi pada program pelayanan prima, jumlah alokasi anggaran dan jumlah
kegiatan yang dilakukan juga meningkat dari 81 kegiatan di tahun 2005 (alokasi anggaran
sebesar Rp 13.939.299.613,-) menjadi 150 kegiatan di tahun 2006 (alokasi anggaran sebesar Rp
24.876.775.700,-) atau meningkat 85,19% untuk jumlah kegiatan dan meningkat 78,47% untuk
alokasi anggaran. Dibandingkan dengan program lainna, jumlah kegiatan untuk program
pelayanan prima lebih dominan, yaitu 81 kegiatan dari 207 kegiatan (39,13%) pada tahun 2005
yang meningkat menjadi 150 kegiatan dari 255 kegiatan (58,82%) pada tahun 2005 (proporsinya
meningkat sebesar 50,33%). Walau demikian, pencapaian misi kinerja pemerintahan yang
berkaitan dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat terbatas pada meningkatnya jumlah
pegawai yang mengikuti diklat, yaitu dari 807 orang pada tahun 2005 menjadi 922 orang pada
tahun 2006 (meningkat sebsar 14,25%). Diklat tersebut terdiri dari diklat pelayanan prima, diklat
manajemen kepala sekolah, diklat manajemen pemerintahan, serta diklat manajemen pengawas
TK dan SD.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan
kinerjanya masih terbatas pada pemberdayaan aparatur pemerintah melalui usaha-usaha untuk
meningkatkan keterampilan aparatur dalam memberikan pelayanan. Pemerintah tampaknya
belum mampu membangun sistem pelayanan yang efektif dan efisien bagi masyarakat akibat
terbatasnya alokasi anggaran. Keterbatasan ini juga berekses pada kurang tersedianya sarana-
prasarana dan SDM. Relatif masih rendahnya kesesuaian antara penghasilan dengan pelayanan
yang diberikan mengkondisikan pemerintah untuk bergantung pada sumber pembiayaan di luar
penghasilan atas pelayanan. Relatif masih tingginya keluhan masyarakat atas pelayanan
pemerintah menjadi tanda bahwa meningkatnya keterampilan aparatur pemerintah dalam
memberikan pelayanan dinilai belumlah memadai. Sementara upaya membangun sistem
pelayanan yang lebih baik terbentur kepada keterbatasan anggaran. Dapat dikemukakan bahwa
dalam upayanya untuk meningkatkan kinerja, pemerintah masih cenderung mempertahankan
sistem pelayanan yang ada. Seyogyanya pemerintah dapat berinisiatif untuk melakukan
perubahan atas sistem pelayanan jika dinilai membatasi terjaminnya kualitas pelayanan yang
lebih baik.
Misi ke-6 Pemerintah Kota Bandung adalah mengembangkan sistem keuangan kota, yang
mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Sistem pembiayaan terdiri atas: Pertama, pembiayaan yang bersumber dari
pemerintah sebagai kebijakan fiskal daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APED). Kedua, pembiayaan yang bersumber dari swasta dan dunia usaha dalam bentuk
investasi, dan Ketiga, pembiayaan yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk swadaya
masyarakat.
Hasil penelitian yang mengungkapkan adanya keterbatasan alokasi anggaran dalam
menunjang pelayanan menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya berhasil
memberdayakan sumber-sumber pembiayaan dalam rangka peningkatan pelayanan. Pemerintah
Kota Bandung masih mengandalkan sumber pembiayaan sendiri yang terbatas untuk membiayai
program-program peningkatan pelayanan. Pemerintah belum memiliki kemampuan untuk
melibatkan investasi swasta dan swadaya masyarakat sebagai sumber pembiayaan lainnya dalam
rangka peningkatan pelayanan. Kebijakan pembangunan yang menjadi dasar strategi
pembangunan belum dapat menjadi arah penentu peningkatan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Kebijakan Rencana Stratejik (RENSTRA) Kota
Bandung Tahun 2004-2008, kebijakan pemerintah dalam peningkatan pelayanan terbatas pada
mengupayakan terjadinya peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Demikian pula
dalam bidang pembiayaan kota, kebijakan pemerintah lebih dibatasi pada mendorong
petumbuhan dan pengembahgan potensi pembangunan kota.
Dari temuan ini, dapat disusun model pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung
atas komponen-komponen yang menyusunnya sebagai berikut:
1. Merancang sistem pelayanan yang lebih efektif, efisien, profesional, akuntabel dan
transparan dengan menyertakan investasi swasta dan swadaya masyarakat.
2. Memperbesar alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan dengan mendorong peningkatan
penghasilan atas pelayanan.
3. Menyesuaikan kapasitas serta kualitas SDM dan sarana-prasarana yang diperlukan sesuai
kebutuhan sistem.
4. Menyertakan partisipasi masyarakat dalam sistem pelayanan.
Dalam kaitannya dengan penyertaan pengawasan baik internal maupun eksternal, model
pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung di atas menjadi arah upaya peningkatan
pengawasan yang dilakukan.

4.2.2 Pengaruh Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengawasan Internal memiliki pengaruh secara


individual atau parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Besarnya pengaruh langsung
P2
Pengawasan Internal adalah sebesar YX1 = 23,10%. Adanya pengaruh yang positif dan cukup
kuat dari Pengawasan Internal menunjukkan bahwa Pengawasan Internal cukup efektif dalam
peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Pengaruh total Pengawasan Internal terhadap
Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 25,39% yang merupakan hasil juinlah
pengaruh langsung dan ticlak langsung (sebesar 2,28%). Tampak bahwa sumbangan pengaruh
Pengawasan Internal melalui Pengawasan Ekstemal relatif lebih kecil daripada pengaruh
langsungnya. Hal ini disebabkan rendahnya keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan
Pengawasan Eksternal.
Di antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan perbandingan pengaruh,
Teknik Pengawasan Internal merupakan variabel dominan. Tampak bahwa pengaruh langsung
Pengawasan Internal (23,10%) lebih besar daripada Pengawasan Eksternal (4,50%). Demikian
pula pengaruh total Pengawasan Internal (25,39%) lebih besar daripada Pengawasan Eksternal
(6,79%). Hasil ini menggambarkan bahwa peningkatan Pengawasan Internal mempunyai efek
yang lebih kuat dalam pencapaian kinerja pemerintah yang lebih baik dibandingkan dengan
peningkatan Pengawasan Eksternal.
Dalam penelitian ini, pengawasan internal merupakan pengawasan ftirigsional yang
dijalankan oleh Bawasda. Sebagaimana mengacu pada Inpres No. 15 tahun 1983, dalam
pengawasan ini setiap upaya yang dilakukan oleh Bawasda sebagai aparatur yang ditunjuk
khusus (exclusively assigned) berkaitan dengan kegiatan audit secara independen terhadap obyek
yang diawasinya. Dalam praktiknya, fungsi pengawasan internal ini dijalankan melalui
pemeriksaan dan tugas lainnya seperti: verifikasi, konfmnasi, survei, assessment dan pemantauan
(monitoring) atas sesuatu yang sedang dalam pengawasan.
Relatif dibandingkan pengawasan ekstemal, pengawasan internal memiliki keunggulan
dalam hal tingkat integrasinya dengan manajemen yang diawasinya. Dengan demikian,
pengawasan internal lebih memungkinkan manajemen melakukan tindakan pengendalian.
Sebagaimana merujuk kepada G.R. Terry dan Leslie W. Rue (2001:10), pengendalian yang
dimaksud adalah pengukuran pelaksanaan dengan tujuan-tujuan, penentuan sebab-sebab
penyimpanganpenyimpangan dan pengambilan keputusan tentang tindakan-tindakan korektif
yang diperlukan. Dari sisi ini, tampak bahwa pengawasan internal lebih memberikan kontribusi
kepada pencapaian kinerja sesuai rencana relatif dibandingkan pengawasan eksternal. Hasil-hasil
pengawasan internal dapat secara langsung diikuti dengan pengambilan tindakan-tindakan
korektif yang diperlukan.
Sebagaimana hasil analisis deskriptif, prioritas peningkatan pengawasan internal
seyogyanya dilakukan untuk dimensi dan indikator-indikator sebagai berikut:

Tabel 4. 4
Prioritas Peningkatan Pengawasan Internal di Kota Bandung
Dimensi/Indikator Bobot Prioritas
Penentuan Standar Pengawasan
Penentuan Standar Pengawasan
Kejelasan aturan dalam pelaksanaan
pengawasan
Adanya pegawai yang profesional
Pengukuran Hasil Pekerjaan
Bawasda menanyakan kegiatan SKPD
Bawasda mengetahui hasil kegiatan
SKPD
Perbandingan Hasil dengan Standar
Evaluasi dari Bawasda atas hasil
kegiatan SKPD
Penilaian hasil oleh Bawasda sesuai
target yang ditentukan
Koreksi Penyimpangan
Adanya tindakan atas penyimpangan
yang terjadi
Penyerahan tanggung jawab dari
Bawasda kepada
SKPD untuk melakukan perbaikaniika
terdapat penyimpangan

Dari delapan (8) indikator teknik pengawasan internal yang dikaji, tampak bahwa
komposisi prioritas perbaikan yang seyogyanya dilakukan menjangkau seluruh dimensi
pengawasan internal. Perbaikan pengawasan internal perlu dilakukan mulai dari penentuan
standar pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, perbandingan hasil dengan standar dan koreksi
atas penyimpangan. Berkaitan dengan penentuan standar pengawasan, perbaikan terletak pada
peningkatan profesionalitas aparatur Bawasda dalam menjalankan fungsi pengawasan. Berkaitan
dengan pengukuran hasil pekerjaan, perbaikan terletak pada peningkatan kemampuan Bawasda
dalam melakukan pengukuran hasil kegiatan SKPD. Berkaitan dengan perbandingan hasil
dengan standar, perbaikan terletak pada peningkatan kemainpuan Bawasda dalam melakukan
penilaian atas kinerja SKPD sesuai dengan ketentuan. Berkaitan dengan koreksi penyimpangan,
perbaikan terletak pada peningkatan peran Bawasda dalam memantau dan mendorong
pelaksanaan tindak lanjut atas temuan-temuan penyimpangan.
Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan, hampir
semua aparat Bawasda telah melakukan secara profesional. Sebagian kecil aparat Bawasda yang
kurang profesional umumnya karena belum memiliki pengalaman yang cukup dan masih belajar.
Untuk menjaga profesionalitas aparat Bawasda, setiap aparat Bawasda yang bertugas semestinya
menunjukkan ketaatan yang tinggi, baik terhadap profesi dan/atau spesialisasinya.
Bawasda dinilai telah memberikan penilaian atas hasil pekerjaan yang dilakukan oleh
SKPD. Dalam pelaksanaan penilaian tersebut, Bawasda juga telah menyesuaikannya dengan
Rencana Kerja Pengawasan Tahunan. Walaupun demikian, kemungkinan adanya beberapa
rencana penilaian yang tidak dapat dilaksanakan semestinya dapat diantisipasi dengan
pengelolaan alokasi SDM dan waktu yang lebih baik.
Ada penilaian bahwa Bawasda memang mengetahui hasil kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh SKPD, yaitu melalui pemeriksaan reguler, evaluasi LAKIP dan laporan tiga bulanan. Hal
ini mengingat sesuai dengan fungsinya maka seluruh bidang/sub bidang di Bawasda harus
melaksanakan penyusunan dan penyampaian laporan hasil pemeriksaan dan saran tindak sesuai
dengan bidangnya.
Atas hasil yang tidak sesuai dengan rencana pada suatu SKPD, Bawasda umumnya
memberikan tindakan melalui koreksi atas berbagai hal yang tidak sesuai dengan rencana hingga
tujuan dapat tercapai. Dalam melakukan pemeriksaan, Bawasda semestinya harus selalu
membuat Naskah Hasil Pemeriksaan (NHP) yang dipaparkan secara terbuka antara Bawasda
dengan SKPD yang diawasinya agar SKPD dapat memperbaikinya sesuai tenggang waktu yang
diberikan menurut aturan.
Berdasarkan kerangka pemikiran teori sistem tiga tahap, implementasi upaya peningkatan
Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam Tahap II (Die Ubergang / Tahap Transformasi) melalui
perbaikan Pengawasan Internal dapat diskemakan pada gambar 4.6. berikut ini.

- Kurangnya kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang


pelayanan
- Masih adanya keluhan dari masyarakat atas pelayanan
- Belum mencukupinya sarana dan prasarana dari segi
kuantitas dan kualitas
- Belum mencukupinya SDM dari segi kuantitas dan
kualitas
- Belum sesuainya penghasilan dengan pelayanan
- Kurangnya keterampilan SDM dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat
- Kurangnya pilihan dalam upaya menemukan strategi
yang tepat untuk meningkatkan kinerja

- Peningkatan profesionalitas aparatur Bawasda dalam


meningkatkan standar pengawasan internal
- Peningkatan kemampuan Bawasda dalam pengukuran
hasil kegiatan SKPD
- Peningkatan kemampuan Bawasda dalam penilaian hasil
sesuai target yang ditentukan
- Peningkatan peran Bawasda dalam memantau dan
mendorong pelaksanaan tindak lanjut atas temuan-
temuan penyimpangan yang telah dilaporkan
- Kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan
makin tersedia
- Keluhan dari masyarakat atas pelayanan menurun
- Sarana dan prasarana dari segi kuantitas dan kualitas
makin sesuai dengan kebutuhan
- SDM dari segi kuantitas dan kualitas makin sesuai
dengan kebutuhan
- Penghasilan dengan pelayanan makin sesuai
- Keterampilan SDM dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat makin meningkat
- Pilihan dalam upaya menemukan strategi yang tepat
untuk meningkatkan kinerja makin banyak

Gambar 4.4 Implementasi Upaya Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui
Perbaikan Pengawasan Internal

Proses perbaikan pengawasan internal seyogyanya sesuai dengan arah pengembangan


kinerja Pemerintah Kota Bandung sebagaimana telah diuraikan di atas. Bawasda sebagai
pelaksana pengawasan internal diharapkan mampu mendorong terciptanya sistem pelayanan
yang efektif, efisien, profesional, akuntabel dan transparan. Hal ini selaras dengan salah satu
tujuan Bawasda, yaitu: meningkatkan kinerja dan terwujudnya pelayanan yang prima dari
instansi/unit kerja di lingkungan pemerintah, khususnya unit-unit kerja yang berhubungan
dengan masyarakat. Agar dapat mencapai tujuan tersebut, Bawasda perlu melengkapi standard
kinerja tiap-tiap instansi dengan standard pelayanan yang seharusnya diberikan tiap-tiap instansi
tersebut kepada masyarakat, termasuk standard biaya pelayanan dan penghasilan atas pelayanan.
Demikian pula secara terus-menerus meningkatkan kemampuan pegawainya dalam melakukan
pengawasan untuk mencegah terjadinya kebocoran anggaran dan penerimaan penghasilan Serta
untuk menjamin agar kinerja yang dihasilkan sesuai standardnya. Demikian pula dalam
memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan dan mendorong tindak-
lanjutnya.

4.2.3. Pengaruh Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengawasan Eksternal memiliki pengaruh secara


individual atau parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Besarnya pengaruh langsung
2
Pengawasan Eksternal adalah sebesar p yx2 = 4,50%. Adanya pengaruh yang positif, walaupun
relatif lemah, dari Pengawasan Eksternal menunjukkan bahwa efektivitas Pengawasan Eksternal
dalam peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung relatif masih rendah. Pengaruh total
Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 6,79% yang
merupakan hasil jumlah pengaruh langsung dan tidak langsung (sebesar 2,28%). Tampak bahwa
sumbangan pengaruh Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal relatif lebih kecil
daripada pengaruh langsungnya sebagai akibat rendahnya hubungan antara Pengawasan Internal
dan Pengawasan Eksternal.
Dibandingkan Pengawasan Internal, Pengawasan. Eksternal memiliki pengaruh yang
resesif atau tidak dominan. Hasil ini menggambarkan bahwa peningkatan Pengawasan Eksternal
mempunyai efek yang lebih lemah dalam pencapaian kinerja pemerintah yang lebih baik
dibandingkan dengan peningkatan Pengawasan Internal. Hasil ini menandakan perlunya upaya
penyelarasan agar pengawasan eksternal dari SKPD dapat sejalan dengan tujuan peningkatan
kinerja pemerintah daerah. Relatif lemahnya pengaruh dari Teknik Pengawasan Eksternal secara
individual terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung juga menunjukkan kurang berfungsinya
Komisi DPRD dan masyarakat dalam menjalankan tugas pengawasannya dan relatif lebih
menggantungkan pada pengawasan internal oleh Bawasda. Untuk itu amat diperlukan peran serta
seluruh anggota DPRD dan keterlibatan masyarakat dalam memberdayakan DPRD sebagai
lembaga yang secara formal melaksanakan pengawasan, baik dalam mendorong efektivitas
pencapaian kinerja pemerintah yang diharapkan maupun merancang dan menetapkan model
pengawasan yang lebih menjamin pencapaian kinerja.
Menurut Budiardjo dan Ambong (1995:180), peran DPRD dalam melakukan fungsi
pengawasan sangat penting untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka mencegah
terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan
kedinasan dengan pemerintah diharapkan menjamin objektivitas pengawasan yang dilakukan
dalam memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif dalam
menjalankan pemerintahan. Dalam rangka meningkatkan peran DPRD untuk menjalankan
pengawasan eksternal, perbaikan fungsi pengawasan seharusnya dilakukan baik untuk
pengawasan langsung maupun pengawasan tidak langsung. Siagian (2003:115) berpendapat
bahwa dimensi-dimensi dari pengawasan meliputi: (1) Pengawasan langsung (direct control),
dan (2) Pengawasan tidak langsung (indirect control).
Sebagaimana hasil analisis deskriptif, prioritas peningkatan pengawasan eksternal
seyogyanya dilakukan untuk dimensi dan indikator sebagai berikut:

Tabel 4.5.
Prioritas Peningkatan Pengawasan Eksternal di Kota Bandung

Dimensi/Indikator Bobot Prioritas


Kunjungan ker a oleh Komisi DPRD
Dengar Pendapat oleh Komisi DPRD
Pembentukan Panitia Khusus DPRD
Melakukan Rapat Paripuma
Pengawasan Masyarakat
Menyampaikan pendapat lewat Media Massa
Menyampaikan pendapat lewat Selebaran
Melakukan Unjukrasa

Dari tujuh (7) indikator pengawasan eksternal yang dikaji, tampak bahwa komposisi
prioritas perbaikan yang seyogyanya dilakukan meliputi kedua dimensi, baik dimensi
pengawasan legislatif maupun pengawasan masyarakat. Tampak pula bahwa titik berat perbaikan
pengawasan eksternal terkonsentrasi pada perbaikan pelaksanaan pengawasan langsung oleh
DPRD. Perbaikan dalam pengawasan langsung terletak pada kunjungan kerja Komisi DPRD ke
setiap SKPD. Sedangkan dalam pengawasan masyarakat, perbaikan yang tidak kalah pentingnya
untuk dilakukan adalah mengoptimalkan hasil evaluasi dari Bawasda mengenai SKPD yang
diawasinya dalam bentuk selebaran sebagai masukan penting dalam melakukan evaluasi,
sehingga anggota Komisi DPRD dalam melaksanakan pengawasan tidak hanya mengandalkan
pengaduan/masukan dari masyarakat saja. Hal ini sesuai dengan fungsi DPRD dalam
pelaksanaan pengawasan, yaitu diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan
Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Walikota dan kebijakan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah, seperti yang tertuang di dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kota
Bandung.
Berdasarkan urutan prioritas optimalisasi kinerja sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya dan sesuai dengan kerangka pemikiran teori sistem tiga tahap, implementasi upaya
peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam Tahap II (Die Ubergang/Tahap
Transformasi) melalui perbaikan Pengawasan Eksternal diskemakan pada gambar 4.7 berikut ini.

Gambar

Gambar 4.5. Implementasi Upaya Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung


melalui Perbaikan Teknik Pengawasan Eksternal

Sebagaimana proses perbaikan pengawasan internal, proses perbaikan untuk pengawasan


eksternal seyogyanya juga relevan dengan arah pengembangan kinerja Pemerintah Kota
Bandung. DPRD sebagai pelaksana pengawasan eksternal, bersama-sama masyarakat dan
Bawasda, diharapkan mampu mendorong berkembangnya sistem pelayanan yang efektif, efisien,
profesional, akuntabel dan transparan. Hal ini dapat dilakukan DPRD; baik melalui pembentukan
berbagai aturan, penyesuaian alokasi anggaran, dan tindakan pengawasan; yang mendukung
terciptanya sistem pelayanan yang lebih baik. Agar dapat menjalankan fungsinya tersebut,
DPRD perlu meningkatkan frekuensi dan kualitas kunjungan kerjake tiap-tiap SKPD dalam
rangka mengevaluasi secara langsung kinerja SKPD dan kualitas pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat. Demikian pula mengoptimalkan hasil evaluasi dari Bawasda sebagai masukan
tambahan dalam melakukan evaluasi serta memberikan pertimbangan dan arahan kepada
pemerintah daerah berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja dan pelayanan kepada
masyarakat. Dalamlegislatif, DPRD dapat melakukan kunjungan kerja baik secara individu
maupun komisi. Dalam pendekatan individu, anggota Komisi DPRD yang melakukan
pengamatan dapat bertindak sebagai ghost shopper (mengambil istilah dari manajemen
pemasaran, yang berarti melakukan observasi untuk mengevaluasi bagaimana produk barang/jasa
disampaikan, dengan bertindak seolah-olah sebagai pembeli). Melalui pendekatan ini, anggota
Komisi DPRD sebagai pengawas dapat melakukan evaluasi secara lebih objektif.

4.2.4. Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal dalam Rangka
Pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal merupakan bentuk


jalinan atau keterkaitan antara pengawasan internal oleh Bawasda dengan pengawasan eksternal
oleh DPRD dan masyarakat dalam rangka menyelaraskan pelaksanaan fungsi pengawasan
masing-masingnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Derajat keterkaitan antara
pengawasan internal dengan pengawasan eksternal menunjukkan sejauh mana tingkat
komunikasi dan koordinasi antara Bawasda dan DPRD serta masyarakat, baik antara Komisi
DPRD dengan Tim Pengawas maupun antara DPRD dengan Kepala Bawasda dalam mekanisme
rapat paripurna DPRD.
Keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal ditunjukkan
oleh koefisien korelasi antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal atau rx2x1 =
0,2239. Berdasarkan kategori tinggi-rendahnya keeratan hubungan, derajat keeratan hubungan
antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal tergolong rendah. Sebagaimana hasil
uji eksistensi hubungan ini dapat diterima. Keeratan hubungan im sebanding dengan besarnya
variasi Pengawasan Eksternal yang dapat dijelaskan oleh proporsi/bagian variasi Pengawasan
Internal atau sebaliknya (dari total variasi 100%) yang ditunjukkan oleh nilai kuadrat dari
2
koefisien korelasi antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal atau (r x2x1) x 100% =
)2
(0,2239) x 100% = 5,01%.
Dalam bentuk gambar, hubungan antara Pengawasan Internal Bawasda dan Pengawasan
Ekstemal DPRD dan masyarakat Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar

Gambar 4.6.
Hubungan antara Pengawasan Internal Bawasda dengan Pengawasan Ekstemal DPRD Kota
Bandung

Keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal yang lemah
mengindikasikan masih rendahnya tingkat komunikasi dan koordinasi antara Bawasda dan
DPRD serta masyarakat, khususnya dalam melaksanakan ftingsi pengawasan masing-masing.
Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa pengawasan internal yang dilakukan oleh
Bawasda, baik secara keseluruhan maupun per masing-masing Tim Pengawas, memiliki tingkat
keterkaitan yang masih rendah dengan DPRD dan masyarakat, baik secara keseluruhan maupun
per masing-masing Komisi. Khususnya dalam rangka peningkatan kinerja SKPDSKPD yang
menjadi objek tugasnya.
Temuan fenomena ini dimungkinkan akibat masih rendahnya frekuensi pertemuan antara
Bawasda dengan DPRD dalam mengkomunikasikan maupun mengkoordinasikan pelaksanaan
pengawasannya dan hasil pengawasannya masing-masing. Demikian juga masih kurangnya
pemanfaatan berbagai bentuk informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan, baik dalam
pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat dari Bawasda maupun dalam pengawasan
internal oleh Bawasda dari DPRD. Kondisi ini dipicu oleh lemahnya otoritas Bawasda dan
DPRD dalam mendorong peningkatan kerjasama pengawasan. Semestinya walaupun antara
Bawasda dan DPRD serta masyarakat tidak ada hubungan kedinasan, perlu ada mekanisme yang
memungkinkan kedua lembaga pengawas ini dapat menyelaraskan pengawasannya masing-
masing dalam rangka membentuk pengawasan yang sinergis untuk mencapai kinerja yang
diharapkan.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan kerjasama antar kedua lembaga
melalui aktivitas komunikasi dan koordinasi secara terus-menerus dalam mendorong pencapaian
kinerja SKPD.

4.2.5 Pengaruh Langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Pengaruh langsung dari Pengawasan Internal merupakan bentuk pengaruh dari


pengawasan oleh Bawasda terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam tahapan
pengawasan sebagai berikut: penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan,
pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan. Dalam hal
ini dilakukan oleh Bawasda secara internal dalam lingkungan organisasi Pemerintah Kota
Bandung. Sebagaimana DPRD melalui Komisi-komisinya, Bawasda juga mengelompokkan
aparat pengawasnya dalam tim pengawas sesuai dengan SKPD yang berada dalam cakupan tugas
pengawasannya.
Besarnya pengaruh langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung adalah sebesar 23,10%. Besarnya pengaruh langsung ini ditunjukkan oleh nilai kuadrat
dari koefisien jalur Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau
2 2
sebesar (pyx1) x 100% = (0,4807) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari
variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara
langsung oleh variasi Pengawasan Internal pada kondisi tingkat Pengawasan Eksternal yang
sama. Besarnya pengaruh langsung dari Pengawasan Internal ini sebanding dengan kuatnya
pengaruh Pengawasan Internal secara langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang
ditunjukkan oleh koefisien jalur Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung atau pyx1 = 0,4807. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh
langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong cukup
kuat. Sebagaimana hasil uji eksistensi pengaruh langsung ini dapat diterima atau ada
pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung.
Dalam bentuk gambar, pengaruh langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar

Gambar 4.7. Pengaruh Langsung Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung

Pengaruh langsung dari Pengawasan Internal yang cukup kuat terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung mengindikasikan cukup efektifnya pengawasan internal yang
dilakukan Bawasda dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dengan kata lain, hal
ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan,
pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap
penyimpangan memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi dalam meningkatkan kinerja
SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Bawasda memiliki hubungan kedinasan
dengan SKPD yang diawasinya sehingga memungkinkan Bawasda untuk berinteraksi secara
intensif dalam melakukan kegiatan pengawasan. Walaupun tingkat efektivitas dari pengawasan
internal dari Bawasda ini cukup tinggi, namun dinilai masih dapat ditingkatkan atau
dioptimalkan. Dari hasil penelitian terungkap beberapa kendala yang melemahkan efektivitas
pengawasan internal oleh Bawasda, diantaranya terbatasnya kapasitas SDM pengawas Bawasda
relatif dibandingkan ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya serta dibandingkan dengan.
jumlah SKPD yang diawasinya. Keterbatasan kapasitas ini baik berkaitan dengan kualitas dan
terlebih lagi dengan kuantitasnya. Demikian juga masih tingginya toleransi pengawasan yang
diberikan oleh Bawasda kepada SKPD yang diawasinya, baik dalam hal pelaporan rencana dan
hasil kegiatan, penilaian hasil dan evaluasinya, maupun koreksi atas dugaan penyimpangan.
Adanya toleransi ini tampaknya merupakan salah satu kelemahan pelaksanaan pengawasan
internal di Bawasda Kota Bandung yang dimungkinkan karena kurang dapat ditegakkannya
independensi Bawasda untuk melaksanakan fungsi pengawasan dalam bentuk hubungan
kedinasan antara pengawas dengan yang diawasi. Terlebih apabila Kepala Daerah selaku
pimpinan lembaga kedinasan kurang memiliki komitmen yang tinggi untuk mendorong tegaknya
fungsi pengawasan di lingkungannya.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan pelaksanaan fungsi
pengawasan internal dari Bawasda dalam mendorong pencapaian kinerja SKPD. Model
perbaikan fungsi pengawasan internal yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

Gambar

Pengawasan Manajerial
(Penentuan standar pengawasan,
pengukuran dan pembandingan hasil
pekerjaan, dan koreksi) sesuai tahapan
kinerja yang direncanakan

Gambar 4..8. Model Perbaikan Fungsi Pengawasan Internal dalam Pencapaian Kinerja
Pemerintah Daerah Kota Bandung

Model perbaikan fungsi pengawasan internal di atas menggambarkan bahwa Tim


Pengawas Bawasda perlu melakukan kegiatan pengawasan, baik dalam bentuk penentuan standar
untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar,
dan koreksi terhadap penyimpangan, secara periodik sesuai tahapan pencapaian kinerja yang
direncanakan bersama SKPD yang diawasinya. Agar pengawasan yang dilakukan dapat
meningkatkan efektivitasnya dalam pencapaian kinerja SKPD, maka antara Tim Pengawas dan
SKPD selalu melakukan komunikasi kinerja terus-menerus, yang dimulai dari proses
perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja dan koreksi kinerja. Pengawasan yang
dilakukan oleh Tim Pengawas kepada SKPD ini diletakkan sebagai pengawasan manajerial
(managerial control). Selanjutnya dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung, perlu
dilakukan proses integrasi seluruh pengawasan manajerial yang akan dan yang telah dilakukan
sebagai bentuk pengawasan administratif (administrative control) yang dilakukan melalui
mekanisme koordinasi antara Kepala Bawasda dengan Sekretaris Daerah. Proses ini juga
semestinya dilakukan sesuai tahapan pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang
direncanakan.
4.2.6 Pengaruh Langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung

Pengaruh langsung dari Pengawasan Eksternal merupakan bentuk pengaruh dari


pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung.
Dalam hal ini adalah pengawasan DPRD melalui Komisi-komisinya terhadap SKPD-SKPD yang
berada dalam cakupan tugas pengawasannya.
Besarnya pengaruh langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah
,
Kota Bandung adalah sebesar 4,50%. Besarnya pengaruh langsung ini ditunjukkan oleh nilai
kuadrat dari koefisien jalur Teknik Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
2 2
Bandung atau sebesar (pyx2) x 100% (0,2122) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya
proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang
dapat dijelaskan secara langsung oleh variasi Pengawasan Eksternal pada kondisi tingkat
Pengawasan Internal yang sama. Besarnya pengaruh langsung dari Teknik Pengawasan Eksternal
ini sebanding dengan kuatnya pengaruh Pengawasan Eksternal secara langsung terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung yang ditunjukkan oleh koefisien jalur Teknik Pengawasan Ekstemal
terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau pyx2 = 0,2122. Berdasarkan kategori kuat-
lemahnya pengaruh, derajat pengaruh langsung dari Teknik Pengawasan Ekstemal terhadap
Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong lemah. Walaupun demikian, sebagaimana hasil uji,
eksistensi pengaruh langsung ini dapat diterima atau ada pengaruhnya terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung.
Dalam bentuk gambar, pengaruh langsung dari Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar

Gambar 4.9. Pengaruh Langsung Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung

Lemahnya pengaruh langsung dari Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah


Kota Bandung mengindikasikan belum efektifnya pengawasan ekstemal dalam pencapaian
Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa pengawasan
langsung dan tidak langsung yang dilakukan oleh Komisi-komisi DPRD Kota Bandung memiliki
tingkat efektivitas yang masih rendah dalam rangka peningkatan kinerja SKPD-SKPD yang
menjadi objek tugasnya.
Temuan fenomena ini dimungkinkan akibat masih rendahnya frekuensi pembentukan
panitia khusus yang dilakukan DPRD pada SKPD-SKPD yang diawasinya. Demikian juga masih
kurangnya pemanfaatan berbagai bentuk informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan,
baik dari SKPD yang diawasinya, dari Bawasda dan perangkat pemeriksa lainnya, maupun dari
media massa dan masyarakat. Hal ini juga diperlemah dengan masih lambannya proses
pengungkapan temuan pengawasan oleh Komisi, proses evaluasi temuan antara Komisi dan
SKPD, dan proses tindak-lanjutnya sesuai langkah koreksi yang disepakati bersama. Kondisi ini
dipicu oleh lemahnya otoritas Komisi DPRD dalam mendorong perbaikan segera (instantly)
setelah proses pengawasan yang disebabkan tidak adanya hubungan kedinasan secara hirarkis
antara Komisi DPRD dan SKPD yang diawasinya. Semestinya walaupun antara Komisi DPRD
dan SKPD tidak ada hubungan kedinasan, perlu ada mekanisme yang memunodnkan langkah
koreksi pencapaian kinerja yang diharapkan dapat segera ditindak-lanjuti.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya perbaikan pelaksanaan fungsi pengawasan
ekstemal dari Komisi-komisi DPRD dalam mendorong pencapaian kinerja SKPD. Model
perbaikan ftingsi teknik pengawasan eksternal yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

Pengawasan Manajedal
(Langsung dan Tidak
Langsung sesuai tahapan
pencapaian kinerja yang
direncanakan)

Gambar 4. 10 Model Perbaikan Fungsi Pengawasan Eksternal dalam Pencapaian Kinerja


Pemerintah Daerah Kota Bandung

Model perbaikan fungsi pengawasan eksternal di atas menggambarkan bahwa Komisi


DPRD perlu melakukan kegiatan pengawasan, baik dalam bentuk kunjungan kerja maupun
dengan pendapat, secara periodik sesuai tahapan pencapaian kinerja yang direncanakan bersama
SKPD yang diawasinya. Agar pengawasan yang dilakukan dapat meningkat efektivitasnya dalam
pencapaian kinerja SKPD, maka antara Komisi DPRD dan SKPD selalu melakukan komunikasi
kinerja terus-menerus, yang dimulai dari proses perencanaan kinerja, pengukuran kinerja,
evaluasi kinerja dan koreksi kinerja. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD kepada
SKPD ini diletakkan sebagai pengawasan manajerial (managerial control). Selanjutnya dalam
pencapaian Kinerja Pemerintah Daerah Kota Bandung, perlu dilakukan proses integrasi seluruh
pengawasan manajerial yang akan dan yang telah dilakukan sebagai bentuk pengawasan
administratif (administrative control) yang dilakukan melalui mekanisme rapat paripurna DPRD
bersama Sekretaris Daerah. Proses ini juga semestinya dilakukan sesuai tahapan pencapaian
Kinerja pemerintah Kota Bandung yang direncanakan.

4.2.7 Pengaruh tidak Langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung melalui Pengawasan Eksternal

Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal


merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan oleh Bawasda terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung melalui komunikasi dan koordinasi pengawasan tindak lanjut oleh DPRD dan
masyarakat.
Besarnya pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah
Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal adalah sebesar 2,28%. Besarnya pengaruh tidak
langsung ini ditunjukkan oleh nilai dari hasil kali antara koefisien jalur Pengawasan Internal,
koefisien korelasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan koefisien jalur
Pengawasan. Eksternal atau. sebesar (pyx1) (rx2x1) (pyx2) x 100% = (0,4807) (0,2239) (0,2122) x
100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota
Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara tidak langsung oleh variasi
Pengawasan Eksternal yang beratal dari variasi Pengawasan Internal. Adapun kuatnya pengaruh
Pengawasan Internal secara tidak langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui
Pengawasan Eksternal ditunjukkan oleh nilai akar dari (p yx1) (rx2x1) (pyx2) sebesar 0,1511.
Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh tidak langsung dari Teknik
Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong sangat lemah.
Dalam bentuk gambar, pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui
Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gambar

Gambar 4.11 Pengaruh tidak Langsung Pengawasan Internal terhadap Kinerja


Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal

Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal yang sangat lemah terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal mengindikasikan belum efektifnya
pengawasan internal yang dilakukan Bawasda untuk digunakan. oleh DPRD dan masyarakat
dalam melakukan pengawasan eksternal. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses
pengawasan dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan,
pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan memiliki
tingkat efektivitas yang sangat rendah dalam mendukung pengawasan eksternal oleh DPRD dan
masyarakat. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Bawasda kurang melakukan
komunikasi dan koordinasi dengan DPRD dalam rangka menyelaraskan kedua bentuk
pengawasan pada kinerja pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi perlunya
peningkatan komunikasi dan koordinasi pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari Bawasda
dan hasil-hasilnya yang dapat digunakan DPRD sebagai masukan dalam melakukan pengawasan
ekstemal untuk mendorong pencapaian kinerja SKPD. Berkaitan dengan hal ini, model
peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan ekstemal dalam pencapaian
kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

Gambar

Gambar 4.12 Model Peningkatan Efektivitas Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal

Model peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan ekstemal di atas


menggambarkan bahwa Bawasda perlu selalu menjalin komunikasi dan koordinasi secara terus-
menerus dengan DPRD, baik berkaitan dengan pelaporan pelaksanaan pengawasan internal dan
hasil-hasil pengawasannya. Komunikasi dan koordinasi dari Bawasda ke DPRD ini, baik antara
Tim Pengawas dengan Komisi DPRD maupun antara Kepala Bawasda dengan DPRD dalam
mekanisme rapat paripurna DPRD, perlu dilakukan secara periodik sesuai tahapan pencapaian
kinerja SKPD.

4.2.8 Pengaruh tidak Langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung melalui Pengawasan Internal
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal
merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan oleh DPRD dan masyarakat terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung melalui komunikasi dan koordinasi pengawasan tindak lanjut oleh
Bawasda.
Besarnya pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja
Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal adalah sama dengan besarnya pengaruh
tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal, yaitu sebesar 2,28%.
Besarnya pengaruh tidak langsung ini ditunjukkan oleh nilai dari hasil kali antara koefisien jalur
Pengawasan Eksternal, koefisien korelasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan
koefisien jalur Pengawasan Internal atau sebesar (pyx2) (rx2x1) (pyx1) x 100% = (0,2122) (0,4807)
(0,2239) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja
Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara tidak langsung
oleh variasi Pengawasan Internal yang beratal dari variasi Pengawasan Eksternal. Demikian pula
halnya mengenai kuatnya pengaruh Pengawasan Eksternal secara tidak langsung terhadap
Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal yang ditunjukkan oleh nilai akar
dari (pyx2) (rx2x1) (pyx1) sebesar 0,1511. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat
pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
tergolong sangat lemah.
Dalam bentuk gambar, pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal melalui
Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gambar

Gambar 4.13 Pengaruh tidak Langsung Pengawasan Eksternal terhadap


Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal

Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan. Eksternal yang sangat lemah terhadap Kineria
Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal mengindikasikan belum efektifnya
pengawasan eksternal yang dilakukan DPRD untuk digunakan oleh Bawasda dalam melakukan
pengawasan internal. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam
bentuk pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat memiliki tingkat efektivitas yang
sangat rendah dalam mendukung pengawasan internal oleh Bawasda.
Temuan fenomena ini dimungkinkan karena DPRD dan masyarakat kurang melakukan
komunikasi dan koordinasi dengan. Bawasda dalam rangka menyelaraskan kedua bentuk
pengawasan pada kinerja pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi perlunya
peningkatan komunikasi dan koordinasi pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari DPRD dan
hasil-hasilnya yang dapat digunakan Bawasda sebagai masukan dalam melakukan pengawasan
internal untuk mendorong pencapaian kinerja SKPD. Berkaitan dengan hal ini, model
peningkatan efektivitas pengawasan eksternal melalui pengawasan internal dalam pencapaian
kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar

Gambar 4.14 Model Peningkatan Efektivitas Pengawasan Eksternal Melalui Pengawasan Internal

Model peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan eksternal di atas


menggambarkan bahwa DPRD perlu selalu menjalin komunikasi dan koordinasi secara terus-
menerus dengan Bawasda, baik berkaitan dengan pelaporan pelaksanaan pengawasan eksternal
dan hash-hash pengawasannya. Komunikasi dan koordinasi dari DPRD ke Bawasda ini, baik
antara Komisi DPRD dengan Tim Pengawas maupun antara DPRD dengan Kepala Bawasda
dalam mekanisme rapat paripurna DPRD, perlu dilakukan secara periodik sesuai tahapan
pencapaian kinerja SKPD.

4.2.9 Pengaruh Faktor-faktor Lain di Luar Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal yang
Mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Pengaruh faktor-faktor lain terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung selain dari
Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal merupakan bentuk pengaruh dari berbagai
macam faktor yang secara situasional maupun kondisional ikut memberikan pengaruh terhadap
pencapaian kinerja pemerintah daerah. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor-faktor internal
seperti: kinerja aparatur, baik yang memiliki tanggung jawab strategik, operational, maupun
administratif, struktur dan kebijakan organisasi; gaya kepemimpinan, ketersediaan anggaran dan
infrastruktur, serta sistem insentif. Dapat pula berupa faktor-faktor ekstemal seperti: partisipasi
masyarakat dan dukungan pemerintah pusat.
Besarnya pengaruh dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
adalah sebesar 67,83%. Besarnya pengaruh faktor-faktor luar ini ditunjukkan oleh nilai kuadrat
dari koefisien jalur faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau sebesar
2 2
py) x 100% = (0,8236) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi
Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dijelaskan oleh variasi faktor-
faktor luar pada kondisi tingkat Teknik Pengawasan Internal dan Pengawasan. Eksternal yang
sama. Besarnya pengaruh dari faktor-faktor luar ini sebanding dengan kuatnya pengaruh faktor-
faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang ditunjukkan oleh koefisien jalur
faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau p y = 0,8236. Berdasarkan
kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh langsung dari faktor-faktor luar terhadap
Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong kuat. Sebagaimana hasil uji, eksistensi pengaruh
faktor-faktor luar ini dapat diterima atau ada pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota
Bandung.
Dalam bentuk gambar, pengaruh dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah
Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar

Gambar 4.15 Pengaruh Faktor-faktor Luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Pengaruh dari faktor-faktor luar yang kuat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
mengindikasikan tingginya efek faktor-faktor luar terhadap pencapaian Kinerja Pemerintah Kota
Bandung. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Kinerja Pemerintah Kota Bandung
sebagai output lebih dihasilkan dari ketersediaan input-input langsung (direct input) dan tingkat
pemanfaatannya dibandingkan input-input tidak langsung (indirect input) seperti pengawasan
internal dan pengawasan eksternal. Dengan demikian, fungsi pengawasan, baik internal maupun
eksternal, adalah dalam rangka mendorong penyediaan input yang lebih efisien dan
pemanfaatannya yang lebih produktif bagi pencapaian kinerja. Oleh sebab itu, agar kinerja
Pemerintah Kota Bandung dapat lebih terjamin, seyogyanya Pemerintah Daerah perlu
memperhatikan dan meningkatkan kinerja aparaturnya, menyesuaikan struktur dan kebijakan
organisasi yang dapat menunjang kinerja organisasi, menerapkan gaya kepemimpinan yang
tepat, kecukupan anggaran, ketersediaan infrastruktur atau sarana, dan prasarana yang memadai,
serta sistem insentif yang mampu memotivasi aparatur bekerja lebih baik. Pemerintah Daerah
juga perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam pencapaian kinerjanya. Demikian juga
diperlukan dukungan pemerintah pusat, baik melalui alokasi bantuan keuangan maupun
dukungan kebijakan yang sesuai.
Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan daya dukung faktor-faktor luar
tersebut di atas yang mengmngi peningkatan pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari
Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat dalam mendorong pencapaian
kinerja SKPD.

4.2.10 Temuan Penelitian dalam Pengembangan Teori

Temuan penelitian mengenai adanya pengaruh teknik pengawasan internal dan


pengawasan eksternal secara simultan terhadap kinerja mendukung teori Terry (1960:395) dan
(Ndraha, 2003: 197). Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati
dan dikelola kesesuaiannya dengan rencana dalam rangka pencapaian tujuan (Terry, 1960:395).
Fungsi pengawasan yang diarahkan pada: peningkatan kinerja organisasi; pemberian opini atas
kinerja organisasi; dan pemberian rekomendasi kepada manajemen untuk melakukan koreksi atas
masalah pencapaian kinerja yang ada akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja
penyelenggara, baik secara internal maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197). Adanya faktor luar
yang secara dominan mempengaruhi kinerja mengisyaratkan pentingnya menyertakan teori
Weston (dalam Prawirosentono, 1999:140-142) dan Swanson (1999:73) dalam pengembangan
model teori peningkatan kinerja. Weston menyatakan bahwa, kinerja suatu organisasi bergantung
kepada kinerja subyek pelaksananya, baik dalam kegiatan strategik, operational, maupun
administratif. Sementara Swanson (1999:73) berpendapat bahwa kinerja organisasi dipengaruhi
pula oleh faktor ekonomi, politik dan budaya, struktur organisasi, kebijakan organisasi dan
kepemimpinan atasan, ketersediaan anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif.
Keberpengaruhan teknik pengawasan internal terhadap kinerja dan lebih dominannya
pengaruh pengawasan internal dibandingkan pengawasan eksternal mendukung teori G.R. Terry
dan Leslie W. Rue (2001:10). Teknik Pengawasan internal memiliki keunggulan dibandingkan
pengawasan eksternal dalam hal tingkat integrasinya dengan manajemen yang diawasinya yang
lebih memungkinkan manajemen melakukan tindakan pengendalian.
Keberpengaruban teknik pengawasan eksternal terhadap kinerja mendukung teori
Budiardjo dan Ambong (1995:180). Serta Lembaga Administrasi Negara (1977:161) Peran
DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi pengawasan sangat penting dalam rangka
mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah
diharapkan menjamin objektivitas pengawasan.
Secara ringkas, posisi temuan penelitian dalam pengembangan teori dapat dilihat pada
tabel berikut:

Tabel 4.6
Posisi Temuan Penelitian dalam Pengembangan Teori

Temuan Penelitian Posisi


Pengawasan internal dan pengawasan ekstemal Mendukting teori dengan catatan bahwa
berpengaruh terhadap kinejra pemerintah pengaruh keduanya masih lebih rendah
daripada faktor-faktor luar
Pengawasan internal berpengaruh terhadap Mendukung teori dengan vatatan bahwa
kineja pemerintah pengaruh pengawasan internal bergantung pula
kepada sejauh mana pengawas internal mampu
menjaga fungsi pengawasannya tetap
independen.
Pengawasan eksternal berpengaruh terhadap Mendukung teori dengan catatan dengan catatan
kerja bahwa pengaruh pengawasan eksternal
bergantung kepada tingkat pemanfaatan
informasi yang dapat digunakan dalam
pengawasan dan kecepatan proses tindak lanjut
hasil pengawasan

Tampak pada tabel di atas, proposisi temuan penelitian mendukung teori (dengan catatan)
sebagaimana telah diuraikan dalam, kerangka pemikiran dan pembahasan. Pelibatan teknik
pengawasan, baik internal maupun eksternal, dalam model kinerja atau model pencapaian tujuan
organisasi diharapkan untuk tetap dapat dipertahankan sebagai pengukuran atas proses kegiatan
pengawasan yang penting dalam menjamin terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good
governance). Terry (1960:530) serta O'Donnell dan Weinrich (1980:722) berpendapat bahwa jiwa
pengawasan terletak pada proses kegiatan untuk menjamin bahwa semua pelaksanaan beralan
sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam pengembangan model peningkatan kinerja untuk penelitian selanjutnya, model
pengaruh teknik pengawasan internal dan pengawasan ekternal terhadap kinerja pada penelitian
ini dapat dikembangkan dengan melibatkan kinerja SDM, struktur organisasi, kebijakan
organisasi, kepemimpinan, ketersediaan anggaran, ketersediaan infrastruktur, serta sistem
insentif.
Pelibatan faktor-faktor luar selain teknik pengawasan internal dan pengawasan eksternal
merupakan aplikasi konsepsi dari functional theories. Dalam kerangka middle range theories di
bidang Manajemen Pemerintahan, penelitian lanjutan diharapkan tetap dititik-beratkan pada
evaluasi kinerja dalam arti outcomes sebagaimana disarankan oleh Ndraha (2003:208).
Dalam perspektif manajemen kinerja, sebagaimana merujuk kepada Bacal (2005: 30-45),
sistem pengawasan, baik internal dan eksternal, semestinya merupakan subsistem dari sistem
manajemen kinerja. Dalam manajemen kinerja, pengawasan internal dan eksternal dilakukan
secara terus-menerus berdasarkan prinsip kemitraan antara pengawas dengan yang diawasi dalam
rangka pencapaian kinerja yang diharapkan bersama. Pengawasan juga dilakukan pada setiap
tahapan menajemen kinerja, mulai dari perencanaan kinerja, komunikasi kinerja, pengumpulan
data, pengamatan dan dokumentasi, pertemuan evaluasi kinerja, serta proses diagnosis kinerja
dan konsultasi.
Dalam perspektif manajemen kinerja, model teknik pengawasan internal dan eksternal
dalam pencapaian kinerja pemerintah daerah dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar

Gambar

Gambar 4.16 Model Pengawasan Internal dan Eksternal dalam Sistem Manajemen Kinerja
Pemerintah Daerah

Model di atas menggambarkan adanya keterkaitan antara pengawasan intemal dan


pengawasan eksternal dalam rangka menghasilkan keselarasan dalam kegiatan pengawasan.
Keterkaitan ini disimbolkan sebagai jalur input-output antara pengawasan internal dengan
pengawasan eksternal. Adanya keselarasan menuntut koordinasi yang baik atau sinergitas antara
proses pengawasan internal dan proses pengawasan eksternal. Selanjutnya dalam mencapai
kinerja pemerintah daerah yang diharapkan, koridor pengawasan internal dan pengawasan
eksternal diperluas dari hanya terlibat dalam evaluasi kinerja menjadi terlibat pada seluruh proses
pengelolaan kinerja, yaitu mulai dari perencanaan kinerja, komunikasi kinerja, pengukuran
kinerja, evaluasi kinerja, serta diagnosis kerja dan konsultasi. Dengan demikian, model
pengawasan yang diajukan lebih merupakan sebagai pendekatan kinerja (performance approach)
dibandingkan pendekatan akuntansi (accounting approach). Dalam model ini, pengawasan tidak
sekedar diletakkan sebagai preemptive control yang dimulai pada awal kegiatan perencanaan
namun menjangkau seluruh proses dalam perencanaan kinerja sampai diagnosis kinerja dan
konsultasi.
Dalam pelaksanaannya, fungsi pengawasan diarahkan pada indikator-indikator kinerja
yang menjadi objek pengawasan, yaitu melingkupi: Produktivitas, Kualitas Layanan,
Responsivitas, Responsibilitas, dan Akuntabilitas.
Proses pengawasan internal melingkupi: standardisasi prosedur pengawasan dan
kompetensi pengawas, pengukuran hasil pekerjaan, perbandingan hasil pekerjaan dengan
rencana, serta koreksi atas penyimpangan. Teknik pengawasan eksternal melingkupi:
pengawasan langsung melaui peninjauan dan pengamatan langsung, serta pengawasan tidak
langsung melalui pendayagunaan laporan tertulis dan lisan, hasil pengawasan Bawasda atau
lembaga lain dan media.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Pengawasan Internal dan Pengawasan Ekstemal berpengaruh cukup kuat secara


bersama-sama (simultan) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Pengaruh
pengawasan internal dan ekstemal lebih banyak berupa pengaruh langsung dari
masing-masing jenis pengawasan daripada pengaruh tidak langsung melalui jenis
pengawasan lainnya.
2. Pengawasan Internal dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan,
pengukuran hasil pekedaan, pembandingan hasil perbedaan dengan standar, dan
koreksi terhadap penyimpangan berpengaruh positif cukup kuat secara individual.
Hal ini karena Bawasda memiliki hubungan kedinasan dengan SKPD yang
diawasinya sehingga memungkinkan Bawasda untuk berinteraksi secara intensif
dalam melakukan kegiatan pengawasan.
3. Pengawasan Eksternal dalam bentuk pengawasan legialatif dan masyarakat
berpengaruh positif lemah secara individual. Hal ini akibat masih rendahnya
frekuensi peninjauan dan pengamatan langsung yang dilakukan, kurangnya
pemanfaatan berbagai bentuk informasi, dan masih lambannya proses tindak lanjut
pengawasan.
4. Konsep pengawasan yang diperoleh adalah sinergitas antara pengawasan internal
dan ekstemal dalam sistem manajemen kinerja. Keselarasan pelaksanaan
pengawasan internal dan ekstemal, melalui peningkatan komunikasi dan koordinasi
pengawasan antara Bawasda dengan DPRD, akan meningkatkan efektivitas
pengawasan terhadap pencapaian kinerja. Pengawasan internal dan ekstemal yang
diperlakukan sebagai subsistem dari sistem manajemen kinerja, melalui proses
komunikasi yang terus-menerus antara Bawasda dan DPRD dengan SKPD dan
Sekretaris Daerah, akan meningkatkan kemampuan Pemerintah Kota Bandung
dalam pencapaian kinerja.

5.2. Saran

1. Meneliti lebih lanjut faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja pemerintah


daerah, baik faktor-faktor internal maupun eksternal.
2. Meneliti variabel-variabel pendahulu (antecedent variables) yang secara teoritis
mempengaruhi pengawasan internal dan pengawasan eksternal.
3. Mengembangkan model pengukuran pengawasan berdasarkan pendekatan teori
lainnya.
4. Meningkatkan efektivitas pengawasan dan sinergitas pengawasan antara Bawasda
dengan DPRD dengan membangun sistem pengendalian efektivitas pengawasan
dalam kerangka manajemen kinerja, baik di Bawasda maupun DPRD.
5. Meningkatkan profesionalitas aparatur Bawasda dalam pelaksanaan pengawasan
serta kemampuan. Bawasda dalam pengukuran dan penilaian hasil kegiatan SKPD.
Disarankan pula agar Bawasda menjadi organisasi fungsional. Pengawasan reguler
paling tidak dilakukan setahun dua kali dan jumlah auditor di Bawasda sebaiknya
ditambah, minimal menjadi 79 orang yang disesuaikan dengan jumlah SKPD.

Meningkatkan fungsi pengawasan langsung dari DPRD. Disarankan untuk


meningkatkan frekuensi dan kualitas peninjauan dan pengamatan langsung Komisi DPRD ke
SKPD.
DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU-BUKU

Abdulrahman, Arifin. 1979. Teori Pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan Kerja. Jakarta:
Bharata.

Albert, Lepawsky. 1960. Administration: The Art and Science of Organizational and
Management. New York: Alfred A. Knoph.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.

Bacal, Robert. 2005. Performance Management. Alih Bahasa: Surya Dharma dan Yanuar
Irawan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bamard, Chester I. 1938. The Function of The Executive. Cambridge: Harvard University Press.

Bellone, J Carl. 1980. Organizational Theory and The New Public Administration.

Bryant, Coralie and Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan: Untuk Negara
Berkembang. Penerjemah: Rusyanto L. Simatupang. Jakarta: LP3ES.

Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambong. 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Chun Li, Ching. 1975. Path Analysis A Primer. Pittsburk: The Bookwood Press. Cikmat,
Sofyan. 1988. Kinerja. Jakarta: Gramedia.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. London:
Sage Publication.

Davis, Keith and John W. Newston. 1989. Organizational Behavior. Seventh Edition. Alih
Bahasa: Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.

Donnelly, James H. Gibson, James L. Ivancevich, John M. 1981. Fundamentals of Management.


Texas: Business Publ. Inc.Plano.

Dossier, Garry. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1. Alih Bahasa: Benyamin
Molan. Jakarta: Prenhallindo.

Dunn, William, N. 1995. Analisis Kebijaksanaan Publik; Alih Bahasa: Muhadjir Darwin.
Yogyakarta: Hamindita Offset.

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto, Agus. dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Edstrom, Judith dan Hans Antlov. 2009. Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik.
Jakarta: Local Governance Support Program.

Frederickson, II. George. 1980. New Public Administration. Alabama USA: The University
Alabama Press.

Frederick, Carl.J. 1963. Man and His Government. New York: Mc. Graw-Hill.

Gannon, Martin J. 1979. Organizational Behaviour: A Managerial and Organizational


Perspective. Boston Toronto: Little Brown and Co.

Gibson, James. L. John M. Ivancevich, James H. Donelly. Jr. 1985. Organizations. Fifth
Edition. Piano Texas: Business Publication, Inc.

, 1997. Organisasi. Alih Bahasa: Nunuk Adriani. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Griffin. 1977. Management. USA: Houghton Miffin Company.

Guilford. 1956. Fundamental Statistic in Psychology and Education. Tokyo: McGraw-Hill.

Handoko, Hani. 1997. Manajemen. Yogyakarta: BPIF.

Henry, Nicolas. 1998. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Alih Bahasa:
Luciana D. Jakarta: Rajawali.

Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategic Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan
Isu. Yogyakarta: Gaya Media.

Kerlinger, Fred, N. 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioural. (Penerjemah: Landung R.


Simatupang). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Koontz, Harold Cyril O'Donnell, and Heinz Weihrich. 1980. Management (Seven Edition).
Kogakhusa: Mc. Graw-Hill International Book Company.

Lembaga Administrasi Negara. 1992. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jilid I
dan 2. Jakarta: Haji Masagung.

Lenvine, Charles H.,et.al. 1990. Public Administration Challenges, Choices, Consequences.


Illinois : Scott, Inc.

Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu.2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Marbun, B.N. 1993. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Jakarta: Erlangga.

Mintzberg, Henry. 1994. Structure in Fives: Designing Effective Organizations. New Jersey:
Prentive Hall-Engelwood Cliffs.

Morthin, J. Gannon. 1979. Organizational Behavior A Managerial Presfektive. Boston Toronto:


Little Brown & Co.

Mwita, J. L. 2000. Performance Management Model: A System-Based Approach to Public


Service Quality. The International Journal of Public Sector Management. Vol.13.pp 19-
32.

Ndraha, Taliziduhu. 1988. Metodologi Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

, 1989. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Jakarta: Rineka Cipta.

, 2005. Kybernology, Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Nisjar, Karhi dan Winardi. 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang
Manajemen. Bandung: Mandar Maju.

Osborn, David and Ted Geabler. 1993. Reinventing Government. How The Enterpreneurial
Spirit is Transforming The Public Sector. Toronto: Plume Book.

Osborn, David and Peter Plastrik. 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategy For
Reinventing Government. New York: Addison Wesley Publishing Company, Inc.

O'Donnell, Koontz and Weinrich. 1980. Management (Seventh Edition). Kogakusha: Mc.
Grave-Hill International Book Company.

Pamudji, S. 1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Burni Aksara.

, 1985. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: PT. Bina Aksara.

Poelje, Van G.A. 1959. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (Penter emah: Mang Reng Say).
Jakarta: N.V. Soeroengan.

Prawirosentono, Suryadi. 2008. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta: BPFE.

Rivai, Veithzal dan M. Basri Ahmad Fauzi. 2005. Performance Appraisal. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Robbins, P. Stephen. 1995. Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. Alih Bahasa: Yusup
Udaya. Jakarta: Arean.

, 1996. Perilaku Organisasi: Konsep-Kontraversi-Aplikasi Jilid 1. Alih Bahasa:


Hadyana Pujaatmmaka. Jakarta: Prehallindo.

Robbins, P. Stephen dan Mary Coulter. 2004. Manajemen. (Alih Bahasa: T. Hermaya dan Harry
Slamet). Jakarta: PT. Indeks.

Sarundajang, S.H. 2006. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

Sedarmayanti. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Mandar Maju.

,, 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam Kerangka Otonomi


Daerah. Bandung: Mandar Maju.

Siagian, Sondang, P. 2003. (a). FilsafatAdministrasi. (Edisi Revisi) Jakarta: PT. Bumi Aksara.

, 1994. (b). Administrasi Pembangunan. Jakarta: Haji Masagung.

Simon, Herbert, A. 1984. Administrative Behavior: Perilaku Organisasi. Suatu Studi Tentang
Proses Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi Administrasi. Penerjemah: St.
Dianjung. Jakarta: Bina Aksara.

Simon, Robert. 2000. Performance Measurement and Control System for Implementing
Strategy: Text and Cases. Upper Sadle River, Prentice Hall.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (Editor) 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta:
LP3ES.

Stilman II. Richard S. 1992. Administration Concep and Cases. Boston:Houngton Miffln
Company.

Stoner, James. A.F. & Wankel, Charles. 1986. Management. Prentice-Hall Int. Edition London.

Stoner, James. A.F. & R. Edward Freeman. 1992. Management. Prentice-Hall Internasional, Inc.

Stoner, James. A.F. 1996. Manajemen. Alih Bahasa: Alfonsus Strait. Jakarta:Erlangga.

Sugiyono. 2003. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

, 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sutherland, John W. 1978. Management Handbook For Public Administators. Van Nostrand
Renhold Company.

Terry, George. 1960. Principles of Management (Third Edition). Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Homewood.

, 1986. Asas-Asas Managemen. Alih Bahasa: Winardi. Bandung: Alumni.

, & Rue, Leslie W. 2 00 1. Dasar-Dasar Manajemen. Alih Bahasa: G.A. Ticoalu.


Jakarta: Bumi Aksara.

Timpe, D.A. 1993. Kinerja. Jakarta: Gramedia.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1988. Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Wasistiono, Sadu. 2002a. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Bandung:


Fokusmedia.

, 2002b. Manajemen Sumber daya Aparatur Pemeintah Daerah. Bandung.


Fokusmedia.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Control
Birokrasi pada Era Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia.

Winardi, J. 1981. Organisasi dan Pengorganisasian dalam Manajemen. Bandung: Alumni.

, 1989. Perdaku Organisasi. Bandung: Tarsito.

, 1990. Asas-asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju.

, 1999. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung: Mandar
Maju.

Yudhoyono, S. 2001. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan Sumber Daya


Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

II. DOKUMEN

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Bandung: Fokusmedia.

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Bandung: Fokusmedia.

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara.


Bandung: Fokusmedia.
Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeiksaan
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Bandung: Fokusmedia.

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa


Keuangan. Eksemplar Lepas.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Eksemplar Lepas.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan


Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Bandung: Fokusmedia.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Revie Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Eksemplar Lepas.

Pemerintah Kota Bandung. Laporan Keterangan Pertanggungiawaban Walikota Bandung Tahun


2005.

. Laporan Keterangan Pertanggungiawaban Walikota Bandung Tahun 2006.

. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung (TV No. 22 Tahun 1999 &
PP No. 84 Tahun 2000).

. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung (UU No. 32 Tahun 2004
dan PP No. 41 Tahun 2007)

. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2007 tentang Urusan


Pemerintahan Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas.

. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung dan Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas,

. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas.

Busri, Hisyam. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi Pemerintahan sebagai Determinan


Penting bagi Peningkatan Kualitas Aparatur Pemerintah dalam Pelayanan Masyarakat.
(Disertasi) Bandung: PPs-UNPAD.

Heryati, Ade.2007. Pengaruh Pengawasan Terhadap Kinerja Pegawai dan Aplikasinya Pada
Kualitas Pelayanan Publik Air Bersih di PDAM Kabupaten dan Kota Bogor. (Disertasi)
Bandung: PPs-UNPAD.

Samid, Suripto. 1996. Pengaruh Satuan Pengawasan Intern dan Gaya Kepemimpinan Serta
Persepsi Bawahan Mengenai Perilaku Atasan Terhadap Upaya Manajemen dalam
Meningkatkan Profitabilitas Perusahaan (Survei Pada P. T. Perkebunan Persero di
Sumatera dll). (Disertasi), Bandung:PPs-UNPAD.

Sitepu, S.k. Nirvana. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Unit Pelayanan Statistika
Jurusan Statistik Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran.

Soejadi. 1995. Hubungan Antara Pengawasan Internal dengan Kualitas Pelayanan Medis,
Efisiensi, dan Kepuasan Pasien Rawat Inap pada kasus Manajemen Rumah Sakit Umum
Swasta yang Setingkat (Disertasi). Yogyakarta: PPs-UGM.

Tuasikal, Askam. 2006. Pengaruh Pengawasan Internal dan Eksternal, dan Pemahaman
Mengenai Sistem Akuntansi Keuangan Terhadap Pengelolaan Keuangan dan
Implikasinya Terhadap Kinerja Unit Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Studi pada
Provinsi dan Kabupaten/Kota di Maluku). (Disertasi). Bandung: PPs-UNPAD.

Anda mungkin juga menyukai