Anda di halaman 1dari 59

PEMANFAATAN CANNABIS SATIVA SEBAGAI ALTERNATIF

UNTUK MENANGANI NYERI KRONIK

Oleh:

Nama Mahasiswa : Maria Vania Vionna

NIM : 2010 060 001

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN
2013
PEMANFAATAN CANNABIS SATIVA SEBAGAI ALTERNATIF
UNTUK MENANGANI NYERI KRONIK

Oleh:

Maria Vania Vionna


2010 060 001

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai


salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN
2013
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia

ATMA JAYA

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Tulis Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri, dan tidak ada bagian dari
tulisan ini yang telah dipublikasikan ataupun merupakan hak intelektual pihak
lainnya, kecuali yang telah dinyatakan di dalam referensi daftar pustaka. Apabila
saya melanggar pernyataan ini, saya bersedia untuk menerima sanksi sesuai dengan
peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

NAMA : MARIA VANIA VIONNA


NIM : 2010-060-001

Jakarta, 13 Desember 2013

Maria Vania Vionna


PERNYATAAN PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah ini telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim
Penguji Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya

Jakarta, 13 Desember 2013

Menyetujui

Ketua

(Dr. dr. Lukas Kristanda, MPH., M.M.)

Anggota

(dr. Zita Arieselia, M. Biomed)


PANITIA SIDANG UJIAN KARYA TULIS ILMIAH

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Jakarta, 13 Desember 2013

Ketua

(Dr. dr. Lukas Kristanda, MPH., M.M.)

Anggota

(dr. Zita Arieselia, M. Biomed)

Anggota

(dr. Eva Suryani, SpKJ)


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
13 DESEMBER 2013

ABSTRAK

Pemanfaatan Cannabis sativa Sebagai Alternatif


untuk Menangani Nyeri Kronik
Disusun oleh : MARIA VANIA VIONNA
Dibimbing oleh LUKAS KRISTANDA dan ZITA ARIESELIA

Selama beberapa waktu terakhir ini, negara-negara seperti Kanada, Meksiko,


dan Amerika Serikat menunjukkan dukungan mereka terhadap legalisasi Cannabis
sativa untuk tujuan pengobatan. Cannabis sativa diduga memiliki manfaat,
khususnya dalam mengobati nyeri kronik. Meskipun belum banyak bukti ilmiah yang
mendukung tentang manfaat Cannabis sativa dalam dunia medis, namun banyak
pasien telah menggunakan Cannabis sativa untuk mengatasi nyeri.
Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang
manfaat Cannabis sativa khususnya sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik.
Karya tulis ini menggunakan metode studi pustaka. Artikel dan literatur yang diambil
dari jurnal kedokteran meliputi penelitian klinis, meta-analisis, dan studi retrospektif.
Cannabis sativa memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai obat anti
nyeri kronik, namun pemanfaatannya secara luas dan resmi masih sulit untuk
diwujudkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal penting seperti uji toksisitas,
dosis letal, dan standarisasi dosis penggunaan Cannabis sativa masih membutuhkan
pembuktian ilmiah lebih lanjut.

Kata kunci: marijuana, medical marijuana, Cannabis sativa, nyeri kronik


FACULTY OF MEDICINE ATMA JAYA
13th DECEMBER 2013

ABSTRACT

Using Cannabis sativa As An Alternative


to Treat Chronic Pain
Composed by : MARIA VANIA VIONNA
Mentored by LUKAS KRISTANDA and ZITA ARIESELIA

Over the last few time, countries like Canada, Mexico, and United States of
America show their support to legalize Cannabis sativa for medical reason.
Cannabis sativa is thought to have benefits especially in treating chronic pain. A lot
of patients with chronic pain have been known to use Cannabis sativa as their
medication even though there is not many scientific evidence regarding the benefits
of Cannabis sativa in treating chronic pain.
This study aims to provide the information about the benefits of Cannabis
sativa especially as an alternative to treat chronic pain. This study was using
literature study method. Articles and literatures taken from medical journal include
preclinical research, clinical research, meta-analysis, and retrospective study.
Cannabis sativa has potential to be used to treat chronic pain, but legalizing
and generalizing its usage is difficult to be achieved. This is due to some important
points such as toxicity tests, lethal dose, and dosage standardization of Cannabis
sativa usage still need further scientific verification.

Keywords: marijuana, medical marijuana, Cannabis sativa, chronic pain


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Tujuan penulisan
Karya Tulis Ilmiah berjudul Pemanfaatan Cannabis sativa Sebagai Alternatif untuk
Menangani Nyeri Kronik ini ialah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Lukas Kristanda,
MPH., M.M. dan dr. Zita Arieselia, M. Biomed selaku pembimbing utama dan
pembimbing pendamping yang telah membimbing penulis selama proses penulisan
karya tulis ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada orang tua,
kakak, adik, sahabat, dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penyusunan karya tulis ini.
Penulis berharap agar Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberi informasi bagi
mahasiswa kedokteran, tenaga medis, dan masyarakat mengenai Cannabis sativa dan
pemanfaatannya untuk mengatasi nyeri kronik. Penulis juga berharap agar Karya
Tulis Ilmiah ini dapat menjadi referensi bagi para peneliti yang ingin melakukan
penelitian mengenai Cannabis sativa sebagai alternatif pengobatan nyeri kronik.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat untuk
penyusunan Karya Tulis Ilmiah di masa mendatang. Penulis juga mohon maaf jika
ada kata-kata yang kurang berkenan bagi para pembaca. Terlepas dari berbagai
kekurangan, penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat berguna bagi para
pembaca untuk menambah wawasan tentang pemanfaatan Cannabis sativa sebagai
alternatif pengobatan nyeri kronik.

Jakarta, Desember 2013

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.........ii


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN............iii
ABSTRAK....................................................................................................................v
ABSTRACT.................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR................................................................................................vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................viii
DAFTAR TABEL........................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................xii
DAFTAR SINGKATAN...........................................................................................xiii

I. PENDAHULUAN........1
1.1. Latar Belakang....1
1.2. Rumusan Masalah...2
1.3. Tujuan.....2
1.3.1. Tujuan Umum......2
1.3.2. Tujuan Khusus.2
1.4. Manfaat...2
1.4.1. Manfaat Praktis....2
1.4.2. Manfaat Bagi Masyarakat....3
1.4.3. Manfaat Bagi Peneliti......3

II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4


2.1. Cannabis..............................................................................................4
2.1.1. Cannabis sativa...........................................................................5
2.1.1.1. Farmakologi Tetrahydrocannabinoid (THC).................6
2.1.1.2. Farmakokinetik Tetrahydrocannabinoid (THC).............7
2.1.1.3. Sistem Endocannabinoid...............................................10
2.1.1.4. Efek Pemakaian Cannabis sativa..................................10
2.1.1.4.1. Intoksikasi Cannabis......................................11
2.1.1.4.2. Gejala Putus Cannabis...................................11
2.1.1.4.3. Efek Lain dari Pemakaian Cannabis..............12
2.1.2. Cannabis indica........................................................................13
2.1.3. Cannabis rudealis.....................................................................13
2.2. Nyeri (Pain).......................................................................................14
2.2.1. Kategori Reseptor Nyeri...........................................................14
2.2.2. Proses Terjadinya Nyeri............................................................15
2.2.3. Klasifikasi Nyeri.......................................................................16
2.2.3.1. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Patofisiologinya...........17
2.2.3.2. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasinya.....................17
2.2.4. Nyeri Kronik.............................................................................18
2.2.4.1. Tatalaksana Nyeri Kronik.............................................18
2.2.4.1.1. Obat Golongan Non-Opioid...........................19
2.2.4.1.2. Obat Golongan Opioid...................................20
2.3. Proses Pengembangan Obat Baru......................................................22
2.4. Penelitian tentang Pemanfaatan Cannabis sativa dalam Menangani
Nyeri Kronik.....................................................................................24
2.4.1. Tinjauan sistematis studi preklinik efek cannabinoid dalam
mengurangi nyeri kronik............................................................24
2.4.2. Tinjauan sistematis Campbell et al...........................................25
2.4.3. Penelitian Abrams et al.............................................................26
2.4.4. Penelitian Wilsey et al..............................................................27
2.4.5. Penelitian Ellis et al..................................................................29
2.4.6. Tinjauan sistematis Martin-Sanchez et al.................................30
2.4.7. Penelitian Ware et al.................................................................30
2.4.8. Tinjauan sistematis Starkman dan Rowland.............................31
2.4.9. Penelitian Constas dan Ware....................................................32

III. METODE PENULISAN.........................................................................33


3.1. Metode Pengumpulan Jurnal..............................................................33
3.2. Pertanyaan Kajian..............................................................................33

IV. PEMBAHASAN......................................................................................34
4.1. Kajian Pustaka tentang Cannabis sativa untuk menangani nyeri
kronik....34
4.2. Kajian Hasil-hasil Penelitian..............................................................41
V. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................43
5.1. Kesimpulan........................................................................................43
5.2.Saran...................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................44
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Taksonomi tanaman Cannabis................................4

Tabel 2. Jurnal Tinjauan Sistematis................................34

Tabel 3. Jurnal Penelitian........................................37


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Distribusi THC dalam Tubuh...........................8

Gambar 2. Proses Pengembangan Suatu Substansi Menjadi Obat..........23


DAFTAR SINGKATAN

AMPA : -amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid


AMA : American Medical Association
CB1 : cannabinoid-1
CB2 : cannabinoid-2
CBD : cannabidiol
CBDA : cannabidiol acid
CBN : cannabinol
COX : cyclooxygenase
CRPS : complex regional pain syndrome
DDS : Descriptor Differential Scale
DEA : Drug Enforcement Administration
DSM-5 : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth
Edition
FDA : Food and Drug Administration
GABA : gamma-aminobutyric acid
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HIV-SN : HIV-associated sensory neuropathy
IASP : International Association for the Study of Pain
IND : Investigational New Drug
LSD : lysergic acid diethylamide
NDA : New Drug Application
NMDA : N-methyl-D-aspartate
NSAID : Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs
OAINS : Obat Anti Inflamasi Non-Steroid
THC : 9-tetrahydrocannabinol
THCA : 9-tetrahydrocannabinol acid
VAS : Visual Analogue Scale
WHO : World Health Organization
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cannabis sativa atau yang juga dikenal dengan istilah marijuana dan ganja,
telah dimanfaatkan baik dalam bidang medis, agrikultur, dan industri.[1] Marijuana
telah digunakan secara luas sebagai obat oleh pasien dengan pengarahan dan
pengawasan dari dokter, namun aksi pajak marijuana tahun 1937 di Amerika Serikat
membuat penggunaannya menjadi ilegal. Sejak saat itu penggunaan marijuana
sebagai pengobatan dilarang selama hampir 60 tahun sebelum akhirnya Proposal 215
yang diajukan California di tahun 1996 berhasil diterima dan disahkan.[1]
Beberapa negara menunjukkan dukungan terhadap legalisasi marijuana untuk
penggunaan sebagai pengobatan. Kanada sekarang telah memiliki program nasional
untuk pengobatan dengan menggunakan marijuana (medical marijuana). Sebanyak
20 negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan ganja. Meksiko baru-baru ini
telah mengajukan hukum untuk mengizinkan seseorang memiliki sejumlah kecil
marijuana di antara jenis-jenis obat lainnya,[1] sedangkan di Indonesia penggunaan
marijuana masih sangat diatur oleh Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika.[2]
Marijuana diduga memiliki manfaat dalam mengobati nyeri, mual dan muntah,
penurunan berat badan karena penyakit, spasme neurologik, dan glaukoma.[1]
Terdapat penelitian yang mengemukakan hasil memuaskan dalam penanganan nyeri
kronik dengan menggunakan marijuana. Studi yang dipublikasikan pada Maret 1999
mengemukakan bahwa studi terhadap hewan dan manusia mengindikasikan bahwa
cannabinoid memiliki efek analgesik yang substansial.[3] Studi lain yang
dipublikasikan pada September 2005 menulis tentang adanya bukti signifikan bahwa
cannabinoid dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang terutama disebabkan oleh
kelainan neuropati.[4]
Ada pula studi yang menyatakan pendapat yang kontradiktif tentang
penggunaan medical marijuana. Studi yang diumumkan pada Juli 2001 mengatakan
bahwa cannabinoid tidak lebih efektif dibanding kodein untuk mengontrol nyeri dan
memiliki efek depresan terhadap susunan saraf pusat sehingga akan membatasi
manfaat kegunaannya.[5]
Terdapat pro dan kontra tentang penggunaan marijuana sebagai alternatif untuk
menangani nyeri, khususnya nyeri kronik. Pengobatan nyeri kronik membutuhkan
penatalaksanaan jangka panjang, dan pengobatan nyeri kronik yang ada saat ini dapat
mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan oleh pasien. Oleh karena itu,
studi literatur ini dilakukan untuk melihat lebih jauh tentang peran sesungguhnya dari
penggunaan marijuana sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik.

1.2. Rumusan Masalah


Apakah marijuana dapat dimanfaatkan sebagai alternatif yang efektif untuk
menangani nyeri kronik?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
1.3.1.1. Tersedianya informasi yang lengkap tentang Cannabis sativa.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Tersedianya informasi tentang peranan Cannabis sativa dalam
menangani nyeri kronik.
1.3.2.2. Terjawabnya pro dan kontra tentang penggunaan Cannabis sativa
sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik.

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada instansi
terkait. khususnya instansi kesehatan, tentang manfaat dan efek samping
yang mungkin ditimbulkan dalam penggunaan marijuana sebagai alternatif
pengobatan nyeri kronik.

1.4.2. Manfaat Bagi Masyarakat


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan kepada masyarakat
tentang marijuana serta manfaat dan efek samping penggunaannya.
1.4.3. Manfaat Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan
pengetahuan peneliti tentang manfaat dan kerugian yang mungkin
ditimbulkan sebagai akibat dari pemanfaatan marijuana sebagai alternatif
penanganan nyeri kronik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cannabis
Cannabis adalah genus dari tanaman dan termasuk di dalamnya adalah tiga
varietas, yaitu Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis rudealis.[6] Meskipun
tanaman ini sekarang tersebar di mana-mana, namun Cannabis sebenarnya
merupakan tanaman asli Asia Tengah dan telah menyebar ke seluruh dunia dan
mungkin merupakan tanaman yang paling banyak digunakan di Amerika dan Eropa
meskipun tergolong obat ilegal[6] karena mengandung cannabinoid yang merupakan
bahan psikoaktif yang dimiliki tanaman ini, dan yang paling signifikan efeknya
adalah 9-tetrahydrocannabinol, yang sering disingkat sebagai THC.[6]

Tabel 1. Taksonomi tanaman Cannabis [7]

Kingdom Plantae

Subkingdom Tracheobionta

Superdivisio Spermatophyta

Divisio Magnoliophyta

Kelas Magnoliopsida Dicotyledons

Subkelas Hamamelididae

Ordo Urticales

Familia Cannabaceae

Genus Cannabis L. hemp

Cannabis sativa L. marijuana


Spesies Cannabis indica
Cannabis rudealis
2.1.1. Cannabis sativa
Tanaman C. sativa L. adalah sumber dari berbagai macam produk obat.
Komposisi utama dalam cannabis (hashish) ialah resin yang disekresi oleh
kelenjar rambut yang ditemukan di seluruh permukaan tanaman terutama di
sekitar bunganya, sedangkan cannabis herbal (marijuana) terdiri dari bagian
tanaman yang kering.[8] Bunga dan daun dari tanaman C. sativa mensekresi
resin yang mengandung 60 bahan terpenofenol yang dikenal sebagai
cannabinoid.[8]
Cannabinoid utama ialah 9-tetrahydrocannabinoid (THC), yang
dikenal sebagai zat psikoaktif utama yang bertanggung jawab menyebabkan
intoksikasi khas (high) yang akan muncul setelah merokok atau menelan
cannabis. THC memiliki efek analgesik yang cukup kuat, namun bila
digunakan dalam dosis tinggi akan menyebabkan efek halusinogen. Efek lain
dari THC yaitu relaksasi, perubahan terhadap penglihatan, pendengaran, dan
pembau, kelelahan, dan peningkatan nafsu makan. Selain THC, beberapa
metabolit potensial lainnya adalah psikoaktif 8-THC dan cannabinol (CBN).
Bahan utama lainnya ialah cannabidiol (CBD), yang memiliki efek antagonis
terhadap THC karena CBD merupakan komponen sedatif. Rasio THC:CBD
di dalam tanaman cannabis ditentukan secara genetik.[8]
Cannabis memiliki beberapa jenis tanaman dengan kemotipe berbeda.
Secara penampilan luar, tanaman-tanaman ini tampak sama namun berbeda
secara komposisi kimia. Terdapat jenis kaya serat yang dikenal sebagai hemp
yang mengandung CBD lebih banyak dan hanya sedikit THC (kurang dari
0,3%).[8] Sebaliknya, tanaman yang merupakan jenis obat mengandung lebih
banyak THC dengan sedikit CBD.
Sebagian besar riset farmakologi terfokus pada THC dan CBD. Namun,
meskipun THC adalah zat yang paling sering memberi efek pada obat-obatan
cannabis, penting untuk mengingat bahwa THC dan cannabis bukanlah
merupakan sinonim, karena di dalam tanaman, THC ditemukan sebagai asam
(THCA), begitu pula dengan CBD (CBDA). Komponen asam ini akan
perlahan-lahan terurai selama penyimpanan menjadi zat kimia netral dan
menetap sebagai THC dan CBD. Diketahui juga bahwa beberapa komponen
non-cannabinoid dari tanaman ini yang dapat mengatur efek farmakologis
dari cannabinoid.[8]
Sebanyak 20 negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan ganja.
Dua di antaranya, yaitu Colorado dan Washington, melegalkan ganja untuk
penggunaan rekreasional, sedangkan sisanya melegalkan penggunaan
marijuana medik,[9] meskipun marijuana masih diatur dalam narkotika
golongan I oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan di Amerika
Serikat (Food and Drug Administration; FDA).[10] Di Indonesia sendiri,
marijuana secara hukum masih diatur dalam Undang-undang nomor 35 tahun
2009 tentang narkotika sebagai narkotika golongan I dan dilarang digunakan
untuk kepentingan kesehatan.[2]

2.1.1.1. Farmakologi Tetrahydrocannabinoid (THC)


Penggunaan marijuana dengan cara dibakar dan dihirup asapnya
(seperti rokok) biasanya terdiri dari daun tanaman dan puncak bunga
yang dikeringkan. Konsentrasi THC dalam daun marijuana berkisar
antara 0,5% sampai 5%, sedangkan puncak bunga memiliki kadar THC
sekitar 7%-14%.[11]
Penggunaan marijuana secara dibakar dan dihirup asapnya
adalah cara administrasi yang paling umum dilakukan. Satu linting
marijuana mengandung sekitar 0,5-1,0 gram cannabis dengan kadar
THC yang bervariasi dari 5-150 miligram, atau 1%-15%.[11] Jumlah
THC yang akan masuk ke dalam tubuh lewat asap telah diperkirakan
yaitu sekitar 20% dari kadar THC yang terkandung pada satu linting
ganja,[11] dan hanya sejunlah kecil dari kadar THC yang dibutuhkan
untuk menghasilkan efek intoksikasi (brief, pleasurable high), yaitu
sekitar 2-3 miligram.[11] Telah diperkirakan bahwa hanya 1% dari THC
yang berada dalam satu linting ganja yang ditemukan di dalam otak
setelah merokok ganja; berarti hanya 2-44 g dari THC yang masuk ke
dalam otak.[8]
Standarisasi dosis THC menjadi penting untuk diketahui dalam
upaya pemanfaatan cannabis dalam dunia medis, khususnya bila akan
digunakan untuk tujuan pengobatan. Sebuah jurnal mempublikasikan
tentang standarisasi kadar THC yang ditemukan pada tanaman
cannabis.[12] Dalam jurnal tersebut dicantumkan potensi rata-rata dari
cannabis yang tersedia di British Columbia, Kanada. Potensi rata-rata
cannabis ini juga mewakili potensi rata-rata cannabis di negara-negara
lain di seluruh dunia, yaitu 172 (+ 26) miligram per 1 gram cannabis.[12]
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kadar THC rata-rata yang
akan masuk ke dalam tubuh lewat asap ialah sekitar 20%,[11,12] sehingga
bila dimisalkan 170 miligram THC per gram cannabis dihirup, maka
kadar THC yang akan masuk ke dalam tubuh ialah sekitar 34 miligram
per 1 gram cannabis,[12] namun karena 1 linting ganja biasanya hanya
mengandung 0,5 gram cannabis, maka diperkirakan kadar THC yang
masuk ke dalam tubuh setelah merokok selinting ganja ialah 17
miligram.[12] Angka ini termasuk tinggi, mengingat potensi cannabis
yang disediakan oleh Departemen Kesehatan Kanada (Health Canada)
telah distandarisasi menjadi 12,5 + 2% atau sekitar 125 miligram per
gram.[13]
Dosis letal THC sendiri belum dapat dipastikan, namun terdapat
perkiraan bahwa pemberian THC 30 miligram per kilogram berat badan
dapat menyebabkan kematian[14]. Ada pula yang melaporkan bahwa
merokok 680 kilogram cannabis dalam waktu 14 menit akan
menyebabkan kematian, meskipun sampai saat ini belum ada yang
melaporkan kematian terkait overdosis maupun penggunaan
cannabis.[12]

2.1.1.2. Farmakokinetik Tetrahydrocannabinoid (THC)


THC cepat diabsorbsi setelah dihirup asapnya dan dapat
dideteksi di dalam plasma dalam waktu beberapa detik. Sekitar 10-
50% THC dalam obat akan mencapai aliran darah dan sekitar 30%
akan hilang akibat pembakaran dan asap sampingan, penyerapan yang
tidak lengkap, dan retensi di dalam rokok (linting; joint).[8]
Saat cannabis dihirup, efeknya akan dimulai dalam beberapa
detik, mencapai puncaknya dalam waktu 20 menit dan bertahan selama
2-3 jam. Sebaliknya, bila cannabis dimakan, efeknya akan lebih lambat
namun lebih lama bertahan, yaitu mencapai efek maksimum sekitar 3-4
jam setelah ditelan dan bertahan sekitar 6-8 jam.[8] Cannabis sendiri
memiliki efek terhadap berbagai sistem di dalam tubuh. Karena
sifatnya yang merupakan stimulan, cannabis menyebabkan euforia,
kecemasan, meningkatnya persepsi sensorik, halusinasi, gangguan
memori, serta mulut kering dan mata merah karena injeksi
konjugtiva.[8]
Metabolisme utama THC terjadi di hepar dan melibatkan
banyak enzim. Beberapa akan dihambat oleh CBD, yang akan
mempengaruhi metabolisme THC. Selanjutnya THC dimetabolisme
menjadi molekul non-psikoaktif dan diekskresi melalui urin, namun
hanya sedikit dari bahan THC yang dapat terdeteksi di urin.[8]

Gambar 1. Distribusi THC dalam Tubuh[8]

Gambar di atas menunjukkan bahwa di dalam darah, kadar


THC akan langsung meningkat sesaat setelah marijuana digunakan.
Namun kenaikan ini akan langsung diikuti dengan penurunan kadar
THC yang drastis dan akhirnya kadar yang rendah ini akan menetap.
Lain halnya dengan kadar THC di dalam otak yang akan meningkat
pelan-pelan dan menetap untuk beberapa saat sebelum mengalami
penurunan dan menetap.
Sama seperti di dalam otak, kadar THC di dalam jaringan
perfusi tinggi akan mengalami peningkatan perlahan dan menetap
untuk beberapa saat dan akhirnya menurun lalu menetap, sedangkan di
dalam jaringan perfusi rendah kadar THC akan meningkat lebih
perlahan dan menetap lebih lama sebelum akhirnya sedikit mengalami
penurunan. Terakhir, di dalam jaringan lemak, kadar THC akan
mengalami peningkatan perlahan sebelum akhirnya meningkat lagi dan
menetap karena THC adalah substansi yang larut dalam lemak
(lipofilik),[8] sehingga penggunaan cannabis berulang akan
menyebabkan akumulasi cannabinoid di jaringan kaya lipid.
THC secara perlahan dilepaskan dari jaringan lipid ke dalam
aliran darah. Namun tidak ada hubungan antara kadar THC dalam
darah dan metabolitnya dalam darah dan efeknya pada perilaku, seperti
gangguan psikomotor. Hal ini diakibatkan karena adanya penundaan
antara intoksikasi subjek (high) dan THC di dalam darah, dan karena
ada juga variasi efek psikoaktif yang dialami individu dengan kadar
THC dalam darah yang sama.[8]
Meskipun cara paling umum dari penggunaan cannabis ialah
dengan dibakar dan dihirup asapnya[11], namun untuk kepentingan
pengobatan, telah dikembangkan obat sintetik THC yang dapat
diberikan secara oral, misalnya Nabilone dan Dronabinol.[15] Nabilone
adalah THC analog nitrogen sintetik. Obat ini memiliki onset 60-90
menit dengan waktu paruh 8-12 jam. Nabilone tersedia dalam bentuk
kapsul (0,25 miligram, 0,5 miligram, dan 1 miligram) dan sirup (0,25
miligram). Dosis maksimal yang dapat diberikan per hari ialah 6
miligram.[15] Secara umum, indikasi utama penggunaan Nabilone
adalah untuk pasien mual pasca kemoterapi, namun di Amerika obat
ini diberikan juga untuk pasien anoreksia akibat AIDS dan di Meksiko
diindikasikan sebagai obat analgesik,[15] meskipun efektivitasnya
belum dapat dipastikan.[16, 17]
Dronabinol adalah derivat cannabis yang memiliki onset 30-60
menit dengan waktu paruh 4-6 jam. Obat ini tersedia dalam bentuk
kapsul dengan dosis 2,5 miligram, 5 miligram, dan 10 miligram.[15]
Indikasi utama penggunaan dronabinol ialah untuk pasien mual pasca
kemoterapi dan anoreksia terkait AIDS, namun terdapat studi yang
menyatakan bahwa dronabinol memiliki efektivitas rata-rata yang
secara klinis memiliki efek relevan sebagai analgesik.[18, 19]
2.1.1.3. Sistem Endocannabinoid
THC dan komponen cannabinoid lainnya bekerja dengan cara
berikatan dengan reseptor cannabinoid yang spesifik yang ditemukan di
permukaan membran berbagai sel otak dan sel-sel yang berkaitan
dengan sistem imun.[8] Terdapat dua reseptor yang telah diidentifikasi,
yaitu reseptor CB1 (cannabinoid-1) yang diekspresikan di otak dan sel
saraf yang merupakan modulator nyeri sehingga reseptor ini diduga
mempengaruhi sinyal nyeri di berbagai area. Reseptor CB2
(cannabinoid-2) diekspresikan di jaringan perifer dan yang paling utama
di sistem imun dan diduga membantu meregulasi reaksi inflamasi.[8]
Penemuan kedua reseptor ini menjadi pelopor ditemukannya
sistem endocannabinoid. Sistem endocannabinoid adalah kumpulan
jaringan reseptor yang mengikat komponen-komponen yang dikandung
cannabis dan ligan-ligan endogen yang diproduksi oleh tubuh dan
berinteraksi dengan neurotransmiter lainnya seperti misalnya GABA
(gamma-aminobutyric acid), reseptor opioid, dan sistem dopamin.[8]

2.1.1.4. Efek Pemakaian Cannabis sativa


Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemakaian ganja atau
Cannabis sativa dapat memberi efek euforia, karena sifat ganja yang
merupakan substansi stimulan. Ganja, seperti substansi-substansi
lainnya, dapat memberikan efek intoksikasi dan efek putus zat
(withdrawal). Berikut ini akan dijelaskan tentang efek samping
penggunaan ganja berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi kelima (DSM-5).[20]

2.1.1.4.1. Intoksikasi Cannabis[20]


Kriteria intoksikasi Cannabis oleh DSM-5 dijelaskan
sebagai berikut:
penggunaan ganja baru-baru ini.
perubahan psikologis dan perilaku maladaptif yang berarti
secara klinis (misalnya terganggunya koordinasi motorik,
euforia, ansietas, penarikan diri secara sosial, terganggunya
penilaian) yang dialami selama, atau sesaat setelah
penggunaan ganja.
setidaknya 2 dari gejala berikut dialami dalam 2 jam
penggunaan ganja:
o injeksi konjungtiva
o peningkatan nafsu makan
o mulut kering
o takikardia
gejala yang dialami tidak diakibatkan oleh kondisi medis
umum dan tidak disebabkan adanya gangguan mental lain
atau penggunaan substansi lain.
Dokter diinstruksikan untuk dapat menentukan apakah
gejala yang muncul terjadi bersamaan dengan gangguan
persepsi. Ini dapat ditentukan dengan melakukan intact reality
testing. Bila intact reality testing positif, artinya seseorang
menyadari bahwa perubahan psikologis yang dialaminya adalah
akibat dari penggunaan substansi tertentu.

2.1.1.4.2. Gejala Putus Cannabis[20]


Kriteria gejala putus cannabis oleh DSM-5 dijelaskan
sebagai berikut:
berkurangnya pemakaian cannabis yang sebelumnya lama
dan berat.
setidaknya 3 atau lebih dari gejala berikut muncul dalam 1
minggu setelah berkurangnya pemakaian cannabis:
o iritabel, marah, atau peningkatan agresivitas
o rasa gugup atau ansietas
o sulit tidur (insomnia, mimpi buruk)
o penurunan nafsu makan atau berat badan yang
menurun
o rasa gelisah
o mood yang depresif
o setidaknya 1 dari gejala berikut menyebabkan rasa
tidak nyaman yang signifikan: nyeri perut, tremor,
berkeringat, demam, kedinginan, atau nyeri kepala
timbulnya gejala-gejala di atas menyebabkan hendaya yang
signifikan atau menurunnya fungsi kerja dan fungsi sosial.
gejala yang timbul tidak disebabkan oleh penyakit lain dan
tidak bisa dijelaskan oleh kelainan mental lain, termasuk
intoksikasi atau gejala putus substansi lain.

2.1.1.4.3. Efek Lain dari Pemakaian Cannabis


Efek lain dari pemakaian ganja, seperti efek adiksi, secara
epidemiologis terbukti lebih rendah dibanding efek adiksi penggunaan
substansi lainnya, yaitu sekitar 9%.[11] Toleransi juga diduga merupakan
salah satu efek samping yang akan ditimbulkan oleh pemakaian ganja,
namun mekanismenya belum diketahui.[11]
Efek jangka pendek ganja terhadap fungsi kognisi antara lain
kesulitan belajar dan mengingat informasi baru.[14] Namun, efek jangka
panjang ganja terhadap fungsi kognisi masih kontroversial.[14] Hal ini
dikarenakan keterbatasan penelitian dan kurangnya bukti-bukti yang
mendukung.[14] Beberapa studi melaporkan adanya gangguan fungsi
kognisi yang diakibatkan oleh ganja,[11,14] namun studi lainnya tidak
menemukan hal yang sama.[14] Selain itu, terdapat juga bukti bahwa
penggunaan ganja merupakan faktor risiko dari gangguan psikosis
seperti skizofrenia.[11] Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
cannabis meningkatkan risiko terjadinya kelainan psikosis, tetapi hal ini
lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti faktor genetik,
penggunaan cannabis di usia muda, atau riwayat pernah mengalami
episode psikotik sebelumnya.[11, 14]
Meskipun demikian, hubungan
kausal dari penggunaan marijuana dan terjadinya skizofrenia masih
belum jelas.[11]
Meskipun gejala intoksikasi dan gejala putus zat dari
penggunaan ganja telah diketahui, namun belum ada jurnal yang
mempublikasikan tentang berapa lama durasi pemakaian ganja yang
dapat menimbulkan efek intoksikasi, ketergantungan, ataupun gejala
putus zat.[12] Selain itu, tidak ditemukan adanya efek kerusakan paru-
paru pada perokok ganja.[21] Studi landmark longitudinal yang
dipublikasikan di tahun 2012 oleh American Medical Association
(AMA) menulis bahwa pada 5.000 pasien yang merokok ganja selama
lebih dari 20 tahun tidak ditemukan adanya penurunan fungsi paru-paru,
namun sebaliknya para perokok ganja tersebut menunjukkan adanya
peningkatan kapasitas total fungsi paru.[21]

2.1.2. Cannabis indica


Cannabis indica berasal dari negara seperti Afganistan, Moroko, dan
Tibet.[8] Tanaman ini pendek dan padat, dengan daun yang lebar dan warna
hijaunya lebih tua. Setelah bertunas, mereka akan bertumbuh dewasa dalam
waktu 6-8 minggu. Tunasnya tebal dan padat, dengan aroma dan rasa yang
bervariasi dari aroma yang tajam, sampai manis dan seperti buah. Asap
Cannabis indica memberi efek menenangkan. Indica memiliki kadar CBD
lebih tinggi dibanding THC sehingga memberi efek sedasi yang lebih berat.[8]

2.1.3. Cannabis rudealis


Tidak banyak yang diketahui tentang varian cannabis yang terakhir ini.

2.2. Nyeri (Pain)


Nyeri adalah simtom yang kompleks yang dialami oleh individu dalam cara yang
berbeda-beda. Nyeri, oleh International Association for the Study of Pain (IASP),
didefinisikan sebagai sensasi tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang
diasosiasikan dengan terjadinya atau potensi terjadinya kerusakan jaringan. Dengan
demikian, nyeri memiliki komponen fisik dan fisiologis.[22] Berikut ini ialah beberapa
istilah yang berkaitan dengan nyeri, yaitu:[22]
dysaesthesia, merupakan sensasi tidak menyenangkan yang abnormal.
Contohnya nyeri seperti terbakar, rasa baal, gatal, dan tertusuk.
hyperalgesia, yaitu meningkatnya respon terhadap stimulus yang
menimbulkan nyeri.
allodynia, yaitu nyeri yang dirasakan sebagai respon terhadap stimulus
yang tidak menimbulkan nyeri.
nyeri afektif, yaitu respon emosional terhadap persepsi dan interpretasi
dari stimulus nyeri. Pengalaman terhadap nyeri bervariasi di antara
masing-masing individu dan dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, status
psikologis, dan pengalaman nyeri sebelumnya.
ambang rangsang nyeri, didefinisikan sebagai pengalaman nyeri paling
kecil yang bisa dikenali sebagai stimulus oleh seseorang.

2.2.1. Kategori Reseptor Nyeri


Reseptor nyeri memiliki nilai dalam kelangsungan hidup manusia.
Karenanya, reseptor nyeri tidak beradaptasi untuk stimulasi yang bertahan
atau berulang.[23] Terdapat tiga kategori dari reseptor nyeri, atau nosiseptor,
yaitu:[23]
nosiseptor mekanik, yang merespon kerusakan mekanik, seperti
pemotongan, penghancuran, atau pencubitan.
nosiseptor termal, yang merespon perubahan suhu yang ekstrem,
terutama panas.
nosiseptor polimodal, yang merespon secara sama terhadap semua
jenis stimulus yang merusak, termasuk bahan kimia iritatif yang
dilepaskan oleh jaringan yang mengalami trauma.
Semua nosiseptor dapat disensitisasi dengan adanya prostaglandin, yang
akan meningkatkan respon reseptor terhadap stimulus yang menyakitkan
(artinya bahwa rasa nyeri akan semakin dirasakan dengan adanya
prostaglandin). Kerusakan jaringan dan hal-hal lainnya dapat menyebabkan
sekresi prostaglandin lokal, lalu prostaglandin akan bekerja di ujung saraf tepi
dari nosiseptor dan menurunkan ambang rangsang nyeri sehingga akhirnya
teraktivasi.

2.2.2. Proses Terjadinya Nyeri


Impuls nyeri berasal dari nosiseptor, kemudian ditransmisikan ke
susunan saraf pusat melalui dua tipe serabut aferen.[23] Sinyal dari nosiseptor
mekanik dan nosiseptor termal ditransmisikan melalui serabut A-delta yang
kecil dan bermyelin dengan kecepatan 30 m/detik, ini dikenal sebagai nyeri
cepat (fast pain pathway). Sedangkan impuls dari nosiseptor polimodal
dibawa oleh serabut C yang kecil dan tidak memiliki myelin pada kecepatan
yang lebih lambat yaitu 12 m/detik dan ini dikenal sebagai nyeri lambat (slow
pain pathway).[23]
Berbagai struktur memiliki peran dalam proses terjadinya nyeri.
Serabut-serabut aferen primer nyeri bersinaps dengan interneuron spesifik di
tanduk dorsal medulla spinalis. Sebagai respon terhadap potensial aksi akibat
imbas stimulus, serabut aferen nyeri melepaskan neurotransmiter yang
mempengaruhi neuron-neuron berikutnya. Dua neurotransmiter nyeri yang
paling dikenal ialah substansi P dan glutamat.[23]
Substansi P mengaktifkan jalur asendens yang mengantarkan sinyal
nosiseptif ke tingkat yang lebih tinggi untuk proses berikutnya. Jalur
asendens nyeri memiliki tujuan berbeda di korteks, talamus, dan formatio
retikularis. Somatosensorik korteks memproses area untuk lokalisasi nyeri,
sedangkan area korteks lain berperan dalam komponen pengalaman nyeri
lainnya, misalnya tentang insiden yang menyebabkan nyeri.[23] Nyeri masih
bisa dirasakan meskipun tidak ada korteks, kemungkinan di tingkat talamus.
Formatio retikularis meningkatkan level kesadaran yang diasosiasikan dengan
mulai dirasakannya nyeri. Interkoneksi dari talamus dan formatio retikularis
menuju hipotalamus dan sistem limbik memicu respon perilaku dan
emosional yang juga dialami saat nyeri dirasakan. Sistem limbik tampaknya
sangat penting dalam mendeteksi aspek tidak menyenangkan dari
pengalaman nyeri.[23]
Glutamat, neurotransmiter lain yang dilepaskan oleh ujung serabut saraf
aferen nyeri, ialah neurotransmiter eksitatorik utama. Glutamat beraksi pada
dua membran plasma reseptor yang berbeda di tanduk dorsal neuron dengan
dua hasil yang berbeda. Pertama, pengikatan glutamat dengan reseptor
AMPA (-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazoleprepionic acid)
menyebabkan perubahan permeabilitas yang akhirnya mengakibatkan
perubahan potensial aksi di sel tanduk dorsal. Potensial aksi ini mengantarkan
rasa nyeri ke pusat. Kedua, pengikatan glutamat dengan reseptor NMDA (N-
metyl-D-aspartate) menyebabkan masuknya Ca2+ ke dalam sel tanduk dorsal,
namun jalur ini tidak termasuk dalam proses transmisi nyeri. Tetapi Ca2+
menginisiasi sistem penghantar kedua yang menyebabkan neuron tanduk
dorsal lebih mudah dirangsang dari biasanya. Hipereksitabilitas ini
berkontribusi dalam peningkatan sensitivitas area yang mengalami trauma
terhadap paparan yang menyakitkan atau terhadap paparan yang normalnya
tidak menyebabkan nyeri, seperti sentuhan ringan. Biasanya hipersensitivitas
ini akan membaik seiring dengan sembuhnya luka.[23]
Selain itu, prostaglandin juga memiliki peran dalam proses terjadinya
nyeri. Stimulus fisik, mekanik, atau kimia yang menyebabkan kerusakan sel
akan mengaktifkan fosfolipase A2 yang selanjutnya akan menghidrolisis
bagian fosfolipid membran sel dan melepaskan asam arakidonat yang akan
dibawa ke jalur cyclooxygenase (COX), khususnya COX-2 yang diaktivasi
bila ada inflamasi. Lalu selanjutnya asam arakidonat yang telah
dimetabolisme oleh COX-2 akan menghasilkan Prostaglandin E2 (PGE2) dan
Prostasiklin (PGI2) yang akan menurunkan ambang rangsang nosiseptor dan
mempermudah timbulnya nyeri.[24]

2.2.3. Klasifikasi Nyeri


Klasifikasi nyeri dibagi berdasarkan patofisiologi dan durasinya.[22]

2.2.3.1. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Patofisiologinya


Nyeri nosiseptif, yaitu nyeri yang ditransmisikan setelah
nosiseptor teraktivasi. Nosiseptor terlokalisasi di kulit,
sistem muskuloskeletal (menyebabkan nyeri somatik), dan
di viseral (menyebabkan nyeri viseral). Nyeri nosiseptif
menandakan potensi kerusakan jaringan dan meningkatkan
respon proteksi, respon tingkah laku, serta koordinasi
refleks proteksi.
Nyeri neuropati, yaitu nyeri yang berasal dari sistem saraf
(neuron, medulla spinalis, atau otak) saat saraf rusak karena
penyakit atau trauma. Nyeri neuropati dapat disebabkan
oleh lesi atau disfungsi di susunan saraf pusat ataupun
susunan saraf perifer. Karakteristik nyeri neuropati ialah
rasa terbakar, tertusuk, tertembak, allodynia, dan/atau
hiperalgesia.
2.2.3.2. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasinya
Nyeri akut, yaitu nyeri jangka pendek yang menandakan
adanya kerusakan jaringan dan memiliki fungsi proteksi.
Nyeri akut biasanya dapat dilokalisasi dengan baik.
Nyeri episodik, yaitu bentuk transien dari nyeri akut.
Nyeri paroksismal, yaitu nyeri berat dan tiba-tiba yang
terjadi tanpa disertai adanya tanda-tanda atau trauma.
Simtomnya dapat bertahan selama beberapa detik atau
menit.
Nyeri kronik, yaitu nyeri yang didefinisikan sebagai nyeri
konstan atau intermiten, dirasakan setiap hari dan menetap
selama lebih dari tiga bulan, biasanya setelah jaringan yang
rusak diharapkan telah sembuh. Penyebab nyeri dapat ada
ataupun tidak ada. Setelah nyeri menjadi kronik, maka nyeri
tidak lagi memiliki fungsi proteksi, karena rasa nyeri akan
terus berlanjut meskipun tidak terjadi lagi kerusakan
jaringan. Terdapat opini bahwa saat nyeri nosiseptif
menjadi kronik, maka terdapat pula komponen nyeri
neuropati di dalamnya.

2.2.4. Nyeri Kronik


Nyeri kronik dideskripsikan sebagai nyeri yang berlangsung terus atau
rekuren yang dirasakan diluar durasi penyakit akut biasa atau cedera biasa
atau bila nyeri dirasakan 3-6 bulan, dan yang berpengaruh atau merugikan
kesejahteraan individu. Definisi sederhana dari nyeri kronik atau nyeri
persisten adalah nyeri yang terus dirasakan ketika seharusnya tidak (IASP
2004).[25] Data terbaru yang dikutip dari World Health Organization (WHO)
menunjukkan bahwa prevalensi nyeri kronik di seluruh dunia berkisar antara
20%-30%.[26] Keluhan nyeri kronik yang umum termasuk sakit kepala, nyeri
pinggang (low back pain), nyeri karena kanker (cancer pain), nyeri karena
arthritis, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik. Seseorang mungkin
memiliki dua atau lebih kondisi nyeri kronik yang berjalan bersamaan.
Namun tidak diketahui apakah kelainan ini diakibatkan penyebab yang
sama.[27]

2.2.4.1. Tatalaksana Nyeri Kronik


Obat-obatan yang diberikan untuk menangani nyeri kronik
sendiri dibagi menjadi 4 kelas, yaitu golongan non-opioid, golongan
opioid, analgesik adjuvan (obat-obatan yang aslinya digunakan untuk
menangani kondisi lain selain nyeri tapi sekarang digunakan juga untuk
mengurangi masalah nyeri yang spesifik, termasuk di dalamnya ialah
beberapa antidepresan dan antikonvulsan), dan pengobatan lain yang
tidak memiliki efek khusus dalam mengurangi nyeri namun diresepkan
dalam rencana penanganan nyeri, termasuk di dalamnya ialah obat
untuk mengatasi insomnia, kecemasan, depresi, dan spasme otot.[25] Di
sini akan diuraikan pengobatan spesifik untuk mengatasi nyeri kronik
yaitu golongan non-opioid dan golongan opioid.

2.2.4.1.1. Obat Golongan Non-Opioid


Aspirin, acetaminophen, dan NSAID/OAINS (Non-
Steroidal Anti Inflammatory Drugs; Obat Anti Inflamasi Non-
Steroid) adalah obat yang paling banyak digunakan untuk
mengatasi keadaan nyeri. Namun obat-obatan ini juga memiliki
risiko, yaitu yang dikenal sebagai ceiling effect. Artinya
setelah dosis tertentu, obat-obatan ini tidak akan mengurangi
rasa nyeri meskipun dosisnya ditambah.[25]
a. Aspirin
Aspirin mengandung asam asetilsalisilat. Aspirin
sekarang telah jarang digunakan sebagai antiinflamasi. Aspirin
cepat diabsorbsi di dalam lambung dan usus kecil bagian atas.
Aspirin bekerja menghambat COX-1 dan COX-2 secara
irversibel dan sangat efektif mengurangi nyeri yang
intensitasnya ringan. Selain itu, aspirin juga memiliki efek
antipiretik.[24]
b. Asetaminofen
Asetaminofen dapat digunakan untuk mengurangi
nyeri intensitas ringan sampai sedang, namun tidak memiliki
efek antiinflamasi yang berarti. Asetaminofen dimetabolisme di
hati dan merupakan inhibitor lemah COX-1 dan COX-2.[24]
c. OAINS lainnya
OAINS bekerja menekan tanda dan gejala inflamasi
dengan menghambat biosintesis prostaglandin. OAINS menurut
cara kerjanya dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan
selektif menghambat COX-2 (celecoxib, rofecoxib, valdecoxib)
dan golongan nonselektif yang menghambat COX-1 dan COX-2
(diklofenak, ibuprofen, ketoprofen, aspirin, piroksikam,
ketorolak).[24]
Asetaminofen bersifat hepatotoksik terutama bila
dikonsumsi dalam jumlah berlebihan, sedangkan NSAID dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahan gastrointestinal. Nilai
tambah dari obat-obatan non-opioid ini ialah tidak menimbulkan
ketergantungan dan dapat pula digunakan untuk menurunkan
demam.[25]
Aspirin dan asetaminofen adalah obat-obatan yang
dapat dibeli bebas (over the counter drugs), sedangkan beberapa
jenis NSAID dapat dibeli secara bebas dan jenis lainnya tidak.
Contoh aspirin yang banyak dikenal misalnya ialah Bayer.
Contoh asetaminofen yang banyak beredar misalnya ialah
Paracetamol. Dan untuk NSAID yang telah dikenal misalnya
ialah Diclofenac, Piroxicam, Indomethacin, Asam Mefenamat
(Ponstan), Ketorolac, dan Ibuprofen.[25]

2.2.4.1.2. Obat Golongan Opioid


Obat-obatan golongan opioid bekerja pada reseptor-
reseptor opioid yang terletak di susunan saraf pusat dan susunan
saraf perifer. Reseptor-reseptor ini antara lain adalah:[28]
a. Mu () (agonis morfin). Reseptor Mu ditemukan
paling utama di medulla spinalis dan talamus
media. Reseptor ini bertanggung jawab terhadap
efek analgesia dan sedasi.
b. Kappa () (agonis ketosiklasosin). Reseptor Kappa
ditemukan di sistem limbik, area diensefalon,
medulla spinalis, dan vertebra. Reseptor Kappa
juga bertanggung jawab terhadap efek analgesia
dan sedasi.
c. Delta (). Reseptor ini paling banyak terdapat di
otak dan tidak begitu diketahui fungsinya. Reseptor
delta diperkirakan bertanggung jawab terhadap
efek analgesia dan spinal analgesia.
d. Sigma (). Reseptor sigma tidak lagi merupakan
reseptor opioid.
Obat-obatan golongan opioid secara lebih jauh
diklasifikasikan menurut cara kerjanya, yaitu agonis,
agonis/antagonis atau agonis parsial, dan antagonis. Sebagian
besar opioid merupakan agonis opioid.[28] Berikut ini akan
dibahas farmakologi beberapa obat opioid yang spefisik.[28]
a. Morfin
Morfin digunakan untuk mengatasi nyeri dengan
intensitas sedang dan berat. Morfin bekerja terutama pada
reseptor Mu. Bila diberikan secara oral, hanya 40-50% dari
dosis yang diberikan yang akan mencapai susunan saraf pusat
dan akan dilepas dalam waktu 30 menit. Morfin termasuk obat
golongan opioid kerja lama dan memiliki efek samping antara
lain gangguan pernapasan, hipotensi ortostatik karena
menurunkan tonus sistem saraf simpatis, dan gangguan saluran
cerna.
b. Kodein
Kodein memiliki afinitas yang lemah terhadap
reseptor opioid Mu. Peneliti meyakini bahwa efek analgesik dari
kodein terjadi karena hasil metabolisme dari kodein menjadi
morfin. Waktu paruh kodein ialah 3 jam dan lebih dari 80%
dosis yang diberikan akan diekskresi dalam waktu beberapa jam.
Efek samping kodein mirip dengan efek samping obat-obat
opioid golongan agonis opioid lainnya.
c. Oksikodon
Oksikodon bekerja pada reseptor-reseptor opioid
termasuk reseptor Kappa. Bioavailabilitas oksikodon lebih
tinggi bila diberikan secara oral dan waktu paruhnya sekitar 3
jam dengan ekskersi utama di urin.
d. Metadon
Metadon bekerja pada reseptor Mu dan juga
merupakan antagonis reseptor NMDA sehingga memberi efek
dalam mengatasi nyeri neuropati berat dan kondisi nyeri yang
resisten opioid. Penggunaan metadon lainnya ialah untuk
menatalaksana pecandu heroin.
e. Tramadol
Tramadol adalah opioid atipikal yang absorbsinya
cepat dan baik bila diberikan secara oral dan memiliki potensi
analgesik yang mirip dengan kodein. Tramadol lebih banyak
digunakan sebagai obat analgesik namun diketahui memiliki
kontribusi dalam menatalaksana withdrawal opioid.
Obat-obatan opioid bukanlah obat yang tidak berisiko.
Dilema penggunaan opioid jangka panjang ialah efek
sampingnya yaitu efek toleransi, hiperalgesia, efek hormonal
(menurunnya hormon seks sehingga menyebabkan menurunnya
libido dan menstruasi yang iregular), depresi, pola tidur yang
kacau, dan supresi sistem imun. Inilah yang menyebabkan
penggunaan opioid untuk mengatasi nyeri hanya diperbolehkan
bila keuntungannya mengalahkan risiko dan efek samping
negatif yang ada.[25]
Penggunaan obat-obatan opioid juga masih diteliti oleh
para dokter karena efek adiksinya, meskipun penggunaannya
dalam menangani nyeri telah dikenal secara luas. American Pain
Society dalam artikelnya menyatakan bahwa terapi opioid kronik
dapat menjadi terapi yang efektif dalam menangani nyeri non-
kanker pada pasien yang telah secara hati-hati dipilih dan
dimonitor, meskipun bukti yang ada sangat terbatas.[25] Salah
satu akibat yang menjadi perhatian selain efek adiksi ialah
depresi sistem pernapasan.[25]

2.3. Proses Pengembangan Obat Baru


Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, cannabis adalah substansi yang
pemakaiannya diatur dan diawasi oleh Undang-undang. Namun beberapa studi
menunjukkan bahwa cannabis diduga memiliki manfaat untuk pengobatan, terutama
nyeri kronik, sehingga menjadi penting untuk mengetahui proses dan langkah yang
akan dilalui dalam usaha memanfaatkan cannabis sebagai alternatif pengobatan baru
untuk nyeri kronik.
Suatu bahan kimia atau substansi tertentu yang hendak dimanfaatkan dalam
dunia medis sebagai pengobatan perlu melalui beberapa tahap uji coba sebelum
akhirnya dapat benar-benar digunakan sebagai obat oleh masyarakat luas. Tahapan-
tahapan tersebut dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase preklinis dan fase klinis yang
keseluruhan prosesnya memakan waktu rata-rata sekitar 8-12 tahun.[29]

Gambar 2. Proses Pengembangan Suatu Substansi Menjadi Obat[29]

Gambar di atas menjelaskan fase-fase pengembangan suatu substansi tertentu


yang hendak dimanfaatkan menjadi suatu obat. Fase pertama, yaitu fase preklinis,
ditujukan untuk menemukan substansi yang potensial. Pada fase ini, peneliti akan
mempelajari lebih dalam tentang penyakit yang berkaitan dan farmakologi dari
substansi yang berpotensi. Fase ini biasanya dapat diselesaikan dalam waktu sekitar
3-4 tahun.[29]
Langkah berikutnya sebelum uji klinis pada manusia ialah uji coba pada binatang
hidup, misalnya tikus.[29] Sampel yang diujikan pada uji in vivo awal dimaksudkan
untuk mengetahui keamanan dari substansi yang diuji. Hasil tes ini lalu akan
diberikan kepada badan yang menginvestigasi obat baru (Investigational New Drug;
IND). IND lalu akan menyerahkan dokumentasi hasil tes ini kepada Badan Pengawas
Obat dan Makanan, dan bila Badan Pengawas Obat dan Makanan memberi izin
untuk dilakukannya uji klinis, maka fase 1 dari uji klinis telah dapat dimulai.[29]
Fase 1 dari uji klinis bertujuan untuk mempelajari farmakologi dan keamanan
suatu substansi tertentu. Fase 2 bertujuan untuk mempelajari efektivitas substansi
tersebut dengan cara menguji coba substansi pada sampel sukarela dengan jumlah
kecil. Fase terakhir dari uji klinis ialah fase konfirmasi penemuan-penemuan yang
didapat pada fase sebelumnya dengan menguji coba substansi pada populasi yang
lebih besar. Bila fase ketiga telah berhasil diselesaikan dengan hasil yang diinginkan,
selanjutnya peneliti mendokumentasikan hasil uji preklinis dan klinis ke dalam
sebuah formulir aplikasi obat baru (New Drug Application; NDA) dan selanjutnya
Badan Pengawas Obat dan Makanan akan melakukan peninjauan mandiri terhadap
hasil penelitian tersebut.[29]
Langkah-langkah tersebut penting dalam menentukan apakah suatu substansi
atau tanaman tertentu dapat dimanfaatkan baik sebagai obat ataupun sebagai
pengobatan herbal, karena sangat penting untuk mempertimbangkan risiko dan
keuntungan (risk and benefit) yang bisa didapat dari zat atau tanaman tertentu,
terutama dalam memanfaatkan fungsinya sebagai pengobatan. Pada studi pustaka ini,
cannabis yang merupakan tanaman yang sering disalahgunakan sebagai narkoba,
diduga memiliki banyak kerugian berupa efek samping baik akut maupun kronik,
sehingga membutuhkan evaluasi yang ketat terutama dalam mempertimbangkan
risiko, keuntungan, dan pertimbangan khusus lainnya (seperti misalnya tidak
tersedianya obat lain yang lebih efektif dengan efek samping yang lebih minim
dalam mengobati nyeri kronik dibanding cannabis, atau misalnya bila pemberian
cannabis adalah satu-satunya pengobatan yang dapat menyelamatkan hidup pasien)
bila hendak dimanfaatkan sebagai obat antinyeri kronik secara umum dan digunakan
dalam jangka waktu yang lama.
2.4. Penelitian tentang Pemanfaatan Cannabis sativa dalam Menangani Nyeri Kronik
2.4.1. Tinjauan sistematis studi preklinis efek cannabinoid dalam mengurangi
nyeri kronik[14,35]
Studi preklinis yang dilakukan terhadap hewan percobaan memprediksi
bahwa cannabinoid dapat mengurangi rasa nyeri baik nyeri akut maupun
kronik,[14] namun hasil uji klinis pada manusia menyatakan bahwa cannabinoid
lebih efektif mengurangi nyeri kronik dibanding nyeri akut.[14] Perbedaan hasil
penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan interspesies manusia dan hewan,
perbedaan stimulus dalam uji coba dan protokol penelitian, dan perbedaan dari
hasil yang diukur dalam penelitian.[14] Data dari uji preklinis terhadap hewan
menggunakan model nyeri yang sebagian besar didasarkan dari observasi
perubahan perilaku, dan dosis cannabinoid yang memberi efek analgesik pada
tikus tidak jauh berbeda dengan dosis cannabinoid yang menyebabkan efek
perilaku lain seperti hipomotilitas dan katatonia, sehingga hal ini menjadi
keterbatasan dalam menentukan hasil uji preklinik.[14]
Meskipun demikian, beberapa penelitian dengan model hewan percobaan
yang berbeda-beda telah memberi hasil yang memuaskan dalam menilai
efektivitas cannabinoid untuk mengurangi nyeri neuropati.[14] Salah satunya ialah
tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Rahn dan Hohmann.[35]
Rahn dan Hohmann meninjau secara sistematis uji-uji preklinis yang
bertujuan mengetahui efek cannabinoid dalam mengatasi nyeri neuropati pada
tikus. Mereka meninjau studi yang memberi model nyeri neuropati eksperimental
yang bermacam-macam, seperti nyeri neuropati imbas operasi, konstriksi saraf
imbas trauma, ligasi saraf, neuropati diabetik, neuropati imbas kemoterapi, dan
nyeri neuropati sensoral kronik terkait HIV (HIV-associated sensory neuropathy;
HIV-SN),[35] dan kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa endocannabinoid,
THC, dan cannabinoid sintetik memiliki efek yang diharapkan dalam
penatalaksanaan nyeri kronik.[14,35]

2.4.2. Tinjauan sistematis Campbell et al[5]


Tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Campbell et al bertujuan untuk
mencari tahu apakah cannabis adalah pilihan pengobatan yang aman dan efektif
untuk menangani nyeri. Campbell et al meninjau 9 randomized control trial yang
total sampelnya 222 orang. Dari 9 penelitian, 5 di antaranya adalah penelitian
yang berhubungan dengan nyeri kanker, 2 penelitian meneliti nyeri kronik non-
malignan, dan 2 penelitian lain meneliti nyeri akut pasca operasi, dan kesembilan
penelitian ini tidak mengevaluasi cannabis secara langsung, melainkan hanya
menguji cannabinoid oral dosis 5-20 miligram yang dibandingkan dengan THC
analog nitrogen sintetik dosis 1 miligram, levonantradol intramuskular dosis 1,5-
3 miligram, benzopyranoperidine oral dosis 2-4 miligram, dan kodein dosis 50-
120 miligram.
Kesimpulan yang ditarik oleh Campbell et al ialah bahwa cannabinoid tidak
lebih efektif dibanding kodein dalam menangani nyeri. Selain itu, karena
cannabinoid memiliki efek depresan terhadap susunan saraf pusat, maka
penggunaannya menjadi sangat terbatas. Lebih lanjut, Campbell et al mengatakan
bahwa penelitian yang lebih valid sebaiknya dilakukan sebelum
mempertimbangkan penggunaan cannabinoid untuk nyeri neuropati.

2.4.3. Penelitian Abrams et al[4]


Penelitian Abrams et al yang dilakukan pada tahun 2007 di California, San
Fransisco, Amerika Serikat bertujuan untuk mengetahui dan menentukan efek
dari merokok marijuana pada pasien HIV-SN. Penelitian ini merupakan
randomized control trial yang dilakukan selama 2 tahun dari Mei 2003 sampai
Mei 2005.
Kriteria inklusi sampel ialah pasien dewasa yang mengidap infeksi HIV dan
mengalami gejala HIV-SN dengan keluhan nyeri rata-rata per hari sekurang-
kurangnya 30 mm dari 100 mm Visual Analogue Scale (VAS) selama rawat jalan
fase pre-intervensi. Kriteria inklusi lainnya ialah keadaan umum pasien yang
stabil, tidak sedang menyalahgunakan napza (termasuk tembakau), dan telah
mengikuti regimen pengobatan yang teratur untuk nyeri dan HIV sedikitnya 8
minggu sebelum intervensi. Gejala nyeri pada HIV-SN dikonfirmasi dengan
adanya gejala nyeri simetris pada bagian distal atau disestesia pada ekstremitas
bawah sekurang-kurangnya 2 minggu, ditambah dengan hilangnya atau
berkurangnya refleks tungkai atau sensasi getaran, suhu, atau sentuhan yang
ditentukan oleh pemeriksaan neurologis. Kriteria inklusi terakhir ialah ketentuan
bahwa pasien harus memiliki pengalaman merokok marijuana minimal 6 kali
sepanjang hidupnya agar mereka mengetahui cara merokok dan efek
neuropsikologis dari marijuana. Kriteria eksklusi sampel antara lain riwayat
keluarga dengan penyakit polineuropati, neuropati karena penyebab lain selain
HIV, dan penggunaan obat seperti dapsone, isoniazid, dan metronidazole.
Studi ini dilakukan dalam 4 fase, antara lain 7 hari pertama yang
merupakan fase pre-intervensi untuk menentukan kriteria sampel, 2 hari fase
lead-in untuk melakukan pengukuran awal pada sampel di Pusat Penelitian Klinis
Umum, 5 hari fase intervensi, dan 7 hari fase pasca intervensi. Pada penelitian
ini, pasien akan diminta untuk merokok marijuana 3 kali sehari selama 5 hari,
lalu pada 7 hari fase pasca intervensi, pasien akan diminta untuk melanjutkan
mencatat keluhan nyeri yang dirasakan. Selama penelitian, perlakuan yang
diberikan pada kelompok intervensi ialah merokok marijuana dengan kadar THC
3,56% dan 0% pada kelompok plasebo.
Hasil utama yang diukur ialah jurnal nyeri harian menggunakan parameter
VAS. Hasil dari penelitian ini ialah bahwa dari 30 sampel yang memenuhi
kriteria, terdapat penurunan nyeri sebanyak 34% pada kelompok intervensi dan
17% pada kelompok plasebo. Hasil lain yang diukur antara lain adalah efek
marijuana terhadap perubahan sistemik (hipertensi, hipotensi, atau takikardia),
perubahan mood (disforia), dan efek samping, namun tidak ada pasien yang
keluar dari penelitian atau mengeluhkan hal-hal di atas selama penelitian
berlangsung.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan nyeri sebanyak dua
kali lipat pada pasien yang merokok marijuana (34%) dibanding dengan pasien
kelompok plasebo (17%). Penurunan nyeri >30% telah divalidasi sebagai tingkat
perkembangan yang signifikan. Abrams et al mengemukakan bahwa studi
efektivitas opioid dalam menangani kelainan nyeri neuropati memberi hasi yang
baik, namun studi efektivitas opioid dalam menangani HIV-SN secara spesifik
belum dievaluasi secara sistematis.

2.4.4. Penelitian Wilsey et al (2008)[30]


Penelitian Wilsey et al di tahun 2008 bertujuan untuk mengevaluasi efek
analgesik dari merokok marijuana untuk mengatasi nyeri neuropati yang kronik,
serta meneliti efek samping dan efek toleransi dari penggunaan Cannabis sativa.
Penelitian ini merupakan studi double-blind, placebo-controlled crossover dan
dilakukan di Sacramento, California.
Kriteria inklusi sampel antara lain ialah penderita complex regional pain
syndrome (CRPS) tipe I, cedera korda spinalis, neuropati perifer, atau cedera
neural. Kriteria inklusi lainnya ialah paparan terhadap marijuana sebelum
dilakukannya penelitian. Kriteria eksklusi sampel meliputi medikasi sintetik THC
atau merokok marijuana < 30 hari sebelum penelitian dimulai. Kriteria eksklusi
lainnya meliputi pasien yang menderita depresi, skizofrenia, bipolar depresi, dan
penyakit sistemik seperti hipertensi tidak terkontrol, penyakit kardiovaskular,
penyakit paru kronik, dan pasien dengan masalah penyalahgunaan substansi.
Marijuana yang diberikan pada kelompok intervensi memiliki kadar yang
bervariasi, yaitu kadar rendah (3,5%), kadar tinggi (7%), dan kadar 0% untuk
kelompok plasebo. Prosedur administrasi marijuana pada penelitian ini ialah
diberikannya aba-aba bagi pasien untuk memulai merokok marijuana. Pasien
akan diberi tanda secara verbal untuk menyalakan rokok (30 detik), bersiap (5
detik), hirup (5 detik), tahan (10 detik), hembuskan, dan tunggu aba-aba sebelum
memulai lagi siklus ini (40 detik). Pada tahap pengukuran awal, pasien merokok
2 kepulan asap, lalu 3 kepulan asap di satu jam berikutnya, dan 4 kepulan asap di
satu jam setelahnya, sehingga terdapat dosis kumulatif 9 kepulan asap dalam satu
sesi. Masing-masing sesi dilakukan selama 6 jam dan masing-masing sesi
dilakukan dengan interval 3 hari. Studi ini dilakukan selama 3-4 minggu.
Dari 38 sampel yang memenuhi kriteria, sebanyak 32 sampel berhasil
menyelesaikan sesi secara keseluruhan, dan dari penelitian ini diperoleh hasil
bahwa terdapat penurunan rasa nyeri yang signifikan dengan penggunaan
marijuana. Namun, penurunan rasa nyeri tidak ditentukan dari kadar THC, karena
peneliti menemukan hasil bahwa THC dengan kadar 3,5% dan kadar 7%
memiliki efek analgesik yang empiris. Selain itu ditemukan pula adanya ceiling
effect pada penggunaan dosis kumulatif. Wilsey et al memberi kesimpulan bahwa
penggunaan Cannabis sativa dalam dosis efektif terkecil bila dikombinasikan
dengan obat analgesik lain (opioid, antikonvulsan) dapat menjadi pengobatan
yang efektif untuk menangani nyeri neuropati.

2.4.5. Penelitian Ellis et al (2009)[31]


Penelitian Ellis et al di tahun 2009 bertujuan untuk meneliti rasio dosis
merokok marijuana yang aman, bermanfaat secara klinis, dan efektif dalam
menangani nyeri neuropati pada pasien HIV. Selain itu penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui efek lain dari penggunaan marijuana sebagai
pengobatan.
Kriteria inklusi sampel antara lain adalah pasien penderita HIV dengan
nyeri neuropati yang telah menggunakan sedikitnya 2 obat analgesik selain
cannabinoid, dan memiliki skor nyeri sedikitnya 5 dengan pengukuran
menggunakan parameter Descriptor Differential Scale (DDS). Kriteria eksklusi
sampel yaitu sedang menyalahgunakan substansi berdasarkan kriteria diagnosis
DSM-IV, memiliki riwayat ketergantungan cannabis selama hidupnya,
intoleransi cannabis atau riwayat psikosis terdahulu, menggunakan obat
cannabinoid sintetik sebagai pengobatan, dan kondisi mental serius yang dapat
mempengaruhi keselamatan pasien. Sampel pada penelitian ini berjumlah 28
orang.
Studi ini merupakan studi double-blind, placebo-controlled, crossover, dan
dilakukan dalam 7 minggu. Studi ini terbagi dalam 5 fase, antara lain fase 1 yang
merupakan fase pengukuran awal (1 minggu), fase 2 yang merupakan fase
merokok pertama (5 hari), fase 3 yang merupakan fase pasca merokok pertama (2
minggu), fase 4 yang merupakan fase merokok terakhir (5 hari), dan fase 5 yang
merupakan fase pasca merokok terakhir (2 minggu). Selama penelitian, paparan
yang diberikan terhadap kelompok intervensi bervariasi dari 1%-8% dan 0%
untuk kelompok plasebo.
Prosedur administrasi marijuana menggunakan aba-aba untuk menghirup,
menahan, dan menghembuskan asap rokok. Dalam 4 sesi merokok, dosis THC
akan dititrasi menuju dosis target dengan tujuan untuk memperoleh efek
analgesik tanpa efek samping yang tidak diinginkan. Titrasi dimulai dari kadar
THC 4% dan akan diturunkan 2%-1% bila efek samping yang muncul tidak bisa
ditoleransi, atau dinaikkan 6%-8% bila nyeri yang dirasakan tidak sepenuhnya
membaik. Selain itu, subjek penelitian diperbolehkan untuk melanjutkan
menggunakan obat-obat anti nyeri yang sedang mereka gunakan, misalnya
opioid, OAINS, dan lain-lain.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini ialah berkurangnya nyeri secara
signifikan pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok plasebo,
terutama bila dikombinasikan dengan obat-obatan analgesik lain. Gangguan
mood, kecacatan fisik, dan kualitas hidup juga ditemukan meningkat secara
signifikan selama penelitian berlangsung.
2.4.6. Tinjauan sistematis Martin-Sanchez et al (2009)[36]
Martin-Sanchez et al meninjau 18 randomized control trial dengan tujuan
untuk menentukan efektivitas dan kerugian dari penggunaan cannabis untuk
menangani nyeri kronik. Hasil yang dipublikasikan ialah ditemukannya
efektivitas dari penggunaan cannabis untuk menangani nyeri kronik, namun
terdapat pula efek samping jangka pendek pada susunan saraf pusat, sehingga
sebaiknya dilakukan penelitian lebih besar untuk menentukan apakah
penggunaan cannabis untuk menangani nyeri kronik lebih memberi keuntungan
atau kerugian.

2.4.7. Penelitian Ware et al (2010)[32]


Penelitian yang dipublikasikan di tahun 2010 oleh Ware et al bertujuan
untuk mencari tahu lebih jauh tentang keamanan dan efektivitas merokok
marijuana pada pasien rawat jalan yang menderita nyeri neuropati kronik.
Penelitian ini menggunakan metode randomized clinical trial dengan jumlah
sampel sebanyak 21 orang.
Kriteria inklusi sampel antara lain ialah mereka yang berusia 18 tahun ke
atas dan menderita nyeri neuropati sekurang-kurangnya 3 bulan dengan skor
nyeri mingguan rata-rata sekurang-kurangnya 4 cm dari 10 cm VAS. Kriteria
inklusi lainnya yaitu regimen analgesik yang teratur dan tidak menggunakan
marijuana selama setahun sebelum penelitian berlangsung, pasien memiliki
fungsi hati dan fungsi ginjal yang normal, dan tidak hamil. Kriteria eksklusi
sampel antara lain nyeri karena kanker atau nyeri nosiseptif, penyakit jantung dan
paru, sedang memiliki masalah ketergantungan atau penyalahgunaan napza,
riwayat gangguan psikosis, adanya keinginan bunuh diri, kehamilan atau sedang
menyusui, serta pernah berpartisipasi dalam uji klinis lainnya sekurang-
kurangnya 30 hari sebelum penelitian ini dilangsungkan.
Studi ini dilakukan dalam 4 periode, masing-masing periode dilakukan
selama 14 hari yang diawali dengan 5 hari fase intervensi dan 9 hari fase pasca
intervensi. Kadar THC yang diberikan bervariasi yaitu 2,5% dan 6,0% sebagai
dosis awal yang nantinya akan dinaikkan menjadi 9,4% untuk kelompok
intervensi dan 0% untuk kelompok plasebo. Pada hari pertama masing-masing
periode dilakukan pengukuran awal dan pada 5 hari pertama masing-masing
periode, subjek penelitian mengisi kuesioner yang mencakup kualitas nyeri,
kualitas tidur, serta pengobatan dan efek samping. Lalu pada hari kelima mereka
mengisi kuesioner yang mencakup kualitas nyeri, mood, kualitas hidup, dan
potensi marijuana. Pada bagian akhir studi, mereka mengisi laporan tentang
potensi marijuana dan efek samping.
Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa di akhir penelitian, rata-rata
intensitas nyeri harian berkurang secara signifikan pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Kelompok intervensi juga menyatakan
bahwa mereka merasa lebih mengantuk dan kualitas tidur mereka meningkat.
Namun tidak ada perbedaan nyata dalam kondisi mood kedua kelompok.
Kelompok intervensi juga mengeluhkan adanya efek samping seperti nyeri
kepala, mata kering, sensasi terbakar (burning sensation), pusing, dan batuk,
namun tidak ada perubahan pada tanda-tanda vital, jantung, biokimia,
hematologis, dan ginjal pada kelompok ini.

2.4.8. Tinjauan sistematis Starkman dan Rowland (2011)[33]


Starkman dan Rowland menulis dalam kolom Help Desk Answers yang
dipublikasikan oleh Evidence Based Practice tentang efektivitas cannabis dalam
menangani nyeri neuropati kronik. Starkman dan Rowland membahas tentang
penelitian yang dilakukan oleh Ware, Wilsey, Abrams, dan Ellis, dan mereka
menyimpulkan bahwa meskipun keempat studi di atas menunjukkan efektivitas,
namun studi yang lebih besar dibutuhkan untuk menentukan efek samping,
efektivitas jangka panjang, keamanan, efek obat, dan administrasi obat yang
optimum (merokok, oral, oromukosal, atau inhalasi). Selain itu, pasien dan dokter
juga harus mempertimbangkan masalah hukum yang mungkin akan dihadapi
dalam penggunaan cannabis.

2.4.9. Penelitian Constas dan Ware (2013)[34]


Penelitian Constas dan Ware yang dipublikasikan pada tahun 2013 ini
bertujuan untuk menginvestigasi penggunaan marijuana yang diperbolehkan
untuk menangani nyeri kronik. Penelitian ini berupa audit rekam medis pasien di
Rumah Sakit Umum Montreal, Kanada.
Tidak ada kriteria spesifik yang digunakan untuk seleksi sampel pada
penelitian ini. Constas dan Ware mengevaluasi rekam medis pasien yang sedang
diterapi dengan menggunakan marijuana. Status pasien yang diperhatikan antara
lain pengobatan yang sedang dijalani, dosis dari masing-masing pengobatan,
penyakit-penyakit yang diderita pasien, gejala-gejala yang dialami pasien, serta
jumlah marijuana yang diperbolehkan per bulan.
Sebanyak 29 data pasien di Rumah Sakit Umum Montreal diaudit, dan dari
29 pasien, sebanyak 21 pasien pernah menggunakan obat-obat analgesik lain
selain marijuana, yaitu sebanyak 11 orang pernah menggunakan opioid, 5 orang
pernah menggunakan obat-obat yang dijual bebas, 5 orang pernah menggunakan
cannabinoid, dan 8 orang sisanya menggunakan marijuana sebagai pengobatan
utama dalam mengatasi nyeri kronik. Lalu setelah keduapuluh sembilan pasien
ini diterapi dengan menggunakan marijuana, mereka mengatakan bahwa nyeri
dirasakan sangat berkurang. Efek lainnya yang juga dirasakan antara lain
meningkatnya kualitas tidur, berkurangnya rasa mual, kejang otot, stres dan
kecemasan, diare, kram otot, dan meningkatnya nafsu makan. Constas dan Ware
berkesimpulan bahwa berdasarkan hasil audit ini, Cannabis sativa sangat
mungkin dijadikan pengobatan alternatif atau pengobatan tambahan dalam
penanganan nyeri kronik.
BAB III

METODE PENULISAN

3.1. Metode Pengumpulan Jurnal


Pencarian literatur dilakukan dengan mesin pencari Google dan Google Scholar
serta kata kunci seperti medical marijuana, medical marijuana for chronic pain.
Nama-nama lain marijuana, seperti Cannabis sativa juga dimanfaatkan dan
digabungkan dengan chronic pain. Pencarian literatur dengan menggunakan mesin
pencari dan tidak menggunakan pangkalan data publikasi jurnal tertentu bertujuan
agar dapat memperoleh jurnal dan artikel yang sumbernya lebih luas sehingga data
yang terkumpul akan lebih banyak.

3.2. Pertanyaan Kajian


Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan acuan dari studi literatur ini. Dengan
terjawabnya pertanyaan-pertanyaan ini, diharapkan tujuan dari studi literatur ini
dapat tercapai. Pertanyaan-pertanyaan kajian tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Apakah Cannabis sativa memiliki manfaat untuk menangani nyeri,
khususnya nyeri kronik?
2. Apa saja risiko yang ada dalam usaha pemanfaatan Cannabis sativa sebagai
alternatif untuk menangani nyeri kronik?
3. Apa saja keuntungan yang mungkin diperoleh dalam pemanfaatan Cannabis
sativa sebagai pengobatan nyeri kronik?
4. Apa saja hambatan yang harus diantisipasi dalam usaha pemanfaatan
Cannabis sativa sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik?
5. Apakah Cannabis sativa dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengobatan
nyeri kronik, khususnya di Indonesia?
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Kajian Pustaka tentang Cannabis sativa untuk menangani nyeri kronik
Di bawah ini adalah beberapa penelitian terbaru yang berkaitan dengan
pemanfaatan Cannabis sativa sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik.

Tabel 2. Jurnal tinjauan sistematis


Tinjauan Rahn dan Campbell et al[5] Martin-Sanchez Starkman
Sistematis Hohmann[35] et al[36] dan
Rowland[33]
Tujuan Mengetahui efek Menilai Menentukan Mengetahui
cannabinoid efektivitas efektivitas dan efektivitas
dalam mengatasi cannabis sebagai kerugian dari cannabis
nyeri neuropati pengobatan yang penggunaan dalam
pada tikus aman dan efektif cannabis untuk menangani
untuk nyeri menangani nyeri nyeri
kronik, neuropati
kronik
Metode studi Tinjauan Tinjauan Tinjauan Tinjauan
sistematis studi sistematis 9 studi sistematis 18 sistematis 4
preklinik klinik (5 randomized randomized
penelitian control trial control trial
dengan nyeri
kanker, 2
penelitian
dengan nyeri
kronik non-
malignan, dan 2
penelitian
dengan nyeri
akut pasca
operasi)
Sampel Tikus yang diberi 222 orang dari 9 749 orang dari 137 orang
model nyeri penelitian 18 penelitian dari 4
neuropati penelitian
eksperimental,
seperti nyeri
neuropati imbas
operasi,
konstriksi saraf
imbas trauma,
ligasi saraf,
neuropati
diabetik,
neuropati imbas
kemoterapi, dan
nyeri neuropati
sensoral kronik
terkait HIV
(HIV-SN)
Jenis Endocannabinoid, Cannabinoid Nabilone, THC dengan
substansi/obat THC, dan oral, THC dronabinol, kadar yang
cannabinoid analog nitrogen kodein, dan bervariasi
sintetik sintetik, ekstrak tanaman
levonantradol Cannabis sativa
intramuskular,
benzopyrano-
peridine oral,
dan kodein
Penemuan Cannabinoid Cannabinoid Cannabis sativa Cannabis
dapat menekan memiliki dan turunannya sativa
hiperalgesia dan efektivitas yang memiliki efek memiliki
alodinia imbas tidak lebih baik terapeutik untuk efektivitas
nyeri neuropatik dibanding nyeri kronik untuk
kodein dan serta ditemukan menangani
memiliki efek pula adanya efek nyeri kronik
depresan anti-emetik
terhadap susunan
saraf pusat
Kesimpulan Endocannabinoid, Cannabinoid Cannabis sativa Keempat
THC, dan tidak lebih dan turunannya studi yang
cannabinoid efektif dibanding memiliki ditinjau
sintetik memiliki kodein dalam efektivitas untuk menunjuk-
efek yang menangani nyeri menangani nyeri kan adanya
diharapkan dalam kronik, namun efektivitas,
penatalaksanaan terdapat pula namun
nyeri kronik efek samping membutuh-
jangka pendek kan studi
pada susunan yang lebih
saraf pusat besar untuk
menentukan
efek
samping,
efektivitas
jangka
panjang, efek
obat,
administrasi
obat yang
optimum,
dan masalah
hukum yang
ada dalam
penggunaan
cannabis.
Tabel 3. Jurnal Penelitian
Penelitian Abrams et Wilsey et al[30] Ellis et al[31] Ware et al[32] Constas
al[4] dan
Ware[34]
Tujuan Mengetahui Mengevaluasi Meneliti rasio Meneliti Meneliti
dan efek analgesik dosis merokok keamanan peng-
menentukan merokok marijuana yang dan gunaan
efek merokok marijuana aman, efektivitas mari-
marijuana untuk bermanfaat merokok juana
pada pasien mengatasi secara klinis, marijuana yang
HIV-SN nyeri dan efektif pada pasien diper-
neuropati dalam rawat jalan bolehkan
kronik, serta menangani nyeri yang untuk
meneliti efek neuropati pada menderita mena-
samping dan pasien HIV nyeri ngani
efek toleransi neuropati nyeri
penggunaan kronik kronik
Cannabis
sativa
Metode Randomized Double-blind, Double-blind, Randomized Studi
studi control trial placebo- placebo- clinical trial retro-
controlled controlled, spektif
crossover crossover meng-
gunakan
audit
rekam
medis
pasien
Sampel 50 orang 38 orang 28 orang 21 orang 29 orang
Kriteria Riwayat Medikasi Pasien yang Nyeri karena Tidak
eksklusi keluarga sintetik THC sedang kanker atau ada
dengan atau merokok menyalahguna- nyeri kriteria
penyakit marijuana < kan substansi nosiseptif, spesifik
polineuropati, 30 hari berdasarkan penyakit yang
neuropati sebelum kriteria jantung dan diguna-
karena penelitian diagnosis DSM- paru, sedang kan
penyebab lain dimulai, IV, memiliki memiliki untuk
selain HIV, menderita riwayat masalah seleksi
dan depresi, ketergantungan adiksi atau sampel
penggunaan skizofrenia, cannabis selama penyalah-
obat seperti bipolar hidupnya, gunaan
dapsone, depresi, dan intoleransi napza,
isoniazid, dan penyakit cannabis atau riwayat
metronidazole sistemik riwayat psikosis psikosis,
seperti terdahulu, keinginan
hipertensi menggunakan bunuh diri,
tidak obat kehamilan
terkontrol, cannabinoid atau sedang
penyakit sintetik sebagai menyusui,
jantung, pengobatan, dan serta pernah
penyakit paru kondisi mental berpartisipasi
kronik, dan serius yang dalam uji
pasien dengan dapat klinis lain
masalah mempengaruhi setidaknya 30
penyalahgunaa keselamatan hari sebelum
n substansi pasien penelitian
Kadar THC Merokok Merokok 0% untuk Bervariasi, Ber-
marijuana 3 marijuana kelompok yaitu 2,5% variasi
kali sehari kadar rendah plasebo dan dan 6,0% dari < 1
selama 5 hari (3,5%) dan titrasi kadar sebagai dosis gram
dengan kadar kadar tinggi THC yang awal yang cannabis
THC 3,56% (7%) untuk dimulai dari 4% nantinya sampai
pada kelompok untuk kelompok akan 15 gram
kelompok intervensi, dan intervensi. dinaikkan cannabis
intervensi dan kadar 0% Kadar THC menjadi
0% pada untuk diturunkan 2%- 9,4% untuk
kelompok kelompok 1% bila efek kelompok
plasebo plasebo samping tidak intervensi,
bisa ditoleransi, dan 0%
atau dinaikkan untuk
6%-8% bila kelompok
nyeri tidak plasebo
membaik.
Sampel boleh
melanjutkan
menggunakan
obat-obat anti
nyeri yang
sedang mereka
gunakan
Lama studi Mei 2003-Mei 3-4 minggu 7 minggu dan 4 periode,
2005 dan terbagi dalam 5 masing-
dilakukan fase (fase masing
dalam 4 fase pengukuran periode
(7 hari fase awal, fase dilakukan
pre-intervensi, merokok selama 14
2 hari fase pertama, fase hari yang
lead-in, 5 hari pasca merokok diawali
fase pertama, fase dengan 5 hari
intervensi, merokok fase
dan 7 hari terakhir, dan intervensi
fase pasca fase pasca dan 9 hari
intervensi. merokok fase pasca
terakhir intervensi
Efek Tidak ada Ditemukan Ditemukan Ditemukan Kualitas
samping pasien yang adanya ceiling adanya keluhan adanya tidur dan
mengeluhkan effect pada sulit kualitas tidur nafsu
perubahan penggunaan berkonsentrasi, yang makan
sistemik dosis rasa lelah, meningkat, yang
(hipertensi, kumulatif mengantuk, keluhan nyeri mening-
hipotensi, atau mulut kering, kepala, mata kat, serta
takikardia), dan rasa haus. kering, rasa
perubahan sensasi mual,
mood terbakar, kejang
(disforia) pusing, dan otot,
batuk. Tidak stres dan
ada ke-
perubahan cemasan,
tanda-tanda diare,
vital, jantung, dan kram
biokimia, otot yang
hematologis, ber-
dan ginjal kurang
Tidak ada
perbedaan
kondisi mood
kedua
kelompok.
Penemuan Penurunan Penurunan Berkurangnya Intensitas Nyeri
nyeri rasa nyeri nyeri secara nyeri harian dirasakan
sebanyak 34% yang signifikan pada berkurang sangat
pada signifikan kelompok secara ber-
kelompok dengan intervensi signifikan kurang.
intervensi dan penggunaan dibandingkan pada Mari-
17% pada marijuana dengan kelompok juana
kelompok yang tidak kelompok intervensi sangat
plasebo ditentukan plasebo bila dibandingkan mungkin
dari kadar dikombinasikan dengan dijadikan
THC. dengan obat- kelompok peng-
Penggunaan obatan analgesik plasebo obatan
Cannabis lain. Ditemukan alternatif
sativa dosis pula perbaikan atau
efektif terkecil yang signifikan peng-
bila digunakan dalam masalah obatan
sebagai gangguan mood, tambah-
adjuvan efektif kecacatan fisik, an dalam
untuk dan kualitas mena-
menangani hidup ngani
nyeri nyeri
neuropati kronik

4.2. Kajian Hasil-hasil Penelitian


Berdasarkan penelititan-penelitian yang telah disajikan, dapat dirumuskan
informasi bahwa sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa Cannabis sativa
memiliki efek positif dalam mengurangi nyeri, khususnya nyeri kronik. Penelitian-
penelitian di atas juga mencatat risiko yang ada dalam usaha memanfaatkan
marijuana sebagai obat analgesik. Risiko tersebut dicantumkan dalam bentuk efek
samping yang dilaporkan subyek penelitian. Efek samping yang dikeluhkan antara
lain sulit berkonsentrasi, rasa lelah, mengantuk, mulut kering, rasa haus, nyeri
kepala, mata kering, sensasi terbakar, pusing, dan batuk. Tidak ditemukan adaya
perubahan pada tanda-tanda vital, jantung, biokimia, hematologis, dan ginjal.
Selain risiko, penelitian-penelitian di atas juga membahas keuntungan
penggunaan Cannabis sativa. Cannabis sativa memiliki efek analgesik yang
memberi hasil berkurangnya rasa nyeri secara signifikan. Keuntungan lainnya yaitu
meningkatnya kualitas tidur dan nafsu makan, serta berkurangnya rasa mual, kejang
otot, stres dan kecemasan, diare, dan kram otot. Tidak tercatat adanya subyek
penelitian yang mengeluhkan perubahan sistemik (hipertensi, hipotensi, atau
takikardia) dan perubahan mood (disforia), namun para peneliti merasa bahwa
sebaiknya dilakukan studi yang lebih representatif dengan tujuan menentukan
efektivitas serta efek samping akut dan kronik dari penggunaan Cannabis sativa
untuk menangani nyeri kronik.
Pemanfaatan Cannabis sativa sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik
tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Hal ini dikarenakan penelitian yang ada
masih memiliki keterbatasan, seperti jumlah sampel yang tidak terlalu besar dan
penelitian dengan subyek tertentu. Selain itu, para peneliti dan tenaga medis merasa
bahwa uji toksisitas, dosis letal, dan standarisasi dosis THC juga masih memerlukan
pembuktian ilmiah yang lebih lanjut. Penelitian yang lebih besar diperlukan untuk
menentukan risiko dan keuntungan yang ada dalam penggunaan Cannabis sativa
sebagai analgesik, namun hal ini tidak mudah karena Cannabis sativa secara
internasional diklasifikasikan sebagai substansi golongan I. Substansi golongan I
ialah substansi yang belum memiliki penggunaan medis yang telah diterima dan
memiliki potensi tinggi terjadinya penyalahgunaan.[37] Peraturan hukum yang
mengatur tentang marijuana menjadi hambatan tersendiri dalam usaha pemanfaatan
marijuana sebagai pengobatan, seperti misalnya di negara Amerika Serikat.
Di Indonesia, marijuana diatur dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2009
tentang narkotika. Marijuana termasuk narkotika golongan I dan dilarang digunakan
untuk kepentingan kesehatan, namun dalam jumlah terbatas dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[2] Menurut Undang-
undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, hukuman yang dijatuhkan bila
seseorang terbukti memiliki atau menyimpan marijuana ialah pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00
(delapan milyar rupiah).[2]
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Cannabis sativa
memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai alternatif atau sebagai
pengobatan adjuvan dalam menangani nyeri yang kronik, namun pemanfaatan
Cannabis sativa sebagai alternatif untuk menangani nyeri kronik tampaknya masih
belum dapat terwujud. Hal ini dikarenakan penelitian tentang uji toksisitas dan
standarisasi dosis Cannabis sativa yang masih sangat kurang. Uji toksisitas dan
standarisasi dosis penting bila Cannabis sativa benar-benar hendak dimanfaatkan
sebagai pengobatan nyeri kronik. Selain itu, keterbatasan penelitian seperti jumlah
sampel yang kecil dan populasi target yang diteliti juga menjadi penyulit dalam
mengindikasikan penggunaan marijuana untuk nyeri kronik secara umum.

5.2. Saran
Masih banyak hal yang harus diteliti bila marijuana benar-benar akan
dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mengatasi nyeri kronik. Penelitian berikutnya
sebaiknya menggunakan jumlah sampel yang lebih besar agar hasilnya lebih
representatif, dan bila marijuana hendak dimanfaatkan untuk mengobati nyeri kronik
secara umum, sebaiknya dilakukan pula studi-studi dengan pasien yang menderita
nyeri kronik jenis lainnya sebagai sampel, misalnya nyeri kronik karena kanker,
nyeri punggung bawah (low back pain), nyeri sendi kronik, dan sebagainya.
Selain itu, sebaiknya juga dilakukan penelitian tentang standarisasi dosis THC
untuk pengobatan, sediaan terbaik untuk administrasi optimum, uji toksisitas akut
dan kronik, serta studi komparatif antara penggunaan marijuana dan obat-obat
analgesik lainnya dalam menangani nyeri kronik. Bila studi-studi seperti ini
dilakukan di masa mendatang, diharapkan penggunaan Cannabis sativa untuk tujuan
medikasi dapat dilegalkan di negara-negara, tidak terkecuali di Indonesia, namun
tentu saja penggunaannya harus diawasi secara ketat oleh pihak tenaga medis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Seamon, MJ. Medical Marijuana: An Evolving Escape. Medscape Internal


Medicine 2010. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/716940
[22 Feb 2010].
2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Joy EJ, Watson Jr SJ, Benson Jr JA. Marijuana and Medicine: Assesing the
Science Base. Washington, D.C.: National Academy Press; 1999.
4. Abrams et al. Smoked Cannabis Therapy for HIV-Related Painful Peripheral
Neuropathy: Results of a Randomized, Placebo-Controlled Clinical Trial.
Neurology 2007; 68: 515-521.
5. Campbell FA, Tramer NR, Carroll D, Reynolds DJM, Moore RA, McQuay
HJ. Are Cannabinoids an Effective and Safe Treatment Option in the
Management of Pain? A Qualitative Systematic Review. BMJ 2001; 323: 1-6.
6. Rudgley R. The Encyclopedia of Psychoactive Substances. United Kingdom:
Little, Brown and Company; 1998.
7. United States Departement of Agriculture (USDA). Available at:
http://plants.usda.gov/core/profile?symbol=casa3
8. Sznitman SR, Olsson B, Room R, editor. A Cannabis Reader: Global Issues
and Local Experiences. Volume 1 Seri ke-8. Lisbon: EMCDDA; 2008.
9. Peckham C, Stetka B, Vega CP. A Clinicians Guide to Medical Marijuana.
Medscape Multispecialty 2013. [30 Juli 2013].
10. U.S. Department of Health and Human Services; U.S. Food and Drug
Administration. Available at:
http://www.fda.gov/regulatoryinformation/legislation/ucm148726.htm
11. Cavacuiti CA. Principles of Addiction Medicine: The Essentials. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
12. Hornby PA. Drug Discovery Research in Pharmacognosy. Croatia: InTech
Europe; 2012.
13. Health Canada; Marihuana Medical Access Regulation - Daily Amount Fact
Sheet (Dosage). Available at: http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/marihuana/med/daily-quotidienne-eng.php
14. Health Canada; Information for Health Care Professionals: Cannabis and the
Cannabinoids. Available at: http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-
mps/marihuana/med/infoprof-eng.php
15. University of Manitoba. Clinical Use of Cannabinoids for Pain and
Spasticity. Winnipeg : UofM ; 2012.
16. Berlach MD, Shir Y, Ware MA. Experience with the Synthetic Cannabinoid
Nabilone in Chronic Noncancer Pain. Pain Medicine 2006; 7(1): 25-29.
17. Frank B, Serpell MG, Hughes J, Matthews JN, Kapur D. Comparison of
analgesic effects and patient tolerability of nabilone and dihydrocodeine for
chronic neuropathic pain: randomized, crossover, double blind study. BMJ
2008; 336: 199.
18. Svendsen KB, Jensen TS, Bach FW. Does the cannabinoid dronabinol reduce
central pain in multiple sclerosis? Randomised double blind placebo
controlled crossover trial. BMJ 2004; 329: 253.
19. Narang S et al. Efficacy of dronabinol as an adjuvant treatment for chronic
pain patients on opioid therapy. J Pain 2008; 9(3): 254-264.
20. [APA] American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, Fifth Edition. Arlington, VA: American Psychiatric
Association; 2013.
21. Genen L. Cannabis Compound Abuse. Medscape 2012. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/286661-overview [15 Mei 2012].
22. Elliot F, Smith R. Pain and Multiple Sclerosis (MS). Australia: MS Australia;
2009.
23. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. Ed ke-6. USA:
Thomson Brooks/Cole; 2007.
24. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Nyeri Pada Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : UI ; 2006.
25. Feinberg S et al. Resource Guide To Chronic Pain Medication & Treatment.
California: American Chronic Pain Association, Inc.; 2012.
26. Burgess FW. Highlights from Pain, Opioids, and Addiction: An Urgent
Problem for Doctors and Patients. Medscape Neurology 2007. Available at:
http://www.medscape.com/viewarticle/555145_6 [27 Apr 2007]
27. Chronic Pain Information Page. National Institute of Neurological Disorders
and Stroke 2013. Available at:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/chronic_pain/chronic_pain.htm
28. Trescot AM, Datta S, Lee M, Hansen H. Opioid Pharmacology. Pain
Physician Opioid Special Issue 2008; 11: S133-S153.
29. Lipsky MS, Sharp LK. From idea to market: the drug approval process. J Am
Board Fam Med 2001 ; 14 (5).
30. Wilsey et al. A randomized, placebo-controlled, crossover trial of cannabis
cigarettes in neuropathic pain. J Pain 2008; 9: 506-521.
31. Ellis et al. Smoked medical cannabis for chronic neuropathic pain in HIV: a
randomized, crossover clinical trial. Neuropsychopharmacology 2009; 34:
672-680.
32. Ware MA, Doyle CR, Woods R, Lynch ME, Clark AJ. Smoked cannabis for
chronic neuropathic pain: a randomized controlled trial. CMAJ 2010; 182:
E694-701.
33. Starkman J, Rowland K. Is inhaled cannabis an effective treatment for
chronic neuropathic pain? Evidence Based Practice 2011; 14 (11) : 9.
34. Constas A, Ware M. An audit of patients currently using legally acquired
cannabis as a means of managing chronic pain. RCSI Student Med J 2013;
6(1): 17-21.
35. Rahn EJ, Hohmann AG. Cannabinoids as Pharmacotherapies for Neuropathic
Pain: From the Bench to the Bedside. Neurotherapeutics 2009; 6(4): 713-737.
36. Martin-Sanchez E, Furukawa TA, Taylor J, Martin JLR. Systematic Review
and Meta-analysis of Cannabis Treatment for Chronic Pain. Pain Medicine
2009; 10(8): 1353-1368.
37. U.S. Department of Justice; U.S. Drug Enforcement Administration.
Available at: http://www.justice.gov/dea/druginfo/ds.shtml

Anda mungkin juga menyukai