Anda di halaman 1dari 183

PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN

TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
DOSIS EFEKTIF ANTIDIARE SARI BUAH SALAK PONDOH (Zallaca edulis
Reinw) PADA MENCIT DENGAN METODE PROTEKSI OLEH OLEUM RICINI

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :
Katarina Gayatri Wulansari
NIM : 058114050

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
DOSIS EFEKTIF ANTIDIARE SARI BUAH SALAK PONDOH (Zallaca edulis
Reinw) PADA MENCIT DENGAN METODE PROTEKSI OLEH OLEUM RICINI

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :
Katarina Gayatri Wulansari
NIM : 058114050

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009

i
DOSIS EFEKTIF ANTIDIARE SARI BUAH SALAK PONDOH (Zallaca edulis
Reinw) PADA MENCIT DENGAN METODE PROTEKSI OLEH OLEUM RICINI

Yang diajukan oleh :


Katarina Gayatri Wulansari
NIM : 058114050

Skripsi ini telah disetujui oleh :

Pembimbing I

Ipang Djunarko, S.Si, Apt.

Tanggal 22 Agustus 2009


Pengesahan Skripsi Berjudul

DOSIS EFEKTIF ANTIDIARE SARI BUAH SALAK PONDOH (Zallaca edulis


Reinw) PADA MENCIT DENGAN METODE PROTEKSI OLEH OLEUM RICINI

Oleh :
Katarina Gayatri Wulansari
NIM : 058114050
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Pada tanggal : 19 Agustus 2009

Mengetahui
Fakultas Farmasi

Pembimbing I :

Ipang Djunarko, S.Si, Apt


Panitia Penguji :
1. Ipang Djunarko, S.Si, Apt
2. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt.
3. Drs. Mulyono, Apt.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Katarina Gayatri Wulansari
Nomor Mahasiswa : 058114050
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
DOSIS EFEKTIF ANTIDIARE SARI BUAH SALAK PONDOH (Zallaca edulis
Reinw) PADA MENCIT DENGAN METODE PROTEKSI OLEH OLEUM RICINI
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam
bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendiatribusikan secara
terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 20 Agustus 2009

Yang menyatakan,

Katarina Gayatri Wulansari


Terima kasih...
Telah mengajariku membedakan yang benar dan yang salah
Mendorongku untuk mempertahankan mimpi-mimpiku
Menunjukkan kepadaku untuk tidak terpengaruh oleh
rintangan

Mengubah kebingunganku menjadi senyuman


Mengubah keputusasaanku menjadi harapan

Terima kasih...
Telah menunjukkan bahwa kalian menyayangiku
Menunjukkan bahwa betapa istimewanya kebersamaan
kita Menghapuskan air mataku kala aku sedih
Menenangkanku kala aku marah

Terima kasih...
Atas segala yang kalian lakukan
untukku Entah apa jadinya diriku tanpa
kalian

I LOVE YOU ALL

Dedicated to :
Jesus Christ ,
My Grandma and My Parents,
My Sist and My Bro,
My Love,
And My Almamater…
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar

pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Juni 2009

Penulis,

Katarina Gayatri Wulansari


PRAKATA

Segenap puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas

segala penyertaan, kekuatan, kesabaran, kebijaksanaan, berkat dan karunia yang

dilimpahkanNya pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Dosis Efektif Antidiare Sari Buah Salak Pondoh (Zallaca Edulis Reinw) Pada

Mencit Dengan Metode Proteksi Oleh Oleum Ricini” dengan tepat waktu. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

pada Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis telah mendapatkan pendampingan, penyertaan, dukungan dan segala

bentuk bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) Dikti dan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah sangat membantu penelitian

ini sehingga dapat terlaksana dengan baik.

2. Rita Suhadi, M.Si., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

3. Ipang Djunarko, S.Si, Apt, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas

segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan

skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat

pada waktunya.

4. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas saran

dan inforrmasi yang dapat mambangun skripsi ini.


5. Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas saran dan

nasehat serta canda tawa yang dapat mencairkan suasana selama ujian skripsi

berlangsung.

6. Segenap dosen dan karyawan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

7. Mas Anang, terima kasih untuk buah salak pondohnya.

8. LPPT UGM. Terima kasih sudah mensuplai mencit untuk kelancaran skripsi ini.

9. Nenek, Bapak, dan Ibu atas segala bantuan, dukungan, kasih, doa, dan

penyertaannya di sepanjang hidup penulis. Segalanya yang telah diberikan kepada

penulis membuat penulis mampu bertahan untuk menyelesaikan tugas ini. Terima

kasih tetap menjadikan penulis terlalu berharga justru disaat penulis paling buruk

dan terpuruk.

10. Veronika Yuli Anggraeni, satu-satunya adik kandung penulis. Terima kasih atas

segala bentuk bantuan dan dukunganmu, mendengar keluhan penulis, tertawa

bersama dan menemani penulis disaat sendiri menumpahkan air mata. Jadilah

lebih indah dan lebih baik melebihi penulis, karena penulis yang selalu

menyayangimu.

11. Keluarga besar Mbah Abu Sudir dan Mbah Hadi dimanapun berada. Penulis tahu

doa dan dukungan tidak pernah berhenti mengalir untuk kelulusan penulis ini.

12. Tri Prasetyo Adi, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.

13. Teman-teman sekelompok penelitian, Bernadetta Eka Niasari dan Maria Paulina

Hartaya. Terima kasih atas bantuan dan sarannya.


14. Fransisca Romana Dyah K., teman seperjuangan penulis yang tak pernah berhenti

menguatkan penulis. Terima kasih sudah menjadi teman dan sekaligus pendengar

setia segala masalah penulis

15. Teman-teman penulis, Lia, Ade, Tyas, Suci, Berto, Made, Fian, Dani, Nixon,

Inus, Feli, Rias, dan segenap mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma khususnya minat FST.

16. Teman-teman kost penulis, terima kasih untuk kebersamaan, dukungan, dan

keceriaan kalian selama ini, teristimewa untuk mbak Ika, mbak Indah, mbak Ida,

Ika, dan Wening.

17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis selama penelitian maupun penyusunan skripsi ini.

Dengan segenap kerendahan hati penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini

masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat menyempurnakan dan membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak, baik bagi penulis sendiri, bagi pengembangan ilmu kefarmasian khususnya dan

ilmu pengetahuan pada umumnya.

Penulis
INTISARI

Telah dilakukan penelitian mengenai Dosis Efektif Antidiare Sari Buah Salak
Pondoh (Zallaca edulis Reinw) Pada Mencit Dengan Metode Proteksi Oleh Oleum
Ricini. Sampel yang diujikan pada penelitian ini adalah buah salak pondoh. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membuktikan khasiat sari buah salak pondoh (Zallaca edulis
Reinw) agar dapat digunakan sebagai terapi yang efektif dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu juga untuk mengetahui seberapa besar daya antidiare yang terkandung
didalamnya.
Pada penelitian ini digunakan metode proteksi oleh Oleum Ricini. Penelitian ini
termasuk jenis penelitian eksperimental murni bersifat eksploratif dengan menggunakan
rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Subyek uji yang digunakan adalah mencit
putih betina galur Swiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-25 gram. Pada proses
penelitian digunakan 60 ekor mencit yang dibagi secara acak dalam 6 kelompok, yaitu
kelompok kontrol positif, kontrol negatif, tiga kelompok uji dengan tiga peringkat dosis
berturut-turut 12,5 ml/kg BB; 25 ml/kg BB; 50 ml/kg BB, dan kelompok CMC Na 1%.
Bahan uji dibuat dalam sediaan sari, diberikan secara oral. Selang 1 jam, hewan uji diberi
Oleum Ricini dengan volume 0,5 ml/20 g BB mencit secara oral. Pengamatan dilakukan
tiap 30 menit selama 4 jam dan selang 1 jam sampai 6 jam, meliputi waktu terjadinya
diare, jangka waktu berlangsungnya diare, konsistensi dan bobot feses dievaluasi masing-
masing secara statistik dengan metode anova dan uji t, dan frekuensi diare dapat diuji
dengan uji non-parametrik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sari buah salak pondoh memberikan
aktivitas sebagai antidiare. Dari hasil yang diperoleh, maka dosis 50 ml/kg BB
merupakan dosis efektif untuk antidiare pada mencit. Dosis yang diperlukan untuk
manusia 70 kg adalah sebesar 18945 ml/70kg BB atau 270,64 ml/kg BB.

Kata kunci : diare, antidiare, sari buah salak pondoh.


ABSTRACT

It has been conducted a research about The Effective Dose Antidiarrhea of Salak
Pondoh Extract (Zallaca edulis Reinw) Toward Mice with Protection by Oleum Ricini
Method. The sample tested in this research was Salak Pondoh fruit (Zallaca edulis
Reinw). This research aimed to prove effect of Salak Pondoh fruit (Zallaca edulis Reinw)
in order to be used as effective therapy in everyday life. Moreover, this research aimed to
knowing the antidiarrhea effect of the fruit.
This research was using protection by Oleum Ricini method. The type of the
research was explorative pure experimental research with one way pattern random
design. The test subject were white mice of healthy Swiss family, 2-3 month old, and
their weight 20-30 gram. In the process of the research was using 60 mice randomly
divided into 6 groups – negative control group, positive control group, an three test group
– with three phase dose of 12,5 ml/kg BW; 25 ml/kg BW; dan 50 ml/kg BW, and CMC
Na 1% group. Test material was made in juice form, administered to each mice. After an
hour, take 0,5ml/20g WB of Oleum Ricini by oral. Observation include onset, duration,
consistency, frecuency, and weight of the feces.
The result data showed that salak pondoh fruit has the antidiarrhea effect. Dose
50 ml/kg BB is the effective dose for antidiarrhea. Dose in human 70 kg is 18945
ml/70kg BB or 270,64 ml/kg BB.

Key words : diarrhea, antidiarrhea, the fresh Salak Pondoh fruit juice
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................iii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI....................................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN.........................................................................................v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................................vi

PRAKATA.......................................................................................................................vii

INTISARI..........................................................................................................................x

ABSTRACT......................................................................................................................xi

DAFTAR ISI....................................................................................................................xii

DAFTAR TABEL.............................................................................................................xvi

DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xvii

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................................xviii

BAB I. PENGANTAR........................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

1. Permasalahan......................................................................................................4

2. Keaslian penelitian..............................................................................................4

3. Manfaat penelitian.............................................................................................6

B. Tujuan Penelitian....................................................................................................6

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA................................................................................7

A. Obat Tradisional.......................................................................................................7

B. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan.............................................................8


C. Salak.......................................................................................................................10

1. Sistematika tanaman..................................................................................11

2. Morfologi..................................................................................................11

3. Nama Daerah............................................................................................12

4. Sentra penanaman.....................................................................................13

5. Kegunaan dan kandungan..........................................................................13

6. Hasil penelitian tentang buah salak............................................................13

D. Diare......................................................................................................................14

1. Definisi diare.............................................................................................14

2. Penyebab diare..........................................................................................16

3. Tanda dan gejala diare..............................................................................18

4. Patofisiologi..............................................................................................20

E. Antidiare................................................................................................................20

F. Sasaran Terapi dan Pengobatan Antidiare.............................................................22

G. Metode Uji Antidiare............................................................................................24

H. Tanin......................................................................................................................26

I. Loperamide Hydrochloride....................................................................................28

J. Oleum Ricini..........................................................................................................30

K. Landasan Teori......................................................................................................31

L. Hipotesis...............................................................................................................32

BAB III. METODE PENELITIAN...................................................................................33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian.............................................................................33

B. Variabel Penelitian................................................................................................33
1. Variabel utama...........................................................................................33

2. Variabel pengacau......................................................................................34

C. Definisi Operasional.............................................................................................34

D. Bahan Penelitian...................................................................................................35

1. Bahan utama...............................................................................................36

2. Bahan kimia...............................................................................................36

E. Alat Penelitian.......................................................................................................36

F. Tata Cara Penelitian...............................................................................................37

1. Pengumpulan bahan...................................................................................37

2. Penentuan dosis sari buah salak pondoh...................................................37

3. Pembuatan CMC Na 1%............................................................................38

4. Perlakuan terhadap hewan uji...................................................................39

5. Skema kerja...............................................................................................39

G. Analisis Hasil........................................................................................................40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................41

A. Hasil Determinasi...................................................................................................41

B. Penetapan Daya Antidiare......................................................................................41

1. Penentuan kontrol positif dan kontrol negatif............................................42

a. Kontrol positif......................................................................................42

b. Kontrol negatif....................................................................................44

2. Penentuan dosis sari buah salak pondoh....................................................45

3. Uji efek antidiare........................................................................................46

a. Konsistensi feses..................................................................................48
b. Onset diare..........................................................................................51

c. Frekuensi diare.....................................................................................54

d. Durasi diare.........................................................................................56

e. Bobot feses...........................................................................................59

C. Rangkuman Pembahasan.......................................................................................62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................64

A. Kesimpulan............................................................................................................64

B. Saran.......................................................................................................................64

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................66

LAMPIRAN.....................................................................................................................69

BIOGRAFI PENULIS....................................................................................................161
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel I. Tahapan dehidrasi pada anak yang mengalami diare (World Gastroenterology

Organisation (WGO) practice guideline)........................................................19

Tabel II. Penilaian derajat dehidrasi penderita diare (Anonim, 2000b)............................23

Tabel III. Penggolongan tanin tumbuhan (Harborne, 1987).............................................26

Tabel IV. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk

parameter persentase konsistensi feses cair.....................................................49

Tabel V. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk

parameter onset diare.......................................................................................52

Tabel VI. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk

parameter frekuensi diare.................................................................................54

Tabel VII. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk

parameter durasi diare.....................................................................................57

Tabel VIII. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk

parameter bobot feses cair...............................................................................59


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan manusia (Wakefield, 2005)............8

Gambar 2. Gangguan-gangguan pada saluran cerna (Sachdev, 2007).............................10

Gambar 3. Bristol Stool Chart (Heaton dan Lewys, 1997)..............................................16

Gambar 4. Bagan akibat (efek) dehidrasi (Noerasid dkk, 1988).......................................19

Gambar 5. Siklus tanin dalam saluran pencernaan (Mills dan Kerry, 2000)....................27

Gambar 6. Struktur asam risinoleat (Mutschler, 1986).....................................................31

Gambar 7. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter persentase

konsistensi feses cair.....................................................................................50

Gambar 8. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter onset diare......53

Gambar 9. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter frekuensi diare.55

Gambar 10. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter durasi diare.. .58

Gambar 11. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter bobot feses.. . .60

Gambar 12. Pohon Salak....................................................................................................70

Gambar 13. Salak...............................................................................................................70

Gambar 14. Aquadest, Sari Salak Pondoh, dan Oleum Ricini...........................................70

Gambar 15. Mencit Pada Saat Dipuasakan Selama 1 Jam................................................71

Gambar 16. Mencit yang diberi perlakuan secara per oral...............................................71

Gambar 17. Feses Mencit Dengan Konsistensi Cair.........................................................71


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Perhitungan dosis loperamid HCl...........................................................72

Lampiran 2. Hasil penimbangan buah salak pondoh..................................................73

Lampiran 3. Hasil sari daging buah salak pondoh.......................................................74

Lampiran 4. Perhitungan dosis sari buah salak pondoh dengan 3 peringkat dosis......75

Lampiran 5. Hasil uji antidiare sari buah salak pondoh dengan metode proteksi diare

oleh oleum ricini........................................................................................76

Lampiran 6. Hasil tes normalitas dan homogenitas untuk parameter bobot feses,

frekuensi diare, onset diare, durasi diare, dan konsistensi feses................79

Lampiran 7. Hasil uji Kruskal-Wallis untuk parameter bobot feses, frekuensi diare,

onset diare, durasi diare, dan konsistensi feses..........................................81

Lampiran 8. Hasil analisis sari buah salak pondoh dengan metode proteksi diare oleh

oleum ricini dengan uji Mann-Withney.....................................................86


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penggunaan obat tradisional atau jamu di masyarakat merupakan kenyataan

yang bersifat empiris untuk mencapai kesembuhan atau pemeliharaan dan peningkatan

taraf kesehatan yang diwariskan turun-temurun, dan tidak terpisahkan dari kehidupan

masyarakat tanpa dibuktikan secara ilmiah. Obat tradisional Indonesia yang merupakan

warisan budaya diinginkan untuk dapat dipakai dalam sistem pelayanan kesehatan. Untuk

itu harus disesuaikan dengan kaidah pelayanan kesehatan yaitu secara medis harus dapat

dipertanggungjawabkan. Guna mencapai hal itu dilakukan pengujian ilmiah tentang

khasiat, keamanan, dan standar kualitasnya (Anonim, 2000a).

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, aneka produk berbasis obat bahan alam

membanjiri pasar dengan aneka indikasi yang cukup meyakinkan seperti misalnya dapat

menyembuhkan semua penyakit termasuk penyakit kanker yang obat idelanya belum

ditemukan sampai saat ini. Apabila diperhatikan, perkembangan obat bahan alam ini

tidak lepas dari kebijakan pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis perbankan

mulai tahun 1998, sehingga kebijakan pemanfaatan obat bahan alam dikeluarkan, dengan

konsekuensi kemudahan seperti misalnya berbagai aturan registrasi dan lain-lain. Oleh

karena itu tidak disangsikan lagi bahwa banyak obat bahan alam yang sudah terdaftar,

sampai dengan yang belum terdaftar sama sekali. Lebih jauh lagi yaitu bahwa obat bahan

alam sebagai produk atau bahan baku import pun ikut mewarnai pasar di Indonesia

1
2
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
terkadang dilengkapi dengan indikasi medis yang sangat didambakan walaupun sebagian

besar secara klinis belum terbukti (Tyler, 2000 cit Wahyuono, 2002).

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi tiga kali atau lebih per hari

disertai perubahan feses menjadi cair dengan dan atau tanpa lendir dan atau darah

(Markum, 1999). Definisi lain dari diare adalah keadaan defekasi encer lebih dari 3 kali

sehari dengan atau tanpa darah dan/atau lendir dalam feses (Noerasid, 1988).

Di Indonesia penyakit diare (mencret) masih merupakan masalah di bidang

kesehatan terutama di daerah pedesaan. Angka kesakitan penduduk sekitar 15-43% tiap

tahun. Dari jumlah tersebut 60-80% diderita oleh anak balita. Angka kematian yang

disebabkan oleh diare mengalami penurunan dari 12,4% (1986) menjadi 7,5% (1992),

dan urutan penyebab kematian karena infeksi menduduki urutan ke-3 setelah penyakit

tuberkulosis dan infeksi saluran nafas. Faktor penyebab terjadinya diare antara lain

infeksi kuman (Winarno, 1996).

Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (Firdaus, 1997), angka

morbiditas diare dalam masyarakat adalah 4,4 per 1000 penduduk. Pada balita 20,6 per

1000 penduduk, sedangkan pada anak kurang dari satu tahun sebesar 25 per 1000

penduduk. Angka kematian akibat diare sebesar 12% diantara seluruh penyebab

kematian. Diare merupakan penyebab 15% kematian bayi, dan 26% penyebab kematian

anak balita. Kematian akibat diare biasanya bukan karena adanya infeksi dari bakteri atau

virus tetapi karena terjadi dehidrasi. Pada diare yang hebat, penderita akan mengalami

buang air besar dalam bentuk encer beberapa kali dalam sehari dan sering disertai kejang,

panas, muntah, maka tubuh akan kehilangan banyak air dan garam-garam sehingga bisa

berakibat dehidrasi, asidosis, hipokalsemia yang tidak jarang berakhir dengan “syok” dan
3
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
kematian. Penyakit diare perlu mendapat penanganan yang cepat guna mengembalikan

kondisi penderita ke keadaan awal (Widayanti, 2003).

Obat antidiare dapat digolongkan menjadi kelompok antisekresi selektif, opiat,

absorbent, zat hidrofolik, dan probiotik (Zein, 2004). Pengobatan diare lazimnya secara

garis besar dibagi menjadi dua, yaitu; pengobatan simtomatik dan kausatif. Pada

pengobatan simtomatik daya kerja obat adalah mengurangi peristaltik langsung ke usus

atau memproteksi, menciutkan lapisan permukaan usus (astringensia), dan zat-zat dapat

menyerap racun yang dihasilkan bakteri (adsorben), sedangkan secara kausatif, bakteri

dimatikan dengan zat antibakteri. Di Indonesia banyak tanaman obat yang sering

digunakan oleh masyarakat terutama di pedesaan untuk mengobati diare. Untuk

mengetahui tanaman-tanaman apa saja yang digunakan, cara pakai dan bagian yang

digunakan telah dilakukan penelusuran pustaka baik dari literatur maupun survei

penggunaan obat tradisional terhadap diare yang pernah dilakukan (Winarno, 1996).

Salak (Zalacca zalacca) merupakan tanaman asli Indonesia. Salak mempunyai

nilai ekonomis dan peluang pasar yang cukup luas, baik di dalam maupun ekspor. Pulau

Jawa sebagai salah satu pusat keragaman kultivar salak, mempunyai potensi yang cukup

besar untuk menghasilkan varietas-varietas unggul yang lebih bernilai ekonomis dan

kompetitif. Salah satu kultivar tersebut adalah salak pondoh (Zallaca edulis Reinw cv

Pondoh) yang berasal dari Sleman, DI Yogyakarta. Salak ini mempunyai buah bercita

rasa manis tanpa asam meskipun masih muda (Nandariyah, 2004). Dengan rasa khas ini,

salak pondoh sangat digemari konsumen sehingga harganya lebih mahal dibanding buah

salak dari kultivar lainnya (Purnomo, 1993).


4
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Zallaca edulis Reinw secara empiris digunakan sebagai antidiare, karena

ditinjau dari kandungan kimianya, terdapat kandungan tanin dan pektin yang dapat

melindungi dinding mukosa usus terhadap rangsangan-rangsangan isi usus atau

mengendapkan racun (Winarno, 1996). Oleh karena itu, dilakukan penelitian efek

antidiare daging buah salak pondoh pada tikus putih yang dibuat diare dengan Oleum

Ricini menurut metode proteksi terhadap diare oleh Oleum Ricini (Adnyana, 2004).

Kandungan utama dari Oleum Ricini, yakni trigliserida dari asam risinoleat akan

mengalami hidrolisis di dalam usus halus oleh lipase pankreas menjadi gliserin dan asam

risinoleat. Sebagai surfaktan anionik, zat ini bekerja mengurangi absorpsi neto cairan dan

elektrolit serta menstimulasi peristalsis usus, sehingga berkhasiat sebagai laksansia

berdasarkan kerja ini. Obat yang berkhasiat antidiare akan dapat melindungi hewan

percobaan mencit terhadap diare yang diinduksi dengan Oleum Ricini tersebut (Anonim,

1991).

1. Permasalahan

a. Apakah sari daging buah salak pondoh mempunyai daya antidiare ?

b. Berapa besar dosis efektif sari buah salak pondoh untuk antidiare ?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran pustaka, penelitian tentang salak pondoh (Zallaca edulis

Reinw) sebagai antidiare belum pernah dilakukan. Telah dilakukan beberapa penelitian

mengenai buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw), antara lain :

a. Pengaruh Penambahan CMC Terhadap Kestabilan Suspensi Sari Buah Salak


(Zalacca edulis R.) Selama Penyimpanan
5
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Salah satu usaha untuk menstabilkan suspensi sari buah salak adalah dengan

penambahan zat penstabil natrium Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Sebagai bahan

utamanya digunakan dua jenis salak pondoh Super dan Lokal (Jawa), dengan

penambahan CMC dalam konsentrasi 0% (kontrol), 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1,0%.

Sari buah yang dihasilkan disimpan selama 13 hari melalui empat tahapan pengamatan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Blok Lengkap

(Randomized Complete Block Design = RCBD) tiga faktor yang diulang tiga kali.

Variabel yang diamati meliputi pH sari buah, kecepatan pengendapan, total padatan

terlarut, kekeruhan dan warna sari buah salak yang dihasilkan (Mudjisihono, Suhardi dan

Handayani, 2009).

b. Regenerasi Tanaman dan Transformasi Genetik Salak Pondoh (Zalacca edulis


Reinw) untuk Rekayasa Buah Partenokarpi

Pengembangan buah salak partenokarpi melalui rekayasa genetik merupakan

alternatif terbaik dalam peningkatan produksi buah. Penelitian bertujuan mendapatkan

protokol terbaik untuk regenerasi dan transformasi genetik tanaman salak melalui

Agrobacterium tumefaciens. Eksplan berupa embrio zigotik muda dan tua diisolasi dari

biji (Pardal, Saptowo, Mariska, Lestari, dan Slamet, 2004).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah disebutkan di

atas, karena penelitian ini mengidentifikasi efek antidiare sari salak pondoh (Zalacca

edulis Reinw) pada mencit yang dibuat diare dengan Oleum Ricini menurut metode

proteksi diare oleh oleum ricini. Penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas belum

ada yang membahas masalah ini, sehingga penelitian ini belum pernah dilakukan.
6
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

3. Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini meliputi:

a. Manfaat teoritis : untuk melengkapi teori yang sudah ada mengenai obat tradisional,

terutama mengenai khasiat salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) sebagai antidiare.

b. Manfaat praktis : memberikan informasi dosis efektif sari buah salak pondoh

(Zalacca edulis Reinw) sebagai alternatif pengobatan terhadap diare.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan penggunaan tanaman obat

tradisional yang berkhasiat antidiare.

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebenaran khasiat sari salak

pondoh dan mengetahui dosis efektif antidiare dari sari salak pondoh.
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK TTEERRPPUUJJII
BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Obat Tradisional

Menurut Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan Bab I pasal 1

tahun 1992, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan

yang berupa bahan tumbuhan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran sediaan dari

bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan

pengalaman (Anonim, 1992). Penggunaan obat tradisional di masyarakat merupakan

suatu kenyataan yang bersifat empirik dan diwariskan secara turun-temurun tanpa dapat

dibuktikan secara ilmiah (Anonim, 2000a).

Pada dasarnya pemakaian obat tradisional mempunyai beberapa tujuan

(Anonim, 2000a) yang secara garis besar dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu :

1. untuk memelihara kesehatan dan menjaga kebugaran jasmani (promotif)

2. untuk mencegah penyakit (preventif)

3. sebagai pengobatan penyakit, baik untuk pengobatan sendiri maupun untuk

mengobati orang lain sebagai upaya mengganti atau mendampingi penggunaan obat

jadi (kausatif)

4. untuk memulihkan kesehatan (rehabilitatif).

Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya dan telah menjadi bagian

integral dari kehidupan bangsa Indonesia. Obat tradisional diinginkan untuk dipakai

dalam sistem pelayanan kesehatan sehingga harus sesuai dengan kaidah pelayanan

kesehatan, yaitu secara medis harus dapat dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk

mencapai hal itu, perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat, keamanan, dan

7
8
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
standar kualitasnya. Perkembangan tuntutan akan pemakaian obat tradisional dirasa

makin nyata, selain menyangkut aspek kesehatan juga berkaitan dengan potensi ekonomi

(Anonim, 2000).

B. Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna

Sistem saluran cerna adalah pintu gerbang masuk zat-zat gizi dari makanan,

vitamin, mineral, dan cairan yang memasuki tubuh. Fungsi sistem ini adalah

mencernakan makanan dengan cara menggilingnya dan kemudian mengubah secara

kimiawi ketiga bagian utamanya (protein, lemak, dan karbohdrat) menjadi unit-unit yang

siap diresorpsi tubuh. Produk-produk hasil pencernaan yang berfaedah bagi tubuh beserta

vitamin, mineral, dan cairan melintasi selaput lendir (mukosa) usus untuk masuk ke aliran

darah dan getah bening (limfe) (Tjay dan Rahardja, 2002).

Anatomi saluran cerna manusia secara garis besar meliputi : mulut, lambung,

usus halus (jejunum), usus dua belas jari (duodenum), dan kolon. Selain itu juga terdapat

organ-organ lain, seperti hati, kandung empedu, dan pankreas yang berfungsi untuk

membantu melaksanakan fungsi pencernaan makanan. Anatomi dan fisiologi ini juga

dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan manusia (Wakefield, 2005)


9
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Proses pencernaan dimulai dari mulut, dimana makanan dikunyah untuk

dihaluskan sambil bercampur dengan ludah yang mengandung enzim amilase dan ptialin.

Selanjutnya oleh gerakan peristaltik, makanan masuk ke lambung melalui esofagus.

Kemudian bercampur dengan getah lambung, yang terdiri dari asam hidroklorida dan

pepsin. Oleh pengaruh asam ini, pylorus membuka dan menutup secara refleks. Makanan

yang sudah setengah cair (khimus) melewati pylorus masuk ke dalam usus dua belas jari.

Di dalam usus, khimus dinetralisir oleh cairan alkalis dari getah pankreas dan empedu.

Oleh pengaruh enzim pankreas, karbohidrat dan lemak dibentuk menjadi suatu emulsi

khimus dengan garam kolat untuk memudahkan penyerapan oleh usus. Di dalam usus

besar bagian air dalam khimus dan garam diserap kembali dan sisanya dikeluarkan

melalui dubur sebagai feses (Anonim, 1997).

Usus setiap hari memperoleh kira-kira 2000 ml cairan dari makanan ditambah

700 ml dari sekresi mukosa traktus gastrointestinalis dan kelenjar-kelenjarnya, dengan

hanya kehilangan cairan 200 ml setiap hari dari feses. Hanya sebagian kecil air melalui

mukosa lambung, tetapi air bergerak dalam kedua arah melalui mukosa usus halus dan

usus besar akibat gradien osmotik. Sebgian Na + berdifusi masuk atau keluar usus halus

tergantung pada gradien konsentrasi. Selain itu, Na+ secara aktif ke luar lumen usus halus

dan kolon oleh pompa yang kelihatannya terletak pada dinding bagian basilateral sel.

Dalam ileum dan jejunum, Na+ transport dari usus ke darah dipermudah oleh aldosteron

(Ganong, 1995).

Dalam usus halus, transport aktif Na+ adalah penting untuk absorpsi glukosa,

asam amino, dan zat-zat lain. Sebaliknya, adanya glukosa dalam lumen usus
10
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
mempermudah reabsorpsi Na . Ini adalah dasar fisiologi pengobatan kehilangan Na + dan
+

air pada diare dengan pemberian larutan yang mengandung NaCl dan glukosa per oral

(Ganong, 1995).

Di saluran lambung-usus dapat timbul berbagai gangguan yang ada kaitannya

dengan proses pencernaan, resorpsi bahan gizi, perjalanan isi usus yang terlampau cepat

(diare) atau terlampau lambat (konstipasi), serta infeksi usus oleh mikroorganisme (Tjay

dan Rahardja, 2002). Gangguan pencernaan juga dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Gangguan-gangguan pada saluran cerna (Sachdev, 2007)

C. Salak

Salak (Zalacca edulis L. atau S. zalacca Gaertn. Voss.) merupakan buah tropis

asli Indonesia yang banyak tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara. Di hutan-hutan di

Pulau Jawa, tanaman ini banyak tumbuh liar, berumpun, dan bergerombol di bawah

rimbunan kanopi hutan hujan tropis (Astuti, 2007).


11
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
1. Sistematika tanaman

Tanaman salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) memiliki urut-urutan determinasi

sebagai berikut :

Sinonim : Zalacca biumeana Mart.

Klasifikasi : Spermatophyta

Divisi : Angiospermae

Sub divisi : Monocotyledonae

Kelas : Palmales

Bangsa : Palmae

Suku : Zalacca

Marga : Zalacca edulis Reinw

Jenis : Salak (Anonim, 2007).

2. Morfologi

Tanaman salak termasuk keluarga palem-paleman (Arecaceae). Tinggi 2-3,5 m,

dengan daun majemuk, bertangkai, berduri, anak daun tidak bertangkai, bentuk lanset,

ujung runcing, tepi dan pangkal rata, permukaan bawan berlapis lilin. Buah salak yang

bertandan muncul dari dalam pelepah daun. Kulit buah salak seperti sisik yang tersusun

membungkus daging buah (Astuti, 2007).

Palem boleh dikatakan tidak berbatang, berumah dua, berumpun kuat. Daun

secara kelompok tumbuh di atas akar rimpang yang panjang dan besar. Tangkai daun 2,5-

3 m panjangnya, dibagian bawah dan tepinya berduri tempel yang banyak; helaian daun

panjang 4-5 m; poros berduri tempel, anak daun berbentuk garis lanset, sampai 85 kali 8
12
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
cm, dengan ujung meruncing dan tepi berduri tempel yang halus, pada sisi bawah dengan

lapisan lilin. Tongkol bunga jantan panjang 50-100 cm, bertangkai; pelepah dari luar

coklat merah, serupa “vilt”, robek pada satu sisi, mengering menjadi berwarna coklat

merah, mengurai menjadi serupa serabut; bulir 4-12, cylindris, seperti “vilt”, berbunga

banyak rapat dan bersisik, panjang 7-15 cm; sisik tersusun serupa genting; bunga duduk

dalam ketiak sisik, berpasangan, merah. Tongkol bunga betina panjang 20-30 cm,

tersusun dari 1-3 bulir; bertangkai panjang; seludang lebih pendek dan lebih lebar dan

sisik lebih besar daripada yang jantan; bunga berpasangan, berbau sedikit seperti jahe;

staminodia 6; tangkai putik membagi 3, merah tua; kepala putik berbentuk colet (spatel).

Buah segi tiga bulat telur terbalik, 2,5-10 cm panjangnya, sisik tersusun serupa genting,

ujung diakhiri dengan ujung berbentuk uncek yang bengkok, coklat merah, mengkilat;

dinding buah tengah berdaging. Biji 1-3, coklat, keras, 2-3 cm panjangnya. Liar dan

ditanam (Van Steenis, 1992)

3. Nama daerah

Zalacca edulis Reinw, mempunyai nama yang berbeda-beda di beberapa daerah.

Berikut ini adalah nama Zalacca edulis Reinw yang dikenal di beberapa daerah di

Indonesia :

Sumatera : Sala (Minangkabau), Salak (Melayu)

Jawa : Salak (Sunda, Jawa Tengah, Madura)

Bali : Salak

Sulawesi : Salak (Makasar, Bugis)

Kalimantan : Tusum (Kalimantan Selatan) (Anonim, 2007).


13
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
4. Sentra penanaman

Tanaman salak banyak terdapat di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.

Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku,

Bali, NTB dan Kalimantan Barat (Anonim, 2007).

5. Kegunaan dan kandungan

Daging buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) mengandung tanin, saponin,

dan flavonoid. Kegunaan dari daging buah salak pondoh ini adalah sebagai antidiare

(Anonim, 2007).

6. Hasil penelitian tentang buah salak

Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai buah salak pondoh (Zalacca

edulis Reinw), antara lain :

a. Pengaruh Penambahan CMC Terhadap Kestabilan Suspensi Sari Buah Salak


(Zalacca edulis R.) Selama Penyimpanan

Salah satu usaha untuk menstabilkan suspensi sari buah salak adalah dengan

penambahan zat penstabil natrium Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Sebagai bahan

utamanya digunakan dua jenis salak pondoh Super dan Lokal (Jawa), dengan

penambahan CMC dalam konsentrasi 0% (kontrol), 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1,0%.

Sari buah yang dihasilkan disimpan selama 13 hari melalui empat tahapan

pengamatan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Blok

Lengkap (Randomized Complete Block Design = RCBD) tiga faktor yang diulang tiga

kali. Variabel yang diamati meliputi pH sari buah, kecepatan pengendapan, total
14
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
padatan terlarut, kekeruhan dan warna sari buah salak yang dihasilkan (Mudjisihono,

Suhardi dan Handayani, 2009).

b. Regenerasi Tanaman dan Transformasi Genetik Salak Pondoh (Zalacca edulis


Reinw) untuk Rekayasa Buah Partenokarpi

Salak pondoh merupakan salah satu kultivar salak yang paling populer di

Indonesia karena memiliki buah dengan rasa manis meskipun masih muda. Namun,

salak ini memiliki daging buah yang tipis dengan biji besar. Pengembangan buah

salak partenokarpi melalui rekayasa genetik merupakan alternatif terbaik dalam

peningkatan produksi buah. Penelitian regenerasi dan transformasi tanaman salak

untuk pembentukan buah partenokarpi telah dilaksanakan di Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor pada

tahun 2002. Penelitian bertujuan mendapatkan protokol terbaik untuk regenerasi dan

transformasi genetik tanaman salak melalui Agrobacterium tumefaciens. Eksplan

berupa embrio zigotik muda dan tua diisolasi dari biji (Pardal, Saptowo, Mariska,

Lestari, dan Slamet, 2004).

D. Diare

1. Definisi

Diare berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus,

merupakan suatu keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu serius (Sugiyanto,

1997). Ada beberapa definisi diare, antara lain diare adalah buang air besar dengan

frekuensi tak normal (meningkat) dengan konsistensi lebih lembek atau air (Suharyono,
15
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
1991; Firdaus, 1997; Sugiyanto, 1997). Markum (1999) menyebutkan diare adalah buang

air besar dengan frekuensi tiga kali atau lebih per hari disertai perubahan feses menjadi

cair dengan dan atau tanpa lendir dan atau darah. Definisi lain dari diare adalah keadaan

defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah dan/atau lendir dalam

feses (Noerasid, Suraatmadja, Asnil, 1988). Kebanyakan disebabkan menelan makanan

atau minum minuman yang tercemar (Tjay dan Rahardja, 2002).

Diare adalah perubahan bentuk dan konsistensi tinja menjadi lembek sampai cair

dan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (tiga kali atau lebih

dalam 24 jam). Wujud tinja menjadi ukuran yang lebih penting dibanding frekuensi

buang air besar. Jika frekuensi buang air besar naik namun wujud tinja lunak dan berisi

maka hal tersebut tidak dapat dikatakan diare (Fine et.al,1989 cit Carruthers et.al, 2000).

Secara biokimia, diare adalah gangguan transport air dan elektrolit di intestinal.

Dalam keadaan normal, epithelium intestinal menjaga keseimbangan antara sekresi dan

absorpsi. Vili-vili epithelium mengabsorpsi air dan ion sodium ketika epithelium kript

mensekresi air dan ion klorida. Proses tersebut di bawah pengaruh transmiter

neuroendokrin, hormon-hormon, dan substansi intestinal lainnya. Adanya racun yang

dihasilkan dari enterotoksin, infeksi atau kerusakan seluler akibat infeksi, mekanisme

homeostasis terganggu dan diikuti diare (Li Wan Po, 1997).

Menurut World Gastroenterology Organisation (WGO) practice guideline

mengenai diare akut, diare akut didefinisikan sebagai pengeluaran tinja dalam bentuk

semisolid atau cair dari dalam usus dengan tidak normal, tidak kurang dari 14 hari

(Anonim, 2008).
16
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Tingkat lembek atau cairnya feses hingga dapat dikatakan diare, dapat dilihat

pada gambar 3 dimana tipe 5-7 dikatakan sebagai diare.

Gambar 3. Bristol Stool Chart (Heaton dan Lewys, 1997)

Menurut World Gastroenterology Organisation (WGO) practice guideline

mengenai diare akut, penggolongan penyebab dari diare pada seorang pasien berdasarkan

riwayat klinisnya biasanya sulit. Waktu diare dapat digolongkan dalam 3 kategori, yakni :

a. diare akut, timbul sedikitnya 3 kali dengan feses cair selang waktu 24 jam

b. disentri, diare dengan mengeluarkan darah

c. diare persisten, diare sedikitnya selama 14 hari

2. Penyebab

Penyebab diare sebagian besar adalah bakteri dan parasit, disamping sebab lain

seperti racun, alergi dan dispepsi. Diare yang menyerupai kolera mengakibatkan

dehidrasi dan sering memerlukan infus, karena penderita dapat meninggal kekurangan

cairan dan elektrolit (Djamhuri, 1995).


17
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Diare karena infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit.

Bakteri yang menyebabkan diare adalah Aeromonas hydrophilia, Bacillus cereus,

Camphylobacter jejuni, Clostridium difficile, Clostridium perfringens, Escherichia coli,

Salmonella sp, Shigella sp, Staphilococcus aurus, Vibrio cholera, Vibrio

parahaemolyticus. Jenis virus yang menyebabkan diare antara lain Adnovirus, Rotavirus,

virus Norwalk, Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus, dan virus bulat kecil

(Firdaus, 1997).

Menurut teori klasik, diare adalah penyakit yang disebabkan oleh meningkatnya

peristaltik usus, sehingga pelintasan khimus sangat dipercepat dan masih banyak

mengandung air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Mutschler, 1986).

Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyebutkan penyebab utama

diare adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air dan atau

terjadinya hipersekresi. Pada keadaan normal, proses resorpsi dan sekresi dari air dan

elektrolit-elektrolit berlangsung pada waktu yang sama di sel-sel epitel mukosa. Proses

ini diatur oleh beberapa hormon, yaitu resorpsi oleh enkefalin, sedangkan sekresi diatur

oleh prostaglandin dan neurohormon V.I.P (Vasoactive Intestinal Peptide). Biasanya,

resorpsi melebihi sekresi, tetapi karena sesuatu sebab sekresi menjadi lebih besar

daripada resorpsi, maka terjadilah diare. Penyebab diare lainnya adalah adanya alergi

terhadap makanan ataupun minuman dan intoleransi, gangguan gizi, dan kekurangan

enzim tertentu. Begitu pula adanya pengaruh psikis seperti keadaan terkejut dan

ketakutan (Tjay dan Rahardja, 2002).


18
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

3. Tanda dan gejala

Menurut Widjaja (2002), gejala-gejala klinis yang timbul apabila penderita

terkena diare adalah :

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badan meningkat, dan nafsu

makan berkurang.

b. Tinja makin encer, mengandung darah/lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau-

hijauan karena tercampur empedu.

c. Anusnya lecet.

d. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang.

e. Muntah sebelum atau sesudah diare.

f. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).

g. Dehidrasi (kekurangan cairan). Bila terjadi dehidrasi timbul rasa haus, clastisitas

(turgir san tonus) kulit menurun, bibir dan mulut kering, mata cowong, air mata tidak

keluar, tekanan darah rendah.

Gejala yang biasanya ditemukan adalah diare sering cair kadang-kadang

mengandung darah atau lendir, muntah dapat mendahului diare atau tanpa muntah,

anoreksia, nyeri perut (kolik), distensi, kadang-kadang ileus, dehidrasi, kehilangan

elektrolit dan air. Mata cekung, turgor kulit menurun, mulut kering, hipovolemia,

renjatan, oliguiria dan demam (Hambleton, 1995).

Tahapan dehidrasi pada anak yang mengalami diare menurut WGO dapat dilihat

pada tabel I.
19
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Tabel I. Tahapan dehidrasi pada anak yang mengalami diare (World
Gastroenterology Organisation (WGO) practice guideline)
Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan Dehidrasi berat
a. Gejala normal a. adanya iritasi a. tidur dengan tidak
b. Mata tidak cekung b. mata cekung normal atau lethargic
c. Minum normal c. minum seperlunya b. mata cekung
d. Kulit kembali normal d. kulit kembali normal c. nimum sedikit atau
setelah dicubit dengan setelah dicubit lambat bahkan tidak sama sekali
segera (< 2 detik) d. kembalinya kulit setelah
dicubit sangat lambat
(>2 detik)

Tanda dehidrasi pada orang dewasa menurut World

Gastroenterology Organisation (WGO) practice guideline mengenai

diare akut, adalah sebagai berikut :

a. kecepatan nadi >90

b. hipotensi

c. lidah kering

d. bola mata cekung

e. turgor kulit menurun.

Kehilangan cairan tubuh (air)

Kehilangan elektrolit-elektrolit tubuh (defisit elektrolit dan defisit lainnya)


Kehilangan cairan tubuh (air) (defisit volume)

san cepat dan dalam, cardiac reverse menurun, defisiensi K+ intrasel), defisiensi K+ (kelemahan otot- otot, ileus paralitik (distensi abdomen), cardiac arr

ada, takikardia, mata cekung, ubun-ubun besar cekung, suara parau, kulit dingin, sianosis (jari-jari), selaput lendir kering, anuria-uraemia

ELEKROLIT-ELEKTROLIT (garam-garam)
AIR
PENGOBATAN
Gambar 4. Bagan akibat (efek) dehidrasi (Noerasid dkk, 1988)
20
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

4. Patofisiologi

Ada empat mekanisme patofisiologi gangguan elektrolit pada diare. Keempat

mekanisme yang merupakan dasar diagnosis dan terapi antara lain : perubahan aktivitas

transport ion oleh penurunan absorpsi natrium atau peningkatan sekresi klorida,

perubahan motilitas intestinal, perubahan osmolaritas usus, dan peningkatan tekanan

hidrostatik otot polos. Dalam klinik, mekanisme tersebut dapat dihubungkan dengan jenis

diare yakni sekretori, osmotik, eksudatif, dan perubahan transit usus (DiPirro dan Longe,

2000).

E. Antidiare

Antidiare adalah obat yang diminum pada saat terserang diare akan

menunjukkan efek menghentikan diare. Zat-zat yang menekan peristaltik sebetulnya tidak

begitu layak untuk digunakan karena pada waktu diare pergerakan usus sudah banyak

berkurang, lagi pula virus dan toksin perlu dikeluarkan secepat mungkin dari dalam

tubuh. Antidiare diberikan untuk mengurangi peristaltik, spasme usus, menahan iritasi,

absorbsi racun dan sering terpadu dengan anti-mikroba. Pada kehilangan cairan dan

elektrolit dalam jumlah besar perlu diberi substitusi secara parenteral (Mutschler, 1986).

Obat-obat untuk pengobatan diare sebaiknya jangan diberika lebih dari 7-10

hari, karena bisa jadi diare yang diderita bukan benar-benar penyakit diare tetapi

merupakan gejala dari penyakit yang lain (Tjay dan Rahardja, 2002).
21
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada terapi diare adalah :

1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yaitu memberantas bakteri penyebab diare.

Contohnya antibiotika, sulfonamide, kinolon, dan furazolidon.

2. Obstipansia untuk terapi simptomatik, yang dapat menghentikan diare dengan

beberapa cara :

a. Zat-zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk

resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus. Contohnya adalah candu dan

alkaloidnya, derivate petidin (defenoksilat dan Loperamidea) dan

antikolinergik (atropine, ekstrak belladonna).

b. Adstrigensia, yang menciutkan selaput lendir usus. Misalnya asam samak

(tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismuth dan aluminium.

c. Absorbensia, misalnya karbo adsorben yang pada permukaannya dapat

menyerap (adsorpsi) zat-zat racun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau

yang adakalanya berasal dari makanan (udang, ikan). Termasuk juga zat-zat

lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu

lapisan pelindung seperti kaolin, pectin (suatu karbohidrat yang terdapat

antara lain dalam buah apel), garam-garam bismuth dan aluminium

3. Spasmolitika, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang

seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare. Misalnya papaverin dan

oksifenonium (Tjay dan Rahardja, 2002).

Sebagai penunjang dapat digunakan adsorbensia (karbo aktif, silikondioksida

koloida, kaolin), zat pengembang (pektin) atau adstrigensia (preparat yang mengendung

tannin, seperti garam bismuth atau garam perak) (Mutschler, 1986). Norit atau arang aktif
22
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
(karbo adsorben) adalah arang halus (nabati atau hewani) yang telah diaktifkan melalui

proses tertentu. Noritt mempunyai daya serap pada permukaan (adsorbsi) yang kuat,

terutama terhadap zat-zat yang molekulnya besar, misalnya alkaloida, toksin bakteri atau

zat-zat beracun yang berasal dari makanan (Tjay dan Rahardja, 2002).

F. Sasaran Terapi dan Pengobatan Antidiare

Diare yang diakibatkan infeksi umumnya dapat sembuh dengan sendirinya.

Mengurangi sakit dan mengembalikan hilangnya cairan dan elektrolit umumnya mampu

mengatasi diare yang ringan hingga sedang. Pengaturan awal bagi orang dewasa dan

anak-anak perlu dipusatkan pada penggantian cairan dan elektrolit dengan cairan oral

dalam dosis yang tepat. Secara simultan, menghilangkan rasa sakit karena diare

sebenarnya dapat dicapai dengan menggunakan obat antidiare yang bukan berasal dari

resep dokter, seperti loperamid untuk pasien-pasien tertentu. Sistem pencernaan

umumnya akan sembuh dan berfungsi normal kembali antara 24 sampai 72 jam tanpa

pengobatan tambahan, sedangkan diare yang cukup parah membutuhkan pemeriksaan

dan perawatan medis (Longe, 2005).

Sasaran terapi antidiare antara lain menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan

asam-basa, memberi terapi untuk simptomnya, menghilangkan penyebabnya dan

mengobati penyakit penyertanya (DiPiro, 1997). Akibat negatif diare adalah gangguan

absorbsi yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan malnutrisi. Dehidrasi dan malnutrisi

ini yang menjadi penyebab utama kematian pada kasus diare. Oleh sebab itu, selain

pengobatan untuk menghentikan diare seharusnya dilakukan upaya lain yaitu rehidrasi

dan terapi makanan (Anonim, 1989; Soenarto, 1993).


23
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Dehidrasi sebenarnya dibagi menjadi 3 macam, yakni dehidrasi ringan,

dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang

hilang 5%. Jika cairan yang hilang sudah lebih dari 10% disebut dehidrasi berat

(Widjaya, 2002).

Tabel II. Penilaian derajat dehidrasi penderita diare (Anonim, 2000b)


Dehidrasi
Penilaian Tanpa Dehidrasi Dehidrasi berat
ringan/sedang
Keadaan umum Baik Gelisah, rewel Lesu, tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum biasa Sangat haus Malas/tidak bisa minum
Kekenyalan kulit Normal Kembali lambat Kembali sangat lambat

Sewaktu diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan

berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena :

1. makanan sering dihentikan karena takut diare dan muntah menjadi bertambah hebat,

2. pada anak-anak walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran, dan

susu encer ini diberikan terlalu lama,

3. makanan yang diberikan tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik karena

adanya hiperperistaltik.

Terdapat 5 tujuan terapi diare (Longe dan Di Piro, 2005), yaitu :

1. memperbaiki atau mencegah kehilangan cairan dan elektrolit dan gangguan asam

basa,

2. rehidrasi dengan memberikan oralit sebagai upaya rehidrasi oral,

3. menghilangkan tanda atau gejala,


24
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
4. mengidentifikasi dan mengobati diare, jika dimungkinkan,

5. mengontrol penyakit lain yang juga diderita oleh pasien selain diare.

Terapi terhadap diare harus disesuaikan dengan penyebabnya. Penanganan

terapeutik yang sesuai adalah penggantian cairan dan elektrolit secukupnya. Pada

umumnya cukup diberikan limun secara oral yang mengandung gula dengan pemanbahan

garam dapur atau diberikan larutan glukosa-elektrolit yang diminum, yang biasa dikenal

sebagai oralit (Mutschler, 1991). Oralit tidak menghentikan diare, tetapi menggantikan

cairan tubuh yang hilang bersama tinja. Dengan menggantikan cairan tubuh tersebut

terjadinya dehidrasi dapat dihindarkan (Djamhuri, 1995).

Terapi pilihan yang dapat dilakukan berdasarkan World Gastroenterology

Organisation (WGO) practice guideline dapat meliputi rehidrasi dengan menggunakan

cairan oralit (oral rehydration salt = ORS), terapi suplemen yang mengandung Zinc,

multivitamin, dan mineral; melakukan diet, pemberian antidiare nonspesifik,

antimikrobia.

G. Metode Uji Antidiare

Pada penelitian mengenai antidiare diketahui ada dua metode uji yang dapat

digunakan, yaitu :

1. metode proteksi terhadap diare oleh Oleum Ricini

Prinsip yang digunakan pada metode ini adalah kandungan utama dari Oleum Ricini,

yakni trigliserida dari asam risinoleat akan mengalami hidrolisis di dalam usus halus

oleh lipase pankreas menjadi gliserin dan asam risinoleat. Sebagai surfaktan anionik,

zat ini bekerja mengurangi absorbsi cairan bersih (neto) dan elektrolit serta
25
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
menstimulasi peristaltik usus sehingga berkhasiat sebagai laksansia berdasarkan kerja

ini. Obat yang berkhasiat antidiare akan dapat melindungi hewan percobaan mencit

terhadap diare yang diinduksi dengan Oleum Ricini tersebut (Anonim, 1991).

2. metode transit intestinal

Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas obat antidiare, laksansia,

dan antispamodik. Evaluasi didasarkan pada pengaruhnya pada rasio jarak usus yang

ditempuh oleh suatu marker dalam waktu tertentu terhadap panjang usus keseluruhan

pada hewan percobaan mencit atau tikus (Anonim, 1991).

Diare yang diinduksi dengan Oleum Ricini diakibatkan oleh aksi asam risinoleat

yang merupakan hasil hidrolisis Oleum Ricini (Iwao and Terada, 1962, Watson and

Gordon, 1962 cit Vogel, 2002). Oleum Ricini mengubah keseimbangan transport air dan

elektrolit menjadi keadaan hipersekresi (Ammon et.al, 1974 cit Vogel, 2002). Pada

akhirnya hipersekresi yang diakibatkan oleh Oleum Ricini dapat mensentisisasi sel-sel

intramural dari usus (Vogel, 2002). Obat yang berkhasiat antidiare akan dapat melindungi

hewan percobaan mencit terhadap diare yang diinduksi dengan Oleum Ricini tersebut

(Anonim, 1991).

Dari kedua metode tersebut, pada penelitian ini penulis menggunakan metode

proteksi terhadap diare oleh Oleum Ricini. Alasan penulis memilih metode ini karena

cara kerja metode ini, cara menentukan hasil penelitian, serta menganalisa data hasil

penelitian lebih sederhana, mudah, dan metode ini belum pernah dilakukan pada

penelitian sebelumnya.
26
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
H. Tannin

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat

khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan proteina

membentuk kopolimer mantap yang tak larut air. Dalam industri, tanin adalah senyawa

yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi

kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung-silang proteina (Harborne, 1987).

Secara fitokimia, tanin dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan utama, yaitu

tanin yang dapat dihidrolisis dan tanin yang dapat dikondensasi (prosianidin atau

proantosianidin). Tanin yang dapat dihidrolisis biasanya terdiri dari sebuah molekul inti

glukosa yang terikat dengan molekul-molekul asam gallik (gallitanin) atau asam

heksahidroksidifenil (ellagitanin). Tanin yang dapat dikondensasi adalah polimer flavan

dimana tidak mudah dihidrolisa. Biasanya terdiri dari molekul-molekul katekin dan

epikatekin yang tergabung karena adanya ikatan karbon-karbon (Mills dan Kerry, 2000).

Tabel III. Penggolongan tanin tumbuhan (Harborne, 1987)


Tata nama Struktur
Tanin yang dapat dikondensasi
Proantosianidin* (atau flavolan) Oligomer katekin dan flavan-3,4-diol
Tanin yang dapat dihidrolisis
Galotanin Ester asam galat dan glukosa
Elagitanin Ester asam heksadihidroksidifenat dan glukosa
* Istilah leukoantosianidin (atau leukoantosianidin) dahulu dipakai secara luas untuk
tanin ini, tetapi sekarang penggunaannya terbatas pada flavan-3,4-diol monomer.

Tanin yang dapat terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-pakuan

dan gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuh-

tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin yang dapat dihidrolisis penyebarannya dalam suku

yang nisbi sedikit. Tetapi kedua jenis tanin itu dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang

sama yang terjadi pada kulit dan daun ek, Quercus (Harborne, 1987).
27
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Beberapa kemungkinan efek farmakologis yang ditimbulkan oleh tanin pada saat

melewati saluran pencernaan dalam dilihat pada gambar 5.

Tempat Kandungan kimia Efek

Astringents, Antiinflamasi, Antimikrobia


Rongga mulut Tanin

Astringents, Antiinflamasi, Antimikrobia, Haemostasis, Antasid


Perut Tanin, kompleks tannin-protein

Kompleks tanin- protein, Tanin, produk


Astringents,
dekomposisi
Antiinflamasi,
tannin terhidrolisis
Antimikrobia, Antidiare, Antioksidan
Usus halus

Astringents, Antiinflamasi, Antimikrobia, Antidiare, Antioksidan, Hipokolesterolami


Kompleks tannin- protein, Tanin, produk tannin terdekomposisi
Usus besar

Gambar 5. Siklus tanin dalam saluran pencernaan (Mills dan Kerry, 2000)

Tanin bersifat mengendapkan zat putih telur dan berkhasiat sebagai adstringens,

yaitu dapat meringankan diare dengan menciutkan selaput lendir usus (Tjay dan

Rahardja, 2002). Ketika tanin kontak dengan membran mukosa, tanin akan bereaksi

dengan protein pada mukus dan sel-sel epitel dari mukosa membentuk ikatan silang.

Akibatnya mukosa menjadi lebih rapat dan kurang permeabel. Adstringensia mampu
28
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
meningkatkan proteksi membran terhadap mikroorganisme dan zat-zat iritan (Mills dan

Kerry, 2000).

Reaksi samping dari tanin akan muncul hanya ketika tanin dipergunakan dalam

jumlah yang signifikan dalam dosis tinggi. Tanin dengan dosis tinggi akan meningkatkan

sifat astringensnya pada membran mukosa yang mengalami iritasi sehingga kekakuan

dari membran mukosa akan semakin meningkat. Penambahan asam tanin, tanin yang

dapat terhidrolisis pada larutan barium sulfat dapat menyebabkan terjadinya hepatotoksik

akut. Tanin juga mempunyai sifat karsinogenik ketika diinjeksikan secara subkutan

(Mills dan Kerry, 2000).

I. Loperamide Hydrochlorida

Loperamide mencegah kemampuan peristaltik oleh otot pada saluran pencernaan

dengan interaksi kolinergik maupun non kolinergik dari tanggapan mekanisme saraf

untuk menunjukkan gerakan peristaltik secara refleks. Loperamide menekan reseptor

opiat pada dinding usus, mengurangi gerakan peristaltik dan menambah waktu transit di

saluran pencernaan. Loperamide juga menambah kemampuan menahan pada saluran

pengeluaran. Loperamide menunjukkan kemampuan mencegah sekresi cairan dan

elektrolit pada saluran pencernaan (Dollery, 1991).

Loperamide menunjukkan efek antidiare dengan kombinasi aksi pada otot halus

dalam saluran pencernaan dan mempengaruhi efek sekresi. Namun, Loperamide tidak

menunjukkan pengaruh pada flora saluran pencernaan. Loperamide adalah senyawa

dengan daya antidiare yang menunjukkan pengaruh secara langsung pada saluran

pencernaan. Efeknya mirip dengan difenoksilat dan kodein, tetapi Loperamide


29
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
memperlihatkan efek yang lebih cepat, lebih panjang dan lebih tepat pada saluran

pencernaan (Dollery, 1991).

Loperamide sangat popular, efektif dan merupakan obat antidiare yang aman

untuk meringankan gejala diare akut dan diare spesifik (Longe, 2005). Obat yang

termasuk antimotilitas ini dapat digunakan pada pasien yang mengalami diare akibat

gangguan motilitas.

1. Mekanisme aksi, Loperamide merupakan turunan opiat yang mempunyai efek

antidiare dengan menstimuli reseptor µ opioid yang berlokasi di otot sirkulasi

intestinal. Aksinya yaitu menghambat motilitas saluran cerna, membantu

mengabsorspi cairan dan elektrolit melalui saluran cerna.

2. Indikasi, Loperamide efektif sebagai agen antidiare yaitu diare perjalanan, diare akut

nonspesifik, atau diare kronik yang dihubungkan dengan adanya peradangan pada

perut. Tidak diindikasikan untuk anak-anak di bawah umur 6 tahun dan juga pada

diare berdarah.

3. Efek samping yaitu rasa pusing dan konstipasi. Efek samping lainnya yaitu nyeri

abdominal, nyeri distension, mual, muntah, mulut kering, kelelahan dan reaksi

hipersensitivitas. Apabila terjadi distensi abdominal, konstipasi dan ileus, penggunaan

Loperamide dihentikan.

4. Interaksi obat, jarang dilaporkan, tetapi Loperamide dapat meningkatkan efek

penekan sistem saraf pusat.

Kontraindikasi, Loperamide tidak digunakan untuk pasien yang fecal leukosit,

demam tinggi dan disentri (Longe, 2005).


30
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Pada orang dewasa, Loperamide HCl diberikan dengan dosis awal 4mg, diikuti

2mg diberikan setelah buang air besar. Pada anak-anak berusia 4-8 tahun, diberikan 1 mg

setiap 3 atau 4 jam sehari sampai diare dapat diatasi. Pada anak-anak diatas 8 tahun

diberikan dosis 2 mg setiap 4 jam sehari sampai diare dapat diatasi. Pada kasus diare

kronik, penderita dewasa memerlukan penanganan Loperamide dengan dosis yang

berbeda-beda untuk setiap penderita, menurut kebutuhannya. Dosis awal biasanya antara

4 mg sampai 8 mg per hari. Pada kasus tertentu Loperamide dapat diberikan dengan dosis

terapi yang sesuai menurut respon penderita, sampai dosis maksimum 16 mg per hari

(Dollery, 1991).

Loperamide di metabolisme secara luas di hati. Perjalanan eliminasinya adalah

0,63 – 1,4% dalam urine, 58% diekskresi dalam empedu (pada tikus) dan 15 – 23%

dalam feses. Pada sirkulasi enterohepatik akan diekskresi pada tiga hari setelah

penggunaan (Dollery, 1991).

J. Oleum Ricini

Minyak jarak adalah minyak lemak yang diperoleh dari biji Ricinus communis

Linne (Familia Euphorbiaceae), tidak mengandung bahan tambahan. Pemerian : Cairan

kental, transparan, kuning pucat atau hampir tidak berwarna; bau lemah, bebas dari bau

asing dan tengik; rasa khas. Kelarutan : larut dalam etanol,; dapat bercampur dengan

etanol mutlak, dengan asam asetat glacial, dengan kloroform dan dengan eter (Anonim,

1995).

Minyak kastor diperas dari biji pohon jarak Ricinus communis dan mengandung

trigliserida dari asam risinoleat, suatu asam lemak tak jenuh. Di dalam saluran cerna
31
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
bagian atas (di lambung dan usus halus), trigliserida ini dihidrolisis oleh enzim lipase

untuk membebaskan asam risinoleat, suatu analog hidroksilasi dari asam oleat. Asam

risinoleat inilah yang bekerja lokalpada mukosa usus untuk memperlancar pergerakan

cairan dalam lumen usus besar (Anonim, 2008).

OH H

H3 C (CH2)5 CH CH2 C C (CH2)7 COOH

H
Gambar 6. Struktur asam risinoleat (Mutschler, 1986)

Termasuk dalam golongan pencahar rangsang. Bekerja pada sel-sel ”crypt”

mukosa usus dengan membuka ”kanal klorida” yang memberi peluang untuk pergerkan

klorida, natrium, dan air ke dalam lumen usus. Kanal klorida dari sel-sel enterocytes

(selyangada di mukosa usus) diatur oleh cAMP intraseluler. Oleh karena itu, banyak

pencahar rangsang yang secara langsung maupun tidak langsung diperkirakan dapat

menstimulasi aktivitas adenilat siklase sehingga meningkatkan konsentrasi cAMP dalam

sel-sel ”crypt”. Pencahar rangsang dalam lumen usus menimbulkan akumulasi cairan

dan isi usus menjadi cair sehingga mengalir cepat dalam usus (Anonim, 2008).

Efeknya (mulai kerja) cepat dan dapat terlihat dalam waktu 2-6 jam. Dalam

dosis 4 ml sudah dapat memberikan efek pencahar. Dosis dewasa yang dianjurkan

adalah 15-60 ml sedangkan untuk anak-anak 5-15 ml (Anonim, 2008).

K. Landasan Teori

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi tiga kali atau lebih per hari

disertai perubahan feses menjadi cair dengan dan atau tanpa lendir dan atau darah
32
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
(Markum, 1999). Dalam pustaka (Anonim, 2007) yang ditemukan diketahui bahwa

daging buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) mengandung tanin, saponin dan

flavonoid di dalamnya. Tanin dalam hal antidiare dapat berperan sebagai astringent yang

berfungsi untuk menciutkan lapisan permukaan usus, sehingga mengurangi kepekaan

sekresi yang dapat menekan peristaltik usus (Tjay dan Rahardja, 2002). Dengan adanya

kandungan tanin dalam daging buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) dapat menjadi

dugaan awal bahwa daging buah salak pondoh dapat berperan sebagai antidiare.

L. Hipotesis

Sari daging buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) memiliki efek sebagai

antidiare.
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK TTEERRPPUUJJII

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian daya antidiare sari buah salak pondoh pada mencit dengan metode

proteksi oleh Oleum Ricini ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni, dimana

dilakukan perlakuan terhadap subjek uji dan bersifat eksploratif, yaitu untuk mengetahui

pengaruh pemberian sari buah salak pondoh terhadap efek antidiare.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola

searah. Termasuk penelitian rancang lengkap karena variable yang terdapat dalam

penelitian ini sudah diperhitungkan sebelumnya baik bahan uji, sampel uji maupun

hewan uji. Termasuk pola searah karena variable bebas pada penelitian ini hanya ada satu

yaitu dosis sari daging buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw), yang menentukan

variabel tergantungnya, yaitu efek antidiare yang ditunjukkan dengan parameter frekuensi

diare, waktu terjadinya diare, jangka waktu berlangsungnya diare, konsistensi dan bobot

feses.

B. Variabel dalam Penelitian

1. Variabel utama

Penelitian ini mempunyai variable utama, sebagai berikut :

a. Variabel bebas, yaitu dosis sari daging buah salak pondoh (Zalacca edulis

Reinw)

b. Variabel tergantung, yaitu daya antidiare yang ditunjukkan oleh sari daging

buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw) dengan parameter frekuensi diare

33
34
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
c. waktu terjadinya diare, jangka waktu berlangsungnya diare, konsistensi dan

bobot feses

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali meliputi :

jenis kelamin : betina

berat badan : kurang lebih 20-30 gram

galur : mencit putih Swiss

umur : 2-3 bulan

b. Variabel pengacau tak terkendali meliputi : status kesehatan, cahaya,

kelembaban.

C. Definisi Operasional

1. Diare adalah keadaan defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa

darah dan/atau lendir dalam feses

2. Salak (Zalacca edulis L. atau S. Zalacca Gaertn. Voss.) merupakan buah tropis asli

Indonesia yang banyak tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara. Tanaman salak

termasuk keluarga palem-paleman (Arecaceae). Ciri khas dari tanaman ini adalah

tulang daun atau pelepahnya yang berduri tajam. Buah salak yang bertandan muncul

dari dalam pelepah daun. Kulit buah salak seperti sisik yang tersusun membungkus

daging buah. Dalam penelitian ini digunakan sebagai sampel uji.

3. Kandungan utama dari Oleum Ricini, yakni trigliserida dari asam risinoleat akan

mengalami hidrolisis di dalam usus halus oleh lipase pankreas menjadi gliserin dan

asam risinoleat. Sebagai surfaktan anionik, zat ini bekerja mengurangi absorpsi neto

cairan dan elektrolit serta menstimulasi peristalsis usus, sehingga berkhasiat sebagai
35
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
laksansia berdasarkan kerja ini. Obat yang berkhasiat antidiare akan dapat melindungi

hewan percobaan mencit terhadap diare yang diinduksi dengan Oleum Ricini

tersebut.

4. Onset diare (waktu terjadinya diare), dihitung setelah pemberian Oleum Ricini secara

per oral hingga mencit mengeluarkan feses dalam konsistensi cair untuk pertama

kalinya (mencit menderita diare).

5. Durasi diare dihitung dari waktu mencit pertama kali mengeluarkan feses dengan

konsistensi cair sampai mencit pertama kali mengeluarkan feses dengan konsistensi

yang normal atau solid atau hingga waktu pengamatan berakhir.

6. Frekuensi diare diamati selang 30 menit sampai 4 jam, kemudian selang 1 jam sampai

6 jam setelah pemberian oleum ricini. Pengamatan untuk mengetahui berapa kali

mencit mengalami diare.

7. Konsistensi feses digunakan sebagai parameter semi kuntitatif untuk melihat

konsistensi feses hewan uji mencit setelah diinduksi dengan Oleum Ricini dan untuk

melihat sejauh mana kemampuan obat antidiare dalam mempertahankan konsistensi

feses hewan uji mencit.

8. Bobot feses digunakan sebagai parameter semi kuntitatif untuk melihat berapa bobot

feses cair hewan uji mencit setelah diinduksi dengan Oleum Ricini.

D. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua

kelompok besar, yaitu :


36
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
1. Bahan utama

a. Bahan uji; digunakan daging buah salak pondoh (Zalacca edulis Reinw), yang

diperoleh dari Turi, Sleman, Yogyakarta.

b. Hewan uji; diguanakan mencit putih Swiss betina dewasa sehat berumur 2-3

bulan dengan berat badan 20-25 gram sebanyak sepuluh ekor setiap kelompok

perlakuan.

2. Bahan kimia

a. Aquadest; diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

b. Loperamid HCl; diperoleh dari Apotek Master, Yogyakarta, dengan merk dagang

Immodium (Janssen-Cilag).

c. CMC Na; diperoleh dari Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

d. Oleum Ricini dengan merk MKR Chemical; diperoleh dari Laboratorium

Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

E. Alat Penelitian

Alat-alat gelas (beaker gelas, gelas ukur, pengaduk, labu takar, mortir dan

stamper, pipet tetes), kandang mencit, kotak kaca, timbangan analitik merk Metller

AE200, timbangan merk Metller PM600, spuit per oral, blender, pisau, stopwacth,

saringan teh.
37
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

F. Tata Cara Penelitian

1. Pengumpulan bahan

Bahan atau sampel buah salak pondoh (Zalacca edulis R.) yang diambil atau

dipetik adalah buah yang sudah tua yang siap panen, yaitu buah yang berwarna coklat

kehitaman. Buah salak ini diambil dari daerah Turi, Sleman, Yogyakarta.

2. Penentuan dosis sari buah salak pondoh

Penentuan dosis sari buah salak pondoh ini ditetapkan berdasarkan orientasi,

karena belum ada keterangan empiris tentang dosis sari buah salak pondoh sebagai

antidiare. Karena konsentrasi sari buah salak pondoh tidak dapat dipekatkan lagi, maka

peringkat dosis dilakukan menggunakan peringkat volume, yaitu 0,25 ml; 0,50 ml; dan

1,00 ml.

Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan konsentrasi sari buah salak

pondoh, yakni dengan cara menimbang 20 buah salak pondoh tanpa kulit dan biji satu per

satu kemudian dihitung rata-ratanya. Satu per satu buah salak tersebut disarikan dan

dihitung rata-rata sari buah salak pondoh yang dapat diambil. Dari perhitungan diperoleh

rata-rata buah salak adalah 41,108 gram, dan dapat diambil sarinya sebanyak 7,47 ml

sari. Konsentrasi sari buah salak pondoh adalah 100%.


38
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
a. perhitungan untuk dosis terapi

C
Dosis
V
= BB

1 0,5ml
= 0,02kg

= 25 ml/kg BB

b. perhitungan untuk dosis rendah

CV
Dosis =
BB

1 0,25ml
= 0,02kg

= 12,5 ml/kg BB

c. perhitungan untuk dosis tinggi

C
Dosis
V
= BB

11,00ml
= 0,02kg

= 50 ml/kg BB

3. Pembuatan CMC Na 1%

Pembuatan CMC Na 1%, dilakukan dengan menimbang 1 gram CMC Na

(Carboxy Methyl Cellulose Natrium). Kemudian CMC Na ditaburkan diatas aquadest

dalam beaker gelas (dikembangkan), satu hari sebelum digunakan. Setelah mengembang,
39
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
larutan CMC Na kemudian dimasukkan dalam labu takar (100 ml) dan kemudian

ditambahkan aquadest hingga tanda.

4. Perlakuan terhadap hewan uji

Dalam penelitian ini digunakan 60 ekor mencit yang terbagi secara acak dalam 6

kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 10 ekor mencit yang

dipelihara dalam kondisi yang sama.

Kelompok I : kelompok kontrol negatif, diberi aquadest secara oral.

Kelompok II : kelompok kontrol positif, diberi larutan Loperamid secara oral, dengan

dosis 0,728 mg/g BB.

Kelompok III : kelompok uji I, diberi sari buah salak pondoh, secara oral dengan dosis

12,5 ml/kg BB.

Kelompok IV : kelompok uji II, diberi sari buah salak pondoh, secara oral dengan dosis

25 ml/kg BB.

Kelompok V : kelompok uji III, diberi sari buah salak pondoh, secara oral dengan dosis

50 ml/kg BB.

Kelompok VI : kelompok dengan pemberian CMC Na 1% secara oral.

5. Skema kerja

Mencit dikelompokkan secara rawu menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol

yang diberi aquadest, kelompok yang diberi sediaan uji dengan tiga peringkat dosis,

kelompok yang diberi pembanding loperamid HCl dan kelompok dengan perlakuan

CMC Na. Masing-masing kelompok terdiri atas 10 ekor mencit.


40
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Satu jam sebelum percobaan dimulai mencit dipuasakan.

Sesuai dengan alokasi perlakuan, tiap mencit diberi secara per oral aquadest sebagai

kontrol negatif, loperamid HCl sebagai kontrol positif, CMC Na 1%, atau sari buah

salak pondoh dengan tiga peringkat dosis (12,5 ml/kg BB, 25 ml/kg BB, 50 ml/kg

BB) dan kemudian ditempatkan dalam bejana individual (kotak kaca) beralaskan

kertas HVS untuk pengamatan.


Satu jam setelah perlakuan pada butir 3, semua mencit diberi per oral 0,5 ml Oleum

Ricini.


Respons yang terjadi pada tiap mencit diamati selang 30 menit sampai 4 jam, kemudian

selang 1 jam sampai 6 jam setelah pemberian oleurn Ricini.


Parameter yang diamati meliputi waktu terjadinya diare, frekuensi diare, konsistensi

dan bobot feces serta jangka waktu berlangsungnya diare (Anonim, 1991).

G. Analisis Hasil

Hasil pengamatan pada ketiga kelompok hewan untuk waktu terjadinya diare,

jangka waktu berlangsungnya diare, konsistensi dan bobot feses dievaluasi masing-

masing secara statistik dengan metode anova dan uji t, dan frekuensi diare dapat diuji

dengan uji non-parametrik (Anonim, 1991).


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK TTEERRPPUUJJII
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Determinasi

Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium Kebun Obat Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Determinasi dilakukan untuk menghindari

kesalahan tanaman yang digunakan. Ciri khas yang terdapat pada tanaman salak di

determinasi dengan buku Flora (Steenis, 1992).

Kunci determinasi tanaman salak (Zalacca edulis R.) adalah sebagai berikut ;

1b – 2b – 3b – 4b – 6b – 7a – 8b

21................................................................................................................................Palmae

1b – 3b – 4a – 5b

5.........................................................................................................Zalacca edulis Reinw,

Dari hasil determinasi diketahui bahwa tanaman yang digunakan adalah tanaman

salak (Zalacca edulis R.).

B. Penetapan Daya Antidiare

Pada penelitian daya antidiare buah salak pondoh ini digunakan metode proteksi

diare oleh Oleum Ricini dengan peraturan pemberian larutan kontrol maupun larutan uji

dengan cara oral. Secara teori peningkatan dosis sari dapat meningkatkan efek antidiare.

Pada metode proteksi diare oleh Oleum Ricini ini, parameter yang akan diukur

adalah bobot feses, frekuensi diare, konsistensi feses yang cair, onset (waktu timbulnya

diare) dan durasi (lamanya diare berlangsung). Kemudian selanjutnya

41
42
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
dibandingkan antara parameter dari tiap-tiap kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif,

kontrol positif (pembanding), kelompok dosis I, kelompok dosis II, kelompok dosis III,

dan kelompok CMC Na 1% .

Suatu zat atau senyawa dikatakan mempunyai aktivitas antidiare bila parameter

yang diamati pada kelompok perlakuan lebih kecil nilainya dibandingkan dengan

kelompok kontrol negatif. Jadi apabila bobot feses, frekuensi diare, % konsistensi feses

yang cair, onset (waktu timbulnya diare) dan durasi (lamanya diare berlangsung) dari

kelompok perlakuan nilainya lebih kecil dari pada kelompok kontrol negatif, maka sari

buah salak pondoh memang menunjukkan aktivitas antidiare.

1. Penentuan kontrol positif dan kontrol negatif

Sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan penentuan

senyawa yang sesuai untuk digunakan sebagai kontrol positif dan kontrol negatif.

Tujuannya adalah untuk mendukung penelitian agar penelititan dapat berjalan dengan

baik dan diperoleh hasil penelititan yang tepat dan akurat.

a. Kontrol positif

Kontrol positif yang digunakan sebaiknya adalah senyawa yang benar-benar

telah terbukti mempunyai efek antidiare. Selain itu, pemilihan kontrol positif ditentukan

juga oleh metode uji yang digunakan, maksudnya mekanisme kerja dari kontrol positif

yang dipilih sebaiknya sesuai dengan dasar mekanisme kerja pada cara kerja pada

penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan metode uji yaitu metode proteksi oleh Oleum

Ricini. Secara teori, berdasarkan mekanisme terjadinya diare maka metode proteksi diare

oleh Oleum Ricini ini metode yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu obat
43
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
antidiare mempunyai mekanisme antidiare dengan cara mengurangi gangguan motilitas

usus. Oleh karena itu, kontrol positif yang digunakan sebaiknya juga menunjukkan

mekanisme kerja dengan dasar yang sama pula yaitu mengurangi gangguan motilitas

usus. Loperamide Hydrochlorida adalah kontrol positif yang disarankan pada penelitian

dengan menggunakan metode proteksi diare oleh Oleum Ricini (Anonim, 1991).

Loperamide merupakan golongan opioid yang bekerja dengan cara memperlambat

motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus.

Dosis loperamide HCl pada pemberian awal adalah 4mg, maka apabila dosis

tersebut dikonversikan ke orang dewasa dengan berat badan 70kg adalah :

Dosis = 70  4mg
50

= 5,6 mg/70 kg BB.

Faktor konversi dosis manusia ke mencit dengan berat 20 gram = 0,0026

= 5,6 x 0,0026

= 0,0015 mg/20g BB

= 0,728 mg/g BB

Penulis memilih Immodium sebagai kontrol positif. Dipilih Immodium karena

senyawa ini telah terbukti sebagai obat antidiare yang banyak digunakan oleh

masyarakat. Keterbatasan penelitian menyebabkan Loperamide HCl tidak dapat

digunakan sehingga penulis memilih Immodium sebagai penggantinya. Diketahui bahwa

Immodium mempunyai khasiat menghambat motilitas atau peristaltik usus dengan

mempengaruhi secara langsung otot sirkular dan longitudinal dinding usus. Terdapat

kemiripan mekanisme kerja antara Immodium dengan Loperamide HCl.


44
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Pada penelitian ini, nilai pada tiap parameter yang diamati pada kelompok

kontrol positif digunakan sebagai pembanding terhadap nilai pada tiap parameter yang

diamati pada kelompok perlakuan dengan sari buah salak pondoh. Pembanding ini

digunakan untuk mengetahui seberapa besar efek antidiare sari buah salak pondoh.

Sehingga apabila hasil nilai tiap parameter yang diamati pada kelompok perlakuan

mendekati nilai tiap parameter yang diamati pada kelompok kontrol positif, maka dapat

diasumsikan bahwa efek antidiare larutan uji menunjukkan efek antidiare yang hampir

sama dengan efek antidiare senyawa/zat aktif yang digunakan sebagai kontrol positif.

b. Kontrol negatif

Dalam penelitian ini kontrol negatif yang digunakan adalah aquadest. Digunakan

aquadest karena disesuaikan dengan pelarut kontrol positif. Volume pemberian aquadest

ini adalah 0,5ml/20 gram BB tiap ekor mencit.

Pada kelompok kontrol negatif, setiap hewan uji diberi perlakuan pemberian

aquadest pada menit ke nol. Selanjutnya dilakukan penelitian sesuai dengan cara kerja

yang telah ditentukan. Nilai pada tiap parameter yang diukur (bobot feses, frekuensi

diare, konsistensi feses yang cair, onset (waktu timbulnya diare) dan durasi (lamanya

diare berlangsung)) pada kelompok kontrol negatif ini digunakan sebagai pembanding

parameter dari perlakuan sari buah salak pondoh. Apabila pada kelompok perlakuan sari

buah salak pondoh nilainya lebih kecil dari kelompok kontrol negatif, maka sampel uji

memang mempunyai aktivitas antidiare. Namun, apabila terjadi sebaliknya, yaitu nilainya

lebih besar, maka sampel uji tidak mempunyai efek antidiare melainkan mempunyai efek

laksansia.
45
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
2. Penentuan dosis sari buah salak pondoh

Penentuan dosis sari buah salak pondoh ini ditetapkan berdasarkan orientasi,

karena belum ada keterangan empiris tentang dosis sari buah salak pondoh sebagai

antidiare. Karena konsentrasi sari buah salak pondoh tidak dapat dipekatkan lagi, maka

peringkat dosis dilakukan menggunakan peringkat volume, yaitu 0,25 ml; 0,50 ml; dan

1,00 ml.

Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan konsentrasi sari buah salak

pondoh, yakni dengan cara menimbang 20 buah salak pondoh tanpa kulit dan biji satu per

satu kemudian dihitung rata-ratanya. Satu per satu buah salak tersebut disarikan dan

dihitung rata-rata sari buah salak pondoh yang dapat diambil. Dari perhitungan diperoleh

rata-rata buah salak adalah 41,108 gram, dan dapat diambil sarinya sebanyak 7,47 ml

sari.

a. perhitungan untuk dosis terapi

C
Dosis
V
= BB

1 0,5ml
= 0,02kg

= 25 ml/kg BB

b. perhitungan untuk dosis rendah

C
Dosis
V
= BB

1 0,25ml
= 0,02kg

= 12,5 ml/kg BB
46
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

c. perhitungan untuk dosis tinggi

C
Dosis
V
= BB

11,00ml
= 0,02kg

= 50 ml/kg BB

Pelaksanaan penelitian selanjutnya menggunakan peringkat dosis sari buah salak

pondoh berturut-turut adalah dosis I 12,5 ml/kg BB, dosis II 25 ml/kg BB, dan dosis III

50 ml/kg BB.

3. Uji efek antidiare

Pada pengujian efek antidiare ini digunakan 60 ekor hewan uji yang terbagi

secara acak menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok

kontrol positif, kelompok CMC Na 1%, kelompok perlakuan I, kelompok perlakuan II,

dan kelompok perlakuan III. Dimana masing-masing perlakuan terdiri dari 10 ekor hewan

uji yang sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sebelum digunakan sebagai hewan uji, mencit harus memenuhi persyaratan

yang telah ditetapkan agar hasil penelitian yang diperoleh memberikan hasil yang

diharapkan. Sebelum digunakan, mencit dipuasakan terlebih dahulu selama kurang lebih

1 jam namun minum tetap diberikan. Tujuan hewan uji dipuasakan terlebih dahulu adalah

untuk mengurangi kemungkinan terpengaruhinya absorpsi bahan uji dan bahan obat

karena pengaruh makanan dalam saluran pencernaan (usus).


47
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Perlakuan yang diberikan pada hewan uji adalah sama persis antara keenam

kelompok perlakuan tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan yaitu pada jenis larutan

yang diberikan diawal perlakuan. Pada menit ke nol kelompok kontrol negatif

mendapatkan perlakuan aquadest, sedangkan pada kelompok kontrol positif mendapatkan

perlakuan larutan Immodium yang dibuat dalam dosis 0,728 mg/g BB dengan konsentrasi

0,2912 x 10-2 g/100 ml. Pada kelompok CMC Na 1%, diberikan larutan CMC Na dengan

konsentrasi 1% secara oral. Sedangkan pada kelompok perlakuan dibagi menjadi tiga

kelompok berdasarkan tiga peringkat dosis. Kelompok dosis I pada menit ke nol

mendapatkan sari buah salak pondoh dengan dosis 12,5 ml/kg BB; pada kelompok dosis

II mendapatkan sari buah salak pondoh dosis 25 ml/kg BB dan pada kelompok dosis III

mendapat sari buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB. Selanjutnya dilakukan

proses penelitian yang sama pada enam kelompok uji seperti cara kerja yang telah

ditentukan.

Sebelum dilakukan pengujian dengan uji statistik oneway Anova, terlebih dahulu

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas dari hasil percobaan yang diperoleh.

Penulis harus terampil melakukan dan menginterpretasikan apakah suatu data memiliki

sebaran normal atau tidak, karena pemilihan penyajian data dan uji hipotesis yang dipakai

tergantung dari normal tidaknya distribusi data.

Untuk mengetahui apakah sebaran data mempunyai sebaran normal atau tidak

secara analitik, dapat digunakan uji Kolmogorov-Sminov atau Shapiro-Wilk. Uji

Kolmogorov-Sminov dipergunakan untuk sampel yang besar (lebih dari 50) sedangkan

Shapiro-Wilk untuk sampel yang sedikit (kurang atau sama dengan dari 50). Karena

sampel yang digunakan sebanyak 60 ekor mencit, maka penulis menggunakan uji
48
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Kolmogorov-Sminov. Hasil dari uji normalitas menunujukkan bahwa data yang diperoleh

mempunyai sebaran yang tidak normal, terbukti dari signifikansi p<0,05.

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat ada tidaknya varians kelompok data.

Hasil uji ini akan mempengaruhi hasil uji anova. Apabila varians data tidak sama, maka

hasil uji anova tidak valid. Syarat oneway Anova untuk kelompok tidak berpasangan,

varians data harus sama. Hasil uji homogenitas yang diperoleh adalah menunjukkan

signifikansi p<0,05. Hal ini berarti kelompok data yang diperoleh dalam penelitian

mempunyai varians data yang tidak sama.

Oleh karena diperoleh data yang tidak normal dan varians tidak sama, maka

pengujian dilakukan dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis. Dan apabila diperoleh

signifikansi p<0,05, maka dilanjutkan dengan uji post hoc dengan menggunakan uji

Mann-Whitney.

a. Konsistensi feses

Konsistensi feses digunakan sebagai parameter semi kuntitatif untuk melihat

konsistensi feses hewan uji mencit setelah diinduksi dengan Oleum Ricini dan untuk

melihat sejauh mana kemampuan obat antidiare dalam mempertahankan konsistensi feses

hewan uji mencit. Pengamatan konsistensi feses dilakukan selang 30 menit sampai 4 jam,

kemudian selang 1 jam sampai 6 jam setelah pemberian Oleum Ricini (Anonim, 1991).

Hasil percobaan tersaji pada tabel IV.


49
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Tabel IV. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk
parameter persentase konsistensi feses cair
Hasil analisis uji Mann-Whitney
Kelompok  ± SE (%) I II III IV V VI
- tb bb tb bb tb
I 40,308±12,98
tb - tb bb bb tb
II 63,436±7,15
bb tb - bb bb tb
III 66,730±9,60
tb bb bb - bb tb
IV 38,919±9,35
bb bb bb bb - bb
V 10,532±5,35
tb tb tb tb bb -
VI 51,576±8,75
Keterangan :
Kelompok I = kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II = kontrol positif (pembanding)
Kelompok III = dosis I (12,5 ml/kg BB)
Kelompok IV = dosis II (25 ml/kg BB)
Kelompok V = dosis III (50 ml/kg BB)
Kelompok VI = kelompok CMC Na 1%
tb = berbeda tidak bermakna
bb = berbeda bermakna
50
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 7. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter


persentase konsistensi feses cair

Dari hasil diatas, terlihat bahwa secara umum kemampuan untuk

mempertahankan konsistensi feses dengan pemberian sari buah salak pondoh apabila

dibandingkan dengan kontrol negatif relatif lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari skor rata-

rata persentase konsistensi feses. Terjadi penurunan persentase konsistensi feses seiring

dengan meningkatnya peringkat dosis. Semakin tinggi skor persentase konsistensi feses

cair, menunjukkan feses yang dikeluarkan konsistensinya cair semakin banyak.

Pada pemberian sari buah salak dengan dosis 50 ml/kg BB dan dosis 12,5 ml/kg

BB secara statistik dengan uji Mann-Whitney, memberikan perbedaan yang bermakna

pada perlakuan persentase konsistensi bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol

negatif. Pada pemberian dosis 50 ml/kg BB memberikan skor rata-rata persentase

konsistensi feses cair 10,532±5,35, sedangkan pada dosis 12,5 ml/kg BB skor rata-rata

persentase konsistensi feses cairnya adalah 66,730±9,60. Persentase konsistensi feses cair
51
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
pada kelompok kontrol negatif menunjukkan skor rata-rata sebesar 40,308±12,98. Obat

dikatakan sebagai antidiare apabila persentase konsistensi feses cair pada kelompok

perlakuan lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Antara dosis

50 ml/kg BB dan dosis 12,5 ml/kg BB, yang lebih kecil rata-rata persentase konsistensi

feses cairnya dibandingkan dengan kontrol negatif adalah pada pemberian 50 ml/kg BB.

Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian sari buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg

BB dapat sebagai antidiare. Perlakuan CMC Na 1% dibandingkan dengan kontrol positif

memberikan hasil statistik yang tidak bermakna (p>0,05). Hal ini berarti apabila

dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif, perlakuan CMC Na 1% tidak dapat

sebagai antidiare.

b. Onset diare

Onset diare (waktu terjadinya diare) dihitung setelah pemberian 0,5ml Oleum

Ricini per oral hingga mencit mengeluarkan feses dalam konsistensi cair untuk pertama

kalinya (mencit menderita diare). Selanjutnya, onset diare kelompok peringkat dosis

dibandingkan dengan kelompok kontrol.


52
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Tabel V. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk
parameter onset diare
Hasil analisis uji Mann-Whitney
Kelompok  ± SE (menit)
I II III IV V VI
- tb tb tb bb tb
I 146,6±31,78
tb - tb tb bb tb
II 104,2±13,30
tb tb - tb bb tb
III 110,8±21,87
tb tb tb - bb tb
IV 149,5±29,24
bb bb bb bb - bb
V 212,8±17,00
tb tb tb tb bb -
VI 113,0±16,03
Keterangan :
Kelompok I = kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II = kontrol positif (pembanding)
Kelompok III = dosis I (12,5 ml/kg BB)
Kelompok IV = dosis II (25 ml/kg BB)
Kelompok V = dosis III (50 ml/kg BB)
Kelompok VI = kelompok CMC Na 1%
tb = berbeda tidak bermakna
bb = berbeda bermakna
53
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 8. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter onset


diare

Tampak bahwa terjadi peningkatan onset diare. Seiring kenaikan peringkat

dosis. Obat dikatakan bertindak sebagai antidiare apabila dapat meningkatkan onset diare.

Pada pemberian sari buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB (kelompok V)

kenaikan onsetnya memberikan hasil yang berbeda bermakna dengan signifikansi p<0,05.

Rata-rata onset diare pada kelompok V adalah 212,8±17,00, lebih besar bila

dibandingkan dengan rata-rata onset pada kelompok kontrol negatif (146,6±31,78).

Karena pada pemberian sari buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB dapat

meningkatkan onset diare, maka dapat diindikasikan bahwa dosis 50 ml/kg BB dapat

bertindak sebagai antidiare. Perlakuan CMC Na 1% dibandingkan dengan kontrol positif

memberikan hasil yang tidak bermakna, tidak dapat sebagai antidiare.


54
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
c. Frekuensi diare

Frekuensi diare diamati selang 30 menit sampai 4 jam, kemudian selang 1 jam

sampai 6 jam setelah pemberian Oleum Ricini (Anonim, 1991). Hasil percobaan

disajukan pada tabel VI.

Tabel VI. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk
parameter frekuensi diare
Hasil analisis uji Mann-Whitney
Kelompok  ± SE (kali)
I II III IV V VI
- tb tb tb bb tb
I 4,8±1,76
tb - tb bb bb tb
II 6,6±1,66
tb tb - bb bb bb
III 7,9±1,15
tb bb bb - bb bb
IV 3,2±1,02
bb bb bb bb - bb
V 1,1±0,57
tb tb bb bb bb -
VI 5,4±1,05
Keterangan :
Kelompok I = kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II = kontrol positif (pembanding)
Kelompok III = dosis I (12,5 ml/kg BB)
Kelompok IV = dosis II (25 ml/kg BB)
Kelompok V = dosis III (50 ml/kg BB)
Kelompok VI = kelompok CMC Na 1%
tb = berbeda tidak bermakna
bb = berbeda bermakna
55
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 9. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter frekuensi


diare

Dari tabel VI, nampak bahwa frekuensi diare mencit pada kelompok perlakuan

sari buah salak pondoh mengalami penurunan seiring dengan kenaikan peringkat dosis.

Dengan uji Kruskal-Wallis, diperoleh nilai p=0,000. Oleh karena nilai p<0,05, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa “paling tidak terdapat perbedaan frekuensi diare antara

dua kelompok”.

Pengujian dilanjutkan dengan analisis post hoc untuk uji Kruskal-Wallis dengan

menggunakan uji Mann-Whitney. Dari pengujian post hoc dengan menggunakan uji

Mann-Whitney, diperoleh hasil bahwa apabila dibandingkan dengan kontrol negatif,

maka pada pemberian sari buah salak dengan dosis 50 ml/kg BB yang memberikan hasil

berbeda bermakna. Hasil rata-rata frekuensi diare pada kelompok perlakuan dosis 50

ml/kg BB lebih kecil daripada kelompok kontrol negatif. Obat sebagai antidiare adalah
56
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
obat yang dapat menurunkan frekuensi diare. Hal ini berarti pemberian dosis 50 ml/kg

BB dapat sebagai antidiare.

Hasil yang berbeda bermakna pada perbandingan dengan kontrol positif,

diberikan pada pemberian dosis 25 ml/kg BB. Sedangkan CMC Na 1% secara statistik

tidak bermakna jika dibandingkan dengan kontrol positif, sehingga tidak bertindak

sebagai antidiare.

d. Durasi diare

Durasi diare dihitung dari waktu mencit pertama kali mengeluarkan feses

dengan konsistensi cair sampai mencit mengeluarkan feses dengan konsistensi normal.

Tetapi hingga jam ke-6 pengamatan, konsistensi feses pada semua kelompok hewan uji

belum ada yang menunjukkan perbaikan dari konsistensi cair menjadi konsistensi padat.

Karenanya, durasi diare dihitung dari waktu mencit pertama kali menderita diare hingga

mencit tidak mengeluarkan feses lagi selama 6 jam pengamatan. Rata-rata hasil

pengamatan dapat dilihat pada tabel VII.


57
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Tabel VII. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk
parameter durasi diare
Hasil analisis uji Mann-
Kelompok  ± SE (menit) Whitney
I II III IV V VI
- tb tb tb bb tb
I 93,4±31,78
tb - tb tb bb tb
II 135,8±13,30
tb tb - tb bb tb
III 129,2±21,87
tb tb tb - bb tb
IV 90,5±29,24
bb bb bb bb - bb
V 27,2±17,00
tb tb tb tb bb -
VI 127,0±16,03
Keterangan :
Kelompok I = kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II = kontrol positif (pembanding)
Kelompok III = dosis I (12,5 ml/kg BB)
Kelompok IV = dosis II (25 ml/kg BB)
Kelompok V = dosis III (50 ml/kg BB)
Kelompok VI = kelompok CMC Na 1%
tb = berbeda tidak bermakna
bb = berbeda bermakna
58
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 10. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter durasi
diare

Tampak bahwa terjadi penurunan durasi diare seiring kenaikan peringkat dosis.

Apabila dibandingkan dengan kontrol negatif, secara statistik kenaikan onset diare

memberikan hasil yang bermakna (p<0,05) pada pemberian sari buah salak pondoh pada

kelompok V dengan dosis 50 ml/kg BB. Obat bertindak sebagai antidiare apabila dapat

menurunkan durasi diare. Karena pada pemberian dosis 50 ml/kg BB hasil rata-rata

durasi diare lebih kecil dari kelompok kontrol negatif, maka dapat bertindak sebagai

antidiare. Sedangkan CMC Na 1% secara statistik tidak bermakna jika dibandingkan

dengan kontrol positif, sehingga tidak sebagai antidiare.


59
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
e. Bobot feses

Bobot feses digunakan sebagai parameter semi kuntitatif untuk melihat berapa

bobot feses cair hewan uji mencit setelah diinduksi dengan Oleum Ricini. Hasil

pengamatan tersaji pada tabel VIII.

Tabel VIII. Rangkuman hasil pengamatan dan hasil analisis uji Mann-Whitney untuk
parameter bobot feses cair
Hasil analisis uji Mann-Whitney
Kelompok  ± SE (gram) I II III IV V VI
- tb tb tb bb tb
I 0,94125±0,33
tb - tb bb bb tb
II 0,86695±0,21
tb tb - bb bb tb
III 1,08125±0,32
tb bb bb - tb bb
IV 0,39735±0,14
bb bb bb tb - bb
V 0,25530±0,13
tb tb tb bb bb -
VI 1,06087±0,13
Keterangan :
Kelompok I = kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II = kontrol positif (pembanding)
Kelompok III = dosis I (12,5 ml/kg BB)
Kelompok IV = dosis II (25 ml/kg BB)
Kelompok V = dosis III (50 ml/kg BB)
Kelompok VI = kelompok CMC Na 1%
tb = berbeda tidak bermakna
bb = berbeda bermakna
60
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 11. Diagram batang rata-rata hasil pengamatan untuk parameter bobot
feses

Obat antidiare adalah obat yang dapat menurunkan bobot feses cair. Dari hasil

pengamatan, apabila dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif pemberian

sari buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB memberikan hasil statistik yang

berbeda bermakna (p<0,05). Rata-rata hasil pengamatan pada dosis 50 ml/kg BB adalah

sebesar 0,25530±0,13. Hasil rata-rata ini lebih kecil bila dibandingkan pada perlakuan

kontrol negatif, yakni 0,94125±0,33. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian sari buah

salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB memberikan efek penurunan bobot feses, dan

dapat bertindak sebagai antidiare. Sedangkan bila dibandingkan dengan kontrol positif,

hasil pengamatan pemberian dosis 50 ml/kg BB memberikan hasil yang tidak ekivalen

dengan kontrol positif. Sedangkan CMC Na 1% secara statistik tidak bermakna jika

dibandingkan dengan kontrol positif.


61
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Obat atau sampel uji pada penelitian ini dapat bertindak sebagai antidiare,

apabila terjadi penurunan bobot feses cair, frekuensi diare, persentase konsistensi feses

cair, durasi diare, dan meningkatkan onset diare. Dari hasil yang diperoleh melalui

pengamatan parameter bobot feses, frekuensi diare, konsistensi feses yang cair, onset

(waktu timbulnya diare) dan durasi (lamanya diare berlangsung), maka dosis 50 ml/kg

BB merupakan dosis efektif untuk antidiare pada mencit. Karena pada pemberian sari

buah salak dengan dosis 50 ml/kg BB ini terjadi penurunan bobot feses cair, frekuensi

diare, persentase konsistensi feses cair, durasi diare, dan meningkatkan onset diare. Hal

ini terjadi karena kandungan tanin yang ada dalam sari buah salak pondoh dapat

menyebabkan selaput lendir usus membentuk lapisan, sehingga dapat menciutkan selaput

lendir usus dan menyebabkan sekresi elektrolit dan air terhambat. Selain itu tanin juga

mempunyai kemampuan sebagai spasmolitik yang mampu menciutkan atau

mengkerutkan usus sehingga gerak peristaltik usus berkurang. Dengan terhambatnya

sekresi elektrolit dan air secara berlebih, maka diare dapat dihambat atau dihentikan.

Apabila dosis mencit akan dikonversikan ke dosis manusia 70 kg, maka nilai konversi

dosis dari mencit 20 gram ke manusia 70 kg adalah sebesar 387,9. Sehingga dosis yang

dibutuhkan untuk manusia 70 kg, adalah :

D = dosis mencit 20 g x konversi mencit ke manusia

= 50 x 378,9

= 18945 ml/70kg BB

= 270,64 ml/kg BB
62
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Rata-rata satu buah salak pondoh adalah 41,108 gram dan dapat disarikan

sebanyak 7,47 ml. Hal ini berarti dalam 1 ml sari buah salak pondoh mengandung 5,503

gram salak pondoh. Sehingga banyaknya buah salak yang dapat digunakan adalah :

Dosis = 270,64 ml/kg BB x 5,503 gram

= 1488,52 g/kg BB

Salak yang dibutuhkan = 1488,52 g/kg BB : 41,108 g

= 36,209  36 buah.

C. Rangkuman Pembahasan

Penelitian ini menggunakan metode proteksi diare oleh Oleum Ricini. Sejumlah

hewan uji yaitu mencit putih betina dibagi dalam enam kelompok, masing-masing

kelompok terdiri dari 10 ekor mencit. Kelompok perlakuan tersebut terbagi menjadi

kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif (pembanding), kelompok perlakuan

CMC Na 1%, dan tiga kelompok yang mewakili tiga peringkat dosis. Yang digunakan

sebagai kontrol negatif adalah aquadest. Sedangkan senyawa yang digunakan sebagai

kontrol positif atau pembanding adalah larutan Immodium yang dibuat dalam dosis 0,728

mg/g BB dengan konsentrasi 0,2912 x 10 -2 g/100 ml. Larutan uji yang digunakan adalah

sari buah salak pondoh segar yang dibuat dalam tiga peringkat dosis, yaitu 12,5 ml/kg

BB; 25 ml/kg BB; dan 50 ml/kg BB.

Perlakuan yang diberikan pada hewan uji adalah sama persis antara keenam

kelompok perlakuan tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan yaitu pada jenis larutan

yang diberikan diawal perlakuan. Pada menit ke nol kelompok kontrol negatif

mendapatkan perlakuan aquadest, sedangkan pada kelompok kontrol positif mendapatkan


63
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
perlakuan larutan Immodium yang dibuat dalam dosis 0,728 mg/g BB dengan konsentrasi

0,2912 x 10-2 g/100 ml. Pada kelompok CMC Na 1%, diberikan larutan CMC Na dengan

konsentrasi 1% secara oral. Sedangkan pada kelompok perlakuan dibagi menjadi tiga

kelompok berdasarkan tiga peringkat dosis. Kelompok dosis I pada menit ke nol

mendapatkan sari buah salak pondoh dengan dosis 12,5 ml/kg BB; pada kelompok dosis

II mendapatkan sari buah salak pondoh dosis 25 ml/kg BB dan pada kelompok dosis III

mendapat sari buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB. Selanjutnya dilakukan

proses penelitian yang sama pada enam kelompok uji seperti cara kerja yang telah

ditentukan.

Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah bobot feses, frekuensi

diare, konsistensi feses yang cair, onset (waktu timbulnya diare) dan durasi (lamanya

diare berlangsung). Suatu zat atau senyawa dikatakan mempunyai aktivitas antidiare bila

lebih kecil nilainya dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Jadi apabila bobot

feses, frekuensi diare, konsistensi feses yang cair, onset (waktu timbulnya diare) dan

durasi (lamanya diare berlangsung) dari kelompok perlakuan lebih kecil dari pada

kelompok kontrol negatif, maka sari buah salak pondoh memang menunjukkan aktivitas

antidiare. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan

dengan analisis post hoc dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sari buah salak pondoh memberikan

aktivitas sebagai antidiare. Dari hasil yang diperoleh, maka dosis 50 ml/kg BB

merupakan dosis efektif untuk antidiare pada mencit. Dosis yang diperlukan untuk

manusia 70 kg adalah sebesar 270,64 ml/kg BB atau 36 buah.


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK TTEERRPPUUJJII
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan atas data penelitian yang dikumpulkan dan analisis hasil yang

diterapkan, maka disimpulkan bahwa :

1. sari daging buah salak pondoh dengan dosis 50 ml/kg BB mempunyai aktivitas

sebagai antidiare jika dibandingkan dengan kontrol negatif.

2. kenaikan dosis pemberian sari buah salak pondoh meningkatkan daya antidiare. Dari

hasil yang diperoleh, maka dosis 50 ml/kg BB (dosis III) merupakan dosis efektif

untuk antidiare pada mencit. Dosis yang diperlukan untuk manusia 70 kg adalah

sebesar 270,64 ml/kg BB atau 36 buah.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, sebaiknya perlu dilakukan penelitian-

penelitian lanjutan yang dapat mendukung atau dilakukan penelitian lebih lanjut,

misanlnya :

1. penggunaan buah salak pondoh yang diambil dari daerah selain Turi, Sleman, DI

Yogyakarta.

2. penggunaan sampel salak pondoh tanpa kulit ari (kulit ari yang tipis dibuang), untuk

melihat efektivitas antidiare.

3. perlu penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian sari daging buah salak

pondoh pada uji aktivitas antidiare dengan metode proteksi terhadap diare oleh

Oleum Ricini.

64
65
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
4. penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar tanin dalam salak pondoh.

5. peningkatan dosis Loperamid HCl, agar hasil penelitian yang diperoleh lebih baik.

6. penggunaan metode penelitian selain metode proteksi terhadap diare oleh Oleum

Ricini, misalnya dengan menggunakan metode transit intestinal.


66
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, Ketut I., Yulinah, Elin, Sigit, dan Joseph I., 2004, Efek Ekstrak Daun Jambu Biji
Daging Buah Putih dan Jambu Biji Daging Buah Merah sebagai Antidiare, Acta
Pharmaceutica Indonesia, Vol. XXIX, No.1, hal 1-9.

Ammon, H.V., Thomas, P.J., and Philips, S., 1974, Effect of Oleic and Ricinoleic Acids on
net Jejunal Water and Electrolyte Movement dalam Vogel, G.H., Drug Discovery
and Evaluation, 2th Edition, 2, Spinger-Verlag, Berlin.

Anonim, 1986, Medicinal Herb Index in Indonesia (Indeks Tumbuh-tumbuhan Obat di


Indonesia), No. Indeks 3560, 213, PT. Eisai Indonesia.

Anonim, 1991, Pedoman Pengujian dan Pengembangan Fitofarmaka-Penapisan


Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik, 23-26, Kelompok Kerja
Ilmiah Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam, Phyto Medica
Jakarta

Anonim, 1992, Fitofarmaka dan Pedoman Fitofarmaka, 4, direktorat Jenderal Pengawasan


Obat dan Makanan RI, Jakarta.

Anonim, 1993, Pengujian Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik, 19-21,
155, Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam, Phyto Medica, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, ed. IV, 423, 503, 584, 631, Departemen Kesehatan
Indonesia, Jakarta

Anonim, 1997, Kompendia Obat Bebas, Edisi III, 31-33, Departemen Kesehatan RI,
Direktorat Jendral Pengawasan Obat Makanan, Jakarta.

Anonim, 2000a, Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, edisi 1, 1-3, Dirjen
Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, DepKes
RI, Jakarta.

Anonim, 2000b, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), 7-9, 25-28, 32, 330-333,
346, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2005, WGO Practice Guideline-Acute Diarrhea, http :// www. world
gastroenterology.org, diakses pada tanggal 1 Juli 2009.

Anonim, 2006, MIMS, edisi bahasa Indonesia volume 7, 28-30, PT Info Master, Jakarta.

Anonim, 2007, http:// bebas.vlsm.org/ v12/ artikel/ ttg_tanaman_obat/ depkes/buku1/ 1-


256.pdf, diakses tanggal 4 November 2008

Anonim, 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi 2, 105-110, EGC, Jakarta.

Astuti, 2007, Budidaya Salak, 1-2, Agromedia Pustaka, Jakarta


67
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN
Djamhuri, A., 1995, Sinopsis Farmakologi TTIIDDAAKK
dengan Terapan Khusus di Klinik dan Perawatan,
edisi I, cetakan III, Penerbit Hipokrates, Jakarta, 101.

Dollery, S.C., 1991, Therapeutic Drug, volume 2, Churchill Livingstone Edinburgh, London.

Fine, K., Kerjs, G., and Foldtran, J., 1989, Diarrhea dalam Carrutthers, G.S., Hoffman,
B.B., Melmon, L.K., Nierenberg, W.D., 2000, Mellmon and Morelli’s
Clinical Pharmacology, 306, The Mc Graw Hill Companies, Singapore.

Firdaus, 1997, Etiologi Diare Karena Infeksi di Indonesia, Medika, 23 (1), 35-39.

Ganong, W.F., 1995, Buku Ajar Kedoteran: Review of Medical Physiology, alih bahasa
Petrus Andrianto, edisi 14, 404-440, EGC, Jakarta.

Hambleton, G., 1995, Manual Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit, cetakan I, Binarupa
Aksara, Jakarta.

Harborne, J.B., 1987, Phytochemical Methods, diterjemahkan oleh Dr. Kosasih


Padmawinata dan Dr. Iwang Soediro, 102-103, Institut Teknologi Bandung,
Bandung.

Heaton, and Lewis, 1997, Stool form scale as a useful guide to intestinal transit time,
Scandinavian Journal of Gastroenterology, 32 (9): 920 – 924

Iwao, L., and Terada, Y., 1962, On the Mechanism of Diarrhea due to Castrol Oil dalam
Vogel, G.H., Drug Discovery and Evaluation, 2th Edition, 875, Spinger-Verlag,
Berlin.

Longe, R.L., and Di Piro, J.T., 2000, Diarrhea and Constipation, in Di Piro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C., Matske, G.R., Well, B.G., Posey, L.M., (Eds), Pharmacotherapy,
A Pathophysiologic Approach, Sixth Ed., 680, Appleton & Longe, Stanford,
Connecticut.

Markum, 1999, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 448-472.

Mills, Simon, and Kerry, Bone, 2000, Principles and Practice of Phytotherapy: Modern
Herbal Medicine, 34-37, 68-70, Churchill Livingstone.

Mutschler, E., 1986, Arzneimittelwirkungen, diterjemahkan oleh Widianto dan Ranti, edisi
5, Penerbit ITB, Bandung.

Nandariyah, Soemartono, Artama, W.T., dan Taryono, 2004, Keragaman Kultivar Salak
(Zalacca zalacca), Agrosains 6(2 ):75-79.

Noerasid, H., Suraatmadja, S., dan Asnil, P.O., Gastroenteritis (Diare) Akut, dalam
Suharyono, Budiarso, A. dan Halimun, E.M., (Eds.), Gastroenterologi Anak
Praktis, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 51-69,
1988.

Pardal, Saptowo J., Ika Mariska, E.G. Lestari, dan Slamet, 2004, Regenerasi Tanaman dan
Transformasi Genetik Salak Pondoh (Zalacca edulis Reinw) untuk Rekayasa Buah
Partenokarpi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber
Daya Genetik Pertanian, Bogor.
68
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
Po, A. TTIINNDDAAKKAANN
Li Wan dan G. Li Wan Po, 1997, TTIIDDAAKK
OTC Medications Symptoms and Treatments of
Common Illnesses, Second Edition, 93-98, Blackwell Sciense, UK.

Purnomo S, T Sudartyono, dan Soleh M., 1993, Distribusi Kultivar dan Prakiraan Wilayah
Pengembangan Salak, Penelitian Hortikultura 5 (2):1-14.

Rob. Mudjisihono, Suhardi dan T. Handayani, 2009, Pengaruh Penambahan CMC


Terhadap Kestabilan Suspensi Sari Buah Salak (Zalacca edulis R.) Selama
Penyimpanan, LPPM IPB, Bogor.

Sachdev, Dr. Ajay K, 2007, Gastrointestinal Surgery, tersedia di www.ajaygisurgeon.com,


diakses pada 10 Agustus 2009.

Soenarto, Y., 1993, Tatalaksana Kasus Diare Akut pada Anak dalam Pemakaian Obat
pada Anak, Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-
efek Sampingnya, cetakan pertama, edisi kelima, 242-290, PT. Elexmedia
Komputindo Keluarga Gramedia, Jakarta.

Tyler, V.E., 2000, Product Definition Deficiencies in Clinical Studies of Herbal Medicine
dalam Wahyuono, S., Obat Asli Indonesia, Majalah Obat Tradisional, Volume 7,
19- 20, Bagian Biologi Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Van Steenis, C. G. G. J., 1992, Flora, cetakan ke-6, 35, 36, 122, 123, 127, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.

Vogel, G.H., 2002, Drug Discovery and Evaluation, 2th Edition, 875-876, Spinger-Verlag,
Berlin.

Wakefield, Andrew, 2005, Health Topics Content, tersedia di


www.healthsystem.virginia.edu, diakses tanggal 10 Agustus 2009.

Widayanti, S., 2003, Pola Pengobatan Penyakit Diare pada Anak di Instalasi Rawat Inap II
Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta Selama Bulan Juli-Desember 2001 Beserta
Analisa Rasionalitasnya, Skripsi, 1-2, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Widjaja, M.C., 2002, Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita, Cetakan I, 4-10,
Kawan Pustaka, Jakarta.

Winarno, W., dan Sundari, D., Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Diare di Indonesia,
Cermin Dunia Kedokteran No 109, hal 25-31, 1996.

Zein, U., 2004, Sagala, K. H., dan Ginting, J., Diare Akut disebabkan Bakteri, Univ.
Sumatra Utara, hal. 1-15.
69
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
70
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 12: Pohon Salak

Gambar 13: Salak

Gambar 14: Aquadest, Sari Salak Pondoh, dan Oleum Ricini


71
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Gambar 15 : Mencit Pada Saat Dipuasakan Selama 1 Jam

Gambar 16 : Mencit yang diberi perlakuan secara per oral

Gambar 17 : Feses Mencit Dengan Konsistensi Cair


72
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN
Lampiran 1. Perhitungan dosis loperamidTTIIDDAAKK

Berdasarkan pada ISO 2000, dosis loperamide HCl pada pemberian awal adalah

4mg, maka apabila dosis tersebut dikonversikan ke orang dewasa dengan berat badan 70kg

adalah :
70
Dosis =  4mg
50
= 5,6 mg/70 kg BB.

Faktor konversi dosis manusia ke mencit dengan berat 20 gram = 0,0026

= 5,6 x 0,0026

= 0,0015 mg/20g BB

= 0,728 mg/kg BB

Konsentrasi larutan loperamide HCl yang dibutuhkan :

Dosis 
C = BB V

0,728mg / kg BB  0,02 kg BB
= 0,5 ml

= 0,2912 . 10-4 g/ml

= 0,2912 . 10-2 g/100 ml

Bobot serbuk yang ditimbang adalah :

Bobot 10 tablet = 1,0222 gram

Bobot serbuk C  bobot 10 tablet


dosis obat dalam 10 tablet
=

0,2912 .10-2 g /100 ml  1,0222 g


=
20 mg

= 0,14883 gram dalam 100 ml

= 0,0744 gram dalam 50 ml


73
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN
Lampiran 2. Penimbangan salak pondoh TTIIDDAAKK
a. Penimbangan salak pondoh utuh (gram)
Salak Berat
1 62,77
2 81,17
3 69,78
4 80,95
5 74,27
6 60,48
7 61,43
8 59,57
9 76,74
10 68,61
11 64,21
12 65,57
13 63,11
14 68,06
15 56,72
16 64,57
17 46,81
18 45,73
19 70,02
20 80,44
Rata-rata 66,0505

b. Penimbangan salak pondoh (daging dan biji) (gram)


Salak Berat
1 50,93
2 66,73
3 56,32
4 66,08
5 61,79
6 47,85
7 49,34
8 47,20
9 63,21
10 56,37
11 50,91
12 55,32
13 51,41
14 56,10
15 45,43
16 53,13
17 36,66
18 35,81
19 57,37
20 68,39
Rata-rata 53,8175
74
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
c. TTIINNDDAAKKAANN
Penimbangan TTIIDDAAKK
salak pondoh tanpa biji (gram)
Salak Berat
1 38,15
2 53,86
3 44,68
4 50,86
5 42,81
6 35,56
7 36,53
8 35,63
9 45,84
10 43,76
11 37,76
12 45,07
13 42,51
14 42,73
15 34,89
16 41,58
17 30,17
18 29,27
19 36,54
20 53,96
Rata-rata 41,108

Lampiran 3. Hasil sari buah salak pondoh (ml)


Salak sari
1 2,8
2 10,2
3 8,3
4 12
5 8,2
6 6,7
7 6,3
8 6,3
9 7,6
10 9,2
11 7,6
12 2,0
13 9,2
14 8,0
15 7,4
16 7,8
17 5,4
18 7,2
19 7,0
20 10,2
Rata-rata 7,47
75
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN
Lampiran 4. Perhitungan dosis sari buahTTIIDDAAKK
salak pondoh dengan 3 peringkat dosis

a. perhitungan untuk dosis terapi

CV
Dosis
BB
=

1 0,5ml
= 0,02kg

= 25 ml/kg BB

b. perhitungan untuk dosis rendah

CV
Dosis
BB
=

1 0,25ml
= 0,02kg

= 12,5 ml/kg BB

c. perhitungan untuk dosis tinggi

CV
Dosis
BB
=

11,00ml
= 0,02kg

= 50 ml/kg BB
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Lampiran 5. Hasil uji antidiare sari buah salak pondoh dengan metode proteksi oleh oleum ricini

a. Persentase konsistensi feses tiap-tiap kelompok perlakuan (%)


Kelompok
Mencit I II III IV V VI
1 66,67 40 88,88 50 25 50
2 54,54 75 23,53 42,86 22,22 16,67
3 36,36 77,77 56,25 54,54 0 42,86
4 54,54 64,28 50 50 21,43 63,64
5 66,67 50 55,55 50 0 36,36
6 0 63,64 75 25 16,67 70
7 11,11 44,44 71,43 0 0 57,14
8 0 87,5 80 62,5 20 70
9 44,44 69,23 83,33 14,29 0 72,73
10 68,75 62,5 83,33 40 0 36,36
 ± SE 40,308±12,98 63,436±7,15 66,730±9,60 38,919±9,35 10,532±5,35 51,576±8,75

b. Onset diare pada mencit terinduksi oleum Ricini (menit)


Kelompok
Mencit
1 94 133 140 89 208 93
2 166 119 170 97 231 148
3 140 74 88 88 240 102
4 53 88 152 103 163 117
5 73 149 185 111 240 147
6 240 94 93 238 169 49
7 213 119 77 240 240 145
8 240 59 68 139 157 92
9 116 88 65 201 240 89
10 131 119 70 189 240 148
 ± SE 146,6±31,78 104,2±13,30 110,8±21,87 149,5±29,24 212,8±17,00 113,0±16,03

76
c. Frekuensi diare pada mencit terinduksi oleum Ricini (kali)
Kelompok
Mencit I II III IV V VI
1 8 2 8 6 2 8
2 6 6 4 3 2 2
3 4 7 9 6 0 3
4 6 9 4 4 3 7
5 8 3 10 4 0 4
6 0 7 6 1 2 7
7 1 4 10 0 0 4
8 0 14 8 5 2 7
9 4 9 10 1 0 8
10 11 5 10 2 0 4
 ± SE 4,8±1,76 6,6±1,66 7,9±1,15 3,2±1,02 1,1±0,57 5,4±1,05

d. Durasi diare pada mencit terinduksi oleum Ricini (menit)


Kelompok
Mencit I II III IV V VI
1 146 107 100 151 32 147
2 74 121 70 143 9 92
3 100 166 152 152 0 138
4 187 152 88 137 77 123
5 167 91 55 129 0 93
6 0 146 147 2 71 191
7 27 121 163 0 0 95
8 0 181 172 101 83 148
9 124 152 175 39 0 151
10 109 121 170 51 0 92
 ± SE 93,4±31,78 135,8±13,30 129,2±21,87 90,5±29,24 27,2±17,00 127,0±16,03
e. Bobot feses cair pada mencit terinduksi oleum Ricini (gram)
Kelompok
Mencit
1 1,466 0,3208 0,4009 1,1077 0,6968 0,9003
2 0,3321 0,8334 0,2981 0,2715 0,3898 0,834
3 1,0331 1,2926 0,9355 0,5513 0 0,6335
4 1,784 0,6114 0,399 0,4938 0,4287 1,2399
5 1,5706 0,525 0,9304 0,4583 0 0,8419
6 0 0,4806 1,3094 0,2704 0,6161 1,5362
7 0,4392 0,6133 1,9743 0 0 1,2331
8 0 1,7094 1,0225 0,2704 0,4216 0,9629
9 1,5706 1,3069 1,2122 0,165 0 1,164
10 1,2169 0,9761 2,3302 0,3851 0 1,2629
 ± SE 0,94125±0,33 0,86695±0,21 1,08125±0,32 0,39735±0,14 0,25530±0,13 1,06087±0,13
Keterangan :
Kelompok I = kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II = kontrol positif (pembanding)
Kelompok III = dosis I (12,5 ml/kg BB)
Kelompok IV = dosis II (25 ml/kg BB)
Kelompok V = dosis III (50 ml/kg BB)
Kelompok VI = kelompok CMC Na 1%
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Lampiran 6. Hasil uji normalitas dan homogenitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

perlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.

bobot negatif .177 10 .200* .883 10 .142


*
positif .215 10 .200 .924 10 .391

dosis rendah .166 10 .200* .915 10 .317

dosis terapi .203 10 .200* .876 10 .119

dosis tinggi .316 10 .006 .798 10 .014

cmc na .149 10 .200* .958 10 .767

frekuensi negatif .147 10 .200* .938 10 .534

positif .155 10 .200* .945 10 .614

dosis rendah .216 10 .200* .813 10 .021

dosis terapi .147 10 .200* .933 10 .479

dosis tinggi .321 10 .004 .761 10 .005

cmc na .264 10 .046 .871 10 .103

konsistensi negatif .199 10 .200* .855 10 .067

positif .175 10 .200* .966 10 .847

dosis rendah .192 10 .200* .895 10 .194

dosis terapi .222 10 .178 .895 10 .193

dosis tinggi .325 10 .004 .752 10 .004

cmc na .143 10 .200* .927 10 .417

durasi negatif .139 10 .200* .934 10 .486

positif .201 10 .200* .962 10 .804

dosis rendah .250 10 .076 .855 10 .067

dosis terapi .234 10 .129 .847 10 .054

dosis tinggi .294 10 .014 .739 10 .003

cmc na .228 10 .150 .878 10 .122

onset negatif .139 10 .200* .934 10 .486

positif .201 10 .200* .962 10 .804

79
dosis rendah .250 10 .076 .855 10 .067

dosis terapi .234 10 .129 .847 10 .054


dosis tinggi .294 10 .014 .739 10 .003
cmc na .228 10 .150 .878 10 .122

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

bobot 4.297 5 54 .002


frekuensi 2.221 5 54 .065

konsistensi 1.951 5 54 .101

onset 3.980 5 54 .004

durasi 3.980 5 54 .004


Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis untuk parameter bobot feses, frekuensi diare, onset diare, durasi diare, dan
konsistensi feses.

bobot

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

bobot 60 .767162 .5597932 .0000 2.3302

perlakuan 60 3.5000 1.72224 1.00 6.00

Ranks

perlakuan N Mean Rank

bobot negatif 10 35.60

positif 10 35.20

dosis rendah 10 38.20

dosis terapi 10 18.05

dosis tinggi 10 14.25

cmc na 10 41.70

Total 60

Test Statisticsa,b

bobot

Chi-Square 21.425
df 5

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
perlakuan
Frekuensi

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

frekuensi 60 4.8333 3.39574 .00 14.00

perlakuan 60 3.5000 1.72224 1.00 6.00

Ranks

perlakuan N Mean Rank

frekuensi negatif 10 30.50

positif 10 38.60

dosis rendah 10 46.85

dosis terapi 10 22.35

dosis tinggi 10 10.30

cmc na 10 34.40

Total 60

Test Statisticsa,b

frekuensi

Chi-Square 27.292
df 5

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
perlakuan
Konsistensi

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

konsistensi 60 45.2502 26.42592 .00 88.88

perlakuan 60 3.5000 1.72224 1.00 6.00

Ranks

perlakuan N Mean Rank

konsistensi negatif 10 27.25

positif 10 42.20

dosis rendah 10 45.70

dosis terapi 10 24.60

dosis tinggi 10 9.35

cmc na 10 33.90

Total 60

Test Statisticsa,b

konsistensi

Chi-Square 28.706
df 5

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
perlakuan
Onset

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

onset 60 139.4833 59.03159 49.00 240.00

perlakuan 60 3.5000 1.72224 1.00 6.00

Ranks

perlakuan N Mean Rank

onset negatif 10 32.30

positif 10 20.75

dosis rendah 10 21.75

dosis terapi 10 32.95

dosis tinggi 10 50.95

cmc na 10 24.30

Total 60

Test Statisticsa,b

onset

Chi-Square 20.962
df 5

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
perlakuan
Durasi

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

durasi 60 100.5167 59.03159 .00 191.00

perlakuan 60 3.5000 1.72224 1.00 6.00

Ranks

perlakuan N Mean Rank

durasi negatif 10 28.70

positif 10 40.25

dosis rendah 10 39.25

dosis terapi 10 28.05

dosis tinggi 10 10.05

cmc na 10 36.70

Total 60

Test Statisticsa,b

durasi

Chi-Square 20.962
df 5

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
perlakuan
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Lampiran 8. Hasil analisis sari buah salak pondoh dengan metode proteksi oleh oleum ricini dengan uji Mann-Withney

a. Bobot
Test Statisticsb
Ranks
bobot
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Mann-Whitney U 47.000
bobot negatif 10 10.80 108.00 Wilcoxon W 102.000

positif 10 10.20 102.00 Z -.227

Total 20 Asymp. Sig. (2-tailed) .820

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .853a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 10.40 104.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis rendah 10 10.60 106.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20 Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 12.60 126.00
Mann-Whitney U 29.000
dosis terapi 10 8.40 84.00 Wilcoxon W 84.000

Total 20
Z -1.591

Asymp. Sig. (2-tailed) .112

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .123a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 13.30 133.00
Mann-Whitney U 22.000
dosis tinggi 10 7.70 77.00 Wilcoxon W 77.000

Total 20
Z -2.163

Asymp. Sig. (2-tailed) .031

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .035a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 10.50 105.00
Mann-Whitney U 50.000
cmc na 10 10.50 105.00 Wilcoxon W 105.000

Total 20
Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 10.80 108.00
Mann-Whitney U 47.000
positif 10 10.20 102.00 Wilcoxon W 102.000
Total 20 Z -.227

Asymp. Sig. (2-tailed) .820

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .853a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot positif 10 9.80 98.00
Mann-Whitney U 43.000
dosis rendah 10 11.20 112.00 Wilcoxon W 98.000

Total 20
Z -.529

Asymp. Sig. (2-tailed) .597

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .631a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot positif 10 14.10 141.00
Mann-Whitney U 14.000
dosis terapi 10 6.90 69.00 Wilcoxon W 69.000

Total 20
Z -2.722

Asymp. Sig. (2-tailed) .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .005a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot positif 10 14.20 142.00
Mann-Whitney U 13.000
dosis tinggi 10 6.80 68.00 Wilcoxon W 68.000

Total 20
Z -2.818

Asymp. Sig. (2-tailed) .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot positif 10 8.90 89.00
Mann-Whitney U 34.000
cmc na 10 12.10 121.00 Wilcoxon W 89.000

Total 20
Z -1.209

Asymp. Sig. (2-tailed) .226

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 10.40 104.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis rendah 10 10.60 106.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20
Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot positif 10 9.80 98.00
Mann-Whitney U 43.000
dosis rendah 10 11.20 112.00 Wilcoxon W 98.000

Total 20
Z -.529

Asymp. Sig. (2-tailed) .597

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .631a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot dosis rendah 10 13.90 139.00 Mann-Whitney U 16.000

dosis terapi 10 7.10 71.00 Wilcoxon W 71.000

20 Z -2.571
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .010

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .009a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis rendah 10 14.20 142.00
Mann-Whitney U 13.000
dosis tinggi 10 6.80 68.00 Wilcoxon W 68.000
20
Total Z -2.818

Asymp. Sig. (2-tailed) .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot dosis rendah 10 10.30 103.00 Mann-Whitney U 48.000

cmc na 10 10.70 107.00 Wilcoxon W 103.000

20 Z -.151
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .880

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .912a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 12.60 126.00
Mann-Whitney U 29.000
dosis terapi 10 8.40 84.00 Wilcoxon W 84.000

Total 20
Z -1.591

Asymp. Sig. (2-tailed) .112

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .123a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot positif 10 14.10 141.00 Mann-Whitney U 14.000

dosis terapi 10 6.90 69.00 Wilcoxon W 69.000

20 Z -2.722
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .005a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis rendah 10 13.90 139.00
Mann-Whitney U 16.000
dosis terapi 10 7.10 71.00 Wilcoxon W 71.000
20
Total Z -2.571

Asymp. Sig. (2-tailed) .010

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .009a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot dosis terapi 10 11.65 116.50 Mann-Whitney U 38.500

dosis tinggi 10 9.35 93.50 Wilcoxon W 93.500

20 Z -.881
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .378

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .393a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis terapi 10 6.00 60.00
Mann-Whitney U 5.000
cmc na 10 15.00 150.00 Wilcoxon W 60.000
20
Total Z -3.403

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Test Statisticsb
Ranks
bobot
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Mann-Whitney U 22.000
bobot negatif 10 13.30 133.00 Wilcoxon W 77.000

dosis tinggi 10 7.70 77.00 Z -2.163

Total 20 Asymp. Sig. (2-tailed) .031

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .035a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot positif 10 14.20 142.00 Mann-Whitney U 13.000

dosis tinggi 10 6.80 68.00 Wilcoxon W 68.000

20 Z -2.818
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot dosis rendah 10 14.20 142.00 Mann-Whitney U 13.000

dosis tinggi 10 6.80 68.00 Wilcoxon W 68.000

20 Z -2.818
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis terapi 10 11.65 116.50
Mann-Whitney U 38.500
dosis tinggi 10 9.35 93.50 Wilcoxon W 93.500
20
Total Z -.881

Asymp. Sig. (2-tailed) .378

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .393a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks bobot

bobot dosis tinggi 10 5.60 56.00 Mann-Whitney U 1.000

cmc na 10 15.40 154.00 Wilcoxon W 56.000

20 Z -3.732
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot negatif 10 10.50 105.00
Mann-Whitney U 50.000
cmc na 10 10.50 105.00 Wilcoxon W 105.000

Total 20
Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot positif 10 8.90 89.00
Mann-Whitney U 34.000
cmc na 10 12.10 121.00 Wilcoxon W 89.000

Total 20
Z -1.209

Asymp. Sig. (2-tailed) .226

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis rendah 10 10.30 103.00
Mann-Whitney U 48.000
cmc na 10 10.70 107.00 Wilcoxon W 103.000
20
Total Z -.151

Asymp. Sig. (2-tailed) .880

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .912a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis terapi 10 6.00 60.00
Mann-Whitney U 5.000
cmc na 10 15.00 150.00 Wilcoxon W 60.000
20
Total Z -3.403

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
bobot
bobot dosis tinggi 10 5.60 56.00
Mann-Whitney U 1.000
cmc na 10 15.40 154.00 Wilcoxon W 56.000

Total 20
Z -3.732

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

b. Frekuensi

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 9.20 92.00
Mann-Whitney U 37.000
positif 10 11.80 118.00 Wilcoxon W 92.000
Total 20 Z -.987

Asymp. Sig. (2-tailed) .324

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 8.00 80.00
Mann-Whitney U 25.000
dosis rendah 10 13.00 130.00 Wilcoxon W 80.000

Total 20
Z -1.915

Asymp. Sig. (2-tailed) .055

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks frekuensi

frekuensi negatif 10 11.80 118.00 Mann-Whitney U 37.000

dosis terapi 10 9.20 92.00 Wilcoxon W 92.000

20 Z -.994
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .320

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 13.50 135.00
Mann-Whitney U 20.000
dosis tinggi 10 7.50 75.00 Wilcoxon W 75.000

Total 20
Z -2.329

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks frekuensi

frekuensi negatif 10 10.00 100.00 Mann-Whitney U 45.000

cmc na 10 11.00 110.00 Wilcoxon W 100.000

20 Z -.383
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .702

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .739a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 9.20 92.00
Mann-Whitney U 37.000
positif 10 11.80 118.00 Wilcoxon W 92.000
Total 20 Z -.987

Asymp. Sig. (2-tailed) .324

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 8.75 87.50
Mann-Whitney U 32.500
dosis rendah 10 12.25 122.50 Wilcoxon W 87.500

Total 20
Z -1.333

Asymp. Sig. (2-tailed) .182

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 13.55 135.50
Mann-Whitney U 19.500
dosis terapi 10 7.45 74.50 Wilcoxon W 74.500

Total 20
Z -2.318

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .019a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 15.15 151.50
Mann-Whitney U 3.500
dosis tinggi 10 5.85 58.50 Wilcoxon W 58.500

Total 20
Z -3.573

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 11.35 113.50
Mann-Whitney U 41.500
cmc na 10 9.65 96.50 Wilcoxon W 96.500

Total 20
Z -.651

Asymp. Sig. (2-tailed) .515

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .529a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 8.00 80.00
Mann-Whitney U 25.000
dosis rendah 10 13.00 130.00 Wilcoxon W 80.000

Total 20
Z -1.915

Asymp. Sig. (2-tailed) .055

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 8.75 87.50
Mann-Whitney U 32.500
dosis rendah 10 12.25 122.50 Wilcoxon W 87.500

Total 20
Z -1.333

Asymp. Sig. (2-tailed) .182

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis rendah 10 14.60 146.00
Mann-Whitney U 9.000
dosis terapi 10 6.40 64.00 Wilcoxon W 64.000
20
Total Z -3.130

Asymp. Sig. (2-tailed) .002

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis rendah 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000
20
Total Z -3.841

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis rendah 10 13.50 135.00
Mann-Whitney U 20.000
cmc na 10 7.50 75.00 Wilcoxon W 75.000
20
Total Z -2.306

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 11.80 118.00
Mann-Whitney U 37.000
dosis terapi 10 9.20 92.00 Wilcoxon W 92.000

Total 20
Z -.994

Asymp. Sig. (2-tailed) .320

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 13.55 135.50
Mann-Whitney U 19.500
dosis terapi 10 7.45 74.50 Wilcoxon W 74.500

Total 20
Z -2.318

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .019a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis rendah 10 14.60 146.00
Mann-Whitney U 9.000
dosis terapi 10 6.40 64.00 Wilcoxon W 64.000
20
Total Z -3.130

Asymp. Sig. (2-tailed) .002

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis terapi 10 13.40 134.00
Mann-Whitney U 21.000
dosis tinggi 10 7.60 76.00 Wilcoxon W 76.000
20
Total Z -2.242

Asymp. Sig. (2-tailed) .025

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis terapi 10 7.90 79.00
Mann-Whitney U 24.000
cmc na 10 13.10 131.00 Wilcoxon W 79.000
20
Total Z -1.987

Asymp. Sig. (2-tailed) .047

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .052a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 13.50 135.00
Mann-Whitney U 20.000
dosis tinggi 10 7.50 75.00 Wilcoxon W 75.000

Total 20
Z -2.329

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi positif 10 15.15 151.50
Mann-Whitney U 3.500
dosis tinggi 10 5.85 58.50 Wilcoxon W 58.500

Total 20
Z -3.573

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis rendah 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000
20
Total Z -3.841

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis terapi 10 13.40 134.00
Mann-Whitney U 21.000
dosis tinggi 10 7.60 76.00 Wilcoxon W 76.000
20
Total Z -2.242

Asymp. Sig. (2-tailed) .025

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis tinggi 10 5.85 58.50
Mann-Whitney U 3.500
cmc na 10 15.15 151.50 Wilcoxon W 58.500
20
Total Z -3.583

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi negatif 10 10.00 100.00
Mann-Whitney U 45.000
cmc na 10 11.00 110.00 Wilcoxon W 100.000

Total 20
Z -.383

Asymp. Sig. (2-tailed) .702

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .739a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks frekuensi

frekuensi positif 10 11.35 113.50 Mann-Whitney U 41.500

cmc na 10 9.65 96.50 Wilcoxon W 96.500

20 Z -.651
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .515

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .529a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis rendah 10 13.50 135.00
Mann-Whitney U 20.000
cmc na 10 7.50 75.00 Wilcoxon W 75.000
20
Total Z -2.306

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis terapi 10 7.90 79.00
Mann-Whitney U 24.000
cmc na 10 13.10 131.00 Wilcoxon W 79.000
20
Total Z -1.987

Asymp. Sig. (2-tailed) .047

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .052a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
frekuensi
frekuensi dosis tinggi 10 5.85 58.50
Mann-Whitney U 3.500
cmc na 10 15.15 151.50 Wilcoxon W 58.500
20
Total Z -3.583

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

c. Konsistensi

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 8.05 80.50
Mann-Whitney U 25.500
positif 10 12.95 129.50 Wilcoxon W 80.500
Total 20 Z -1.855

Asymp. Sig. (2-tailed) .064

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 7.30 73.00
Mann-Whitney U 18.000
dosis rendah 10 13.70 137.00 Wilcoxon W 73.000

Total 20
Z -2.423

Asymp. Sig. (2-tailed) .015

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .015a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks konsistensi

konsistensi negatif 10 11.20 112.00 Mann-Whitney U 43.000

dosis terapi 10 9.80 98.00 Wilcoxon W 98.000

20 Z -.532
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .595

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .631a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 13.50 135.00
Mann-Whitney U 20.000
dosis tinggi 10 7.50 75.00 Wilcoxon W 75.000

Total 20
Z -2.319

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks konsistensi

konsistensi negatif 10 9.20 92.00 Mann-Whitney U 37.000

cmc na 10 11.80 118.00 Wilcoxon W 92.000

20 Z -.986
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .324

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 8.05 80.50
Mann-Whitney U 25.500
positif 10 12.95 129.50 Wilcoxon W 80.500
Total 20 Z -1.855

Asymp. Sig. (2-tailed) .064

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks konsistensi

konsistensi positif 10 9.50 95.00 Mann-Whitney U 40.000

dosis rendah 10 11.50 115.00 Wilcoxon W 95.000

20 Z -.757
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .449

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .481a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi positif 10 13.95 139.50
Mann-Whitney U 15.500
dosis terapi 10 7.05 70.50 Wilcoxon W 70.500

Total 20
Z -2.620

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi positif 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.808

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi positif 10 12.30 123.00
Mann-Whitney U 32.000
cmc na 10 8.70 87.00 Wilcoxon W 87.000

Total 20
Z -1.363

Asymp. Sig. (2-tailed) .173

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 7.30 73.00
Mann-Whitney U 18.000
dosis rendah 10 13.70 137.00 Wilcoxon W 73.000

Total 20
Z -2.423

Asymp. Sig. (2-tailed) .015

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .015a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi positif 10 9.50 95.00
Mann-Whitney U 40.000
dosis rendah 10 11.50 115.00 Wilcoxon W 95.000

Total 20
Z -.757

Asymp. Sig. (2-tailed) .449

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .481a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis rendah 10 14.15 141.50
Mann-Whitney U 13.500
dosis terapi 10 6.85 68.50 Wilcoxon W 68.500
20
Total Z -2.771

Asymp. Sig. (2-tailed) .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis rendah 10 15.40 154.00
Mann-Whitney U 1.000
dosis tinggi 10 5.60 56.00 Wilcoxon W 56.000
20
Total Z -3.734

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis rendah 10 12.95 129.50
Mann-Whitney U 25.500
cmc na 10 8.05 80.50 Wilcoxon W 80.500
20
Total Z -1.855

Asymp. Sig. (2-tailed) .064

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 11.20 112.00
Mann-Whitney U 43.000
dosis terapi 10 9.80 98.00 Wilcoxon W 98.000

Total 20
Z -.532

Asymp. Sig. (2-tailed) .595

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .631a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks konsistensi

konsistensi positif 10 13.95 139.50 Mann-Whitney U 15.500

dosis terapi 10 7.05 70.50 Wilcoxon W 70.500

20 Z -2.620
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis rendah 10 14.15 141.50
Mann-Whitney U 13.500
dosis terapi 10 6.85 68.50 Wilcoxon W 68.500
20
Total Z -2.771

Asymp. Sig. (2-tailed) .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis terapi 10 14.20 142.00
Mann-Whitney U 13.000
dosis tinggi 10 6.80 68.00 Wilcoxon W 68.000
20
Total Z -2.840

Asymp. Sig. (2-tailed) .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

konsistensi dosis terapi 10 8.70 87.00 Test Statisticsb

cmc na 10 12.30 123.00 konsistensi


20 Mann-Whitney U 32.000
Total
Wilcoxon W 87.000

Z -1.367

Asymp. Sig. (2-tailed) .172

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 13.50 135.00
Mann-Whitney U 20.000
dosis tinggi 10 7.50 75.00 Wilcoxon W 75.000

Total 20
Z -2.319

Asymp. Sig. (2-tailed) .020

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi positif 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.808

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks konsistensi

konsistensi dosis rendah 10 15.40 154.00 Mann-Whitney U 1.000

dosis tinggi 10 5.60 56.00 Wilcoxon W 56.000

20 Z -3.734
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis terapi 10 14.20 142.00
Mann-Whitney U 13.000
dosis tinggi 10 6.80 68.00 Wilcoxon W 68.000
20
Total Z -2.840

Asymp. Sig. (2-tailed) .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis tinggi 10 5.95 59.50
Mann-Whitney U 4.500
cmc na 10 15.05 150.50 Wilcoxon W 59.500
20
Total Z -3.470

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi negatif 10 9.20 92.00
Mann-Whitney U 37.000
cmc na 10 11.80 118.00 Wilcoxon W 92.000

Total 20
Z -.986

Asymp. Sig. (2-tailed) .324

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi positif 10 12.30 123.00
Mann-Whitney U 32.000
cmc na 10 8.70 87.00 Wilcoxon W 87.000

Total 20
Z -1.363

Asymp. Sig. (2-tailed) .173

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis rendah 10 12.95 129.50
Mann-Whitney U 25.500
cmc na 10 8.05 80.50 Wilcoxon W 80.500
20
Total Z -1.855

Asymp. Sig. (2-tailed) .064

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis terapi 10 8.70 87.00
Mann-Whitney U 32.000
cmc na 10 12.30 123.00 Wilcoxon W 87.000
20
Total Z -1.367

Asymp. Sig. (2-tailed) .172

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
konsistensi
konsistensi dosis tinggi 10 5.95 59.50
Mann-Whitney U 4.500
cmc na 10 15.05 150.50 Wilcoxon W 59.500
20
Total Z -3.470

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
d. Onset

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 12.25 122.50
Mann-Whitney U 32.500
positif 10 8.75 87.50 Wilcoxon W 87.500
Total 20 Z -1.326

Asymp. Sig. (2-tailed) .185

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 12.05 120.50
Mann-Whitney U 34.500
dosis rendah 10 8.95 89.50 Wilcoxon W 89.500

Total 20
Z -1.173

Asymp. Sig. (2-tailed) .241

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 10.60 106.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis terapi 10 10.40 104.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20
Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 7.60 76.00
Mann-Whitney U 21.000
dosis tinggi 10 13.40 134.00 Wilcoxon W 76.000

Total 20
Z -2.240

Asymp. Sig. (2-tailed) .025

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks onset

onset negatif 10 11.80 118.00 Mann-Whitney U 37.000

cmc na 10 9.20 92.00 Wilcoxon W 92.000

20 Z -.983
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .325

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 12.25 122.50
Mann-Whitney U 32.500
positif 10 8.75 87.50 Wilcoxon W 87.500
Total 20 Z -1.326

Asymp. Sig. (2-tailed) .185

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Test Statisticsb

onset

Ranks Mann-Whitney U 49.000

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks Wilcoxon W 104.000

Z -.076
onset positif 10 10.40 104.00

10 10.60 106.00 Asymp. Sig. (2-tailed) .940


dosis rendah
20 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a
Total
a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset positif 10 8.40 84.00
Mann-Whitney U 29.000
dosis terapi 10 12.60 126.00 Wilcoxon W 84.000

Total 20
Z -1.592

Asymp. Sig. (2-tailed) .111

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .123a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset positif 10 5.50 55.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 15.50 155.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.816

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Test Statisticsb

Ranks onset

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks Mann-Whitney U 42.000

onset positif 10 9.70 97.00 Wilcoxon W 97.000

10 11.30 113.00 Z -.606


cmc na
20 Asymp. Sig. (2-tailed) .544
Total
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .579a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 12.05 120.50
Mann-Whitney U 34.500
dosis rendah 10 8.95 89.50 Wilcoxon W 89.500

Total 20
Z -1.173

Asymp. Sig. (2-tailed) .241

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset positif 10 10.40 104.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis rendah 10 10.60 106.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20
Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis rendah 10 8.15 81.50
Mann-Whitney U 26.500
dosis terapi 10 12.85 128.50 Wilcoxon W 81.500
20
Total Z -1.777

Asymp. Sig. (2-tailed) .076

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .075a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis rendah 10 6.10 61.00
Mann-Whitney U 6.000
dosis tinggi 10 14.90 149.00 Wilcoxon W 61.000
20
Total Z -3.351

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis rendah 10 9.95 99.50
Mann-Whitney U 44.500
cmc na 10 11.05 110.50 Wilcoxon W 99.500
20
Total Z -.416

Asymp. Sig. (2-tailed) .677

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .684a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 10.60 106.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis terapi 10 10.40 104.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20
Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset positif 10 8.40 84.00
Mann-Whitney U 29.000
dosis terapi 10 12.60 126.00 Wilcoxon W 84.000

Total 20
Z -1.592

Asymp. Sig. (2-tailed) .111

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .123a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis rendah 10 8.15 81.50
Mann-Whitney U 26.500
dosis terapi 10 12.85 128.50 Wilcoxon W 81.500
20
Total Z -1.777

Asymp. Sig. (2-tailed) .076

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .075a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis terapi 10 7.35 73.50
Mann-Whitney U 18.500
dosis tinggi 10 13.65 136.50 Wilcoxon W 73.500

Total 20
Z -2.413

Asymp. Sig. (2-tailed) .016

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .015a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis terapi 10 11.75 117.50
Mann-Whitney U 37.500
cmc na 10 9.25 92.50 Wilcoxon W 92.500

Total 20
Z -.946

Asymp. Sig. (2-tailed) .344

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks onset

onset negatif 10 7.60 76.00 Mann-Whitney U 21.000

dosis tinggi 10 13.40 134.00 Wilcoxon W 76.000

20 Z -2.240
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .025

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset positif 10 5.50 55.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 15.50 155.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.816

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis rendah 10 6.10 61.00
Mann-Whitney U 6.000
dosis tinggi 10 14.90 149.00 Wilcoxon W 61.000
20
Total Z -3.351

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis terapi 10 7.35 73.50
Mann-Whitney U 18.500
dosis tinggi 10 13.65 136.50 Wilcoxon W 73.500

Total 20
Z -2.413

Asymp. Sig. (2-tailed) .016

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .015a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis tinggi 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
cmc na 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.810

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset negatif 10 11.80 118.00
Mann-Whitney U 37.000
cmc na 10 9.20 92.00 Wilcoxon W 92.000

Total 20
Z -.983

Asymp. Sig. (2-tailed) .325

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset positif 10 9.70 97.00
Mann-Whitney U 42.000
cmc na 10 11.30 113.00 Wilcoxon W 97.000

Total 20
Z -.606

Asymp. Sig. (2-tailed) .544

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .579a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis rendah 10 9.95 99.50
Mann-Whitney U 44.500
cmc na 10 11.05 110.50 Wilcoxon W 99.500
20
Total Z -.416

Asymp. Sig. (2-tailed) .677

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .684a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis terapi 10 11.75 117.50
Mann-Whitney U 37.500
cmc na 10 9.25 92.50 Wilcoxon W 92.500

Total 20
Z -.946

Asymp. Sig. (2-tailed) .344

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
onset
onset dosis tinggi 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
cmc na 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.810

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

e. Durasi

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 8.75 87.50
Mann-Whitney U 32.500
positif 10 12.25 122.50 Wilcoxon W 87.500
Total 20 Z -1.326

Asymp. Sig. (2-tailed) .185

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 8.95 89.50
Mann-Whitney U 34.500
dosis rendah 10 12.05 120.50 Wilcoxon W 89.500

Total 20
Z -1.173

Asymp. Sig. (2-tailed) .241

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks durasi

durasi negatif 10 10.40 104.00 Mann-Whitney U 49.000

dosis terapi 10 10.60 106.00 Wilcoxon W 104.000

20 Z -.076
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 13.40 134.00
Mann-Whitney U 21.000
dosis tinggi 10 7.60 76.00 Wilcoxon W 76.000

Total 20
Z -2.240

Asymp. Sig. (2-tailed) .025

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 9.20 92.00
Mann-Whitney U 37.000
cmc na 10 11.80 118.00 Wilcoxon W 92.000

Total 20
Z -.983

Asymp. Sig. (2-tailed) .325

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 8.75 87.50
Mann-Whitney U 32.500
positif 10 12.25 122.50 Wilcoxon W 87.500
Total 20 Z -1.326

Asymp. Sig. (2-tailed) .185

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .190a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 10.60 106.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis rendah 10 10.40 104.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20
Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 12.60 126.00
Mann-Whitney U 29.000
dosis terapi 10 8.40 84.00 Wilcoxon W 84.000

Total 20
Z -1.592

Asymp. Sig. (2-tailed) .111

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .123a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.816

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 11.30 113.00
Mann-Whitney U 42.000
cmc na 10 9.70 97.00 Wilcoxon W 97.000

Total 20
Z -.606

Asymp. Sig. (2-tailed) .544

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .579a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks durasi

durasi negatif 10 8.95 89.50 Mann-Whitney U 34.500

dosis rendah 10 12.05 120.50 Wilcoxon W 89.500

20 Z -1.173
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .241

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 10.60 106.00
Mann-Whitney U 49.000
dosis rendah 10 10.40 104.00 Wilcoxon W 104.000

Total 20
Z -.076

Asymp. Sig. (2-tailed) .940

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi dosis rendah 10 12.85 128.50
Mann-Whitney U 26.500
dosis terapi 10 8.15 81.50 Wilcoxon W 81.500
20
Total Z -1.777

Asymp. Sig. (2-tailed) .076

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .075a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi dosis rendah 10 14.90 149.00
Mann-Whitney U 6.000
dosis tinggi 10 6.10 61.00 Wilcoxon W 61.000
20
Total Z -3.351

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN b
Ranks Test Statistics
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks durasi

durasi dosis rendah 10 11.05 110.50 Mann-Whitney U 44.500

cmc na 10 9.95 99.50 Wilcoxon W 99.500

20 Z -.416
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .677

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .684a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test
perlakuan Stati
sticsb
durasi negatif

dosis terapi
Mann-Whitney U
Total Wilcoxon W 1

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

a.
N
ot
co
rr
ec
te
d
fo
r
ti
es
.

b.
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
Grouping Variable:
perlakuan TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks Test Statistics b

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks durasi

durasi positif 10 12.60 126.00 Mann-Whitney U 29.000

dosis terapi 10 8.40 84.00 Wilcoxon W 84.000

20 Z -1.592
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .111

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .123a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test
perlakuan Stati
stics
b
durasi dosis rendah

dosis terapi
Mann-Whitney U 2
Total
Wilcoxon W 8

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

a.
N
o
t
c
o
rr
e
ct
e
d
f
o
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
r ties.
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
b. Grouping Variable:
perlakuan
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks Test Statistics b

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks durasi

durasi dosis terapi 10 13.65 136.50 Mann-Whitney U 18.500

dosis tinggi 10 7.35 73.50 Wilcoxon W 73.500

20 Z -2.413
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .016

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .015a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks

perlakuan Test
Stati
durasi dosis terapi sticsb

cmc na

Total Mann-Whitney U
Wilcoxon W

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

a.
N
ot
co
rr
ec
te
d
fo
r
ti
es
.
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
b. Grouping Variable:
perlakuan TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 13.40 134.00
Mann-Whitney U 21.000
dosis tinggi 10 7.60 76.00 Wilcoxon W 76.000

Total 20
Z -2.240

Asymp. Sig. (2-tailed) .025

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 15.50 155.00
Mann-Whitney U .000
dosis tinggi 10 5.50 55.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.816

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi dosis rendah 10 14.90 149.00
Mann-Whitney U 6.000
dosis tinggi 10 6.10 61.00 Wilcoxon W 61.000
20
Total Z -3.351

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi dosis terapi 10 13.65 136.50
Mann-Whitney U 18.500
dosis tinggi 10 7.35 73.50 Wilcoxon W 73.500
20
Total Z -2.413

Asymp. Sig. (2-tailed) .016

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .015a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi dosis tinggi 10 5.50 55.00
Mann-Whitney U .000
cmc na 10 15.50 155.00 Wilcoxon W 55.000

Total 20
Z -3.810

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi negatif 10 9.20 92.00
Mann-Whitney U 37.000
cmc na 10 11.80 118.00 Wilcoxon W 92.000

Total 20
Z -.983

Asymp. Sig. (2-tailed) .325

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK

Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi positif 10 11.30 113.00
Mann-Whitney U 42.000
cmc na 10 9.70 97.00 Wilcoxon W 97.000

Total 20
Z -.606

Asymp. Sig. (2-tailed) .544

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .579a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks Test Statisticsb


durasi dosis rendah 10 11.05 110.50
durasi
cmc na 10 9.95 99.50
Mann-Whitney U 44.500
20 Wilcoxon W 99.500
Total

Z -.416

Asymp. Sig. (2-tailed) .677

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .684a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
Ranks
Test Statisticsb
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
durasi
durasi dosis terapi 10 9.25 92.50
Mann-Whitney U 37.500
cmc na 10 11.75 117.50 Wilcoxon W 92.500
20
Total Z -.946

Asymp. Sig. (2-tailed) .344

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .353a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks Test Statisticsb

perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks durasi

durasi dosis tinggi 10 5.50 55.00 Mann-Whitney U .000

cmc na 10 15.50 155.00 Wilcoxon W 55.000

20 Z -3.810
Total
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan


161
PPLLAAGGIIAATT MMEERRUUPPAAKKAANN
TTIINNDDAAKKAANN TTIIDDAAKK
TTEERRPPUUJJII
BIOGRAFI PENULIS

Penulis dilahirkan di Kab. Semarang pada tanggal 29

September 1987, merupakan anak pertama dari dua

bersaudara dari pasangan Bapak Agoes Sarwono dan Ibu

Pujiah Theresia yang diberi nama Katarina Gayatri

Wulansari. Penulis menempuh pendidikan di SD Kanisius

Bedono pada tahun 1993 – 1999.

Pada tahun 1999 – 2002 menempuh pendidikan di SLTP

Pangudi Luhur Ambarawa, kemudian melanjutkkan ke SMU Negeri 1 Ungaran dan

tamat pada tahun 2005. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menempuh kuliah, penulis aktif

dalam kepanitiaan di tingkat fakultas (Sie. Dana dan Usaha REAKSI 2005,

Koordinator Humas Seminar GLUTATION 2006, Sie. Dana dan Usaha PEC 2006,

Anggota aktif JMKI 2007, Koordinator Konsumsi Pelepasan Wisuda Fakultas 2007,

Sie. Kesekretariatan TITRASI 2007, Sie. Pendaftaran Seminar Nasional

SITOSTATIKA 2007). Pada semester 6 dan 7 sebagai asisten dosen untuk mata

kuliah praktikum Farmakologi Dasar dan Toksikologi Dasar. Pada tahun 2008

menjadi mahasiswa berprestasi dengan ikut serta dalam Program Kreatifitas

Mahasiswa Penelitian (PKMP) Dikti 2008 sebagai ketua team. Juli 2009 menjadi

panitia dalam acara pesta Jubelium Serikat Yesus ke 150.

Anda mungkin juga menyukai