Anda di halaman 1dari 124

UJI AKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL

KOMBINASI EKSTRAK DAUN KEMUNING


(Murraya paniculata L Jack) DAN EKSTRAK
DAUN KELOR (Moringa oleifera, L)
SEBAGAI ANTIBAKTERI
TERHADAP BAKTERI
Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Oleh:
DESTIAWAN GALANG RAMADAN
1713206004

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES KARYA PUTRA BANGSA
TULUNGAGUNG
JULI 2020
UJI AKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL
KOMBINASI EKSTRAK DAUN KEMUNING
(Murraya paniculata L Jack) DAN EKSTRAK
DAUN KELOR (Moringa oleifera, L)
SEBAGAI ANTIBAKTERI
TERHADAP BAKTERI
Staphylococcus aureus

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi S1 Farmasi
STIKes Karya Putra Bangsa Tulungagung

Oleh:
DESTIAWAN GALANG RAMADAN
1713206004

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES KARYA PUTRA BANGSA
TULUNGAGUNG
2020

ii
UJI AKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL
KOMBINASI EKSTRAK DAUN KEMUNING
(Murraya paniculata L Jack) DAN EKSTRAK
DAUN KELOR (Moringa oleifera, L)
SEBAGAI ANTIBAKTERI
TERHADAP BAKTERI
Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Yang diajukan oleh:

DESTIAWAN GALANG RAMADAN


1713206004

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

apt. Amalia Eka Putri, M.Farm. apt. Drs. Ary Kristijono, M.Farm
NIDN 07.28.12.92.01 NIP 19.63.01.22

iii
UJI AKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL
KOMBINASI EKSTRAK DAUN KEMUNING
(Murraya paniculata L Jack) DAN EKSTRAK
DAUN KELOR (Moringa oleifera, L)
SEBAGAI ANTIBAKTERI
TERHADAP BAKTERI
Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Yang diajukan oleh:


DESTIAWAN GALANG RAMADAN
1713206004
Telah lolos uji ettik penelitian dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji
Skripsi Program Studi S1 Farmasi STIKes Karya Putra Bangsa
Tanggal: 27 juli 2021

Ketua Penguji : apt. Amalia Eka Putri, M.Farm. (…………………………)

Anggota Penguji : 1. apt. Drs. Ary Kristijono, M.Farm. (…………………………)

: 2. apt. Dara Pranidya Tilarso, M.Farm. (…………………………)

: 3. apt. Choirul Huda, M.Farm. (…………………………)

Mengetahui,
Ketua STIKes Karya Putra Bangsa

Dr. Denok Sri Utami, M.H


NIDN. 07.050966.01

iv
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan diterbitkan dalam daftar pustaka.

Tulungagung, Agustus 2021


Penulis,

Destiawan Galang Ramadan

v
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan yang pertama untuk diri saya sendiri,
terimakasih sudah sampai pada titik ini. Titik dimana sebelumnya belum pernah
saya bayangkan, terimakasih sudah berjuang, berusaha meskipun malas-malasan.
Melewati begitu banyak cobaan , semoga usaha ini tidak menghianati hasil.
Skripsi ini yang kedua saya persembahkan untuk bapak, ibuk dan keluarga besar
saya yang pada akhir-akhir SMA selalu bilang kuliah, kuliah, kuliah, kuliah, dan
kuliah. Pak buk, ini untuk kalian. Terimakasih banyak atas segalanya, terimakasih
sudah menjadi super hero, terimakasih sudah menjadi malaikat, terimakasih sudah
menjadi sponsor utama. Mohon maaf saya belum bisa memberikah apapun kecuali
naskah skripsi ini. Selangkah lagi, saya sudah memenuhi janji saya dan memenuhi
keinginan kalian.

vi
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya yang telah memberi karunia, petunjuk, dan kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini yang berjudul “Sediaan gel
kombinasi ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata (L)) ekstrak daun kelor
(Moringa oleifera, L) sebagai antibakteri staphylococcus aureus”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Farmasi
di STIKes Karya Putra Bangsa Tulungagung.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, penyusunan proposal penelitian ini tidak akan terselesaikan. Oleh karena
itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya
kepada:
1. Allah SWT yang senantiasa bersama penulis baik dalam suka maupun
duka, yang selalu ada dan memudahkan penulis bagaimanapun keadaan
penulis.
2. dr. Denok Sri Utami M.H selaku Ketua STIKes Karya Putra Bangsa
Tulungagung.
3. Apt. Ary Kristijono, M.Farm. selaku Kemahasiswaan STIKes Karya Putra
Bangsa Tulungagung.
4. Apt. Dara Pranidya Tilarso, M.Farm. selaku Kaprodi S1 Farmasi STIKes
Karya Putra Bangsa Tulungagung.
5. Apt. Amalia Eka Putri, M.Farm. selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, ilmu, dan pengarahan dalam menyelesaikan
proposal penelitian ini.
6. Apt. Ary Kristijono, M.Farm. selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, ilmu, dan pengarahan dalam menyelesaikan
proposal penelitian ini.
7. Bapak/Ibu Dosen Program Studi S1 Farmasi beserta Staf Karyawan
STIKes Karya Putra Bangsa Tulungagung yang telah memberikan
dukungan, nasehat, motivasi, bekal ilmu dan pengetahuan kepada penulis.
8. Kedua orang tua tercinta, malaikat yang nyata dalam dunia, Bapak Khotip
dan Ibu Ismiati serta keluarga besar atas doa dan kasih sayangnya,
dukungan moril maupun materil kepada penulis sehingga skripsi penelitian
ini dapat terselesaikan. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan
pengaruh kedua orang tua dalam kehidupan. Sekali lagi terimakasih
sponsor utama.

vii
9. Teman-teman seperjuangan Program Studi S1 Farmasi angkatan 2017
yang selalu bersama dalam suka maupun duka selama 4 tahun kuliah ini
dan telah membantu memberikan masukan dan dukungan hingga skripsi
penelitian ini dapat terselesaikan. Saya benar-benar bangga pernah
menemui orang-orang hebat seperti kalian.
10. Untuk wanitaku Ainun Puspita Restanti Dewi yang selalu memberi
dukungan, motivasi, semangat dalam penyusunan skripsi penelitian ini
mulai perancangan judul hingga dapat terselesaikan.
11. Serta untuk pihak – pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu yang telah memberikan doa, dukungan, semangat, bantuan yang telah
penulis terima baik psikis maupun nampak hingga terwujudnya skripsi
penelitian ini, penulis sangat menyayangi kalian.
Atas bantuan dan segala amal baik yang telah diberikan, semoga Allah
SWT membalas dengan pahala yang setimpal, dengan sesuatu yang baik. Besar
harapan dari penulis semoga skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi penelitian ini masih jauh
dari kata sempurna dan tidak lepas dari kesalahan, maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam membantu
menyempurnakan skripsi penelitian ini. Semoga skripsi penelitian ini dapat
berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di dunia kefarmasian dan
masyarakat luas.
Wassalamu,alaikum Wr. Wb.

Tulungagung, Juli 2020

Penulis

Destiawan Galang Ramadan

viii
ix
DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................................... i
Halaman Cover Dalam..................................................................................... ii
Lembar Persetujuan Skripsi.............................................................................. iii
Lembar Pengesahan Skipsi............................................................................... iv
Lembar Pernyataan........................................................................................... v
Lembar persembahan........................................................................................ vi
Kata Pengantar.................................................................................................. vii
Daftar Isi........................................................................................................... ix
Daftar Tabel...................................................................................................... xiii
Daftar Gambar.................................................................................................. xiv
Daftar Lampiran................................................................................................ xv
Lembar Intisari.................................................................................................. xvi
Lembar Abstract............................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 5
2.1 Kulit......................................................................................... 5
2.1.1 Anatomi Kulit.............................................................. 5
2.1.2 Fungsi Kulit................................................................. 5
2.2 Tanaman Kemuning................................................................. 6
2.2.1 Klasifikasi.................................................................... 6
2.2.2 Morfologi Kemuning................................................... 7
2.2.3 Kandungan................................................................... 7
2.3 Tanaman Kelor (Moringa oleifera, Lamk).............................. 10
2.3.1 Klasifikasi tanaman kelor............................................ 10
2.3.2 Morfologi Tumbuhan................................................... 10
2.3.3 Kandungan Tumbuhan................................................. 11
2.4 Simplisia.................................................................................. 11
2.4.1 Definisi......................................................................... 11
2.4.2 Jenis............................................................................. 11
2.5 Syarat....................................................................................... 12
2.6 Pembuatan Simplisia................................................................ 13
2.6.1 Sortasi Basah................................................................ 13
2.6.2 Pencucian..................................................................... 13

x
2.6.3 Perajangan.................................................................... 13
2.6.4 Pengeringan................................................................. 13
2.6.5 Sortasi Kering.............................................................. 14
2.6.6 Penyimpanan................................................................ 14
2.7 Serbuk dan Kadar Air Simplisia.............................................. 14
2.8 Metode Ektraksi....................................................................... 15
2.8.1 Cara dingin................................................................... 16
2.8.2 Cara panas.................................................................... 17
2.9 Pelarut...................................................................................... 17
2.9.1 Aquadest...................................................................... 18
2.9.2 Etanol........................................................................... 18
2.9.3 N-heksana.................................................................... 19
2.9.4 Diklorometana............................................................. 19
2.10 Gel......................................................................................... 20
2.10.1 Syarat-syarat Sediaan Gel............................................ 20
2.10.2 Kelebihan gel............................................................... 22
2.10.3 Kekurangan gel............................................................ 21
2.10.4 Bahan Pembentuk Gel................................................. 22
2.11 Uji Fisik Sediaan Gel............................................................. 23
2.11.1 Uji Organoleptis........................................................... 23
2.11.2 Uji PH.......................................................................... 23
2.11.3 Uji Viskositas............................................................... 23
2.11.4 Uji Homogenitas.......................................................... 23
2.11.5 Uji Daya Sebar............................................................. 24
2.11.6 Uji Daya Proteksi......................................................... 24
2.11.7 Uji Daya Lekat............................................................. 24
2.12 Bakteri................................................................................... 24
2.12.1 Definisi Bakteri............................................................ 24
2.12.2 Penggolan Bakteri........................................................ 25
2.13 Staphylococcus aureus.......................................................... 25
2.13.1 Klasifikasi.................................................................... 25
2.13.2 Morflogi....................................................................... 26
2.14 Antibakteri............................................................................. 26
2.15 Antiseptik ............................................................................ 28
2.16 Uji Aktivitas Antibakteri....................................................... 29
2.17 Hipotesis................................................................................ 31
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Bahan....................................................................................... 32
3.2 Alat........................................................................................... 32
3.3 Populasi Penelitian................................................................... 32

xi
3.4 Sampel Penelitian.................................................................... 32
3.5 Variabel Penelitian................................................................... 32
3.5.1 Variabel Bebas............................................................. 33
3.5.2 Variabel Kontrol.......................................................... 33
3.5.3 Variabel Terikat........................................................... 33
3.6 Prosedur Penelitian.................................................................. 33
3.6.1 Determinasi Tanaman.................................................. 33
3.6.2 Pengambilan Sampel.................................................... 33
3.6.3 Pembuatan Simplisia.................................................... 34
3.6.4 Uji Kadar Air Serbuk Simplisia................................... 34
3.6.5 Pembuatan Ekstrak Daun Kemuning dan Ekstrak
Daun Kelor Metode Maserasi.................................... 35
3.6.6 Pemeriksaan Randemen Ekstrak.................................. 35
3.7 Skrining Fitokimia................................................................... 35
3.7.1 Flavonoid..................................................................... 36
3.7.2 Alkaloid....................................................................... 36
3.8 Sterilisasi Alat dan Bahan.................................................... 36
3.9 Pembuatan Media................................................................. 36
3.9.1 Pembuatan Media Nutrient Broth (NB)....................... 36
3.9.2 Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)........................ 37
3.10 Uji Identifikasi Bakteri......................................................... 37
3.10.1 Pewarnaan Gram...................................................... 37
3.10.2 Peremajaan Bakteri................................................... 38
3.10.3 Pembuatan Suspensi Bakteri.................................... 38
3.10.4 Peremajaan Bakteri................................................... 38
3.11 Uji Antibakteri Variasi Konsentrasi Ekstrak........................ 39
3.12 Formulasi Sediaan Gel......................................................... 39
3.13 Pembuatan Sediaan Gel........................................................ 40
3.14 Uji Aktivitas Antibakteri...................................................... 42
3.15 Jalan penelitian..................................................................... 43
3.16 Kerangka Penelitian............................................................. 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi Tanaman........................................................... 46
4.2 Pemeriksaan Karakteristik.................................................... 46
4.2.1 Uji Kadar Air Simplisia............................................ 46
4.3 Pembuatan Esktrak Daun Kemuning dan Daun Kelor......... 47
4.4 Skrining Fitokimia................................................................ 49
4.4.1 Skrining Fitokimia Ekstrak....................................... 49
4.5 Uji Identifikasi Bakteri......................................................... 51

xii
4.6
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Kemuning dan
Daun Kelor...........................................................................
4.7 Evaluasi Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan Daun
Kelor.....................................................................................
4.7.1 Uji Organoleptis....................................................... 58
4.7.2 Uji pH....................................................................... 58
4.7.3 Uji Homogenitas....................................................... 60
4.7.4 Uji Viskositas........................................................... 60
4.7.5 Uji Daya Sebar......................................................... 62
4.7.6 Uji Daya Lekat......................................................... 63
4.7.7 Uji Daya Proteksi..................................................... 64
4.8 Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Gel Ekstrak Daun
Kemuning dan Daun Kelor Terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus.........................................................
4.9 Analisis Statistika................................................................. 69
4.9.1 Normalitas Data........................................................ 69
4.9.2 Uji Homogenitas....................................................... 69
4.9.3 Uji One Way Anova................................................. 70
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan........................................................................... 70
5.2 Saran..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 71

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi serbuk berdasarkan derajat halus................................... 15


Tabel 2.2 Kategori respon hambatan pertumbuhan bakteri berdasarkan
diameter zona hambat......................................................................
Tabel 3.1 Formulasi standart............................................................................ 39
Tabel 3.2 Formulasi Modifikasi Sediaan Gel................................................... 40
Tabel 4.1 Uji Kadar Air Simplia Serbuk.......................................................... 46
Tabel 4.2 Hasil rendemen ekstrak daun kemuning dan daun kelor.................. 48
Tabel 4.3 Hasil skrining fitokimia ekstrak daun kemuning dan daun kelor..... 49
Tabel 4.4 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak............................................... 53
Tabel 4.5 Hasil Uji Pos Hoc dengan metode Tukey HSD................................ 54
Tabel 4.6 Hasil Uji Organoleptis Sediaan Gel.................................................. 59
Tabel 4.7 Hasil Uji pH sediaan gel ekstrak daun kemuning dan daun kelor.... 59
Tabel 4.8 Hasil uji homogenitas....................................................................... 61
Tabel 4.9 Hasil uji viskositas............................................................................ 61
Tabel 4.10 Hasil uji daya sebar......................................................................... 62
Tabel 4.11 Hasil uji daya lekat......................................................................... 63
Tabel 4.12 Hasil uji daya proteksi.................................................................... 64
Tabel 4.13 Hasil zona hambat sediaan gel........................................................ 64
Tabel 4.14 Hasil Uji Pos Hoc dengan metode Tukey HSD............................... 66
Tabel 4.15 Uji normalitas data.......................................................................... 69
Tabel 4.16 Hasil uji homogenitas data............................................................. 69
Tabel 4.17 Hasil uji one way anova.................................................................. 70

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur kulit................................................................................. 5


Gambar 2.2 Tanaman Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack).................... 7
Gambar 2.3 Daun Kelor.................................................................................... 10
Gambar 2.3 Bakteri Staphylococcus aureus..................................................... 25
Gambar 4.1 Hasil uji identifikasi bakteri S. Aureus uji pewarnaan Gram dan
Hasil Uji media MSA...................................................................
Gambar 4.2 Hasil pengamatan uji antibakteri ekstrak...................................... 57
Gambar 4.3 Grafik daya hambat ekstrak.......................................................... 58
Gambar 4.4 Uji Organoleptis............................................................................ 59
Gambar 4.5 Grafik pengukursn pH sediaan gel selama 4 minggu................... 60
Gambar 4.6 Uji Homogenitas........................................................................... 61
Gambar 4.7 Grafik pengukuran viskositas sediaan gel.................................... 62
Gambar 4.8 Grafik dari pengukuran uji daya sebar.......................................... 63
Gambar 4.9 Grafik pengukuran uji daya lekat.................................................. 64
Gambar 4.10 Grafik pengukuran aktivitas antibakteri sediaan gel................... 66

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Pernyataan dari CV. Herbal Anugrah Alam...................


Lampiran 2. Hasil Determinasi (Murraya paniculata (L.) Jack) dan
(Moringa oleifera, L)................................................................
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian............................................................
Lampiran 4. Kerangka Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi
Cakram......................................................................................
Lampiran 5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri.................................................
Lampiran 6. Perhitungan Pembuatan Media.................................................
Lampiran 7. Perhitungan Bahan Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan
Daun kelor.................................................................................
Lampiran 8. Hasil Uji Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan Daun
Kelor..........................................................................................
Lampiran 9. Hasil Analisis Hasil...................................................................
Lampiran 10. Kerangka Penelitian..................................................................
Lampiran 11. Alur Prosedur Kerja..................................................................
Lampiran 12. Jadwal Penelitian.......................................................................

xvi
UJI AKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL
KOMBINASI EKSTRAK DAUN KEMUNING
(Murraya paniculata L Jack) DAN EKSTRAK
DAUN KELOR (Moringa oleifera, L)
SEBAGAI ANTIBAKTERI
TERHADAP BAKTERI
Staphylococcus aureus

Destiawan Galang R
Prodi S1 Farmasi

INTISARI

Daun kemuning (Murraya paniculata L Jack) dan daun kelor (Moringa oleifera,
L) dipercaya mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri S.aureus. Aktivitas
antibakteri tersebut dikarenakan adanya kandungan senyawa aktif berkhasiat yang
terdapat di dalamnya. Salah satu obat antibakteri berbentuk topikal adalah gel. Gel
adalah bentuk sediaan semi padat yang mengandung zat pembentuk gel yang
ditujukan untuk pemakaian luar. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas
antibakteri ekstrak daun kemuning yang dikombinasikan dengan daun kelor dan
efektivitas antibakteri sediaan gel kombinas daun kemuning dan daun kelor
dalam menghambat pertumbuhan S.aureus. Metode penyarian ekstrak yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan metode maserasi dengan pelarut etanol
96%. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 1:1, 1:2, dan 2:1. Setiap
konsentrasi tersebut dilakukan uji aktivitas antibakterinya dan sediaan gel diuji
efektivitasnya terhadap S.aureus dengan menggunakan metode difusi kertas
cakram. Data dianalisis dengan Anova one way test. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ekstrak konsentrasi 1:2 memiliki aktivitas antibakteri sangat kuat dengan
rata-rata zona hambat sebesar 23,6 mm. Sediaan gel kombinasi daun kemuning
dan daun kelor mempunyai efektivitas antibakteri yang sangat kuat dengan rata-
rata zona hambat sediaan gel sebesar 24,20 mm perbandingan kontol positif
dengan rata-rata zona hambat sebesar 17,66 mm.

Kata kunci: daun kemuning, dan daun kelor, Staphylococcus aureus (S.aureus),
antibakteri.

xvii
TEST THE ACTIVITY AND EFFECTIVENESS OF GEL
PREPARATION COMBINATION KEMUNING LEAF
EXTRACT (Murraya paniculata L Jack) AND
MORINGA LEAF EXTRACT (Moringa
oleifera, L) AS ANTIBACTERIAL ON
BACTERIA Staphylococcus aureus

Destiawan Galang R
S1 Pharmacy Study Program

ABSTRACT

Kemuning leaves (Murraya paniculata L Jack) and moringa leaves (Moringa


oleifera, L) are believed to have antibacterial activity against bacteria S.aureus.
Antibacterial activity is due to the content of efficacious active compounds
contained in it. One of the topical antibacterial drugs is gel. Gel is a semi solid
dosage form containing gel-forming substances intended for external use. This
study aims to test the antibacterial activity of kemuning leaf extract combined
with moringa leaves and the effectiveness of antibacterial preparations of gels
combining kemuning leaves and moringa leaves in inhibiting the growth of
S.aureus. The extract method used in this study is a maceration method with
ethanol solvent 96%. The concentrations of extracts used are 1:1, 1:2, and 2:1.
Each concentration is conducted antibacterial activity test and gel preparations are
tested effectiveness against S.aureus using disc paper diffusion method. The
data was analyzed with Anova one way test. The results showed that extract
concentrations of 1:2 have very strong antibacterial activity with an average bland
zone of 23.6 mm. Gel preparations combination of kemuning leaves and moringa
leaves have a very strong antibacterial effectiveness with an average gel
preparation bonding zone of 24.20 mm positive dick comparison with an average
tasteless zone of 17.66 mm.

Keywords: kemuning leaves, and moringa leaves, Staphylococcus aureus


(S.aureus), antibacterial.

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi ialah satu di antara beberapa permasalahan kesehatan
terutama pada beberapa negara berkembang seperti Indonesia (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Penyakit kulit di Indonesia pada umumnya lebih banyak
disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, parasit, dan penyakit dasar alergi (Siregar,
2015). Kulit menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai
pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar (Tranggono,
2007). Kulit merupakan pertahanan utama terhadap bakteri dan apabila kulit tidak
lagi utuh, maka menjadi sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, protozoa dan beberapa kelompok minor lain (mikoplasma,
riketsia dan klamidia). Bakteri Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan
bakteri yang paling sering ditemukan di kulit (Gould et al., 2003). Bakteri S.
aureus dapat menyebabkan beberapa penyakit diantaranya bisul, jerawat,
pneumonia, meningitis, dan arthritits. Sebagian besar penyakit yang disebabkan
oleh bakteri ini memproduksi nanah (Madigan et al., 2008).
S.aureus ialah satu diantara beberapa bakteri Gram positif berwujud
kokus yang merupakan bakteri patogen bagi manusia. S.aureus adalah penyebab
70% kasus infeksi nosocomial (Yuni et al., 2013). S.aureus mampu
mengakibatkan infeksi dalam kulit juga jaringan lunak dengan invasif misalnya
meningitis, endokarditis, osteomielitis, dan pneumonia. S.aureus ialah bakteri
yang sudah kerap resisten dengan sebagian antibiotik di antaranya golongan β
laktamase, nafsilin, metisilin, vankomisin, dan oksasilin (Yuni et al., 2013).
Pengobatan utama infeksi yang dikarenakan oleh bakteri yakni melalui
penggunaan antibakteri. Menurut Sartika et al (2013) menyatakan bahwa
antibakteri merupakan suatu zat yang berfungsi untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan dan reproduksi dari suatu jenis bakteri. Obat
antibakteri yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
aktivitas suatu jenis bakteri biasanya diperoleh dari hasil sintesis kimia yang

1
2

dikenal dengan sebagai antibiotik. Kesalahan dalam penggunaan antibiotik dalam


jumlah yang berlebihan akan menimbulkan resistensi terhadap bakteri dan
menimbulkan reaksi toksik lainnya (Brooks et al., 2013). Permasalahan akibat
penggunaan antibakteri topikal meliputi resistensi bakteri dan sensitisasi akibat
adanya kontak. Antibakteri topikal yang digunakan secara luas dapat
menyebabkan toksisitas sistemik (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015). Salah
satu obat antibakteri berbentuk topikal adalah gel.
Gel adalah bentuk sediaan semi padat yang mengandung zat pembentuk
gel (gelling agent) untuk memberikan kekakuan pada larutan atau dispersi koloid
yang digunakan untuk pemakaian luar pada kulit (Mayba & Gooderham, 2018).
Sediaan gel banyak dipilih karena sangat mudah diaplikasikan (mudah merata,
meresap dan dibersihkan) serta lebih menarik (transparan) dibanding dengan
sediaan topikal lainnya. Selain itu, sediaan gel tidak lengket, membarikan sensasi
dingin, dan relatif stabil sehingga memilki potensi lebih baik untuk formulasi
sediaan topikal (Panjaitan et al., 2012 dalam Sayuti, 2015). Pertimbangan
keunggulan sediaan gel dalam penggunaan topikal tersebut maka dilakukan
penelitian dengan tujuan mengembangkan formula gel dengan bahan aktif ekstrak
kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) dan ekstrak daun kelor (Moringa
oleifera, L). Menurut penelitian Dessi (2018) dan Lusi et al (2016), tanaman ini
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S.aureus.
Daun kemuning mempunyai aktivitas antimikroba pada bakteri S.aureus
pada konsentrasi 5% (12 mm), 10% (14 mm), 15% (15,6 mm), 20% (17 mm), dan
25% (19,3 mm)  (Dessi,2018) . Daya anti bakteri dalam daun kemuning
diakibatkan oleh aktivitas pada kandungan alkaloid, saponin, tannin (Kartika,
2007). Fenolik serta flavonoid (Gautam et al., 2012). Senyawa tannin (Ajizah,
2004). Menurut penelitian lain menyatakan bahwa daun kemuning mengandung
senyawa kimia yang merupakan metabolit sekunder seperti minyak atsiri,
alkaloid, flavoniod, saponin, damar dan tanin (Windono, 2002). Senyawa
metabolit sekunder yang terkandung di tanaman kemuning dilaporkan dalam
beberapa karya ilmiah mempunyai aktivitas biologis sebagai obat anestesi,
sedatif, antipiretik dan antibakteri terhadap S.aureus (Darlimartha, 2002).
3

Daun Kelor mengandung zat fitokimia yang membuat tanaman mampu


melakukan mekanisme pertahanan diri. Fitokimia yang dikandung diantarannya
tanin katekol, tanin galia, steroid, triterpenoid, flavonoid, saponin, antrakuinon,
alkaloid, dan gula pereduksi. Senyawa tersebut mempunyai kemampuan sebagai
obat, manfaatnya yaitu sebagai detoksifikasi dan pemurnian air, antibiotik,
perawatan kulit, antiinflamasi, bisul, tekanan darah, diabetes dan anemia
(Mardiana, 2012). Daun kelor dapat mengahmbat pertumbuhan bakteri S.aureus
pada konsentrasi 5% (12.16mm), 10% (13.66mm), 20% (16.00mm), 40%
(18.66mm), dan 80% (20.50mm) (Lusi et al., 2016).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui aktivitas
antibakteri daun kemuning yang dikombinasikan dengan daun kelor dalam
menghambat bakteri S.aureus dan untuk mengetahui efektivitas sediaan gel
kombinasi daun kemuning dan daun kelor dalam menghambat bakteri S.aureus.
Penelitian ini diharapkan diperoleh zona hambat aktivitas antibakteri ekstrak daun
kemuning yang dikombinasikan dengan daun kelor, efektivitas sediaan gel
kombinasi daun kemuning dan daun kelor dan sediian gel memiliki stabilitas fisik
yang baik.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Variasi konsentrasi kombinasi manakah yang memiliki aktivitas
antibakteri terbaik terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus ?
1.2.2 Apakah gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan ekstrak Daun kelor
mempunyai stabilitas fisik yang baik?
1.2.3 Apakah sediaan gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan daun kelor
memiliki efektivitas terhadap bakteri S.aureus?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengetahui variasi konsentrasi terbaik dari kombinasi ekstrak daun
kemuning dengan ekstrak daun kelor yang mampu menghambat bakteri S.aureus
untuk dijadikan sediaan gel.
4

1.3.2 Mengetahui sediaan gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan ekstrak
daun kelor yang mempunyai stabilitas fisik yang baik.
1.3.3 Mengetahui sediaan gel kombinasi kombinasi daun kemuning dan daun
kelor memiliki efektivitas terhadap bakteri S.aureus.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian berikut untuk memenuhi tugas akhir sebagai persyaratan untuk
kelulusan S1 Farmasi dan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan
mengenai manfaat bahan alam yang dapat dijadikan sebagai sediaan.
1.4.2 Bagi Instansi
Penelitian berikut dikehendaki mampu memberikan informasi ilmiah
terkait daun kemuning yang dikombinasikan dengan daun kelor sebagai bahan
referensi penelitian berikutnya. Dapat menjadi bahan referensi untuk
mengembangkan obat yang berasal dari bahan alam.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Penelitian ini dikehendaki mampu memberikan pengetahuan terkait
manfaat bagian tanaman kemuning dan tanaman kelor terutama bagian daun yang
berfungsi sebagai antibakteri S.aureus karena banyak dari kalangan masyarakat
yang kurang mengetahui akan pemanfaatan dari tumbuhan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar, menutupi dan
melindungi permukaan tubuh, berhubungan dengan selaput lendir yang
melapisi rongga-rongga, lubang-lubang masuk. Luas kulit orang dewasa
1.5 m2 dengan berat kira-kira 15 % berat badan. Kulit merupakan organ
esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit
juga sangat kompleks, elastis dan sensitif bervariasi pada berbagai keadaan
iklim, umur seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh(Djuanda A,
2002).

Gambar 2.1 Struktur kulit (Wida,2015)


2.1.1 Anatomi Kulit
Pembagian kulit secara garis besar terdiri dari tiga lapisan utama
yaitu. Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidium,
stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Lapisan
dermis adalah lapisan bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen seluler dan folikel rambut (Djuanda A,2002).
2.1.2 Fungsi Kulit
Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorpsi, presepsi, ekskresi
pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan viamin D,

5
6

dan kreatinisasi. Kulit memiliki lapisan kulit yang berfungsi sebagai


pelindung tubuh dari tiap bagian lapisan kulit terdalam sampai luar. Kulit
yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap, lebih mudah diserap begitupun yang larut
lemak. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna
lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa natrium klorida, urea, asam
urat dan amonia. Kulit mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh
darah kulit. Sel pembentuk pigmen (melanosit). Terletak di lapisan basal.
Kretinisasi terjadi melalui proses sintesis dan degradasi menjadi lapisan
tanduk. Dimungkinkan dengan mengubah 7-dehidro kolestrol dengan
pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak
cukup dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih
diperlukan(Djuanda A, 2002).

2.2 Tanaman Kemuning


2.2.1 Klasifikasi
Kingdom :Plantae
Division :Tracheophyta
Subdivision :Spermatophytina
Class :Magnoliopsida
Order :Sapindales
Family :Rutaceae
Genus :Murraya
Species :Murraya paniculata (L.) Jack
Sinonim :M. banati Elm., M. exotica L., M. exotica var. sumatrana Koord.
Et Val., M. glenieli Thw., M. odorata Blanco, M. sumatrana Roxb.,
Chalcas paniculata L., C. camuneng Burm. F., C. intermadia
Roem., Connarus foetens Blanco, C. santaloides Blanco.
7

Gambar 2.2 Tanaman Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) (Nova et al.,
2017)
2.2.2 Morfologi Kemuning
Kemuning termasuk tanaman semak atau pohon kecil. Pohon kemuning
bercabang dan beranting banyak. Tinggi tanaman sekitar 3-8 m. Batang kemuning
keras, beralur, dan tidak berduri. Daunnya majemuk bersirip ganjil dengan jumlah
anak daun antara 3-9 helai dan letaknya berseling. Helaian daun bertangkai
berbentuk telur, sungsang, ujung pangkal runcing, serta tepi rata atau sedikit
bergerigi. Panjang daun sekitar 2-7 cm dan lebar antara 1-3 cm. Permukaan daun
licin, mengkilap, dan berwarna hijau. Bunga kemuning majemuk dan berbentuk
tandan yang terdiri dari 1-8 bunga. Warnanya putih dan berbau harum. Bunga –
bunga kemuning keluar dari ketiak daun atau ujung ranting. Buah kemuning
berbentuk bulat telur atau bulat memanjang dengan panjang 8-12 mm. Bila masih
muda, buah berwarna hijau dan setelah tua menjadi merah mengkilap. Di dalam
buah terdapat dua buah biji (Iskandar D, 2005).
2.2.3 Kandungan
Daun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) memiliki
aktivitas antimikroba terhadap bakteri. Daya anti-bakteri pada daun
kemuning disebabkan oleh aktivitas dari kandungan alkaloid, saponin,
tannin dan minyak atsiri (Kartika, 2007). Fenolik dan flavonoid ( Gautam
et al., 2012). Senyawa tannin (Ajizah, 2004) dan minyak atsiri 3
mengganggu pembentukan dinding sel, merusak membran sel, dan
8

mengganggu permeabilitas membran sehingga sel tidak dapat melakukan


aktivitas hidupnya dengan normal (Parwata et al., 2011).
Saponin bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan,
mengakibatkan kebocoran sel dan mengakibatkan senyawa intraseluler
akan keluar (Faure et al., 2002). Dan alkaloid mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel
tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Robinson, 2005). Fenol dapat menyebabkan terjadinya perubahan
permeabilitas membran sel yang mengakibatkan kebocoran sel sehingga
bakteri mengalami kematian (Butcher & Ulaeto, 2010). Sedangkan
flavanoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa
kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas
membran sel bakteri (Paiva et al., 2010).
2.2.3.1 Flavanoid
Flavonoid merupakan golongan fenol alam yang terbesar, terdapat
dalam tumbuhan hijau. Flavonoid berfungsi sebagai bakteriostatik dan mekanisme
kerjanya mendenaturasi protein sel bakteri serta merusak membran sitoplasma.
Senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang menyebabkan
bocornya metabolit penting dan menginaktifkan sistem enzim bakteri. Kerusakan
ini memungkinkan nukleotida dan asam amino merembes keluar dan mencegah
masuknya bahan-bahan aktif ke dalam sel, keadaan ini dapat menyebabkan
kematian bakteri (Prajitno, 2007).
Senyawa flavonoid bersifat lipofilik yang akan merusak membrane
bakteri. Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk
senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan protein terlarut sehingga
dapat merusak membrane sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa
intraseluler (Nuria et al., 2009).
2.2.3.2 Alkaloid
Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri adalah dengan cara
menganggu komponen penyusun peptidoglikon pada sel bakteri, sehingga lapisan
dinding sel tidak berbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel. Selain
9

itu,biasanya alkaloid diketahui sebagai gram organik dalam tumbuhan dalam


bentuk senyawa padat berbrntuk kristal dan tidak berwarna. Alkaloid memiliki
efek dalam bidang kesehatan sebgai pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan
darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, dan lain lain (Khunaifi, 2010).
2.2.3.3 Saponin
Saponin berasal dari kata lain yaitu “Sapo” yang berarti mengandung
busa stabil bila dilarutkan dalam air. Kemampuan busa dari saponin disebabkan
oleh kombinasi dari sapogenin yang bersifat hidrofobik (larut dalam lemak) dan
bagian rantai gula yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) (Naoumkina et al.,
2010). Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter (Hartono, 2009).
Sifat fisika saponin yaitu larut dalam air dan etanol, beracun bagi hewan berdarah
dingin dan tidak beracun bagi hewan berdarah panas. Sedangkan sifat kimia
saponin yaitu berbusa dalam air dan rasanya pahit. Sifat Saponin dapat
menyebabkan hemolisis pada sel darah merah. Hal ini disebabkan karena saponin
berikatan dengan kolesterol dari membran sel sehingga dapat merusak membrab
(Faradisa, 2008).
Senyawa saponin dapat menghambat sintetis protein karena terakumulasi
dan menyebabkan kerusakan komponen-komponen penyusun sel bakteri. Sintetis
protein merupakan proses metabolisme utama pada bekteri yang sangat
berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup bakteri, dimana rusaknya
komponen sel terutama rusaknya DNA, RNA, dan protein memegang peranan
penting dalam sel. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan total pada sel sehingga
bakteri tidak dapat melakukan replikasi karena lisi (Hasibunan, 2016).
2.2.3.4 Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa
tanaman. Tanin alami larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna
larutan tanin bervariasi dari warna terang sampai warna gelap atau coklat, karena
setiap tanin memiliki warna yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003).
Semua jenis tanin dapat larut dalam air, metanol, etanol, aseton, dan pelarut 10
organik lainnya. Kelarutannya besar, dan akan bertambah besar apabila dilarutkan
10

dalam air panas. Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocathol dan
phloroglucinol bila dipanaskan sampai suhu 99-102⁰ C (Risnasari, 2002).
Menurut Ajizah (2004), mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri
dengan mengerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu
permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat
melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat.

2.3 Tanaman Kelor (Moringa oleifera, Lamk)


2.3.1 Klasifikasi tanaman kelor menurut (Roloff et al, 2009)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lam

Gambar 2.3 Daun Kelor (gambar pribadi)


2.3.2 Morfologi Tumbuhan
Kelor (Moringa oleifera) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang
(perenial) dengan tinggi 7 - 12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak, berwarna
putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar (Pratama et al., 2017). Percabangan
simpodial, arah cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan
11

memanjang. Perbanyakan bisa secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek


batang). Tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ±
1000 m dpl, banyak ditanam sebagai tapal batas atau pagar di halaman rumah atau
ladang (Pratama et al., 2017).
Kelor merupakan tanaman yang dapat mentolerir berbagai kondisi
lingkungan, sehingga mudah tumbuh meski dalam kondisi ekstrim seperti
temperatur yang sangat tinggi, di bawah naungan dan dapat bertahan hidup di
daerah bersalju ringan. Kelor tahan dalam musim kering yang panjang dan
tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250
sampai 1500 mm. Meskipun lebih suka tanah kering lempung berpasir atau
lempung, tetapi dapat hidup di tanah yang didominasi tanah liat. Bagian tanaman
ini yang sering digunakan sebagai obat adalah biji dan daun, berkhasiat digunakan
sebagai antidiabetes dan antioksidan (Jaiswal et al., 2009).
2.3.3 Kandungan Tumbuhan
Kandungan senyawa seperti flavonoid, saponin dan tannin yang ada
dalam daun kelor berperan sebagai senyawa yang dapat menghambat
pertumbuhan aktivitas antibakteri (Moyo et al., 2012).
Daun Kelor mengandung zat fitokimia yang membuat tanaman mampu
melakukan mekanisme pertahanan diri. Fitokimia yang dikandung diantarannya
tanin katekol, tanin galia, steroid, triterpenoid, flavonoid, saponin, antrakuinon,
alkaloid, dan gula pereduksi. Senyawa tersebut mempunyai kemampuan sebagai
obat, manfaatnya yaitu sebagai detoksifikasi dan pemurnian air, antibiotik,
perawatan kulit, antiinflamasi, bisul, tekanan darah, diabetes dan anemia
(Mardiana , 2012).

2.4 Simplisia
2.4.1 Definisi
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2000).
2.4.2 Jenis
12

Simplisia dibedakan menjadi 3 yaitu (Agoes, 2007) :


2.4.2.1 Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh,
bagian tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya, misalnya
Datura Folium dan Piperis nigri Fructus. Eksudat tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan
dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan nabati lainnya yang
dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya. Simplisia nabati
berupa akar (radix), kulit batang (cortex), batang (caulis), daun (folium), buah
(flos), kulit buah (fructus), biji (semen) dan rimpang (rizhoma).
2.4.2.2 Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau
zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni,
misalnya minyak ikan (Oleum iecoris asselli) dan madu (Mel depuratum).
2.4.2.3 Simplisia Pelikan atau Mineral
Simplisia Pelikan atau Mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga.

2.5 Syarat
Simplisia yang aman dan berkhasiat adalah simplisia yang tidak
mengandung bahaya kimia, mikrobiologis dan bahaya fisik, serta mengandung zat
aktif yang berkhasiat. Ciri simplisia yang adalah dalam kondisi kering (kadar air
<10% untuk simplisia daun, bila diremas bergemerisik dan berubah menjadi
serpihan, simplisia bunga bila diremas bergemerisik dan berubah menjadi
serpihan atau mudah dipatahkan, dan simplisia buah dan rimpang (irisan) bila
diremas mudah dipatahkan. Ciri lain simplisia yang baik adalah tidak berjamur
dan berbau khas menyerupai bahan segarnya (Herawati et al., 2012).
Standarisai suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan
sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari produk seperti yang
ditetapkan sebelumnya. Standarisasi simplisia mempunayi pengertian bahwa
13

simplisia yang akan digunakan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi
Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk
yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu) masih harus memenuhi persyartan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000).
2.6 Pembuatan Simplisia
Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar dari cemaran
umumnya dilakukan tahapan kegiatan berikut ini :
2.6.1 Sortasi Basah
Proses ini dilakukan untuk memisahkan kotoran maupun bahan asing.
Sebagai contoh jika digunakan dari akar maka tumbuhan obat harus bebas dari
tanah, kerikil, rumput dan bahan asing lain (Badan POM RI, 2013).
2.6.2 Pencucian
Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lain. Pencucian dibutuhkan air bersih dalam prosesnya dan pencucian dilakukan
dalam waktu singkat untuk bahan simplisia yang mengandung zat aktif yang larut
air. Proses ini tidak menghilangkan seluruh mikroba karena air yang digunakan
biasanya mengandung sejumlah mikroba. Pada bahan simplisia akar, batang atau
buah dapat dilakukan pengupasan kulit luar untuk mengurangi jumlah mirkoba
(Badan POM RI, 2013).
2.6.3 Perajangan
Proses perajangan dilakukan untuk memperluas permukaan bahan
sehingga dapat mempermudah proses ekstraksi, pengeringan, pengepakan dan
penggilingan. Semakin tipis bahan yang dikeringkan maka semakin cepat
penguapan air dan mempercepat waktu pengeringan. Irisan yang terlalu tipis juga
mengakibatkan berkurangnya khasiat yang mudah menguap (Badan POM RI,
2013).
2.6.4 Pengeringan
Tujuannya yaitu untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar
air dan menghentikan reaksi enzimatis akan dicegah penurunan mutu atau
kerusakan sinplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu
14

dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses
pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar
airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama
proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara,
waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik pada
pengeringan adalah tidak melebihi 60⁰C , tetapi bahan aktif yang tidak tahan
pemanasan ataua mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah
mungkin, misalnya 30⁰C-40⁰C. Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan
alamiah (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan
pengeringan buatan (menggunakan instrumen).
2.6.5 Sortasi Kering
Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan dari benda asing, kotoran -
kotoran yang masih menempel, dan simplisia yang rusak akibat proses yang
dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memilih simplisia kering yang
bermutu baik (Badan POM RI, 2013).
2.6.6 Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saing tercampur antara
simplisia satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, wadah-wadah yang berisi
simplisia disimpan dalam rak pada gudang penyimpanan. Untuk persyaratan
wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah harus inert,
artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu
melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan
kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen, dan uap air (Depkes RI,
2000).

2.7 Serbuk dan Kadar Air Simplisia


Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang
diserbukkan.Pada pembuatan serbuk kasar, terutama simplisia nabati, digerus
lebih dulusampai derajat halus tertentu setelah itu dikeringkan pada suhu tidak
lebih dari 60°C (Anief, 2007).
15

Tabel 2.1 Klasifikasi serbuk berdasarkan derajat halus (Hertiani, 2012)


Nomor Pengayak Ukuran (pm) Derajat Kehalusan
8 2360 Serbuk sangat kasar
20 850 Serbuk kasar
40 425 Serbuk agak kasar
60 250 Serbuk halus
80 180 Serbuk sangat halus

Derajat kehalusan simplisia perlu diperhatikan dalam proses


ektraksi. Dengan kehalusan simplisia penting untuk mengupayakan agar
penarikan dapat berlangsung semaksimal mungkin, kehalusan menyangkut
luas permukaan yang akan berkontak dengan pelarut untuk ekstraksi
(Agoes, 2007).
Kadar air serbuk dari simplisia harus kurang dari 10%. Karena
reaksi enzimatik tidak berlangsung bila kadar air dalam simplisia kurang
dari 10%. Dengan demikian proses pengeringan sudah dapat
menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat
mencapai kurang dari 10% (Prasetyo & Entang, 2013).
Menurut Farmakope Indonesia dalam penetapan derajat halus
serbuk simplisia nabati dan simplisia hewani, tidak ada bagian dari obat
yang dibuang selama penggilingan atau pengayakan, kecuali dinyatakan
lain dalam masingmasing monografi.

2.8 Metode Ektraksi


Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. (Utami et
al., 2009). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstrak
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
16

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikan sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Utami et al., 2009).
Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti pemerasan,
infundasi, maserasi, perkolasi, digesti, refluks. Berbagai metode dan cairan
penyari yang digunakan dapat dipilih sesuai keinginan zat aktif yang akan disari.
Ekstrak yang dihasilkan harus memenuhi standar yang telah ditentukan (Badan
POM RI, 2013).
Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu, dengan cara dingin
dan cara panas.
2.8.1 Cara dingin dapat dilakukan dengan cara:
2.8.1.1 Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi simplisia yang menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengadukan suhu ruang. Ekstraksi metode maserasi
merupakan ekstraksi menggunakan prinsip metode untuk pencapaian konsentrasi
pada kesetimbangan (Depkes RI, 2000).
Menurut Dirjen POM, (2014) ada beberapa variasi metode maserasi,
antara lain digesti, maserasi melalui pengadukan kontinyu, remaserasi, maserasi
melingkar, dan maserasi melingkar bertingkat. Digesti merupakan maserasi
menggunakan pemanasan lemah (40-50 °C). Maserasi pengadukan kontinyu
merupakan maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus, misalnya
menggunakan shaker, sehingga dapat mengurangi waktu hingga menjadi 6-24
jam. Remaserasi merupakan maserasi yang dilakukan beberapa kali. Maserasi
melingkar merupakan maserasi yang cairan pengekstrak selalu bergerak dan
menyebar. Maserasi melingkar bertingkat merupakan maserasi yang bertujuan
untuk mendapatkan pengekstrakan yang sempurna.
Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama
maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari. Menurut Dirjen POM, (2014) maserasi
akan lebih efektif jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena
keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif.
17

Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang
lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak.

2.8.1.2 Perkolasi
Perkolasi merupakan metode ekstraksi menggunakan pelarut yang
selalu baru sampai sempurna (exhautive extraction) yang pengerjaannya
dilakukan pada suhu atau temperatur ruang. Proses ekstraksi menggunakan
metode perkolasi menggunakan alat yang disebut perkolator (Depkes RI, 2000).
2.8.2 Cara panas dapat dilakukan dengan cara:
2.8.2.1 Refluks
Refluks merupakan metode ekstrasi menggunakan pelarut pada
suhu titik didihnya yang dilakukan pada waktu tertentu dan jumlah pelarut
yang digunakan terbatas dan relatif konstan dengan adanya pendinginan
balik. Pada dasarnya proses ekstraksi refluks memerlukan alat khusus dan
perlakuan pengulangan proses pada residu pertama hingga 3 – 5 kali
sehingga didapatkan ekstraksi yang sempurna (Depkes RI, 2000).
2.8.2.2 Sokletasi
Sokhlet merupakan metode ekstraksi menggunakan pelarut yang
selalu baru dan pada umumnya proses ini dilakukan menggunakan alat
khusus sehingga terjadi proses ekstraksi secara kontinu dengan jumlah
pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI,
2000).
2.8.2.3 Digesti
Digesti adalah ekstraksi maserasi kinetik (pengadukan terus
menerus) pada suhu lebih tinggi dari suhu ruang yang dilakukan pada suhu
40 – 50ºC (Depkes RI, 2000).
2.8.2.4 Infus
Infus merupakan metode ekstraksi yang menggunakan pelarut
air pada penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih)
dengan suhu 96 – 98ºC selama ± 15 – 20menit (Depkes RI, 2000).
2.8.2.5 Dekok
18

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air (Badan POM, 2000).

2.9 Pelarut
Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses
ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
pelarut (Guenther, 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis
pelarut, yaitu pelarut harus memppunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak
berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat
melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak
menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak dan titik didih
kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Guenther, 2006). Sifat pelarut yang baik
untuk esktraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah, mudah menguap pada
suhu rendah, dapat mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat, dapat
mengawetkan dan tidak menyebabkan ekstrak terdisosiasi (Tiwari et al., 2011).
Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa yang ditargetkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang
akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang akan diekstraksi,
kemudahan dalam penangan ekstrak, untuk perlakuan berikutnya, toksisitas
pelarut dalam proses bioassay, potensia bahaya kesehatan daam pelarut (Tiwari et
al., 2011).

2.9.1 Aquadestilata
Aquadest berasal dari istilah latin aquadestilata yang berarti air
suling. Air suling merupakan air yang diperoleh dari pengembunan uap air
akibat penguapan atau pendidihan air (Ham, 2006). Ikatan hidrogen air
pada tekan atmosfer bersifat mengalir (flow) pada suhu 100⁰ C dan
densitasnya 1g/ml (Winarno, 2002).
2.9.2 Etanol
Etanol (C2H5OH) memiliki nama lain yaitu etil alkohol, hidroksietana,
alkohol murni, dan alkohol absolut. Etanol merupakan molekul yang sangat polar
19

karena adanya gugus hidroksil (OH) dengan keelektronegatifan oksigen yang


sangat tinggi yang menyebabkan terjadinya ikatan hidrogen dengan molekul lain,
sehingga etanol dapat berikatan dengan molekul polar dan molekul ion. Gugus etil
(C2H5) pada etanol bersifat non-polar, sehingga etanol dapat berikatan juga
dengan molekul non-polar. Oleh karena itu, etanol dapat melarutkan baik senyawa
polar maupun non-polar. Etanol memiliki berat molekul 46,04 gr/mol, massa jenis
0,789 gr/ cm3, titik didih 78,4°C, viskositas pada 20°C 1,200 cP, momen dipol
sebesar 1,69 D (gas), konstanta dielektrik 24,3 pada 20°C, dan tidak berwarna
(Chandra, 2015).
Pertimbangan dalam penggunaan etanol 96% sebagai pelarut karena
lebih selektif dalam menyari suatu senyawa, kapang dan bakteri yang sulit tumbuh
dalam etanol dengan konsentrasi lebih dari 20%, serta tidak beracun. Pelarut
etanol 96 % adalah senyawa polar yang mudah menguap sehingga baik digunakan
sebagai pelarut ekstrak. Etanol dapat digunakan sebagai pelarut untuk melarutkan
senyawa alkaloid, minyak atsiri, glikosida, antrakinon, flavonoid, tannin, saponin,
steroid, dan kurkumin. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan kontrol
negatif etanol 96% menunjukkan hasil bahwa etanol 96% tidak memiliki aktivitas
antibakteri, sehingga zona hambat yang dihasilkan bukan disebabkan karena
adanya etanol 96% (Febriani, 2014).
2.9.3 N-heksana
Karakteristik heksana sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau
khas. Titik didih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66 sampai 70°C
(Scheflan dan Morris 1983). N-heksana merupakan jenis pelarut nonpolar
sehingga nheksana dapat melarutkan senyawa - senyawa bersifat nonpolar
(Maulida & Zulkarnaen, 2010).
Menurut penelitian Rizal (2018) menggunakan kontrol negatif
pelarut Nheksan, kloroform, etil asetat dan etanol memilki hasil negatif
tidak menunjukkan zona hambat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
pelarut tersebut tidak memiliki aktivitas antibakteri.
2.9.4 Diklorometana
20

Diklorometana atau metilena klorida merupakan senyawa organik dengan


rumus kimia CH2Cl2. Diklorometana merupakan senyawa tidak berwarna,
berbentuk cair dan memiliki aroma. Titik didih diklorometana 39,8°C dan
memiliki berat molekul 84,94 g/mol (Putra et al., 2015). Diklorometana
larutdalam pelarut organik lainnya, namun tidak larut sempurna dengan air.
Diklorometana digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sediaan farmasi dan
sebagai pelarut (Lee, 2005).
Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan kontrol negatif yaitu
diklorometana menunjukkan hasil bahwa diklorometana tidak memiliki aktivitas
antibakteri terhadap S.aureus dan Eschericia coli sehingga zona hambat yang
dihasilkan fraksi diklorometana bukan berasal dari pelarut diklorometana (Sri et
al., 2017).

2.10 Gel
Gel merupakan sistem setengah padat atau semisolid yang terdiri suatu
dispersi molekul kecil atau besar dengan pembawa berair seperti jeli dengan
bahan tambahan pembentuk gel (Ansel, 2008).
Bahan – bahan yang dapat digunakan untuk membentuk gel dapat
digunakan makromolekul sintetik seperti karbomer 934; derivat selulosa seperti
karboksimetilselulosa, hidroksipropil metilselulosa; dan gum alami seperti
tragakan (Ansel, 2008).
Karbomer adalah polimer asam akrilat yang mengalami tautan silang
dengan alil eter sukrosa dan/atau pentaeritriol dengan berat molekul tinggi dan
larut air. Viskositas karbomer berdasar komposisi polimerik. Karbomer digunakan
pada konsentrasi 0,5% hingga 2% untuk pembentuk gel. Karbomer terdiri dari 6
polimer yaitu karbomer 910, 934, 934P, 940,941, 1342. Karbomer 940
memiliki viskositas tertinggi antara 40.000 – 60.000 sentipose pada dispersi air
dengan konsentrasi 0,5% (Ansel, 2008).
2.10.1 Syarat-syarat Sediaan Gel
Gel yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut
(Martin et al., 2012):
21

2.10.1.1 Homogen
Bahan obat dan dasar gel harus mudah larut atau terdispersi dalam
pelarut yang cocok, dengan kata lain homogenitas sediaan terjamin sehingga
ppembagian dosis sesuai dengan tujuan terapi yang diharapkan.
2.10.1.2 Bahan dasar yang cocok dengan zat aktif
Bila ditinjau dari sifat fisika dan kimia, bahan dasar yang digunakan
harus cocok dengan bahan obat sehingga sediaan dapat memberikan efek terapi
yang diharapkan. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan
sediaan yang diharapkan. Sifat aliran sangat penting pada penyebaran sediaan.
Sediaan akan mudah dioleskan pada kulit tanpa penekanan yang berarti dan
mudah dikeluarkan dari wadah.
2.10.1.3 Stabil
Gel harus stabil dari pengaruh suhu dan lembab selama penggunaan
maupu penyimpanan.
2.10.2 Kelebihan gel
Sediaan gel mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki
viskositas dan daya lekat tinggi sehingga tidak mudah mengalir pada permukaan
kulit, memiliki sifat tiksotropi sehingga mudah merata bila dioles, tidak
meninggalkan bekas, hanya berupa lapisan tipis seperti film saat pemakaian,
mudah tercucikan dengan air, dan memberikan sensasi dingin setelah digunakan,
mampu berpenetrasi lebih jauh dari krim, sangat baik dipakai untuk area berambut
dan lebih disukai secara kosmetika, gel segera mencair jika berkontak dengan
kulit dan membentuk satu lapisan dan absorpsinya pada kulit lebih baik daripada
krim, memiliki daya lekat yang tinggi yang tidak menyumbat pori sehingga
pernapasan pori tidak terganggu (Sharma, 2008).
2.10.3 Kekurangan gel
2.10.3.1 Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam
air sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar gel
tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut sangat mudah
dicuci atau hilang ketika berkeringat, kandungan surfaktan yang tinggi dapat
menyebabkan iritasi dan harga lebih mahal
22

2.10.3.2 Penggunaan emolien golongan ester harus diminimalkan atau


dihilangkan untuk mencapai kejernihan yang tinggi
2.10.3.3 Untuk hidroalkoholik: gel dengan kandungan alkohol yang tinggi
dapat menyebabkan pedih pada wajah dan mata, penampilan yang buruk opada
kulit bila terkena pemaparan cahya matahari, alkohol akan menguapa dengan
cepat dan meninggalkan film yang berpori atau pecah-pecah sehingga tidak semua
area tertutupi atau kontak dengan zat aktif.

2.10.4 Bahan Pembentuk Gel


2.10.4.1 Zat Aktif
Zat aktif merupakan komponen utama dalam suatu sediaan farmasi,
karena memiliki efek terapi yang digunakan untuk tujuan pengobatan.
2.10.4.2 Gelling Agent
Gelling agent digunakan sebagai peningkat konsistensi sediaan dan juga
berfungsi sebagai agent pengental (Asija, 2015). Umumnya konsentrasi
penggunaan gelling agent pada rentang 0,5-10% untuk meningkatkan viskositas.
Gelling agent yang umum digunakan adalah karbopol-940, HPMC-2910 dan Na
CMC.
2.10.4.3 Humektan
Humektan adalah bahan penyerap air dari udara dan menjaga
kelembaban (Silje et al., 2003). Gel sangat mudah mengering pada suhu kamar
sehingga dibutuhkan humektan untuk menjaga gel agar tetap lembab.
2.10.4.4 Bahan Pengawet
Pengawet digunakan untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan
mikroba pada formulasi dengan cara membunuh, menghilangkan atau mengurangi
kontaminasi mikroba. Pengawet dikatakan ideal jika efektif pada konsentrasi yang
rendah untuk melawan mikroba dengan spektrum luas, larut dalam formula, tidak
toksik, compatible dengan komponen formula dan wadahnya, tidak berefek pada
warna, bau dan sistem rheologi dalam formula, stabil dalam rentang pH dan
temperatur yang luas (Lieberman et al., 1996).
23

2.10.4.5 Aquadest
Aquadestilata merupakan air suling dengan pemerian cairan jernih, tidak
berbau, tidak berwarna, tidak memiliki rasa, memiliki pH 5-7. Rumus kimia dari
air suling adalah H2O dengan berat molekul sebesar 18,2. Air suling dibuat
dengan menyuling air yang memenuhi persyaratan dan tidak mengandung zat
tambahan lain. Fungsi dari air suling adalah sebagai pelarut (Badan POM, 2000).

2.11 Uji Fisik Sediaan Gel


2.11.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan secara visual dan dilihat secara langsung
bentuk, warna, dan bau dari sediaan emulgel (Ansel, 2008). Warna pada emulgel
tidak boleh mengalami perubahan selama penyimpanan, karena jika terjadi
perubahan atau hilangnya warna dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan
mikroorganisme. Selama penyimpanan emulgel tidak boleh adanya perubahan
bau, mulai dari awal hingga akhir pengujian. Apabila terjadi perubahan bau dan
menimbulkan bau yang tidak menyenangkan pada sediaan emulgel maka akan
menganggu kenyamanan dalam pemakaian.
2.11.2 Uji PH
Menurut Walters (2008), pH kulit manusia ialah sekitar 4,5- 6,5. Jika pH
terlalu basa dapat menyebabkan kulit menjadi kering, sedangkan jika terlalu asam
dapat mengiritasi kulit. Berdasarkan hal tersebut, maka sediaan yang bersifat
topikal perlu disesuaikan dengan pH kulit manusia.
2.11.3 Uji Viskositas
Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir.
Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya,
pada saat diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat
penting pada saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan
kelembaban. Selain itu, viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik
dan ketersediaan hayatinya. Semakin tinggi viskositas, waktu retensi pada
24

tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun. Viskositas
juga menentukan lama lekatnya sediaan pada kulit, sehingga obat dapat
dihantarkan dengan baik. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan
menambahkan polimer (Donovan & Flanagan, 1996).
2.11.4 Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan untuk melihat penyebaran partikel-
partikel pada sediaan emulgel. Jika dilihat menggunakan mikroskop pada emulgel
tidak terdapat butiran kasar menunjukkan partikel pada emulgel tersebar secara
merata.Uji homogenitas ini dilakukan menggunakan mikroskop dengan
pembesaran 100 kali (Yani, 2016).
2.11.5 Uji Daya Sebar
Daya sebar adalah kemampuan dari suatu sediaan untuk menyebar di
tempat aplikasi. Hal ini berhubungan dengan sudut kontak dari sediaan dengan
tempat aplikasinya. Daya sebar merupakan salah satu karakteristik yang
bertanggung jawab dalam keefektifan pelepasan zat aktif dan penerimaan
konsumen dalam penggunaan sediaan semisolid. Uji daya sebar adalah uji yang
dilakukan untuk mengetahui kemampuan menyebar sediaan pada saat
diaplikasikan pada kulit (Garg et al., 2002).
2.11.6 Uji Daya Proteksi
Uji daya proteksi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kemampuan sediaan gel dalam memproteksi atau memberikan perlindungan kulit
terhadap pengaruh asing dari luar. Pengujian dilakukan dengan penambahan
KOH. Sediaan gel dapat memberikan proteksi bila tidak muncul noda merah pada
bekas tetesan KOH pada kertas saring. Munculnya noda merah pada kertas saring
disebabkan karena adanya suatu interaksi antara indikator PP dan KOH
(Rahmawati et al., 2010).
2.11.7 Uji Daya Lekat
Kemampuan sediaan untuk melekat di tempat aplikasi sediaan sangat
penting. Daya lekat merupakan salah satu karakteristik yang bertanggung jawab
terhadap keefektifan sediaan dalam memberikan efek fermakologis. Semakin lama
daya lekat suatu sediaan pada tempat aplikasi, maka efek farmakologis yang
25

dihasilkan akan semakin besar. Uji daya lekat bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar kemampuan gel melekat pada kulit dalam waktu tertentu.
(Wulandari, 2015).

2.12 Bakteri
2.12.1 Definisi Bakteri
Bakteri merupakan sel prokariotik atau tidak mempunyai
membran inti dan bersel tunggal. DNA bakteri disebut nukleoid berbentuk
sirkuler, panjang, tidak memiliki intron dan hanya tersusun atas ekson saja
(Prasetyo, 2009).

2.12.2 Golongan Bakteri


Hasil pewarnaan bakteri menunjukkan perbedaan kompleks atau
struktur dinding sel sehingga dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
sebagai berikut (Sunatmo, 2007):
2.12.2.1 Bakteri Gram Positif
Bakteri Gram positif mempunyai dinding dengan lapisan
peptidoglikan yang tebal.
2.12.2.2 Bakteri Gram Negatif
Bakteri Gram negatif terlihat berwarna merah muda. Bakteri
Gram negatif memiliki peptidoglikan yang lebih tipis daripada bakteri
Gram positif dan mengandung lipid/lemak dalam presentase yang lebih
tinggi daripada bakteri Gram positif.

2.13 Staphylococcus aureus


2.13.1 Klasifikasi
klasifikasi ilmiah dari bakteri Staphylococcus aureus, antara lain
(Brooks et al, 2008):
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
26

Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus

Gambar 2.3 Bakteri Staphylococcus aureus (Brooks et al, 2008)


2.13.2 Morflogi
Staphylococcus aureus (S.aureus) merupakan bakteri Gram positif
berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok
yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora,
dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37ºC, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25ºC). Koloni pada
perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar,
halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.
aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan
dalam virulensi bakteri (Joshi & Devkota, 2014).
Hidup didalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia
dan hewan seperti hidung, mulut, dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada
waktu batuk atau bersin. S.aureus memiliki kemampuan untuk mensintesis lipase
yang dapat mengubah sebum trigliserid menjadi asam lemak bebas yang dapat
merangsang inflamasi. Bakteri ini dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi
seperti pneumonia, meningitis, empiema, endokartitis, jerawat, pioderma atau
impetigo (Martina, 2012).

2.14 Antibakteri Pembanding atau Kontrol Positif


27

Antibakteri adalah suatu senyawa yang dalam konsentrasi kecil mampu


menghambat bahkan dapat membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme
(Jawetz et al., 2005). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba dan membunuhnya, dikenal sebagai kadar hambat minimal
(KHM) atau kadar bunuh minimal (KBM). Kadang aktivitas antimikroba tertentu
dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisidal apabila kadar
antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara et al., 1995)
Antibakteri yang digunakan sebagai pembanding atau kontrol positif
adalah kloramfenikol. Kloramfenikol digunakan karena mempunyai mekanisme
kerja yang sama seperti senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun kenikir
(Rita et al., 2016). Kloramfenikol merupakan suatu golongan antibiotika yang
menghambat pertumbuhan bakteri dengan spektrum kerja yang luas (Siswando et
al., 2000). Klorampenikol efektif terhadap gram positif maupun gram negatif
(Ganiswarna, 1995). Antibiotika ini bekerja dengan menghambat proses sintesis
protein yang terjadi pada sel bakteri S.aureus. Kloramfenikol akan berikatan
secara reversibel dengan unit ribosom 50S sehingga mencegah ikatan antara asam
amino dengan ribosom (Katzung, 2000). Karakteristik kloramfenikol menurut FI
IV adalah sebagai berikut:
Nama Umum : Kloramfenikol
Nama Lain : Chloramphenicolum
Nama Kimia : D(-) treo-2-diklorasetamido-1-p-nitrofenilpropana-1,3-diol :
BM : 323,13
Suhu Lebur : 149°C-153°C
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih
hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral
terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak
asam.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dalam propilen
glikol, dalam aseton dan dalam diklorometana.
28

Persyaratan : Pada sediaan kapsul kloramfenikol mengandung kloramfenikol,


tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0% dari jumlah
yang tertera pada etiket.
Pembuatan kontrol positif dilakukan dengan cara membuka kapsul
kloramfenikol 500mg dan mengambil sebanyak 1% dari bobot kloramfenikol dan
melarutkan dalam etanol 96%. Kloramfenicol termasuk dalam kategori sensitif
dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus karena memiliki zona hambat
sebesar 22 mm (Ratna et al., 2016).
2.14.1 Mekanisme Kerja Antibakteri
Menurut Darmadi (2008), dalam Jasmine (2018)bahwa mekanisme kerja
antibakteri dibagi menjadi empat, yaitu :
2.14.1.1 Penghambatan terhadap sintesis dinding sel
Penghambatan terhadap sintesis dinding sel bakteri yaitu dengan cara
mencegah penggabungan asam N-asetilmuramat ke dalam struktur mukopeptide
yang biasanya membentuk sifat kaku pada dinding sel. Contoh: Basitrasin,
sefalosporin, sikloserin, penisillin, vankomisin (Jasmine, 2018).
2.14.1.2 Penghambatan terhadap fungsi membran sel
Antibiotik ini bergabung dengan membran sel dan menyebabkan disorientasi
komponen-komponen lipoprotein serta mencegah berfungsinya membran sebagai
perintang osmotik. Contoh: amfoterisin B, kolistin, imidazol, triasol, polien,
polimiksin (Jasmine, 2018).
2.14.1.3 Penghambatan terhadap sintesis protein
Antibiotik ini bekerja dengan cara menghalangi terikatnya RNA pada
situs spesifik di ribosom selama perpanjangan rantai peptida, yang mengakibatkan
terjadinya hambatan sintesis protein. Contoh: kloramfenikol, eritromisin,
linkomisin, tetrasiklin, aminoglikosida (Jasmine, 2018).
2.14.1.4 Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat
Bakteri membutuhkan asam p-aminobenzoat (APAB) untuk mensintesis
asam folat, yaitu suatu koenzim essensial. Dikarenakan molekul APAB dengan
molekul antibiotik hampir sama, maka antibiotik akan bersaing dengan APAB
sehingga akan menghambat sintesis asam folat. Mekanisme kerja antibiotik ini
29

merupakan contoh penghambatan kompetitif antara metabolit esensial (APAB)


dengan analog metabolit (antibiotik). Contoh: quinolon, pyrimethamin, rifampin,
sulfonamid, trimetrexat (Jasmine, 2018).

2.15 Antiseptik
Antiseptik adalah bahan kimia yang digunakan untuk menghambat
pertumbuhan dan membunuh mikroorganisme berbahaya yang terdapat pada
permukaan tubuh luar makhluk hidup seperti pada permukaan kulit dan membran
mukosa. Secara umum, antiseptik berbeda dengan obat-obatan maupun
disinfektan. Disinfektan berfungsi sebagai zat untuk membunuh mikroorgaanisme
yang terdapat pada benda yang tidak bernyawa seperti meja, lantai dan pisau
bedah sedangkan antiseptik digunakan untuk menekan pertumbuhan
mikroorganisme pada jaringan tubuh, misalnya kulit.
Mekanisme kerja antiseptik terhadap mikroorganisme berbeda-beda,
seperti dengan mendehidrasi (mengeringkan) bakteri, mengoksidasi sel bakteri,
mengkoagulasi (menggumpalkan) cairan di sekitar bakteri, atau meracuni sel
bakteri (Entjang 2003). Antiseptik digunakan sebagai kontrol positif, contoh
antiseptik yang akan digunakan ialah dettol antiseptik cair yang mengandung zat
aktif chloroxylenol 4,8 w/v. Penelitian (Rahayu, 2016) membuktikan bahwa
dalam penelitian yang telah dilakukan, hasil dari uji aktivitas mempunyai diameter
hambat pada chloroxylenol 4,8% (20,57 mm) memiliki aktivitas antibakteri
terhadap S.aureus ATCC 25923.

2.16 Uji Aktivitas Antibakteri


Uji antibakteri dilakukan untuk mengetahui aktivitas suatu bakteri
terhadap antibakteri secara invitro. Pengujian ini dapat dilakukan dengan dua
metode yakni metode penyebaran (Diffusion method) denmgan menggunakan
cakram kertas dan metode pengenceran (Dillution method) (Kristanti, 2008).
2.16.1 Metode Difusi
Metode ini digunakan untuk menentukan aktivitas agen
antimikroba. Lempengan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada
30

media Agar yang telah disebari bakteri yang akan berdifusi pada media
Agar tersebut. Zona (daerah) jernih disekeliling cakram kertas (paperdisk)
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh
agen antimikroba pada permukaan media Agar (Pratiwi, 2012). Menurut
Pratama (2015) aetelah dilakukan inkubasi, diameter zona hambat yang
jernih disekitar cakram diukur menggunkan jangka sorong untuk
mengetahui kekuatan inhibisi obat melawan organisme uji. Metode ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat
dan organisme misalnya seperti sifat medium dan difusi, ukuran molekular
dan stabilitas obat (Jawetz et al., 2005)
2.16.1.1 Metode disk diffusion
Metode ini digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba.
Lempengan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah
disebari bakteri yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Zona (daerah)
jernih disekeliling cakram kertas (Paper disk) mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar
(Pratiwi, 2012). Menurut Pratama (2015) setelah dilakukan inkubasi, diameter
zona hambat yang jernih disekitar cakram diukur menggunakan jangka sorong
untuk mengetahui kekuatan inhibisi obat melawan organisme uji. Metode ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan
organisme misalnya seperti sifat medium dan difusi, ukuran molekular dan
stabilitas obat (Jawetz et al., 2005)
2.16.1.2 Metode E-Test
Metode ini digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum inhibitory
concentration) atau Kadar Hambat Minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal
suatu agen antibakteri untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dalam
metode ini menggunakan strip plastik yang mengandung agen antibakteri dari
kadar terendah sampai tertinggi lalu diletakkan pada permukaan media Agar yang
telah ditanam bakteri. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
ditimbulkannya menunjukkan kadar agen antibakteri yang menghambat
pertumbuhan bakteri pada media Agar (Pratiwi, 2012).
31

2.16.1.3 Ditch-plate technique


Ditch plste technique, zat antimirkoba diletakkan pada parit yang dibuat
dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara
membujur dan bakteri uji digoreskan ke arah parit (Pratiwi, 2008).
2.16.1.4 Cup-plate technique
Cup-plate technique, metode ini hampir sama dengan metode disc
diffusion namun bedanya tidak menggunakan kertas. Pada media agar dibuat
sumur, dan pada sumur tersebut diberi zat antimikroba (Pratiwi, 2008).
Tabel 2.2 Kategori respon hambatan pertumbuhan bakteri berdasarkan diameter
zona hambat (Susanto et al., 2012).
Diameter Zona Hambat Respon Hambatan
≥ 21 mm Sangat Kuat
11 – 20 mm Kuat
6 – 10 mm Sedang
<5 mm Lemah
2.17 Hipotesis
2.17.1 Formula konsentrasi ekstrak daun kemuning yang dikombinasikan
dengan Ekstrak daun kelor yang efektif terdapat pada perbandingan 2:1.
Argumen ini didasari karena kemuning sedikit lebih besar zona
hambatnya terhadap bakteri S.aureus dari pada daun kelor (Dessi, 2018;
Lusi., et al., 2016)
2.17.2 Formulasi sediaan gel ekstrak daun kemuning yang dikombinasikan
dengan Ekstrak daun kelor memenuhi syarat dan stabil secara fisik.
2.17.3 Formulasi sediaan gel kombinasi daun kemunig dan daun kelor memiliki
efektivitas terhadap bakteri S.aureus.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Bahan
bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ekstrak daun kemuning
dan ekstrak daun kelor, etanol 96%, bakteri S.aureus, carrbopol
940 ,Triaethanolamine, Propilenglikol, Methyl paraben, Natrium metabisulfit,
Aqudestilata, NA, NB, Kloramfenikol.

3.2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: botol maserasi,
tabung reaksi (pyrex), rak tabung reaksi, labu erlenmeyer (pyrex), cawan, corong
kaca (pyrex), alumunium foil, autoklaf, cawan petri, jarum Ose, pinset, kaca arloji,
pipet, blender, spatula, gelas ukur, mikropipet, dan tip, lampu spiritus, kapas
steril, hot plate, oven, lemari pendingin, inkubator, cakram kosong steril, jangka
sorong, dan alat-alat gelas standar laboratorium (pyrex).

3.3. Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah daun kemuning (Murraya
paniculata (L.) Jack) dan daun kelor (Moringa oleifera, L) yang terdapat di
CV.Herbal Anugrah Alam di Yogyakarta.

3.4. Sampel Penelitian


Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk simplisia daun
kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) daun kelor (Moringa oleifera, L) yang
terdapat di CV.Herbal Anugrah Alam diperoleh dari CV.Herbal Anugrah Alam
Desa Mayungan RT 04 Kecamatan Banguntapan Kota Yogyakarta.

3.5. Variabel Penelitian


Variabel penelitian adalah segala sesuatu dalam bentuk apapun yang
ditetapkan oleh peneliti sebagai hal yang akan digunakan untuk dipelajari

32
33

sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut untuk diambil kesimpulannya


(Sugiyono, 2013).
3.5.1. Variabel Bebas
Variabel bebas ialah variabel yang dapat menjadi penyebab ataupun yang
memberikan pengaruh perubahannya ataupun munculnya variabel independent
atau variabel terikat (Sugiyono, 2013). Variabel bebas yang digunakan pada
penelitian ini ialah ekstrak daun kemuning dan ekstrak daun kelor.
3.5.2. Variabel Kontrol
Variabel kontrol atau terkendali yaitu variabel yang dibuat konstan atau
dikendalikan sehingga hubungan variabel terikat terhadap variabel bebas tidak
dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak di teliti (Sugiyono, 2013). Variabel control
dalam penelitian ini adalah bakteri S.aureus.
3.5.3. Variabel Terikat
Variabel terikat ialah variabel yang menjadi akibat ataupun yang
diberikan pengaruh oleh adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013). Variabel terikat
yang digunakan pada penelitian ini adalah daya hambat ekstrak daun kemuning
dan ekstrak daun kelor terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus pada sediaan gel.

3.6. Prosedur Penelitian


3.6.1. Determinasi Tanaman
Tujuan dilakukan determinasi untuk mengetahui kebenaran jenis tanaman
(Depkes RI, 2000). Determinasi dilakukan dengan mencocokan ciri-ciri morfologi
tumbuhan dengan kunci-kunci yang ada dalam literatur. Determinasi sampel
tumbuhan daun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) dan daun kelor
(Moringa oleifera, L) dideterminasi di UPT Materia Medica Batu, Kota Batu,
Provinsi Jawa Timur.
3.6.2. Pengambilan Sampel
Bahan uji yang dipakai penelitian berikut ialah daun kemuning dan daun
kelor peroleh dari CV. Herbal Anugerah Alam yang berada di Bantul, Kec
Banguntapan, Kota Yogyakarta.
34

3.6.3. Pembuatan Simplisia


Pembuatan simplisia daun kemuning dan daun kelor yang pertama
dengan mengumpulkan kedua daun tersebut. Kedua daun disortasi basah dengan
tujuan untuk membersihkan kulit dari benda asing. Selanjutnya daun dicuci
dengan air bersih, ditiriskan kemudian ditimbang berat basahnya, yaitu 3 kg. Daun
selanjutnya dirajang dengan ukuran 1-3 cm, lalu dikeringkan di lemari pengering
pada suhu 40-50°C sampai simplisia kering dan mudah dipatahkan (Nurussakinah,
2010).
Menimbang simplisia yang sudah kering dan memblender hingga
menjadi serbuk. Selanjutnya serbuk simplisia diayak menggunakan ayakan mesh
80 sehingga terbentuk serbuk simplisia dengan partikel yang lebih kecil, hal ini
dikarenakan serbuk yang lebih halus akan lebih mudah diekstraksi karena
permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas.
Serbuk halus kemudian di uji kadar airnya. Simplisia yang sudah jadi disimpan
dalam wadah (Depkes RI, 2000).
3.6.4. Uji Kadar Air Serbuk Simplisia
Uji kadar air serbuk simplisia dilakukan dengan memasukan kurang lebih
10 gram ekstrak dan ditimbang seksama dalam wadah yang telah ditara,
selanjutnya dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang.
Dilanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000). Uji kadar
air dilakukan replikasi sebanyak 3 kali dengan cara yang sama kemudian dihitung
rata-rata hasil.

Bobot awal−bobot akhir


Kadar Air ( % )= X 100 %( Depkes RI , 2000)
Bobot awal
Kandungan air serbuk simplisia yang memenuhi persyaratan yaitu kurang
dari 10% karena reaksi enzimatik tidak dapat berlangsung apabila kadar air dalam
serbuk simplisia kurang dari 10% dapat mencegah terjadinya penurunan mutu
serbuk simplisia (BPOM RI, 2014).
35

3.6.5. Pembuatan Ekstrak Daun Kemuning dan Ekstrak Duan Kelor


Metode Maserasi
Pembuatan ekstrak etanol daun kmuning dan daun kelor dengan cara
menimbang kedua serbuk simplisia masing-masing sebanyak 500 g. Perbandingan
antara bahan dengan pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi yaitu 1:7,5
(Ratna et al., 2016). Lalu direndam dengan pelarut etanol 96% di dalam botol
maserasi berbeda yang tertutup rapat dan dibiarkan selama 5 hari pada temperatur
kamar, terlindung dari sinar matahari langsung. Sesekali dilakukan pengadukan.
Setelah 5 hari disaring untuk mendapatkan filtrat. Filtrat ditampung dalam
penampungan atau botol maserasi. Ampas disimpan dalam wadah lainya dan
dimaserasi kembali dengan etanol 96% secara berulang sebanyak 3 kali. Seluruh
filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan oven pada suhu 60°C
hingga diperoleh ekstrak kental (Ningsih et al., 2013).
3.6.6. Pemeriksaan Randemen Ekstrak
Rendemen ekstrak merupakan salah satu parameter untuk menilai mutu
dari suatu ekstrak. Randemen ekstrak adalah perbandingan antara ekstrak yang
diperoleh dengan simplisia awal. Persentase rendemen ekstrak daun dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Bobot ekstrak
% Rendemen= X 100 % ( Depkes ,2000)
Bobot serbuk
Uji pemeriksaan randemen dilakukan sebanyak kali replikasi dengan
cara yang sama dan dihitung rata-rata dari hasil. Hasil perhitungan rendemen
ditunjukkan dengan satuan (%), semakin tinggi nilai rendemen maka semakin
banyak nilai ekstrak yang dihasilkan. Kualitas ekstrak yang dihasilkan berbanding
terbalik dengan jumlah rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai rendemen
maka semkin rendah mutu yang didapatkan (Wijaya et al., 2018).

3.7. Skrining Fitokimia


3.7.1. Saponin
Sampel diambil sebanyak kurang lebih 1 mL dididihkan dengan 10 mL
aquades dalam penangas air. Filtrat dikocok dan mendiamkan selama 15 menit.
36

Terbentuknya busa yang stabil (bertahan lama) menunjukkan positif terdapat


saponin. Busa terbentuk karena adsorpsi molekul saponin pada permukaan air
dapat menurunkan permukaan tegangan permukaan air yang dapat menimbulkan
busa (Harborne, 2006).
3.7.2. Tanin
Sampel sebanyak 2 g ditambah etanol sampai sampel terendam
semuanya. Kemudian sebanyak 1 mL larutan sampel dipindahkan kedalam tabung
reaksi dan ditambahkan 2-3 tetes larutan FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan
dengan terbentuknya warna hitam kebiruan atau hijau. Terbentuknya warna di
karenakan tanin akan membentuk senyawa komplek dengan ion Fe³+ (Harborne,
2006).
3.7.3. Flavonoid
Sampel sebanyak kurang lebih 1 mL dicampur dengan 3 mL etanol 70%,
lalu dikocok, dipanaskan dan dikocok lagi kemudian disaring. Filtrat yang
diperoleh, kemudian ditambah Mg 0,1 g dan 2 tetes HCl pekat. Adanya flavonoid
ditandai dengan warna merah, orange, dan hijau pada lapisan etanol. Perubahan
warna akibat dari reduksi asam klorida pekat dan magnesium (Harborne, 2006).

3.8. Sterilisasi Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini disterilkan
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Sterilisasi alat
dilakukan dengan mencuci bersih, kemudian alat dikeringkan dan dibungkus
menggunakan kertas perkamen (Muhamad, 2014). Sterilisasi media dan larutan
uji dilakukan dengan menggunakan wadah yang sesuai dengan menutup mulut
wadah menggunakan kapas dan membungkus wadah mennggunakan aluminium
foil (Pratiwi, 2008).

3.9. Pembuatan Media


3.9.1. Pembuatan Media Nutrient Broth (NB)
Pembuatan media Nutrient Broth (NB) dilakukan dengan cara
menimbang serbuk Nutrient Broth (NB) sebanyak 0,08 g, kemudian melarutkan
37

serbuk NB dalam 10 ml aquadestilatailata, kemudian dihomogen. Media


disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dengan tekanan 15
psi. Selanjutnya media dituangkan ke dalam tabung reaksi (Atlas, 2010).
3.9.2. Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)
Pembuatan media Nutrient Agar (NA) dilakukan dengan cara
menimbang serbuk Nutrient Agar NA sebanyak 0,3 gram dan memasukkan ke
dalam labu erlenmeyer. Selanjutnya menambahkan aquadestilata sebanyak 15 ml,
kemudian dihomogenkan. Selanjutnya menyeterilkan media agar dalam autoklaf
pada suhu 121°C selama 15 menit. Biarkan temperatur turun sampai 45°C. Media
agar siap dituangkan pada plate/ cawan petri (Maryono, 2017). Cawan petri
berdiameter 15 cm dapat menampung media sebanyak 15-20 ml, sedangkan
cawan berdiameter 9 cm dapat menampung media sebanyak 10 ml (Widodo &
Kusharyati, 2013).

3.10. Uji Identifikasi Bakteri


3.10.1. Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram bertujuan untuk mengamati morfologi sel bakteri
S.aureus dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Pengecatan Gram merupakan
salah satu pewarnaan yang paling sering digunakan. Preparat apus bakteri dibuat
dengan cara, mencampurkan satu Ose biak bakteri dengan NaCl fisiologis yang
telah diteteskan pada gelas obyek, kemudian dibuat apus setipis mungkin,
dikeringkan, dan difiksasi di atas lampu spiritus. Preparat apus ditetesi pewarna
pertama dengan karbol gentian violet selama 2 menit, warna dibuang, ditetesi
lugol selama 1 menit, kemudian preparat apus dilunturkan dengan alkohol 96%
selama 1 menit. Selanjutnya alkohol dibuang, preparat dicuci dengan
aquadestilata dan diberi pewarna kedua dengan larutan fuschine selama 2 menit.
Warna kemudian dibuang dan dibersihkan dengan aquadestilata, dikeringkan dan
diamati morfologi sel, serta warnanya di bawah mikroskop. Bakteri
dikelompokkan sebagai Gram positif apabila selnya terwarnai keunguan, dan
Gram negatif apabila selnya terwarnai merah (Dewi, 2013).
38

Bakteri gram positif pada pewarnaan Gram berwarna ungu disebabkan


kompleks zat warna kristal violet-yodium tetap dipertahankan meskipun diberi
larutan alkohol, sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah sebab kompleks
tersebut larut pada saat pemberian larutan alkohol sehingga mengambil warna
merah safranin (Dewi, 2013). Perbedaan warna pada bakteri gram positif dan
gram negatif menunjukkan bahwa adanya perbedaan struktur dinding sel antara
kedua jenis bakteri tersebut. Bakteri gram positif memiliki struktur dinding sel
dengan kandungan peptidoglikan yang tebal sedangkan bakteri Gram negatif
memiliki struktur dinding sel dengan kandungan lipid yang tinggi (Nurhidayati et
al., 2015).
3.10.2. Identifikasi Bakteri dengan Media MSA
Identifikasi bakteri dengan media MSA Suspensi Staphylococcus aureus
diinokulasi pada permukaan media MSA, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24 jam (Radji, 2013). Koloni Staphylococcus aureus memiliki ciri-ciri
bundar, halus, menonjol dan berkilau serta berwarna abu-abu sampai kuning emas
tua (Dewi, 2013).
3.10.3. Pembuatan Suspensi Bakteri
Diambil bakteri uji yang telah diinokulasi menggunakan kawat Ose steril.
Bakteri Staphylococcus aureus disuspensi kedalam tabung berisi 5 ml media NB
dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Suspensi bakteri tersebut
kemudian diencerkan menggunakan NaCl 0,9 %. Larutan NaCl 0,9% dibuat
dengan cara menimbang serbuk NaCl sebanyak 0,9 g kemudian dilarutkan dalam
100 ml aquadestilata. Selanjutnya larutan disterilkan dalam autoklaf pada suhu
121°C selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Suspensi bakteri diencerkan
menggunakan NaCl 0,9 % hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar
kekeruhan larutan 0,5 Mc. Farland (biakan cair yang mempunyai populasi 1 x 107
CFU/ml sampai 1 x 108 CFU/ml (Ngajow et al., 2013)
3.10.4. Peremajaan Bakteri
Tujuan peremajaan bakteri yaitu untuk merawat bakteri agar tetap baik.
Digunakan media agar miring NA, lalu masing-masing media ditanami bakteri
39

S.aureus dengan cara digoreskan menggunakan Ose jarum. Lalu bakteri


diinkubasi pada suhu 37-38°C selama 24 jam (Yusriana et al., 2014).

3.11. Uji Aktivitas Antibakteri Variasi Konsentrasi Ekstrak


Uji aktivitas antibakteri kombinasi ekstrak daun kemuning dan daun
kelor 1:1, 1:2, 2:1 (5%:5%, 5%:10%, 10%:5%) dengan metode disc diffusion atau
yang dikenal sebagai metode difusi cakram. Masing-masing biakan murni bakteri
S.aureus diinokulasikan secara merata dengan cara mencelupakan ujung cottob
bud steril dalam medium nutrient cair dan mengoleskannya pada permukaan
medium lempeng NA sampai rata. Kertas cakram steril diresapi dengan ekstrak
dibiarkan selama 3 menit. Diletakkan kertas cakram tersebut pada permukaan
medium yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji secara aseptic (dengan
menggunakan pinset steril). Medium perlakuan ini diinkubasi pada suhu 37°C
selama 1X24 jam. Setelah 24 jam akan terbentuk zona bening disekitar cakram
yang menunjukan kemampuan dari senyawa uji dalam menghambat pertumbuhan
bakteri. Setelah dilakukan pengkuran diameter zona hambat dengan menggunakan
jangka sorong untuk mengetahui daya hambat optimumnya.
Setelah mendapatkan konsentrasi terbaik dari ekstrak daun kemuning
dan daun kelor, konsentrasi terbaik tersebut digunakan dalam formula sediaan
gel. Kemudian menguji stabilitas fisiknya dan efektivitas antibakterinya,
melakukan replikasi sebanyak 3 kali.

3.12. Formulasi Sediaan Gel


3.12.1. Formula Standart
Formula yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada formulasi
dari peneltian (Suhaimi et al., 2019).
Tabel 3.1 Formulasi standart (Suhaimi et al., 2019)
Bahan Konsentrasi (%) Fungsi
Carbopol 940 1,75 Gelling agent
40

Trietanolamin 1,75 Alkaling agent


Propilenglikol 10,00 Humektan
Metil Paraben 0,18 Pengawet
Natrium Metabisulfit 0,40 Pengawet
Aquadest ad 100 Pelarut
Tabel 3.2 Formulasi Modifikasi Sediaan Gel
Konsentrasi (%)
Bahan K (+) K(-) F1 F2 F3
Ekstrak Daun - 20% 20% 40%
Kemuning
Ekstrak Daun Kelor - 20% 40% 20%
Carbopol940 1,75 1,75 1,75 1,75
Trietanolamin Kloramfenikol 1% 1,75 1,75 1,75 1,75
Propilenglikol 10,00 10,00 10,00 10,00
Metil Paraben 0.1 0,1 0,1 0.1
Natrium Metabisulfit 0.40 0,40 0,40 0,40
Aquadest ad 100 100 100 100
Keterangan:
K (+) : kloramfenikol 1%
K ( -) : Formula tanpa kandungan ekstrak daun kemuning dan daun kelor (gel kosong)
F1 : Formula perbandingan ekstrak daun kemuning 1% : 1% ekstrak daun kelor
F2 : Formula perbandingan ekstrak daun kemuning 1% : 2% ekstrak daun kelor
F3 : Formula perbandingan ekstrak daun kemuning 2% : 1% ekstrak daun kelor

3.13. Pembuatan Sediaan Gel


Ditimbang semua bahan dalam formula di atas, Carbopol 940
dikembangkan dalam air didiamkan selama semalaman. Formula dinetralkan
dengan penambahan trietanolamin sedikit demi sedikit sambil dihomogenkan
dengan homogenizer sampai terbentuk basis gel (massa 1). Dilarutkan Metil
paraben dan Natrium metabisulfit dengan sebagian propilenglikol (massa 2),
kemudian campur massa 1 dan massa 2 dengan homogenizer sampai homogen
(massa 3) Kedalamnya ditambahkan ekstrak dau kemuning dan ekstrak daun
kelor, lalu tambahkan sisa air suling, dihomogenkan dengan menggunakan
homogenizer dengan kecepatan dan waktu pengadukan yang optimal. Melakukan
replikasi sebanyak 3 kali dengan kosentrasi ekstrak terbaik (Suhaimi et al., 2019).
41

Sediaan yang sudah jadi kemudian diuji sifat fisiknya pada hari 0, hari ke 7, hari
ke 14, hari ke 21, dan hari ke 28. Sediaan yang menunjukkan sifat fisik yang baik
selanjutnya diuji aktivitas antibakterinya.

3.13.1. Uji Sifat Fisik Sediaan


Sediaan gel yang telah jadi selanjutnya dilakukan evaluasi fisik serta uji
stabilitas sediaan. Evaluasi dilakukan dengan tiga kali replikasi yang meliputi:
3.13.2. Pemeriksaan Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan panca indera.
Pengamatan meliputi warna, bau, tekstur dan kesan tidak lengket dari gel. Gel
biasanya jernih dengan konsentrasi setengah padat. Hasil uji organoleptis yang
diharapkan adalah tidak terjadi perubahan bentuk, warna, dan bau dari sediaan
selama pengujian stabilitas sediaan (Wasiaturrahmah, 2018).
3.13.3. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan cara sampel gel dioleskan sebanyak 1
gram pada kaca objek cocok, kemudian dikatubkan dengan kaca objek atau bahan
transparan lainnya dan dilihat apakah basis sediaan halus dan permukaannya
merata. Sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat
adanya butiran kasar (Wasiaturrahmah, 2018).
3.13.4. Uji Viskositas
Uji viskositas dilakukan dengan cara rotor dipasang pada alat uji, diatur
hingga rotor tercelup dalam gel. Alat diaktifkan, skala yang ditunjukkan dibaca
hingga menunjukan angka yang stabil (Widia et al., 2012).
3.13.5. Pemeriksaan pH Uji
Uji pH adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui pH sediaan.
Persyaratan pH sediaan topikal yaitu antara 4,5-6,5 (Naibaho, 2013). Kesesuaian
antara pH kulit dengan pH sediaan topikal mempengaruhi penerimaan kulit
terhadap sediaan. Dilakukan dengan cara melarutkan 10 gram sediaan dalam 100
mL aquadestilata. Selanjutnya larutan diukur dengan pH meter (Sudarmadji,
1984).
42

3.13.6. Uji Daya Sebar


Uji daya sebar dilakukan dengan cara mengukur diameter sebar sediaan
yang diletakkan di atas lempeng kaca yang diberi beban 50 gram di setiap
menitnya hingga 150 gram. Sediaan gel yang baik dan memiliki nilai daya sebar
berkisar antara 5-7 cm (Wasiaturrahmah, 2018).

3.13.7. Uji Daya Lekat


Uji ini dilakukan dengan cara sebanyak 0,25 g sampel gel diletakkan
antara dua object glass pada alat dan diletakkan beban sebesar 1 kg selama 5
menit, selanjutnya beban diangkat dan pada alat dilepaskan pada beban 80 gram
dan dicatat waktu yang diperoleh (Naibaho et al., 2013). Menurut Nevi (2006)
dalam Yati (2018), daya lekat sediaan yang baik adalah tidak kurang dari 4 detik
(Yati, 2018).
3.13.8. Uji Daya Proteksi
Uji daya proteksi dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan gel pada
kertas saring yang sebelumnya telah ditetesi fenolftalein. Kemudian kertas
tersebut ditempelkan pada kertas saring lain dan ditetesi larutan KOH 0,1 N.
Diamati munculnya warna merah pada waktu detik ke 15, 30, 45, 60 serta menit
ke 3 dan 5 (Widyantoro & Sugihartini, 2015).

3.14. Uji Efektivitas Antibakteri Sediaan


Uji efektivitas antibakteri pada sediaan gel dilakukan dengan metode
disc diffusion atau yang dikenal sebagai metode difusi cakram. Masing-masing
biakan murni bakteri S.aureus diinokulasikan secara merata dengan cara
mencelupkan ujung cotton bud steril dalam medium nutrient cair dan
mengoleskannya pada permukaan medium lempeng NA sampai rata. Kertas
cakram steril diresapi dengan sediaan gel, kontrol positif, dan kontrol negatif
dibiarkan selama 3 menit. Diletakkan kertas cakram tersebut pada permukaan
medium yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji secara aseptik (dengan
menggunakan pinset steril). Medium perlakuan ini diinkubasi pada suhu 37°C
selama 1x24 jam. Setelah 24 jam akan terbentuk zona bening di sekitar cakram
43

yang menunjukan kemampuan dari senyawa uji dalam menghambat pertumbuhan


bakteri. Setelah itu dilakukan pengukuran diameter zona hambat dengan
menggunakan jangka sorong pada masing-masing senyawa uji dan melakukan
replikasi sebanyak 3 kali.

3.15. Jalan penelitian


Penelitian ini dimulai dari determinasi tanaman kemuning dan kelor,
determinasi di UPT Materia Medica Batu, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur.
selanjutnya dilakukan pembuatan ekstrak daun kemuning dan daun kelor
menggunakan pelarut etanol 96% dengan metode maserasi. Ekstrak yang telah
dibuat dilakukan skrining fitokimia. Kombinasi ekstrak daun miana dan daun
kemuning konsentrasi 20% : 20%, 20% : 40%, dan diuji aktivitas antibakteri
terhadap S.aureus menggunakan metode difusi cakram dengan menggunakan
kontrol negatif etanol 96%. Menguji aktivitas antibakteri konsentrasi ekstrak
dengan perbandingan 1:1 , 1:2, dan 2:1 hasil yang didapat dari uji aktivitas
antibakteri ekstrak kemudian dilakukan uji spss untuk mengetahui perbedaan dari
setiap konsentrasi dan perbedaan dari setiap kelompok uji. Hasil dari uji spss
kombinasi ekstrak dengan konsentrasi terbaik dalam menghambat bakteri
S.aureus tersebut selanjutnya dibuat dalam sediaan gel dengan variasi konsentrasi
KOH. Memasukkan konsentrasi ekstrak kombinasi terbaik kedalam formula gel.
Melakukan evaluasi sediaan gel yang sudah terbuat meliputi uji organoleptis, uji
pH, uji viskositas, uji homogenitas, uji daya sebar, uji daya lekat, uji daya proteksi
dan uji aktivitas antibakteri. Uji efektivitas antibakteri gel menggunakan metode
difusi cakram untuk melihat daya hambat terhadap bakteri S.aureus dan
perbandingan dengan kontrol positif. Hasil yang diperoleh dari uji aktivitas
antibakteri sediian kemudian dilakukan uji spss. Kontrol negatif menggunakan gel
kosong atau gel tanpa tambahan ekstrak.

3.16. Analisis Hasil


44

Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif dan


kuantitatif. Analisis data kualitatif berupa data deskriptif dan diaplikasikan dalam
bentuk tabel dan grafik yang diperoleh dari pengamatan langsung oleh peneliti
terhadap uji organoleptis (bentuk, bau, rasa dan warna), uji pH, uji bobot jenis, uji
viskositas dan uji stabilitas. Analisis data kuantitatif diperoleh dari analisis data
terhadap uji aktivitas antibakteri menggunakan program SPSS. Pengolahan data
dapat dilakukan sebagai berikut:
3.16.1. Uji normalitas data
Uji normalitas adalah uji untuk mengukur apakah data mempunyai
distribusi normal, sehingga dapat digunakan dalam statistik parametrik. Penelitian
ini menggunakan uji Kolmogorov-smirnov sebagai uji normalitas data (Ghazali,
2011).
Perumusan hipotesis :
H0 : data berdistribusi normal
H1 : data berdistribusi tidak normal
Pengambilan keputusan :
1) Jika p > 0,05; maka H0 diterima
2) Jika p ≤ 0,05; maka H1 diterima
3.16.2. Uji homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji kesamaan (homogenitas)
beberapa sampel, yakni seragam tidaknya variasi sampel – sampel yang diambil
dari populasi yang sama (Ghazali, 2011). Pengujian homogenitas dilakukan
dengan menggunakan levene statistic.
Perumusan hipotesis :
H0 : data yang didapat memiliki variansi yang sama atau homogen
H1 : data yang didapat memiliki variansi yang tidak sama atau tidak
homogen
Pengambilan keputusan :
1) Jika p > 0,05; maka H0 diterima
2) Jika p ≤ 0,05; maka H1 diterima
3.16.3. Uji one way anova
45

Uji One Way Anova bertujuan untuk membedakan rata-rata sampel uji.
Dalam penelitian ini digunakan untuk membuktikan bahwa perlakuan sediaan gel
ekstrak daun kemuning dan daun kelor dengan variasi konsentrasi ekstrak yang
berbeda terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
Perumusan hipotesis :
H0 : Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi ekstrak daun kemuning dan kelor
dalam sediaan gel terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus.
H1 : Ada pengaruh variasi konsentrasi ekstrak daun kemuning dan ekstrak daun
kelor dalam sediaan gel terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Pengambilan keputusan :
1) Jika p > 0,05; maka H0 diterima
2) Jika p ≤ 0,05; maka H1 diterima
46

BAB IV
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman


Determinasi tanaman kemuning dan kelor dilakukan di Materia Medika,
Batu. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel yang digunakan adalah
tanaman kemuning (Murraya paniculate (L) jack) dengan kunci determinasi
sebagai berikut 1b-2b-3b-4b-6b-7b-9b-10b-11b-12b-13b-14a-15b-197b-208b-
219b-220b-224b-225b-227b-229a-1b-2b-4b-5. Morfologi tanaman kemuning
yaitu habitus, batang berkayu beralur, percabangan monopidal, daun majemuk.
Hasil determinasi daun kemuning dapat dilihat pada lampiran 1. Tanaman kelor
dengan kunci determinasi sebagai berikut 1b-2b-3b-4b-6b-7b-9b-10b-11b-12b-
13b-14a-15b-197b-208b-209b-210b-211b-214a-1. Morfologi tanaman kelor
adalah habitus, tinggi pohon ± 8 m, batang berkayu, bulat, bercabang, berbintik
hitam. Daun majemuk, Panjang 20-60 cm. Hasil determinasi daun kelor dapat
dilihat pada lampiran 2.

4.2 Pemeriksaan Karakteristik


4.2.1 Uji Kadar Air Simplisia
Tabel 4.1 Uji Kadar Air Simplia Serbuk

Sampel Bobot Bobot Rata-rata ± Hasil


Awal Akhir SD
Daun Kemuning 10,00 g 9,8 g 9,7 ± 0,1 3%
(Murraya 9,7 g
paniculate (L.) 9,6 g
47

jack 10,00 g 9,1 g 9,1 ± 0,1 9%


Daun Kelor 9,0 g
(Moringa oleifera, 8,9 g
L)

bobot awal−bobot akhir


Rumus % Kadar Air= x 100 %
bobot awal
Keterangan :
Bobot awal = bobot simplisia sebelum dioven
Bobot akhir = bobot simplisia sesudah dioven
%Akhir = hasil % kadar air
Uji kadar air serbuk simplisia bertujuan untuk mengetahui batasan
maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam serbuk simplisia.Uji
kadar air dilakukan sebanyak 3 kali dengan cara yang sama untuk mengetahui
keauratan data. Hal ini terkait dengan kemurnian dan adanya kontaminan dalam
serbuk simplisia tersebut. Penghilangan kadar air hingga jumlah tertentu berguna
untuk memperpanjang daya tahan serbuk simplisia selama penyimpanan.
Kandungan air yang berlebihan pada serbuk simplisia akan mempercepat
pertumbuhan mikroba dan juga dapat mempermudah terjadinya hidrolisis
terhadap kandungan senyawa kimia sehingga dapat mengakibatkan penurunan
mutu dari serbuk simplisia (Handayani et al., 2017).
Kadar air simplisia sebaiknya lebih kecil dari 10%. Kadar air yang lebih
besar dari 10% akan menyebabkan terjadinya proses enzimatik dan kerusakan
oleh mikroba. Simplisia yang disimpan dalam waktu yang lama, enzim akan
merubah kandungan kimia yang telah terbentuk menjadi produk lain yang
mungkin tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa asalnya. Hal ini
tidak akan terjadi jika bahan yang telah dikeringkan mempunyai kadar air yang
rendah. Beberapa enzim perusak kandungan kimia antara lain adalah hidrolase,
oksidase, dan polymerase (Rina et al., 2014).
Uji kadar air serbuk simplisia daun kemuning dan daun kelor diperoleh
hasil sebesar 3% dan 9% yang berarti, kadar air yang diperoleh pada simplisia
sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan yaitu ≤ 10% (Hidayati et al., 2018)
4.3 Pembuatan Esktrak Daun Kemuning dan Daun Kelor
48

Serbuk daun kemuning dan daun kelor diekstraksi menggunakan metode


maserasi. Metode maserasi dipilih karena memiliki cara ekstraksi yang sederhana,
serta cara pengerjaannya sederhana dan tidak memerlukan pemanasan sehingga
senyawa aktif dari tanaman tidak mengalami kerusakan (Susanty & Bachdim,
2016).
Proses maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia daun
kemuning dan daun kelor dalam pelarut. Pelarut yang digunakan adalah etanol
96% karena etanol adalah pelarut universal yang dapat menyari senyawa polar,
nonpolar dan semi polar (Febriani, 2014). Pelarut Etanol 96% dipilih karena
presentase air sebanyak 4% dan etanol sebanyak 96% dapat mengurangi
kontaminasi atau pertumbuhan mikroorganisme didalam ekstrak (Cobra et al.,
2019) dan dapat menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal dimana bahan
pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam cairan pengekstraksi dikarenakan
lebih aman dan bisa digunakan untuk melarutkan berbagai senyawa organik yang
tidak dapat larut dalam air (Cobra et al., 2019). Uji randemen dilakukan replikasi
sebanyak 3 kali dengan cara yang sama untuk mengetahui keakuratan data.
Tabel 4.2 Hasil rendemen ekstrak daun kemuning dan daun kelor
Sampel Bobot Bobot Rata-rata± SD Hasil
Simplisia Ekstrak
Daun Kemuning 1500 g 141,58 g 141,59 g ± 0,01 9,44%
(Murraya 141,60 g
paniculate (L.) 141,59 g
jack 1500 g 155,4 g 155,36 g ± 0,057 10,35%
Daun Kelor 155,3 g
(Moringa oleifera, 155,4 g
L)

Bobot ekstrak
Rumus % Rendemen= X 100 % ( Depkes RI , 2000)
Bobot simplisia
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa nilai rendemen ekstrak daun
kemuning yaitu sebesar 9,44%% dan daun kelor sebesar 10,35%. Hasil ini
menunjukkan bahwa rendemen ekstrak sesuai dengan persyaratan Farmakope
Herbal Indonesia, yaitu rendemen esktrak tidak kurang dari 6,8% sedangkan
untuk daun kelor randemen tidak kurang dari 9,2% (Depkes RI, 2017). Nilai
49

tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis pelarut, konsentrasi


pelarut, ukuran partikel simplisia, dan lamanya waktu ekstraksi (Susanty, 2016).
Nilai randemen ekstrak ini, menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai rendemen
maka semakin banyak nilai ekstrak yang dihasilkan. Namun, kualitas ekstrak yang
dihasilkan berbanding terbalik dengan jumlah rendemen yang dihasilkan yang
artinya semakin tinggi nilai rendemen maka semakin rendah mutu yang
didapatkan. (Wijaya et al., 2018).

4.4 Skrining Fitokimia


4.4.1 Skrining Fitokimia Ekstrak
Skrining fitokimia ekstrak daun kemuning dan kelor bertujuan untuk
memastikan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun
kemuning dan daun kelor. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun kemuning dan
daun kelor bisa dilihat ditabel 4.3 dan pada lampiran 3.
Tabel 4.3 Hasil skrining fitokimia ekstrak daun kemuning dan daun kelor
Golongan Pereaksi Perubahan Hasil
Senyawa Warna
Flavanoid Mg 0,1 g dan 2 Orange +
tetes HCl pekat
Saponin 10 mL aquades Berbusa +
FeCl3 1%
Tanin 5 tetes reagen Hijau +

Berdasarkan hasil skrining fitokimia pada ekstrak daun kemununing dan


daun kelor mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan alkaloid. Hasil
skrining fitokimia tersebut telah sesuai dengan Agida Widya (2013) dan Kartika
(2007) yang menyatakan bahwa ekstrak daun kemuning dan daun kelor memiliki
kandungan kimia flavanoid, saponin, dan tanin. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh (Hariyati, 2019) yang menyatakan bahwa senyawa paling banyak
yang terkandung dalam daun kemuning yaitu flavanoid, saponin, dan tanin. Daun
kelor memiliki senyawa paling banyak yaitu Flavanoid, tanin, saponin, dan steroid
50

(Sisilia et al). Daun kelor mengandung senyawa flavanoid yang lengkap


(Silverstein et al., 2005) dalam penelitian (Masruroh, 2020). Senyawa flavanoid
menjadi fokus utama sebagai antibakteri pada penelitian ini karena sistem kerja
falavanoid sama dengan kloramfenikol dalam menghambat aktivitas antibakteri .
Uji flavonoid dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan senyawa
flavonoid dalam ekstrak daun kemuning dan daun kelor. Uji flavonoid dilakukan
dengan menggunakan pereaksi wilstater yang dilakukan dengan menambahkan
Mg dan HCl pekat pada sampel ekstrak dan fraksi daun kenikir (Theodora et al.,
2019). Penambahan HCl pekat digunakan untuk menghidrolisis flavonoid menjadi
aglikonnya, yaitu dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergantikan
oleh H+ dari asam karena sifatnya yang elektrofilik. Reduksi dengan Mg dan HCl
pekat dapat menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah atau jingga
pada flavonol, flavanon, flavanonol dan xanton (Ikalinus et al., 2015). Warna
merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua diberikan
oleh senyawa flavanol atau flavanon, warna hijau diberikan oleh senyawa glikon
atau glikosida (Mariana et al., 2013). Hasil Skrining Fitokimia Flavonoid dapat
dilihat pada lampiran 3.
Uji saponin dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan senyawa
saponin dalam ekstrak daun kemuning dan daun kelor. Uji fitokimia senyawa
saponin dalam penelitian ini dilakukan dengan menambahkan ekstrak dengan air
(1:1) kemudian dikocok selama 1 menit. Identifikasi saponin menunjukkan hasil
positif apabila terbentuk busa dan bertahan selama 10 menit. Timbulnya busa
pada uji saponin menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan
untuk membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa
lainnya (Astarina et al., 2012). Hasil uji dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
senyawa saponin dari ekstrak daun kemuning dan daun kelor memiliki nilai
positif yang artinya dalam ekstrak daun kemuning dan daun kelor terkandung
seyawa saponin. Hasil skrining fitokimia saponin dapat dilihat pada lampiran 3.
Uji tanin bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan senyawa tanin
dalam ekstrak daun kemuning dan ekstrak daun kelor. Hasil uji menunjukkan
bahwa senyawa tanin dari kedua ekstrak memiliki nilai positif. Hasil identifikasi
51

tanin positif dengan ditandai terbentuknya warna hitam kebiruan atau hijau. Uji
fitokimia senyawa tanin dilakukan dengan menambahkan ekstrak daun kemuning
dan daun kelor dengan 5 tetes reagen (FeCl3). Uji fitokimia menggunakan FeCl3
dapat menunjukkan adanya gugus fenol, apabila terdapat senyawa fenol, maka
dimungkinkan juga terdapat tanin, karena tanin merupakan senyawa polifenol.
Perubahan warna hitam kebiruan atau hijau terjadi akibat pembentukan senyawa
komplek antara tanin dengan FeCl3. Senyawa kompleks tersebut terbentuk karena
terdapat ikatan kovalen koordinasi antara ion atau atom logam dengan atom non
logam (Sari et al., 2015). Hasil skrining fitokimia tanin dapat dilihat pada
lampiran 3.

4.5 Uji Identifikasi Bakteri


Identifikasi bakteri bertujuan untuk mengetahui identitas dari bakteri uji
yang digunakan. Bakteri uji pada penelitian ini adalah S.aureus yang diperoleh
dari Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya. Identifikasi bakteri yang
dilakukan pada penelitian ini yaitu uji pewarnaan Gram dan identifikasi bakteri
dengan media MSA.
Uji pewarnaan Gram merupakan teknik pewarnaan diferensial yang
memisahkan bakteri menjadi dua kelompok yaitu Gram positif dan Gram negatif.
Pewarnaan Gram bertujuan untuk mengamati morfologi sel bakteri dan
mengetahui kemurnian sel bakteri. S.aureus merupakan bakteri Gram positif yang
menghasilkan warna ungu pada pewarnaan Gram dan berbentuk kokus ketika
diamati dibawah mikroskop (Dewi, 2013). Bakteri Gram positif berwarna ungu
disebabkan kompleks zat warna kristal violet-yodium tetap dipertahankan
meskipun diberi larutan pemucat. Perbedaan struktur luar dinding sel bakteri
Gram positif dan negatif mengakibatkan terjadinya perbedaan warna pada akhir
prosedur pewarnaan Gram. Dinding sel terluar bakteri Gram positif terdiri dari
peptodoglikan tebal tanpa lapisan lipoprotein atau lipopolisakarida sedangkan
bakteri gram negatif memiliki dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan tipis
yang dibungkus oleh lapisan lipoprotein atau lipoposakarida (Karimela et al.,
2017).pewarnaan gram bisa dilihat Digambar 4.1.
52

A. B.
Gambar 4.1 A. Hasil uji identifikasi bakteri S. Aureus uji pewarnaan
Gram. B. Hasil Uji media MSA
Identifikasi bakteri dengan media MSA dilakukan untuk mengetahui
koloni dari bakteri S.aureus. Bakteri S.aureus memiliki kemampuan untuk
memfermentasikan manitol. Hal tersebut dapat dibuktikan bila S.aureus dibiakkan
dalam media MSA, dimana terjadi perubahan warna dari merah ke kuning. Zona
kuning menunjukkan adanya fermentasi manitol, yaitu asam yang dihasilkan akan
mengubah indikator pH dan menyebabkan perubahan phenol red pada agar dari
merah menjadi berwarna kuning (Dewi, 2013). Media MSA merupakan media
selektif dan diferensial untuk identifikasi S.aureus. Media ini mengandung garam
natrium klorida sebesar 7,5% sehingga media ini menjadi media selektif. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada konsenterasi
garam 7,5% kecuali S.aureus. Hasil uji media MSA pada penelitian ini
menunjukkan hasil positif bakteri S.aureus yang ditandai dengan adanya zona
kuning yang mengelilingi koloni. Identifikasi bakteri S.aureus dengan media
MSA dapat dilihat pada Gambar 4.1.

4.6 Uji Aktivitas Antibakteri Kombinasi Ekstrak Daun Kemuning dan


Daun Kelor
53

Ekstrak yang didapat kemudian diuji aktivitas antibakterinya terhadap


bakteri S. Aureus. Kontrol negatif yang digunakan dalam uji ini yaitu etanol 96%
yang juga digunakan sebagai pelarut esktrak daun kemuning dan ekstrak daun
kelor. Pelarut Etanol 96% dipilih karena presentase air sebanyak 4% dan etanol
sebanyak 96% dapat mengurangi kontaminasi atau pertumbuhan mikroorganisme
didalam ekstrak (Cobra et al., 2019) dan dapat menghasilkan jumlah bahan aktif
yang optimal dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam cairan
pengekstraksi dikarenakan lebih aman dan bisa digunakan untuk melarutkan
berbagai senyawa organik yang tidak dapat larut dalam air (Cobra et al., 2019).
Uji aktivitas antibakteri ekstrak daun kemuning dan daun kelor terhadap
bakteri S. Aureus menggunakan metode difusi cakram. Daya antibakteri ekstrak
daun kemuning dan daun kemuning dapat dilihat dari ada atau tidaknya zona
bening disekitar kertas cakram. Hasil zona hambat uji aktivitas antibakteri ekstrak
daun kemuning dan daun kelor dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak
Ekstrak Konsentrasi Diameter (mm) Rata-
I II III rata
Daun Kemuning 1:1 15mm 16mm 13mm 14,6mm
(Murraya
paniculate (L.) dan 1:2 25mm 22mm 24mm 23,6mm
jack dan Daun
Kelor (Moringa 2:1 16mm 16,50mm 19mm 17mm
oleifera, L)
Etanol (K-) 96% 0 0 0 0
Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak daun kemuning dan daun kelor
dengan konsentrasi 1:1, 1:2, dan 2:1. Diameter zona hambat <5 mm memiliki
respon hambatan lemah, diameter zona hambat 6-10 mm memiliki respon
hambatan sedang, diameter zona hambat 11-20 mm memiliki respon hambatan
kuat, dan diameter zona hambat >21 mm memiliki respon hambatan sangat kuat
(Susanto et al., 2012). Dapat dilihat pada table 4.4 hasil rata-rata konsentrasi 1:1
adalah 14,6 mm dikategorikan kuat, konsentrasi 1:2 memiliki rata-rata 23,6 mm
yang termasuk dalam kategori sangat kuat, dan konsentrasi 2:1 memiliki rata-rata
17 mm dikategorikan kuat.
54

Data zona hambat yang diperoleh kemudian dilakukan analisis statistika


dengan uji One-Way Anova. Hasil analisis data dengan One-way Anova
menunjukkan nilai signifikansi p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang
signifikan pada pengaruh perlakuan terhadap bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa
kontrol positif dan ketiga konsentrasi ekstrak dapat memberikan aktivitas
antibakteri terhadap bakteri S.aureus. Uji lanjutan yang digunakan yaitu uji Post
Hoc dengan metode Tukey HSD. Hasil Uji Pos Hoc dengan metode Tukey HSD
dapat dilihat pada tabal 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Uji Pos Hoc dengan metode Tukey HSD
Daya Hambat
Tukey HSD a

Subset for alpha = 0.05


FORMULA N 1 2 3
Etanol 96% 3 ,0000
Ekstrak 1:1 3 14,6667
Ekstrak 2:1 3 17,1667
Ekstrak 1:2 3 23,6667
Sig. 1,000 ,133 1,000
Kontrol negatif menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap berbagai
konsentrasi ekstrak daun kemuning dan daun kelor, hal ini dibuktikan dengan nilai
signifikansi p<0,05. Kontrol negatif yang digunakan adalah etanol 96% yang
menunjukkan tidak adanya zona hambat. Hal ini mengindikasikan bahwa kontrol
negatif yang digunakan tidak berpengaruh pada uji antibakteri (Mpila et al.,
2012). sehingga daya hambat yang terbentuk tidak dipengaruhi oleh pelarut
melainkan karena aktivitas senyawa yang ada pada kedua ekstrak. Penggunaan
etanol sebagai kontrol negatif diperkuat dengan penelitian sebelumnya oleh Ratna
et al (2016) yang menyatakan bahwa kontrol negatif etanol 96% pada uji
antibakteri tidak menunjukkan adanya aktivitas sehingga dapat dipastikan bahwa
etanol 96% tidak berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri yang terbentuk.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa
ekstrak daun kemuning yang dikombinasikan dengan ekstrak daun kelor mampu
menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus hal ini dapat dilihat dari adanya zona
hambat yang terbentuk akibat aktivitas antibakteri. Uji Post hoc terhadap diameter
zona hambat bakteri S.aureus untuk konsentrasi ekstrak 1%:1% menunjukkan
55

perbedaan nyata terhadap konsentrasi 1%:2% namun tidak jauh berbeda bermakna
dengan ekstrak konsentrasi 2%:1%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi
ekstrak 1%:1% memberikan efek yang berbeda dengan salah satu konsentrasi
dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus. Ekstrak dengan konsentrasi
2%:1% juga menunjukkan perbedaan nyata terhadap ekstrak konsentrasi 1%:2%,
namun tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 1%:1%. Sedangkan konsentrasi
ekstrak 1%:2% menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol negatif, dan
kedua konsentrasi ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak
tersebut menunjukkan efek yang sangat kuat dalam menghambat pertumbuhan
bakteri S.aureus. Besar kecilnya zona hambat yang terbentuk dipengaruhi oleh
konsentrasi ekstrak yang diberikan (Sudarmi et al., 2017). Abfidah, (2014)
menyatakan bahwa meningkatnya konsentrasi ekstrak menyebabkan
meningkatnya kandungan bahan aktif yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga
kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri juga semakin besar.
Peningkatan konsentrasi ekstrak daun kemuning dan daun kelor
mempengaruhi diameter zona hambat yang terbentuk. Diameter zona hambat yang
berbeda-beda menunjukkan kemampuan ekstrak yang berbeda dalam menghambat
pertumbuhan bakteri S.aureus. Perbedaan diameter zona hambat ini dapat
disebabkan adanya kandungan metabolit sekunder yang terkandung pada ekstrak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Mpila et al (2012) yang menyatakan bahwa
ukuran dari zona hambat dipengaruhi oleh perbedaan besar kecilnya konsentrasi
ekstrak. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan zona hambat adalah
temperatur inkubasi, waktu pemasangan cakram, dan jarak cakram antimikroba.
Perlakuan konsentrasi ekstrak kombinasi daun kemuning dengan daun
kelor dan kontrol positif kloramfenikol dalam penelitian ini menunjukkan adanya
zona hambat, yang artinya ekstrak daun kemuning dan daun kelor pada
konsentrasi 1%:2% memiliki aktivitas antibakteri yang sangat kuat dalam
menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus . Berdasarkan Tabel 4.5 diketahui
bahwa ekstrak daun kemuning dan daun kelor konsentrasi 1%:2% merupakan
konsentrasi ekstrak yang memiliki zona hambat paling besar jika dibandingkan
dengan konsentrasi 1%:1% dan 2%:1% dan dibuktikan dengan uji Post hoc yang
56

menunjukkan bahwa konsentrasi 1%:2% berada pada kolom yang berbeda dengan
lainnya yang artinya konsentrasi ekstrak 1%:2% memiliki pengaruh antibakteri
yang sangat kuat daripada yang lain. Konsentrasi 1%:2% merupakan konsentrasi
minimum yang memberikan respon hambatan sangat kuat sehingga dinyatakan
sebagai konsentrasi efektif. Menurut Fitriah et al. (2017) konsentrasi efektif
adalah konsentrasi minimum yang dapat memberikan respon hambatan sangat
kuat.
Peningkatan konsentrasi ekstrak juga memberikan pengaruh terhadap
respon hambatan. Semakin tinggi konsentrasi maka respon hambatan semakin
kuat. Konsentrasi ekstrak 1%:2% memberikan respon hambatan yang sangat kuat.
Berdasarkan respon hambatan tersebut dapat dinyatakan bahwa ekstrak daun
kemuning yang dikombinasikan dengan ekstrak daun kelor memiliki aktivitas
antibakteri yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus. Hal ini
dikarenakan pada konsentrasi tersebut telah memenuhi persyaratan tentang
kepekaan bakteri uji terhadap senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman yang
menyatakan bahwa kategori peka dari bakteri uji apabila diameter zona hambat
yang dihasilkan berkisar antara 12–24 mm serta termasuk memiliki aktivitas
antibakteri kategori sangat kuat (Saputro, 2014). Ekstrak dengan konsentrasi 1% :
2% kemudian dijadikan bahan aktif dalam pembuatan sediaan gel.

I II III
Gambar 4.2 Hasil pengamatan uji antibakteri ekstrak
57

Uji Aktivitas Antibakteri ekstrak


25 23.6
Diameter zona hambat

20
17 17.6

14.6
15

10

0
0
1%:1% 1%:2% 2%:1% K+ K-

Gambar 4.3 Grafik daya hambat ekstrak

4.7 Evaluasi Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan Daun Kelor
Evaluasi sediaan bertujuan untuk melihat kualitas suatu sediaan dan
untuk menjamin bahwa sediaan tersebut memiliki karakteristik sesuai dengan
karakteristik yang telah ditentukan. Evaluasi sediaan meliputi uji organoleptis, uji
homogenitas, uji pH, uji daya sebar, uji daya lekat, dan uji daya proteksi. Uji
stabilitas fisik dilakukan pada hari ke-0, hari ke-7, hari ke-14, hari ke-21, dan hari
ke-28.
4.7.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptik bertujuan untuk melihat tampilan fisik dari suatu
sediaan yang meliputi bentuk, warna dan bau. Dalam uji organolptis diamati
secara langsung bentuk, warna dan bau dari sediaan gel ekstrak daun kemuning
dan daun kelor tanpa menggunakan alat bantu. Bentuk dari gel yang dihasilkan
pada penelitian ini yaitu semisolid, bau yang dihasilkan bau khas gel, bau khas gel
sama seperti bau ekstrak yang dijadikan bahan aktif dalam sediaan. Sediaan
berwarna cokelat, warna cokelat pada sediaan mengindikasikan adanya
kandungan ekstrak daun kemuning dan daun kelor yang tampak berbeda dari basis
gel yaitu putih. Menurut Ansel (2005), gel biasanya jernih dengan konsistensi
setengah padat, namun berdasarkan hasil pengamatan, gel yang dibuat memiliki
warna coklat tua yang merupakan pengaruh dari ekstrak yang digunakan.
58

Tabel 4.6 Hasil Uji Organoleptis Sediaan Gel


Pengamatan Oraganoleptis H0 H+28
Bau Khas Khas
Bentuk Semi solid Semi solid
Warna Coklat tua Coklat tua
Berdasarkan table 4.6 pengujian dari hari ke-0 sampai hari ke-28,. Dapat
disimpulkan bahwa sediaan gel ekstrak daun kemuning dan daun kelor tersebut
stabil berdasarkan pengujian bau, bentuk, dan warna selama masa penyimpanan.
Hasil uji organoleptis bisa dilihat pada lampiran 3 dan 8.

Gambar 4.4 Uji Organoleptis


4.7.2 Uji pH
Uji pH dbertujuan untuk mengetahui pH sediaan yang dibuat, yang mana
harus sesuai dnegan pH kulit (Naibaho et al., 2013). Uji pH dilakukan dengan
mengoleskan sediaan pada kertas pH universal kemudian diamati perubahan
warna dan dibandingkan dengan indikator pH yang digunakan.
Tabel 4.7 Hasil Uji pH sediaan gel ekstrak daun kemuning dan daun kelor
Sampel H0 H+28 Rata-rata ± Standart
SD
Sediaan gel 6,6 5 5,7 ± 0,804 4,5 – 6,5
(Naibaho et
al., 2013)
59

Uji pH
7
6
5
4
3
2
1
0
h0 h7 h14 h21 h28

Formula

Gambar 4.5 Grafik pH sediaan gel selama 4 minggu


Berdasarkan hasil uji pH yang diperoleh, sediaan gel ekstrak daun
kemuning dan daun kelor mempunyai nilai pH rata-rata 5,8 selama masa
penyimpanan 4 minggu dan tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini
berarti pH sediaan sudah memenuhi kriteria pH kulit yaitu 4,5-6,5 (Mappa et al.,
2013). Hasil tersebut dapat disimplkan bahwa sediaan gel ekstrak daun kemuning
dan daun kelor stabil selama masa penyimpanan.
Perubahan pH sediaan selama penyimpanan menandakan kurang
stabilnya sediaan selama penyimpanan. Ketidak stabilan ini dapat merusak produk
selama penyimpanan atau penggunaan. Perubahan nilai pH akan terpengaruh oleh
media yang terdekomposisi oleh suhu tinggi saat pembuatan atau penyimpanan
yang menghasilkan asam atau basa. Asama tau basa ini mempengaruhi pH. Selain
itu perubahan pH juga disebabkan faktor lingkungan seperti suhu, penyimpanan,
yang kurang baik, kombinasi ketiga ekstrak yang kurang stabil dalam sediaan
karena teroksidasi (Young et al., 2002). Hasil dari uji pH bisa dilihat pada
lampiran 3 dan 8.
4.7.3 Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan gel ekstrak
daun kemuning dan daun kelor pada gelas obyek secara merata dan diamati
secara visual. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui tidak adanya butiran
kasar pada sediaan (Sayuti, 2015). Hasil uji homogenitas sediaan gel ekstrak daun
kemuning dan daun kelor dapat dilihat pada tabel 4.7 dan pada lampiran 3 dan 8.
60

Tabel 4.8 Hasil uji homogenitas


Sampel H0 H+28

Sediaan gel Homogen Homogen


Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa sediaan gel yang dibuat sudah
homogen yang ditandai dengan tidak adanya butiran kasar dalam sediaan serta
tetap stabil selama masa penyimpanan.

Gambar 4.6 Uji Homogenitas


4.7.4 Uji Viskositas
Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield
(Viscotester VT-04F) menggunakan rotor nomor 2. Uji viskositas dilakukan untuk
mengetahui kekentalan dari gel. Gel yang tidak terlalu cair maupun tidak terlalu
kental merupakan ciri gel yang baik Viskositas gel yang baik berada pada rentang
50 – 1000 dPa.s, dengan viskositas optimal 200 dPa.s (Nurahmanto et al., 2017).
Tabel 4.9 Hasil uji viskositas
Sampel H0 H+28 Rata-rata ± SD
Sediaan gel 195 dPa.s 160 dPa.s 178 ± 13,509
(50-1000 dPa.s
Nurahmanto et al.,
2017
61

Uji Viskositas
250

200

150

100

50

0
h0 h7 h14
Formula h21 h28

Gambar 4.7 Grafik viskositas sediaan gel


Hasil uji viskositas menunjukan adanya penurunan pada viskositas
selama penyimpanan 4 minggu. Viskositas gel dipengaruhi oleh konsentrasi
carbopol. Carbopol bertanggungjawab terhadap terbentuknya matriks gel. Selama
penyimpanan, carbopol dapat mengalami kerusakan yang menyebabkan
perubahan viskositas gel. Hal ini dapat disebabkan oleh suhu dan kemasan yang
kurang kedap sehingga gel menyerap uap air dari luar dan menambah volume air
dalam gel. Penambahan bahan-bahan lain seperti propilenglikol dan gliserin yang
konsistensinya cair, dapat menurunkan viskositas sediaan gel (Nutrisia, 2015).
Meskipun mengalami penurunan hasil viskositas sediaan gel yang dibuat sudah
memenuhi syarat nilai viskositas sediaan gel karena masih masuk dalam rentang
viskositas yaitu 50-1000 dPa.s (Nurahmanto et al., 2017) . Hasil dari uji viskositas
bisa dilihat pada lampiran 3 dan 8.
4.7.5 Uji Daya Sebar
Uji daya sebar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan
penyebaran gel. Pengujian daya sebar merupakan salah satu syarat dari suatu
sediaan semisolid. Suatu sediaan semisolid memiliki daya sebar yag tinggi maka
akan memberikan daerah penyebaran yang luas pada kulit sehingga zat aktif yang
terkandung akan tersebar secara merata.
Tabel 4.10 Hasil uji daya sebar
Sampel H0 H+28 Rata-rata ± SD Standart
Sediaan gel 6,9 5,3 6 ± 0,667 5-7 cm
(Wasiaturrahmah, 2018)
62

Uji Dayasebar
8
7
6
5
4
3
2
1
0
H0 H7 H14 H21 H28

Formula

Gambar 4.8 Grafik dari pengukuran uji daya sebar


Berdasarkan Tabel 4.10, dapat diketahui bahwa pengujian daya sebar gel
ekstrak daun kemuning dan daun kelor telah sesuai dengan ketentuan dari uji
daya sebar. Daya sebar sediaan pada hari ke-0 sampai hari ke-28 memperlihatkan
hasil yang sama atau tidak jauh berbeda dan masih dalam rentan yang ditentukan
yaitu 5-7 cm (Wasiaturrahmah, 2018). Adanya bahan alam ekstrak
mempengaruhi daya sebar gel dengan terjadinya penurunan viskositas (Dila,
2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa gel yang dibuat memiliki daya sebar
yang stabil selama masa penyimpanan. Hasil uji daya sebar bisa dilihat pada
lampiran 3 dan 8.
4.7.6 Uji Daya Lekat
Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui kemampuan sediaan gel utuk
melekat ketika dioleskan pada kulit. Daya lekat yang rendah menggambarkan
bahwa sediaan mudah terlepas dari kulit sehingga memberikan efek yang kurang
maksimal. Daya lekat sediaan gel sebaiknya lebih dari 1 detik (Afianti et al.,
2015). Hasil uji daya lekat dapat dilihat pada tabel 4.10 dan pada lampiran 3 dan
8.
Tabel 4.11 Hasil uji daya lekat
Sampel H0 H+28 Rata-rata ± SD Standart
Sediaan gel 2,2 1,8 2 ± 0,149 ≥1 Afianti et al.,
(2015)
63

Uji Daya Lekat


2.5
2
1.5
1
0.5
0
H0 H7 H14 H21 H28

Formula

Gambar 4.9 Grafik pengukuran uji daya lekat


Berdasarkan tabel 4.11, diketahui bahwa sediaan gel ekstrak daun
kemuning dan daun kelor memiliki daya lekat yang sesuai dengan ketentuan yaitu
≥1 detik (Afianti et al., 2015). Sediaan gel yang dibuat memiliki daya lekat yang
stabil selama masa penyimpanan yang ditandai dengan tidak adanya perubahan
yang signifikan pada hasil uji daya lekat dari hari ke-0 hingga hari ke-28. Gel
yang memiliki daya lekat yang tinggi akan melekat lama di kulit, sebaliknya gel
yang memiliki daya lekat yang rendah akan cepat hilang dari kulit hal tersebut
dipengaruhi oleh viskositas sediaan gel (Afianti et al., 2015).
4.7.7 Uji Daya Proteksi
Uji daya proteksi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kemampuan sediaan gel antibakteri dalam memproteksi atau memberikan
perlindungan kulit terhadap pengaruh asing dari luar. Gel yang dibuat memiliki
pH yang sesuai dengan pH kulit. Apabila gel tersebut mengandung asam, ketika
diberi indikator untuk mengetahui adanya asam seperti fenolftlein dan diberi
NaOH, maka akan menunjukkan bercak noda merah yang menandakan gel
tersebut terdeteksi adanya asam kuat yang berbahaya bagi kulit. Hasil pada uji
daya proteksi bisa dilihat pada tabel 4.11 dan pada lampiran 3 dan 8.
Tabel 4.12 Hasil uji daya proteksi
Sampel H0 H+28
Sediaan gel √ √
Keterangan: (√) =
Tidak timbul warna merah
Berdasarkan Tabel 4.12, dapat diketahui bahwa sediaan gel ekstrak daun
kemuning dan daun kelor terdapat daya proteksi selama masa penyimpanan 4
64

minggu. Berdasarkan hasil penelitian sediaan gel ekstrak daun kemuning dan daun
kelor tidak mampu memberikan proteksi terhadap lingkungan luar seperti asam,
basa, debu, dan sinar matahari langsung. Mekanisme timbulnya noda merah
terjadi karena KOH yang bersifat basa akan mempengaruhi sediaan ketika
berinteraksi dengan indikator PP yang berubah warna dari tak berwarna dalam
larutan asam menjadi merah muda dalam larutan basa, yang berarti gel mampu
memberikan proteksi terhadap pengaruh luar seperti asam, basa, debu dan sinar
matahari langsung. Sediaan gel yang baik seharusnya mampu memberikan
proteksi terhadap semua pengaruh dari luar misalnya asam, basa, panas. Semakin
lama waktu yang ditimbulkan kertas saring untuk berubah menjadi warna merah,
maka semakin baik kemampuan gel untuk memberikan proteksi terhadap
lingkungan (Husnani & Muazham, 2017)
4.8 Uji Efektivitas Antibakteri Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan
Daun Kelor Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus
Uji efektivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui daya antibakteri
sediaan gel ekstrak daun kemuning dan dun kelor terhadap bakteri S.aureus yang
dapat dilihat dengan adanya diameter zona hambat pada kertas cakram dan
dibandingkan dengan kontrol positif maupun kontrol negatif. Pengukuran zona
hambat dapat dilihat dengan terbentuknya zona bening di sekitar kertas cakram
(Kurniawati, 2015). Hasil evaluasi sediaan dapat dilihat bahwa sediaan gel ekstrak
daun kemuning dan kelor memiliki hasil yang stabil selama penyimpaan, maka
penelitian dapat dilanjutkan pada uji efektivitas antibakteri sediaan gel kombinasi
ekstrak daun kemuning dan daun kelor.
Uji efektivitas antibekteri sediaan gel ekstrak kombinasi daun kemuning
dan daun kelor terhadap bakteri S.aureus dilakukan dengan menggunakan metode
difusi cakram. Metode ini dipilih karena proses pengerjaan yang mudah dilakukan
dan tidak memerlukan peralatan khusus (Rahmadani, 2015). Cara kerja difusi
cakram yaitu sediaan gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan daun kelor
diserapkan pada kertas cakram dan ditempelkan pada media agar yang telah
diinokulasikan bakteri S.aureus kemudian diinkubasi selama 24 jam dan dilihat
zona hambat di daerah sekitar kertas cakram (Rahmadani, 2015) .
65

Tabel 4.13 Hasil zona hambat sediaan gel


Sampel I II II Rata-rata ±
Sd
Sediaan gel 25,16m 24,25mm 23,2mm 24,20 ±
m 13,278
Kontrol + 18mm 19mm 17,66 ± 1,527
16mm
Kontrol - 0 0 0
0
Keterangan :
Kontrol + : Kloramfenikol 1%
Kontrol - : Sediaan gel tanpa bahan aktif

Uji daya hambat sediaan


30
Diameter zona hambat (mm)

25

20

15

10

0
Sediaan K+ K-

Gambar 4.10 Grafik pengukuran aktivitas antibakteri sediaan gel


Kontrol negatif yang digunakan pada uji antibakteri sediaan gel ekstrak
daun kemuning dan daun kelor ini adalah sediaan gel kosong atau sediaan gel
yang tidak terdapat zat aktif (ekstrak daun) dalam formulasinya. Sediaan gel
kosong ini berfungsi sebagai pembanding dan untuk mengetahui basis gel yang
digunakan terdapat aktifitas antibakteri terhadap S.aureus atau tidak. Kontrol
negatif digunakan untuk melihat adanya aktivitas antibakteri pada pelarut atau
tidak sehingga tidak menimbulkan bias pada hasil penelitian (Sudarmi et al.,
2017). Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa hasil zona hambat kontrol
negatif pada penelitian ini memiliki rata-rata 0,00±0,000. Berdasarkan analisis
statistik menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif menunjukkan perbedaan
yang nyata terhadap kontrol positif dan sediaan gel ekstrak daun kemuning dan
daun kelor yang dibuktikan dengan signifikan dengan nilai p<0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa kontrol negatif tidak memiliki aktivitas antibakteri sehingga
tidak mempengaruhi hasil uji aktivitas antibakteri pada sediaan gel kombinasi
66

ekstrak daun kemuning dan daun kelor (Maulana et al., 2021). Hal ini juga
menunjukkan bahwa sediaan gel kosong yang digunakan sebagai kontrol negatif
merupakan sediaan yang baik yang dapat melarutkan basis gel tanpa memberikan
pengaruh zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri (Dewi, 2013).
Kontrol positif yang digunakan yaitu kloramfenikol dengan konsentrasi
1%. Kloramfenikol memiliki mekanisme yang sama dengan senyawa yang
terkandung dalam daun kemuning dan daun kelor yaitu senyawa flavonoid yang
berkhasiat sebagai bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram
negatif. Kloramfenikol mampu mengubah proses denaturasi protein dan asam
nukleat pada bakteri sehingga antibiotik ini dapat merusak sel bakteri (Ganiswara,
2012).Kloramfenikol merupakan suatu golongan antibiotika yang menghambat
pertumbuhan bakteri dengan spektrum kerja yang luas (Siswando et al., 2000).
Kontrol positif kloramfenikol, memberikan zona hambat dengan diameter rata-
rata 17,66±1,527mm yang menunjukkan bahwa kloramfenikol mampu
memberikan respon hambat pertumbuhan bakteri dengan kategori kuat terhadap
bakteri S.aureus (Ratna et al., 2016). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ratna et al (2016) yang mana dalam penelitian tersebut dikatakan
bahwa kontrol positif kloramfenikol dengan konsentrasi 1% dapat menghasilkan
zona hambat terhadap bakteri S.aureus sebesar 16-22 mm yang termasuk dalam
kategori kuat. Sehingga bakteri S.aureus bersifat sensitif terhadap kloramfenikol
(Ratna et al., 2016).
Berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok kontrol
positif dibandingkan dengan sediaan gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan
daun kelor dan kontrol negatif mempunyai perbedaan yang signifikan dengan nilai
p<0,05 Hasil tersebut dapat terjadi karena antibiotik kloramfenikol 500 mg
merupakan suatu bahan kimia yang telah terbukti dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga untuk menyetarakan zona hambat
ekstrak daun kenikir dengan antibiotik kloramfenikol diperlukan dibutuhkan
konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi (Handayani et al., 2020).
67

Tabel 4.14 Hasil Uji Pos Hoc dengan metode Tukey HSD
Zona Hambat
Tukey HSDa
Subset for alpha = 0.05
FORMULA N 1 2 3
Formulasi tanpa ekstrak 3 ,0000
kloramfenikol 1% 3 17,6667
F1 3 24,2067
Sig. 1,000 1,000 1,000
Sediaan gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan daun kelor yang
dibuat menunjukkan hasil 24,20 ± 13,278, hasil zona hambat tersebut merupakan
hasil yang paling kuat dibandingkan dengan kontrol positif karena uji analisis
stastika menunjukkan sediaan berbeda bermakna apabila dibandingkan dengan
kontrol positif dan kontrol negatif, dengan nilai signifikan p<0,05 dan sediaan
berada pada kolom yang berbeda dengan kontrol positif maupun kontrol negatif
dapat dilihat pada tabel 4.14. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi sediaan
ekstrak daun kemuning dan daun kelor dengan konsentrasi 1%:2% memberikan
efek yang berbeda dengan kontrol negatif maupun kontrol positif lainnya dalam
menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus.
Besar kecilnya zona hambat yang terbentuk dipengaruhi oleh konsentrasi
ekstrak yang diberikan (Sudarmi et al., 2017). Abfidah, (2014) menyatakan bahwa
meningkatnya konsentrasi ekstrak menyebabkan meningkatnya kandungan bahan
aktif yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga kemampuannya dalam
menghambat pertumbuhan bakteri juga semakin besar. Perbedaan diameter zona
hambat ini dapat disebabkan adanya kandungan metabolit sekunder yang
terkandung pada ekstrak. Hal ini sesuai dengan pendapat Mpila et al (2012) yang
menyatakan bahwa ukuran dari zona hambat dipengaruhi oleh perbedaan besar
kecilnya konsentrasi ekstrak. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan zona
hambat adalah temperatur inkubasi, waktu pemasangan cakram, dan jarak cakram
antimikroba. Berdasarkan respon hambatan tersebut dapat dinyatakan bahwa
sediaan gel ekstrak daun kemuning dan daun kelor memiliki sensitivitas yang
tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus. Hal ini dikarenakan
68

hasil zona hambat yang didapat telah memenuhi persyaratan tentang kepekaan
bakteri uji terhadap senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman yang
menyatakan bahwa kategori peka dari bakteri uji apabila diameter zona hambat
yang dihasilkan berkisar antara 12–24 mm serta termasuk memiliki efektifitas
antibakteri kategori sangat kuat (Saputro, 2014). Sediaan gel kombinasi ekstrak
daun kemuning dan daun kelor memiliki efektivitas terhadap bakteri S.aureus
yang dibuktikan dengan adanya zona hambat yang terbentuk dan tidak jauh
berbeda dengan zona hambat dari kontrol positif.

4.9 Analisis Statistika


Data hasil uji stabilitas fisik meliputi daya sebar, daya lekat, viskositas
serta uji aktivitas antibakteri sediaan gel kombinasi ekstrak daun kemuning dan
daun kelor selanjutnya dilakukan analisis data statistik menggunakan program
SPSS 25 dengan metode One Way Anova. Analisa data menggunakan One Way
Anova dapat dilakukan setelah uji normalitas dan homogenitas. Analisa ini
digunakan untuk mengetahui bahwa terdapat perbedaan daya sebar, daya lekat,
viskositas dan efek antibakteri yang signifikan atau tidak antar kelompok
perlakuan.
4.9.1 Normalitas Data
Tabel 4.15 Uji normalitas data

Tests of Normality
FORMULA Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Daya F1 ,184 3 . ,999 3 0,927
Hambat Formulasi tanpa . 3 . . 3 .
Ekstrak
kloramfenikol 1% ,253 3 . ,964 3 0,637
Berdasarkan perhitungan Kolmogorov-Smirnov menunjukkan hasil
signifikan yang lebih besar dari 0,05 hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa data
terdistribusi normal dan dapat dilanjutkan uji one way ANOVA
69

.
4.9.2 Uji Homogenitas
Tabel 4.16 Hasil uji homogenitas data
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3,648 2 6 0,092

Dari hasil pengujian homogenitas data daya hambat antibakteri dengan


menggunakan Uji Levene-statistic didapatkan hasil nilai p = 0,511 (> 0,05). Data
memiliki varian yang homogen bila nilai p > 0,05. Sehingga dapat dikatakan
bahwa data tersebut memiliki varian yang homogen.
4.9.3 Uji One Way Anova
Tabel 4.17 Hasil uji one way anova
ANOVA
Daya Hambat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 940,845 2 470,423 429,562 0,000
Within Groups 6,571 6 1,095
Total 947,416 8

Dari penilaian distribusi data untuk daya hambat terhadap bakteri


S.aureus didapatkan hasil bahwa data bersifat normal dan homogen. Sehingga
pengujian uji beda untuk data daya hambat terhadap bakteri S.aureus dilakukan
dengan menggunakan uji one way anova. Hasil pengujian statistik dengan
menggunakan One Way Anova, didapatkan nilai p = 0,000. Oleh karena nilai
p>0,05, maka dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh variasi konsentrasi sediaan
gel ekstrak daun kemuning dan daun kelor terhadap pertumbuhan bakteri
S.aureus.
70

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Daun Kemuning (Murraya paniculate (L.) jack dan daun Kelor (Moringa
oleifera, L) mempunyai aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus yang ditandai
dengan adanya diameter zona hambat (zona bening) pada media, semakin tinggi
konsentrasi ekstrak semakin luas zona hambat yang di peroleh. Ketiga
konsentrasi, yang memiliki daya hambat luas dengan konsentrasi terkecil yaitu
konsentrasi 1:2 yang akan dijadikan zat aktif dalam sediaan gel
2. Sediaan gel ekstrak kombinasi daun kemuning dan daun kelor memiliki
stabilitas sediaan yang baik selama masa penyimpanan, ditandai dengan hasil dari
uji stabilitas fisik sediian masuk dalam rentan yang ditentukan.
3. Sediaan gel kombinasi daun kemuning dan daun kelor memiliki efektivitas
antibakteri Staphylococcus aureus yang ditandai dengan adanya diameter zona
hambat (zona bening) pada media yaitu rata-rata 24,20 mm yang termasuk dalam
kategori sangat kuat.

5.2 Saran
Bersasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak daun
kemuning dan daun kelor yang memiliki konsentrasi setara dengan antibiotic
yang beredar di pasaran.
2. Perlu dilakukan uji stabilitas fisik sediaan gel ekstrak daun kemuning dan kelor
dengan masa penyimpanan yang lebih lama.
3. Perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dengan metode pengujian
antibakteri dan jenis bakteri yang lain.
71

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan bentuk sediaan yang berbeda
untuk mengetahui keefektifan daun kemuning dan daun kelor sebagai bahan obat

DAFTAR PUSTAKA

Abfidah, R. (2014). Ekstraksi dan Uji Stabilitas Antosianin dari Daun Jati Muda
(Tectona grandis L.F). Skripsi. Pendidikan Kimia UIN Sultan Syarif
Kasim Riau.

Adelgrit Trisia, Regina Philyria, & Angeline Novia Toemon. (2018). Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Kalanduyung (Guazuma ulmifola Lam.)
Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus Aureus Dengan Metode Difusi
Cakram (Kirby-Bauer). Anterior Jurnal, Volume 17 Issue 2. Universitas
Palangkaray.

Adi, P., S. Winarsih dan A. Hilmi. 2010. Aktivitas Ekstrak Etanol Kismis (Vitis
vinifera L.) sebagai Antimikroba terhadap Bakteri Penyebab Karies
Streptococcus mutans Strain 2302-unr secara In Vitro. Skripsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Brawijaya Malang

Agoes, G. (2007). Teknologi bahan alam. Bandung: ITB.

Agida Widya Die Agustie, Ratno Agung Samsumaharto. (2013). Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Maserasi Daun Kelor (Moringa oleifera, Lamk)
Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Solo. Fakultas Ilmu
Kesehatan, Universitas Setia Budi.

Ansel, H. C. (2008) Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed IV. Edited by Farida


and Ibrahim. Jakarta: UI Press.

Astarina, N. W. G., Astuti, K. W., & Warditiani, N. K. (2012). Skrining Fitokimia


Ekstrak Metanol Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.). 2009,
310027.

BPOM RI. (2013). Pedoman Teknologi Formulasi Sediaan Berbasis Ekstrak.


Jakarta: badan POM RI.

BPOM RI. (2014). Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu
Obat Tradisional. Jakarta: Badan pengawasan obat dan makanan.

Brooks, GF., Butel, JS., Morse, S. (2008) Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta.

Cantika Tara Sabilla dan Asep Sukohar. (2019). Efektivitas Penggunaan Ekstrak
72

Kemuning (Murraya Paniculata (L.) Jack) sebagai Antimikroba.


Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Cobra, L. S., Amini, H. W. and Putri, A. E. (2019). Skirining Fitokimia Ekstrak


Sokhletasi Rimpang Kunyit ( Curcuma longa ) dengan Pelarut Etanol 96
%. 1(1), pp. 12–17.

Depkes RI. (2017). Farmakope Herbal Indonesia (II). Direktorat Jenderal


Pengawasan Obat Dan Makanan.

Depkes RI. (2009). Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Direktorat


Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.

Depkes RI. (2000). Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Depkes RI. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pengawasan Obat Dan Makanan.

Depkes RI.(2007). Pedoman Pencegahan Dan Penanggulangan Infeksi Di Rumah


Sakit Dan Fasilitas Kesehatan Lainnya. Jakarta: departemen kesehatan
RI.

Dewi, A. K. (2013). Isolasi, Identifikasi Dan Uji Sensitivitas Staphylococcus


aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan
Ettawa (PE) Penderita Mastitis di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo,
Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner, 31(2).
Https://Doi.Org/10.2105/Ajph.45.9.1138

Dila T. (2012). Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanolik Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) Dengan Basis Carbomer. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Djuanda A., Mochtar H., S. A. (2002). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Dessi Nur F. T. (2018). Uji Aktivitas Antibakteri Daun Kemuning (murraya


paniculata) Terhadap Bakteri Escherichia Coli dan Staphyloccocus
Aureus. Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo.

Dewi, A. K. (2013). Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus


aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan
Ettawa (PE) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo,
Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner, 31(2).
https://doi.org/10.2105/ajph.45.9.1138
73

Eva Johannes, Sri Suhadiyah, A. I. L. (2017). Bioaktivitas Ekstrak Daun Avicenia


Marina Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus. Jurnal
Ilmu Alam dan Lingkungan. 8 (15).

Fitriah, F., Mappiratu, M., & Prismawiryanti, P. (2017). Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Tanaman Johar (Cassia siamea Lamk.) dari Beberapa
Tingkat Kepolaran Pelarut. Kovalen, 3(3), 242.

Ghazali, I. (2011). Aplikasi Analisa Multivariate dengan Program SPSS 19.


Semarang: BP Universitas Diponegoro.

Handayani, S., et al. (2017). Penapisan Fitokimia dan Karakterisasi Simplisia


Daun Jambu Mawar (Syzygium jambos Aiston). Jf Fix Uninam, 5(3),
179–180.

Handayani, K., Putri, A. E., & Martha, R. D. (2020). Uji Aktivitas Antibakteri
Fraksi Batang Pepaya (Carica papaya Linn.) terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus. Journal Of Pharmacy And Science, 4(1).

Hariyati. (2019). Pembuatan Sediaan Masker Sheet Ekstrak Daun Kemuning


(Muraya Paniculata L), Tapioka, Kitosan, Gliserin, Sebagai Antibakteri
dan Antioksidan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Hidayati, D. N., Sumiarsih, C., & Mahmudah, U. (2018). Standarisasi Non


Spesifik Ekstrak Etanol Daun dan Kulit Batang Berenuk (Crescentia
cujete Linn). Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta, 1(19), 19–23.

Husnani, & Muazham, M. F. Al. (2017). Optimasi Parameter Fisik Viskositas,


Daya Sebar dan Daya Lekat Pada Basis Natrium CMC Dan Carbopol
940 pada Gel Madu dengan Metode Simplex Lattice Design. Jurnal Ilmu
Farmasi dan Farmasi Klinik, 11–18.

Hutauruk, J.E., (2010), Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Kulit Buah


TanamanJengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), Skripsi, FMIPA,
USU.

Ikalinus, R., Widyastuti, S., & Eka Setiasih, N. (2015). Skrining Fitokimia
Ekstrak Etanol Kulit Batang Kelor (Moringa oleifera). Indonesia
Medicus Veterinus, 4(1), 71–79.

Iskandar D. (2005). Kemuning Jati Belanda: Budidaya dan Pemanfaatan untuk


Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.
74

Jasmine. (2018). Perbandingan Efek Pemakaian Antiseptik Chloroxylenol 4,8%


dan Povidone Iodine 7,5% Terhadap Jumlah Koloni Bakteri Pasca
Pencucian Tangan Rutin WHO Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di
Departemen Bedah Mulut FKG USU Periode Maret-Mei 2018. Fakultas
Kedokteran Gigi. Universitas Sumatera Utara.

Jawetz, E., Melnick, J.L. & Adelberg, E.A. (2005). Mikrobiologi Kedokteran.
diterjemahkan oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E. B. and L. N.
M., Harsono, S., Alimsardjono. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Karimela, E. J., Ijong, F. G., & Dien, H. A. (2017). Karakteristik Staphylococcus


aureus yang di Isolasi dari Ikan Asap Pinekuhe Hasil Olahan
Tradisional Kabupaten Sangihe. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia, 20(1), 188. https://doi.org/10.17844/jphpi.v20i1.16506

Kartika S. (2007). Profil Kromatogram dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol


Daun Kemuning ( Murraya Paniculata (L.) Jack.) terhadap Bakteri
Escherichia Coli in Vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kumayas, A. R., Silvia, W. D., & Sri, S. (2015). Aktifitas Antibakteri dan
Karateristik Gugus Fungsi dari Tunikata Polycarpa aurata. Pharmacon,
4(1), 32–44. Https://Doi.Org/10.35799/Pha.4.2015.6481

Kurniawati M. 2015. Kajian Ekstrak Tanaman Johar (Cassia siamea L) sebagai


Bioindikator Asam Basa.(Skripsi). Palu : Jurusan Kimia FMIPA
UNTAD.

Lusi L.R.H Dima, Fatimawali, Widya A.L. (2016). Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleiferaL.) Terhadap Bakteri Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus. PHARMACON vol 5 no 2. UNSRAT.

Madigan, M.T., Martinko, J.M., Dunlap, P.V., dan Clark, D. (2008). Biology of
Microorganisms 12th edition. San Francisco: Pearson.

Mariana, L., Andayani, Y., & Gunawan, R. (2013). Analisis Senyawa Flavonoid
Hasil Fraksinasi Ekstrak Diklorometana Daun Keluwih. 6(2), 50–55.
Https://Doi.Org/10.35799/Cp.6.2.2013.3494

Mardiana L. (2012). Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Martin A., S. J. dan C. (2012). Farmasi Fisik: Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam
Ilmu Farmasetik, edisi 3. UI Press. Jakarta.

Maslukhah YL, Widyaningsih TD, Waziiroh E, Wijiyanti N, Sriherfyna FH. 2016.


Faktor pengaruh ekstraksi cincau hitam (Mesona palustris BL.) skala
75

pilot plant: kajian pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 4(1):245-


252.

Masruroh Zana. U. F. (2020). Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavanoid dari


Daun Kelor (Moringa Oliefera) dan Uji Aktivitasnya Sebagai
Antioksidan. Skripsi. Universitas Semarang.

Maulana, A. R., Triatmoko, B., & Hidayat, M. A. (2021). Uji Aktivitas


Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Waru Gunung (Hibiscus macrophyllus)
dan Fraksinya terhadap Staphylococcus aureus. Pustaka Kesehatan,
9(1), 48. Https://Doi.Org/10.19184/Pk.V9i1.16432.

Mayba, J. N. and Gooderham, M. J. (2018). A Guide to Topical Vehicle


Formulations. Journal of Cutaneous Medicine and Surgery, 22(2), pp.
207–212.

Mpila, D. ., Fatimawali, & Wiyono, W. I. (2012). Uji Aktivitas Antibakteri Daun


Mayana (Coleus Atropurpureus [L] Benth) terhadap Staphylococcus
aureus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa Secara In-Vitro.
13.

Naibaho, D.H., Yamkan, V,Y., Weni, Wiyono. 2013. Pengaruh Basis Salep
Terhadap Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Kemangi (Ocinum
sanchum L.) pada Kulit Punggung Kelinci yang dibuat Infeksi
Staphylococcus aureus. Jurnal ilmiah Farmasi. UNSRAT. Vol.2, No.2.

Nova Adelina Lubis, Titik Nur Aeny, J. P. & R. S. (2017). Pengaruh Ekstrak
Gulma Siam, Kemuning dan Saliara Terhadap Penghambatan
Pertumbuhan Bakteri Layu Pisang Secara in Vitro. J. Agrotek Tropik. 5
(1), pp. 40 – 45.

Nurahmanto D., Mahrifah I.R., Firda R., Imaniah N. dan Rosyidi V.A., 2017,
Formulasi Sediaan Gel Dispersi Padat Ibuprofen : Studi Gelling Agent
dan Senyawa Peningkat. Ilmiah Manuntung, 3 (1), 96–105.

Nurhidayati, S., Faturrahman, & Ghazali, M. (2015). Deteksi Bakteri Patogen


yang Berasosiasi dengan Kappaphycus. Jurnal Sains Teknologi Dan
Lingkungan, 1(2), 24–30.

Nurqulbiati C. (2018). Formulasi dan Evaluasi Sediaan Gel Minyak Atsiri Daun
Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) Dengan Basis HPMC Sebagai
Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
76

Nutrisia A.S. (2015). Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Gel Ekstrak
Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.). Jurnal Kefarmasian Indonesia.
Vol.5 No.2-Agustus. 2015.

Pusat Informasi Obat Nasional. (2015). Penjelasan PIONas Mengenai


Antibakteri Antiinfeksi. BPOM. Terdapat di
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-13-kulit/1310-antiinfeksi-untuk-kulit/
13101-antibakteri. [Diakses pada 29 Juli 2021].

Prajitno, A. (2007). Uji Sensitifitas Flavonoid Rumput Laut (Eucheuma cottoni)


Sebagai Bioaktif Alami Terhadap Bakteri Vibrio Harveyi. Universitas
Brawijaya.

Prasetyo, T. (2009). Pola Resistensi Bakteri Dalam Darah Terhadap


Kloramfenikol, Trimethoprim/ Sulfametoksazol, Dan Tetrasiklin Di
Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (Lmk Fkui) Pada Tahun 2001-2006. Universitas Jakarta.

Pratama Putra, I., Dharmayudha, A. and Sudimartini, L. (2017). Identifikasi


Senyawa Kimia Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L) di Bali.
Indonesia Medicus Veterinus. 5(5), pp. 464–473.

Rahmadani F. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri dari Ekstrak Etanol 96% Kulit
Batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) terhadap Bakteri
Staphylococcuc aureus, Escherichia coli, Helicobacter pylori,
Pseudomonas aeruginosa. Jakarta: Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.

Ratna, Y. R. D., Ardani, U. S., Fathiana, Z., Rahmatillah, A., K., I. T. D., & F.
(2016). Daya Antibakteri Ekstrak dan Fraksi-Fraksi Daun Jambu Mete
(Anacardium occidentale L .) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus
Sensitif dan Multiresisten.Aga. 14(1), 103–110.

Rosenbach, F. (1884). Mikro-Organismen bei den Wund-infections-Krankheiten


des Menschen. Wiesbaden, J. F. Bergmann.

Sari, Retno. Isadiartuti, Dewi. 2006. Studi Efektivitas Sediaan Gel Antiseptik
Tangan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn). Majalah Farmasi
Indonesia. Vol. 17, No. 4, hal 163-169.

Saputro, G. M. H. (2014). Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak


Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) terhadap
Shigella flexneri. Skripsi.

Sayuti, K.; Rina Yenrina. (2015). Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas
Univesity Press. Padang.
77

Siregar.(2015). Penyakit jamur Kulit.EGC : Jakarta

Sisilia. L. C, I Made. S. (2017). Skrining Fitokimia dan Aktivitas Penangkapan


Radikal Bebas DPPH Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa Oliefera) di
Ende. Bali. Universitas Udayana.

S. P. Gautam, P. S. Bundela, A. K. Pandey, Jamaluddin, M. K. Awasthi, and S. S.


(2012). Diversity of Cellulolytic Microbes and the Biodegradation of
Municipal Solid Waste by a Potential Strain. International Journal of
Microbiology, p. 12.

Sudarmi, K., Darmayasa, I. B. G., & Muksin, I. K. (2017). Uji Fitokimia dan
Daya Hambat Ekstrak Daun Juwet (Syzygium cumini) terhadap
Pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus ATCC.
Simbiosis Journal Of Biological Sciences, 5(2), 47

Suhaimi, Teti Indrawati, S. K. (2019). Formulasi Gel Kombinasi Ekstrak Kering


Lidah Buaya (Aloe vera. (L) brum. f.) dan Ekstrak Kental Daun Sirih
Merah (Piper crocatum ruiz & pav) Untuk Antibakteri Penyebab
Jerawat. Jakarta Selatan. Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila,
Srengseng sawah., Fakultas Farmasi, Institute Sains dan Teknologi
Nasional.

Sumiati, E. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kloroform dan Ekstrak Etanol
Biji Bidara Laut (Strychnos ligustrina BI) terhadap Staphylococcus
aureus ATCC 25923 dan Salmonella thypi. Biogenesis, 2(1). 1-10.

Sunatmo, T. I. (2007). Eksperimen mikrobiologi dalam laboratorium. Bogor:


Penerbit Ardy Agency.

Sujarweni, V. W., & Endrayanto, P. (2012). Statistika Untuk Penelitian.


Yogyakarta: Graha Ilmu

Surya Utami, Tania. Arbianti, Rita. Hermansyah, Heri. Reza, Ahmad. 2009.
Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Simpur
(Dillenia indica) dari Berbagai Metode Ekstraksi dengan Uji ANOVA,
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. Bandung.

Susanty, F. B. (2016). Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Refluks


terhadap Kadar Fenolik dari Ekstrak Tongkol Jagung (Zea mays L.).
5(2), 87– 93.

Susanto, Sudrajat, dan R. Ruga. 2012. Studi Kandungan Bahan Aktif Tumbuhan
78

Meranti Merah (Shorea leprosula Miq) sebagai sumber senyawa


antibakteri. Mulawarman Scientifie. Vol.11, No. 12, hal. 181–190.

Theodora, C. T., Gunawan, I. W. G., & Swantara, I. M. D. (2019). Isolasi dan


Identifikasi Golongan Flavonoid pada Ekstrak Etil Asetat Daun Gedi
(Abelmoschus manihot L.). Jurnal Kimia, 131.

Wasiaturrahmah, Yusrinie. Jannah, Raudhatul. 2018. Formulasi dan Uji Sifat


Fisik Gel Hand Sanitizer dari Ekstrak Daun Salam (Syzygium
polyanthum) Formulation And Physical Properties Test Of Hand
Sanitizer Gel From Bay Leaf Extract (Syzygium polyanthum). Borneo
Journal of Pharmascientech. Vol. 2, No. 2, hal 87-94.

Wiharningtias, I. and Waworuntu, O. (2016). Uji Konsentrasi Hambat Minimum


(Khm) Ekstrak Kulit Nanas (Ananas Comosus L) Terhadap
Staphylococcus Aureus. Pharmacon, 5(4), pp. 18–25. doi:
10.35799/pha.5.2016.13969.

Wijaya, H., Novitasari, & Siti, J. (2018). Perbandingan Metode Ekstraksi


Terhadap Rendemen Ekstrak Daun Rambai Laut (Sonneratia caseolaris
L. Engl). Jurnal Ilmiah Manutung, 4(1), 79–83.

Yati, Kori., Mahdi Jufri, Misri Gozan, Mardiastuti, Lusi Putri Dwita., 2018.
Pengaruh Variasi Konsentrasi Hidroxy Propyl Methyl Cellulose
(HPMC) terhadap Stabilitas Fisik Gel Ekstrak Tembakau (Nicotiana
tabaccum L.) dan Aktivitasnya terhadap Streptococcus mutans.
Pharmaceutical Sciences and Research (PSR). Vol.5, No.3, hal 133-141

Yuni Arista N. Kumesan, Paulina V. Y. Yamlean, H. S. S. (2013). Formulasi dan


Uji Aktivitas Gel Antijerawat Ekstrak Umbi Bakung (Crinum Asiaticum
L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Secara in Vitro.
PHARMACON, 2 (2).
79

LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Pernyataan dari CV. Herbal Anugrah Alam


1. Daun Kemuning
80

2. Daun Kelor
81

Lampiran 2. Hasil Determinasi (Murraya paniculata (L.) Jack) dan (Moringa


oleifera, L)
82

3. Daun Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack)

4. Daun Kelor (Moringa oleifera, L)


83

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian


84

1. (Murraya paniculata (L.) Jack) dan (Moringa oleifera, L)

Daun Kelor Daun Kemuning

Proses Maserasi Daun Kemuning Proses Maserasi Daun


Kelor

Hasil Ekstrak Daun Kemuning dan Daun Kelor


85

2. Hasil Skrining Fitokimia Flavanoid Ekstrak

3. Hasil Skrining Fitokimia Tanin Ekstrak

4. Hasil Skrining Fitokimia Saponin


86

5. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak


Sampel Replikasi I Replikasi II Replikasi III

Ekstrak Daun
Kemuning dan
Daun Kelor

6. Proses Pembuatan Sediaan Gel

7. Uji Fisik Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan Daun Kelor
87

Uji Organoleptis Uji pH Uji Viskositas

Uji Daya Sebar Uji Daya Lekat Uji Daya Proteksi


88

8. Sertifikat UESBE
89
90

Lampiran 4. Kerangka Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi


Cakram

Nutrient agar steril


Sspensi Bakteri
Staphylococcus
aureus

Disk cakram
Kontrol negatif dengan berbagai
perlakuan

Kontrol positif

Sediaan

Media NA
91

Lampiran 5.
1. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Gel Ekstrak Daun
Kemuning dan Daun Kelor

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

2. Perhitungan Kadar Air


Sampel Bobot Bobot Rata-rata ± Hasil
Awal Akhir SD
Daun Kemuning 10,00 g 9,8 g 9,7 ± 0,1 3%
(Murraya 9,7 g
paniculate (L.) 9,6 g
jack 10,00 g 9,1 g 9,1 ± 0,1 9%
Daun Kelor 9,0 g
(Moringa oleifera, 8,9 g
L)

Bobot awal−bobot akhir


Rumus % Kadar Air= X 100 %
Bobot awal
92

3. Perhitungan Randemen
Sampel Bobot Bobot Rata-rata± SD Hasil
Simplisia Ekstrak
Daun Kemuning 1500 g 141,58 g 141,59 g ± 0,01 9,44%
(Murraya 141,60 g
paniculate (L.) 141,59 g
jack 1500 g 155,4 g 155,36 g ± 10,35%
Daun Kelor 155,3 g 0,05773503
(Moringa oleifera, 155,4 g
L)

Bobot ekstrak
Rumus % Randemen= X 100 %
Bobot simplisia

Lampiran 6. Perhitungan Pembuatan Media


1. Pembuatan Nutrient Broth (NB)
Mr
Gram = X Volume
1000
8
= X 10 mL
1000
= 0,08 g
2. Pembuatan Nutrient Agar (NA)
Mr
Gram = X Volume
1000
20
= X 15 Ml
1000
= 0,3 g

Lampiran 7. Perhitungan Bahan Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan


Daun kelor
20
Ekstrak Daun Kemuning 20% = x 120 g
100
= 24 g
93

40
Ekstrak Daun Kelor 40% = X 120 g
100
= 48 g

1,75
Carbopol940 = X 120 g
100
= 2,1 g

1,75
Trietanolamin = X 120 g
100
= 2,1 g

10,00
Propilenglikol = X 120 g
100
= 12 g

0,1
Metil Paraben = X 120 g
100
= 0,12

0,40
Natrium Metabisulfit = X 120 g
100
= 0,48

Aquadestilata = 120 – (2,1+2,1+12+0,12+0,48)


= 103 ml
94

Lampiran 8. Hasil Uji Sediaan Gel Ekstrak Daun Kemuning dan Daun Kelor
1. Evaluasi Sediaan Gel
Parameter H0 H+7 H+14 H+21 H+28
Organoleptis
Bau Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat tua Coklat tua Coklat tua Coklat tua Coklat tua
Bentuk Semi solid Semi solid Semi solid Semi solid Semi solid
pH 6,5 6,5 6 5 4,8
Viskositas 195 185 180 170 160
Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen
Daya Lekat 2,2 2,1 2 1,9 1,8
Daya Sebar 6,9 6,6 5,9 5,7 5,2
Daya Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Proteksi noda noda noda noda noda merah
merah merah merah merah

2. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak


Ekstrak Konsentrasi Diameter (mm) Rata-rata
I II III
Daun Kemuning 1:1 15mm 16mm 13mm 14,6mm
(Murraya
paniculate (L.) dan 1:2 25mm 22mm 24mm 23,6mm
jack dan Daun
Kelor (Moringa 2:1 16mm 16,50mm 19mm 17mm
oleifera, L)
Kloramfenikol (K+) 1% 16mm 18mm 19mm 17,6mm

Etanol (K-) 96% 0 0 0 0

3. Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Gel


Sampel I II II Rata-rata ± Sd
95

Sediaan gel 25,16mm 24,25mm 23,21mm 24,20 ±


13,278902
Kontrol Positif 16mm 18mm 19mm 17,66 ±
1,527525
Kontrol Negatif 0 0 0 0

Lampiran 9. Hasil Analisis Hasil


1. Tabel input data aktivitas antibakteri ekstrak

2. Uji normalitas data

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
FORMULA Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Daya Ekstrak 1:1 ,253 3 . ,964 3 0,637
Hambat Ekstrak 1:2 ,253 3 . ,964 3 0,637
Ekstrak 2:1 ,328 3 . ,871 3 0,298
Etanol 96% . 3 . . 3 .
Kloram ,253 3 . ,964 3 0,637
Feniko 1%
a. Lilliefors Significance Correction

3. Uji homogenitas
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2,197 4 10 0,143

4. One way anova


ANOVA
96

Daya Hambat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 934,067 4 233,517 121,835 0,000
Within Groups 19,167 10 1,917
Total 953,233 14

5. Post hoc
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Daya Hambat
Tukey HSD
Mean 95% Confidence Interval
(I) FORMULA (J) FORMULA Difference Std.Error Sig. Lower Boun Upper Bound
(I-J)
Ekstrak 1:1 Ekstrak 1:2 -9,00000* 1,13039 0,000 -12,7202 -5,2798
Ekstrak 2:1 -2,50000 1,13039 0,250 -6,2202 1,2202
Etanol 96% 14,66667 *
1,13039 0,000 10,9465 18,3869
Kloram -3,00000 1,13039 0,133 -6,7202 ,7202
Fenikol1%
Ekstrak 1:2 Ekstrak 1:1 9,00000* 1,13039 0,000 5,2798 12,7202
Ekstrak 2:1 6,50000 *
1,13039 0,001 2,7798 10,2202
Etanol 96% 23,66667 *
1,13039 0,000 19,9465 27,3869
Kloram 6,00000 *
1,13039 0,002 2,2798 9,7202
Fenikol 1%

Ekstrak 2:1 Ekstrak 1:1 2,50000 1,13039 0,250 -1,2202 6,2202


Ekstrak 1:2 -6,50000* 1,13039 0,001 -10,2202 -2,7798
Etanol 96% 17,16667* 1,13039 0,000 13,4465 20,8869
Kloram -,50000 1,13039 0,991 -4,2202 3,2202
fenikol 1%
Etanol 96% Ekstrak 1:1 -14,66667* 1,13039 0,000 -18,3869 -10,9465
Ekstrak 1:2 -23,66667* 1,13039 0,000 -27,3869 -19,9465
Ekstrak 2:1 -17,16667* 1,13039 0,000 -20,8869 -13,4465
Kloram -17,66667* 1,13039 0,000 -21,3869 -13,9465
Fenikol 1%
Kloramfenikol Ekstrak 1:1 3,00000 1,13039 0,133 -,7202 6,7202
1% Ekstrak 1:2 -6,00000* 1,13039 0,002 -9,7202 -2,2798
97

Ekstrak 2:1 ,50000 1,13039 0,991 -3,2202 4,2202


Etanol 96% 17,66667 *
1,13039 0,000 13,9465 21,3869
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

6. Homogeneous subsets
Daya Hambat
Tukey HSD a

Subset for alpha = 0.05


FORMULA N 1 2 3
Etanol 96% 3 ,0000
Ekstrak 1:1 3 14,6667
Ekstrak 2:1 3 17,1667
Kloramfenikol 1% 3 17,6667
Ekstrak 1:2 3 23,6667
Sig. 1,000 ,133 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

7. Tabel input data aktivitas antibakteri sediaan

8. Uji normalitas data

Tests of Normality
98

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
FORMULA Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Daya F1 ,184 3 . ,999 3 0,927
Hambat Formulasi . 3 . . 3 .
Tanpa ekstrak
kloramfenikol 1% ,253 3 . ,964 3 0,637
a. Lilliefors Significance Correction

9. Uji homogenitas
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3,648 2 6 ,092

10. One way anova


ANOVA
Daya Hambat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 940,845 2 470,423 429,562 0,000
Within Groups 6,571 6 1,095
Total 947,416 8

11. Post hoc


Multiple Comparisons
Dependent Variable: Daya Hambat
Tukey HSD
95% Confidence
Interval
(I)FORMULA (J) FORMULA Mean Lower Upper
Difference Std. Sig. Bound Bound
(IJ) Error
F1 K- 24,20667* ,85445 0,000 21,5850 26,8283
K+ 6,54000* ,85445 0,001 3,9183 9,1617
K- F1 -24,20667* ,85445 0,000 -26,8283 -21,5850
K+ -17,66667* ,85445 0,000 -20,2883 -15,0450
K+ F1 -6,54000* ,85445 0,001 -9,1617 -3,9183
K- 17,66667* ,85445 0,000 15,0450 20,2883
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
99

12. Homogeneous subsets

Daya Hambat
Tukey HSD a

Subset for alpha = 0.05


FORMULA N 1 2 3
K- 3 ,0000
K+ 3 17,6667
F1 3 24,2067
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
100

Lampiran 10. Kerangka Penelitian


Daun Kemuning Daun Kelor

Determinasi

Simplisia Uji Kadar Air

Ekstraksi
Metode Maserasi Flavonoid

Ekstrak Daun Kemuning Skrining


Tanin
& Daun Kelor Fitokimia

Saponin
Kombinasi Ekstrak Daun
Kemuning& Daun Kelor

Konsentrasi Optimum
Uji Aktivitas Antibakteri
Kombinasi Ekstrak

Sediaan Gel (Formulasi


I, II dan III)

Evaluasi Uji Aktivitas Antibakteri

Organoleptis

pH

Homogenitas
101

Uji Viskositas

Uji Daya Sebar

Uji Daya Lekat

Uji Daya Proteksi

Lampiran 11. Alur Prosedur Kerja


Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat Bahan

Bahan Kaca
Larutan uji Media
& Stainless

Dimasaukkan Dimasukkan
tabung reaksi erlenmeyer

Dibungkus aluminium foil

Disterilisasi dengan autoklaf pada


suhu 121°C selama 15 menit

Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri (Maradona, 2013)

NA

Ditimbang sebanyak 0,3gram


Ditambahkan 15ml aquadestilata
102

Dipanaskan hingga larut dan mendidih


Disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama
15 menit
Dituangkan media kedalam cawan petri dan
dibiarkan

Pembuatan Media NB

NB
Ditimbang sebanyak 0,08 gram
Ditambahkan 10 mL aquadestilata
Dipanaskan hingga larut dan mendidih
Disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama
15 menit
Dituang media kedalam tabung reaksi

Media NB

Peremajaan Bakteri Uji


Staphylococcus aureus

Digoreskan 1 ose pada media NA secara aseptik


Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam
Hasil

Pembuatan Suspensi Bakteri


Staphylococcus aureus

Diambil sebanyak 1 ose


Disuspensikan dalam 5 ml media NB
Diukur kekeruhannya dengan standar 0,5 Mc. Farland
Hasil
103

Uji Aktivitas Antibakteri Gel

Suspensi Staphylococcus
aureus
Diambil dengan swab steril

Digoreskan ke media NA secara merata

Dicelupkan kertas cakram steril kedalam gel

Didiamkan cakram

Diletakkan cakram di atas permukaan media NA

Diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam

Diukur diameter zona hambat dengan


penggaris

Direplikasi 3x

Hasil
104

Uji Normalitas Data


Data hasil uji

SPSS

Shapiro-wilk

Sig > 0,05 Sig < 0,05

Distribusi Distribusi tidak


normal normal
105

Lampiran 12. Jadwal Penelitian

Tahun 2020 Tahun 2021


Jadwal Kegiatan 09 10 11 12 01 02 03 Tempat

1. Tahap Persiapan
Penyusunan
Perpustakaan
dan
a. √ STIKes
Pengajuan
KARTRASA
Judul
Pengajuan
STIKes
b. Proposal √
KARTRASA
Penelitian
2. Tahap Penelitian
Persiapan Laboratorium
a. √
Bahan Botani KPB
Determinasi UPT Materia
a. √
Tanaman Medica Batu
Laboratorium
Pembuatan
b. √ Botani STIKes
Ekstrak
KARTRASA
Laboratorium
Skrining
c. √ Botani STIKes
Fitokimia
KARTRASA
Uji Laboratorium
Aktivitas Mikrobiologi
d. √
Antibakteri STIKes
Ekstrak KARTRASA
Laboratorium
Teknologi
Pembuatan
e. √ Sediaan
Sediaan Gel
STIKes
KARTRASA
Laboratorium
Teknologi
Evaluasi
f. √ Sediaan
Sediaan Gel
STIKes
KARTRASA
g. Uji √ Laboratorium
106

Aktivitas Mikrobiologi
Antibakteri STIKes
Sediaan Gel KARTRASA
3. Tahap Penyelesaian
Analisis dan
STIKes
a. Pengolahan √
KARTRASA
Data
Penyusunan
STIKes
b. Laporan √
KARTRASA
Akhir
Prodi S1
Pengumpula
Farmasi
c. n Laporan √
STIKes
Akhir
KARTRASA

Anda mungkin juga menyukai