Meskipun peristiwanya sudah berlangsung tiga tahun yang lalu, namun kasus Ambalat
nampaknya belum terselesaikan hingga sekarang. Sudah tiga tahun dilakukan negosiasi, namun
belum terdengar kabar berita tentang hasilnya. Belajar dari kasus Sipadan Ligitan yang juga
dengan Malaysia, Indonesia tidak boleh terlena dengan janji serta upaya hukum dari Malaysia.
Indonesia telah kalah telak pada persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag serta
kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu (buying time) untuk pengumpulan
data maupun perolehan dukungan internasional oleh Malaysia seperti dilakukan dalam
menggarap kasus Sipadan Ligitan sungguh sangat jitu. Oleh karena itu seyogyanya Indonesia
tidak menganggap enteng dalam kasus Ambalat ini.
Konsesi minyak oleh Malaysia di wilayah Indonesia
Pada 16 Februari 2005 Pemerintah Indonesia telah memprotes pemberian konsesi minyak di
Ambalat, Laut Sulawesi (wilayah Indonesia) kepada Shell, perusahaan minyak Belanda oleh
Pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas. Berita tersebut
diklarifikasi oleh Departemen Luar Negeri RI (Deplu) melalui siaran pers tanggal 25 Februari
2005, yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia.
Suatu kejutan spontanitas kemudian terjadi di mana-mana. Tanpa menunggu komando,
masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi dan menghimpun sukarelawan untuk menghadapi
Malaysia. Kemarahan tersebut dipicu oleh berbagai perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia
antara lain dalam masalah TKI dan terlepasnya pulau Sipadan Ligitan dari kekuasaan RI bulan
Desember 2002.
Belajar dari pengalaman dan menyimak kejadian yang sebenarnya, makna konflik blok Ambalat
bukankah sekedar persoalan benar-salah atau kalah-menang. Namun harus diselesaikan dengan
jernih dan proporsional. Langkah Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005 melakukan peninjauan
langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat tepat. Peninjauan tersebut juga
melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi
yang membuahkan kesamaan pendapat bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi
dengan cara damai.
Menghadapi Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun.
Bersamaan dengan itu harus pula dapat dibuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur
adalah wilayah Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau
Sipadan Ligitan. Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan Ligitan,
maka untuk menetapkan keabsahan status kawasan Ambalat tidak diperlukan dialog basa-basi.
Secara substansial, posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada
tingkat kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah kecolongan
atas lepasnya pulau Sipadan Ligitan sebagai akibat dari suatu kelalaian.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara
damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor
ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan
dalam sengketa Sipada Ligitan tersebut.
Perlu disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi salah satu
dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state) di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut
Internasional atau UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun
1982. Sebagai perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk
menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain adalah keharusan
Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat kordinat garis dasar sebagai titik ditariknya
garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas
Indonesia. Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang
berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan Ligitan sebagai bagian dari
wilayahnya. Ini hanya mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan terbukti,
sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa
yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah
Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara
yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha melakukan hal
serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau tersebut sebagai daerah tujuan
wisata.
Taktik/strategi coba-coba yang membuat Malaysia berhasil dalam perebutan Sipadan Ligitan
sekali lagi sedang dilakukan untuk meraup Blok ND 6 (Y) dan ND 7 (Z) sebagai bagian
wilayahnya. Malaysia hanya merubah sebutan tempat tersebut untuk membuat kesan beda
dengan wilayah garapan Indonesia, yaitu Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Manuver Malaysia
tidak saja dengan memberikan konsesi minyak di blok tersebut kepada Shell, namun juga
tindakan provokasi di batas perairan wilayah kedua negara sekaligus mengganggu pembangunan
mercu suar di Karang Unarang milik Indonesia. Keberanian Malaysia dalam hal ini berbekal
asumsi atas rumus yang dibuatnya sendiri dengan menarik garis pantai dari wilayah teritorial
laut pulau Sipadan Ligitan. Padahal berdasarkan UNCLOS Malaysia adalah bukan negara
kepulauan dan tidak berhak menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar
sebagaimana dimiliki negara kepulauan seperti Indonesia.
Ulah Malaysia mengklaim Sipadan Ligitan kemudian Blok Ambalat dan East Ambalat, semata-
mata berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak dan sudah diprotes oleh Indonesia
serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Adanya protes tersebut dan setelah
diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, seharusnya Malaysia sudah tidak
lagi menggunakan peta tersebut. Namun setelah berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan
maka Malaysia berani mencoba melangkah maju lagi. Target yang dituju adalah kepemilikan
Blok ND 6 dan ND 7 yang kaya dengan kandungan minyak tersebut. Spekulasi Malaysia
selanjutnya adalah mencari celah-celah agar Indonesia mau diajak berunding dan bilamana perlu
hingga ke Mahkamah Internasional. Di Den Haag nanti, Malaysia punya bargaining position
atas peran Shell, perusahaan minyak Belanda. Sebagai perusahaan transnasional, pasti dibalik
Shell terdapat kekuatan lain yang cukup berbobot dan berpengaruh. Sedangkan Indonesia hanya
sendirian dan tidak mempunyai bargaining position yang menjanjikan.
Indonesia sebetulnya tidak harus bersusah payah menghadapi kasus Ambalat, seandainya sejak
awal secara konsisten tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap konsesi yang
telah diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok Ambalat dan Ambalat Timur.
Di kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah membuka peluang bisnis kepada
perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC, British Petroleum, Hadson Bunyu BV, ENI
Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini tidak ada reaksi apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan
Indonesia telah berlangsung jauh sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat
peta tahun 1979.
Ada semacam kejanggalan bahwa pada tahun 1967 Pertamina memberikan konsesi minyak
kepada Shell, namun oleh Shell kemudian diberikan lagi kepada perusahaan minyak ENI (Italia).
Petunjuk ini perlu untuk diketahui, mengingat ada nuansa kesamaan dengan pemberian konsesi
minyak oleh Petronas kepada Shell yang sekarang sedang diributkan itu. Pada saat ini Blok
Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan East Ambalat oleh Unocal (AS) tahun 2004
(Desember). Timbul pertanyaan, mengapa sampai terjadi tumpang tindih bahwa Malaysia dapat
menjual asset negara lain yang adalah sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek
masih sedang aktif dikelola. Sekali lagi Indonesia telah kecolongan akibat kelalaian juga.
Memenangkan perundingan
Dari catatan tersebut di atas, inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat akal-akalan Malaysia
yang bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan berbuntut perolehan hak atas Sipadan Ligitan.
Malaysia juga tidak jujur dalam memaknai secara utuh Konvensi Hukum Laut Internasional
1982 yang juga telah ikut ditandatanganinya.
Menanggapi protes Indonesia, Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa yang sedang
disengketakan itu adalah perairan Malaysia. Meskipun menyatakan ingin menghindarkan
konfrontasi dengan Indonesia, namun dalam berbagai kesempatan Menlu Malaysia, Syed Hamid
Albar mengatakan bahwa Malaysia tidak akan berkompromi soal kepentingan teritorial dan
kedaulatan.
Posisi Malaysia cukup jelas, yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun mengajak
berunding dan harus melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan Indonesia berkewajiban untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tibalah saatnya sekarang kedua negara
bertetangga dan serumpun ini saling berhadapan untuk mempertahankan kepentingan
nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu merujuk pengalaman masa lalunya untuk kembali
memenangkan perundingan dengan Indonesia. Mengantisipasi bilamana terjadi perundingan,
diperkirakan akan terdapat tiga kemungkinan. Yaitu pertama, Indonesia tetap dapat
mempertahankan haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut Ambalat; atau ketiga, berunding
dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila gagal semuanya, bukan tidak mungkin bisa terjadi
perang. Namun yang terakhir ini tentu sulit karena keduaanya terikat kepada kesepakatan Asean.
Dalam hal mengundang pihak ketiga, dari pengalaman Sipadan Ligitan kemungkinan
Indonesia akan dirugikan. Pertemuan bilateral antara Menlu RI dan Menlu Malaysia pada Mei
2005 hasilnya belum banyak diketahui oleh publik.
Indonesia masih harus dapat memilih secara tepat beberapa alternatif apakah perundingan
bilateral saja, melalui jasa High Counsel Asean, Tribunal UNCLOS atau ke Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Pemerintah juga harus melengkapinya dengan
berbagai peraturan yang memperkuat posisi Indonesia di arena perundingan nanti. Seperti
dimaklumi, Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Kordinat Geografi
Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia juga disiapkan saat menghadapi persidangan kasus
Sipadan Ligitan di Mahkamah Internasional, namun kurang manfaat karena kalah berpacu
dengan waktu. Sekarang PP tersebut harus segera diubah karena di dalamnya masih ada Sipadan
dan Ligitan.
Mengambil pelajaran dari proses perebutan Sipadan Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini
Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus Sipadan
Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat argumentasi hukum
dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan negara pihak dalam mengurus asset.
Oleh karena itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih diperkuat hingga dapat memerinci saat-
saat paling mutakhir. Harus dikaji pula secara lebih mendalam sejauh mana peran dan
keterlibatan Shell dalam kasus ini.
Sebagai negara yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia harus bersikap tegas dan
konsisten. Pada kasus Sipadan Ligitan, awalnya Indonesia terkesan sangat percaya diri. Namun
setelah persidangan berlangsung, belakangan diketahui bahwa tim perunding Indonesia ternyata
kurang persiapan dan kurang kordinasi. Oleh karenanya untuk ke depan Indonesia harus lebih
siap lagi. Tentunya tidak hanya yang substansial, namun juga yang non-substansial termasuk
jiwa patriotisme harus juga dikedepankan. Tim perunding Indonesia harus mampu menandingi
semangat kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan sikap Indonesia yang jelas,
Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk mempertahankan teritorial dan kedaulatan.
Padahal yang dimaksud teritorial dan kedaulatan tersebut masih dalam status sengketa dan
masuk wilayah Indonesia. Dengan kata lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain.
Sikap tegas Malaysia tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk menantang
Indonesia. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah strategi Indonesia untuk menghadapi
tantangan tersebut. Akhirnya dari semua itu, kemampuan Indonesia dalam berdiplomasi akan
diuji kembali. Pekerjaan rumah bagi Deplu untuk mengukir sejarah kebesaran bangsa Indonesia
enyelesaian Kasus Ambalat dan Posisi Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak
Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai
Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda), hubungan kedua
negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. sudah beberapa kali kapal-kapal
perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri.
Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian,
hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi
pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan
antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa
negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat
terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain
yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis
kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan
Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan
Indonesia. Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul
dibanding Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan
militer secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar.
Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan terlena oleh berbagai
permasalahan dalam negeri yang belum menemukan solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita
juga perlu menaruh perhatian kita terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari
keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan dengan setengah sadar
menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim
Malaysia terhadap Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Reaksi kita seperti orang yang dibangunkan dari tidur
secara tiba-tiba --gelagapan, kita berobicara seperti setengah sadar dan dengan penuh emosional.
Keluarlah kata-kata, ganyang Malaysia, serang Malaysia, hancurkan Malaysia, dan kata-kata keras lainnya.
Dan secara tidak sadar pula tiba-tiba kita menyatakan bahwa kita membutuhkan TNI yang kuat agar TNI
memberikan pukulan yang mematikan, agar TNI tidak ragu-ragu menghajar Malaysia, dan
sebagainya.Demikian juga sebenarnya dalam menghadapi kasus Ambalat ini. Jelas bahwa kita wajib
mempertahankan kedaulatan dan integritas tanah air kita, tidak sejengkal pun boleh jatuh ke tangan
asing. Namun kebijaksanaan dan tindakan kita tetap harus rasional, proporsional, profesional, dan penuh
kearifan. Sebelum menggunakan jalan kekerasan atau kekuatan militer (forcible means) sebagai jalan
terakhir, sebaiknya tempuh dulu cara-cara damai atau diplomasi (peaceful means).Penyelesaian secara
politis dengan mendahulukan perundingan melalui saluran-saluran diplomatisakan lebih baik. Memang
jalan ini memerlukan kesabaran dan waktu, namun hasilnya akan jauh lebih baik bagi semua pihak
ketimbang melalui jalan perang.
BAB II
PEMBAHASAN
Menyikapi kasus Ambalat, yang perlu kita lakukan dengan segera adalah manuver-manuver politik oleh
para diplomat kita dengan penuh percaya diri, keluwesan, dan keberanian. Apa yang dilakukan oleh TNI
Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara pada saat sekarang sudah tepat dan harus terus ditingkatkan
sebagai back up terhadap usaha-usaha diplomasi. Semua manuver atau "show of force" tersebutkita
lakukan dalam rangka pertahanan negara, menjaga integritas dan kedaulatan negara dan aneksasi oleh
negara asing, bukan untuk melakukan penyerangan karenakita bukan negara agresor. "Show of force"
tersebut penting sekali sebagai tekanan psikologis kepada pihak Malaysia agar dapat menyelesaikan
kasus tersebut melalui jalan perundingan dengan cepat, dan tidak berdasarkan ambisi dan keserakahan
karena merasa sudah lebih kuat.
Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, karena kurang sabar melakukan usaha-usaha penyelesaian secara
politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir dengan hasilyang sangat mengecewakan. Kalau saja kita
tidak terburu-buru membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional, dan kita lebih intensif
melakukan perundingan-perundingan didukung oleh "show of force" TNI Angkatan Laut dengan patroli
laut secara reguler dan singgah di kedua pulau tersbeut, atau menempatkan petugas administratifkita di
sana, tentu hasilnya akan lain. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan politis lainnya (semangat
ASEAN, keamanan regional, dan sebagainya) maka kedua pulau tersebut belum tentu menjadi
milikMalaysia, paling tidak satu pulau akan tetap milik kita.
Dalam kasus Ambalat pun kita harus hati-hati menyelesaikan masalah ini. Penyelesaiannya harus ditinjau
dari berbagai aspek, khususnya hukum laut internasional sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (UN Convention on the Law of the Sea, 1982) dan perjanjian bilateral antara kedua pihak. Bila
menyelesaikan kasus ini langsung dengan jalan kekerasan (perang), dampaknyaakan berat bagi Indonesia
baik dari segi politik internasional maupun dari segi beban dalam negeri, khususnya dalam bidang
perekonomian negara. Penyelesaian melalui perundingan yang diakhiri dengan persetujuan secara
tertulis, baik secara langsung atau dengan mediasi, akan memiliki kekuatan hukum secara lebih pasti
Reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat bisa dipahami karena belum lagi sembuh luka bangsa
Indonesia dengan terlepasnya dua pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, kini Malaysia mencoba
merebut wilayah lain yang diyakini sebagai wilayah Indonesia. Meskipun secara historis kedua pulau
tersebut juga bagian dari Kesultanan Bulungan, toh akhirnya International Court of Justice (ICJ)
memenangkan Malaysia. Keputusan ini, salah satunya, karena Pemerintah Indonesia terbukti gagal
memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan kedua pulau tersebut. Akankah si kaya minyak
Ambalat bernasib sama dengan kedua kakaknya, Sipadan dan Ligitan? Nampaknya PemerintahIndonesia
perlu berjuang ekstra keras dan luar biasa hati-hati dalam menghadapi persoalan ini.
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses
negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantanyang
sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas
bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum
terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan
dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan olehMalaysia. Jika memang belum pernah dicapai
kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas
Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di
masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadisalah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam
penegasan perbatasan RI dengan Timor Leste.
B. Konfensi international
Sayang sekali, sebagai salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi 1891, nampaknya tidak akan
membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini. Seperti halnya Sipadan dan Ligitan, Konvensi ini
kemungkinan besar tidak akan mengatur secara tegas kepemilikan Ambalat. Hal ini terjadi karena
Konvensi 1891 hanya menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang
berlokasi di garis lintang 4 10 ke arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa lebih rinci menyebutkan
kelanjutannya. Tentu saja ini meragukan karena Ambalat, seperti juga Sipadan dan Ligitan berada di
sebelah timur titik akhir garis yang dimaksud. Jika garis tersebut, sederhananya, diperpanjang lurus ke
timur, memang Ambalat, termasuk juga Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak Indonesia. Namun
demikian, menarik garis batas dengan cara ini, tanpa dasar hukum, tentu saja tidak bisa diterima begitu
saja.
Melihat kondisi di atas, diplomasi bilateral memang nampaknya jalan yang paling mungkin. Meskipun
mengajukan kasus ini ke badan internasional seperti ICJ, adalah juga alternatif yang baik, langkah ini
tidak dikomendasikan. Mengacu pada gagasan Prescott, ada tiga hal yang melandasi pandangan ini.
Pertama, kasus-kasus semacam ini biasanya berlangsung lama (bisa 4-5 tahun). Artinya, ini akan menyita
biaya yang sangat besar, sementara negosiasi antarnegara mungkin akan lebih produktif.
Kedua, pengadilan kadang-kadang memberikan hasil yang mengejutkan. Keputusan the Gulf of Fonseca
adalah contoh yang nyata.
Ketiga, kadang-kadang argumen pengadialan dalam membuat keputusan terkesan kabur sehingga sulit
dimengerti.
SENGKETA batas wilayah dan pemilikan Ambalat mendapat perhatian besar beberapa hari terakhir ini.
Jika tidak segera ditangani, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang mengandung banyak aspek
(tidak sekadar berdimensi politik-keamanan) akan dapat memburuk. Malaysia mengklaim Ambalat
menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur Prescott (2004), peta tersebut memuat
Batas Continental Shelf di mana klaim tersebut secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi
maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut ini Malaysia
telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di
atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk
dijadikan dasar dalam mengklaim suatu wilayah.
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses
negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantan yang
sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas
bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum
terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan
dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai
kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas
Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di
masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuat kebijakan, baik di
Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia
menggunakan kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.
Ada beberapa pelajaran penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi
persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan batas Negara,
dalam hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini
tercatat bahwa Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India,
Thailand, Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami bahwa
Indonesia saat ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana alam yang menyita perhatian
besar. Saat inilah kemampuan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat tetap memberi perhatian
kepada persoalan penting seperti ini di tengah goncangan bencana.
Hal penting lain yang mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di seluruh wilayah
Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini sudah menjadi
program pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sejak cukup lama, namun kiranya
perlu diberikan energi yang lebih besar sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan,
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim oleh
bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak.