Anda di halaman 1dari 59

MATERI INTI - Ml 3

KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA

/. DESKRIPSI SINGKAT

Kesehatan kerja merupakan penyerasian antara kapasitas kerja, beban


kerja dan lingkungan kerja. Di dalam lingkungan kerja terdapat faktor-faktor
yang dapat menjadi bahaya potensial. Bahaya potensial tersebut dapat
menimbulkan gangguan Kesehatan/penyakit pada pekerja. Lingkungan kerja
ini meliputi lingkungan fisik, biologi, kimia, ergonomi dan psikososial.

Di dalam modul ini akan dibahas kesehatan lingkungan kerja yang


berhubungan dengan penilaian risiko kerja berupa faktor fisik, kimia, biologi
dan ergonomi.

Langkah utama dalam kesehatan lingkungan kerja adalah berupa kegiatan


pengenalan/penemuan masalah, evaluasi faktor bahaya potensial di
lingkungan kerja dan pengendalian untuk penanggulangan masalah yang
ada.

//. TUJUAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu melaksanakan langkah-langkah
kegiatan penyehatan lingkungan kerja.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan dasar-dasar kesehatan lingkungan kerja
2. Menjelaskan faktor-faktor bahaya potensial di lingkungan kerja
3. Melaksanakan langkah utama/upaya kesehatan lingkungan kerja yang
meliputi pengenalan/penemuan masalah, evaluasi faktor bahaya
potensial di lingkungan kerja dan pengendalian/penanggulangan
masalah yang ada.
4. Melakukan identifikasi bahaya di lingkungan kerja,
5. Melaksanakan pengukuran bahaya di lingkungan kerja
6. Memberikan rekomendasi perbaikan lingkungan kerja

III. POKOK BAHASAN


1. Dasar-dasar kesehatan lingkungan kerja
2. Faktor bahaya potensial fisik di lingkungan kerja
3. Faktor bahaya potensial kimia di lingkungan kerja
4. Faktor bahaya potensial biologi di lingkungan kerja
5. Faktor bahaya potensial ergonomi di lingkungan kerja
6. Pengendalian risiko di lingkungan kerja

IV. BAHAN AJAR


1. Modul Kesehatan Lingkungan Kerja
2. Bahan Tayang Power Point tentang Kesehatan Lingkungan Kerja

V. LANGKAH/PROSES
1. Fasilitator menjelaskan secara singkat diskripsi, tujuan, pokok bahasan
dan metode yang dipakai (5 ')
2. Fasilitator mempresentasikan tentang dasar-dasar kesehatan
lingkungan kerja (10)
3. Fasilitator melakukan review tentang materi dasar-dasar kesehatan
lingkungan kerja (25)
4. Fasilitator mempresentasikan faktor-faktor bahaya potensial di
lingkungan kerja (10)
5. Fasilitator melakukan review tentang faktor-faktor bahaya potensial di
lingkungan kerja (25).
6. Fasilitator mempresentasikan langkah utama/upaya kesehatan
lingkungan kerja yang meliputi pengenalan/penemuan masalah,
evaluasi faktor bahaya potensial di lingkungan kerja dan pengendalian/
penanggulangan masalah yang ada (15)
7. Fasilitator melakukan review langkah utama / upaya kesehatan
lingkungan kerja yang meliputi pengenalan/penemuan masalah,
evaluasi faktor bahaya potensial di lingkungan kerja dan pengendalian/
penanggulangan masalah yang ada (35)
8. Fasilitator mempresentasikan teori identifikasi bahaya di lingkungan
kerja (15)
9. Fasilitator melakukan review teori identifikasi bahaya di lingkungan kerja
(20)
10. Fasilitator mempresentasikan teori pengukuran bahaya di lingkungan
kerja (15)
11. Fasilitator melakukan review teori pengukuran bahaya di lingkungan
kerja (40)
12. Fasilitator mempresentasikan teori rekomendasi perbaikan lingkungan
kerja (20)
13. Fasilitator melakukan review teori rekomendasi perbaikan lingkungan
kerja (35)

VI. URAIAN MATERI

KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA

1. Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan Kerja

Dalam penjelasan Undang-undang No. 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 dan 3
disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja
agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk
yang diakibatkan oleh pekerjaan, upaya kesehatan kerja berlaku bagi setiap
orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.

Permasalahan kesehatan di tempat kerja yang berdampak pada pekerja yang


disebabkan adanya ketidak-adequatnya pengendalian faktor risiko lingkungan
kerja. Lingkungan kerja dikaitkan dengan segala sesuatu yang berada di sekitar
pekerja atau berhubungan dengan tempat kerja yang dapat mempengaruhi
pekerja dalam melaksanakan tugas yang dibebankan padanya. Kinerja setiap
tenaga kerja merupakan resultante dari lingkungan. Dalam bidang Kesehatan
Kerja, masalah tersebut dipelajari dalam dalam cabang ilmu terapan yang dikenal
dengan "Industrial Hygiene" atau diterjemahkan secara bebas menjadi Hygiene
Lingkungan Kerja.

Kesehatan lingkungan kerja mempelajari kegiatan pemecahan masalah


kesehatan di lingkungan kerja. Pemecahan masalah lingkungan kerja pada
hakekatnya merupakan upaya pengurangan terhadap beban tambahan bagi
pekerja, dan atau penyerasian antara kapasitas kerja dengan lingkungan kerja.
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi
kesehatan kerja dalam dua bentuk yaitu kecelakaan kerja (Occupational
accident) dan penyakit akibat kerja (Occupational diseases).

Kesehatan kerja merupakan penyerasian antara beban kerja, kapasitas kerja dan
lingkungan kerja. Di dalam lingkungan kerja terdapat faktor-faktor lingkungan
yang dapat menjadi bahaya potensial bagi kesehatan pekerja. Berdasarkan teori
Blum yang menyatakan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor terbesar yang
dapat mempengaruhi status kesehatan individu disamping faktor perilaku,
pelayanan kesehatan dan yang terkecil pengaruhnya adalah faktor keturunan. Oleh
karena itu faktor lingkungan di tempat kerja memberikan pengaruh yang besar
terhadap kesehatan pekerja, yang meliputi kesehatan fisik dan psikis.

Penyakit akibat kerja/penyakit hubungan kerja yang disebabkab oleh masuknya


atau terpajannya pekerja secara terus menerus dengan bahaya
potensial/ancaman bahaya yang ada di lingkungan kerja. Bahaya potensial di
lingkungan kerja terdiri dari
a. Bahaya potensial dari golongan fisik, meliputi antara lain bising,
suhu, vibrasi, radiasi, tekanan, pencahayaan.
b. Bahaya potensial dari golongan kimia, meliputi pelarut organik yang
terdiri dari pelarut organik, metanol, benzena, karbon tetraklorida,
toluena, karbon disulfida dan lain-lain
c. Bahaya potensial dari golongan biologi. Meliputi antara lain virus,
bakteri, cacing, Plasmodium dan jamur.
d. Bahaya potensial faktor ergonomi yaitu faktor teknologi dan seni
penyerasian alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia.
e. Bahaya potensial dari faktor psikososial, meliputi bahaya penyebab stres
pada pekerja.

Bahaya potensial dapat masuk ke dalam tubuh sampai terjadinya gangguan


kesehatan melalui mata rantai yang dimulai dari sumber melalui media
lingkungan kemudian masuk ke dalam tubuh melalui kulit, mulut, hidung, dsb.
Setelah masuk dalam tubuh terjadi penolakan mekanisme tubuh yang disebut
antibodi. Pada keadaan dimana antibodi tidak dapat mengatasi bahaya potensial
yang masuk ke dalam tubuh maka terjadi gangguan kesehatan/penyakit.

Bahaya potensial tersebut di atas masuk kedalam tubuh manusia melalui media
lingkungan, meliputi udara, tanah, air, bahan/material, makanan/minuman,
limbah, dan vektor/binatang perantara penyakit, termasuk pajanan langsung
sedangkan yang berkontribusi terjadinya gangguan kesehatan/penyakit adalah
perilaku.

Untuk memperkecil adanya pengaruh buruk dari faktor lingkungan terhadap


pekerja, dilakukan upaya kesehatan lingkungan. Upaya kesehatan lingkungan kerja
pada dasarnya adalah upaya pemutusan mata rantai dari kemungkinan
masuknya, terpajanannya bahaya potensial di Ingkungan kerja terhadap pekerja
sehingga mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit.

Nilai Ambang Batas/Nilai Batas Dosis adalah suatu nilai dari besarnya/volume
suatu bahan/zat/kondisifisik yang mana pekerja masih diperbolehkan berada
dilingkungan kerja pada batas tertentu dan waktu tertentu yang diyakini tidak
menimbulkan gangguan kesehatan pada hampir semua pekerja

Dalam intervensi kesehatan lingkungan kerja terdapat pendekatan epidemiologi.


Epidemiologi kesehatan lingkungan atau Epidemiologi Lingkungan adalah studi
atau cabang keilmuan yang mempelajari faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi timbulnya (kejadian) suatu penyakit, dengan cara mempelajari dan
mengukur dinamika hubungan interaktif antara penduduk, dengan lingkungan
yang memiliki potensi bahaya pada suatu waktu dan kawasan tertentu, untuk
upaya promotif lainnya (Achmadi, 1991).

Pemahaman terhadap berbagai parameter kesehatan lingkungan dan/atau


kesehatan kerja serta bagaimana mengukur berbagai parameter perubahan
ataupun dinamika hubungan interaktif tersebut. Lingkungan kerja mengandung
potensi bahaya yaitu pada dasarnya komponen lingkungan mengandung agent
penyakit. Parameter yang digunakan untuk mengukur agent dapat dilakukan
dengan menggunakan teori simpul, sebagai berikut:
a. Pengukuran pada simpul A adalah pengukuran pada sumbernya atau
pengukuran emisi
b. Pengukuran simpul B atau pengukuran berbagai komponen penyebab sakit
pada ambient (media lingkungan) sebelum kontak dengan manusia
misalnya pengukuran kualitas air, udara, tanah, makanan, vektor,
bahan/material dan sebagainya.
c. Pengukuran simpul C, yaitu pengukuran pada spesimen tubuh manusia
atau biasa dikenal sebagai biomarker, seperti pengukuran kadar merkuri
pada rambut, kulit dan darah.
d. Pengukuran pada simpul D, yaitu apabila interaktif itu sudah menjadi
outcome berupa kejadian penyakit. Contoh prevalensi penyakit, jumlah
penderita keracunan, jumlah penderita diare, jumlah penderita kanker dalam
suatu komunitas.
2. Faktor Bahaya Potensial Fisik di Lingkungan Kerja

Sebelum membahas masalah lingkungan fisik di tempat kerja terlebih dahulu


petugas harus mengenal alat-alat yang digunakan dalam melakukan pengukuran
lingkungan kerja. Alat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

No. Nama Alat Kegunaan


1) Sound level meter, impact noise meter Kebisingan
2) Acceloro meter Getaran/vibrasi
3) Thermometer Suhu udara
4) Sling psychometer/Wctglobe thermometer kelembaban Udara
5) Velometer, anemometer Kecepatan gerak udara
6) Luxmeter,bightmeter, brightness meter Pencahayaan/penerangan
7) Personal dust sampler, Midget impinge Debu
8) Gas detector tube, gas chromatograf, gas Gas dan Uap
analyzer
9) Microwave-mullertubes, luminescent Radiasi

2.1. Kebisingan

Kebisingan merupakan masalah kesehatan kerja yang sering timbul, baik pada
industri besar seperti pabrik baja, pabrik mobil maupun industri rumah tangga,
seperti pandai besi, penggergajian kayu, perajin kuningan serta aneka logam
lainnya.

Gangguan kebisingan dapat dikelompokan secara bertingkat, sebagai berikut:

1) Gangguan Fisiologis
Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising.
Dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu.
Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas,
sehingga dapat menimbulkan gangguan lain, misalnya kecelakaan. Pembicara
terpaksa berteriak-teriak, selain memerlukan ekstra tenaga, juga menambah
kebisingan. Dilaporkan bahwa kebisingan dapat mengganggu "cardiac output"
dan tekanan darah.
2) Gangguan Psikologis
Gangguan fisiologis lama-lama bisa menimbulkan gangguan psikologis. Suara
yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan stress, gangguan jiwa, sulit
konsentrasi, berpikir dan lain sebaginya. Gangguan psikologis tentu saja dapat
menimbulkan akibat yang lebih jauh.

3) Gangguan Patologis Organis


Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruhnya terhadap alat
pendengaran atau telinga, yang dapat menimbulkan ketulian yang bersifat
sementara hingga permanen.

Terjadinya ketulian akibat bising ini tidak sekaligus terjadi dalam seketika, tetapi
tergantung dari macam dan lama suara serta faktor-faktor lain. Prosesnya bisa
dimulai dari tingkat yang ringan sampai menjadi berlarut-larut, yaitu tuli yang
menetap.tuli akibat bising termasuk jenis tuli persepsi dan kelainannya terdapat
di dalam cochlea dan bisa menetap.

Kebisingan dapat diklarifikasikan dalam 3 (tiga) bentuk dasar:


1) "Steady noise"
Dinyatakan dalam nilai ambang tekanan suara (sound pressure levels) di
ukur dalam octave band dan perubahan-perubahan tidak melebihi beberapa
dB per detik. Contohnya adalah suara gergaji berputar.
2) "Impulse noise"
Mempunayi perubahan-perubahan dalam octave band yang melebihi
beberapa dB per detik. Contohnya adalah ketukan-ketukan yang berulang
seperti misalnya bising di dalam kamar mesin kapal.
3) "Impact noise"
Mempunyai perubahan-perubahan yang amat besar dalam octave band.
Contohnya adalah letusan senjata api.

Kelainan yang timbul pada akibat bising terjadi tahap demi tahap sebagai berikut:
1) Stadium adaptasi
Adatapsi merupakan suatau daya proteksi alamiah dan keadaan ini dapat
pulih kembali, atau dengan kata lain sifatnya reversible. Jika kita memasuki
ruangan yang bising maka ambang pendengaran akan naik, sehingga bising
tidak akan mengganggu lagi. Setelah meninggalkan ruangan bising itu
pendengaran kita yang (menjadi) kurang lama kelamaan akan pulih kembali.
2) Stadium "temporary threshold shift"
Disebut juga "auditory fatigue" yang merupakan kehilangan pendengaran
"reversible" sesudah 48 jam terhindar dari bising itu. Batas waktu yang
diperlukan untuk pulih kembali, sesudah terpapar terhadap bising pekerjaan
adalah 16 jam. Bila pada waktu bekerja keesokan hari pendengaran hanya
sebagian yang pulih maka akan terjadi "permament hearing loss".
3) Stadium "persistent treshold shift"
Dalam stadium ini meningginya ambang pendengaran lebih lama lagi dari
pada stadium "temporary treshold shift". Sekurang-kurangnya 48 jam setelah
meninggalkan lingkungan bising, pendengarannya masih terganggu.
4) Stadium "permanent treshold shift"
Di sini meningginya ambang pendengaran menetap sifatnya. Gangguan ini
paling banyak ditemukan dan tidak dapat disembuhkan . Ini merupakan tuli
akibat di tempat yang bising dan merupakan jenis tuli persepsi yang
kerusakanannya terdapat dalam cochlea berupa rusakannya syaraf, dimana
terdapat degenerasi dari "sensory" atau "external hair cell".

Tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja. Hal tersebut


tergantung dari beberapa faktor, diantaranya ialah intensitas bising, frekuensi
bising, lamanya berada daiam lingkungan bising, sifat bising, waktu di luar
lingkungan bising, kepekaan seseorang dan umur. Di samping faktor-faktor
tersebut di atas, masih ada beberapa yang menimbulkan trauma akustik, yaitu
sifat-sifat fisik suara penyebab (frekuensi, intensitas, bahan yang dipakai), sifat
perorangan (kepekaan perorangan, umur, penyakit telinga sebelumnya).

Pengendalian kebisingan di lingkungan kerja dapat dilakukan dengan berbagai


cara. Diantaranya adalah dengan menghilangkan kebisingan dari sumber suara.
Menghilangkan kebisingan dari sumber suara ialah dengan mengganti beberapa
alat dengan alat lain yang lebih sedikit menimbulkan bunyi.

Cara penggantian atau subtitusi itu antara lain:


- Yang seharusnya memaku diganti dengan mengelas
- Yang seharusnya memaku dengan tekanan angin diganti dengan
pemampatan
- Membelah atau memotong dapat diganti dengan mengasah
- Beberapa alat yang memakai pompa angin dapat diganti dengan listrik.
- Gigi logam yang bergesekan diganti dengan sistim berjalan
- Mengerjakan besi dan logam lain selagi masih panas lebih sedikit
menimbulkan bising daripada selagi logam tersebut dingin.

Untuk menghilangkan atau mengurangi transmissi kebisingan terhadap manusia


dapat dilakukan berbagai usaha; salah satu diantaranya ialah dengan
menutup/menyerat mesin atau alat yang mengeluarkan bising.

Kesukaran yang dihadapi dalam meredam bunyi umumnya ialah terletak pada
peredam bunyi yang keluar dari lubang-lubang. Untuk ini biasanya dipakai pipa
yang penampangnya lebih kecil atau pipa yang dilapisi peredam bunyi atau
diterapkan pada pipa peredam bunyi tadi alat peredam bunyi yang
memungkinkan suara bergerak berkelak-kelok seperti pada knalpot mobil atau
sepeda motor. Sedangkan pada tepi-tepi pintu atau celah-celah jendela diberikan
pelapis untuk mengurangi lubang-lubang yang tidak diinginkan. Selain itu,
mengadakan isolasi mesin terhadap lantai sehingga tidak menimbulkan getaran
yang akan merambat keseluruh ruangan tersebut. Pada dasarnya untuk menutup
mesin -mesin yang bising adalah sebagai berikut:
- Menutup mesin serapat mungkin.
- Mengolah pintu-pintu dan semua lubang secara akuatik. Bila perlu
mengisolasi mesin dari lantai untuk mengurangi penjalaran getaran.

Usaha lain dalam mengendalikan bising ialah ditujukan terhadap pekerja atau
karyawannya itu sendiri yang terpapar terhadap kondisi bising. Cara ini
sebenarnya lebih praktis dalam pelaksanaannya akan tetapi kesukarannya
terletak pada si karyawannya itu sendiri dan di sini berhubungan erat dengan
faktor manusia.

Dalam rangka usaha melindungi pekerja dari kebisingan di lingkungan kerja


dapat dipakai beberapa cara. Salah satu diantaranya ialah dengan memakai alat
pelindung telinga atau "personal protective devices", yaitu dengan menyediakan
"ear defender" berupa "ear plugs". "ear muffs" atau "helmet". Cara lain ialah
dengan menghilangkan pemaparan pekerja yang terpapar tadi dengan
memberikan libur atau memindahkannya kebagian lain setelah ada keputusan
medis. Di samping usaha-usaha tersebut di atas dalam usaha melindungi
karyawan dari kebisingan dengan cara melakukan pemeriksaan medis sebaiknya
dilakukan sebelum karyawan tersebut bekerja atau diterima kerja (pre
employment) serta dengan mengadakan pemeriksaan berkala dan pemeriksaan
pasca kerja atau pemeriksaan yang dilakukan bila karyawan tersebut
mengundurkan diri dari pekerjaannya. Hal ini penting untuk menentukan apakah
karyawan tersebut menderita penyakit akibat kerja atau tidak sehingga dapat
menghindarkan tuntutan yang tidak pada tempatnya selain itu dapat juga untuk
menentukan kompensasi terhadap ganti rugi yang dituntut.

Bagi karyawan atau pekerja sektor informasi perlu dicari upaya yang lebih
pragmatis. Penyuluhan akan bahaya kebisingan harus dilakukan sesering dan
seintensif mungkin.

Mengingat tingginya angka infektif telinga, maka perlu dipikirkan adanya


penjelasan bagi para pekerja. Perhatian perlu lebih diberikan pada kelompok
"risiko tinggi" ini. Sumbat telinga bagi para pekerja informal dapat menggunakan
alat sederhana seperti kapas yang dipadatkan dan atau karet yang dibentuk
sedemikian rupa hingga aman digunakan.

2.2. Tekanan Panas dalam Lingkungan Kerja

Suhu tubuh manusia yang dapat kita raba/rasakan tidak hanya didapat dari
metabolisme, tetapi juga dipengaruhi oleh panas lingkungan. Makin tinggi panas
lingkungan, semakin besar pula pengaruhnya terhadap suhu tubuh. Sebaliknya
semakin rendah suhu lingkungan, makin banyak pula panas tubuh akan hilang.

Dengan kata lain, terjadi pertukaran panas antara tubuh manusia yang didapat
dari metabolisme dengan tekanan panas yang dirasakan sebgai kondisi panas
lingkungan. Selama pertukaran ini seimbang dan serasi, tidak akan
menimbulkan gangguan, baik penampilan kerja maupun kesehatan kerja.

Tekanan panas yang berlebihan akan merupakan beban tambahan yang harus
diperhatikan dan diperhitungkan. Beban tambahan berupa panas lingkungan, dapat
menyebabkan beban fisiologis, misalnya kerja jantung menjadi bertambah.

Tempat-tempat kerja Yang memiliki Masalah Panas Lingkungan

Banyak tempat-tempat yang memiliki kegiatan dengan menyebabkan


peningkatan panas lingkungan, baik lingkungan kerja dengan industri berat seperti
peleburan baja, peleburan timah, pabrik kaca, botol ataupun proses industri kecil
laiinya, seperti peleburan perak, besi dan Iain-Iain.

Di tempat terbuka seringkali dijumpai pula masalah panas lingkungan ini.


Misalnya pelatihan baris berbaris dalam kemiliteran, para petani yang sedang
mencangkul, nelayan, kuli bangunan yang bekerja pada terik matahari, dll. Tempat
kerja sektor informal yang memiliki ruang tertutup dan pengap seringkali memiliki
masalah ini, misalnya industri keramik, batu bata, perajin kulitdan Iain-Iain.

Hubungan Interaktif Panas Lingkungan Manusia

Bila seseorang sedang bekerja, tubuh pekerja tersebut akan mengadakan


interkasi dengan keadaan kondisi lingkungan, yang terdiri dari suhu udara,
kelembaban, dan gerakan atau aliran udara.

Bila suhu tubuh perlu diturunkan terjadi vasolidatasi pembuluh darah kulit, yang
menyebabkan suhu kulit mendekati suhu tubuh, sehingga panas yang hilang
melalui radiasi dan konduksi juga lebih banyak. Sebaliknya pada suhu udara
dingin, reseptordingin pada kulit terangsang. Kejut rangsang (impuls) diteruskan
ke neuron peka dingin pada hypothalamus posterior. Sebagai respon,
hypothalamus meningkatkan kejut rangsang konstriksi ke pembuluh darah perifer
serta menghambat aktivitas kelenjar keringat. Tampak kulit pucat karena
penyempitaan pembuluh darah .

Sebagai akibatnya, pelepasan panas tubuh melalui kulit berkurang. Kejut-kejut


rangsnag ini juga dapat disalurkan melalui susunan saraf otonom. Proses
kehilangan panas tubuh ini tidak boleh terjadi secara berlebihan dan harus dicegah.
Karena itu hypothalamus mengatur agar pembentukan pans meningkat dengan
mengeluarkan hormon yang mempengaruhi metabolisme.

Mula-mula hypothalamus akan memproduksi zat yang merangsang sekresi


"Thyroid Stimulating Hormon (TSH)" oleh kelenjar Pituitrin Anterior. TSH merangsang
kelenjar Thyroid untuk memperoduksi thyroxin, yang mempengaruhi proses
metabolisme bertambah, sehingga panas yang dihasilkanpun bertambah.
Sebaliknya, kadar thyroxin yang meningkat, menghambat sekresi TSH, sehingga
kelenjar thyroid dihambat untuk bersekresi.

Kehilangan cairan yang berlebihan menyebabkan penurunan volume plasma.


Keadaan ini juga mempengaruhi "Cardiac output". Bila keadaan telah lanjut,
"Cardiac output" yang menurun diikuti oleh penurunan sirkulasi ke kulit, dan
akibatnya proses berkerignat juga menurun. Bila keadaan telah mencapai taraf
ini, berarti proses berkeringat juga menurun, atau berarti proses penurunan suhu
tubuh yang paling penting terhenti. Karena panas terus diproduksi dari proses
metabolisme, shu tubuh juga terus bertambah tanpa ada kesempatan turun, sampai
akhirnya seluruh sistem kolaps.

Kamampuan tubuh untuk mengatur pans terbatas. Bila panas yang berlebihan ini
tidak cepat dibuang, siklus berantai yang buruk akan timbul. Ini terjadi sebab proses
metabolismepun akan dipacu sesuai dengan kenaikan suhu, sama seperti pada
kebanyakan reaksi kimia lainnya. Dengan meningkatnya metabolisme, panas yang
dihasilkan juga bertambah dan ini akan meningkatkan suhu tubuh lagi.

Bila tidak diatasi, dapat terjadi kegagalan sistim kardiovaskuler, ginjal dan
kerusakan "ireversible" dari sistem syaraf dan jaringan otot. Siklus ini hanya dapat
dihentikan bila kebetulan waktunya tepat dan dilakukan tindakan yang cermat.

Indek Pengukur Panas Lingkungan


Seperti telah disebutkan bahwa suhu dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu udara, kelembaban, gerakan/aliran udara dan radiasi. Efek keempat faktor
tersebut pada suhu tubuh merupakan hasil kompensasi dari faktor-faktor tadi.
Dapat saja terjadi variasi dari faktor-faktor tersebut, tetapi efek yang dihasilkan akan
sama. Untuk mengetahui besarnya pengaruh panas lingkungan pada tubuh, para
ahli telah berusaha untuk mencari metoda pengukuran sesederhana mungkin yang
mencakup pengaruh keempat faktor diatas, yang dinyatakan dalam bentuk skala
atau indeks.

Dibawah ini akan disebutkan beberapa indeks yaitu :


"Predited Four-Sweat Rate" (P4SR)

Skala P4SR dirancang secara empiris berdasarkan pengamatan banyaknya


keringat pada seseorang yang berada dilingkungan panas selama 4 jam.
Pengamatan dilakukan dalam berbagai variasi lingkungan, pemakaian energi
(perbedaan aktivitas), juga perbedaan pakaian (memakai pakaian lengkap/tidak).
Sebagai obyek pengamatan adalah orang muda, sehat dan telah teraklimatisasi.

"Heat Stress Index" (HSI)

Indeks ini diperoleh dari koefisien pertukaran panas lingkungan melalui radiasi
dan konveksi (R+C) dan produksi panas hasil metabolisme (M), yang bersama-
sama menghasilkan sejumlah panas yang harus disalurkan melalui evaporasi (E)
untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh. Pengukuran menjadi kurang tepat
karena disini perlu diperhitungkan bahwa orang yang diobservasi masih memakai
pakaian (walaupun minimal) dan ini mengurangi proses pertukaran panas melalui
R,C, dan E.

Wet bulb Globe Temperature Index" (Index WBGT)

Alat yang pakai disebut WBGT-meter yang merupakan suatu alat yang kompak
yang secara sendiri-sendiri diukur "dry bulb, wet bulb dan globe temperatur", juga
kecepatan gerakan udara.

Kemudian variabel yang diperoleh mengahsilkan suatu nilai yang disebut


indeksWBGT. Variabel yang dipakai yaitu :
(a) "Dry bulb temperatur" (DB)
Alatnya terdiri dari termometer biasa (Fahrenheit) yang dimasukan kedalam
kotak kayu. Dipakai untuk mengukur suhu udara.
(b) "Wet bulb temperatur" (WB)
Alat yang dipakai seperti DB tetapi pada pangkal termometer dibungkus
dengan sumbu (sebaiknya dari tali sepatu) yang diikatkan pada pangkalnya
dengan benang. Pangkal termometer diletakakn diatas mulut labu
Erlenmeyer yang penuh berisi aquadestilata. Suhu yang diukur adalah suhu
yang berkaitan dengan kelembaban dan lairan udara.
(c)"Globe bulb temperatur (G)
Alatnya terdiri dari bola tembaga berukuran 15 cm (6 inci) yang bagian
luarnya dicat hitam pudar (tidak mengkilat) dan termometer dimasukan
kedalam lubang bola ini. Suhu yang diukur adalah suhu yang berkaitan
dengan radiasi panas lingkungan .
Nilai dari pengukuran ketiga alat tersebut di atas mengahsilkan suatu nilai indeks
yang merupakan penjumlahan dari 70% WB, 20% G dan 10% DB dengan rumus
dituliskan sebagai berikut:
Indeks WBGT = (1,7 x WB) + (0,2 x G) + (0,1 x DB).

Berdasarkan nilai indeks ini ditentukan batas maksimum kegiatan fisik yang
boleh dilakukan, yaitu sebagai berikut:
(a) Indeks 78 F (26 C)
Latihan fisik yang sangat berat dapat merupakan faktor presipitasi terjadinya
kejang panas dan sengatan panas karena itu harus waspada.
(b) Indeks 82 F (29 C)
Pada orang-orang yang belum terlatih, latihan fisik berat perlu direncanakan
denganbijaksana.
(c) Indeks 85 F (29 C)
Latihan fisik yang berat (misalnya kegiatan mencangkul, lari-lari) tidak boleh
dilakukan oleh orang yang belum beraklimatisasi kurang dari 3 minggu
(d) Indeks 85 F (29 C)
Pekerjaan dibawah sinarmatahari harus dihindarkan
(e) Indeks 88-90 F (31-32 C)
Pekerjaan fisik harus dikurangi pada orang yang baru melaksanakan
pekerjaan kurang dari 12 minggu. Hanya orang yang telah terlatih baik dan
beraklimatissi dapat melakukan kegiatan fisik terbatas dan tidak boleh lebih
dari 6 jam sehari.
(f) Indeks 90 F (32 C)
Semua pekerjaan fisik harus dihentikan.

Kelainan/gangguan akibat Tekanan Panas


Kelainan/gangguan yang tampak secara klinis akibat gangguan mekanisme
pengatursuhu, dibagi atas 4 kategori dasar yaitu :

Miliaria Rubra (Heat Rash)


Sering dijumpai dikalangan militer atau pekerja fisik lainnya yang tinggal
didaerah beriklim panas. Tampak adanya bintik papulovesikal kemerahan pada
kulit yang terasa nyeri bila kepanasan. Hal ini terjadi sebagai akibat sumbatan
kelenjar keringat dan terjadi retensi keringat disertai reaksi peradangan.

Kejang panas (het cramps)


Dapat terjadi sebagai kelainan tersendiri atau bersama dengan kelelahan panas.
Kejang otot timbul secara mendadak, terjadi setempat atau menyeluruh,
terutama pada otot-otot ekstrimitas dan abdomen. Penyebab utamanya adalah
karena defisiensi garam. Kejang otot yang berat dalam udara panas menyababkan
keringat diproduksi banyak. Bersama dengan keluarnya keringat, hilang sejumlah
air dan garam.

Kelelahan panas (heat exchaustion)


Kelelahan panas timbul sebagai akibat kolaps sirkulasi darah perifer karena
dehidrasi dan defisiensi garam. Dalam usaha untuk menurunkan panas, aliran
darah ke perifer bertambah, yang mengakibatkan pula produksi keringatbertambah.
Penimbunan darah perifer menyebabkan darah yang dipompa darijantung ke organ-
organ lain tidak cukup, sehingga timbul gangguan.

Sengatan panas (heat stroke, heat pyrexia, sun stroke)


Sengatan panas adalah suatu keadaan darurat medik dengan angka kematian
yang tinggi. Pada Kelelahan panas, mekanisme pengatur suhu bekerja
berlebihan tetapi masih berfungsi, sedangkan pada sengatan panas, mekanisme
pengatur suhu tubuh sudah tidak berfungsi lagi disertai pula dengan terhambatnya
proses evaporasi secara total.

Suhu rektal lebih dari 41 C merupakan tanda bahaya dan merupakan ancaman
serius terhadap nyawa penderita. Angka kematian dapat mencapai 20%,
tergantung daricepatnya pertolongan pertama diberikan. Suhu lebih dari 42,2C
menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Penyembuhan dipersulit pada
penderita penyakit jantung, ginjal dan usia tua.

Tindakan pencagahan terhadap gangguan panas


Untuk menghidari terjadinya gangguan/kelainan yang tidak kita inginkan, perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu :

Air minum
Air minum merupakan unsur pendingin tubuh yang penitng dalam lingkungan panas.
Air diperlukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi akibat berkerirngat dan
pengeluaran urine. Pendapat bahwa seseorang dapat dilatih untuk mengurangi
kebutuhan air adalah tidak benar. Pada keadaan banyak keringat, tiap orang
memerlukan 0,5 liter air atau lebih tiap jam. Air tersebut sebaiknya diberikan dalam
jumlah kecil tapi frekwensinya lebih sering, dengan interval 20-30 menit. Suhu
optimum air minum 10-21C.

Garam (NaCI)
Kebutuhan rata-rata tiap orang adalah 15-20 gr/hari dan biasanya sudah cukup
dipenuhi dari makanan sehari-hari. Pada pengeluaran keringat yang banyak, perlu
menambah pemberian garam, akan tetapi tidak boleh beriebihan karena dapat
menimbulkan haus dan mual. Penambahan dapat diberikan melalui makanan atau
lebih mudah melalui air minum dengan konsentrasi 0,1%.

Makanan
Sesudah makan, sebagian besar darah mengalir kedaerah usus untuk menyerap
hasil pencemaan. Bila latihan fisik dilakukan segera sesudah makan, darah yang
mengalirdiperlukan juga otot-otot. Akibatnya aliran darah menjadi tidak efisien
karen kebutuhan ganda dan ini dapat mengganggu fungsi normal. Karena itu
sebaiknya, latihan dilakukan setelah cukup istirahat.

Istirahat
Aktivitas fisik beratyang dilakukan pada lingkungan panas, terutama pada orang
yang belum terlatih, memerlukan istirahat yang diberikan singkat setiap sesudah
latihan (juga singkat). Cara ini bermanfaat unutk menghindari terjadinya efek
kelelahan kumulatif.

Tidur
Untuk menghindari efek kelelahan kumulatif diperlukan istirahat tidur sekitar 7
sehari. Selama tidur, tubuh diberi kesempatan untuk membersihkan pengaruh-
pengaruh atau zat-zat yang kurang baik bagi tubuh yang terdapat pada otot-otot
dan organ lain. Jaringan saraf juga mendapat kesempatn istirahat. Sebaiknya suhu
ruang tidur diusahakan sejuk.

Pakaian
Pakaian melindungi permukaan tubuh terhadap radiasi sinar matahari, tetapi juga
merupakan penghambat terjadinya konveksi antara kulitdengan aliran udara.
Untuk mndapatkan efek yang menguntungkan, baju yang dipakai harus cukup
longgarterutama dibagian leher, ujung lengan, ujung celanadan sebagainya. Selain
itu jenis bahan yang dipakai juga harus yang tidak menghambat evaporasi (jangan
jenis impermeable).

Aklimatisasi
W H O (1969) memberikan definisi aklimatisai sebagai berikut: "Aklimatisasi
panas adalah istilah yang diberikan pada suatu keadaan penyesuaian fisiologik
yang terjadi pada seseorang yang baisanya hidup di iklim dingin, kemudian
berada di iklim panas")

Penyesuaian yang serupa ini juga terjadi pada seseorang yang biasa bekerja dalam
sikap duduk (aktivitas fisik ringan) ke [ekerjaan dengan aktivitas fisik yang lebih
berat. Tubuh ynag telah mengalami aklimatisasi dapat melakukankegiatan fisik
dalam dalam lingkungan panas tanpa menimbulkan gejala yang merugikan.
Perubahan karakteristik yang nyata dan menguntungkan adalah bertambahnya
produksi keringat, diserta dengan denyut jantung dan suhu rektal yang tetap rendah.
Bertambahnya produksi keringat dapat menimbulkan dehidrasi. Keadaan ini harus
dihindarkan dengan minum lebih sering dalam jumlah sedikit tetapi 100 200 ml)
tiap 15-20 menit.

Dalam proses terbentuknya aklimatisasi terdapat perubahan 2 (dua) faktor


penting yaitu:
- Pembentukan keringat terjadi lebih dini dan dalam jumlah yang lebih
besar.
- Kemampuan dalam vasodilatasi pembuluh darah kulit bertambah.

Sirkulasi menignkat dengan bertambahnya volume plasma dan cairan interstisial.


Keadaan ini menignkatkan "venous return" ke jantung. Akibatnya "stroke volume"
menignkat, dan "cardiac output" dapat tetap dipertahankan dengan denyut yang
tetap rendah. Agar keuntungan maksimal aklimatisasi tercapai, penting untuk
melakukan kegiatan fisik berderajat sedang selama periode adaptasi.
Keberadaan seseorang tanpa kegiatan fisik dilingkungan panas, hanya
menghasilkan aklimatisasi yang ringan. Akan tetapi aktivitas fisik yang berat dan
dilakukan pada hari pertama tidak dapat dibenarkan. Proses aklimatisasi harus
dilakukan secara bertahap dan berangsur-angsur. Aklimatisasi terjadi dalam
waktu yang relatif singkat yaitu 4-7 hari, dan dapatdipercepat dengan melakukan
aktivitas fisik secara intermiten selama 2-4 jam/ hari. Aklimatisasi menjadi
lengkap atau hampir sempurna dalam 10 hari sampai 2 minggu. Bila setelah
terjadi aklimatisasi tubuh tidak kontrak lagi dengan lingkungan panas selama 2 -
3 hari, toleransi menurun dengan cepat. Setelah itu aklimatisasi mundur mula-
mula cepat, kemudian hilang sama sekali dalam 3-4 minggu. Allan J. Ryan
(1994) berpendapat bahwa aklimatisasi dapat dipertahankan selama 2 minggu,
kemudian menghilang secara perlahan dalam beberapa bulan, tergantung pada
tiap individu. Tubuh dengan kondisi fisik yang baik dapat mempertahankan
periode aklimatisasi lebih lama. Sifat lain dari aklimatisasi yang perlu diketahui
adalah:
(a). Aklimatisasi pada suatu tingkat tidak menjamin terjadinya aklimatisasi
sempurna pada tingkat lain dengan suhu / stress yang lebih.
(b). Aklimatisasi pada lingkungan hangat, memudahkan terjadinya aklimatisasi
pada lingkungan panas walaupun tidak lengkap.
(c). Aklimatisasi pada iklim panas kering, menambah kemampuan bertahan
seseorang dalam iklim panas-lembab; demikian sebaliknya.
(d). Aklimatisasi lebih cepat terjadi pada orang dengan kondisi fisik yang baik,
tetapi kondisi fisik yang baik tidak menjamin kemampuan seseorang,
untuk bertahan dalam lingkungan panas tanpa adanya aklimatisasi lebih
dahulu.
(e). Proses aklimatisasi dihambat bila "intake air" dan garam adekuat.
(f). Latihan fisik yang berat pada hari pertama dapat menimbulkan terjadinya
gangguan pada tubuh. Keadaan ini juga menghambat aklimatisasi.

2.3 Pencahayaan

Pada umumnya pekerjaan memerlukan upaya penglihatan. Untuk melihat


manusia membutuhkan pencahayaan. Hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu,
mungkin tidak memerlukan pencahayaan. Oleh sebab itu salah satu masalah
lingkungan di tempat kerja yang hams diperhatikan adalah pencahayaan.
Pencahayaan yang kurang memadai dapat merupakan beban tambahan bagi si
pekerja. Dengan demikian dapat menimbulkan gangguan "performance"
(penampilan) kerja serta pada akhirnya dapat memberikan pengaruh terhadap
kesehatan dan keselamatan kerja. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas
maka pengaturan pencahayaan ditempat kerja perlu mendapat perhatian, guna
mencegah akibat -akibat negatif terhadap pekerjaan maupun pekerja.

Tempat-tempat Yang Memiliki Potensi Bahaya Akibat Pencahayaan Yang


Kurang Memadai.
Tempat-tempat yang memiliki masalah pencahayaan terdapat baik pada industri
besar, kantor-kantor, maupun tempat-tempat kerja yang tergolong sector non-
formal, seperti pasar-pasar, pengrajin industri kecil. Diantara sector informasi
tersebut sector pengrajin, seperti pengukir, anyaman serta aneka kerajian dan
industri kecil lainnya memerlukan perhatian dalam hal pencahayaan ini. Bahkan
masalah pencahayaan ini dapat pula diperluas pada tempat-tempat kerja yang
bersifat nonekonomi seperti, anak-anak belajar (sekolah), serta kegiatan
keluarga lainnya.

Diperkirakan masalah berkenan dengan pencahayaan, khususnya pada sektor


informal cukup banyak. Akan tetapi informasi mengenai hal tersebut relatif
sedikit.

Terminologi dalam pencahayaan.


Sebelum membahas masalah berkenan dengan masalah pencahayaan di
tempat kerja, terlebih dahulu dibahas beberapa istilah baku yang berkenaan
dengan satuan-satuan pencahayaan.
(a). Lilin (candle power): adalah kekuatan pencahayaan yang dinyatakan dalam
lilin. Satu lilin adalah pancaran cahaya dari lilin standard yang berdiaimeter
1 inchi, pada arah horizontal.
(b). Lumen : adalah satuan arus cahaya dari sumber cahaya yang dipancarkan
lewat sudut ruang dari satu lilin yang memancarkan rata.
(c). Luminensi: adalah ukuran cahaya yang dipancarkan oleh benda bercahaya
(illumination body) atau dipantulkan oleh obyek, yang dinyatakan dalam
lilin/meter persegi.
(d). Foot candle: adalah satuan pencahayaan dimana seberkas sinar yang
mempunyai kekuatan 1 lumen dibagi rata/tegak lurus pada permukaan yang
mempunyai luas 1 kaki persegi.
(e). Lux : adalah satuan pencahayaan yang permeter persegi jatuh arus cahaya
sebesar 1 lumen.
(f). Iluminasi: adalah kepadatan dari suatu berkas cahaya yang mengenai satu
permukaan.
(g). Foot Lambert: adalah perbedaan derajat terang yang relatif antara obyek dan
sekelilingnya.
(h).Kontras: adalah perbedaan derajat terang yang relatif antara obyek dan
sekelilingnya.
(i). Reflektan: adalah perbandingan dari cahaya pantul dari benda yang terkena
cahaya yang menyinari langsung permukaan benda itu.

Upaya manusia untuk melihat benda.


Bila seseorang bekerja tidak semua benda dapat dilihat dengan kejelasan yang
sama, tergantung pada ukuran obyek, kekontrasan antara obyek dan latar
belakang obyek tersebut, waktu atau lama melihat obyek tersebut, dan tingkatan
kecerahan (brightness). Dengan melihat faktor-faktor di atas maka suatu benda
dengan ukuran kecil agar dapat terlihat harus mempunyai tingkat kekontrasan
yang tinggi dan waktu melihat yang lama. Sedangkan suatu benda dengan
ukuran besar hanya memerlukan tingkat kekontrasan yang rendah untuk dapat
terlihat. Suatu obyek hitam yang berada pada dasar putih memiliki tingkat
kontras yang besar, sebaliknya benda hitam pada dasar abu-abu mempunyai
tingkat kontras rendah. Ketajaman penglihatan dinilai secara relatif 100 % bila
tingkat pencahayaan sebesar 10" foot candle" dan obyek yang berwarna hitam
berada diatas dasar putih. Sebagai contoh dapat digambarkan ketajaman
penglihatan dinilai secara 137% bila tingkat penerangan dinaikan sebesar 100
"foot candle " dan obyek berwarna hitam di atas dasar yang putih. Dengan
tingkat pencahayaan sebesar 10 "foot candle " dimana suatu obyek berada
diatas dasar abu-abu dengan tingkat kecerahan 63 %, dengan ketajaman
penglihatan relatif bemilai 66 %. Jadi ketajaman penglihatan turun darai 100%
dikurangi 66% atau sama dengan 34%. Di dalam realitas, karena desakan
waktu, misalnya harus menyelesaiakan pekerjaan membuat atau melihat obyek
tertentu, diperlukan pencahayaan yang tinggi disamping kontras yang besar.

Hubungan pencahayaan dengan produktivitas.


Apabila pencahayaan ditempat kerja ditambahsampai pada tingkat tertentu, akan
menaikan produktivitas tenaga kerja. Bila penerangan ditambah diatas optimum,
pekerjaan akan mudah dilakukan dan beban kerja menjadi ringan walaupun
produksi belum tentu meningkat. Jadi jelaslah bila penglihatan para pekerja
menjadi sangat sukur, maka pekerjaan akan mengeluarkan energi yang lebih
besar, dan bila pekerja melihat dengan lebih mudah maka energi yang akan
dikeluarkan menjadi lebih kecil. Dengan demikian cadangan sumber energi para
pekerja akan bertambah dan pekerja yang tidak produktif akan berkurang.

Pengaruh Pencahayaan yang Kurang Terhadap Kesehatan.


Mata manusia sensitif terhadap kekuatan pencahayaan, mulaidari beberapa lux
di dalam ruangan gelap hingga 100.000 lux di tengah terik matahari. Kekuatan
pencahayaan ini aneka ragam yaitu berkisar2000-100.000 lux di tempat terbuka
sepanjang siang dan 50 - 500 lux pada malam hari dengan pencahayaan buatan.
Penambahan kekuatan cahaya berarti menambah daya , tetapi kelelahan relatif
bertambah pula. Kelelahan ini diantaranya akan mempertinggi kecelakaan.
Namun meskipun pencahayaan cukup harus dilihat pula aspek kualitas
pencahayaan, antara lain factor letak sumber cahaya . Sinar yang salah arah dan
pencahayaan yang sangat kuat menyebabkan kilauan pada obyek. Kilau ini
dapat menimbulkan kerusakan mata. Begitu juga penyebaran cahaya di dalam
ruangan harus merata supaya mata tidak perlu lagi menyesuaikan terhadap
berbagai kontras silau, sebab keaneka ragaman kantras silau menyebabkan
kelelahan mata. Sedangkan kelelahan mata dapat menyebabkan:
(a). Irritasi, mata berair dan kelompok mata berwarna merah (konjunctivitas).
(b). Penglihatan rangkap.
(c). Sakit Kepala.
(d). Ketajaman penglihatan merosot, begitu pula kepekaan terhadap perbedaan
(contrast sensitivity) dan kecepatan pandangan.
(e).Kekuatan menyesuaikan (accommodation) dan konvergensi menurun.
Gejala-gejala diatas biasanya banyak terjadi apabila pencahaan tidak cukup
dan bilamana mata mempunyai pemyimpangan pembiasan yang tanpa
dikoreksi oleh pemandangan.

Sumber - sumber pencahayaan:


Kepadataan cahaya ditentukan dari sumbernya, yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua jenis :
(a). Sumber pencahayaan alam (sinar matahari)
(b). Sumber pencahayaan buatan.

Penggunaan pencahayaan dari sinar matahari sudah mulai berkurang, karena


pencahayaan tersebut tidak dapat diatatur menurut keinginan si pengguna. Hal
ini sangat tergantung pada keadaan cuaca. Oleh karena itu sebaiknya suatu
perusahaan/industri atau tempat-tempat kerja, khusunya sektor informal
mempergunakan pencahayaan campuran (alam dan buatan).

Sumber pencahayaan buatan terdiri dari lampu minyak dan lampu listrik Lampu
minyak kini sudah jarang dipergunakan. Meski demikian kebiasaan penggunaan
lampu minyak di tempat kerja perlu mendapat perhatian karena umumnya
kualitas pencahayaan rendah.
- Adapun jenis-jenis lampu listrik antara lain:
- Lampu filamen (lampu pijar biasa)
- Lampu "fluorescent" (atau terkenal dengan istilah lampu neon).
- Lampu "mercury "

Penggunaan lampu pijar biasa mempunyain beberapa keuntungah antara lain


biaya yang murah jika dibandingkan dengan lampu neon atau "mercury", dan
penggunaannya pun mudah. Lampu pijar menghasilkan pencahayaan dengan
kwalitas yang cukup baik dan nyala seketika waktu dinyalakan. Sedangkan
kelemahannya antara lain tingkat effesiensi yang tidak begitu baik serta efek
penas yang ditimbulkan ke udara ruang kerja cukup tinggi, lebih tinggi bila
dibandingkan dengan lampu neon. Lampu neon nampaknya lebih banyak disukai
dalam penerapan sistim pencahayaan, karena selain tingkat efisien yang tinggi
serta jernihnya sinar lampu juga efek panas yang ditimbulkan ke udara ruang
kerja lebih rendah dari pada lampu pijar. Tetapi kelemahannya ialah biaya
pemasangan lebih mahal di dibandingkan dengan lampu pijar biasa.
Penggunaan lampu" mercury" hanya digemari oleh perusahaan perusahaan atau
industri besar. Sinar yang dihasilkan sedikit berwarna, menyajikan lampu ini
kurang cocok untuk penerangan ruang kerja.

Pengaturan pencahayaan buatan.


Pengaturan pencahayaan buatan dapat dilakukan dengan 5 cara:
(a).Pencahayaan langsung (direct lighting): 90 -100 % dari cahaya langsung
diarahkan ketempat kerja. 0-10% diarahkan ke atas (langit-langit).
(b).Pencahayaan langsung taklangsung (direct indirect lighting) atau disebut
penyebaran merata, seluruh cahaya di pancarkan merata keseluruhan
ruangan.
(c).Pencahayaan setengah langsung (semi direct lighting): 60 - 90 % dari cahaya
diarahkan kebawah langsung ketempat kerja, 10-40% diarahkan ke atas.
(d).Pencahayaan setengah tidak langsung (semi indirect lighting): 60-90% dari
cahaya diarahkan keatas (langit langit) untuk diaburkan, 10-40% diarahkan
ke bawah ke tempat kerja.
(e).Pencahayaan tidak langsung (indirect lighting) : 90-100% dari cahaya
diarahkan ke atas, 0-100% diarahkan ke bawah ke tempat kerja.

Lokasi dari sumber pencahayaan dapat berupa:


(a). Pencahayaan umum dimana penerangan tersebut untuk menerangi seluruh
ruangan.
(b). Pencahayaan setempat, dimana penerangan tersebut untuk menerangi satu
lokasi pekerjaan tersebut, misalnya pekerjaan reparasi jam lebih memerlukan
pencahayaan yang sifatnya lokal.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pengaturan pencahayaan buatan
antara lain :
(a). Pembagian Luminensi dalam lapangan penglihatan
Lapangan penglihatan yang terbaik adalah dengan kekuatan terbesar
ditengah pada daerah kerja yang dilakukan. Perbandingan terbaik antara
Luminensi pusat, daerah sekitar pusat dan lingkungan luas sekitarnya adalah
10:3:1. Kondisi penerangan dinyatakan buruk atau tidak memenuhi syarat bila
perbedaan Luminensi melebihi perbandingan 40 : 1 baik dilapangan
penglihatan pekerjaan maupun terhadap lingkungan luar.
(b). Kesilauan
Kesilauan terjadi bila perbedaan penyebaran luminensi melebihi
perbandingan 40 : 1 (baik dilapangan penglihatan pekerjaan maupun
terhadap lingkungan lauar). Namun pada umumnya terjadi karena
keterbatasan kemampuan penglihatan. Kepekaan retina seluruhnya selalu
menyesuaikan dengan luminensi rata-rata, sehingga pada lapangan
penglihatan dengan luminensi berbeda, retina terlalu peka untuk luminensi
yang tinggi, tetapi sangat kurang peka untuk daerah yang samar-samar.
(c). Arah Cahaya
Sumber-sumber cahaya yang cukup jumlahnya sangat berguna dalam
mengatur pencahayaan yang baik. Cahaya dari berbagai arah meniadakan
gangguan oleh bayangan.
(d). Warna Cahaya
Warna-warna dalam lingkungan atau tempat kerja sebagai akibat
pencahayaan menentukan rupa dari pada lingkungan tersebut. Warna
cahaya dan komposisi spektrumnya sangat penting dalam
memperbandingkan dan mengkombinasikan warna-warna. Wajah lingkungan
di tempat kerja tergantung dari sekorasi dan penerangan. Dengan wajah
lingkungan kerja yang baik, dengan adanya kombinasi tata warna dan
dekorasi yang serasi, akan menimbulkan suasana kerja nyaman sehingga
kegairahan kerja akan meningkat.
(e). Panas akibat sumber cahaya
Baik sumber pencahayaan alam (sinar matahari) maupun sumber
pencahayaan buatan dapat menimbulkan suhu udara di tempat kerja.
Pertambahan suhu yang berkelebihan dapat mengakibatkan ketidak
nyamanan bekerja, dan akan merupakan beban tambahan.

Langkah-Langkah Pengaturan Secara Umum


Secara garis besar masalah pencahayaan dibagi secara kwantitatif dan
kwatitatif. Kwantitatif mencakup besarnya kuat pencahayaan, dimana semakin
kecil kuat pencahayaan akan berakibat buruk terhadap pekerja. Sedangkan
kwatitatif antara lain mencakup masalah kesilauan, kekontrasan, warna cahaya
dan kecerahan. Untuk mengatasi dan mencegah timbulnya masalah di atas,
maka perlu ada pengaturan pencahayaan ditempat kerja yang memenuhi
persyaratan.

Adapun langkah-langkahyang diperlukan dalam pengaturan pencahayaan di


tempat kerja ini antara lain ialah:
- Mengadakan suatu analisa kebutuhan
- Menentukan "foot candle level"
- Menetapkan tipe dari sumber penerangan
- Menentukan "Lay out" penerangan.

Sedangkan dalam melaksanakan pengaturan pencahayaan yang memenuhi


syarat, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(a). Sumber pencahayaan yang meliputi :
Intensitas atau kekuatan pencahayaan Jenis sumber cahaya Pengarahan
lokasi dari sumber cahaya Efisiensidan efektivitas sumber cahaya
(b). Keadaan lingkungan atau tempat kerja, yang harus diperhatikan:
- Luas tempat kerja
- Apakah tempat kerja itu mempunyai banyak jendela-jendela atau genteng-
genteng kaca atau tidak.
- Apakah tempat kerja itu mempunyai langit-langit dan dinding yang
berwarna gelap atau terang.
- Apakah sekitar tempat kerja terdapat bangunan bangunan yang tinggi
yang merintangi masuknya matahari.
(c). Jenis Jendela, yang hams diperhatikan :
- Apakah pekerjaan itu hanya membedakan barang kasar.
- Apakah pekerja itu hanya membedakan barang-barang kecil secara
sepintas lalu.
- Apakah pekerjaan itu hanya membedakan barang-barang kecil agak teliti.
- Apakah pekerjaan itu perlu membedakan secara teliti barang barang kecil
dan halus.
- Apakah pekerjaan itu perlu membedakan barang halus dengan kontrak
yang sedang dan dalam waktu lama.
- Apakah pekerjaan itu harus membedakan barang-barang yang sangat
halus dengan kontras yang sangat kurang dan dalam waktu yang lama.
(d). Tenaga Kerja, yang harus diperhatikan:
- Bagaimana kemampuan penglihatan tenaga kerja, yang ditentukan
antara lain umur, keadaan gizi dan kesehatan mata.
- Kondisii kesehatan tenaga kerja.

Untuk masalah tersebut di atas sangat di butuhkan pemikiran para ahli, baik ahli
teknik pencahayaan maupun medis, sehingga dapat dicapai pencahayaan yang
memenuhi syarat ditempat kerja. Selain tersebut di atas, perlu adanya pengertian
bahwa pengaturan pencahayaan dan upaya pencegahan yang berkaitan dengan
pencahayaan ini merupakan tanggung jawab dan kerja sama antara pekerja
dengan pemilik/ pimpinan tempat usaha dan para ahli.

2.4. Radiasi
Kemajuan pembangunan di Indonesia diiringi dengan pemanfaatan dan penerapan
llmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), yang mana dapat berdampak positif
maupun negatif. Dampak negatif tersebut meliputi beberapa aspel antara lain faktor
fisik yang berhubungan dengan radiasi di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Sebagaimana diketahui bahwa radiasi disamping
bermanfaat juga dapat menimbulkan bahaya bagi manusia. Undang-undang
Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaga Nukliran mengamanatkan bahwa
pengamatan dan pembinaan dalam pemanfaatan tenaga nuklir/radioaktif
dilaksanakan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Berdasarkan
keputusan Kepala Bapeten No 01 dan no 02 tahun 1999 dinyatakan bahwa nilai
batas dosis (NBD) yang diperkenankan untuk pekerja adalah 50 mSv/tahun. NBD
dapat dipantau dengan mengunakan Film Badge yang dipakai oleh pekerja
selama bekeja yang diambil dan diperiksakan ke laboratorium selama satu bulan
satu kali. Pengawasan yang dilakukan oleh BAPETEN antara lain inspeksi
penggunaan peralatan, pemberian sertifikat/izin penggunaan peralatan
setiaptahun sekali salah satu syaratnya perlu dilakukan kalibrasi, pelatihan
petugas proteksi radiasi (PPR)
Dampak yang dapat ditimbulkan dari radiasi pengion bisa dirasakan langsung seperti
kerusakan kulit atau secara tidak langsung berupa terjadinya kanker, kerusakan
janin, kerusakan DNA dan kerusakan tulang dan gigi.
Secara umum radiasi terbagi atas:
1. Radiasi pengion (Ionizing Radiation)
2. Radiasi non pengion (Non Ionizing Radiation).

1. Radiasi Pengion (Ionizing Radiation)


Jenis radiasi ini mempunyai kemampuan untuk melepas elektron dari suatu atom
memberi suatu ion. Yang termasuk dalam radiasi pengion Sinar X: Sinar a, Sinar
p, sinar y dan lain-lain.

Keluhan akibat radiasi pengion


Efek radiasi terhadap kesehatan dapat akut atau kronis, gejala yang timbul dari
ringan sampai berat, tergantung dosis dan waktu pemajanan. Radiasi yang akut
dapat menimbulkan sindrom sistem syaraf pusat, gangguan gastro intestinal
(pencernaan), gangguan sistem hemopoetik.
Radiasi yang kronik menimbulkan :
- Leukomogenesis
- Karsinogenesis
- Kerusakan genetik.

Pengendalian
- Pengendalian secara teknis (Engineering Control)
- Pesawat ditempatkan pada ruang isolasi
- Operator harus dilindungi dari pemajanan/pajanan
- Penggantian operator X ray bila film badge telah mencapai NAB.
- Pemakaian Alat Pelindung Diri
- Pemakaian Apron.

2. Radiasi non pengion (Non Ionizing Radiation)


Radiasi non pengion adalah radiasi tanpa ada pelepasan elektron. Termasuk
dalam radiasi non pengion adalah: frekwensi radio, gelombang mikro, radiasi optik
(infra merah, cahaya terlihat dan ultra violet). Persyaratan radias non pengion di
tempat kerja (Kepmenkes No 1405/2002 tentang persyaratan kesehatan
lingkungan kerja, industri dan perkantoran) adalah:
- Medan listrik: sepanjang hari kerja = 10 kV/m dalam waktu singkat s/d 2
jam/hah = max 30 kV/m
- Medan Magnet: sepanjang hari kerja = 0,5 mT waktu singkat 2 jam/hari = 5
mT.
Keluhan:
Bervariasi tergantung intensitas sinar, jenis sinar dan waktu pemajanan. Efek
kesehatan yang negatif:
- Gangguan pada mata sementara sampai permanen
- Gangguan pada kulit.

Efek kesehatan yang positif dapat digunakan untuk pengobatan.

Pengendalian/Pelindung:
- Penempatan sumber radiasi secara benar, penentuan daerah terlarang hanya
diperbolehkan bagi yang bertugas, terutama pada radar X dan komunikasi.
- Isolasi sumber
Perlindungan terhadap radiasi ultraviolet dengan penggunaan kaca mata
(sunglasses) dan sunblock untuk perlindungan kulit.

3. Faktor Bahaya Potensial Kimia di Lingkungan Kerja

3.1 Debu
Diantara berbagai gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja, debu
merupakan salah satu sumber gangguan yang tak dapat diabaikan. Dalam kondisi
kondisi ttt, debu merupakan bahaya yang dapat menimbulkan kerugian besar.
Tempat kerja yang prosesnya mengeluarkan debu, dapat menyebabkan
pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru,
bahkan dapat menimbulkan keracunan umum. Tempat-tempat kerja yang
berdebu, misalnya kegiatan pertanian, pengusaha keramik, batu kapur, pasar-
pasar tradisional, pedagang pinggir jalan dan lain-lain.

Pengertian debu :
Debu ialah partikel yang dihasilkan oleh proses mekanis seperti penghancuran
batu, pengeboran, peledakan yang dilakukan pada tambang timah putih, tambang
besi, tambang batu bara, diperusahaan tempat penggurinda besi, pabrik besi dan
baja dalam proses sandblasting dan lain-lain.

Sifat-sifat debu :
1. Sifat pengendapan
Adalah sifat debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya grafitasi
bumi. Namun karena kecilnya kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di
udara. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih
daripada yang ada diudara.
2. Sisat permukaan basah
Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah, dilapisi oleh lapisan air
yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat
kerja.
3. Sifat penggumpalan
Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu
sama lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan
pembentukan penggumpalan. Kelembaban dibawah saturasi, kecil pengaruhnya
terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila tingkat huminitas diatas titik
saturasi mempermudah penggumpalan. Oleh karena itu partikel debu bisa
merupakan inti daripada air yang berkonsentrasi, partikel jadi besar.
4. Sifat listrik statik
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang
berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu mempercepat
terjadinya proses penggumpalan.
5. Sifat optis
Debu atau partikel basah/ lembab lainnya dapat memancarkan sinaryang dapat
terlihat dalam kamargelap.

Macam-macam debu :
Pembagian debu ada yang didasarkan pada sifatnya dan ada yang didasarkan
pada efeknya. Secara garis besar ada tiga macam debu, yaitu:
1. Debu organik: seperti debu kapas, debu daun-daunan tembakau dsb.
2. Debu mineral, yang merupakan senyawa kompleks seperti : Si02, Si03, arang
batu dll.
3. Debu metal seperti: timah hitam, mercury, Cd, As dll.

Umumnya debu-debu ini dapat menyebabkan penyakit pada paru-paru yang kita
kenal dengan Pneumoconiosis. Namun ada pula yang menyebabkan keracunan
secara umum, akibat absorbsi tubuh melalui permukaan kulit, lambung maupun
traktus respiratorius, misalnya keracunan akut yang disebabkan oleh timah
hitam.

Efek terhadap pernafasan,


Mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru dapat terjadi, yaitu ketika
menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-paru. Jalur
yang ditempuh adalah hidung, pharinx, trachea, bronchus, bronchioli dan alveoli.
Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran
0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagan bawah ada
cilia yang berfungsi menahan benda-benda asing, yang kemudian dikeluarkan
bersama sekret atau waktu bernafas.

Debu yang masuk kesaluran pernafasan tergantung dari ukuran partikel debu
terse but:
Debu berukuran 5-10 mikron akan ditahan oleh cilia pada jalan pernafasan
sebelah atas.
Debu berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan.
Debu berukuran 1-3 mikron dapat masuk sampai alveoli paru-paru.
Debu berukuran 0,1-1 mikron tidak mudah hinggap dipermukaan alveoli oleh
karena debu-debu ukuran demikian ini tidak mudah mengendap.

Partikel-partikel kecil ini oleh karena gerakan Brown, ada kemungkinan


membentur permukaan alveoli dan tertimbun disana. Bila debu masuk dialveoli,
jaringan mengeras, yang disebut Fibrosis. Bila 10 % alveoli megeras akibatnya
mengurangi elastisitasnya dalam menampung volume udara sehingga
kemampuan mengikat oksigen menurun.

Fungsi paru-paru utama adalah untuk melakukan pertukaran udara dari atmosfir
kedalam tubuh manusia dan sebaliknya. Untuk pertukaran udara dalam paru-
paru ini hams melalui alveoli. Dalam alveoli in terjadi pertukaran oksigen dari
atmosfir dengan C02 dibawa keseluruh tubuh. Karena tejadinya fibrosis dapat
menurunkan vital capacity paru-paru, akibatnya 02 akan berkurang yang
ditangkap sehingga bagian yang memerlukan oksigen seperti otak, jantung akan
terganggu.

Debu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan tergantung dari:


1. Solubility
Kalau bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air, maka-
bahan-bahan itu akan larut dan langsung masuk pembuluh darah kapiler
alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya
kecil, maka partikel-partikel itu dapat memasuki dinding alveoli, lalu kesaluran
limpa atau keruang peribronchial, atau ditelan oleh sel phagocyt, kemudian
masuk kedalam kapiler darah atau saluran kelenjar limpha, atau melalui
dinding alveoli keruang peribronchial, keluar ke bronchioli oleh rambut-rambut
getar dikembalikan keatas.
2. Komposisi kimia debu
Berdasarkan sifatnya dapat digolongkan :
a) Innertdust
Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis
pada paru. Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada
penghirupan normal. Reaksi jaringan pada paru terhadap jenis debu ini
adalah:
Susunan saluran nafas tetap utuh
Tidak terbentuk jaringan parut ( fibrosis ) diparu-paru jadi tidak
menyebabkan reaksi fibrosis
Reaksi jaringan potensiil dapat pulih kembali, tak meimbulkan
gangguan paru.
Tidak merupakan predisposing faktor penyakit tbc
b) Proliferatif dust
Golongan debu ini didalam paru akan membentuk jaringan parut atau
fibrosis. Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli
sehingga mengganggu fungsi paru. Debu dari golongan ini menyebabkan
fibrocystic pneumoconiosis. Contohnya: silica, asbestosis, bauxite, kapas,
berillium dsb
c) Tidak termasuk innert dust dan proliferatif dust yakni kelompok debu
yang tidak ditahan didalam paru, namun dapat menimbulkan efek iritasi
yaitu debu yang bersifat asam atau asa kuat.
Efek keracunan secara umum misalnya debu As, lead dll
Efek alergis, khususnya golongan debu organik dll
3. Konsentrasi debu
Konsentrasi semakin tinggi kemungkinan mendapat keracunan semakin
besar.
4. Ukuran partikel debu
Ukuran partikel debu besar akan ditangkap oleh saluran nafas atas. Untuk
menghitung konsentrasi debu ini dipakai alat pengukur debu Elektro
Precipitation yaitu yang mempergunakan aliran listrik dan Dust Midget Impinger
yang mempergunakan tenaga hisapan udara.

Faktor fisiologis yang mempengaruhi efek biologis ialah :


1. Rate of inhalation
Volume penghirupan udara yang mengandung debu hams diperhitungkan
temtama mengingatfrekuensi pemafasan permenit dari orang-orang pekerja
berbeda. Perbedaan ini tergantung dari berat ringannya pekerjaan. Misalnya,
orang yang terengah-engah, rate of inhalation nya tinggi
2. Retention of the dust
Yaitu daya tangkap dari pam-paru terhadap debu dan mekanisme lainnya.
Sebaiknya diketahui ukuran debu yang dapat ditahan atau dikeluarkan oleh
debu.

Pengontrolan debu dalam ruang kerja


1. Metode pencegahannya terhadap transmissi ialah
Memakai metode basah
Lantai disiram air supaya debu tidak beterbangan di udara. Pengeboran
basah (wet drilling) untuk mengurangi debu yang ada di udara. Debu yang
disemprot dengan uap air akan berflocculasi lalu mengendap.
Dengan alat Scrubber Electropresipitator Ventilasi umum
2. Pencegahan terhadap sumber
Diusahakan debu tidak keluar dari sumber, dengan local exhauster
Substitusi, contoh : pasir diganti dengan bubuk alumina dan lain-lain.
3. Perlindungan diri terhadap pekerja antara lain berupa tutup hidung atau
masker.

3.2. Logam Berat


Logam berat adalah logam dengan gravviti diatas 4-5 seperti batu timah
(plumbum), air raksa, kadmium, khrom dan Iain-Iain. Logam ini sangat banyak
dipergunakan sehingga dapat menimbulkan keragaman yang berganda.
1. Timah (Pb)
- Keracunan yang akut : Keberadaan dekat dengan kabut timah dalam
jumlah besar dapat menyebabkan anorexia, muntah-muntah, pusing, mual,
sembelit, dan nyeri kelenjar.
- Keracunan Kromatis : Gejala awal termasuk pusing, kurang nafsu makan,
kelelahan, gugup, kejang, sembelit, nyei kelenjar, bertambah basic granular
erythrocyte, anemia, bertambahnya coprophyrin dalam urine. Gejala
berlanjuttermasuk anemia.sakit yang amat perih, kelumpuhan kaki dan
tangan, gangguan syaraf pusat. Keracunan timah yang berkepanjangan
bisa mengakibatkan aprosexia, kehilangan daya ingat, kejang, ketulian,
tidak mampu berkonsentrasi, coma, dan Iain-Iain dan dapat menyebabkan
kematian.
2. Khrom (Cr6+, Cr3+)
- Keracunan akut dapat menyebabkan ganguan ginjal, hematuria, anuria,
uremia yang bisa menyebabkan kematian, hepatitis dan radang ginjal. Ini
dapat juga menyebabkan pneumonia (radang paru-paru) akut, radang kulit
(dermatitis) dan kulit bernanah (borok).
- Keracunan kromatis : dapat menyebabkan gangguan pada perut seperti
anorexia (kurang nafsu makan), nausea, muntah-muntah, dan Iain-Iain,
terutama dapat menyebabkan kulit jari bernanah .
Penghirupan khrom yang berkepanjangan dapat mengakibatkan dinding hidung,
bronchitis dan radang paru-paru, dnegan bertambahnya kemungkinan kanker
paru-paru.
3. Air Raksa (Mercury) (Ag)
- Keracunan akut oleh air raksa yang bukan organic dapat menyebabkan
buang-buang air, bronchitis, radang paru-paru dan gangguan ginjal yang
disebabkan oleh rangsangan (stimulasi) yang keras terhadap organ
pernapasan, dan keracunan khromatik dapat mnyebabkan stomatitis,
agitasi, proteinuria, dan sebaginya.
- Mercury organic terutama bereaksi terhadap system syarah pusat, dan
gejala keracunannya adalah kelelahan, kurangnya daya ingat, aprosexia,
kelumpuhan pada tangan dan kaki, kesulitan berjalan, kesulitan berbicara,
kehilangan keseimbangan dan sebagainya.
4. Kadmium (Cd)
- Kadmium dihisap melalui organ pernapasan dan mmenerobos serta
terakumulasi didalam tubuh, dan diteruskan ke liver dan ginjal dimana
enzim yang berfungsi sebagai zat cytotoxic dimatikan. Bila dimasukan
kedalam tubuh melalui organ pernapasan, dapat menimbulkan radang
paru-paru akut, sulit bernapas, sesak dada dan sebaginya.
5. Mengaan (Mn)
Gejala awal dari keracunan bahan ini adalah asthenia, anorexia (kurang,
nafsu makan), sakit kepala, pusaing, rangsangan yang tiba-tiba (excitatory
paroxims), dan sebaginya. Ini bisa berkembang menjadi gejala yano nirip
dengan pakinsonisme, misalnya : kesulitan berjalan, kesulitan berbicara,
kehilangan keseimbangan tubuh, kejag otot, gangguan otot muka dan Iain-
lain.

Tindakan Pencegahan
Jalankan system exchaust local ditempat sumber logam berat dan buang logam
berat itu dengan outdoor collector dan sebaginya sebelum mencemari pekerja.
Gunakan bahan yang tidak dapat tembus dilantai termpat kerja agar dapat
segera menyingkirkan logam berat yang tumpah pada waktu bekerja.

Isolasi sumber logam berat dari para pekerja, sehingga bahan yang berbahaya
tidak mencemari pekerja:
- Tutuplah bahan yang berbahaya agar tidak terlihat.
- Lakukan tes kesehatan apabila menerima pekerja dan untuk selanjutnya,
periksalah kesehatan para pekerja secara rutin.
- Kurangi penerimaan logam berat melalui kulit dan mulut dengan penanganan
kebersihan diri secara menyeluruh.
- Jangan lupa memakai alat pelindung (masker tahan debu, celemek dan Iain-
lain).

Yang Harus Diperhatikan dalam Bekerja


- Simpan logam berat dalam tempat yang dilengkapi dengan system ventilasi.
- Pastikan bahwa pekerja membaca petunjuk dan peringatan sebelum bekerja.
- Pakailah pakaian pelindung yang tidak dapat ditembus, untuk mencegah
penyerapan kedalam kulit, dan pakaian kerja, sarung tangan dan kaos kaki
harus tetap bersih.
- Bila bekerja ditempat yang tidak dilengkapi fasilitas penutupan sumber atau
system exchaust local, pakailah alat pelindung yang sesuai.
- Jangan makan atau merokok ditempat kerja.
- Pekerja yang menangani logam-logam berat harus diberikan pemeriksaan
kesehatan khusus secra rutin, dan mengambil tindakan selanjutnya, menurut
petunjuk dari dokter yang memeriksa, termasuk transfer pekerjaan dan
sebaginya.

3.3. Pelarut Organik


Pelarut memegang peranan penting dalam berbagai proses, baik didalam sistem
hidup (organisme/living system) maupun didalam sistem tak bernyawa (non
living system ). Penyerapan berbagai zat dalam tubuh organisme umumnya tidak
dapat berlangsung kecuali dalam bentuk larutan. Pelarut pulalah yang
memudahkan terjadinya interaksi suatu zat dengan zat lainnya. Semakin mudah
zat-zat saling berinteraksi, semakin mudah pula proses perubahan berlangsung,
sungguhpun perubahan zat tidak hanya bergantung kepada interaksinya semata.

Dalam sistem hidup atau alam hayati, air merupakan pelarut utama. Demikian
utamanya air, sampai zat yang yang larutpun diusahakan diproses dalam media ini
dengan cara mengemulsikannya. Pada suhu fisiologis, airdalam tubuh tetap
berwujud cair, tidak menjadi uap dan tidak pula menjadi es. Air memang
mempunyai kedudukan yang istimewa bagi mahluk hidup, karena zat ini memiliki
beberapa keistimewaan yang sesuai benar dengan kebutuhan organism.

Namun demikian, dalam proses di luar tubuh manusia kemampuan air sebagai
pelarut ternyata sangatterbatas. Air hanya dapat melarutkan mineral atau zat-zat
organik, plus beberapa persenyawaan organiksederhana. Padahal berbagai proses
industri untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagian besar menggunakan zat-
zat organik. Maka kebutuhan akan pelarut organik dalam jumlah besar tak
terelakkan lagi.

Pemakaian pelarut organik, sebagai konsekuensi pemakaian zat-zat organik, dari


tahun ketahun cenderung meningkat. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pada
tahun 1984 saja telah diproduksi 49 juta ton pelarut organik untuk industri (NIOSH,
1987). Kecenderungan ini didorong oleh 2 faktor penting :
- Pertama : tersedianya bahan baku yang melimpah dari sumber minyak bumi
dan gas alam yang kemudian memacu tumbuhnya industri petrokimia.
- Kedua : produk-produk industri petrokimia ternyata mampu meggantikan
bahan-bahan konvensional seperti logam dengan mutu yang lebih baik

Penggunaan Pelarut Organik


Pelarut organik sangat banyak jumlahnya, namun seperti umumnya senyawa
organik dapat dikelompokkan berdasarkan sifatnya. Sifat ini amat bergantung
pada jenis gugus fungsional yang terikat. Gugus fungsional inilah yang
memberikan sifat khas kepada pelarut organik. Senyawa organik yang gugus
fungsionalnya sama akan mengalami reaksi yang sama pula. Misalnya, suatu
ester dapat mengalami hidrolisis dengan pembentukan asam dan alkohol.
Hidrolisis dapat berlangsung baik secara kimia (dengan katalisator) maupun
secara enzimatis (dengan biokatalisator, enzim). Dalam tubuh ester-ester dapat
terhidrolisis oleh enzim esterase yang terdapat dalam cairan ekstraselluler
(misalnya dalam plasma ) atau dalam cairan intraseluler.

Berdasarkan gugus fungsionalnya, umumnya pelarut organik dikelompokkan


menjadi 1 golongan senyawaan sebagai berikut:
1. hidrokarbon alifatik, contoh : n-heksana
2. hidrokarbon alisiklik, contoh ; sikloheksana
3. hidrokarbon aromatik, contoh : benzena, toluena
4. hidrokarbon yang mengandung halogen, contoh : metil klorida, karbon
tetraklorida, kloroform, perkloroetilena
5. alkohol, contoh : etil alkohol, n-butil alkohol
6. aldehid, contoh : formaldehid, asetaldehid
7. keton, contoh : ase'ton, metil etil keton ( MEK )
8. ester, contoh : etil asetat
9. eter, contoh : (di) etil eter
10. amina, contoh : anilin, etilendiamin
11. dll yang tidak termasuk kedalam golongan senyawaan diatas, contoh : karbon
disulfida

Pelarut organik kadang-kadang merupakan campuran dua atau lebih pelarut


dengan perbandingan ttt. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan efek pelarutan
yang lebih baik. Berdasarkan kemampuan melarutkan ini, umumnya pelarut
organik dipakai untuk mengekstraksi, melarutkan atau membuat suspensi
berbagai material yang tidak larut dalam air seperti lemak, gemuk, wax (lilin) dan
resin.

Dalam industri pelarut organik banyak digunakan dalam pembuatan tinta cetak, cat,
perekat, polimer, plastik, tekstil, produk-produk pertanian ( isolasi dan pemurnian
minyak atsiri dan senyawaan obat dari tumbuh-tumbahan ) dan produk-produk
farmasi. Beberapa pelarut organik tidak hanya dipakai sebagai pelarut melainkan
juga sebagai bahan dasar (starting material) atau zat antara (intermediate).
Benzena misalnya, selain digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan plastik,
dapat juga dipakai sebagai zat antara dalam pembuatan zat warna.

Dalam lapangan kerja sektor informal pelarut organik juga banyak digunakan
misalnya di bengkel, mebel, industi pertanian, percetakan, pembuatan batik,
sanggar seni dsb. Di bengkel misalnya, pelarut organik antara lain berasal dari cat.
Bermacam-macam cat mengandung berbagai pelarut dengan kadaryang
berbeda-beda. Toluena, n-heksanal n-butil keton, adalah pelarut-pelarut yang
banyak dipakai. Pelarut-pelarut seperti ini juga dapat dijumpai di mebel-mebel
untuk pernis dan pelitur.

Disamping itu di mebel-mebel banyak dipakai spiritus yang mengandung metanol


dengan kadar cukup tinggi. Di percetakan bisa ditemui pelarut tinta cetak seperti
n- heksana. Bengkel tertentu ser perkloroetilen untuk membersihkan gemuk dari
logam peralatan kenderaan bermotor, selain pemakaian bensin ( bukan
benzena ) dan minyak tanah ( kerosin ) untuk keperluan yang sama. Sering
kedua pelarut terkhir ini dipakai untuk mencuci tangan. Perkloroetilena biasa juga
dipakai sebagai pencuci kering (dry cleaning) oleh binatu. Di sektor pertanian,
banyak petani yang memakai pelarut organik untuk mengekstraksi minyak astiri
dan senyawaan obat dari tumbuh-tumbuhan seperti minyak cengkeh, minyak nilam,
minyak kayu putih dll. N-heksana adalah contoh pelarut organik yang banyak
dipakai untuk mengekstrak minyak astiri dari biji-bijian. Di sentra kerajinan batik,
pelrut organik dipakai sebagai pelarut zat organik batik.
Bahaya yang mungkin terjadi
Pelarut organik adalah sekelompok senyawa organik yang mudah menguap,
secara kimia relatif stabil dan pada suhu 0-250C berujud cair (NIOSH, 1987).
Selain itu sebagai senyawa organik juga mempunyai sifat mudah terbakardan
meledak. Berhubung dengan sifat-sifat ini, meningkatnya penggunaan pelarut
organik, disamping memberi keuntungan, ternyata menimbulkan masalah baru
bagi manusia. Sekurang-kurangnya ada dua bahaya yang bisa terjadi dalam
pemakaian pelarut organik ini, yaitu bahaya kecelakaan karena ledakan atau
kebakaran dan bahaya kesehatan karena masuknya zat ini kedalam tubuh

Bahaya Kebakaran dan Ledakan


Kebakaran sebetulnya adalah suatu reaksi pembakaran yang tak terkendali.
Pada pembakarannya sendiri terjadi bahan (yang terbakar) dengan oksigen pada
suhu tertentu. Oleh karena itu ada tiga unsur yang menyebabkan timbulnya
kebakaran, yaitu bahan, oksigen dan panas (Imamkhasani, 1987).

Bahan yang mudah menguap, seperti halnya pelarut organik, dengan sendirinya
akan mudah terbakar, karena bahan itu lebih cepat bercampur homogen dengan
oksigen diudara. Akan tetapi, api tidak akan timbul apabila campuran bahan
dengan oksigen tadi belum mencapai suhu tertentu. Dengan demikian ada dua
hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian kebakaran ini, yaitu mudah
tidaknya suatu bahan menguap dan suhu bahan
tersebut.

Mudah tidaknya suatu zat menguap dapat diketahui dari titik didihnya. Suatu
bahan yang titik didihnya rendah berarti mudah menguap. Sebaliknya, suatu
bahan yang titik didihnya tinggi berarti sukar menguap.Titik didih menunjukkan
kecenderungan zat cair berubah menjadi uap.
Bahan-bahan yang telah menguap dan bercampur dengan oksigen diudara tidak
begitu saja dapat terbakar, melainkan jumlahnya harus ttt. Kadar atau
konsentrasi ttt itu dikenal dengan Batas Konsentrasi Bawah (BKB) atau Lower
Flamable Limit (LFL) yang disebut juga Lower Explosion Limit (LEL) dan Batas
Konsentrasi Atas (BKA) atau Upper Flamable Limit (UFL) yang disebut jugar
Explosion Limit (UEL) (Imamkhasani ,1987). BKB adalah batas konsentrasi
terendah (terkecil) suatu gas diudara yang dapat dibakar. Dibawah harga ini gas
tidak dapat dibakar karena terlalu sedikit. Sedangkan BKA adalah batas
konsentrasi tertinggi suatu gas diudara yang dapat dibakar. Diatas harga ini gas
tidak dapat dibakar karena jumlah oksigen tidak cukup. Dengan demikian maka
flamable range berada antara BKB dan BKA. Nilai-nilai BKB dan BKA biasanya
dinyatakan dalam % (volume) atau ppm.

Selain faktor konsentrasi tersebut, bahaya kebakaran ditentukan juga oleh dua
karakteristik lain, yaitu titik nyala (flash point) dan titik bakar (ignition point). Titik
nyala adalah suhu dimana suatu zat cair mempunyai cukup uap diatas
permukaannya yang dapat dibakar, sedangkan titik bakar adalah suhu dimana
suatu zat dapat terbakar dengan sendirinya. Ini berarti pelarut organik yang titik
nyala dan titik bakarnya rendah sangat mudah menimbulkan kebakaran.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas marilah kita lihat perbandingan dan
contoh pelarut organik berikut. Eterdan alkohol masing-masing mempunyai titik
didih 34C dan 79 C. Ini berarti eter lebih mudah menguap daripada alkohol dan
oleh sebab itu lebih mudah terbakar. Lebih mudahnya eter terbakar juga
ditunjukkan oleh flamable range nya, yaitu antara 1,85-48%. Bandingkan dengan
alkohol yang lebih sempit, yaitu 3,3-19%. Selain itu, eter akan terbakar dengan
sendirinya pada suhu 180C (titik bakar), sedangkan alkohol baru terbakar pada
suhu 423C.

Kadang-kadang suatu kebakaran menimbulkan juga ledakan. Peristiwa ini dapat


terjadi karena adanya reaksi amat cepat yang menghasilkan gas dalam jumlah
dan tekanan besar dan suhu tinggi. Beberapa pelarut organik yang dapat
membentuk peroksida seperti eter misalnya, berpotensi menimbulkan ledakan bila
terbakar.

Bahaya bagi kesehatan


Kontak pelarut organik dengan salah satu bagian tubuh, apabila jika sampai
masuk kedalamnya, dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.
Besarnya bahaya ini berbeda-beda, tergantung dari toksisitas zat itu sendiri,
lama dan besarnya pemaparan. Masuknya zat organik kedalam tubuh sebagian
besar melalui pernafasan, hanya sebagian kecil yang masuk per oral atau kulit,
kecuali dalam kasus-kasus ttt seperti pada peristiwa kriminalitas.

Bila pelarut organik mengenai kulit maka akan terjadi efek ganda. Pertama,
lapisan lemak pada kulit akan larut sehingga kulit menjadi rusak, teriritasi,
mengering dan peeah-pecah. Kedua, dengan kerusakan kulit seperti ini akan
memudahkan masuknya pelarut atau zat toksik lain kedalam tubuh. Senyawaan
fenolik, seperti fenol dan asam salisilat misalnya, dapat menyebabkan keratolisis
sehingga zat toksik lain dapat masuk melalui kulit. Pemakaian zat aktif
permukaan seperti detergen secara berlebihan juga dapat berakibat lenyapnya
lapisan lemak pelindung kulit.

Pengaruh pelarut prganik terhadap tubuh mungkin hanya berupa efek toksik
saja, bisa juga berupa kerja toksik. Pada efek toksik terjadi interaksi kimia yang
bolak balik (reversible) zat toksik dengan substrat biologi tubuh, sedangkan pada
kerja toksik interaksi itu tidak bolak balik (irreversible) yang biasanya berupa
ikatan kovalen. Interaksi reversible biasanya hanya menghasilkan perubahan
fungsional saja tanpa merubah struktur substrat seperti yang terjadi interaksi
irreversible. Perubahan fungsional substrat biasanya hilang bila zat penyebabnya
dikeluarkan dari plasma. Pemakaian obat-abatan umumnya berdasar pada
interaksi reversible ini.

Efek toksik dan kerja toksik umumnya berlangsung dalam 3 fase yaitu :
1. Fase eksposisi
Yaitu kontak zat toksik dengan bagian-bagian tubuh, zat toksik hams melarut
atau terdispersi secara molekul dengan sempurna untuk memungkinkan
penyerapan (absorbsi)
2. Fase toksokinetik
Setelah diabsorbsi zat toksik di distribusi, dimetabolis dan dapat diekskresi.
Dalam fase ini zat toksik sudah siap memberikan efek terhadap tubuh.
3. Fase toksodinamik
Zat toksik tersebut harus bertemu dengan receptor yang sesuai dalam organ
sehingga dapat memberikan efek terhadap tubuh.

Dengan gambaran ini jelas bahwa fisiko-kimia zat toksik dan keadaan tubuh
sangat berpengamh terhadap toksisitas suatu zat. Daya racun zat yang mudah
larut dalam lemak akan berbeda dengan yang mudah lamt dalam air. Zat yang
berbentuk larutan akan lebih mudah diabsorbsi daripada bentuk padatannya.
Demikian pula keadaan tubuh, kulityang basah oleh keringat pada waktu bekerja
akan lebih mudah ditembus oleh zat-zat beracun daripada yang kering

Di dalam tubuh zat toksik dapat diubah dengan reaksi kimia menjadi zat yang
kurang toksik, atau bahkan menjadi material yang lebih toksik. Peristiwa ini bisa
terjadi misalnya didalam usus dalam fase eksposisi (sebelum diabsorbsi). Disini
umpamanya senyawa azo dari zat warna bisa tereduksi menjadi amina aromatis
yang justru lebih toksik daripada senyawa asalnya.

Toksisitas akut dan kronis


Dalam garis besamya pengaruh pelarut organik terhadap kesehatan dapat
dibedakan atas toksisitas akut dan toksisitas kronis. Efek akut pemaparan pelarut
organik berasal dari aksi farmakologik dalam susunan syaraf pusat (SSP),
sedangkan efek kroniknya merupakan manifestasi pemaparan yang berlangsung
lama (NIOSH, 1987).

Beberapa pelarut organik dapat menyerang berbagai organ tubuh. Serangannya


terhadap SSP dapat meyebabkan toksisitas akut dengan gejala-gejala seperti
sakit kepala, pusing-pusing, badan lemah, mual dan muntah. Senyawa ini juga
dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, saluran pencernaan dan saluran
pernafasan (NIOSH, 1988).

Gambaran efek akut beberapa pelarut organik Efek toksisitas akut beberapa
pelerut organik:

Pelarut organik Efek spesifik


Benzena Eksitasi (tertawa, nyanyi, memaki)
Euforia.hipermobiliti (mual,muntah, sakit kepala),
konvulsi, paralisis, kegagalan nafas, koma
yangdapat berakhir dengan kematian
Metanol Efek narkotik dengan tanda-tanda Pening,
pingsan, hambatan pernafasan, dapat
berakhir dengan kematian

Karbon tetraklorida iritasi kulit, oedem paru-paru, pingsan, stupor,


depresi pernafasan dan dapat berakhir
dengan kematian
Toksisitas kronik oleh pelarut organik dapat menyebabkan kanker, gangguan
reproduksi seperti mutagenik, cardiovasculer, kerusakan hati, kerusakan
ginjal,kerusakan SSP dan hematopoietik.

Beberapa contoh pelarut organik yang menimbulkan keracunan kronik adalah


sebagai berikut:

Efek toksisitas kronik beberapa pelarut organik


Pelarut organik Efek spesifik
Benzena (dicurigai) carsinogen terhadap hati dan ginjal
Karbon disulfida psikosis dan neuropati periperal, gangguan
psikomotor, intelektual dan perilaku, ataksia dan
paralisis
n-heksana neuropati periperal
Trikloroetilena neuropsikiatrik dan neuropsikologik seperti
perubahan kepribadian dan daya ingat
Toluena encepalopati, termasuk keemahan intelektual
Xilena kardiovasculer, gangguan Reproduksi

Upaya pencegahan Bahaya


Melihat besarnya potensi gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh pelarut
organiktakdisangsikan lagi betapa perlunya upaya pencegahan. Karena pemakaian
pelarut tak dapat dihindari, upaya pencegahan bahaya diarahkan pada usaha
pengendalian.bekerja, deteksi awal kelainan atau gangguan kesehatan, disertai
dengan upaya promotif dan rehabilitatif. Disamping itu juga pengendalian
dilakukan melalui upaya Pendidikan Kesehatan

Upaya Pendidikan Kesehatan ini ditujukan untuk mendidik masyarakat,


khususnya pekerja, agarmereka mampu menolong dirinya sendiri untuk hidup
sehat dengan menekankan pada segi pencegahan. Ini dilakukan dengan
mengadakan penyuluhan tentang bahaya kesehatan dan gejala-gejala
keracunan zattoksikserta upaya pencegahannya. Selain itu juga pengetahuan
mereka tentang sanitasi dan higiene lingkungan kerja, P3K, gizi, cara kerja yang
benar dan sebagainya perlu ditingkatkan. Nilai-nilai batas pemajanan seperti
Nilai Ambang Batas dengan kategori-kategorinya seperti Konsentrasi Bobot
Waktu Rata-rata (Time WeigthedAverage, TWA), Nilai Batas Tertinggi (Ceilling,
C) dan Batas Pemajanan Jangka Pendek (Short Term Exposure Limit, STEL), perlu
dipahami dengan baik.

4. Faktor Bahaya Potensial Biologi di Lingkungan Kerja

Pekerja yang berhubungan dengan resiko terkena penyakit infeksi dibagi 2 katagori
yaitu :
1) Pekerjaan di bidang kesehatan
Dimana pekerja kontak langsung dengan pasien atau bahan-bahan infeksius
pada laboratorium
2) Pekerjaan bukan di bidang kesehatan
Terutama mereka yang kontak dengan binatang atau produk dari binatang,
pada pencangkulan tanah atau perjalanan kedaerah endemik. Tipe tambahan
dari pekerja yang berhubungan dengan agent infeksius umumnya terdapat
pada negara yang berkembang Tab 18-2. Tahun 1992 di

Pengendalian dapat ditempuh melalui berbagai jalur atau cara seperti:


1) Pengendalian secara Legislatif
Pengendalian dengan cara ini menekankan pada pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, mulai dari undang-undang sampai
peraturan pelaksanaan teknisnya. Dari jalur ini yang terpenting adalah
penetapan nilai-nilai maksimum pemajanan zat toksik, pengaturan limbah
industri serta sanitasi dan higiene lingkungan.
2) Pengedalian secaraAdministrasi
Cara ini menekankan pada pengaturan jam kerja, jam istirahat dan lembur.
Disamping itu juga ditetapkan persyaratan tenaga kerja seperti jenis kelamin,
batas umur dan tingkat kesehatan
3) Pengendalian secara Sains dan Teknologi
Pengendalian ini mengandung dua aspek, yaitu aspek teknik produksi dan
aspek lingkungan kerja. Pada aspek teknik produksi, berdasarkan penemuan-
penemuan baru, suatu zat toksik mungkin harus dihentikan pembuatanya, atau
disubstitusi oleh bahan lain yang lebih aman. Selain itu pengendalian juga
dapat dilakukan dengan cara mengisolasi atau mengendalikannya dari jarak
jauh. Aspek lingkungan kerja mengutamakan pada pengamanan terhadap
lingkungan kerjanya, bukan kepada bahannya. Ini dilakukan misalnya dengan
membuat sistem ventilasi yang baik, penurunan konsentrasi polutan dengan
cara mengabsorbsi zat itu, pencegahan kontak polutan dengan badan
dengan alat pelindung dan dengan memperbaiki sanitasi dan higiene
lingkungan kerja.
4) Pengendalian dengan Pemeriksaan Kesehatan
Cara ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap mereka
yang terlibat dalam pemakaian pelarut organik. Pemeriksaan dilakukan sebelum
US dijumpai sejumlah kasus penyakit infeksi pada pekerja yang potensial
berhubungan dengan pekerjaannya dan dilaporkan pada Center for Disease
and Control and Prevention (CDC): data komplit tidak diketahui atau berapa
persentase kasus tersebut yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Penyakit-Penyakit Infeksi Pada Pekerja Di bidang Kesehatan


Hazard yang terdapat di rumah sakit (Nosokomial) dimana penyakit infeksi sudah
lebih diakui sejak pertengahan abad ke19, dimana Semmelweis menemukan
penyebab Puerperal Fever (demam karena baru melahirkan). Risiko infeksi
nosokomial berada pada pasien di rumah sakit dan petugas yang merawatnya.
Problem yang terjadi bukan hanya pada petugas rumah sakit, juga pada pasien
luar pada klinik gigi (fig 18-1). Resiko terinfeksi dapat juga terjadi pada petugas di
ruangan lain, yaitu di ruangan pusat Renal Dialise, di laboratorium dimana mereka
kontak dengan darah, ruangan perawat, lembaga pendidikan keterbelakangan
mental dan di penjara.

Beberapa agent infeksius yang ditularkan dari pasien kepetugas kesehatan:


1) Hepatitis B
2) Hepatitis A
3) Delta Hepatitis
4) Tuberculosis
5) Virus Rubella dan Cytomegallo
6) Acquired Immunodeficiency Syndrome

Penyakit Infeksi pada pekerja non kesehatan:


1) Penyakit bakterial
2) Penyakit virus
3) Penyakit richettsial
4) Penyakit Chlamydial U.S.
5) Penyakit Parasit
6) Infeksi jamur

Secara rinci jenis penyakit tersebut di atas akan di bahas pada Materi Penyakit
Akibat Kerja, Penyakit Akibat Hubungan Kerja dan Kecelakaan Kerja.

5. Faktor Bahaya Potensial Ergonomi di Lingkungan Kerja

Beberapa faktor bahaya dalam ergonomi sebagai berikut :


1) Gerakan berulang (repetitive movement), yaitu menjalankan gerakan
berulang pada waktu melakukan pekerjaan.
2) Beban berat, yaitu beban fisik berlebihan yang diperlukan untuk melakukan
pekerjaan, seperti menarik, memikul, mendorong dan sebagai. Semakin
banyak daya yang harus dikeluarkan, semakin berat beban bagi tubuh.
3) Postur yang kaku, yaitu sikap tubuh yang janggal dalam melakukan
pekerjaan.
4) Beban statis, yaitu diam lama dalam satu posisi sehingga menyebabkan
kontraksi otot.
5) Kondisi-kondisi yang dapat menciderai tubuh manusia misalkan tekanan
langsung (tubuh tertekan pada suatu permukaan atau tepian).
6) Peralatan kerja yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh.
7) Suhu yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin).
8) Organisasi kerja yang tidak sesuai termasuk istirahat dan pengaturan waktu
kerja yang tidak cukup, kerja yang monoton, beberapa pekerjaan yang harus
dikerjakan dalam satu waktu sehingga melebihi beban kerja, prosedur kerja
yang tidak standar dan cara kerja yang tidak aman.
9) Rancangan tempat kerja yang tidak memadai, misalnya tata letak
lingkungan kerja yang tidak aman dan nyaman, anatomi tubuh yang tidak
serasi dengan desain pekerjaan.

Jenis Bahaya Ergonomi


Ketidakserasian antara ukuran tubuh manusia dengan tempat kerja akan
mempengaruhi sikap tubuh saat bekerja, dapat menyebabkan berbagai
gangguan muskuloskeletal, mulai dari nyeri sampai cedera otot dan
memperbesar risiko untuk terjadi kecelakaan. Jika pekerja melakukan pekerjaan
yang melebihi keterbatasan tubuhnya secara fisik, para pekerja itu bisa
mengalami cidera. WMSDs (Work-related Musculoskeletal Disorders) merupakan
salah satu cidera yang paling banyak di klaim di sarana kesehatan.

Permasalahan Ergonomi bisa disebabkan oleh baik kondisi yang berhubungan


dengan pekerjaan maupun kondisi yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
secara individu atau bisa juga interaksi keduanya. Ada banyak cara untuk
menentukan yang mana kondisi-kondisi tempat kerja yang dapat menyebabkan
permasalahan ergonomi. Risiko utama permasalahan ergonomi misalnya
Repetitive Strain Injury dan Carpal Tunnel Syndrome, yang mana bisa timbul
karena pekerjaan dilakukan dengan gerakan yang berulang dan sering, postur
yang janggal, getaran, gerakan kuat, stress di tempat kerja, penataan tempat
kerja yang jelek.
Gejala-gejala yang timbul dari permasalahan ergonomi:
Sakit pada pergelangan tangan, lengan bawah, siku, leher, atau punggung
yang diikuti ketidaknyamanan
Sakit atau perasaan geli
Mata kering, Gatal, atau sakit.
Hilangnya warna pada daerah-daerah atau bagian-bagian yang dipengaruhi
Pandangan kabur dan membayang
Kejang otot
Rasa kebas atau sensasi terbakar pada tangan
Kekuatan genggaman tangan berkurang
Bengkak atau kekakuan pada jaringan pergelangan tangan
Cakupan isyarat gerak pada bahu, leher, atau punggung berkurang
Badan lemah dan lelah
Rasa tekanan terhadap kepala dan berkaitan untuk timbulnya penyakit

Penyebab utama:
Postur yang janggal
Tugas berulang dan sering
Stress di tempat kerja
Getaran
Gerakan yang kuat
Area kerja yang jelek/yang kurang baik
Duduk terus-menerus dalam postur yang sama dan dalam jangka waktu yang
lama
Pendukung pada pinggang bagian bawah tidak memadai

Jenis-jenis permasalahan ergonomi


Gangguan otot rangka
Kelelahan mata
Repetitive strain injury
Carpal tunnel syndrome

Penanggulangan Faktor Risiko Ergonomi


1) Gerakan berulang (repetitive movement) :
Merancang kembali cara kerja untuk mengurangi jumlah pengulangan
gerakan atau meningkatkan waktu jeda antara ulangan atau menggilirnya
dengan pekerjaan lain.
2) Beban berat :
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni dengan kepala,
bahu, tangan, punggung, dsb. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan
cedera tulang punggung, jaringan otot, dan persendian akibat gerakan yang
berlebihan. Penanggulangannya dilakukan dengan cara mengurangi gaya
yang diperlukan untuk melakukan kerja, merancang kembali cara kerja,
menambah jumlah pekerja pada pekerjaan tersebut, menggunakan peralatan
mekanik. Dalam hal menjinjing beban, beban yang diangkat tidak melebihi
aturan yang ditetapkan ILO sebagai berikut :
Laki-laki dewasa : 40 kg
Wanita dewasa : 15 20 kg
Laki-laki (16-18 thn) : 15 20 kg
Wanita (16-18 thn) : 12 15 kg
Otot lengan lebih banyak digunakan daripada otot punggung.
Untuk memulai gerakan horizontal maka digunakan momentum dengan
memanfaatkan berat badan.
Posisi kaki yang benar.
Punggung kuat dan kekar.
Posisi lengan dekat dengan tubuh.
Mengangkat dengan benar.
Menggunakan berat badan.
3) Postur yang kaku :
Merancang cara kerja dan peralatan yang dipakai hingga postur tubuh
selama kerja lebih alami atau netral. Posisi kerja terdiri dari posisi duduk dan
posisi berdiri, posisi duduk dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh
dan posisi stabil selama bekerja. Sedangkan posisi berdiri dimana posisi
tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada
dua kaki.
4) Beban statis :
Merancang cara kerja untuk menghindari terlalu lama bertahan pada satu
postur, memberi kesempatan untuk mengubah posisi.

5) Kondisi-kondisi yang dapat menciderai tubuh manusia :


Memperbaiki peralatan yang ada untuk menghilangkan tekanan atau
memberikan bantalan.

6) Peralatan kerja yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh :


Menyerasikan postur tubuh waktu bekerja dengan peralatan kerja.

7) Suhu yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin) :


Kontrol temperatur dan lindungi badan.

8) Organisasi kerja yang tidak sesuai :


Beban kerja yang layak, istirahat yang cukup, pekerjaan yang bervariasi,
otonomi individu, selain itu pekerjaan harus diatur dengan berbagai cara :
Alat bantu mekanik diperlukan kapanpun
Frekuensi pergerakan diminimalisasi
Jarak mengangkat beban dikurangi
Dalam membawa beban perlu diingat bidangnya tidak licin dan
mengangkat tidak terlalu tinggi.

9) Rancangan tempat kerja yang tidak memadai :


Tata letak alat kerja yang aman dan nyaman, display harus jelas terlihat
pada waktu melakukan aktivitas kerja. Sedangkan simbol yang berlaku
secara internasional lebih banyak digunakan daripada kata-kata.
Salah satu contoh risiko potensial ergonomi di tempat kerja dan
penanggulangannya adalah dalam perencanaan tangga. Menaiki anak
tangga merupakan aktivitas fisik yang berisiko. Untuk menaiki tangga
diperlukan sejumlah energi. Risiko potensial, diantaranya adalah
kelelahan, kecelakaan kerja seperti terpeleset dan terjatuh. Kebutuhan
energy akan paling efisien bila sudut kemiringan anak tangga antara 25-
30 derajat dengan ukuran tinggi anak tangga 17 cm dan kedalaman anak
tangga 29 cm. Secara umum formula tadi dapat disederhanakan dengan
2 x tinggi + kedalaman = 63 cm.

10) Proses kerja :


Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu
bekerja dan sesuai dengan ukuran antropometrinya. Harus dibedakan ukuran
antropometri barat dan timur. Contoh dalam proses kerja adalah
mengangkat/menggotong pasien. Risiko potensial diantaranya akut (cidera
punggung dan leher, HNP) dan kronis (gangguan otot rangka seperti
pengapuran dan peradangan).

Berkaitan dengan proses kerja di atas terdapat prinsip-prinsip, sebagai berikut :


Beban jangan terlalu berat.
Suatu rumus yang mudah diingat Bila anda merasa tidak mampu untuk
mengangkatnya sendiri, jangan diteruskan pekerjaan itu, cari bantuan.
Jangan berdiri terlalu jauh dari pasien.
Jangan mengangkat pasien dengan posisi membungkuk tapi pergunakanlah
tungkai bawah sambil berjongkok.
Pakaian penggotong jangan terlalu ketat sehingga pergerakan paha
terhambat baik oleh celana atau gerakan yang tidak bebas.

6. Pengendalian Risiko di Lingkungan Kerja

Pengendalian lingkungan kerja dimaksudkan untuk mengurangi atau


menghilangkan pajanan terhadap zat/ bahan yang berbahaya di lingkungan kerja.
Pengendalian lingkungan kerja merupakan tindak lanjut dari kedua tahapan
kegiatan sebelumnya dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
Pada dasarnya pengendalian terhadap bahaya- bahaya di lingkungan kerja
dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori yaitu pengendalian lingkungan
kerja dan pengendalian perorangan.

a. Pengendalian lingkungan kerja


Pengendalian lingkungan meliputi perubahan dari proses kerja dan/ atau
lingkungan kerja dengan maksud untuk pengendalian dari bahaya - bahaya
kesehatan baik dengan meniadakan zat/ bahan yang menimbulkan masalah atau
mengurangi zat/bahan tersebut sampai tingkat yang tidak membahayakan
kesehatan serta mencegah kontak antara zat/ bahan dengan para pekerja.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi lingkungan kerja
antara lain:
- Merubah disain dan tata letak lingkungan kerja yang adekuat Biasanya untuk
merubah disain dan tata letak bangunan setelah berlangsungnya kegiatan
proses produksi sukar dilakukan. Untuk menghindari hal tersebut maka sebelum
proses produksi dimulai perlu dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
bahaya yang akan terjadi dan hams dihitung untung ruginya dengan faktor
lain yang mempengaruhi keputusan akhir, sebagai contoh : pemilihan peralatn
untuk proses produksi, dipiiih yang bebas debu waiaupun lebih mahal
- Menghilangkan atau mengurangi bahan-bahan berbahaya pada sumbemya.

Cara yang digunakan adalah :


- Penghapusan atau pengurangan zat/bahan berbahaya pada
sumbemya. Penghapusan/pengurangan bahan berbahaya tersebut dapat
dilakukan dengan penggantian bahan beracun (pelarut, bahan bakar, bahan
baku, bahan-bahan lainnya) dapat merupakan cara yang efektif untuk
pengendalian pajanan bahan berbahaya misalnya penggantian carbon
tetrachloride (CCI 4) dengan trichloroethylene dalam penggunaannya sebagai
bahan pelarut atau pembersih gemuk, atau fiberglas sebagai pengganti
asbestos sebagai bahan substisusi.
- Selain cara penggantian juga dapat dilakukan cara isolasi
terhadap zat-zat mesin berbahaya untuk mencegah kontak
dengan pekerja. Berbagai cara isolasi yang dapat digunakan, antara lain sistem
tertutup untuk bahan kimia beracun, adanya dinding pemisah antara daerah
yang berbahaya dan tidak, penutupan terhadap sebagian atau seluruh proses
untuk mencegah kontaminasi.
Cara lain adalah dengan membuat ventilasi yang memenuhi
syarat. Membuat ventilasi yang memenuhi syarat di tempat untuk menjamin suhu
yang nyaman, sirkulasi udara segardi ruang kerja sehingga dapat melarutkan
zat-zat pencemar sampai batas yang diperkenankan serta mencegah zat-zat
pencemar di udara sampai mencapai daerah pemafasan pekerja.
- Cara lain adalah dengan cara basah. Cara ini digunakan untuk mengendalikan
dispersi debu yang mengotori lingkungan kerja dengan menggunakan airatau
bahan basah lainnya. Cara ini banyak digunakan untuk industri kecil,
misalnya industri kayu, peleburan logam, asbes (wet method).
- Pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja penting diperhatikan karena
mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam menciptakan lingkungan kerja
dari bahaya potensial, misalnya sampah, debu, kotoran (House keeping and
maintenance).

b. Pengendalian Perorangan

Pengendalian perorangan dapat dilakukan dengan cara antara lain


- Penerapan cara-cara kerja yang baik dan benar yang dapat mengurangi
penyebaran/pajanan terhadap zat/ bahan yang berbahaya di lingkungan kerja
sebanyak mungkin.
- Penggunaan alat pelindung diri, Yang perlu diperhatikan adalah alat pelindung
diri tersebut harus telah sesuai dan adekuat untuk bahaya-bahayatertentu,
resisten terhadap kontaminan udara, dibersihkan dan dipelihara dengan baik
- Kebersihan dan kesehatan perorangan merupakan kebersihan diri dan pakaian
pekerja, selain kebersihan perorangan.

Pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala terutama pekerja yang


berhubungan dengan bahan -bahan berbahaya. (Personal Hygiene)
Namun demikian upaya pengendalian bukan hanya dilakukan sendiri-sendiri
melainkan harus dilakukan secara menyeluruh, bersama-sama dan memrlukan
pendekatan multi disipliner. Para petugas kesehatan hendaknya dapat
memberikan rekomendasi untuk solusi masalah yang ada secara tepat dan efisien
sehingga tidak membebani pengusaha, karena bila pengusaha merasa
terbebani, cenderung akan tidak melakukan upaya pengendalian seperti yang
direkomendasikan. Atau dengan menggunakan metoda pengendalaian berdasar
hirarki.
Elimination (termasuk substitution): Menghilangkan bahaya dari tempat kerja.
Engineering Controls: Pengendalian enginering meliputi desain atau
memodifikasi, peralatan, sistem ventilasi, dan proses yang mengurangi
sumbereksposur.
Administrative Controls: mengubah cara pekerjaan dilakukan, mencakup
pemilihan waktu pekerjaan, kebijakan-kebijakan dan aturan lain, dan standar
praktek kerjaan seperti standar serta proseduroperasi (mencakup pelatihan,
tata raungan kerja, dan pemeliharaan peralatan, dan praktek kesehatan
perorangan).
Personal Protective Equipment: peralatan yang dikenakan oleh individu
untuk mengurangi eksposur seperti kontak dengan bahan-kimia atau eksposur
bising.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kesehatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan Kerja, Depkes. 1997


2. Ensiclopedia ILO, IV ed., 2000
1. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405/Menkes/SK/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan kerja, Perkantoran dan Industri.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 Tahun 2002 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air Minum
3. Keputusan Menteri Kesehatan No. 876 Tahun 2001 Tentang Pedoman Teknis
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan
4. Kesehatan Lingkungan, Haryoto Kusnoputranto dan Dewi Susanna, FKM Ul,
2000
5. Pedoman Umum Kegiatan Surveilans, Ditjen. PPM & PL Depkes, 2001
6. Materi Teknis Langkah-langkah Operasional ADKL, WHO- DEP.KES, 2001
LEMBAR DISKUSI KELOMPOK
MATERI KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA

A. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok diskusi, masing-masing


kelompok mendiskusikan tentang:
1. Penjelasan tentang pengaruh Kesehatan Lingkungan
dengan Kesehatan kerja.
2. Penjelasan tentang penggolongan bahaya kesehatan.
3. Penjelasan tentang dasar-dasar Hukum yang berkaitan
dengan Kesehatan Lingkungan Kerja.
4. Penjelasan tentang simpul-simpul Kesehatan Lingkungan
Kerja (menurut prof. Umar)
5. Penjelasan tentang cara masuk bahaya kesehatan
lingkungan kerja kedalam tubuh pekerja sehingga
menyebabkan pekerja menjadi sakit dan mati

B. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok diskusi, masing-masing


kelompok mendiskusikan tentang:
1. Menjelaskan bahaya potensi Kimia; bentuk,
penggolongan dan bahayanya.
2. Menjelaskan bahaya potensi Fisik; bentuk, penggolongan
dan bahayanya.
3. Menjelaskan bahaya potensi Biologi; bentuk,
penggolongan dan bahayanya.
4. Menjelaskan bahaya potensi Ergonomi; bentuk,
penggolongan dan bahayanya.
5. Menjelaskan bahaya potensi psikososial; bentuk,
penggolongan dan bahayanya.

C. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok diskusi, masing-masing


kelompok mendiskusikan tentang:
1. Menjelaskan tentang langkah upaya pengenalan bahaya
kesehatan di lingkungan kerja.
2. Menjelaskan tentang evaluasi bahaya potensi di
lingkungan kerja.
3. Menjelaskan tentang pengendalian bahaya kesehatan di
lingkungan kerja
4. Menjelaskan tentang upaya-upaya perbaikan lingkungan.
5. Menjelaskan tentang jenis APD (alat pelindung diri) sesuai
dengan bahaya kesehatan di lingkungan Kerja.

D. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok diskusi, masing-masing


kelompok mendiskusikan tentang:
1. Menjelaskan tentang langkah identifikasi bahaya Kimia
2. Menjelaskan tentang langkah identifikasi bahaya Fisika
3. Mejelaskan tentang langkah identifikasi bahaya Biologi
4. Menjelaskan tentang langkah identifikasi bahaya
ergonomi.
5. Menjelaskan tentang langkah identifikasi bahaya
psikososial
E. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok diskusi, masing-masing
kelompok mendiskusikan tentang:
1. Memberikan contoh; cara pengukuran, alat ukur bahaya
fisik.
2. Memberikan contoh; cara pengukuran , alat ukur bahaya
Kimia.
3. Memberikan contoh; cara pengukuran, alat ukur bahaya
biologi.
4. Memberikan contoh; cara pengukuran, alat ukur bahaya
Ergonomi.
5. Memberikan contoh; cara pengukuran, alat/instrumen
bahaya Psikososial.

F. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok diskusi, masing-masing


kelompok mendiskusikan tentang:
1. Menjelaskan tentang pengendalian administrasi
(administrative control).
2. Menjelaskan tentang pengendalian Legislatif (legislatif
control)
3. Menjelaskan tentang pengendalian Teknik (engineering
Control)
4. Menjelaskan tentang pengendalian Medis (medical
control)
5. Menjelaskan tentang Alat Pelindung Diri

Anda mungkin juga menyukai