Anda di halaman 1dari 6

BAB V

PEMBAHASAN PENELITIAN

Hasil penelitian mengenai Hubungan faktor risiko usia, jenis kelamin, dan
diabetes melitus tipe 2 terhadap prevalensi hiperurisemia menunjukan hasil
berupa analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat menyatakan
rerata hasil skrining kadar GDS dan kadar asam urat yang ditinjau berdasarkan
usia dan jenis kelamin. Analisis bivariat menyatakan korelasi tiap variabel pada
faktor risiko usia, jenis kelamin, dan diabetes melitus tipe 2 terhadap
hiperurisemia. Analisis multivariat menyatakan korelasi seluruh variabel pada
faktor risiko usia, jenis kelamin, dan diabetes melitus tipe 2 terhadap
hiperurisemia.
Analisis univariat menunjukan bahwa rerata skrining kadar GDS tertinggi
yaitu pada usia 51-60 tahun dengan rerata 262 mg/dL, sedangkan rerata kadar
GDS terendah yaitu pada usia 31-40 tahun dengan rerata 223 mg/dL. Rerata
skrining kadar asam urat tertinggi yaitu pada usia 41-50 tahun dengan rerata 8,9
mg/dL, sedangkan rerata terendah pada usia 31-40 tahun dengan rerata 6,3 mg/dL.
Analisis rerata skrining kadar GDS dan kadar asam urat berdasarkan jenis kelamin
menunjukan bahwa laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dengan rerata
GDS 257 mg/dL dan rerata kadar asam urat 8,3 mg/dL.
Analisis bivariat menunjukan bahwa faktor risiko usia dan diabetes melitus
tipe 2 memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kejadian
hiperurisemia, sedangkan jenis kelamin tidak bermakna. Analisis multivariat
menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki, usia 41-50 tahun, dan penderita
diabetes melitus tipe 2 memiliki kecenderungan terhadap kejadian hiperurisemia.
Hubungan multivariat yang bermakna secara statistik terdapat pada faktor risiko
penderita diabetes melitus tipe 2.

5.1 Deskripsi Karakteristik Responden


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada responden yang
berjumlah 70 orang terdapat 54 orang (78,26%) diantaranya mengalami

36
37

hiperurisemia dan 15 orang (21,73%) lainnya non-hiperurisemia. Responden


yang mengalami hiperurisemia diketahui lebih banyak pada jenis kelamin
perempuan (52,2%). Hasil tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa kadar asam urat meningkat diusia >50 tahun, karena pada usia ini
wanita mengalami gangguan hormon estrogen.
Responden yang mengalami diabetes melitus sebanyak 49 orang
(71,01%) dengan rata-rata kadar GDS >240 mg/dL dengan 45 orang (65,2%)
diantaranya mengalami hiperurisemia. Proporsi responden hiperurisemia pada
faktor risiko usia 31-40 (4,3%), 41-50 tahun (31,9%), 51-60 (27,5%), dan >60
tahun (14,6%), faktor risiko jenis kelamin laki-laki (26,1%), dan perempuan
(52,2%), dan faktor risiko diabetes melitus (65,2%). Maka dari itu, dapat
disimpulkan proporsi terbesar faktor risiko ada pada diabetes melitus
meskipun faktor risiko usia dan jenis kelamin memiliki keterkaitan dalam hal
ini.

5.2 Hubungan Faktor Risiko Usia dengan Hiperurisemia


Data penderita hiperurisemia berdasarkan usia diperoleh sebanyak 54
orang atau 78,3% dari 69 orang. Hasil analisis bivariat pada tabel 4, diperoleh
korelasi usia dengan kejadian hiperurisemia memiliki nilai p=0,003 atau
p<0,05. Korelasi tersebut menunjukan bahwa faktor resiko usia memiliki
hubungan yang bermakna dengan kejadian hiperurisemia. Responden
terbanyak yang mengalami hiperurisemia yaitu pada usia 41-50 tahun dengan
rerata kadar asam urat 8,9 mg/dL.
Faktor risiko terjadinya hiperurisemia adalah usia, dimana prevalensi
ini meningkat seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Prevalensi
hiperurisemia meningkat diusia dewasa pertengahan yaitu sekitar 40 tahun
ditemukan pada laki-laki, sedangkan pada wanita biasanya terjadi setelah
mengalami menopause. Faktor usia tersebut mulai terdapat kenaikan kadar
asam urat akibat penurunan fungsi ginjal terutama pada pria dalam proses
eksresi sisa metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan kadar ureum dan
kreatinin yang tinggi. Peran ginjal pada metabolisme asam urat yaitu bekerja
38

mengatur esksresi kadar asam urat dalam tubuh dimana sebagian sisa asam
urat dikeluarkan melalui air seni. Apabila asam urat berelebihan dan ginjal
tidak mampu lagi mengatur ekskresinya, maka asam urat akan meningkat
dalam darah.(42, 43)
Penelitian ini sependapat dengan teori dan penelitian lain yang
mendukung bahwa usia memiliki hubungan dengan kejadian hiperurisemia
yaitu Purwaningsih 2010, yang mengatakan kejadian hiperurisemia
meningkat pada laki-laki dewasa berusia 30 tahun dan wanita setelah
menopouse atau berusia 50 tahun, karena pada usia ini wanita mengalami
gangguan produksi hormon estrogen.(44) Hormon estrogen berperan dalam
merangsang perkembangan folikel yang mampu meningkatkan kecepatan
proliferasi sel dan menghambat keaktifan enzim protein kinase yang
mempunyai fungsi mempercepat aktivitas metabolik., diantaranya
metabolisme purin. Enzim urikinase merupakan enzim yang berfungsi untuk
merubah asam urat menjadi bentuk alatonin yang akan diekskresikan melalui
urin, sehingga terganggunya produksi enzim urikinase mempengaruhi proses
pengeluaran asam urat yang menimbulkan hiperurisemia.(44)

5.3 Hubungan Faktor Risiko Jenis Kelamin dengan Hiperurisemia


Data penderita hiperurisemia berdasarkan jenis kelamin diperoleh dari
54 atau 78,3% penderita hiperurisemia 18 atau 26,1% diantaranya adalah
laki-laki, sedangkan 36 atau 52,2% lainnya adalah perempuan. Hasil analisis
bivariat menunjukan pada tabel 5, diperoleh korelasi jenis kelamin dengan
kejadian hiperurisemia memiliki nilai p=0,321 atau p>0,05. Korelasi tersebut
menunjukan bahwa faktor risiko jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak
bermakna dengan kejadian hiperurisemia. Rerata kadar asam urat tertinggi
yaitu terjadi pada laki-laki yaitu 8,3 mg/dL dibandingkan perempuan yaitu
7,9 mg/dL.
Laki-laki memiliki risiko hiperurisemia lebih tinggi dari wanita. Hal
tersebut dikarenakan pada laki-laki tidak terdapat hormon estrogen yang
bersifat uricosuric agent yaitu suatu bahan kimia yang berfungsi membantu
39

eksresi asam urat melalui ginjal. Mekanisme uricosuric agent dalam ekskresi
asam urat adalah menghambat urate transporter-1 (URAT1) dari lumen ke
sel tubular proksimal pada saat pengaturan keseimbangan cairan elektrolit.
Reabsorpsi asam urat pada laki-laki lebih tinggi (92%) dibandingkan dengan
perempuan (88%), dan lebih rendah pada anak-anak (70-85%). Dalam
keadaan normal kadar urat serum pada pria sudah mencapai 5,2 mg/dL dan
anak meningkat seiring bertambahnya usia. Pada wanita kadar asam urat tidak
meningkat sampai setelah menopause karena pengaruh hormon estrogen yang
membantu meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Sekitar 98%
setelah menopause atau pada wanita berusia 55-70 tahun, kadar serum urat
meningkat seperti pada pria.(45, 46, 47. 48)
Penelitian ini didukung oleh penelitian Bridges (2001) yang
menyatakan pada penlitiannya tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan hiperurisemia. Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian
Mawara, Kepel, dan Maramis (2014) yang menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan jenis kelamin dengan kejadian hiperurisemia pada masyarakat semi
kota dan masyarakat desa di Kabupaten Minahasa Selatan. Penelitian Lina
dan Setiyono (2014) dalam hasil penelitiannya menunjukan kadar asam urat
lebih tinggi pada laki-laki (65%) dibandingkan dengan perempuan (35%)
dengan p value=0,064, sehingga tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian hiperurisemia.(49, 50)

5.4 Hubungan Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hiperurisemia


Data penderita hiperurisemia berdasarkan diabetes melitus tipe 2
diperoleh dari 54 atau 78,3% penderita hiperurisemia 45 atau 65,2%
diantaranya adalah memiliki diabetes melitus tipe 2, sedangkan 9 atau 13,1%
lainnya adalah tidak memiliki diabetes melitus. Hasil analisis bivariat
menunjukan pada tabel 6, diperoleh korelasi diabetes melitus tipe 2 dengan
kejadian hiperurisemia memiliki nilai p=0,000 atau p<0,05. Korelasi tersebut
menunjukan bahwa faktor risiko diabetes melitus memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian hiperurisemia.
40

Penelitian Meera et al (2011) melaporkan hubungan hiperurisemia


dengan Toleransi glukosa terganggu (TGT) diperantarai oleh mekanisme
hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Resistensi insulin, hipoksia, dan
kematian sel dapat menginduksi perubahan xanthine dengan bantuan air dan
oksigen akan berubah menjadi asam urat yang menghasilkan peroksida.
Peroksida merupakan oksigen radikal bebas yang akan mempengaruhi
keseimbangan nitric oxide (NO) yang berperan menjaga keseimbangan tonus
vaskular. Beberapa penelitian melaporkan hiperurisemia berhubungan dengan
stress oksidatif yang terjadi pada sindrom metabolik. Insulin juga berperan
dalam meningkatkan reabsorpsi asam urat di tubuli proksimal ginjal.
Sehingga pada keadaan hiperinsulinemia pada pra diabetes terjadi
peningkatan reabsorpsi yang akan menyebabkan hiperurisemia. Transporter
urat yang berada di membran apikal tubuli renal dikenali sebagai URAT1
berperan dalam reabsorpsi urat. Glucose Transporter-9 (GLUT-9) diduga
kerjanya dipengaruhi oleh insulin yang berperan dalam transpor asam urat di
membran apikal proksimal.(51)
Penelitian ini sependapat dengan teori dan penelitian Amalia (2012)
yang mangatakan terdapat hubungan bermakna antara kadar asam urat dengan
kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe II di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian lainnya oleh Wahyu (2014)
menyatakan risiko hiperurisemia pada penderita diabete melitus tipe 2 dengan
penyakit ginjal kronik adalah 5,8 kali lebih besar dibandingkan penderita
diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan ginjal kronik.(52, 53)

5.5 Hubungan Faktor Risiko Usia, Jenis Kelamin, dan Diabetes Melitus Tipe
2 dengan Hiperurisemia
Berdasarkan analisis multivariat pada tabel 7 menunjukan bahwa faktor
risiko diabetes melitus tipe 2 berpengaruh terhadap prevalensi hiperurisemia.
Penderita DM dimana hiperglikemia kronis dan resistensi insulin memegang
peranan penting dalam meningkatkan aktivitas sitokin proinflamasi.
Peningkatan aktivitas sitokin ini akan meningkatkan apoptosis sel dan
41

nekrosis jaringan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kadar asam urat di
dalam serum. Aktivitas sitokin proinflamasi akan meningkatkan aktivitas
enzim xanthine oxidase yang merupakan katalisator dalam proses
pembentukan asam urat, yang juga akan lebih meningkatkan kadar asam urat
dan radikal bebas di dalam serum. Setiap 1 mg / dL kenaikan asam urat
dikaitkan dengan 18% peningkatan risiko diabetes yang signifikan setelah
disesuaikan kadar glukosa dan insulin puasa.
Menurut Berry, et al (2003) nukleotida purin disintesis dan mengalami
degradasi di dalam semua jaringan, sedangkan asam urat hanya diproduksi di
dalam jaringan yang mengandung xantin oksidase, terutama hepar dan usus
kecil. Peningkatan kadar asam urat merupakan prediktor independen kejadian
diabetes melitus tipe 2 pada populasi umum. Menurut Clause J.O et al, untuk
beberapa waktu, telah diakui bahwa kadar asam urat dikaitkan secara positif
dengan kadar glukosa pada subjek orang yang sehat. Menurut Khosia UM. et
al (2005) tingkat serum asam urat telah dinyatakan berhubungan dengan
risiko diabetes tipe 2. Penelitian Kuo-Liong Chien et al (2008) melakukan
studi kohort prospektif menunjukkan hubungan positif antara konsentrasi
asam urat dengan DM tipe 2 pada orang China.(54, 55, 56, 57)

Anda mungkin juga menyukai