Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada bagian ini akan disajikan hasil analisis penelitian mengenai evaluasi

penggunaan obat antidiabetes pada kasus diabetes miletus tipe 2 di Puskesmas

Cimalaka periode Januari – Maret 2020. Hasil analisis dalam penelitian ini akan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

4.2 Data Demografi Pasien

Usia dan jenis kelamin pasien

Pengelompokan pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin dilakukan

untuk mengetahui karakteristik usia dan jenis kelamin yang terdiagnosis diabetes

melitus tipe 2 di Puskesmas Cimalaka selama periode Januari – Maret 2020.

Tabel 4. 1 Gambaran Karakteristik Pasien

Karakteristik Frekuensi Persentase

Usia

40 - 60 tahun 140 100,00

Jenis Kelamin

Laki-laki 40 28,57

43
44

Perempuan 100 71,43

Tabel 4.1 menjelaskan distribusi karakteristik pasien diabetes miletus tipe 2

di Puskesmas Cimalaka. Dilihat dari usia, seluruh pasien diabetes melitus berusia

sekitar 40 – 60 tahun. Data umur dalam penelitian ini dipergunakan untuk menjadi

batasan dalam mengetahui banyaknya pasien diabetes melitus tipe 2 yang umumnya

diderita pada orang dewasa dan geriatri. Umur merupakan salah satu faktor yang

sangat penting dalam pengaruhnya terhadap prevalensi diabetes melitus. Faktor yang

menunjang tingginya angka prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut

adalah adanya gangguan fungsi sel beta pankreas serta gangguan dalam cara kerja

insulin, kegemukan, kurang aktivitas fisik, obat-obatan, dan adanya penyakit lain

(Rochmah, 2006).

Data yang diperoleh sesuai dengan pernyataan dari American Diabetes

Assosiation (ADA) menyatakan bahwa usia di atas 45 tahun merupakan salah satu

faktor risiko terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2 (ADA, 2004). Orang

mempunyai usia lebih dari 45 tahundengan pengaturan diet glukosa yang rendah akan

mengalami penyusustan sel- sel beta pancreas. Sel beta pancreas yang tersisa pada

umumnya masih aktif, tetapi sekresi insulinnya semakin berkurang (Tjay dan

Rahardja, 2003)

Hasil menunjukan pada usia >40 tahun sangat beresiko terkena diabetes

melitus karena orang pada usia ini kurang aktif , berat badan bertambah, massa otot
45

berkurang , dan akibat proses menua yang mengakibatkan penyusutan sel – sel beta

yang progresif . Pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa.

Diabetes melitus sering muncul setelah manusia memasuki umur rawan tersebut.

Semakin bertambahnya umur, maka risiko menderita diabetes melitus akan

meningkat terutama umur > 45 tahun (kelompok resiko tinggi). Dari hasil penelitian

Riskesdas 2007, yakni ada kecenderungan prevalensi penyakit diabetes melitus

meningkat dengan bertambahnya umur, namun prevalensinya cenderung menurun

kembali setelah umur 65 tahun.

Dilihat dari jenis kelamin, sebagian besar pasien 71,43 % berjenis kelamin

perempuan, sedangkan 28,57 % pasien lainnya berjenis kelamin laki-laki. Dilihat dari

diagnosis, seluruh pasien diketahui mengidap diabetes millitus.Berdasarkan analisis

antara jenis kelamin dengan kejadian diabetes melitus Tipe 2, prevalensi kejadian

diabetes melitus Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih

berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan

indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual

syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah

terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita

diabetes melitus tipe2 (Irawan, 2010).

Resiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada perempuan lebih besar daripada

laiki- laki. Hal ini di sebabkan karena pada peremuan memiliki LDL atau kolesterol

jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi di bandingkan dengan laki-laki, perbedaan
46

dalam melakukan semua aktivitasnya dan gaya hidup sehari-hari sangat

mempengaruhi kejadian suatu penyakit yang merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya penyakit diabetes melitus.

Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20% dari

berat bdan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%. Jadi peningkatan kadar lipid

perempuan lebih tinggi di bandingkan pada laki-laki, sehingga faktor resiko

terjadinya diabetes melitus pada perempuan 3-7 lebih tinggi di bandingkan pada laki-

laki yaitu 2-3 kali, (Haryati dan Geria, 2014)

Jenis Kelamin

Laki - laki Perempuan

Gambar 4. 1 Karakteristik jenis kelamin

Keterangan :

- Warna biru menunjukan laki laki sebanyak 28,57 %

- Warna merah menunjukan perempuan sebanyak 71,43 %

4.3 Penyakit Penyerta

Tabel 4. 2 Gambaran Diagnosis Penyerta

Ukuran Frekuensi Persentase


47

Penyakit Penyerta

Diabetes melitus + 75 77,32

Hipertensi

Diabetes melitus + 5 5,15

Hipertensi + Jantung

Diabetes melitus + 14 14,43

Hipertensi + Kolesterol

Diabetes melitus + 3 3,10

Kolesterol

Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh informasi bahwa seluruh pasien di Puskesmas

Cimalaka memiliki komplikasi hipertensi sebanyak 75 orang atau 77,32 % Jantung

dan hipertensi 5 orang atau 5,15 % , hipertensi dan kolesterol sebanyak 14 orang atau

14,43 %, dan kolesterol sebanyak 3 orang atau 3,10 dengan demikian penyakit

penyerta paling banyak adalah Hipertensi.

Hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar terjadi pada pasien

diabetes dari pada pasien non diabetes, dimana patogenesis terjadinya komplikasi

terkait dengan resistensi terhadap insulin dan hiperinsulinemia. Untuk itu perlu di

lakukan manajemen terapi untuk mengurangi resiko (Guyton dan Hall, 1996).

Penyakit diabetes melitus dengan kadar gula yang tinggi dapat merusak organ

dan jaringan pembuluh darah serta dapat terbentuknya aterosklerosis, hal tersebut

menyebabkan arteri menyempit dan sulit mengembang sehingga dapat memicu


48

terjadinya hipertensi.

Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus.

Hasil penelitian menunjukan bahwa orang yang terkena hipertensi berisiko lebih

besar untuk menderita diabetes.

Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh

hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh

darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal

ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi

terganggu (Zieve, 2012).

Kejadian hipertensi pada lansia penderita diabetes melitus meningkat,

prevalensi 40% pada usia 45 tahun meningkat menjadi 60% pada usia 75 tahun.

Hipertensi merupakan salahsatu faktor yang berperan dalam terjadinya

komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada diabetes melitus. Studi UKPDS

menunjukkan bahwa kontrol tekanan darah yang baik dengan antihipertensi manapun

menurunkan risiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.


49

Penyakit Penyerta

Hipertensi
Hipertensi + Jantung
Hipertensi + Kolesterol
Kolesterol

Gambar 4. 2 Penyakit penyerta

Keterangan :

- Warna biru menunjukan hipertensi sebanyak 77,32 %

- Warna merah menunjukan hipertensi + jantung sebanyak 5,15 %

- Warna hijau menunjukan hipertensi + kolesterol sebanyak 14,43 %

- Warna ungu menunjukan kolesterol sebanyak 3,10 %

4.4 Penggunaan Obat Antidiabetes

Golongan obat yang digunakan pada pengobatan diabetes melitus tipe 2 di

Puskesmas Cimalaka meliputi golongan sulfonilurea (glimepiride), biguanide

(metformin), penghambat alfa glukosidase dan atau kombinasi dari obat tersebut.

Dapat dilihat pada tabel.


50

Tabel 4. 3 Gambaran Pemberian Dosis

Ukuran Frekuensi Persentase

Terapi Obat

Acarbose 50 mg + glimepiride 1 4 2.86

mg + metformin 500 mg

Glimepiride 1 mg + 54 38.57

Metformin 500 mg

Acarbose 50 mg + 1 0.71

metformin 500 mg

Glimepiride 1 mg 17 12.14

Metformin 500 mg 44 31.43

Acarbose 50 mg 10 7.14

Dari tabel di atas, diketahui bahwa sebagian besar pasien yang terdiagnosis

diabetus miletus sebanyak 4 orang atau 2,86 % mendapatkan dosis acarbose 50 mg

dan glimepiride 1 mg dan metformin 500 mg, sebanyak 54 orang atau 38,57 %

mendapatkan dosis Metformin 500 mg dan glimepiride 1 mg, metformin 500 mg


51

sebanyak 44 orang atau 31,43 %, glimepiride 1 mg 17 orang atau 12,14 %, acarbose

50 mg sebanyak 10 orang atau 7,14 %, acarbose 50 mg sebanyak 10 orang atau 7,14

%, sedangkan acarbose dan metformin sebanyak 1 orang atau 0,71 %.

Metformin merupakan obat yang mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa

perifer. Metformin nerupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai

dislipidemia dan resistensi insulin. Metformin dikontraindikasikan pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1.5 mg/dl) dan hati, serta pasien-

pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit sereberovaskular,

sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual,

sehingga untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah

makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada

awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat

tersebut.

Glimepiride (sulphonilurea) obat golongan ini mempunyai efek utama

meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah

hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada

pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).

Mekanisme kerja glimepirid yaitu dengan menstimulasi seksresi insulin dan

metformin pun bekerja untuk mengurangi glukoneogenesis hepatik, meningkatkan

sensitifitas insulin, serta mengurangi absorbsi glukosa pada saluran cerna.

Berdasarkan mekanisme kerja kombinasi obat tersebut dapat menurunkan glukosa


52

darah lebih cepat dari pada pengobatan tunggal masing-masing obat. Pemakaian

kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan

diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective

Diabetes Study) pasien diabetes melitus tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan

dengan pengobatan tunggal sulfonilurea sampai dosis maksimal (Soegondo, 2006)

Sulfonilurea dan biguanid memiliki mekanisme kerja yang saling melengkapi

dengan efek antihiperglikemik yang sinergis dan tidak meningkatkan reaksi simpang

dari masing – masing golongan. Sulphonylurea (glimepiride) menstimulasi sel beta

untuk melepaskan insulin, sedangkan metformin mengurangi produksi glukosa

hepatik, menurunkan absorpsi glukosa di usus, serta memperbaiki sensitivitas insulin

melalui perbaikan uptake dan penggunaan glukosa perifer.

Terapi Obat

Acarbose 50 mg + Glimepiride 1 mg +
metformin 500 mg
Glimepiride 1 mg + metformin 500 mg

Acarbose 50 mg + Metformin 500 mg

Glimepiride 1 mg

Metformin 500 mg

Gambar 4. 3 Terapi obat terbanyak

4.4.1 Tepat Obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat


53

yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas

terapi sesuai dengan diagnosis. Selain itu, obat juga harus terbukti manfaat

dan keamanannya. Tepat obat dalam terapi diabetes melitus tipe 2 yaitu suatu

kesesuaian dalam pemilihan obat dari beberapa jenis obat yang mempunyai

indikasi terhadap diabetes melitus tipe 2 (Perkeni, 2019). Tabel 4.4 akan

menyajikan ketepatan dari penggunaan obat antidiabetik golongan

hipoglikemik oral (OHO) berdasarkan kajian dari hasil penelitian.

Tabel 4. 4 Ketepatan Obat dari penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas


Cimalaka pada periode Januari – Maret 2020

Keterangan Frekuensi Persentase

Tepat Obat 140 100

Tidak Tepat Obat 0 0

Jumlah 140 100

Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 4.4, maka didapatkan hasil

ketepatan obat di Puskesmas Cimalaka sebesar 100 % dan sesuai dengan

standar Perkeni, 2019.


54

Tepat Obat

Tepat obat tidak tepat obat

Gambar 4. 4 Ketepatan obat

4.4.2 Tepat Indikasi

Tepat indikasi merupakan kesesuaian penggunaan obat dengan kebutuhan

klinis pasien yang dilihat dari diagnosis, gejala ataupun keluhan pasien. Tepat

indikasi dalam pengobatan penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah ketepatan

dalam penggunaan obat antidiabetik atas dasar diagnosis yang ditegakkan, sesuai

dengan yang tercantum dalam rekam medik yang memiliki hasil pemeriksaan

kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL. Penegakan diagnosis diabetes melitus

dapat dilakukan dengan 3 cara: pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka

pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis diabetes melitus. Kedua, pemeriksaan glukosa plasma

puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Ketiga, tes toleransi glukosa

oral ≥ 200 mg/dl. Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan

spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun

pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan

berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan

persiapan khusus (Perkeni, 2019).


55

Tabel 4. 5 Ketepatan Indikasi dari penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di


Puskesmas Cimalaka pada periode Januari – Maret 2020

Keterangan Frekuensi Persentase

Tepat Indikasi 140 100

Tidak Tepat Indikasi 0 0

Jumlah 140 100

Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 4.5, didapatkan hasil ketepatan

indikasi sebesar 100 % sesuai dengan standar PERKENI 2019. sesuai dengan

yang tercantum dalam rekam medik yang memiliki hasil pemeriksaan kadar gula

darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.

Tepat Indikasi

Tepat Indikasi Tidak Tepat Indikasi

Gambar 4. 5 Ketepatan indikasi

Anda mungkin juga menyukai