Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eksostosis merupakan penonjolan tulang yang dapat terjadi pada rahang
baik pada mandibula maupun pada maksila1. Penonjolan tulang (eksostosis) adalah
suatu pertumbuhan benigna jaringantulang yang keluar dari permukaan tulang.
Etiologi belum diketahui secara pasti tetapi beberapa ahli menduga terjadi karena
adanya inflamasi pada tulang. Pembedahan diindikasikan pada eksostosis baik
yang terjadi karena pertumbuhan yang berlebihan ataupun yang terjadi karena
hasil resorbsi linggir yang menimbulkan gangguan pembuatan gigi tiruan2.
Patogenesis dari penonjolan tulang ini masih diperdebatkan, dapat
dipengaruhi oleh faktor genetik misalnya umur dan jenis kelamin atau faktor
lingkungan misalnyatrauma setelah pencabutan gigi dan tekanan kunyah 3.
Penonjolan tulang berhubungan dengan meningkatnya umur dan jenis kelamin,
hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Aree Jainkittivong dkk
(2000) menunjukkan prevalensi penonjolan tulang tertinggi terjadi pada umur 60
tahun dan pada kelompok umur yang lebih tua yaitu sebesar 21,7%. Distribusi
penonjolan tulang berdasarkan jenis kelamin didapat bahwasanya laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 1,66:12. Sementara
itu dari penelitian yang dilakukan oleh Firas dkk (2006) dan Sawair dkk (2009)
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi penonjolan tulang yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan4,5.
Penonjolan tulang umumnya lebih banyak terjadi pada maksila
dibandingkan dengan mandibula dengan perbandingan 5,1:12. Penonjolan tulang
juga dapat terjadi setelah pencabutan gigi. Penonjolan ini harus dihilangkan untuk
persiapan pemakaian gigi tiruan. Apabila tidak dihilangkan, akan mempengaruhi
jaringan lunak, stabilitas gigi tiruan, retensi gigi tiruan, adaptasi gigi tiruan dan
dapat mengganjal basis gigi tiruan sehingga harus dihilangkan dengan tindakan
bedah. Tindakan bedah yang dilakukan untuk persiapan pemakaian gigi tiruan
disebut bedah preprostetik. Tingginya angka pencabutan gigi yang terjadi saat ini

1
dan meningkatnya penduduk berumur lanjut, meningkatkan kebutuhan akan
bedah preprostetik yang salah satu tindakannya adalah alveolektomi6.
Alveolektomi adalah salah satu bedah preprostetik. Bedah preprostetik
merupakan tindakan bedah minor yang bertujuan memperbaiki keadaan tulang
alveolar rahang agar dapat menjadi lebih baik untuk penempatan gigi tiruan.
Tujuan dilakukan bedah preprostetik adalah untuk mendapatkan gigi tiruan
dengan retensi, stabilisasi, estetik dan fungsi yang lebih baik7.
Pada kasus-kasus tertentu, sebelum pembuatan gigi tiruan perlu dilakukan
alveolektomi agar plat gigi tiruan dapat menempel dengan kuat. Tidak semua
pasien yang ingin memasang gigi tiruan perlu dilakukan alveolektomi. Oleh
karena itu, perlu diketahui berbagai indikasi dan kontraindikasi dilakukannya
alveolektomi. Selain itu, prosedur pembedahan alveolektomi merupakan hal
penting yang perlu diketahui seorang dokter gigi. Dengan mengetahui prosedur
pembedahan yang benar dapat menghindari berbagai komplikasi yangmungkin
terjadi. Medikasi yang diperlukan selama proses alveolektomi juga penting untuk
diketahui agar dapat menghindari kondisi kegawatdaruratan dan mempercepat
penyembuhan luka bedah8,9.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu
permasalahan yang dapat dilaporkan yaitu bagaimana cara penatalaksanaan
alveolektomi yang sesuai dengan standar operasional pekerjaan.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan alveolektomi yang
sesuai dengan standar operasional pekerjaan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari laporan kasus ini adalah: untuk mengetahui
bagaimana penatalaksanaan dari pasien yang akan dilakukan
alveolektomi pada regio 43, 42,41, 31, 32 yang akan dilakukan oleh
mahasiswa profesi fakultas kedokteran gigi Universitas Baiturrahmah
Padang.

2
1.4 Manfaat
Manfaat laporan kasus ini adalah laporan kasus ini diharapkan dapat
memberi informasi yang bermanfaat mengenai penatalaksanaan alveolektomi
yang sesuai dengan standar operasional pekerjaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Alveolektomi
Alveolektomi adalah suatu tindakan pembuangan sebagian prosesus
alveolaris yang tajam atau menonjol untuk mempersiapkan bentuk yang dapat
memberikan dukungan yang baik bagi gigi tiruan 9. Setelah pencabutan gigi,
sangat penting dilakukan pembentukan kembali prosesus alveolaris untuk
mempersiapkan tempat bagi gigi tiruan yang akan dibuat. Apabila tidak dilakukan,
akan menghasilkan puncak lingir yang tidak beraturan, undercut dan penonjolan
tulang. Apabila tidak dihilangkan sebelum pemakaian gigi tiruan, akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan lunak dan stabilitas retensi gigi tiruan6.
Alveolektomi adalah suatu tindakan bedah yang radikal untuk
mereduksi/mengambil prosesus alveolaris sehingga bisa dilakukan aposisi
mukosa, yaitu suatu prosedur yang dilakukan untuk mempersiapkan linggir.
Tindakan pengurangan dan perbaikan tulang alveolar yang menonjol atau tidak
teratur serta menghilangkan undercut yang dapat mengganggu pemasangan gigi
tiruan dilakukan dengan prinsip mempertahankan tulang yang tersisa semaksimal
mungkin. Seringkali seorang dokter gigi menemukan sejumlah masalah dalam
pembuatan gigi tiruan yang nyaman walaupun kondisi tersebut dapat diperbaiki
dengan prosedur bedah minor. Penonjolan tulang atau tidak teratur dapat
menyebabkan gigi tiruan tidak stabil yang dapat mempengaruhi kondisi tulang
dan jaringan lunak dibawahnya7.

2.2 Tujuan Alveolektomi


Tujuan alveolektomi adalah10 :
1. Membuang ridge alveolus yang tajam dan menonjol.
2. Membuang tulang interseptal yang sakit sewaktu dilakukan
gingivektomy.
3. Untuk membuat kontur tulang yang memudahkan pasien dalam
melaksanakan pengendalian plak yang efektif.
4. Untuk membentuk kontur tulang yang sesuai dengan kontur jaringan
gingival setelah penyembuhan.

4
5. Untuk memudahkan penutupan luka primer.
6. Untuk membuka mahkota klinis tambahan agar dapat dilakukan restorasi
yang sesuai.

2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Alveolektomi6,11


2.3.1 Indikasi Alveolektomi
a. Pada intra oral tampak tonjolan tulang tajam pada prosesus
alveolarissetelah pencabutan gigi.
b. Adanya tonjolan pada prosesus alveolaris yang terasa sakit apabila
ditekan akibat proses pencabutan gigi.
c. Jaringan hipertopi.
d. Kondisi-kondisi patologi.
2.3.2 Kontraindikasi Alveolektomi
a. Tulang kortikal yang tipis.
b. Pasien dengan penyakit sistemik.
c. Periostitis.
d. Periodontitis, merupakan penyakit periodontal yang parah, yang
mengakibatkan kehilangan tulang.

2.4 Syarat - Syarat yang Dipenuhi pada Tindakan Alveolektomi11


1. Pengambilan tulang tidak boleh terlalu banyak dan sedapat mungkin
mempertahankan tulang kortikal, sebab bila tulang kortikal terlalu banyak
diambil dapat mempercepat terjadinya resorbsi tulang alveolar tersebut.
2. Bagian tulang pendukung gigi tiruan cukup banyak yang tinggal.
3. Kondisi umum pasien baik.

2.5 Prinsip Bedah11


Seorang yang akan melakukan tindakan bedah mulut harus mempunyai
pengetahuan dasar, terutama mengenai anatomi, fisiologi, patologi, farmakologi
dan sebagainya.
Prinsip untuk dapat melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya yang
terpenting yaitu:

5
1. Diagnosa yang tepat
Tanpa mengetahui diagnosa yang tepat, kita tidak akan dapat melakukan
terapi yang baik, walaupun ada berbagai macam cara pengobatan tetapi
diagnosa yang tepat hanya satu.
2. Rencana perawatan
Setiap rencana perawatan disusun sedemikian rupa dengan
mempertimbangkan keadaan lokal, kesehatan umum dan sosial ekonomi
dari pasien. Rencana perawatan tidak terlepas dari pada perawatan pasca
bedah. Dari hasil pemeriksaan akan keluar empat macam hasil rencana
perawatan yang akan dilakukan yaitu;
a. Observasi (diamati selanjutnya).
b. Perawatan konservatif (dirawat secara konservatif dengan pengobatan
saja).
c. Pembedahan (diambil tindakan operasi).
d. Konsultasi (dikirim ke sejawat yang lebih ahli untuk ditindak lebih
lanjut).
3. Perawatan secara pembedahan
Pada tindakan operasi harus diikuti syarat-syarat sebagai berikut :
a. Asepsis
b. Atraumatic-surgery
c. Memenuhi tata kerja yang teratur.
4. Perawatan pasca bedah
Perawatan pasca bedah atau perawatan sesudah operasi yang baik akan
mencegah terjadinya komplikasi sesudah operasi.

2.6 Prinsip Pembuatan Flap


Kesalahan yang umum terjadi adalah tidak memadainya jalan masuk
karena kurang besarnya flap. Oleh karena itu prinsip-prinsip mendesain flap
merupakan salah satu masalah penting dan perlu diperhatikan dengan baik.
Dengan jalan masuk yang adekuat, pemisahan atau pemotongan terkontrol dari
gigi akan dapat dilakukan dengan rute yang pasti tanpa halangan. Keterampilan
dalam melakukan pembedahan gigi dicapai melalui pengalaman klinik yang lama.

6
Beberapa pengalaman terbaik diperoleh melalui kemampuan memecahkan
masalah dengan pemikiran dan perencanaaan yang hati-hati10.
Bentuk dari flap sangat mempengaruhi dalam keberhasilan pembedahan,
dimana ada 3 macam bentuk flap yang dapat dibuat dan flap yang akan dibuat
tergantung dari daerah operasi dan besar lesi yang akan diambil. 3 macam bentuk
flap tersebut yaitu11:
a. Semiluner
b. Trapesium
c. Segitiga

Flap Semiluner Flap Trapesium

Flap Segitiga
Gambar 1. Macam-macam bentuk flap(Sumber : James, R. 2015.Principles of more complex
exodontia. Journal Oral and Maxillofacial surgary)

Ketiga bentuk ini dibuat tergantung dari pada daerah operasi dan besar
bagian yang akan diambil. Apabila tepi gingiva dari pada gigi termasuk dalam
daerah flap, maka harus diinsisi dan tidak boleh diangkat begitu saja. Untuk
melepaskan flap harus dengan gerakan yang halus. Pekerjaan yang tidak rapi akan
menimbulkan trauma dan akan menyebabkan penyembuhan yang lama dan tidak
sempurna, dengan cara bekerja yang atraumatik akan dapat mempertahankan
aliran darah dari flap, sehingga flap akan terhindar dari terjadinya nekrose11.
Hal-hal yang perlu diketahui dalam pembuatan flap11:

7
a. Penyembuhan dari flap tidak tergantung dari besarnya tetapi tergantung
daricara bagaimana membuka flap dan bagaimana kita bekerja.
b. Pada waktu melakukan insisi serta pada waktu pembukaan flap, harus
diperhatikan jangan sampai merusak nervus, karena dapat menyebabkan
terjadinya rasa kebas, biru serta paralise.
c. Insisi pada jaringan lunak, misalnya mukosa pipi, lidah, palatum mole, atau
dasar mulut tidak boleh tegak lurus dan dalam
Syarat dalam pembuatan desain flap adalah10 :
a. Basis lebih besar dibandingkan tepi bebasnya (insisi tambahan harus
serong).

Gambar 2. A. Insisi serong tambahan yang desainnya kurang tepat sehingga mempunyai
basis apikal yang sempit. B. Insisi serong tambahan yang dilakukan dengan benar, sehingga
diperoleh basis yang lebih lebar untuk meningkatkan suplay darah ke flap
(Sumber: Pederson, 1996)

b. Mempertahankan suplai darah (insisi sejajar dengan pembuluh darah untuk


memberikan vaskularisasi).
c. Hindari retraksi flap yang terlalu lama.
d. Hindari ketegangan dalam penjahitan, jahitan yang berlebih atau keduanya.
e. Persyarafan
Desain diusahakan menghindari saraf yang terletak didalam terutama nervus
mentalis.
f. Pendukung
Tempatkan tepi sedemikian rupa sehingga terletak di atas tulang (lebih
kurang 3-4 mm dari tepi tulang yang rusak).
g. Ukuran

8
Ukuran flap seharusnya lebih besar dan jangan terlalu kecil serta diperluas
terlalu berlebihan.
h. Ketebalan
Untuk flap periostal, periostum diambil secara menyeluruh jangan sampai
terkoyak dan pada waktu mengangkat flap jangan sampai tersobek.

2.7 Penjahitan
2.7.1 Prinsip-Prinsip Jahitan
Kesalahan umum pada penjahitan adalah menempatkan terlalu
banyak jahitan dan pengikatan yang terlalu kencang. Jahitan adalah
benda asing karena itu makin sedikit jahitan makin kecil trauma dan
makin sedikit reaksi jaringan. Jahitan yang diikat terlalu kencang akan
menghalangi suplai darah dan mengurangi drainase. Penempatan
jahitan intra oral, lebih baik hasilnya kalau berpegang pada aturan
berikut: secara umum jahitan dimulai dari posterior ke anterior (dari
jauh ke dekat), dari jaringan yang tidak melekat ke jaringan yang
cekat, apabila memungkinkan tepat menempel tulang10.
2.7.2 Jarum dan Benang Jahit12
Jarum jahit tersedia dalam beragam bentuk, diameter, dan ukuran.
Secara umum, jarum jahit terdiri atas tiga bagian, yaitu needle point,
needle body, dan swaged (press-fit) end. Needle point berbentuk tajam
dan berfungsi untuk penetrasi kedalam jaringan. Body merupakan
bagian tengah dari jarum jahit.Sedangkan swaged (press-fit) end
merupakan bagian tempat menempelnya benang. Jarum jahit
digunakan untuk menutup luka insisi pada mukosa dan
biasanyaberbentuk round atau triangular. Jarum jahit biasanya terbuat
dari besi tahan karat (stainless steel) yang kuat dan fleksibel.

9
Gambar 3. Anatomi Jarum Jahit ( Sumber: Pratidina, A. H. 2015.)

Bahan material benang jahit dapat diklasifikasikan menurut jenis material


menjadi dua, yaitu absorbable dan non-absorbable. Berdasarkan jumlah benang,
juga dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu monofilament dan multifilament.
Selain itu dapat pula diklasifikasikan berdasarkan asalnya, yaitu alami dan
sintetik. Benang absorbable adalah jenis benang yang dapat dicerna oleh enzim
atau dapat dihidrolisis oleh tubuh. Benang jenis absorbable dapat dibagi atas
alami dan sintetik. Jenis benang absorbable yang terbuat dari bahan alami adalah
catgut, collagen, cargille membrane, kangaroo tendon, dan fascia lata. Jenis
benang absorbable yang terbuat dari bahan sintetik adalah polyglicolic acid
(dexon), polyglactic acid (vicryl), polydioxanone (PDS), dan polytrimethlylene
carbonate(maxon). Benang jahit jenis absorbable yang paling sering digunakan
dalam bidang kedokteran gigi adalah catgut yang dimodifikasi dengan cara
perendaman dalam larutan garam asam kromat karena memiliki waktu penyerapan
yang lebih lama dan daya reaktivitas jaringan yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan catgut yang penjahitan luka memiliki teknik yang beragam, seperti simple
interrupteduture, simple continuous suture, locking continuous suture, vertical
mattress suture,horizontal mattress suture, subcuticular suture, dan figure-of-eight
suture. Meskipun demikian, teknik-teknik penjahitan luka tersebut haruslah
memenuhi prinsip-prinsip umum penjahitan luka seperti dibawah ini:
a. Penetrasi jarum jahit ke dalam jaringan harus perpendikular terhadap
permukaan jaringan.

10
b. Penjahitan luka sebaiknya dilakukan dengan jarak dan kedalaman yang
sama pada kedua sisi daerah insisi, biasanya tidak lebih dari 2-3 mm dari
tepi luka. Sedangkan jarak antara jahitan yang satu dengan yang lainnya
berkisar 3-4 mm.
c. Jahitan jangan terlalu longgar maupun terlalu ketat.
d. Penyimpulan benang jangan diletakkan tepat diatas garis insisi.

11
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Data Pasien


a. Nama : Mawarnis
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 56 Tahun
d. No RM : 043934
e. Alamat : Kampung Caniago

3.2 Kasus
Pasien wanita, 56 tahun datang ke RSGM-P Universitas Baiturrahmah
Padang dengan keluhan ingin membuat gigi tiruan penuh pada rahang atas dan
rahang bawah. Dari pemeriksaan subjektif didapatkan bahwa pasien tidak ada
kelainan penyakit sistemik dan tidak ada riwayat alergi obat. Keadaan umum:
tekanan darah 120/80 mmHg, pernapasan 20x/menit, denyut nadi 80x/menit. Pada
hari pertama datang, pasien dirujuk ke bagian prosthodonti untuk memeriksakan
apakah pembuatan gigi tiruan bisa dilakukan atau tidak. Pada pemeriksaan
intraoral terlihat adanya penonjolan pada tulang tepatnya di ridge alveolar pada
regio gigi 43, 42, 41, 31, 32, dan 33. Sewaktu di palpasi didapat adanya rasa sakit,
runcing dan tajam. Berdasarkan hasil pemeriksaan adanya eksostosis pada ridge
alveolar di regio gigi 43, 42, 41, 31, 32, dan 33 yang dapat mengganggu
pembuatan gigi tiruan.

12
Eksostosis regio 43, 42,
41, 31, 32, dan 33.

Gambar 4. Pemeriksaan Intraoral (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


3.3 Rencana Perawatan
1. Siapkan alat dan bahan yang telah disterilkan
Alat:
a. Alat standar
b. Handle blade
c. Raspatorium
d. Bone file
e. Blade no 15
f. Gunting bedah
g. Benang + jarum jahit
h. Needle holder
i. Low speed (mikromotor)
j. Bur tulang
k. Knabel tang
Bahan:
a. Pehacain
b. Povidone iodine
c. NaCl 0,9%

13
d. Tampon, kasa, kapas
e. Alkohol
2. Dudukkan pasien didental unit, kemudian operator menjelaskan kepada
pasien tentang prosedur perawatan yang akan dilakukan secara singkat
serta membimbing pasien dalam mengisi informed consent.
3. Pasien dipasangkan celemek kemudian lakukan asepsis baik kepada
operator maupun pasien.
a. Operator
Mencuci tangan, membuka perhiasan dan aksesoris tangan yang
digunakan, memakai masker, dan handscond.
b. Pasien
Asepsis ekstra oral dengan menggunakan alkohol yang dioles
melingkari bibir dilakukan searah dengan jarum jam, serta
menggunakan larutan antiseptik (povidone iodine) di daerah kerja
pada intra oral.
4. Posisikan pasien setinggi siku operator, dan pasien berbaring dengan
sudut 30 dari bidang horizontal, serta operator berada di depan kanan
pasien.
5. Lakukan infiltrasi anastesi dengan bahan anastesi yang dideponir
sebanyak 0,5 cc, tunggu 5-10 menit kemudian lakukan pengecekan
anastesi dengan menggunakan sonde apakah anastesi sudah berjalan
atau belum (mati rasa).
6. Lakukan bleeding point dengan 4 titik pada daerah yang akan dilakukan
insisidengan menggunakan sonde lurus.
7. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan insisi flap dengan
bentuktrapesium menggunakan blade no 15, insisi dilakukan pada regio
43, 42, 41, 31, 32, dan 33. Sudut-sudut dari insisi dibulatkan dengan
insisi horizontal dibuat pada bidang oklusal dari prosesus alveolaris
atau sedikit lebih ke lingual. Saat melakukan insisi blade dipegang
dengan posisi pen grasp.

14
Gambar 5. Posisi pen grasp ( Sumber: TjiptonoK Toeti R, dkk. 2007)

8. Buka perlekatan flap dengan menggunakan raspatorium dan dilakukan


identifikasi penonjolan tulang yang runcing yang akan diambil.
9. Jepit mukosa yang telah dilepas dengan menggunakan pinset anatomis
agar lapangan kerja terlihat jelas.
10. Buang penonjolan tulang yang runcing tersebut dengan bur (round bur)
atau dengan knabel tang atau juga bisa digunakan chisel dan mallet.
11. Raba bagian tulang yang masih tajam kemudian dihaluskan dengan
menggunakan bone file, setelah dihaluskan lakukan irigasi dengan
larutan NaCl 0,9 %.
12. Kembalikan flap seperti semula kemudian dilakukan suturing dengan
jenis interrupted suture dengan simpul surgical knot, kelebihan benang
harus dibuang dengan menggunakan gunting steril.

Gambar 6. Interrupted suture (Sumber: Pratidina, A. H. 2015)

15
Gambar 7. Surgical knot(Sumber: Pratidina, A. H. 2015)
13. Instruksi pasca bedah dan medikasi kemudian pasien dipulangkan dan
diberi obat berupa antiinflamasi, antibiotik, dan vitamin.

Intruksi pasca bedah:


a. Istirahat yang cukup. Istirahat yang cukup dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan luka.
b. Untuk sementara pasien dianjurkan untuk tidak makan-makanan
yang keras.
c. Pasien harus memakan makanan yang lunak dan lembut terutama
pada hari pertama pascapencabutan. Pasien juga dianjurkan baru
boleh makan beberapa jam setelah pencabutan gigi agar tidak
mengganggunya jendalan darah dan jangan mengunyah pada sisi
yang baru dicabut.
d. Banyak meminum air putih untuk mencegah dehidrasi.

16
e. Pasien harus selalu menjaga kebersihan mulutnya. Gigi harus disikat

1
rutin, serta kumur-kumur menggunakan air saline hangat (
2
sendok teh garam dilarutkan dalam gelas air panas).
f. Pasien tidak boleh merokok.
14. Setelah 1 minggu apabila tidak ada inflamasi, jahitan dibuka.
15. Pembukaan jahitan dilakukan tepat diatas mukosa dengan
menggunakan gunting benang, bertujuan agar bakteri dan sisa makanan
yang lengket pada benang tidak masuk ke dalam mukosa saat
melakukan penarikan benang.

17
BAB IV
KOMPLIKASI

Setelah dilakukan tindakan prosedur bedah biasanya akan muncul keluhan.


Salah satu keluhan yang mungkin terjadi adalah rasa ketidaknyamanan. Rasa ini
dapat terjadi sebagai akibat adanya rasa sakit yang dialami pasein. Untuk
menghilangkan rasa ketidaknyaman ini dapat diberikan obat penghilang rasa sakit.
Komplikasi pasca bedah kadang-kadang tidak dapat dihindari, dapat terjadi
oleh beberapa sebab tanpa memandang operator, keterampilan operator maupun
kesempurnaan persiapan. Komplikasi yang terjadi bervariasi demikian juga akibat
yang ditimbulkan13.
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yaitu sebagai berikut13:
a. Laserasi mukosa (sobekan pada mukosa)
Dapat terjadi karena ginggiva terjepit pada saat tindakan, mukosa sudut
mulut luka karena terlalu lebar membuka mulut.
Penanganan: operator harus bekerja secara baik dan benar serta
memperhatikan hal-hal yang yang dapat menyebabkan
komplikasi tersebut.

Gambar 8. Laserasi mukosa


(Sumber : Guest. 2013. Complex Lip Laceration. Otolaryngology and Facial Plastic Surgary).

18
b. Lesi pada nervus
Nervus dapat terluka pada anastesi lokal karena memakai jarum yang
tumpul dan bisa juga terjadi bila waktu penyuntikkan ada sisa alkohol yang
masuk kejaringan dan sampai ke nervus sehingga dapat menyebabkan
terjadi nekrose dan parastesi.
Penanganan: anastesi lokal harus memakai jarum yanag tajam serta operator
memperhatikan alat dan daerah tempat dilakukan injeksi.
c. Pendarahan
Biasanya terjadi karena saat tindakan pembedahan dilakukan banyak atau
besarnya pembuluh darah yang terkena.
Penanganan;
i. Secara tekanan
Dengan menggunakan kain kasa atau tampon.
ii. Secara biologis
Bila pemakaian tampon padat atau kasa tidak bisa menghentikan
pendarahan maka dapat dipakai obat-obatan seperti adrenalin.
iii. Pengikatan atau penjahitan
Bila pendarahan disebabkan karena terputusnya pembuluh darah yang
besar, maka pembuluh darah tersebut diikat dengan menggunakan cat
gut atau benang absorbel dan bila pendarahan disebabkan karena
terbukanya jahitan operasi maka kita melakukan penjahitan kembali.
iv. Hemostat
Digunakan untuk menjepit pembuluh darah.
d. Edema
Edema merupakan kelanjutan normal dari setiap pencabutan atau
pembedahan gigi, serta merupakan reaksi normal dari jaringan terhadap
cidera. Edema adalah reaksi individual yaitu trauma yang besarnya sama,
tidak terlalu mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama baik pada
pasein yang sama atau berbagai pasien. Usaha-usaha yang bisa mengontrol
udema adalah termal (panas), fisik (penekanan), dan obat-obatan. Obat yang

19
sering digunakan adalah jenis steroid yang diberikan secara prenatal, oral
atau topical sebagai pembalut tulang alveolar.
e. Alveolitis (dry socket)10
Dry socket merupakan osteitis setempat yang mengenai seluruh atau
sebagian tulang yang padat yang membatasi soket gigi, yaitu lamina dura.
Etiologinya tidak jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi. Kerusakan
bekuan darah ini dapat disebabkan oleh trauma pada saat pencabutan
(dengan komplikasi), kurangnya irigasi saat dokter gigi melakukan tindakan
juga dapat menyebabkan dry socket. Komplikasi yang paling sering, paling
menakutkan dan paling sakit sesudah pencabutan adalah dry socket atau
alveolitis. Biasanya di mulai dari hari ke 3 sampai ke 5. Keluhan utama
yang dirasakan adalah rasa sakit yang sangat hebat sesudah operasai.
Pemeriksaan terlihat tulang alveolaris yang terbuka, terselimuti kotoran dan
dikelilingi berbagai tingkatan peradangan dari ginggiva.
Penatalaksanaan : Bagian yang mengalami dry socket diirigasi dengan
larutan saline yang hangat, dan diperiksa. Palpasi
dengan menggunakan aplikator kapas dapat membantu
dalam menentukan sensitivitas.

Gambar 9. Dry socket

f. Infeksi10
Disebabkan karena potensi penyebaran dari infeksi bakterium. Pencabutan
dan pembedahan yang mengalami infeksi akut yaitu perikoronitis atau abses.

20
Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan obat antibiotik seperti
penisilin.

BAB V
PENUTUP

Demikian laporan kasus ini dibuat, diharapkan laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan banyak mendapatkan informasi dan
pengetahuan tentang pembedahan dalam pencabutan gigi khususnya pada
penanganan kasus pembedahan pada alveolektomi, apabila ada kesalahan mohon
dimaafkan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Fragiskos FD. 2007. Oral Surgery. Verlag Berlin Heidelberg : 243-278.

2. Basa S, Uckan S, Kisnisci R. 2010.Preprosthetic and Oral Soft Tissue


Surgery. United Kingdom: Wiley-blackwell : 321-23.

3. Kurtzman GM, Silverstein LH. 2006.A Technique for Surgical Mandibular


Exostosis Removal. Compendium :520-5.

4. Quran FAM, Dwairi ZN. 2006. Torus palatinus and torus mandibularis
inedentulous patients. J of Contemporary Dental Practice, 7(2): 1.

5. Sawair FA, Shayyab MH. 2009. Prevalence and clinical characteristics of tori
andjaw exostoses in a teaching hospital in Jordan. J Saudi Med : 1557-1562.

6. Fragiskos D. 2007. Oral surgery, 1st ed. Heidelberg. Springer : 243-61.

7. Ghosh. 2006. Preprosthetic Oral and maxillofacial Surgery in Donoff B,.


Manual of Oral and Maxillofacial Surgery. St. Louis Mosby.

8. Starshak ,T.J. 1971.Prosthetic Oral surgery. St.Louis. Mosby.

9. Aditya, G. 1999.Alveoloplasty Sebagai Tindakan Bedah Preprostetik, Bagian


Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.

10. Pederson, G. W.1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (Oral


Surgery ).Jakarta. EGC : 47-59.

11. TjiptonoK Toeti R, dkk. 2007. Ilmu Bedah Mulut Edisi ke Dua. Cahaya
Sukma Nelti : 206-208.

12. Pratidina, A. H. 2015. Tingkat Pengetahuan tentang Penjahitan Luka pada


Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU
Periode 8-31 Oktober 2014.. Skripsi. FKG USU. Medan.

13. Ismardianita, E. 2013.Eksodonsia.Fakultas Kedokteran Gigi Universitas


Baiturrahmah. Padang.

22

Anda mungkin juga menyukai