Anda di halaman 1dari 91

Menjadi Ragi

No. 6 Thn. XX Januari-Juni 2017


Menjadi RaGI
bulan tahun terbit

Penerbit MERAGI - Seminari Tinggi St. Yohanes Pembaptis


Fermentum Keuskupan Bandung
Jl. Citepus III No. 39 RT 11, RW. 10 Bandung 40173
Telp. (022) 6123846
Fax. (022) 6123815
email : meragi.redaksi@gmail.com
Blog : meragifermentum.blogspot.com
FB : Seminari Tinggi Fermentum

Moderator : Wilfred Haripahlwan Angkasa Pr


Koordinator : fr. Dismas Adi Condro
Redaksi : fr. Yohanes Hario Kristo Wibowo,
fr.Bonaventura Priyo Sutejo,
fr. Aloysius Wahyu Endro Suseno
Redaktur Artistik : fr. Kornelius Irvan Prasetya,
fr. Agustinus Adi Setiawan,
fr. Anthonius Panji Satrio,
fr. Ignatius Oktavianus R.P.
Sirkulator : fr. Antonius Jonmedi Tarigan
Kontributor : Fratres tingkat II-VI Seminari Tinggi
St. Yohanes Pembaptis Fermentum

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari Penerbit

ISSN 2442-4854

Dicetak oleh Tritunggal Karya Offset


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Sambutan

R.F. Bhanu Viktorahadi Pr


Rektor Seminari Tinggi Fermentum

Menghadirkan Kembali
Peristiwa Kana

Jika dalam Injil-injil Sinoptik Yesus memulai karya


pelayanan publik-Nya di Nazaret, Injil keempat atau Injil
menurut Yohanes mengisahkan awal karya Yesus di Kana.
Apakah hal kisah ini mau mengungkapkan bahwa Yesus belum
berkarya sebelum peristiwa perkawinan di Kana? Guna
menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat informasi dalam
teks Yoh.2:23 (dan sementara Ia di Yerusalem selama hari raya
Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya, karena mereka

3
telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya). Teks tersebut
memunculkan informasi bahwa sejumlah tanda lain telah
dikerjakan Yesus. Tanda-tanda tersebut membuat banyak
orang percaya dalam nama-Nya. Oleh karena itu, pilihan untuk
menempatkan kisah perkawinan di Kana sebagai kisah
pertama dalam pelayanan public Yesus menarik untuk
dicermati.
Sebagaimana Nazaret, Kana merupakan sebuah kota
kecil yang tak terlalu penting di wilayah Galilea. Sudah sejak
lama, nama 'Kana' diterjemahkan sebagai milik atau
kepemilikan. Sejumlah kritikus Injil menurut Yohanes
menghubungkan nama kota kecil ini dengan gagasan bahwa di
dalam Injil menurut Yohanes para murid Yesus disebut sebagai
'milik-Nya' (Yoh.1:10; 4:44; 10:1; 13:1). Di kota kecil itulah, milik
Yesus, yaitu orang-orang yang percaya di dalam nama-Nya
mulai tampak. Di dalam kisah itu pula, mereka yang berjumpa
dengan Yesus dan mengikuti-Nya disebut sebagai murid.
Dengan demikian, orang-orang yang menjadi milik Yesus mulai
tampil dalam kebersamaan dalam peristiwa Kana tersebut.
Di dalam kisah tersebut, salah satu ungkapan yang
menarik untuk dicermati adalah jawaban yang diberikan oleh
Yesus ketika diminta berbuat sesuatu oleh Maria, bunda-Nya.
Yesus menjawab, Saat-Ku belum tiba (Yoh.2:4b). Seorang
kritikus, H. Ridderbos (The Gospel of John. A Theological
Commentary. Grand Rapids: W.B. Eerdmans Publishing
Company. 1997. hlm. 106) memahami kata 'saat' itu sebagai
permulaan karya public Yesus. Dalam pemahamannya, 'belum
tiba saat-Nya bagi Yesus' adalah belum saatnya bagi Yesus
untuk mulai menampakkan kemuliaan-Nya dalam tanda-tanda
dan karya pengajaran-Nya. Saat itu masih harus dinantikan,
bahkan juga dinantikan oleh Yesus sendiri. Yang dikerjakan-
4
Nya saat itu bukanlah kehendak-Nya sendiri. Ia pun harus
menantikan saat yang disediakan bagi-Nya oleh Allah Bapa
yang mengutus-Nya. Ketaatan seperti itu menjadi karakter
tipikal Yesus dan menjadi kesadaran diri Yesus akan martabat-
Nya sebagai Mesias, Anak Allah.
Jika boleh membuat semacam parallel atau kesejajaran
dengan peristiwa Kana, peringatan 30 tahun Fermentum bisa
memiliki sejumlah butir permenungan yang sejajar dengan
pelayanan publik perdana Yesus itu. Pertama, memang kurun
waktu 30 tahun telah menorehkan sejumlah tanda yang
membuat orang percaya pada Fermentum sebagai persemaian
benih-benih panggilan untuk calon imam diosesan Keuskupan
Bandung (yang kemudian berkembang untuk sejumlah calon
imam diosesan Regio Papua). Kedua, sebagaimana nama 'Kana'
mengisyaratkan adanya orang-orang yang menjadi 'milik'
Kristus, demikian pula, setiap pribadi yang pernah, sedang, dan
akan hidup di Fermentum menjadi 'milik' Kristus, menjadi
murid-murid-Nya. Diharapkan, pada usia 30 tahun ini, para
murid Kristus ini semakin sanggup tampil dan memberi
kontribusi nyata bagi Gereja di Keuskupan Bandung serta
Gereja semesta. Ketiga, karakteristik Yesus dalam
melaksanakan pelayanan publik-Nya pertama diharapkan juga
menjadi karakteristik setiap pribadi yang hidup di Fermentum.
Karakteristik yang dimaksud adalah ketaatan pada kehendak
Allah Bapa. Dengan kesadaran untuk selalu menghayati
ketaatan semacam itu, setiap karya yang dihasilkan akan
menjadi karya Allah, bukan karya kelompok, golongan, atau
pribadi.
Ketiga butir permenungan ini kiranya bisa semakin
mewujudkan karakteristik Fermentum sebagi rumah formasi
bagi para calon imam yang membina dan menempa dirinya
5
menjadi ragi-ragi yang bergiat dalam kesenyapan demi
semakin besarnya Allah sebagaimana semboyan yang selalu
dipegang seturut teladan Santo Yohanes Pembaptis, Sang
Pelindung Fermentum, Ia harus semakin besar, tetapi aku
harus semakin kecil (Yoh.3:30)
Bandung, die 25 mensis Maii anno Domini 2017
in Ascensione Domini

6
Editorial

Wilfred Haripahlwan A. Pr
Moderator Buletin MERAGI

Tilu Puluh Taun

Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa


yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi
hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh
tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku
telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah
Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi
Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu,
supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu

7
tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-
Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu:
Kasihilah seorang akan yang lain. (Yoh 15: 14-17)
Tigapuluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi
hidup manusia, bila kita mengasumsikan usia hidup manusia
seperti yang digambarkan oleh pemazmur antara 70-80 tahun.
Maka, 30 tahun sudah lebih dari sepertiga hidup manusia
sepanjang hidupnya. Menurut Daniel Levinson dalam bukunya
yang berjudul Season's of A Man's life (1978) yang terbit setebal
363 halaman itu, memasuki usia 30 tahun (28-33 tahun) bagi
kehidupan manusia adalah memasuki masa pemantapan dan
puncak' usia dewasa awal serta masa transisi dari masa remaja
menuju masa tengah baya. Ada banyak tokoh-tokoh Kitab Suci
yang dipanggil untuk berkarya memasuki usia ini. Salah
satunya adalah pelindung Seminari Tinggi Fermentum-
Bandung Santo Yohanes Pembaptis. Ia dipanggil untuk
menyuarakan berita pertobatan pada usia 30 tahun. Kesaksian
hidup, gaya kotbah yang keras dan profetik menyuarakan
suara moral zamannya. Banyak orang datang mendengarkan
ajarannya dan menerima diri untuk dibaptis dalam pertobatan.
Sampai ia pun dipenjara dan mati sebagai martir. (Mat. 3: 1-12
dan Mat 14: 1-12)
Bagi sebuah institusi dan sebuah lembaga usia 30
terbilang belia. Akan tetapi memasuki usia itu jika dapat
bertahan dan hidup maka institusi atau lembaga akan mulai
memiliki pondasi, pola dan tradisi. Bahkan bila itu institusi dan
lembaga pendidikan akan mulai memetik hasil dan buah
pembinaannya.Tahun 2017 ini Seminari Tinggi Fermentum
memasuki usianya yang ke-30. Waktu yang cukup matang
untuk melihat kembali perjalanan sejarah demi suatu kebaikan

8
di masa mendatang. Selain itu juga memberi apresiasi akan
kehadiran Seminari Fermentum sebagai rumah pembinaan
calon imam para pemuda yang tertarik menjadi Imam
Keuskupan Bandung.
Dalam Dekrit Optatam Totius, oleh para Bapa Konsili
Vatikan II ditandaskan; Lembaga Seminari Tinggi, sebagai
gelanggang terbaik untuk pembinaan, pasti perlu ditekankan
lagi sebagai tempat yang lazim, termasuk dalam arti materiil,
bagi hidup komunitas dan hirarkis, ya, sebagai wisma yang
sesuai untuk pembinaan calon imam, dengan para
pemimpinnya, yang sungguh berdedikasi bagi pelayanan itu.
Lembaga itu di sepanjang sejarah telah membuahkan hasil yang
baik, dan tetap baik buah-hasilnya di seluruh dunia. Selama 30
tahun ini sebagai gedung bisa saja berpindah-pindah, sampai
akhirnya menetap di Seminari Fermentum di Citepus. Ada
banyak juga para pemimpin (Rektor) Seminari yang bertugas
dan memberi warna dan kebaikan dalam tugas dan
pelayanannya. Ada juga puluhan pemuda yang dengan niat
kudus dan suci menanggapi panggilan untuk menjadi Imam
bagi Keuskupan Bandung. Seminari Tinggi Fermentum ini
dirasakan sendiri bukan sekedar tempat dalam arti bangunan
saja atau sekedar masa periode hidup yang dihabiskan semasa
studi saja. Seminari Fermentum adalah sebuah komunitas
dinamis dimana kaum muda yang terpanggil untuk hidup
bersama melestarikan dalam Gereja Komunitas Rasuli yang
hidup dalam kasih. Menuju pada perutusan menjadi Imam
yang mampu menggembalakan domba-domba di
Keuskupan Bandung.
Meragi yang Anda baca saat ini merupakan suatu
upaya menandai perjalanan Seminari Tinggi Fermentum

9
Keuskupan Bandung yang telah menembus tahun demi tahun
dan memasuki tahun ke-30. Ada banyak pengalaman iman
baik itu dalam balutan manusiawi maupun tuntunan Ilahi.
Dalam edisi Meragi ini, kita akan mengalami sendiri bagaimana
buah-buah pembinaan itu mulai bertumbuh dan berguna.
Baik mereka yang menjadi imam maupun mereka yang
memutuskan jalan yang lain. Selain itu ada juga beberapa
kesaksian dari mereka yang hidup dan dekat mengalami
kehadiran Seminari Ini. Selamat membaca!

11 Juni 2017, Hari Raya Tritunggal Mahakudus

10
Daftar Isi

Sambutan - 3
Editorial - 7

Ber-formatio bersama Formator


-Paulus Tri Prasetijo Pr-
13

Menjadi Ragi Itu...


-Yustinus Hilman Pujiatmoko Pr-
20

Sikap Tanggung Jawab dan Peduli


-Paulus Wirasmohadi Soerjo Pr-
28

Menjadi Ragi
-Fabianus Muktiarso-
34

Mengenal, Dikenal, Terlibat


-Vincentius Dwi Sumarno Pr-
39

Membekas
-Antonius Haryanto Pr-
43

11
Panggilan Untuk Terlibat dan Peduli
-Michael Gratia Sekundana Pr-
48

Nemo Dat Quod Non Habet


-Stephanus Djunathan-
54

Pentingnya Kesaksian Hidup


-Yusuf Siswantara-
59

Buah Formasi di Seminari Tinggi Fermentum


-Andreas Pandu Kurniawan-
64

Kesan dan Harapan


-Aloysius Budi Santosa-
71

Fermentum Adalah Kehidupan Saya Sendiri


-Yohanes Sutyasno-
76

Seperti Air, Memberi Hidup Bagi yang Meminumnya


-Dana Ramdani-
82

12
Paulus Tri Prasetijo Pr
Ketua UNIO Keuskupan Bandung

Ber-formatio
Bersama Formator

Dalam pembinaan di seminari, seorang calon imam


tidak meniti jalan panggilannya dalam hidup kesendirian
yang tertutup. Dalam kebersamaan dengan komunitas di
seminari, baik itu sesama calon imam maupun para formator,
setiap calon imam Keuskupan Bandung mencari kehendak Roh
Kudus dalam hidup dan panggilannya. Melalui kehadiran
teman-teman sesama calon imam dan para formator, Roh
Kudus juga berbicara dalam membentuk pribadi seorang
calon imam. Kita pun mengenal beberapa formator yang telah
berjasa mendampingi para frater membentuk dirinya sesuai
dengan kehendak Roh Kudus. Salah satunya adalah, Pastor
Paulus Tri Prasetijo, Pr.

13
Jabatan Sementara
Imam Keuskupan Bandung yang ditahbiskan 19 Mei
1999 ini berkarya sebagai formator di Seminari Tinggi
Fermentum dari tahun 2003-2008. Di tahun 2002, sebenarnya
saya sudah tinggal di Fermentum karena waktu itu menjalani
tugas studi di Prodi Falsafah dan Peradaban Islam Universitas
Paramadina Jakarta, tetapi baru sekitar bulan Juli 2003 secara
resmi saya menerima SK sebagai staf formator seminari,
demikian kenang Pastor Tri yang saat ini menjadi Pastor Paroki
St. Maria Kota Bukit Indah Purwakarta sekaligus ketua UNIO
Keuskupan Bandung.
Selama menjadi formator, Pastor Tri pernah menerima
beberapa tanggung jawab, yaitu sebagai pamong studi,
pamong tingkat I atau TOR II, dan pernah pula menjadi Pejabat
Sementara Rektor Seminari Tinggi Fermentum. Saat itu rektor
sebelumnya, yaitu Romo Djoko yang adalah imam Keuskupan
Agung Semarang telah habis masa kontraknya dan 'ditarik'
kembali ke Semarang. Rektor yang baru sebenarnya sudah
ditunjuk Bapak Uskup, yaitu Pastor Didiek, tetapi karena masih
menyelesaikan studi di Roma, maka dipilihlah saya sebagai
pejabat sementara pengganti rektor seminari, tapi itu
sebenarnya juga hanya tiga bulan saja..., demikian Pastor Tri
menceritakan kronologi penunjukan dirinya sebagai Pejabat
Sementara Rektor Seminari Tinggi Fermentum kurang lebih
diantara tahun 2004-2005.
Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan sebagai
formator, Pastor Tri tidak mengerjakan tugasnya sebagai
formator dengan asal-asalan. Pada masa pendampingannya
banyak hal baik dalam pembinaan calon imam Keuskupan
Bandung di Seminari Tinggi Fermentum yang dirintis,

14
dikembangkan dan akhirnya menjadi habitus hidup bersama
antar seminaris, antar formator, dan antar formator dengan
para seminaris dalam iklim kebersamaan pembinaan para calon
imam Keuskupan Bandung di Seminari Tinggi Fermentum.
Penataan Seminari
Pastor Tri menceritakan salah satu tradisi yang
dimulai pada saat itu dan dilanjutkan sampai saat ini, adalah
terkait budaya tulis berhubungan dengan perencanaan
tertulis segala kegiatan komunitas dan beberapa hal terkait
penataan organisasi dan hal-hal administratif. Salah satu
contoh budaya tulis yang mulai dikembangkan saat itu
adalah kegiatan planning-day yang ditindak-lanjuti dengan
pembuatan buku agenda seminari pada awal semester.
Memang kegiatan planning-day sudah ada sebelum saya
datang, tetapi penyusunan buku pedoman [agenda], hal
akademis, dan tata-tertib memang belum sedetail sekarang,
bersama formator lain saya terlibat dalam penyusunan agenda
agar menjadi lebih terperinci.
Penataan segala sesuatu di seminari agar lebih
administratif juga dikembangkan Pastor Tri, misalnya dalam
hal perutusan para frater berusaha menjalankan berbagai
tugas belajar pastoral, seperti latihan khotbah di paroki,
pendampingan kelompok tertentu, perutusan frater
menjalankan TOP, dan semacamnya. Sebagai pamong studi
dan pejabat sementara rektor seminari, Pastor Tri senantiasa
melakukan koordinasi -baik secara lisan maupun tertulis
(melalui surat-menyurat resmi) dengan pastor paroki atau
penanggung jawab karya tertentu tempat para frater
dititipkan untuk melakukan perutusan belajar pastoral. Di sisi
lain Pastor Tri juga menyampaikan penugasan secara lisan dan

15
tertulis pula kepada frater yang bersangkutan, membimbing
para frater lewat refleksi tertulis dan wawancara berkala,
merencanakan waktu untuk sharing tugas belajar pastoral dan
tak lupa meminta evaluasi kepada pastor paroki atau
penanggung jawab karya dimana para frater ditugaskan.
Pada zaman saya, perutusan frater TOP (tahun
orientasi pastoral) adalah program kampus. Namun menurut
saya, meski program kampus, pihak seminari perlu juga
melakukan koordinasi dengan pastor paroki atau penanggung
jawab karya tempat para frater ditugaskan. Maka saya kira
tetap perlu ada SK dari seminari untuk frater yang
bersangkutan, surat resmi kepada pihak penanggung jawab
tempat karya dan juga permintaan evaluasi dan rekomendasi
tertulis atas frater yang ditugaskan dari penanggung jawab
karya yang bersangkutan..., demikian Pastor Tri menjelaskan.
Pastor Tri berharap semoga apa yang diberikan di seminari dan
pengalaman pastoral yang difasilitasi seminari melengkapi apa
yang tidak diberikan di kampus.
Berkaitan dengan pengalamannya sebagai pamong
TOR II atau tingkat I, Pastor Tri selalu mengusahakan kedekatan
dengan para frater yang didampinginya, dengan terlibat
langsung dalam berbagai aktivitas bersama para frater. Saya
kadang keras, kadang juga dapat mendekat seperti teman.
Dalam acara-acara bersama, entah makan bersama di unit,
opera, atau sekedar nimbrung ngobrol dengan para frater, saya
berusaha hadir dan terlibat bersama para frater yang saya
dampingi. Misalnya, dalam kegiatan opera sore, selain
bermaksud memberikan keteladanan, kesempatan ini juga
menjadi sarana bagi saya untuk 'mengingatkan' jika ada frater
yang masih tidur dan tidak ikut bekerja bersama..., demikian
Pastor Tri menceritakan.
16
Selain itu, Pastor Tri juga memiliki perhatian pada jam
yang hilang dalam dinamika keseharian para seminaris.
Maksud saya adalah adanya waktu yang hilang dalam arti
tidak digunakan dengan baik. Waktu itu adalah pada sore hari
jam lima sampai jam enam. Jadi, para seminaris selesai
berkegiatan jam lima dan akan mulai lagi pada jam enam.
Waktu satu jam itu terasa hilang. Menyiasati jam yang
hilang itu, Pastor Tri mewajibkan para frater untuk mengisinya
dengan studi atau bacaan rohani. Entah bagaimana caranya,
saya mewajibkan para frater pukul lima sore sudah siap untuk
studi atau bacaan rohani. Siap dalam arti sudah mandi dan
sudah siap untuk belajar dan membaca dalam suasana
silentium. Akhirnya, sebagai pamong, Pastor Tri juga tidak
lupa membimbing melalui refleksi-refleksi yang ditulis oleh para
frater. Saya juga membaca buku refleksi harian para frater,
memberi komentar, membimbing mereka lewat wawancara
berdasarkan buku refleksi tersebut atau refleksi triwulan yang
mereka buat. Dan di akhir tahun akademik, saya memberikan
rekomendasi.
Formasi sebagai Kesempatan Emas
Makna formatio, bagi Pastor Tri, masa-masa pembinaan
di seminari adalah kesempatan emas untuk membentuk diri
yang tidak didapatkan oleh semua pemuda pada umumnya.
Pastor Tri mengatakan, Proses pembinaan di seminari adalah
masa-masa yang sangat berharga. Di sisi lain para frater,
bagaimanapun juga adalah anak-anak pada zamannya yang
memiliki kehendak untuk menjadi imam. Oleh karena itu, saya
berharap mereka dapat diberi kesempatan untuk menjalani
pendidikan di seminari. Jika dalam perjalanannya, ada yang
mengundurkan diri, saya kira hal itu adalah wajar. Namun
menurut saya jika si frater, selama proses pembinaan di
17
seminari selalu menjalani dinamika formatio dengan
bersungguh-sungguh, segala sesuatu yang ia peroleh di
seminari pasti menjadi bekal yang berharga bagi hidupnya
meski ia tidak menjadi imam.
Ketika ditanya tentang harapan Pastor Tri bagi para
frater saat ini, Pastor Tri hanya berpesan sederhana agar para
frater mengerjakan apa yang seharusnya dijalankan. Semakin
ke depan Keuskupan Bandung membutuhkan semakin banyak
imam. Saya berharap para frater dapat menyiapkan diri untuk
menjadi imam yang dapat menjawab kebutuhan keuskupan
dan dapat menjadi imam yang cepat beradaptasi dengan
segala situasi yang dihadapi. Ketika kita menjadi imam, adalah
pilihan bebas kita untuk menjadi imam seperti apa. Apakah
menjadi imam yang sombong, otoriter atau imam yang
senantiasa mengayomi dan merangkul umat adalah pilihan
kita. Oleh karena itu, saya berharap para frater mengerjakan
saja apa yang harus dikerjakan untuk menjawab kerinduan dan
harapan umat Keuskupan Bandung.

fr. Thomas Andre Purtranto Nursantosa


dan fr. Kleopas Sondegau
(fratres tingkat V)

18
Saya harap para frater dapat menyiapkan diri
untuk menjadi imam yang dapat menjawab
kebutuhan Keuskupan

-Paulus Tri Prasetijo Pr-

19
Yustinus Hilman Pujiatmoko Pr
Vikaris Jenderal Keuskupan Bandung

Menjadi Ragi Itu...

Pastor Yustinus Hilman Pujiatmoko adalah seorang


Imam Diosesan Keuskupan Bandung yang ditahbiskan pada
tahun 1996 oleh Mgr. Alexander Djajasiswaja. Setelah
ditahbiskan menjadi imam, Pastor Hilman telah berkarya di
beberapa paroki di Keuskupan Bandung. Hingga akhirnya, ia
mendapatkan penugasan untuk menjadi salah satu staf
formator di Seminari Tinggi Fermentum.

Pengalaman Menjadi Formator


Sejak bulan Juni 2000 hingga Juni 2006, Pastor Hilman
menjalani masa karyanya sebagai staf formator di Seminari
Tinggi Fermentum. Pada tahun pertamanya di Fermentum,
Pastor Hilman bertugas menjadi Direktur TOR (Tahun
Orientasi Rohani). Sebagai Direktur TOR, Pastor Hilman

20
menjadi pembimbing bagi para frater yang baru masuk ke
Fermentum. Untuk bisa mendampingi para frater dengan
baik, Pastor Hilman dibekali dengan kursus formator di
Filipina pada tahun 2001 sampai 2002 dan juga di Italia selama
dua bulan pada tahun 2004.
Dalam menjalani hidupnya sebagai seorang imam,
Pastor Hilman tidak menyangka akan mendapatkan
kesempatan untuk menjadi salah satu formator di Seminari
Tinggi Fermentum. Salah satu alasan bahwa Pastor Hilman
ditunjuk untuk menjadi staf formator di Seminari Tinggi
Fermentum adalah atas rekomendasi dari Pastor Djoko, imam
Keuskupan Agung Semarang yang waktu itu merupakan
Rektor Seminari Tinggi Fermentum. Mendapatkan tugas
sebagai staf formator di Seminari, yang biasanya tidak disukai
para imam, Pastor Hilman tetap merasa siap dan tidak kaget.
Karena Pastor Hilman menyadari bahwa beliau harus taat
dengan penugasan yang diberikan oleh Uskup. Oleh karena
itu, Pastor Hilman membangun sikap taat, siap, dan fleksibel
sehingga dapat menerima dengan ketulusan hati atas
berbagai tugas yang diberikan kepadanya.
Situasi Seminari Tinggi Fermentum ketika Pastor
Hilman menjadi formator waktu itu sudah lebih baik.
Pendidikan formasi sudah semakin berkembang. Sarana-
prasarana yang ada pun sudah baik dan sangat membantu
para frater untuk menjalani dinamika hidupnya sehari-hari.
Semua ini tidak terlepas dari jasa Pastor Djoko yang waktu itu
adalah Rektor Seminari Tinggi Fermentum. Akan tetapi,
karena pada waktu itu jumlah para frater atau seminaris
sangatlah banyak dan formator hanya dua orang, proses
pembinaan pun dilakukan secara apa adanya.

21
Pada akhirnya, memang ada beberapa hal yang
terasa kurang pas dalam pembinaan para frater. Akan tetapi,
bagi Pastor Hilman para formator waktu itu sudah berusaha
dengan seluruh kemampuannya dalam proses pembinaan
dan terutama bisa hadir dan memberikan hati untuk para
frater. Mereka selalu hadir serta ada bagi para frater sebagai
saudara, sahabat, dan kakak. Mereka tidak menganggap diri
sebagai pemimpin yang otoriter yang mengawasi dan
mengatur para frater dalam segala aspek. Mereka terbuka
kepada para frater dan memberikan banyak kesempatan
bagi para frater mengembangkan diri mereka dalam kelima
aspek hidup formasi. Akan tetapi, terkadang para formator
juga harus bersikap seperti bapak, yang berarti bersikap
tegas kepada para frater ketika ada sesuatu yang tidak pas
dalam kehidupan mereka.
Dalam pengalamannya membimbing para frater,
Pastor Hilman menyampaikan bahwa Seminari tidak
membutuhkan calon-calon imam yang cerdas. Pastor Hilman
menginginkan para calon yang siap dan berani dibentuk
sesuai dengan visi-misi dari Seminari Tingg Fermentum. Para
frater juga diharapkan bisa mengembangkan kelima aspek
hidup yang menjadi daya hidupnya sebagai seorang calon
imam, yaitu kerohanian, kepribadian, intelektual, pastoral,
dan hidup komunitas. Aspek kerohanian dan kepribadian
menjadi pembinaan dasar yang perlu ditekankan, karena
kedua aspek tersebut menjadi kunci untuk bisa menjadi
seorang imam yang baik dan bijaksana. Akan tetapi, Pastor
Hilman merasa bahwa para frater seringkali mengalami
salah pengolahan. Ini akan tampak ketika para frater yang
selama masa TOR digembleng dalam hal kerohanian dan

22
kepribadian, pada akhirnya ketika masuk di formasi di
Seminari Tinggi mereka lebih berfokus dengan hidup studi
dan pastoral mereka. Dengan pengalaman ini, Pastor Hilman
berharap bahwa kebiasaan hidup rohani dan pengolahan
kepribadian yang telah dibina dalam masa TOR harus
dikembangkan dan dilanjutkan. Hidup rohani dan
pengolahan kepribadian adalah penting bagi para calon-
imam dan imam karena akan sangat membantu untuk dapat
menjadi seorang imam yang baik dan bijaksana.
Target dan sasaran pembinaan dalam formatio di
Seminari Tinggi Fermentum adalah Seminaris mempunyai
dasar hidup rohani, kepribadian dan intelektual, pastoral,
dan komunitas yang matang sehingga siap menghayati
panggilannya sebagai calon imam diosesan Keuskupang
Bandung. Guna mencapai Visi ini, maka dalam pembinaan
di seminari Tinggi Fermentum menekankan dan
berkomitmen mengembangkan hidup spiritualitas yang baik
dengan menemukan panggilan Allah secara personal dalam
formatio, mengolah hidup rohani dan kepribadian dengan
sikap terbuka kepada diri sendiri dan sesama, membangun
hidup komunitas yang sehat dan wajar bersama anggota
komunitas lainnya. Selain itu, para seminaris juga
diharapkan harus mengenal masyarakat di Keuskupan
Bandung dan kebudayaan lokal. Oleh karena itu, para frater
diberi kesempatan untuk berpastoral di paroki-paroki,
kelompok-kelompok kategorial, dan terlibat dalam
kegiatan-kegiatan RT-RW serta kegiatan lainnya. Selain itu,
para frater juga diharapkan membangun semangat hidup
studi.

23
Bisa Menjadi Ragi
Berkaitan dengan semangat ragi yang menjadi
spiritualitas bagi para frater di Seminari Tinggi Fermentum,
Pastor Hilman mengatakan Ragi itu kecil dan tidak bisa
sendiri, ragi akan memberikan kebaikan ketika bersama-
sama. Melalui perkataan ini, Pastor Hilman ingin
menyampaikan bahwa komunitas menjadi kekuatan dan
daya bagi mereka yang terpanggil untuk bisa menjalani
panggilannya dengan baik. Selama membina para frater di
Seminari, Pastor Hilman melihat bahwa komunitas berperan
besar bagi perkembangan seorang frater. Oleh karena itu,
sungguh para frater diharapkan bisa menjadi ragi untuk
komunitasnya. Artinya, para frater bisa hidup dalam satu
komunitas dengan baik, tidak menghitung-hitung soal
untung-rugi, dan bisa peka pada situasi masing-masing
individu. Para frater diharapkan bisa menjadi ragi yang
senantiasa bisa berkembang bersama komunitasnya dan
merasa bahagia tinggal di dalam komunitas tersebut.

Dalam pengalamannya membina para frater, Pastor


Hilman melihat bahwa dengan bisa menjadi ragi bagi
komunitas, para frater bisa membawa semangat ragi itu bagi
orang-orang di luar sana. Ketika para frater bisa menghidupi
dan mewujud-nyatakan semangat ragi itu di dalam
komunitas Fermentum, para frater pun bisa menjadi ragi
yang senantiasa bisa mengembangkan kebaikan bagi umat
dalam tugas pastoralnya. Bagi Pastor Hilman, ragi akan
memberikan dampak yang bagus. Oleh karena itu,
semangat ini perlu dihidupi dengan baik di komunitas
Fermentum dan akhirnya, nanti juga bisa dihidupi dan
diwujud-nyatakan dalam karya pastoral bersama umat.

24
Pastor Hilman telah merasakan bagaimana semangat
ragi yang telah dihidupinya selama menjadi formator di
Seminari, juga sangat baik untuk dibagikan kepada umat.
Semangat ragi ini menjadi salah satu nilai yang dibawa oleh
Pastor Hilman untuk dibagikan kepada umat ketika beliau
bertugas di Paroki ataupun sekarang ketika menjadi Vikaris
Jenderal (Vikjen) Keuskupan Bandung. Selain itu, nilai lain
yang selalu dibawa oleh Pastor Hilman yang telah beliau
dapatkan selama di Seminari adalah mengenai hidup doa
dan pembentukan kepribadian. Berkaitan dengan hidup
doa, Pastor Hilman berpesan bahwa setiap frater perlu
memiliki hidup doa yang baik dan memiliki model doa yang
sesuai dengan karakter. Hidup doa ini menjadi penting
karena apa yang menjadi keunggulan seorang imam adalah
kehidupan rohaninya.

Pastor Hilman bercerita bahwa doa rosario menjadi


doa yang cocok bagi karakternya. Dan doa ini pun memberi
efek kebaikan bagi Pastor Hilman. Oleh karena itu, Pastor
Hilman pun selalu membagikan nilai hidup doa ini supaya
umat pun sadar bahwa doa akan memberikan banyak hal
positif bagi hidupnya. Selain itu, pembentukan kepribadian
juga menjadi salah satu hal yang selalu dilakukan oleh Pastor
Hilman. Pembentukan kepribadian ini dilakukan agar Pastor
Hilman bisa membentuk dirinya menjadi lebih baik sehingga
bisa melayani umat dengan baik pula. Meskipun sudah
menjadi imam, pembentukan kepribadian ini harus terus
diolah agar bisa menjadi pribadi yang semakin utuh dan
akhirnya bisa menjadi seorang imam yang matang, bijak,
dan dewasa.

25
Perlu Diingat
Di sela-sela wawancara dengan Pastor Hilman, beliau
mengungkapkan satu kalimat yang sangat berarti dan
bermakna bagi para calon imam dan imam dalam
pelayanannya, yakni jangan memanfaatkan status frater atau
imam untuk mencari kepentingan pribadi atau kata kasarnya
memperkaya diri. Kita dipilih dan dipanggil untuk melayani
secara total dan lepas bebas. Tidak tergantung kepada apa
dan siapapun. Bila dalam pelayanan kita tidak lepas bebas
maka pasti kita akan mengalami kesulitan dalam pelayanan
karena kita terikat dengan barang atau orang tertentu.
Untuk itu, dalam menerima atau menolak tawaran-tawaran
duniawi dari umat harus melalui discernment yang mendalam
agar barang-barang yang kita terima tidak mengikat kita
dalam pelayanan pastoral dan panggilan hidup kita sebagai
gembala yang melayani kepada siapa saja tanpa
membedakan golongan, ras, suku, maupun status sosialnya.
Seorang pelayan harus bisa menjadi seperti ragi yang
memberikan dirinya untuk mengembangkan tempat dimana
dia berkarya.

fr. Eduardus Krisna Pamungkas


dan fr. Hubertus Magai
(frater tingkat II dan tingkat V)

26
Ragi itu kecil dan tidak bisa sendiri, ragi akan
memberikan kebaikan ketika bersama-sama

-Yustinus Hilman Pujiatmoko Pr-

27
Paulus Wirasmohadi Soerjo Pr
Vikaris Yudisial Keuskupan Bandung

Sikap Tanggung Jawab


dan Peduli
Pengalaman atas pembinaan yang dirasakan oleh
Pastor Wirasmohadi Soerjo Pr, yang akrab dipanggil Pastor
Didiek, selama di Seminari Tinggi Fermentum adalah tentang
pengalaman akan tanggung jawab dan peduli. Pengalaman
selama menjalani formatio (pembinaan) di seminari menjadi
waktu yang baik untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Dalam proses formatio untuk menanggapi panggilan Tuhan
ada satu keyakinan yang harus dipegang, yaitu bahwa Tuhan
yang memilih itu tidak pernah salah. Kalau sudah dipilih saya
harus mempertanggungjawabkannya. Tanggung jawab
maksudnya adalah usaha maksimal dan tidak tergantung
pada formator. Usaha itu bukan datang oleh dari orang lain,
tetapi berasal dari diri sendiri. Dalam hal ini bukan karena
faktor eksternal yang membuat saya memiliki sikap tanggung
jawab, melainkan karena faktor internal. Tanggung jawab
28
atas panggilan Tuhan bukan tumbuh karena formator tetapi
diri sendiri. Pada waktu itu, walaupun ada rektor tetapi peran
yang dimiliki sebagai rektor di seminari masih kurang. Tugas
rektor di seminari hanya memimpin ekaristi dan pertemuan.
Selain kegiatan tersebut tugasnya tidak ada. Pada saat itu
saya merasakan tidak ada bimbingan dari formator. Oleh
karena keadaan yang terjadi di seminari seperti itu, maka
haruslah ada kedisiplinan hidup yang ditumbuhkan dalam
diri. Pengingatnya pun adalah diri sendiri. Dalam hal ini,
bimbingan rohani merupakan tanggung jawab pribadi tanpa
diminta oleh seminari.
Pengalaman soal tanggung jawab inilah yang
membuat pribadi semakin mandiri. Bukan hanya soal
kerohanian saja, yang terus menerus dibangun, tetapi juga soal
kepribadian. Mandiri dalam hal kepribadian tersebut
berurusan dengan bimbingan psikologi. Tanggung jawab
untuk bimbingan kerohanian dan kepribadian juga selalu
berjalan dengan rutin tanpa diminta oleh orang lain. Pastor
Didiek menegaskan alam belajar atau hidup studi pun saya
juga merasakan bahwa saya bertanggung jawab untuk mandiri
dalam mempersiapkan proses belajar saya.
Belajar dimengerti bukan hanya untuk kuliah saja,
tetapi lebih jauh lagi yaitu terkait dengan belajar untuk hidup.
Tanggung jawab belajar dalam diri saya dimulai dari budaya
membaca. Pengalaman-pengalaman yang saya alami itu
dapat sungguh berjalan dengan baik karena penghayatan
saya tentang sikap untuk bertanggung jawab atas panggilan
Tuhan ini. Prinsip utama dari proses formatio saya saat itu,
bahwa melalui tanggung jawab yang saya usahakan selama
proses formatio akan memberikan motivasi diri untuk
mengusahakan yang terbaik. Berdasarkan pengalaman-

29
pengalaman yang telah saya lalui, saya merasakan bahwa
hidup panggilan ini bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi
lebih juga dapat berguna bagi orang lain dan saya dapat
memuliakan Tuhan.
Pengalaman akan tanggung jawab yang sudah
dipupuk di seminari tinggi ternyata terasa sampai menjadi
seorang imam. Keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki
diusahakan untuk dapat membantu umat dan rekan imam.
Seperti dalam hidup bersama rekan imam, hubungan yang
dibangun bukan berdasarkan jabatan yang melekat tetapi
berdasarkan panggilan yang sama dari Tuhan. Oleh karena itu
menjadi mudah untuk berkomunikasi dengan rekan imam.
Bukan hanya sikap tanggung jawab yang terbangun
tetapi juga sikap peduli terhadap orang lain. Sikap peduli
tumbuh berawal dari situasi yang ada pada saat menjalani
formatio. Pada saya menjalani masa pendidikan yang dijalani
saat seminari tinggi, waktu itu romo rektor tinggal di paroki.
Oleh karena itu, tahap untuk menumbuhkan sikap peduli
atau empati dilakukan bersama dengan sesama frater. Pastor
Didiek juga mengatakan bahwa saat ini formator sungguh
ditempatkan di seminari sehingga para formator dapat
membantu para frater untuk semakin belajar bertanggung
jawab atas panggilannya.
Sikap peduli menurut Pastor Didiek adalah
menunjukkan hati kepada orang lain. Orang lain yang
dimaksudkan adalah Gereja. Sikap kepedulian juga dapat
ditunjukkan dalam sikap ketaatan. Ketaatan ditunjukkan
dengan tidak mengeluh atau menyalahkan orang lain. Dalam
situasi apapun walaupun itu situasi yang tidak menyenangkan
atau menguntungkan pun jangan mengeluh atau

30
menyalahkan orang lain. Dalam hal ini perlu adanya
kesadaran bahwa dalam setiap pengalaman yang terjadi pasti
ada rahmat Tuhan yang tersimpan di dalamnya.
Sikap tangung jawab membuat Pastor Didiek sadar
akan identitasnya sebagai seorang pelayan rohani. Dengan
mengerti akan identitas maka akan mengerti tugas yang ada.
Pastor Didiek menyadari bahwa tugasnya adalah mengajak
umat kedalam iman. Lebih jelasnya adalah membantu umat
melihat sisi rohani dari pengalaman yang dialami. Hal ini
bukan merendahkan umat yang ada tetapi terkadang umat
kesulitan untuk menemukan apa yang diharapkan dari
peristiwa yang terjadi tersebut. Oleh karenanya menjadi
seorang pastor adalah untuk membawa dan membantu umat
beriman semakin dapat menggali makna dari setiap
pengalaman yang didapatkan.
Dalam kehidupan kehidupan yang telah dijalani
hingga saat ini Pastor Didiek lebih bisa bersyukur. Rasa syukur
tersebut nampak pada sikap untuk lebih mudah meminta
maaf daripada menyalahkan. Rasa untuk bersyukur muncul
dari penyadaran akan pengalaman kekurangan, seperti
contohnya Pastor Didiek tidak canggung untuk meminta
maaf kepada umat apabila berbuat salah. Pastor Didiek tidak
merasa gengsi atas sikap dan keputusan yang dilakukan itu.
Proses pembinaan yang telah dialami oleh Pastor
Didiek di Seminari Tinggi Fermentum menjadi cara dan waktu
baginya untuk dapat menjadi pribadi yang sungguh
bertanggung jawab dan peduli atas panggilan yang dijalani
dan pelayanan yang baik kepada orang lain. Kedua hal itu
yang tumbuh dalam proses formatio selama di Fementum.
Kedua sikap tersebut membantu Pastor Didiek dalam

31
menjalani panggilan menjadi imam dan dalam pelayanan
kepada umat. Dengan sikap bertanggung jawab dan peduli
setiap orang dapat menjadi ragi yang nyata bagi setiap orang
yang ada di dekatnya.

fr. Krisostomus Ade Satria Yuda Andika


(frater tingkat II)

32
Dengan sikap bertanggung jawab dan peduli
setiap orang dapat menjadi ragi yang nyata
bagi setiap orang yang ada di dekatnya.

-Paulus Wirasmohadi Soerjo Pr-

33
Fabianus Muktiyarso Pr
Pastor Paroki Hati Tak Bernoda
Santa Perawan Maria, Bandung

Menjadi Ragi:
Terlibat dan Mengakar
Membangun spiritualitas ragi dalam diri seorang
imam sangat dipengaruhi oleh proses dan iklim pembinaan
calon imam di seminari. Itulah yang dirasakan oleh Pastor
Fabianus Muktiyarso, imam diosesan Keuskupan Bandung
yang kini menjabat sebagai Pastor Paroki Hati Tak Bernoda
Santa Perawan Maria, Buah Batu, Bandung. Ketika memasuki
Tahun Orientasi Rohani tahun 1993, Pastor Abi tinggal di
seminari yang beralamat di Jl. Jawa, Bandung. Di situ para
frater terlibat aktif dalam kegiatan Lingkungan V Paroki St.
Petrus Katedral. Selain frater, ada juga beberapa suster dan
mahasiswa yang terlibat di sana. Selain aktif di Lingkungan,
para frater juga sering mengikuti kegiatan Forum Komunikasi
Rohaniwan Biarawan/wati (FKRB), aksi panggilan, aksi sosial,
dan kegiatan lainnya.

34
Setelah menempati bangunan seminari yang baru
berlokasi di Citepus, keterlibatan para frater dengan dunia
luar tetap berlanjut. Setidaknya ada dua faktor yang
berpengaruh besar terhadap keterlibatan para frater
tersebut. Pertama, kebijakan staf dan iklim pembinaan di
seminari. Menurut Pastor Abi, para frater diberi keleluasaan
untuk terlibat aktif dalam kegiatan di luar seminari, baik itu
pastoral mendampingi kelompok kategorial maupun
berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Kami dibebaskan
untuk memilih sendiri kelompok kategorial mana yang ingin
kami dampingi, ungkap Pastor kelahiran 16 Oktober 1972 ini.
Kedua, lokasi dan desain bangunan seminari. Lokasi Seminari
Tinggi Fermentum di Citepus sangat dekat dengan
permukiman warga. Desainnya pun dirancang sedemikian
rupa agar memungkinkan adanya relasi dan interaksi dengan
masyarakat sekitar. Salah satu contohnya adalah kegiatan
Bimbingan Belajar (Bimbel) untuk anak-anak yang tinggal di
sekitar seminari. Kegiatan lainnya adalah olah raga bersama.
Awalnya bisa hampir setiap hari, tapi lama-lama dikurangi
menjadi setiap Rabu dan Minggu saja, kenang Pastor Abi.
Kegiatan Bimbel setiap Minggu pagi dan olah raga bersama
masyarakat setiap Rabu dan Minggu sore ini tetap ada hingga
saat ini.
Diimbangi dengan Kegiatan Internal
Pastor Abi menuturkan bahwa sempat ada
perubahan kebijakan di seminari yang memberi tekanan
berbeda dalam pembinaan calon imam. Yang ditekankan
adalah pengolahan diri secara lebih mendalam, sedangkan
sebelumnya lebih ditekankan inisiatif untuk menemukan
karyanya sendiri, ujar Pastor yang ditahbiskan menjadi imam
tanggal 2 Mei 2001 ini. Para frater diingatkan untuk menjaga

35
keseimbangan antara hidup batin dan aktivitas, antara hidup
komunitas di seminari dan karya pelayanan di luar seminari.
Keseimbangan ini perlu agar para frater tidak terjebak dalam
aktivitas dan karya pelayanan sehingga mengabaikan fondasi
hidup panggilannya.
Salah satu fondasi panggilan yang juga tak boleh
dilupakan adalah keluarga. Karena itu keterlibatan keluarga
dalam kegiatan seminari mulai ditingkatkan. Berbagai
kegiatan, seperti kunjungan keluarga, diadakan agar antara
komunitas Seminari Tinggi Fermentum dan keluarga dari tiap-
tiap anggota komunitas dapat lebih saling mengenal. Selain itu,
ikatan kekeluargaan ini dapat menghindarkan para frater dari
relasi tidak sehat seperti memiliki orang tua angkat dari
kalangan umat yang sering memberi bantuan kepada para
frater, terutama dalam hal materiil.
Terus Mencari, Tidak Membatasi Diri
Pengalaman ketika menjadi seminaris dengan segala
dinamikanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan kelak
menjadi seorang imam. Dari pengalamannya menjadi ragi
bagi umat dan masyarakat yang diperoleh ketika masih
menjadi frater, Pastor Abi merasakan buah-buahnya hingga
kini menjadi seorang imam. Salah satu nilai yang masih saya
pegang adalah berusaha untuk selalu mencari, tidak
membatasi diri pada satu hal saja. ungkapnya. Pastor yang
pernah berkarya di Paroki St. Paulus, Moh. Toha, Paroki Salib
Suci, Kamuning, Paroki St. Mikael, Indramayu, dan Paroki Hati
Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buah Batu ini berpendapat
bahwa seorang imam harus mau terus belajar, mampu
menerima kekurangan diri dan tidak hanya menonjolkan
kelebihannya saja.

36
Membangun spiritualitas ragi, terutama di tengah
masyarakat Jawa Barat, memiliki tantangan tersendiri.
Menurut Pastor Abi, tantangan paling besar adalah perbedaan
budaya. Pastor yang kini menjadi Ketua Komisi Keadilan dan
Perdamaian di Keuskupan Bandung ini mencontohkan kendala
bahasa ketika berinteraksi dengan masyarakat. Waktu itu
mayoritas seminaris berasal dari Jawa Tengah dan sehari-hari
menggunakan Bahasa Jawa, padahal masyarakat terbiasa
berbahasa Sunda, ujarnya. Banyak umat Katolik di Keuskupan
Bandung tidak terlalu akrab dengan budaya Sunda, sementara
orang Sunda yang Katolik sangat sedikit. Bagi Pastor Abi,
kondisi ini merupakan kendala sekaligus tantangan untuk
menjadi ragi, yaitu terbuka dan mau belajar, terutama untuk
keperluan dialog. Baik jika ada orang yang studi tentang sosio-
antropologi agar kita bisa lebih mengakar pada budaya lokal,
harapnya.

fr. Aloysius Wahyu Endro Suseno


dan fr. Meky Mulait
(fratres tingkat V)

37
Salah satu nilai yang masih saya pegang adalah
berusaha untuk selalu mencari, tidak membatasi
diri pada satu hal saja

-Fabianus Muktiyarso Pr-

38
Vincentius Dwi Sumarno Pr
Ketua Komisi Kateketik
Keuskupan Bandung

Mengenal, Dikenal,
Terlibat
Pastor Vincentius Dwi Sumarno Pr atau yang kerap
dipanggil Romo Dwi ini mempunyai pengalaman yang
sunggguh berharga atas proses pembinaan yang telah
dialaminya selama di Fermentum. Pastor Dwi saat ini bertugas
sebagai ketua Komisi Kateketik Keuskupan Bandung. Pastor
yang ditahbiskan pada tanggal 22 Januari 2008 merasakan,
bahwa pengalaman-pengalaman sederhana yang dialami
selama proses pembinaan di Fermentum sungguh menjadi
ruang dan kesempatan untuk dapat menumbuhkan dan
membina persaudaraan yang baik sebagai orang-orang yang
sedang meniti jalan panggilan Tuhan. Pengalaman-
pengalaman sederhana yang telah dialami merupakan
kesempatan untuk dapat melihat makna dan jalan untuk
membina diri atas ritme hidup harian yang sedang dialami.
Dalam hal ini, Pastor Dwi sungguh merasakan bahwa ritme
harian yang sedang dijalani sungguh membawanya untuk

39
dapat peka dan tahu situasi yang sedang terjadi di
dalam hidupnya. Selama pendidikan di Fermentum, Pastor
Dwi merasakan bahwa melalui pengalaman-pengalaman
sederhana yang telah dialami itu ada banyak pelajaran
berharga yang didapatkannya. Makna atas hidup panggilan
yang dialaminya pun dapat dirasakan melalui usaha untuk
dapat mencecap kehidupan harian sebagai waktu berahmat
untuk merasakan sapaan Tuhan.
Pastor Dwi merasakan bahwa kebersamaan yang
tercipta di masing-masing unit menjadi waktu yang baik
untuk semakin mengenal satu dengan yang lainnya.
Kebersamaan yang tercipta pada waktu itu semakin dapat
berjalan dengan baik ketika ada kegiatan untuk masak per
unit, yang dilaksanakan pada hari Rabu. Selain dapat
membangun kebersamaan yang baik sebagai satu anggota
unit, kegiatan masak per unit ini juga dapat menjadi waktu
yang baik untuk dapat mengenal warga sekitar. Karena ketika
masak unit para frater pasti harus belanja kebutuhan untuk
memasak, dan yang dituju adalah warung-warung yang ada
di sekitaran Fermentum. Kegiatan belanja itu dapat menjadi
sarana untuk dapat mengenal warga beserta kehidupan yang
dialami oleh warga yang ada di sekitar Fermentum. Selain itu,
kegiatan belanja kebutuhan masak per unit ini juga
memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat
mengenal para frater Fermentum. Oleh karenanya bagi Pastor
Dwi, kegiatan masak per unit dan belanja kebutuhan
memasaka menjadi waktu yang baik untuk dapat mengenal
dan dikenal oleh warga sekitar. Sehingga para frater dapat
ikut melihat dan ikut ambil bagian dalam pergumulan hidup
harian warga.
Dalam segenap tugas penggembalaan yang
dijalankannya sebagai imam diosesan Keuskupan Bandung,
Pastor Dwi juga senantiasa menempatkan nilai kemandirian
dan pelayanan penuh dedikasi. Agar pelayanan yang

40
dijalankan sungguh dapat berguna bagi setiap orang
yang dilayaninya. Karena menurut Pastor Dwi segala
pelayanan yang dilakukannya bagi umat beriman dan
masyarakat yang ada di sekitarnya merupakan sarana untuk
hadir dan menjadi berkat bagi orang-orang yang dilayaninya.
Pelayanan penuh dedikasi ini sungguh menjadi jiwa dari setiap
tugas pelayanan yang terus diupayakan oleh Pastor Dwi
sampai dengan saat ini, agar orang-orang di sekitarnya
sungguh dapat merasakan kebaikan dan berkat melalui
segenap tugas pelayanan yang dilakukan oleh Pastor Dwi.
Karena bagi Pastor Dwi menjadi ragi adalah untuk terus dapat
mengenal dan ambil bagian dalam pelayanan yang dilakukan.

fr. Antonius Jonmedi Tarigan


(frater tingkat II)

41
Menjadi ragi adalah untuk terus dapat
mengenal dan ambil bagian dalam pelayanan
yang dilakukan.

-Vincentius Dwi Sumarno Pr-

42
Antonius Haryanto Pr
Sekretaris Eksekutif
Komisi Kepemudaan KWI

MEMBEKAS
Hitungan sepuluh selalu mulai dari satu dan dilanjutkan
dua. Tanaman berbuah dimulai dari biji yang ditanam.
Bangunan disusun berangkat dari pondasi. Aku seperti saat ini
menjadi deretan dan rentetan peristiwa yang terus berproses.
Mengingat kembali Seminari Tinggi Fermentum, ada banyak
kenangan yang membuatku mekar seperti adonan yang diberi
ragi. Semua diupayakan; semua diberikan yang terbaik.
Sukacita bersama membawa Seminari Tinggi Fermentum
terasa harum terpatri dalam sanubari.

43
Bangunan Jajaran Genjang Membuat tidak selalu Bujur
sangkar
Bangunan berderet rapi. Jadwal tersusun padat hasil
debat dalam rapat-rapat. Masih terbayang ruang-ruang
tempat kami berdiskusi, terkadang bercanda tanpa isi. Jadwal
harian menjadi tanggung jawab bersama yang tidak begitu
saja mengatakan sepakat tapi dibahas untuk menentukan
mufakat. Tiap-tiap semester siap lembur demi agenda yang
pantang kendur. Di saat-saat itu terbayang dan terkenang
bagaimana menjadikan diri siap dan pantas diutus menjadi
imam Keuskupan Bandung.
Masih terbayang tiap hari Rabu bergantian membuang
sampah ke arah Pasar Ciroyom. Olah raga dan rekreasi diselingi
giliran memasak untuk teman sendiri. Hidup bersama tanpa
sekat-sekat senioritas. Semua sama sebagai calon-calon imam.
Tugas-tugas bergantian semua sama semua rasa. Sepeda rusak
ketika mau berangkat kuliah tak ada rasa canggung meminjam
adik atau kakak kelas. Di sinilah aku terbuka tidak semua
simetris layaknya bujur sangkar. Fermentum seperti keluarga
yang jajaran genjang nan lentur berempati dan bersimpati.
Dalam bangunan yang ber- jajaran genjang itulah
kami belajar jujur. Suara tetangga tertidur mendengkur; harum
mie instan dari sebelah kamar pun terasa dekat. Hingga pernah
suatu kali berdoa rosario pun di kamar masing-masing. Teriakan
di bawah sampai ke ujung kamar. Ya Allah bersegeralah
menolong aku... Teriakan kesunyian memanggil teman-
teman segera berkumpul berdoa. Dalam bangunan genjang
itulah belajar peka dengan teman termasuk menahan diri
karena aku sering buat gaduh.

44
Jujur hingga kini ia mengajariku untuk selalu siap
menemani orang muda. Entah mendorong, entah menjadi
teman perjalanan ataupun menarik di depan. Bukan
membangun sekat-sekat dan bukan masa bodoh.
Hidup Beraneka
Tidur nyaman terasa terganggu setiap Sabtu sore. Pintu
samping digedor; anak-anak berteriak minta dibuka pintu
untuk bermain dan berolahraga di kompleks Fermentum.
Setiap sabtu dan minggu menjadi terasa dituntut untuk
bergaul dengan masyarakat yang beraneka. Warisan
mengurusi beasiswa sekolah anak-anak tidak mampu serta
memberi tambahan pelajaran memaksaku untuk mengenal
orang lain. Menarik, menantang, dan lebih besar membuka
mata hatiku untuk bergerak membantu.
Pernah buka bersama yang biasa diadakan di
Fermentum ditentang beberapa orang. Pernah uang beasiswa
dipinjam tidak pulang. Pernah ngobrol dan berkunjung ke
rumah sempit untuk duduk pun susah. Pernah berkunjung ke
rumah-rumah sekitar seminari entah mengurus program
beasiswa, mengucapkan lebaran ataupun sekadar ngobrol-
ngobrol. Pernah ikut hajat dan pesta rakyat. Semua membekas
dan semakin tuntas menempatkan siapa sesamaku dan
bagaimana berjalan bersama untuk hidup lebih baik.
Hidup ini beraneka. Aku merasakan indahnya keanekaan
dalam kebhinekaan. Fermentum memberiku modal penting
untuk terbiasa bergaul dan berelasi dengan sesama. Gaul ala
Fermentum memberiku skill bergaul dengan siapa pun. Semua
disatukan untuk menuju arah yang sama. Ia mengakar dan
mengakar membawaku untuk membawa orang-orang muda

45
mengalami indahnya keanekaan dalam kebhinekaan. Banyak
program-program untuk orang muda yang kuperjuangkan
saat ini merajut kebersamaan dalam perbedaan.
Candaan membawa gembira. Teguran fomator menjadi
kenangan indah memberi tantangan. Kesibukan membawa
keheningan. Tergores membekas meninggalkan luka. Luka-
luka yang menggores terlampau membahagiakan. Ragi itu
menjamur dan mendorong terus untuk berbunga, berbuah
dan menghasilkan jamur-jamur yang lain.
Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan
rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil
dan telah engkau katakan ikrar yang benar di depan banyak
saksi (1 Timotius 6: 12).
fr. Bonaventura Priyo Sutejo
dan fr. Yohanes Hario Kristo Wibowo
(frater tingkat II dan tingkat V)

46
Ragi itu menjamur dan mendorong terus
untuk berbunga, berbuah dan menghasilkan
jamur-jamur yang lain.

-Antonius Haryanto Pr-

47
Michael Gratia Sekundana Pr
Pastor Vikaris
Paroki Salib Suci, Bandung

Panggilan Untuk Terlibat


dan Peduli

Hidup para imam dan calon imam memang sudah


seharusnya menjadi ragi, baik dalam dinamika hidup umat
beriman maupun dalam masyarakat pada umumnya. Menjadi
ragi adalah suatu panggilan untuk mau terlibat dan peduli
dengan hidup umat. Hal ini sesuai dengan ajakan dari Bapa
Paus Fransiskus, yakni Gereja yang mau terlibat dan
bergelimang lumpur.

Persaudaraan di Fermentum
Perjalanan hidup panggilan saya sebagai seorang calon
imam di Keuskupan Bandung dimulai pada bulan Juli 2007.
Pada awalnya, kami seangkatan ada 4 orang. Seturut
48
berjalannya waktu, teman-teman seangkatan saya mulai
mundur dari jalan panggilan ini. Akhirnya, saya sendiri yang
masih berjuang dalam menjalani dan menghidupi panggilan ini
sampai sekarang. Hal yang paling saya ingat selama masa
pembinaan di Seminari Tinggi Fermentum adalah dinamika
hidup persaudaraan yang terjadi di sana. Fermentum
dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan para
frater memiliki kualitas perjumpaan yang intens. Hal inilah yang
mengajak saya untuk menjalin persaudaraan yang bukan
sekedar di permukaan saja, baik dengan teman angkatan
maupun teman unit.
Kesulitan yang saya hadapi adalah perihal adaptasi
dengan lingkungan yang baru. Saya sadar ada kesulitan untuk
menjalin persaudaraan dengan teman seangkatan. Saya harus
mengenal beragam latar belakang pribadi dan karakter teman-
teman seangkatan. Mungkin hal ini adalah suatu bawaan atau
warisan yang saya terima dari keluarga dan menjadi fokus
pengolahan saya, terutama selama masa Tahun Orientasi
Rohani. Saya menyadari bahwa hal ini perlu diolah dengan
serius agar tidak menjadi suatu persoalan di kemudian hari.
Akhirnya, saya mengolah hal itu melalui dinamika pembinaan
yang ada di Seminari Tinggi Fermentum. Mulai dari retret luka
batin, pengolahan kepribadian, probasi, dan emaus-an. Melalui
berbagai pengolahan itu, saya mampu mengatasi hal tersebut
sehingga sudah mulai dapat berelasi dan menjalin persaudaran
yang baik dengan teman-teman seangkatan, kakak kelas, dan
adik kelas. Saya sadar bahwa masih ada sisa-sisa pengolahan
tersebut, yakni setiap saya berada di tempat yang baru, saya
perlu waktu sejenak untuk mengenali situasi dan mulai
beradaptasi. Hal ini sangat terasa sewaktu kenaikan tingkat
dari TOR ke Seminari Tinggi, bahkan sewaktu diutus untuk

49
menjalani Tahun Orientasi Pastoral, Tahun Pastoral, dan masa
Diakonat.
Pembinaan dalam hal kepribadian dan hidup
komunitas inilah yang memampukan saya sehingga dapat
melayani dengan baik. Hasil pengolahan itu mungkin kurang
terasa sewaktu saya masih menjalani proses formatio
(pembinaan) di Seminari Tinggi Fermentum. Setelah saya terjun
langsung hidup bersama umat, hasil pengolahan saya
mengenai kepribadian dan hidup komunitas begitu sangat
terasa. Saya sudah tidak mengalami kesulitan untuk berada
dan hidup di lingkungan baru. Selain itu, jalinan relasi yang
terbentuk tidak hanya di permukaan saja, tetapi sungguh
memunculkan semangat untuk mau terlibat dan peduli. Inilah
salah satu buah dari pengolahan yang saya terima dari
pembinaan di Seminari Tinggi Fermentum. Kesadaran akan hal
ini memang tidak langsung saya sadari. Sewaktu membaca
Evangelii Gaudium, saya merasa diteguhkan bahwa
pengolahan yang saya jalani, memampukan saya untuk mau
terlibat dan peduli di tempat saya diutus. Dengan
menumbuhkan kepedulian dan mau terlibat dalam hidup
umat, saya merasa sungguh sedang menjalani nasehat untuk
menjadi gembala yang berbau domba.

Meragi di Keuskupan Bandung


Hasil pengolahan kepribadian dan hidup komunitas
memberikan makna tersendiri tentang menjadi ragi di
Keuskupan Bandung. Menjadi ragi berarti mau memberi warna
di lingkungan tempat saya diutus dengan cara mau terlibat dan
peduli dengan lingkungan tersebut. Memang, sepertinya hal
ini mudah untuk dijalani, namun ternyata hal ini cukup sulit

50
untuk dilaksanakan. Keadaan umat yang saya layani beragam
dengan kegiatan yang bermacam-macam dan tipe kepribadian
yang berbeda-beda. Sebagai seorang imam, saya diajak untuk
dapat merangkul berbagai kalangan, hingga dapat membawa
mereka lebih dekat dengan Tuhan. Tindakan kepedulian ini
saya tumbuhkan dengan mengunjungi umat yang saya layani.
Dengan kunjungan-kunjungan ke rumah umat, saya lebih
mengenal umat dan mengetahui apa yang diperlukan umat
dari gembalanya. Selain itu, saya menumbuhkan kepedulian
dan akhirnya berpuncak pada keterlibatan yang dapat saya
kerjakan.
Namun demikian, keterlibatan dan kepedulian yang
coba saya jalani ini, tidak akan berdampak apa-apa jika tidak
dibarengi dengan dinamika hidup doa. Panggilan yang kita
miliki adalah panggilan milik Tuhan. Para imam dan calon
imam, hanya mengambil bagian dari imamat Kristus yang
terwujud dalam imamat uskup. Nah, jika tidak dibarengi
dengan kesetiaan dalam hidup doa, kepedulian dan
keterlibatan yang saya miliki dan jalani tidak akan berbuah apa-
apa, sekadar merasa lelah saja. Melalui kesetiaan dalam hidup
doa, karya pelayanan yang dilakukan akan semakin terlihat
kualitasnya dan menjadi kekuatan tersendiri bagi kami para
pelayan.
Tindakan meragi, yakni mau terlibat dan peduli ini perlu
diimbangi pula dengan karya pelayanan yang tepat guna.
Karya pelayanan yang kita jalani akan menjadi sia-sia jika tidak
sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan umat. Toh, karya
pelayanan yang dijalankan bukan sekedar dilandaskan
kesukaan, hobi, atau minat dari para pelayan atau dari umat
yang dilayani, tetapi dilandaskan pada apa yang dibutuhkan.
Semoga, para frater yang sedang berformasi di Seminari Tinggi
51
Fermentum dapat semakin berkualitas, baik dalam hidup
maupun dalam karya ketika kelak menjadi imam. Hal ini dapat
dicapai dengan menjalani pengolahan yang ada dengan serius
dan sepenuh hati.

fr. Ignatius Oktavianus R.P.


dan fr. Benjamin Keiya
(frater tingkat IV dan tingkat V)

52
Menjadi ragi berarti mau memberi warna di
lingkungan tempat saya diutus dengan cara mau
terlibat dan peduli dengan lingkungan tersebut.

-Michael Gratia Sekundana Pr-

53
Stephanus Djunathan
Dosen Mata Kuliah Umum
Universitas Katolik Prahyangan, Bandung

NEMO DAT QUOD


NON HABET
Jika seseorang tidak mempunyai apapun, apa yang
bisa ia berikan dan bagikan kepada orang lain? Pertanyaan ini
muncul sebagai refleksi mendalam dari seorang laki-laki yang
berperawakan tinggi dan agak tambun ini. Ia yang saat ini
berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan
(UNPAR) - Bandung, memiliki nama lengkap Dr. Stephanus
Djunathan. Laki-laki yang akrab disapa Pak Djunathan ini,
pernah mengenyam pembinaan sebagai seorang calon imam
(frater) untuk Keuskupan Bandung.
Pada tahun 1990, ia mulai mengalami pembinaan di
Tahun Orientasi Rohani, Seminari Tinggi Fermentum. Seiring
dengan proses dan pengolahan selama beberapa tahun
kemudian, ia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan
sebagai calon imam. Memilih jalan hidup yang lain, bukan

54
berarti berhenti untuk berkarya dan memberikan diri bagi
sesama. Ia tetap menghayati nilai-nilai atau keutamaan hidup
yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Seminari
Tinggi Fermentum.
Menjadi pribadi yang mandiri, berkomitmen, dan
berjiwa pemimpin, adalah beberapa nilai atau keutamaan
hidup yang terus ia hayati dan kembangkan. Penghayatannya
tersebut membentuknya menjadi pribadi yang berkarakter dan
sukses, meski berada dalam jalan pilihan hidup yang lain.
Ketekunannya untuk mencapai sebuah tujuan hidup
merupakan sebuah karakter yang mengarahkannya hingga
meraih beasiswa untuk program studi pascasarjana dan doktor.
Kesuksesan dalam studi merupakan salah satu efek positif
dalam menghidupi nilai yang ia dapatkan semasa menempuh
pendidikan di Fermentum. Menjadi pribadi yang mampu
berinisiatif merupakan sebuah karakter yang ia hidupi dan
berguna bagi orang lain. Selain itu, dalam proses kehidupan
bermasyarakat, ia pun senantiasa terdorong untuk berani
menegur dan mengungkapkan kekeliruan yang terjadi dalam
hidup sehari-hari.
Menanggapi tentang usia Seminari Tinggi Fermentum
yang memasuki angka 30, ia mengungkapkan bahwa dalam
waktu 30 tahun ini, Fermentum dapat menghasilkan sistem
pendidikan yang bagus, tertata, dan layak menjadi model
untuk seminari tinggi lainnya. Adanya perkembangan sistem
pembinaan dari yang awalnya masih kurang tertata, hingga
menjadi sistem yang baik, menjadikan Fermentum sebagai
lembaga pendidikan imam yang luar biasa. Kalau dari segi
kualitas, dengan sistem yang tertata, seharusnya Fermentum
mampu menghasilkan pribadi yang baik sehingga dapat
teladan bagi umat, tuturnya. Ungkapan ini menegaskan
55
bahwa selama 30 tahun telah banyak hal yang telah
diupayakan oleh para pembina dan staf di Fermentum,
sehingga sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan
pribadi-pribadi yang ideal sebagai seorang imam untuk
keuskupan Bandung.
Ia mengharapkan agar Fermentum dapat membentuk
para calon imam yang berkembang dalam hal pendidikan dan
rohani secara seimbang. Dua hal ini dirasa tidak mudah dalam
kehidupan para calon imam. Semoga dengan sistem
pembinaan yang sekarang telah dijalani, akan memampukan
para calon imam seimbang dalam kedua hal tersebut. Pak
Djunathan berharap pula agar para frater dapat terus belajar
dengan tekun 'di dalam' dan 'di luar'. Belajar 'di dalam' berarti
para frater serius dalam mempelajari berbagai mata kuliah di
Fakultas Filsafat, UNPAR. Belajar 'di luar' berarti para frater
harus mampu menjadikan segala pengalaman pastoral itu
sebagai suatu modal untuk menjadi pribadi yang bisa
membagikan kasih kepada umat.
Bagi para imam, khususnya para staf pembina di
Fermentum, ia berharap agar para staf dapat senantiasa
memberikan pendampingan yang intensif, agar
perkembangan para frater terus diperhatikan dan panggilan
mereka pun terjaga. Para imam pun hendaknya mampu
menjadi sosok figur yang baik dan ideal bagi para fraternya. Ia
juga mengungkapkan bahwa Akan sulit jika para frater hanya
melihat sosok Yesus yang pasti dirasa abstrak dan sulit untuk
dikenali. Maka untuk memberikan figur real, para imam harus
mampu menjadikan diri sebagai gambaran Yesus secara nyata,
sehingga para frater pun semakin lebih memahami bagaimana
caranya menjadi sosok imam yang ideal, khususnya menjadi
imam bagi Keuskupan Bandung.
56
Di akhir permenungannya atas ulang tahun ke 30
Fermentum ini, ia mengambil satu quotes atau kutipan bijak
yang menarik, yakni Nemo Dat Quod Non Habet: tidak ada
orang yang bisa memberi, jika dia tidak mempunyai. Ini
merupakan suatu masukan untuk para frater, agar proses
pembinaan di Seminari Tinggi Fermentum, dapat menjadi
kesempatan untuk menimba banyak hal, khususnya dalam
usaha mengembangkan diri dan menjadi ragi yang bisa
berbagi banyak hal untuk umat keuskupan Bandung tempat
para frater ini akan berkarya.
Keberadaan Seminari Tinggi fermentum selama 30
tahun ini bukanlah suatu hal yang sia-sia jika para imam dan
para frater mampu memberikan segala hal yang mereka
dapatkan dalam proses pembinaan, pengalaman rohani, dan
pelayanan pastoral kepada dan bersama dengan umat. Maka,
sangat diharapkan agar para frater terus menggali dan
mendapatkan banyak hal. Dengan begitu, ketika para frater
dapat berkembang dan bertumbuh, di saat yang sama ia juga
pasti akan mampu membagikan serta memberikan diri bagi
orang lain.

fr. Kornelius Irvan Prasetya


(frater tingkat II)

57
Jika seseorang tidak mempunyai apapun, apa
yang bisa ia berikan dan bagikan kepada orang
lain?

-Stephanus Djunathan-

58
Yusuf Siswantara
Dosen Mata Kuliah Umum
Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung

Pentingnya
Kesaksian Hidup

Dulu, ketika saya masih menjadi frater, saya paling tidak bisa
menolak dan selalu mengatakan Ya!.
Itulah ungkapan yang mengawali obrolan kami dengan
'Mas Sis', yang kini berprofesi sebagai seorang dosen untuk
Mata Kuliah Umum (MKU) di Universitas Katolik
Parahyangan [UNPAR], Bandung. Selain berprofesi sebagai
dosen, Bapak Yusuf Siswantara yang akrab disapa 'Mas Sis',
saat ini telah menjadi seorang kepala keluarga dan telah
dikaruniai seorang anak.

59
Ia pun aktif sebagai pengurus Lingkungan (kring),
yakni menjadi Seksi Liturgi. Keaktifannya dalam kegiatan
gerejawi dan kecintaannya pada dunia pendidikan, tidaklah
muncul begitu saja (instan), tetapi merupakan buah dari
proses pembinaan (formatio) ketika masih menjadi calon
imam (frater) Keuskupan Bandung di Seminari Tinggi St.
Yohanes Pembaptis, Fermentum.
Sewaktu Siswantara masih di Fermentum, ia dikenal
sebagai frater yang sangat aktif dan jarang ada di rumah.
Pada waktu itu, ia melaksanakan studi dengan cukup baik,
mulai dari tahun-tahun awal hingga akhir. Ia pun selalu siap
sedia dengan mengatakan Ya atas berbagai ajakan dan
tawaran untuk melayani umat, mulai dari mendampingi Bina
Iman Anak, memberikan retret dan rekoleksi untuk anak-anak
sekolah, serta menyanggupi ajakan dari frater 'kakak kelas'
untuk terlibat dalam tugas belajar berpastoral.
Pst. Djoko Prakoso (sebagai formator saat itu) dan
beberapa teman dekat telah mengingatkan Mas Sis untuk
sesekali berani mengatakan Tidak! atas berbagai tawaran
dan ajakan tersebut. Mereka mengingatkan agar Mas Sis juga
tetap memperhatikan dan memelihara pertumbuhan 'hidup
panggilannya'. Nasihat ini tidak begitu dihiraukannya dan
bersikeras bahwa dengan aktif berpastoral akan
mengembangkan diri dan panggilannya.
Hingga pada suatu saat, ia mulai merasa bahwa
panggilan untuk menjadi seorang imam mulai kering dan
memudar. Mas Sis pun mulai berulah karena merasa ingin
berhenti sebagai calon imam. Ia sempat 'berhadapan' dengan
Pst. Djoko dan berharap akan dikeluarkan dari Fermentum.
Akan tetapi, waktu itu Pst. Djoko justru menasihatinya, Saya

60
tidak akan mengeluarkan kamu, ini bukan cara yang baik yang
telah kamu tempuh, tetapi kamu perlu berpikir matang dan
dengan hati tenang memutuskan yang terbaik untuk
panggilanmu.
Mas Sis sungguh merasa bersyukur karena sungguh
didampingi ketika mengalami masa-masa sulit itu. Setelah
melalui masa yang cukup panjang dan permenungan yang
mendalam, akhirnya Mas Sis dengan berani memutuskan
untuk tidak melanjutkan panggilannya untuk menjadi imam.
Kini dengan penuh syukur ia mengungkapkan, Ternyata (aku
memang) membutuhkan proses formasi agar aku berani
memutuskan (pilihan) hidupku dan berani mengatakan, 'Tidak'
demi kebaikanku sendiri.
Ketika Mas Sis merenungkan apa yang telah ia peroleh
selama berformasi di Fermentum, apa yang hingga kini masih
tertanam dan bisa berbuah banyak adalah pengalaman
'ngajar!'. Ia mengungkapkan bahwa Ngajar adalah
ketidaksadaran yang disadari dan kebetulan yang sepertinya
sudah ditata. Ungkapannya tersebut didasarkan pada refleksi
bahwa hampir seluruh pengalamannya belajar berpastoral di
Seminari Tinggi Fermentum selalu berkaitan dengan mengajar
dan dalam rangka pendidikan.
Ia tidak pernah membayangkan akan keluar dari jalan
panggilan menjadi imam dan hidup sebagai awam dengan
profesi sebagai dosen. Namun saat ini, ia bisa melihat alur
hidupnya dan merefleksikan dalam rasa syukur bahwa semua
itu sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Melalui proses pembinaan
di Fermentum dan perjumpaan dengan sosok formator yang
sungguh membimbingnya, Mas Sis dapat menjalani hidup
sesuai dengan bakat dan potensi yang waktu itu belum

61
disadarinya, yakni menjadi seorang dosen yang hidupnya
adalah untuk mengajar.
Kini sebagai seorang suami, ayah, pengurus
Lingkungan, dan dosen, Mas Sis merasa perlu membagikan
rahmat yang telah ia terima, khususnya setelah melalui proses
pembinaan di Fermentum. Saya akhirnya bisa merasakan
penyertaan dan kehendak Allah dalam hidup saya melalui
pengalaman yang sudah saya terima selama ini, tuturnya.
Jalinan pengalaman itu merupakan rajutan indah
pengenalannya akan Yesus sebagai penyelamat hidupnya.
Sekarang, yang paling penting dalam hidup bermasyarakat
adalah kesaksian hidup, demikian ungkapnya setelah
menyruput kopi dari cangkirnya. Ia menyadari perlunya
bersaksi kepada banyak orang dengan memberikan teladan
hidup yang baik.
Selain itu, ia pun terus belajar dari orangorang yang
patut diteladani karena kebijaksanaannya, meskipun mereka
bukan dari kalangan akademis dan intelektual. Ketua
lingkungan saya hanya bekerja sebagai seorang sopir, tetapi
pengalaman hidup, terutama bakti dan karyanya untuk
keluarga, membuatnya begitu bijaksana dan saya sangat
kagum kepadanya, begitulah ia membagikan kisahnya.
Akhirnya, Mas Sis mengajak kami untuk siap bersaksi di tengah-
tengah masyarakat melalui hidup yang layak dihidupi dan
dibagikan.
fr. Petrus Pianton
dan fr. Agustinus Adi Setiawan
(frater tingkat III dan tingkat IV)

62
Sekarang, yang paling penting dalam hidup
bermasyarakat adalah kesaksian hidup, ...

-Yusuf Siswantara-

63
Andreas Pandu Kurniawan
Pengusaha Sukses

Buah Formasi di Seminari


Tinggi Fermentum
Seminaris yang tinggal dan berformasi di suatu lembaga
pendidikan calon imam tidak selalu berakhir menjadi seorang
imam. Masih ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada
setiap diri calon imam tentang masa depannya. Harapannya,
dengan tinggal dan berformasi di lembaga pendidikan calon
imam adalah menjadi imam. Namun, semua itu tetap
tergantung pada keputusan pribadi setiap calon imam.
Apakah ia tetap terus pada jalan panggilan ini, atau memilih
jalan panggilan lain?
Situasi inilah yang dialami oleh Andreas Pandu
Kurniawan yang akrab dipanggil Pandu. Sebagai seorang
pemuda yang merasa terpanggil menjadi seorang imam
Keuskupan Bandung, ia memutuskan untuk masuk, tinggal,
dan berformasi di Seminari Tinggi Fermentum. Namun, seiring

64
perjalanan waktu, ia memutuskan untuk meninggalkan
seminari dan memilih cara hidup dan panggilan yang lain,
yakni menikah dan menjadi seorang kepala keluarga.
Meskipun demikian, sebagai seseorang yang pernah
mencicipi hidup di seminari, ia pun mendapatkan banyak
hal mengenai nilai-nilai formasi. Menurutnya, nilai-nilai
formasi yang didapatkannya dari Seminari Tinggi Fermentum,
baik secara sadar maupun tidak, telah tumbuh di dalam
dirinya dan membentuk karakternya saat ini.
Dalam suatu kesempatan wawancara, Pandu pun
memberikan keterangan tentang nilai-nilai apa saja yang ia
peroleh selama tinggal di Seminari Tinggi Fermentum.
Menurutnya, semua pengalaman tinggal dan berformasi di
Seminari ini telah membantunya dalam menjalani
kehidupannya saat ini, baik sebagai seorang kepala keluarga
maupun dalam dunia kerja. Semua itu ia syukuri sebagai buah
karya Allah dalam hidupnya, dalam panggilan hidup yang ia
pilih dan jalani saat ini.
Adapun nilai-nilai yang diperoleh Pandu adalah seperti
berpikir kritis, useful person, reflektif, semangat hidup
komunitas, tampil beda, dan sikap hidup sederhana. Tidak
hanya menyebutkan nilai-nilai apa saja yang ia peroleh, Pandu
pun memberikan penjelasan lebih lanjut dari nilai-nilai yang
didapatkannya itu.
Berpikir Kritis
Baginya, tinggal dan berformasi di Seminari ini
membantunya untuk dapat berpikir kritis. Berpikir kritis
berarti mampu menangkap sesuatu atas situasi yang terjadi
dan berani bersuara atas ketidak-benaran yang terjadi saat
itu. Nilai berpikir kritis ini didasarkan kepada sikap fokus

65
terhadap apa yang sedang dihadapinya. Dalam dunia
kerjanya, dengan fokus kepada apa yang dikerjakan, Pandu
sendiri merasa terbantu untuk membuka pikiran sehingga ia
pun bisa berpikir kritis terhadap hal-hal yang menyertai
pekerjaan tersebut.
Useful Person
Selain berpikir kritis, nilai selanjutnya yang ia peroleh
dan dihidupi sampai saat ini adalah menjadi orang yang
berguna atau useful person. Nilai ini adalah nilai yang penting
sekali bagi dirinya karena nilai inilah yang harus selalu dihidupi
dalam dunia kerja oleh Pandu. Di mana pun dirinya berada,
misalnya di dunia kerjanya sekarang ini, dia tidak mau
dianggap remeh, meski pun tidak memiliki pengalaman kerja
sebelumnya. Hal ini membuatnya memacu diri untuk kerja
secara lebih maksimal. Baginya ini seperti semangat magis ala
imam-imam anggota Serikat Yesus atau Yesuit.
Menurut Pandu sendiri, hal ini sebenarnya adalah hal
umum yang semua seminaris hayati selama di seminari.
Ukurannya, kita menjadi orang yang berguna bagi yang lain
adalah jika [1] apa yang sudah kita kerjakan dijadikan
patokan untuk diikuti yang lain, [2] atasan tidak takut untuk
memberikan pekerjaan dengan tanggung jawab yang besar
kepada kita, [3] jerih payah kita dihargai dengan kenaikan
jabatan dan gaji, dan yang pasti [4] jika kita berguna, orang
lain di sekitar kita akan merasa kehilangan ketika kita
meninggalkan mereka yang notabene berada pada satu
pekerjaan dengan kita.
Permenungan yang Reflektif
Nilai lainnya adalah permenungan yang reflektif. Nilai
ini dalam dunia formasi di seminari dimaknainya sebagai hasil
66
dari pembedaan roh atau diskresi yang diberikan sebagai
latihan rohani di Seminari ini. Dengan memiliki dan
menggunakan nilai ini dalam hidupnya saat ini, Pandu selalu
berusaha agar apa pun yang akan dan telah diucapkan atau
dilakukan harus berdasarkan atas kebaikan bersama. Belum
tentu semua yang sudah dia ucapkan atau lakukan itu benar
adanya. Semua hal selalu mengandung baik dan buruk.
Hanya saja dengan melakukan permenungan yang sifatnya
reflektif, maka kemungkinan tindakan yang sifatnya buruk
bisa dicegah dan ditekan sehingga apa yang akan dilakukan
atau pun diucapkan akan bersifat baik adanya, entah itu bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain.
Semangat Hidup Komunitas
Kesadaran akan pentingnya diskresi bagi kebaikan diri
sendiri dan orang lain telah membawa Pandu pada kesadaran
bahwa kepedulian dan sikap saling dukung satu sama lain
perlu dipupuk dan diusahakan. Hal ini dikarenakan kedua
sikap itu tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi sebagai buah
dari usaha diri yang harus dilakukan dari waktu ke waktu.
Dengan pernah menjalani hidup dan berformasi di Seminari
ini, Pandu merasa sangat beruntung karena Seminari ini telah
menjadi tempat baginya yang sangat baik untuk
menumbuhkan nilai-nilai itu. Sampai saat ini, nilai-nilai seperti
itu tetap dihidupinya dan diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari.
Sebagai contoh sederhana, Pandu membagikan
pengalamannya menerapkan nilai-nilai itu dengan
membagikan kisahnya menolong seorang anak kecil yang
menjadi pemulung. Sebulan yang lalu, saya tidak tega
melihat anak kecil (pemulung) dengan karung bawaannya

67
duduk jongkok dan tertidur di sebelah tong sampah. Tidak
butuh berpikir lama, langsung saya belikan roti biskuit dan
minuman dari Indomaret, kemudian saya bangunkan anak itu
dan menyuruhnya makan. Dari contoh yang Pandu berikan
ini, ia pun jadi teringat akan istilah Option for the Poor, rasa
peduli terhadap orang yang kecil dan membutuhkan. Semua
itu menuntunnya akan pentingnya semangat hidup
komunitas dalam setiap dinamika kehidupannya.
Berani Tampil Beda
Nilai selanjutnya dari yang Pandu dapatkan selama
berformasi di Seminari Tinggi Fermentum adalah berani
tampil beda. Seminari Tinggi Fermentum mengajarkan
kepada dirinya untuk tidak tampil monoton atau begitu-
begitu saja. Sisi fleksibilitas juga harus dimunculkan dalam diri
seseorang sebagai bentuk pembeda dari yang lain. Pandu
mengatakan Semangat tampil beda ini otomatis muncul dari
dalam diri. Saya menerka-nerka bahwa semangat tersebut
merupakan hasil dari apa yang telah saya alami selama di
Fermentum. Menurut saya sebagian besar produk dari
Fermentum adalah mereka yang selalu tampil beda.
Namun dalam hal ini, tampil beda dikategorikan oleh
Pandu melalui dua cara, yakni secara langsung dan tidak
langsung, Secara langsung berarti seminaris tampil lebih
unggul daripada yang lainnya dan hal itu dapat langsung
terlihat dari ekspresi dan gerak tubuh. Secara tidak langsung
dapat diketahui melalui pemikiran maupun tutur kata. Maka,
formasi yang Pandu peroleh dari Seminari ini telah membuat
Pandu berani tampil beda dari orang lain, yang semua itu
tercermin dari usahanya menjalani kehidupannya saat ini.

68
Kesederhanaan Hidup
Dari semua nilai yang telah ia peroleh dari Seminari dan
yang sampai saat ini masih ditekuninya, nilai yang baginya
menjadi puncak atas pengalaman formasinya di Seminari
adalah nilai dan sikap kesederhanaan. Menurutnya, sikap ini
dapat dilihat dari cara kita bertindak. Namun, Pandu
menekankan bahwa sederhana bukan berarti irit, apalagi
pelit. Sederhana itu hidup yang sewajar-wajarnya saja. Ada
sebuah prioritas yang diutamakan.
Hal ini dilatih dari kebiasaan berdiskresi untuk
menentukan pilihan atau prioritas. Sederhana dihasilkan dari
pembedaan roh yang terus menerus dilatih, juga berdasarkan
sikap kritis melihat apa yang sungguh-sungguh diperlukan
dan tidak terlalu diperlukan. Sederhana berarti mampu
melihat secara jelas apa yang muncul di dalam diri sehingga
tidak menghasilkan hasil yang rumit, namun jelas, tepat, dan
bijak. Menurutnya, saat manusia menjadi pribadi yang
sederhana, ia sudah mengarahkan diri kepada Allah secara
penuh untuk kemudian membiarkan Allah melakukan
pekerjaanNya yang sempurna dalam diri manusia tersebut.
Oleh karena itu, nilai kesederhanaan menjadi pondasi utama
dalam mengusahakan keempat nilai lainnya, dan tentunya
nilai itu ia peroleh berkat pengalaman tinggal dan berformasi
di Seminari Tinggi Fermentum, yang baginya telah menjadi
rumah kedua dan menjadi pembentuk karakternya saat ini.

fr. Albertus Wisnubroto


(frater tingkat VI)

69
Puncak atas pengalaman formasinya di
Seminari adalah nilai dan sikap
kesederhanaan.

-Andreas Pandu Kurniawan-

70
Aloysius Budi Santosa
Warga Lingkungan Istana Regency II,
Bandung

Kesan dan Harapan

Anak-anak Fermentum itu sederhana dan


merakyat, demikian kesan spontan yang keluar dari Aloysius
Budiman Santosa, salah satu umat Lingkungan Istana
Regency II, Paroki St. Perawan Maria Sapta Kedukaan, Pandu,
Bandung. Sejak berada di kawasan Citepus, Seminari Tinggi
Fermentum sangat akrab di mata para anggota lingkungan.
Para formator dan frater terlibat dalam berbagai kegiatan
yang ada, baik dalam hal kehidupan menjemaat maupun
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Berdasarkan
pengalaman belasan tahun tinggal di lingkungan tempat
Fermentum berada, terdapat beberapa hal yang
menunjukkan bahwa Fermentum benar-benar merakyat. Pria
kelahiran Bandung, 21 Oktober 1953 yang akrab dipanggil
Pak Budi ini menuturkan bahwa Fermentum terlibat aktif
dalam usaha menyediakan akses jalan, baik di gerbang utama
71
maupun pintu belakang kompleks perumahan Istana Regency
II. Keberhasilan ini tidak lepas dari kerjasama dan kedekatan
yang baik antara pihak Fermentum dengan paguyuban para
penghuni Istana Regency II, yang dalam kepengurusannya
terdiri atas para penghuni dengan keyakinan agama yang
berbeda-beda.
Di mata para pengurus Lingkungan, Fermentum
juga dikenal ramah kepada umat. Dulu para formator sering
diundang untuk memimpin misa lingkungan. Setelah adanya
aturan dari Paroki Pandu mengenai tugas Pastor
Paroki/Vikaris untuk mengunjungi dan memimpin Ekaristi di
lingkungan-lingkungan, para formator tidak lagi membantu
umat dalam memimpin misa. Meski demikian, para frater
tetap sering terlibat dalam berbagai pertemuan umat. Tak
hanya para frater yang terlibat di Lingkungan. Sebaliknya,
umat Lingkungan juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan
Fermentum, seperti ketika dilaksanakan misa tahbisan di
Fermentum.
Keterlibatan para frater dalam setiap pertemuan
umat dirasakan sebagai momen yang baik. Alur pertemuan
menjadi lebih dinamis. Jika tidak ada frater yang datang,
seringkali umat hanya merefleksikan pengalaman hidup yang
biasa dilakukan. Ketika para frater bersharing mengenai
pengalamannya, umat mendapatkan pengalaman lain yang
unik dan berbeda dari pengalaman mereka. Umat juga
mendapatkan sudut pandang yang baru dalam merefleksikan
kehidupan iman. Sebagai contoh, ketika mendalami teks
Kitab Suci, para frater bisa memberi masukan dan refleksi
yang lebih mendalam. Masukan dan refleksi dari para frater
tersebut menjadi inspirasi dan pengetahuan baru bagi umat
yang hadir.
72
Selain dikenal merakyat, para penghuni Fermentum
juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang sederhana.
Pengenalan akan hidup sederhana ini, menurut Pak Budi,
terlihat dari kebiasaan mendorong gerobak sampah untuk
dibuang sampahnya di Ciroyom. Para penghuni Istana Regency
II mengenal Fermentum dari dua kebiasaan tersebut. Itu
menjadi ciri khas Fermentum yang dikenal warga sekitar, serta
menjadi dasar bagi mereka untuk mengatakan bahwa para
penghuni Fermentum menghayati pola hidup sederhana.
Dalam karya pelayanan pastoral, Pak Budi
menceritakan pengalamannya ketika dilayani oleh para
pastor lulusan Fermentum. Menurutnya, para alumni
Fermentum pandai dalam mengelola Paroki, baik dalam hal
manajemen, kerja sama dengan awam, maupun pendekatan
terhadap umat paroki. Mereka dapat diandalkan dalam
pelayanan pastoral, khususnya di paroki-paroki. Pak Budi
sendiri memang banyak mengenal para pastor alumni
Fermentum, meskipun saat ini mereka bertugas di berbagai
tempat, karena sejak dahulu sudah saling mengenal. Ia
bersyukur karena bisa tinggal di dekat Fermentum serta bisa
mengenal para frater sejak tingkat-tingkat awal. Karenanya,
ia dapat dengan mudah mengenal dan merasakan ciri khas
para imam alumni Fermentum, di mana saja ia berada.
Di usia Fermentum yang pada tahun ini menginjak
angka 30 tahun, Pak Budi berharap agar lembaga pendidikan
calon imam Projo Keuskupan Bandung ini semakin
menghasilkan lebih banyak lagi imam. Pertambahan jumlah
imam Projo akan sangat membantu Keuskupan dalam
menjalankan pelayanannya bagi umat Keuskupan Bandung.
Kuantitas imam tentu saja harus dibarengi dengan kualitas.
Untuk itu, semua proses dan sarana yang disediakan
73
Fermentum untuk menghasilkan imam yang berkualitas perlu
dipertahankan serta ditingkatkan lagi. Selama ini, Fermentum
telah menjadi ragi bagi Gereja dan lingkungan sosial. Hal ini
perlu dipertahankan guna menghasilkan lebih banyak lagi
imam yang baik. Imam yang baik adalah imam yang memiliki
kemampuan secara akademis, menjadi teladan bagi orang lain,
dan menjadi ragi yang menghasilkan sukacita bagi Gereja dan
dunia.

fr. Dismas Adi Condro


dan fr. Maximilian Boas Pegan
(frater tingkat IV dan tingkat VI)

74
Anak-anak Fermentum itu sederhana dan
merakyat

-Aloysius Budiman Santosa-

75
Yohanes Sutyasno
Karyawan Sekretariat
Seminari Tinggi Fermentum, Bandung

Fermentum adalah
Kehidupan Saya Sendiri

Itulah sepenggal pemaknaan yang disampaikan oleh Yohanes


Sutyasno (45), atau yang biasa akrab dipanggil Mas Tyas, saat
ditanya perihal kesan umum, atas pengalaman hidupnya
menjadi karyawan sekretariat di Seminari Tinggi Fermentum,
Keuskupan Bandung.

Penunggu Gerbang
Pengabdian Sutyasno sebagai karyawan sekretariat, saat
ini tengah memasuki tahun yang ke-sebelas. Jangka waktu
yang terbilang cukup panjang untuk usia pengabdian seorang
karyawan. Ia memaknai dirinya sebagai penunggu gerbang.
Ini tak lepas dari berbagai kerjaan yang diembannya selama
bertugas di sekretariat. Bermula pada hari Senin hingga Sabtu,
pukul 08.00 15.00 wib, Mas Tyas begitu setia menjadi
76
penunggu gerbang komunikasi antara pihak-pihak luar dan
komunitas Fermentum. Komunikasi ini bisa berkaitan dengan
pelayanan para pastor dan fraternya, bisa tentang informasi-
informasi, ataupun yang berkaitan dengan operasional
kebutuhan sehari-hari di Fermentum. Mas Tyas mengaku
gembira dan bersyukur bisa membantu para pastor (Formator
di Seminari Tinggi Fermentum) dalam urusan hal administrasi,
dan membantu para frater dalam menjalani proses pembinaan
calon imam. Dengan situasi yang ada, tentu Mas Tyas memang
punya banyak pengalaman soal dinamika kehidupan di
Fermentum.
Murah Hati
Bagi Mas Tyas, nada kemurahan hati akan selalu teringat
dalam hidupnya. Ia sendiri sampai berada di Fermentum, juga
berangkat dari kemurahan hati banyak pihak. Tuhan, yang
empunya murah hati, pun begitu dirasakan oleh hidup Mas
Tyas melalui perhatian kasih dari para pastor yang bertugas di
Seminari Tinggi Fermentum. Oleh karena itu, Mas Tyas dengan
penuh ketegasan selalu berusaha mewarnai keseharian
tugasnya di sekretariat, juga dalam semangat murah hati.
Pengerjaan tugas dengan semangat murah hati, diakui Mas
Tyas, bisa membuahkan hasil yang baik. Keutamaan semangat
murah hati juga dengan sendirinya terbawa dalam kehidupan
rumah tangganya. Itulah yang selalu disyukurinya.
Terbawa Mimpi
Dalam melaksanakan tugas, tidak sepenuhnya bisa
berhasil. Ada saat, di mana kegagagalan itu pun datang. Persis
seperti itulah yang juga dialami oleh Mas Tyas. Ia pun pernah
mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas. Ia merasa
gagal bila pengerjaan tugas tidak sesuai dengan target waktu

77
yang ditentukan. Baginya, kegagalan itu dapat menghambat
karya pelayanan para pastor. Bukannya meringankan beban,
tapi justru menambah beban para pastor yang bertugas di
Fermentum. Itulah ungkapan penyesalannya. Mas Tyas
merasakan kesedihan mendalam saat mengalami situasi ini.
Bahkan kesedihan atas kegagalan itu sampai terbawa dalam
mimpi. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana Seminari
Tinggi Fermentum selalu punya arti bagi hidupnya. Maka
sebisa mungkin, Mas Tyas juga ingin memberikan pelayanan
yang terbaik di tempat kerjanya ini. Bila ada kegagalan, tiada
hentinya ia berusaha memperbaikinya seraya hati penuh
harapan.
Pribadi Istimewa
Dalam penuturan kata yang terucapnya, Mas Tyas
mengaku sangat bersyukur bisa mengalami perjumpaan
dengan para frater Seminari Tinggi Fermentum. Sapaan kasih
dan kerjasama kebidelan tugas rumah yang diemban oleh
frater menyimpan kesan penuh arti bagi hidupnya. Ada
banyak hal positif yang ditemukannya lewat pribadi frater
yang dijumpainya. Baginya, para frater adalah pribadi yang
istimewa. Keistimewaan itu hanya melekat dalam diri frater
dan jarang ia temukan di luar sana. Cara melihat hidup
dengan cara yang mendalam dan penuh refleksi yang ia
temukan dalam diri frater, semakin meyakinkan dirinya
bahwa para frater memang pribadi yang istimewa. Meski
demikian, Mas Tyas tidak menyangkal bahwa masih ada sisi-
sisi negatif yang ia jumpai dalam diri para frater. Ia
memaklumi hal itu sebagai bagian dari proses pembinaan
yang tengah dijalani para frater sendiri untuk menjadi
gembala baik masa depan.
78
Pimpinan Sekaligus Kawan
Dengan ukuran lama kerja yang cukup panjang, Mas
Tyas sudah banyak mengalami kerjasama dengan para pastor
yang bertugas di Fermentum. Diakuinya dengan jujur, bahwa
para pastor yang bertugas di Fermentum punya kepribadian
yang sangat baik, penuh kebapaan dan mengayomi.
Kesaksiannya menuturkan bahwa meski para pastor
merupakan pimpinannya, namun relasi yang terjadi justru
seperti sesama kawan sendiri. Dalam banyak kasus misalnya,
Mas Tyas mengakui bila dirinya dan juga para karyawan
lainnya, merasa lebih banyak didampingi dan diarahkan oleh
para pastor. Padahal bagi Mas Tyas, tugasnya berada di
Seminari Tinggi Fermentum adalah untuk bekerja guna
meringankan karya pelayanan para pastor dalam
mendampingi pembinaan para frater. Kenyataan ini
mengarahkan Mas Tyas untuk selalu bersyukur, karena
berkarya di tempat yang banyak memberinya pengajaran
perihal kehidupan yang bermakna.
Fermentum adalah Kehidupan Saya
Ada banyak pengalaman berharga telah dirasakan oleh
Mas Tyas dalam keterlibatannya menjadi karyawan
sekretariat Seminari Tinggi Fermentum. Segala bentuk
pengalaman itu meresap dalam pemaknaan hidupnya sehari-
hari. Mas Tyas menuturkan, mungkin bagi para pastor dan
frater, Seminari Tinggi Fermentum hanya ibarat ampiran
atau satu fase dalam kehidupan. Saat tugas membina dan
proses pembinaan formasi dikatakan cukup, mereka suatu
saat akan berkarya atau melanjutkan karya pastoralnya di
tempat lain. Tapi bagi Mas Tyas, tempat ini adalah
kehidupannya sendiri, tempat di mana ia dapat

79
menemukan banyak pengalaman yang hidup dan
memberinya banyak arti.
Dikenal oleh Umat
Di penghujung penuturannya, Mas Tyas merasakan bila
selama 30 tahun berdirinya tempat formasi imam Keuskupan
Bandung ini, pasti sistem formatio (pembinaan calon imam)
sudah mulai menemukan pola yang semakin baku dan utuh.
Selama bekerja di sekretariat, Mas Tyas merasakan betul
perkembangan Fermentum yang semakin baik dan berkualitas.
Bagaikan ragi, semakin lama ragi itu ditaburkan dalam adonan,
maka daya-guna ragi itu akan tampak kelihatan. Itulah yang
juga diharapkan oleh Mas Tyas. Ia berharap (dan optimis),
Seminari Tinggi Fermentum ke depan semakin dikenal oleh
kalangan umat, sehingga mampu menjadi pilihan yang
menggiurkan bagi kaum muda laki-laki yang hendak
menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi Imam Diosesan
Keuskupan Bandung. Baginya, itulah ragi. Dan Fermentum
bukan hanya diharapkan menjadi ragi, namun Seminari Tinggi
Fermentum adalah ragi itu sendiri, bagi Gereja Keuskupan
Bandung khususnya, dan masyarakat sekitar pada umumnya.

fr. Yohanes Subroto


(frater tingkat V)

80
Fermentum adalah Kehidupan Saya

-Yohanes Sutyasno-

81
Dana Ramdani
Ketua RT 11 / RW 10
Kecamatan Cicendo
Kelurahan Padjajaran

Seperti Air Memberi Hidup


Bagi yang Meminumnya
Dulur Sakampung

Kurang lebih sudah satu setengah tahun ini air sumur bor yang
diberikan dari Fermentum memberi berkah bagi para warga,
khususnya warga-warga yang tinggal di RT 11-RW 10.
Demikian penuturan Bapak Dana Ramdani selaku Ketua RT 11,
ketika diwawancarai dalam rangka peringatan ulang tahun ke-
30 Seminari Tinggi Fermentum.
Setiap memasuki musim kemarau, warga mengalami
kesulitan untuk mendapatkan air, terutama untuk memenuhi
kebutuhan minum dan memasak. Pada sore hari beberapa kali
para warga meminta bantuan kepada para frater TOR, yang

82
posisi unitnya lebih dekat dengan pemukiman warga, untuk
mengulurkan selang air. Para warga sudah antri di balik tembok
Fermentum dengan membawa ember ataupun jerigen demi
bisa mendapatkan air sesuai dengan kebutuhan di rumah
masing-masing. Ada saatnya air begitu sulitnya didapatkan
hingga pada siang hari pun para warga sudah meminta air
dengan ember dan jerigen air. Situasi demikian sudah cukup
lama terjadi, sebagaimana penuturan Bapak Dana kepada
kami.
Suatu ketika pada pertengahan tahun 2015, Pastur Sunu
mengajak bicara Bapak Marekan, sebagai perwakilan
pengurus RT (menjabat sebagai bendahara RT 11) untuk
mencari tempat yang tepat di sekitar lingkungan RT 11 untuk
membuat sumur bor. Awalnya masih sebuah wacana dan Pak
Marekan diingatkan untuk tidak menyebarkan pembicaraan
ini sampai adanya kepastian. Melalui beberapa kali
pembicaraan, akhirnya tempat sumur bor telah ditentukan dan
sumber pembiayaan pun telah didapatkan. Pembicaraan yang
awalnya tidak diketahui Bapak Dana, akhirnya disampaikan
juga. Setelah meminta nasihat dari bapak ustadz setempat,
Bapak Dana menyetujui pengeboran sumur yang berlokasi di
depan rumahnya. Demi terlaksananya proyek ini dengan baik,
Bapak Dana secara berhati-hati menyampaikan kegiatan ini
kepada segenap warga RT 11 agar tidak menjadi berita yang
simpang siur.
Syukurlah, setelah satu setengah tahun ini, sumur air
yang telah dialirkan kepada sekitar 40 rumah warga,
memberikan berkah. Sekarang, warga tidak kekurangan dan
kesulitan mendapatkan air. Pengalaman syukur ini dialami pula
oleh seorang ibu warga RT 11. Ia memiliki usaha kontrakan
empat kamar di rumahnya. Namun, selama hampir satu tahun
83
yang lalu tidak ada yang mau mengontrak di tempatnya
karena sulit untuk mendapatkan air bersih. Alhasil, ia pun tidak
memperoleh pemasukan dari usahanya tersebut. Setelah
mengikuti saran dari Bapak Dana untuk ikut program air bersih,
ibu itu mau memasang jalur air ke rumahnya dan
kontrakannya. Alhamdullilah, kontrakan si ibu itu sudah terisi
penuh saat ini semenjak beberapa bulan lalu, tutur Bapak
Dana sebagai ungkapan kebahagiaan atas dibangunnya sumur
dan penampungan air untuk para warga RT 11.
Bapak Dana mengungkapkan bahwa segala kebaikan
yang telah diterima hendaklah dipelihara agar tetap menjadi
barokah bagi yang menggunakannya. Ia menyadari bahwa
tidak akan terus-menerus menjadi ketua RT 11, tetapi amanah
kebaikan dari pihak Fermentum melalui sumur bor ini harus
tetap dijaga oleh siapa saja yang nanti menjadi ketua RT.
Bapak Dana pernah membicarakan hal tersebut kepada
pengurus RT dan disepakati bahwa yang akan mengelola
biaya untuk keperluan tagihan listrik dan perawatan
peralatan sumur dan penampungan air adalah ibu-ibu
pengajian RT 11, Tujuannya ialah supaya pengelolaan segala
infrastruktur sumur tidak terganggu dengan adanya
pergantian kepengurusan RT dan sebagainya. Selain itu, jika
Ibu-Ibu yang mengurusnya, akan memudahkan pengelolaan
karena mereka lebih dekat dengan urusan rumah tangga
daripada bapak-bapak.
Hingga kini, Ibu-ibu pengajian melaksanakan tugas ini
dengan baik dan lancar. Iuran Rp. 1000,- setiap hari dari setiap
kepala keluarga berlangsung lancar. Pembayaran listrik
pompa sumur dilaksanakan secara rutin dan tepat waktu.
Perawatan peralatan pompa, tower, dan bak penampungan
air, berlangsung dengan baik pula, malahan ada rencana
84
untuk menambah satu bak penampungan air untuk
menyaring air yang ditampung, karena akhir-akhir ini airnya
mulai agak keruh akibat ada tanah yang terbawa dalam aliran
air.
Memaknai 30 tahun Fermentum menjadi ragi bagi
masyarakat, Bapak Dana mengatakan bahwa baginya
(khususnya selama masa kepemimpinannya sebagai ketua RT
11), Fermentum telah memberi banyak mangpaat bagi warga
terutama melalui proyek pembangunan sumur air tersebut.
Kehadiran Fermentum juga telah banyak membantu dan
memberikan banyak fasilitas bagi warga dalam berbagai
kegiatan. Kegiatan perayaan HUT Kemerdekaan RI menjadi
begitu meriah karena diberi keleluasaan menggunakan area
Fermentum untuk pelaksanaan lomba, upacara, karnaval,
bahkan panggung gembira dan dangdutan warga. Kegiatan
Open House yang dilaksanakan setiap Rabu dan Minggu sore
memberikan keleluasaan untuk warga berolahraga.
Setahun yang lalu ada kegiatan senam, tahun sekarang mah
ada kegiatan voli bersama setiap minggunya, demikian Bapak
Dana mengapresiasi kesediaan Fermentum memberi ruang
bagi warga dalam berekspresi melalui kegiatan positif seperti
olah raga.
Aya kabungahanana, aya kahanjakalanana, Bapak
Dana mengungkapkan bahwa ada rasa bahagia tetapi ada
rasa penyesalan juga. Dengan bisa menjaga tali persaudaraan
dengan Fermentum, ia merasakan warganya mendapatkan
b a n y a k ke b a i k a n . Ke b a i k a n y a n g d i t e r i m a i n i
membahagiakan. Seperti air sumur yang dialirkan kepada
warga untuk keperluan hidup, demikian pula kebaikan yang
diterimanya pun bisa membahagiakan dan memberikan
kehidupan ketika dibagikan pula kepada yang lain.
85
Bagaimanapun tangan di atas lebih baik daripada tangan di
bawah, ungkap Bapa Dana kepada kami, menjelaskan
bahwa memberi itu senantiasa lebih baik daripada meminta.
Maka, pengalaman diberi oleh orang lain harus menjadi
inspirasi untuk memberi pula kepada yang lain, jangan hanya
untuk diri sendiri saja!, tegasnya. Rasa penyesalan yang
dirasakannya hingga saat ini adalah, bahwa Bapak Dana masih
belum bisa melaksanakan kepercayaan dari Fermentum untuk
mengelola area di seputar tembok luar seminari dengan baik.
Menurutnya, pengelolaan ini harus dilakukan oleh beberapa
pihak, tidak bisa hanya dari pihak pengurus RT 11. Dalam akhir
wawancara Bapak Dana berharap agar Fermentum bisa
berkembang dengan baik dan lancar dalam menjalankan
tugas-tugasnya untuk tahun-tahun selanjutnya. Selain itu,
semoga Fermentum tetap bisa memelihara tali silaturahmi
yang sudah terbangun dengan baik sebagai dulur sakampung
dengan warga masyarakat khususnya RT 11- RW 10, di
kampung Citepus ini.

fr. Agustinus Adi Setiawan


(frater tingkat IV)

86
Fermentum telah memberi banyak mangpaat
bagi warga terutama melalui proyek
pembangunan sumur air tersebut

-Dana Ramdani-

87
Daftar Istilah

Planning day : merencanakan agenda selama satu


semester
TOR : Tahun Orientasi Rohani (tahun pertama
dalam jenjang pembinaan di Seminari
Tinggi)
Silentium : Hening
Formatio : Proses pembinaan seorang calon imam
MKU : Mata Kuliah Umum
TOP : Tahun Orientasi Pastoral (selama 1 tahun)
Evangelii Gaudium: Surat Anjuran Paus Fransiskus mengenai
pewartaan Injil di zaman sekarang, terbit
tahun 2014

88
Cover Belakang

Anda mungkin juga menyukai