Anda di halaman 1dari 13

TIGA NILAI DASAR HUKUM

MENURUT GUSTAV RADBRUCH

Nama : Sakhiyatu Sova


NIM : 11010113140480
Kode Dosen : 0291
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
TIGA NILAI DASAR HUKUM MENURUT GUSTAV
RADBRUCH
Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dan seorang legal scholar dari Jerman
yang terkemuka yang mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum. Ketiga konsep dasar
tersebut dikemukakannya pada era Perang Dunia II. Tujuan hukum yang dikemukakannya
tersebut oleh berbagai pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum Adapun tiga tujuan
hukum tersebut adalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

1. Keadilan
Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai, keadilan,
moral, dan etika. Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, nilai keadilan juga
menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan memiliki sifat normatif sekaligus
konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok
ukur sistem hukum positif dan tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi
hukum.
Sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. H. Muchsin, SH, bahwa keadilan
merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan
juga kemanfaatan hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi
perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara
hak dan kewajiban. Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai
keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan rechct ist wille zur
gerechtigkeit (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan). Sedangkan Soejono
K.S mendefinisikan keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang
memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan
kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan.
Selanjutnya, hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri melainkan
untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia. Hukum tidak memilki tujuan dalam
dirinya sendiri. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan
kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan
terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak
penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Itulah sebabnya maka fungsi
utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan
sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan,
tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang
harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin
merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat,
bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum
yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan
hukum satu-satunya. Hubungannya degan hal tersebut, maka Plato (428-348 SM)
pernah menyatakan, bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan
keadilan baginya adalah keseimbangan dan harmoni. Harmoni di sini artinya warga
hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara (polis), di mana masing-masing warga
negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan kodrat dan posisi sosialnya masing-
masing.
Namun di lain sisi, pemikiran kritis memandang bahwa keadilan tidak lain
sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah kelihatan, akan
tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya.
Walaupun demikian, haruslah diakui, bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi
kesewenang-wenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai
kebajikan yang paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilai
apapun. Dari sisi teori etis ini, lebih mengutamakan keadilan hukum dengan
mengurangi sisi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul
(pendulum) jam. Mengutamakan keadilan hukum saja, maka akan berdampak pada
kurangnya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.

2. Kepastian
Kepastian hukum itu adalah kepastian undang-undang atau peraturan, segala
macam cara, metode dan lain sebagainya harus berdasarkan undang-undang atau
peraturan. Di dalam kepastian hukum terdapat hukum positif dan hukum tertulis.
Hukum tertulis ditulis oleh lembaga yang berwenang, mempunyai sanksi yang tegas,
sah dengan sendirinya ditandai dengan diumumkannya di Lembaga Negara.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi
norma.
Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan
keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi,
terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara
etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah
dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang
merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk
menghindari jatuhnya korban.
Kemudian muncul pengaruh pemikiran Francis Bacon di Eropa terhadap
hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan
ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara
hukum yang normatif (peraturan) dapat dimuati ketertiban yang bermakna sosiologis.
Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional
dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukuman yang terjadi karena
pelanggarannya. Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan
kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena
frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap
hukum secara benar-benar.

3. Kemanfaatan
Bekerjanya hukum di masyarakat efektif atau tidak. Dalam nilai kemanfaatan,
hukum berfungsi sebagai alat untuk memotret fenomena masyarakat atau realita
sosial. Dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat.
Penganut aliran utilitas menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk
memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa
setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu
alatnya. Salah seorang tokoh aliran utilitas yang paling radikal adalah Jeremy Benthan
(1748-1832) yakni seorang filsuf, ekonom, yuris, dan reformer hukum, yang memiliki
kemampuan untuk memformulasikan prinsip kegunaan/kemanfaatan (utilitas) menjadi
doktrin etika, yang dikenal sebagai utilitarianism atau madzhab utilitis. Prinsip utility
tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (1789). Bentham mendefinisikannya sebagai
sifat segala benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau
kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan,
serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan. Aliran
utilitas menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk
menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Aliran utilitas memasukkan
ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan
kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga
masyarakat. Bentham berpendapat, bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya
untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
Akan tetapi, konsep utilitas pun mendapatkan ktitikan tajam seperti halnya
yang dialami oleh nilai pertama di atas, sehingga dengan adanya kritik-kritik terhadap
prinsip kemanfaatan hukum tersebut, maka John Rawls, mengembangkan sebuah teori
baru yang menghindari banyak masalah yang tidak terjawab oleh utilitarianism. Teori
kritikan terhadap utilitas dinamakan teori Rawls atau justice as fairness (keadilan
sebagai kejujuran).

Hubungan Ketiga Nilai Dasar

Diantara ketiga nilai dasar terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh


karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang
berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling
bertentangan. Apabila diambil sebagai contoh kepastian hukum maka sebagai nilai ia segera
menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan kesamping. Menurut Radbruch, jika terjadi
ketegangan antara nilai-nilai dasar tersebut, kita harus menggunakan dasar atau asas prioritas
dimana prioritas pertama selalu jatuh pada nilai keadilan, baru nilai kegunaan atau
kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Ini menunjukkan bahwa Radbruch menempatkan
nilai keadilan lebih utama daripada nilai kemanfaatan dan nilai kepastian hukum dan
menempatkan nilai kepastian hukum dibawah nilai kemanfaatan hukum.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Achmad Ali yang menyatakan bahwa ia sendiri
setuju dengan asas prioritas tetapi tidak dengan menetapkan urutan prioritas sebagaimana
dikemukakan oleh Radbruch. Ia menganggap merupakan hal yang lebih realistis jika kita
menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang ia maksudkan ketiga nilai dasar hukum
diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi. Menurutnya jika asas prioritas kasuistis ini yang
dianut maka sistem hukum kita akan terhindar dari berbagai konflik yang tidak terpecahkan.

Di atas disebutkan bahwa antara nilai-nilai dasar hukum dapat terjadi ketegangan.
Ketegangan tersebut muncul pada saat hukum tersebut diterapkan dalam proses persidangan
di pengadilan. Hal ini terjadi karena dalam proses penerapan hukum di Pengadilan terdapat
faktor yang mempengaruhi para penegak hukum, diantaranya adalah norma yang berlaku
bagi mereka yang ditetapkan oleh pembuat Undang-Undang serta kekuatan sosial dan
pribadi.
Sumber
Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti

http://lapatuju.blogspot.com/2013/03/keadilan-kemanfaatan-dan-kepastian.html

http://catatanhukumaaz.wordpress.com/2011/02/15/nilai-nilai-dasar-hukum/
TEORI STUFENBAU MENURUT
HANS KELSEN

Nama : Sakhiyatu Sova


NIM : 11010113140480
Kode Dosen : 0291
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
Stufenbau Theorie (Teori Hukum Murni)
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang
menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang
dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih
tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma
hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar
(grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak). Contoh norma hukum paling dasar abstrak
adalah Pancasila

Kelsen memulai kariernya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20.
Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh
ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu
pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan
hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang
berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

Teori ini merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang
ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam
negara-negara totaliter (Allen, 1958 :48). Teori ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina
yang dipimpin Hans Kelsen.

Bagian dari teori ini yang bersifat dasar adalah konsepsi tentang Grundnorm, yang
merupakan Dalil Akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan
hukum, bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu (Allen, 1958 :51). Grundnorm ini juga
berfungsi sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada.
Oleh karena itu Grundnorm dapat pula dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-
peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

Dalam Teori Hans Kelsen, sejak dimulainya dari kelahiran konsepsi hipotesa
perdana yang disebut sebagai proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang dimaksud
proses dalam hal ini adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar
itu dan penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini kemudian melahirkan Stufentheorie,
yaitu melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, mulai dari
norma-norma yang umum sampai yang lebih konrit, sampai kepada yang lebih konrit. Pada
ujung terakhir ini, sanksi hukum lalu berupa ijin yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula
berupa sesuatu yang seharusnya, kini menjadi sesuatu yang boleh dan dapat dilakukan
(Dias, 1976 : 503).

Lebih lanjut, Kelsen menyebut hukum sebagai suatu susunan berjenjang, menurun
dari norma positif tertinggi sampai kepada perwujudannya yang paling rendah, Masing-
masing tindakan deduksi dan penerapan ini merupakan suatu perbuatan kreatif dan
keseluruhan tertib atau tatanan hukum itu merupakan suatu sistem yang padu dari
pendelegasian yang progresif (Erzeugungszusammenhang). Melalui proses pengkonkritan
yang demikian itu hukum diterima sebagai sesuatu yang terus menerus mampu membuat
kreatif sendiri.

Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapat
tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab
hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai
jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.

Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial, sedangkan
Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris.
Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda
dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh
pertimbangan moral.

Teori tertentu yang dikembangkan oleh Kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan
sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang dapat
menggambarkan suatu komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum
adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai
suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya
kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law
menekankanpada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental
dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi
dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan
pengalaman manusia.

The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini
mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-
judiris, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar,yang dibangun dengan
analisis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda dengan
analytical jurisprudence dalam hal The pure theory of law lebih konsisten menggunakan
metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum,
kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum.

Norma Dasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek seharusnya atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang
deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein)
dan apa yang seharusnya, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan
kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum,
yang merupakan pernyataan-pernyataan seharusnya tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi
alamiah.

Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian


yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan
sederhana ; kita menilai sebuah aturan seharusnya dengan memprediksinya terlebih dahulu.
Saat seharusnya tidak bisa diturunkan dari kenyataan, dan selama peraturan legal intinya
merupakan pernyataan seharusnya, di sana harus ada presupposition yang merupakan
pengandaian.

Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain
dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will).
Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai
dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru
tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang
merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel
Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah
kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat
optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka
ia percaya bahwa setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan. Tetapi, tidak ada
dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus
melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan
sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

Nilai Normatif Hukum

Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif


agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan
aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana
norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada
instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya


bahwa perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu
secara aktual dipraktikkan dan ditaati). Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma
Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali
ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu
mengubah kandungan isi Norma Dasar.

Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan


skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya.
Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah
sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas
Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan
menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa
benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Sumber
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta :
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum_Murni
http://putrasiregar15.wordpress.com/2012/11/23/teori-hukum-murni-dalam-kaitannya-
dengan-politik-hukum-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai