Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan adalah suatu usaha dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (UU RI nomor 20 tahun 2003 pasal 1 dan 3 tentang
sistem pendidikan nasional).
Belajar, perkembangan dan pendidikan merupakan tiga hal yang saling
terkait satu sama lain. Perkembangan dialami dan dihayati oleh individu siswa,
sedangkan pendidikan merupakan kegiatan interaksi. Dalam kegiatan interaksi
tersebut, pendidik atau guru bertindak mendidik siswa. Tindakan mendidik tersebut
tertuju pada perkembangan siswa menjadi mandiri. Untuk menjadi mandiri, siswa
dituntut untuk belajar (Dimyati & Mudjiono, 2009:5).
Berdasarkan data dari Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) rata-rata hasil
Ujian Nasional jenjang SMP/ MTS se-indonesia dari data tiga tahun terakhir
diperoleh data mata pelajaran IPA rata-rata yaitu 5,99 dengan klasifikasi C pada tahun
2013, 6,50 dengan klasifikasi C pada tahun 2014 dan 59,88 dengan klasifikasi C pada
tahun 2015. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nilai Ujian Nasional mata
pelajaran IPA untuk SMP/MTS masih tergolong rendah dibandingkan mata pelajaran
lain yang diujikan seperti mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa inggris.
Rendahnya hasil belajar IPA kognitif ini dapat mengindikasikan rendahnya
keterampilan proses sains siswa. Harlen (1999) menjelaskan bahwa keterampilan
proses sains memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan pengetahuan
(kognitif). Carin & Sund (1983:3) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara
proses, sikap dan produk. Hasil belajar kognitif merupakan produk (pengetahuan)
yang dipengaruhi oleh proses dan sikap siswa selama dalam pembelajaran.

1
2

Pembelajaran IPA yang kurang mengoptimalkan aspek keterampilan proses pada


akhirnya akan berdampak pada hasil belajar kognitif siswa.
Hasil angket kebutuhan dari guru-guru IPA SMP/MTS tahun 2015 di
wilayah Karanganyar ditemukan beberapa alasan belum dilaksanakannya
pembelajaran IPA terpadu di sekolah tersebut. Alasan tersebut antara lain adanya
ketakutan para guru tentang muatan materi yang tidak tersampaikan kepada siswa
karena guru merasa mengajar materi yang bukan bidang ahliya, selain itu belum
banyaknya contoh-contoh pembelajaran IPA terintegrasi/ IPA terpadu dibeberapa
buku teks, serta belum diperoleh langkah-langkah pengembangan pembelajaran IPA
terintegrasi/ IPA terpadu bagi guru SMP/ MTS. Pemahaman guru tentang IPA terpadu
ternyata masih banyak yang mengalami kesalahan konsep. Hasil angket dan
wawancara dengan guru IPA di Karanganyar terbukti bahwa IPA terpadu dipahami
sebagai gabungan antara bidang IPA (materi fisika, kimia, dan biologi) dalam satu
buku. Selain IPA terpadu yang dipahami bahwa keterpaduan terletak gabungan para
guru dengan latar belakang pendidikan IPA yang berbeda-beda (guru berlatar
belakang pendidikan biologi, pendidikan fisika, dan pendidikan kimia) dan ada juga
guru yang penyampaian materi fisika dan biologi secara terpisah tetapi disampaikan
oleh satu guru, materi fisika dan biologi disampaikan secara bergantian.
Kecenderungan pembelajaran IPA pada masa kini adalah peserta didik
hanya mempelajari IPA sebagai produk, menghafalkan konsep, teori dan hukum.
Keadaan ini diperparah oleh pembelajaran yang beriorientasi pada tes/ujian.
Akibatnya IPA sebagai proses, sikap, dan aplikasi tidak tersentuh dalam
pembelajaran. Pengalaman belajar yang diperoleh dikelas tidak utuh dan tidak
berorientasi tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pembelajaran
lebih bersifat teacher-centered, guru hanya menyampaikan IPA sebagai produk dan
peserta didik menghafal informasi factual sehingga peserta didik tidak biasa aktif
dalam kegiatan pembelajaran dan juga tidak biasa mengembangkan potensi pemikiran
yang dimilikinya, hal ini dapat mengakibatkan banyak peserta didik yang cenderung
menjadi malas berpikir secara mandiri. Cara berpikir yang dikembangkan dalam
3

kegiatan belajar belum menyentuh domain afektif dan psikomotor. Masalah lain yang
muncul selain hal tersebut yaitu kenyataan lain di lapangan bahwa hampir semua
guru IPA SMP masih belum menerapkan pembelajaran IPA terpadu dengan berbagai
alasan, alasan yang sering dikemukakan oleh para guru adalah keterbatasan waktu,
sarana, lingkungan belajar, dan jumlah peserta didik per kelas yang terlalu banyak.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa pendidik khususnya guru merupakan tenaga
professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran
serta menilai hasil pembeajaran. Agar dapat merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran serta menilai hasil pembelajaran dengan baik, seorang guru harus
memiliki pengetahuan tentang isi materi pelajaran (content) serta memiliki
kemampuan dalam mengajar (pedagogy). Ball, Thames, & Phelps (2008) menyatakan
bahwa seorang guru harus mempunyai pengetahuan deklaratif tentang content dan
pedagogy karena mengajar adalah sebuah profesi. Pengetahuan dan kemampuan guru
tentang content dan Pedagogy tersebut diimplementasikan pada saat perencanaan
pembelajaraan. Seorang guru sebaiknya memiliki kemampuan merencanakan
pembelajaran dalam sebuah pengemasan materi bidang studi. Pengemasan materi
itulah yang dinamakan Subject Specific Pedagogy (SSP). SSP diartikan sebagai
perangkat mengajar yang spesifik pada subjek materi tertentu berkaitan dengan
penggunaan srategi, pendekatan, model, media, cara penilaian, bahan ajar dan lain
sebagainya. Subject Spesific Paedagogy yaitu perangkat pembelajaran meliputi
silabus, RPP, media pembelajaran dan penilaian.
Pada guided inquiry siswa diberikan kesempatan untuk merumuskan
prosedur, menganalisis hasil dan mengambil kesimpulan secara mandiri, sedangkan
dalam hal menentukan topik, pertanyaan dan bahan penunjang, guru hanya berperan
sebagai fasilitator dan pembimbing. Sebagaimana diungkapkan Llewellyn (2011:18)
peran guru dalam guided inquiry yaitu sebagai fasilitator dan memberikan bimbingan
ketika siswa bertanya tetapi tidak memberikan jawaban langsung yang ditanyakan
oleh siswa. Tahap pembelajaran dalam model guided inquiry menggambarkan
4

kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dari awal hingga akhir
pembelajaran. Paul (2007: 66) menjelaskan langkah-langkah metode inquiry yaitu
diawali dari identifikasi dan klarifikasi persoalan, membuat hipotesis, mengumpulkan
data, menganalisis data, dan mengambil kesimpulan. Dari uraian tersebut, jelas
bahwa sintaks model guided inquiry meliputi orientasi masalah, merumuskan
masalah, mengajukan hipotesis, merancang percobaan, melakukan percobaan,
menganalisis data dan membuat kesimpulan.
Mc Bride, Bhatti, Hanna & Feinberg (2004) menjelaskan bahwa
mengajarkan sains melalui inquiry dapat melibatkan siswa dalam proses sains dan
mengembangkan keterampilan yang digunakan ilmuwan untuk mempelajari dunia
serta membantu siswa menerapkan keterampilan ini dalam mempelajari konsep sains.
Siswa dibantu untuk belajar dan menerapkan proses dengan merancang penyelidikan
yang terpusat pada masalah untuk mempelajari konsep sains yang spesifik.
Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan proses sains. Rendahnya hasil
belajar IPA di SMP juga mengindikasikan rendahnya keterampilan proses sains.
Harlen (1999) menjelaskan bahwa keterampilan proses sains memiliki peranan yang
sangat penting dalam pengembangan pengetahuan (kognitif).
Keterampilan proses sains adalah sejumlah keterampilan untuk mengkaji
fenomena alam dengan cara tertentu untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu
(Bundu, 2006). Akinbobola & Afolabi (2010) menjelaskan bahwa keterampilan
proses sains adalah keterampilan kognitif dan psikomotor yang digunakan dalam
menyelesaikan masalah. Keterampilan proses sains adalah keterampilan yang
ilmuwan gunakan dalam mengidentifikasi masalah, menyelidiki, mengumpulkan
data, mentransformasi, mengintepretasi dan mengkomunikasikan. Pembelajaran IPA
terpadu harus dikemas dengan basis pembelajaran Keterampilan Proses Sains agar
pembelajaran dapat berlangsung efektif dengan hasil yang memuaskan. Dari uraian
diatas, sintaks yang dimiliki oleh guided inquiry memiliki kesesuaian dengan
keterampilan proses sains yaitu menekankan pada proses penyelidikan dengan dasar
metode ilmiah. Peserta didik dilatih untuk mengembangkan keterampilan
5

mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, menyusun hipotesis, melakukan


percobaan, menganalisis hasil percobaan, dan membuat kesimpulan.
Dari permasalahan diatas, perlu dikembangkan sebuah kegiatan
pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik agar
mereka dapat mempelajari dan memahami materi IPA dengan menggunakan model
IPA terpadu sehingga produk yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa subject
specific pedagogy IPA Terpadu berbasis model guided inquiry untuk meningkatkan
keterampilan proses sains. Komponen SSP yang dikembangkan terdiri dari silabus,
RPP, Modul, dan perangkat penilaian.

B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian dan pengembangan ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana tahapan pengembangan Subject Spesific Paedagogy IPA
terpadu meliputi silabus, RPP, Materi, Modul, dan perangkat penilaian?
2. Bagaimana kualitas Subject Spesific Paedagogy IPA terpadu meliputi
silabus, RPP, Materi, Modul, dan perangkat penilaian?
3. Bagaimana efektifitas Subject Spesific Paedagogy IPA terpadu meliputi
silabus, RPP, Materi, Modul, dan perangkat penilaian?

C. Tujuan Penelitian dan Pengembangan


Tujuan dari penelitian dan pengembangan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan Subject Spesific Paedagogy IPA terpadu berbasis inkuiri
terbimbing yang meliputi silabus, RPP, Materi, Modul, dan perangkat
penilaian untuk meningkatkan Keterampilan Proses Sains.
2. Mengkaji kualitas Subject Spesific Paedagogy IPA terpadu berbasis inkuiri
terbimbing yang meliputi silabus, RPP, Materi, Modul, dan perangkat
penilaian untuk meningkatkan Keterampilan Proses Sains.
3. Mengetahui efektifitas Subject Spesific Paedagogy IPA terpadu berbasis
inkuiri terbimbing yang meliputi silabus, RPP, Materi, Modul, dan perangkat
penilaian untuk meningkatkan Keterampilan Proses Sains.
6

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian dan pegembangan ini diharapkan dapat memberi
manfaat sebgai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Perangkat Subject Spesific Paedogogy yang dikembangkan dapat
memberikan kontribusi terhadap kemajuan penelitian tentang perangkat
Subject Spesific Paedogogy.
b. Perangkat Subject Spesific Paedogogy yang dikembangkan dapat menjadi
bahan pembanding, pertimbangan dan pengembangan bagi penelitian
dimasa yang akan datang dalam bidang dan permasalahan sejenis atau
bersangkutan.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Siswa dapat dipacu untuk meningkatkan keterampilan proses sains.
2) Siswa mendapatkan gambaran tentang pemahamannya terhadap
materi IPA terpadu.
b. Bagi Guru
1) Guru dapat dipacu untuk mengembangkan Subject Spesific
Paedogogy IPA terpadu berbasis inkuiri terbimbing untuk
meningkatkan keterampilan proses sains.
2) Sebagai alternatif dalam menyusun dan menggunakan pembelajaran
untuk menunjang proses pemelajaran IPA terpadu di SMP.
c. Bagi Peneliti
1) Menambah pengalaman tentang penelitian dan pengembangan
Subject Spesific Paedogogy IPA terpadu berbasis inkuiri terbimbing
untuk meningkatkan keterampilan proses sains.
2) Sarana aplikasi ilmu yang telah diperoleh selama kuliah.

E. Spesifikasi Produk
Produk SSP (Subject Spesific Paedogogy) IPA terpadu berbasis inkuiri
terbimbing yang dikembangkan untuk meningkatkan Keterampilan Proses Sains
memenuhi spesifikasi sebagai berikut:
7

1. SSP (Subject Spesific Paedogogy) IPA terpadu berbasis inkuiri terbimbing yang
dikembangkan untuk mengukur Keterampilan Proses Sains ditunjukkan untuk
guru IPA SMP/MTS kelas VII.
2. SSP (Subject Spesific Paedagogy) meliputi silabus, RPP, Materi, Modul, dan
perangkat penilaian pada pembelajaran IPA terpadu di SMP.
3. SSP (Subject Spesific Paedogogy) IPA terpadu menggunakan model inkuiri
terbimbing.
4. Materi SSP (Subject Spesific Paedagogy) yang dikembangkan memuat tema IPA
Terpadu yaitu Pemanasan Global (Global Warming)
5. Media pembelajaran dalam SSP (Subject Spesific Paedagogy) yang
dikembangkan adalah Modul.

F. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan


Asumsi dalam penelitian dan pengembangan ini adalah:
a. Perangkat Subject Spesific Paedagogy yang dikembangkan dapat untuk
meningkatkan ketrampilan proses sains.
b. Adanya SSP (Subject Spesific Paedagogy) yang disajikan secara sistematis
dengan dilengkapi silabus, RPP, Materi, Modul dan perangkat penilaian
memudahkan siswa dalam memahami konsep IPA Terpadu secara bermakna

Keterbatasan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah:


1) Materi yang dikembangkan dalam SSP (Subject Spesific Paedagogy) IPA
terpadu hanya pada pemanasan global.
2) SSP (Subject Spesific Paedagogy) IPA terpadu berbasis inkuiri terbimbing
3) SSP (Subject Spesific Paedagogy) IPA terpadu untuk meningkatkan
keterampilan proses sains
4) Produk yang dikembangkan berupa silabus, RPP, Materi, Modul dan perangkat
penilaian.
5) Prosedur pengembangan menggunakan model Borg and Gall.

G. Definisi Istilah
1. Subject Specific Pedagogy
8

Subject Specific Pedagogy (SSP) merupakan pengemasan materi


bidang studi menjadi seperangkat pembelajaran yang komprehensif dan
mendidik. SSP terdiri dari lima komponen dasar yaitu berupa silabus, RPP,
Materi, Modul dan perangkat penilaian.
2. Silabus
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi
dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian (Muslich, 2007:32).
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan rancangan
pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam
pembelajaran di kelas (Muslich, 2007:53).
4. Modul
Modul adalah paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian
pengalaman belajar yang direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk
membantu siswa mencapai tujuan belajar (Mulyasa, 2006).
5. Perangkat Penilaian
Perangkat penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai
kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu (Sudjana, 2010).
6. Inkuiri Terbimbing
Inkuiri terbimbing merupakan pembelajaran dengan cara berpikir
ilmiah, pembelajaran inkuiri terbimbing menempatkan siswa untuk lebih
banyak belajar mandiri dan mengembangkan kreatifitas dalam pemecahan
masalah, sehingga siswa lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam
bentuk kelompok untuk memecahkan masalah dengan bimbingan guru (Wenno,
2008).
7. Keterampilan Proses Sains (KPS)
Ketrampilan Proses Sains (KPS) dapat melatih kemampuan atau
ketrampilan siswa yang relevan dengan pendekatan saintifik, kemampuan
tersebut adalah (1) mengobservasi atau mengamati (2) membuat hipotesis (3)
merencanakan penelitian/eksperimen (4) mengendalikan variable (5)
menginterpretasi atau menafsirkan data (6) menyusun kesimpulan sementara (7)
9

meramalkan (memprediksi) (8) menerapkan (mengaplikasi) (9)


mengkomunikasikan (Semiawan, 1992: 17-18).
10

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

1. Kajian Pustaka
1. Pembelajaran IPA
IPA adalah sebuah proses memperoleh kebenaran tentang fakta dan
fenomena alam yang meliputi aspek biologi, fisis dan khemis. Sedangkan hakikat IPA
dapat dipandang sebagai sikap, proses, produk serta aplikasi pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari yang keseluruhannya saling terkait secara erat.

2. Pembelajaran IPA terpadu


Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) terdapat beberapa perubahan diantara adalah konsep pembelajarannya
dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science atau IPA Terpadu bukan
sebagai pendidikan disiplin ilmu. Konsep keterpaduan ini ditunjukkan dalam
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pembelajaran IPA yakni di dalam
satu KD sudah memadukan konsep-konsep IPA dari bidang ilmu biologi, fisika, dan
ilmu pengetahuan bumi dan antariksa (IPBA).
Melalui pembelajaran IPA terpadu, peserta didik dapat memperoleh
pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima,
menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya. Dengan demikian,
peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari
secara menyeluruh (holistik), bermakna, autentik dan aktif.
3. Keterampilan Proses Sains
Akinbobola & Afolabi (2010) menjelaskan bahwa keterampilan proses sains
adalah keterampilan kognitif dan psikomotor yang digunakan dalam menyelesaikan
masalah. Keterampilan proses sains adalah keterampilan yang ilmuwan gunakan
dalam mengindentifikasi masalah, menyelidiki, mengumpulkan data,
mentransformasi, mengintepretasi dan mengkomunikasikan.
11

Menurut Semiawan (1992), kemampuan-kemampuan atau keterampilan-


keterampilan mendasar itu antara lain adalah kemampuan atau keterampilan:
1) Mengobservasi atau mengamati
2) Membuat hipotesis
3) Merencanakan penelitian/eksperimen
4) Mengendalikan variabel
5) Menginterpretasi atau menafsirkan data
6) Menyusun kesimpulan sementara
7) Meramalkan (memprediksi)
8) Menerapkan (mengaplikasi)
9) Mengkomunikasikan

4. Subject Specific Pedagogy


Menurut Hartanti, Sudarya, Suratno & Mulyasari (2009: 6) Subject Specific
Pedagogy (SSP) merupakan pengemasan materi bidang studi menjadi seperangkat
pembelajaran yang mendidik yang komprehensif dan solid yang mencakup
kompetensi, sub kompetensi, materi, metode, strategi, media serta evaluasi.
Komponen Subject Specific Pedagogy terdiri dari: pendahuluan, inti, penutup,
penilaian, pengajaran remidi, pengayaan/penerapan dan multimedia.
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dan ditelaah dengan lembar
telaah yang formatnya diadaptasi dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP)
yaitu dengan menuliskan ada tidaknya ranah yang diharapkan dari tiap-tiap perangkat.
Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik
(Subject Spesific Pedagogy) merupakan pengemasan perangkat pembelajaran bidang
studi yang mempunyai komponen berupa silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), bahan ajar, media pembelajaran, dan instrumen penilaian hasil belajar.
a) Silabus
b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
c) Bahan/ Materi Pembelajaran
d) Modul
e) Instrumen Penilaian

5. Two Tier Test


Two-Tier Multiple Choice (TTMC) adalah bentuk pertanyaan yang lebih
canggih dari pertanyaan pilihan ganda. Tingkat pertama menyerupai pilihan ganda
12

tradisional, yang biasanya berkaitan dengan pernyataan pengetahuan. Tingkat kedua


menyerupai format dari soal pilihan ganda tradisional tetapi bertujuan untuk
mengidentifikasi mikonsepsi yang dimiliki oleh siswa karena banyak distracters
didasarkan pada kesalahan pahaman tersebut (Adodo 2013).
Bentuk soal two tier dikembangkan oleh David Treagust dari Curtin
University Australia. Bentuk soal ini adalah bahwa setiap butir soal mengandung 2
bagian, bagian pertama adalah soal utama dan bagian kedua adalah alasan pemilihan
jawaban pada soal utama.
Keistimewaan bentuk soal ini adalah peserta didik dituntut untuk
memberikan alasan pemilihan jawaban pada soal utama. Dengan demikian hanya
peserta didik yang memiiki Keterampilan Proses Sains (KPS) yang baik saja yang
akan mampu menjawab dengan benar pada soal utama dan alasannya. Di samping
dapat dipergunakan untuk mengukur KPS, jenis soal ini juga dapat dipergunakan
untuk melakukan diagnosis kemampuan peserta didik.

6. Skoring pada Instrumen Two Tier


GRM adalah generalisasi dari odel logistik dua parameter (2-PL) pada model
teori respon butir dikotomus. Pada model ini fungsi respon kategori adalah
probablitias peserta ujian dalam memberikan respon pada kategori x butir ke I
sebagai fungsi dari yang didefinisikan sebagai berikut:

merupakan nilai fungsi karakteristik operasi dan k adalah banyaknya

kategori.
Penerapan Graded Response Model tersebut akan berpengaruh terhadap skor
yang diperoleh siswa sebagai berikut:
Tabel 2.2. Skoring pada Soal Two-tier
No Aspek Penilaian Skor
1 Tidak memilih jawaban dan alasan (TJ) 0
2 Jawaban salah-alasan salah (SS) 1
13

2 Jawaban salah-alasan benar (SB) 2


3 Jawaban benar-alasan salah (BS) 3
4 Jawaban benar-alasan benar (BB) 4

7. Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry)


Kelebihan model Inkuiri Terbimbing menurut Eggen, Jacobsen & Kauchak
(2009) antara lain : 1) Ketika pemahaman siswa sudah terbangun, pemahaman yang
berasal dari pelajaran inkuiri terbimbing biasanya lebih mendalam dibandingkan dari
ceramah dan penjelasan. 2) Inkuiri terbimbing cenderung menghasilkan retensi
(penyimpanan) dan transfer jangka panjang lebih baik dibandingkan mengajar dengan
pemaparan. 3) Melaksanakan pelajaran inkuiri terbimbing memberikan hasil sangat
memuaskan. 4) Membimbing siswa mengembangkan pemahaman jauh lebih
mengasyikkan ketimbang sekedar menjelaskan topik yang ada kepada mereka. 5)
Model inkuiri terbimbing sangat fleksibel.

8. Penelitian dan pengembangan


Metode penelitian ini mengacu pada metode penelitian dan pengembangan
atau Research and Development juga terkadang disebut Research-based-developmnt,
penelitian ini muncul sebagai strategi promosi untuk peningkatan pendidikan yang
kini ada. Educational Research and Development adalah proses yang digunakan
untuk meningkatkan dan memvalidasi suatu produk pendidikan (Borg and Gall, 1983:
772). Penelitian ini akan menggunakan model Borg and Gall (1983) yang akan
menerapkan langkahutama sebagai berikut:
1. Penelitian dan pencarian informasi
2. Perencanaan
3. Pengembangan bentuk awal produk
4. Uji lapangan tahap awal
5. Revisi produk utama
6. Uji lapangan utama
7. Revisi produk utama
8. Uji pelaksanaan lapangan
9. Revisi akhir produk
14

10. Diseminasi dan Implementasi

9. Pemanasan Global
A. Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan global adalah kenaikan suhu permukaan bumi yan disebabkan
oleh peningkatan keluaran (emisi) gas rumah kaca, seperti; karbondioksida,
metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur
heksafluorida di atmosfer. Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu
isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini.
B. Proses Pemanasan Global
Ketika sinar matahari memasuki atmosfir bumi, sinar matahari tersebut
harus melalui lapisan gas rumah kaca. Setelah mencapai seluruh permukaan bumi,
tumbuhan, tanah, air, dan komponen ekosistem lainnya menyerap energi dari sinar
matahari tersebut. Sisanya akan dipantulkan kembali ke atmosfir. Sebagian energi
dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian lagi terperangkap oleh gas rumah kaca di
atmosfir dan dikembalikan ke bumi sehingga dikenal dengan nama efek rumah
kaca (green house effect). Efek rumah kaca dapat mengakibatkan mencairnya
bongkah-bongkah es di kutub. Bila dibiarkan terus-menerus permukaan air laut
akan naik yang menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan daerah tepi
pantai.
C. Penyebab
Berikut ini beberapa hal-hal yang menyebabkan pemanasan global, antara
lain:
1) Polusi Karbondioksida Dari Pembangkit Listrik Bahan Bakar Fosil
2) Polusi Karbondioksida Dari Pembakaran Bensin Untuk Transportasi.
3) Gas Metana Dari Peternakan & Pertanian.
4) Aktivitas Penebangan Pohon
5) Penggunaan Pupuk Kimia Yang Berlebihan
D. Dampak
Dampak yang muncul dari pemanasan global antara lain:
15

1) Mencairnya Es di Kutub
2) Meningkatnya Level Permukaan Laut
3) Perubahan Iklim yang Makin Ekstrim
4) Gelombang Panas yang Makin Meningkat
5) Habisnya Gletser sebagai Sumber Air Bersih
6) Menurunnya Produksi Pertanian Akibat Gagal Panen
7) Makhluk Hidup Terancam Kepunahan
8) Krisis Air Bersih
E. Cara menanggulangi
Ada beberapa cara ampuh mengurangi dan mengatasi pemanasan global
yaitu :
1. Program Menanam Pohon 7. Membershkan Lampu
2. Kurangi Bangunan Rumah Kaca 8. Kurangi penggunaan AC
3. Cerdas Dalam Berkendara 9. Jemur pakaian diluar
4. Hemat Listrik 10. Kurangi penggunaan plastik
5. Saluran Ventilasi Rumah 11. Mencegah Ilegal loging
6. Hemat penggunaan kertas (bahan bakunya berasal dari kayu).

2. Kajian Penelitian yang Relevan


Penelitian dari Ball, Thames, Phelps (2008) menyatakan bahwa seorang guru
harus mempunyai pengetahuan deklaratif tentang content dan pedagogy karena
mengajar adalah sebuah profesi. Lebih lanjut, Eames, Williams, Hume & Lockey
(2011) menyatakan bahwa salah satu faktor keefektifan mengajar guru adalah
kemampuan content dan pedagogy.
Kontribusi jurnal ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai
dukungan teoritis, dalam jurnal tersebut berisi penjelasan yang kuat tentang content
dan pedagogy sehingga peneliti mempunyai dasar teori yang cukup dalam hal content
dan pedagogy yang akan dikembangkan.
Pada jurnal yang ditulis oleh Thorsten, Detlef, Sascha & Rolf (2010)
disebutkan bahwa metode inkuiri kolaborasi dalam penelitian ini dilakukan dengan 9
langkah yaitu 1) Berorientasi dan mengajukan pertanyaan (Orientation/question) 2)
Generasi hipotesis (Hypothesis generation), 3) Perencanaan (Planning), 4)
Investigasi (Investigation), 5) Analisis dan interpretasi data (Analysis/interpretation),
6) Eksplorasi model (Model), 7) Kesimpulan dan evaluasi (Conclusion/evaluation), 8)
Komunikasi (Communication), 9) Prediksi (Prediction). Mc Bride, Bhatti, Hanna &
16

Feinberg (2004) menjelaskan bahwa mengajarkan sains melalui inkuiri dapat


melibatkan siswa dlam proses sains dan mengembangkan keterampilan yang
digunakan ilmuwan untuk mempelajari duia serta membantu siswa menerapkan
keterampilan ini. Siswa dibantu untuk belajar dan menerapkan proses dengan
merancang penyelidikan yang terpusat pada masalah untuk mempelajari konsep sains
yang spesifik.
Kontribusi jurnal terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai
dukungan teoritis bagi penelitian ini. Dalam jurnal ini langkah-langkah pelaksanaan
model inkuiri dapat dilakukan dengan sembilan langkah, tetapi juga bisa disesuaikan
dengan kebutuhan, dari uraian diatas sintaks dalam model inkuiri terbimbing
memiliki kesesuaian dengan keterampilan proses sains yaitu menekankan pada proses
penyelidikan dengan dasar metode ilmiah. Siswa dilatih untuk mengembangkan
keterampilan mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, menyusun hipotesis,
melakukan percobaan, menganalisis hasil percobaan dan membuat kesimpulan.
Untuk itu jurnal ini dapat dijadikan sebagai referensi yang mendukung penelitian
pengembangan yang akan dilakukan.
Penelitian dari Karsli & Sahin (2009) menyatakan bahwa Keterampilan
proses sains (KPS) diartikan sebagai adaptasi dari keterampilan yang digunakan oleh
para ilmuwan untuk meyusun sebuah pengetahuan, berfikir tentang masalah dan
membuat kesimpulan. Pada jurnal yang ditulis oleh Shahali & Halim (2010)
dijelaskan bahwa keterampilan proses sains telah menjadi komponen yang penting
dalam kurikulum sains dan juga telah menjadi pendekatan yang memberikan
pendidikan sains menjadi lebih efektif untuk anak-anak. Untuk itu pengembangan
kurikulum yang menitik beratkan pada keterampilan proses sains membutuhkan
pengembangan instrumen yang reliabel dan valid yang dapat mengevaluasi
peningkatan dari keterampilan ini. Pada penelitian ini di kembangkan SSP (Subject
Specific Pedagody) yang didalamnya terdapat instrumen penilaian untuk enilai
keterampilan proses sains siswa
17

Dalam penelitian yang dilakukan akan mengembangkan Keterampilan


Proses Sains dengan menggunakan sembilan keterampilan diantaranya: 1)
Mengobservasi atau mengamati, 2) Membuat hipotesis, 3) Merencanakan
penelitian/eksperimen, 4) Mengendalikan variabel, 5) Menginterpretasi atau
menafsirkan data, 6) Menyusun kesimpulan sementara, 7) Meramalkan
(memprediksi), 8) Menerapkan (mengaplikasi), 9) Mengkomunikasikan.
Penelitian yang dilakukan Adodo (2013) meyatakan bahwa pada awal atau
akhir suatu topic, dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik dari pemahaman
siswa, dan dapat mengidentifikasi adanya miskonsepsi dengan cara ini instruksi
pembelajaran dapat dimodifikasi untuk mengatasi masalah dengan pengembangan
atau pemanfaatan alternative pendekatan pembelajaran yag dapat mebantu siswa yang
tidak dapat memahami konsep. Instrument ini jga tidak hanya menguji pemahaman
siswa, tapi juga berfungsi utuk menguji pengetahuan kognitif dengan berfikir tingkat
tinggi, untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang mereka miliki dan juga
meningkatkan ingatan pengetahuan mereka. Diagnostik kognitif yang dikembangkan
oleh De La Torre dan Douglas (2004) dan IRT tingkat tinggi yang dikembangkan oleh
De La Torre dan Song (2009). Dalam literature, two tier model respond dan model
IRT tingkat tinggi dikembangkan secara terpisah.
Dalam penelitian yang akan dilakukan yang diolah dengan model dikotomi.
Kontribusi jurnal terhadap penelitian ini adalah sebagai dukungan teoritis dan contoh
penelitian yang menggabungkan antara two tier model dengan IRT tingkat tinggi. Jika
pengembangan yang dilakukan untuk membuat suatu instrument two tier model. Hal
ini dapat dijadikan sebagai referensi yang mendukung penelitian pengembangkan
yang dilakukan.

3. Kerangka Berpikir
Melalui penelitian pengembangan Subject Spesific Paedagogy yaitu perangkat
pembelajaran meliputi silabus, RPP, Modul dan perangkat penilaian pada
pembelajaran IPA terpadu di SMP diharapkan akan dapat menjadi pembaharu bagi
guru-guru IPA dalam mengembangan perangkat pembelajarannya. Subject Spesific
18

Paedagogy IPA terpadu ini akan dikemas menjadi sebuah buku yang dapat
dipergunakan oleh guru-guru IPA SMP dalam mengelola pembelajaran IPA terpadu.
Untuk menghasilkan suatu tes item yang baik, maka soal tes tersebut perlu
disusun berdasarkan kualitas validitas, reliabilitas, daya pembeda, tingkat kesukaran
dan indeks pengecoh. Dari penjelasan ini, maka instrument penilaian untuk mengukur
Keterampilan Proses Sains dalam bentuk Testlet pada siswa SMP kelas VII yang
dikembangkan dapat dikatakan baik berdasarkan kriteria validitas, reliabilitas, daya
pembeda, tingkat kesukaran dan indeks pengecoh.
Penerapan model inkuiri terbimbing disertai dengan pengembangan Subject
Specific Pedagogy (SSP) diharapkan dapat mengukur keterampilan proses sains dan
meningkatkan kualitas pembelajaran IPA terpadu SMP kelas VII.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan yang bertujuan
menghasilkan Subject Spesific Paedagogy yaitu perangkat pembelajaran meliputi
silabus, RPP, media pembelajaran (Modul) dan perangkat penilaian yang berbasis
inkuiri terbimbing pada pembelajaran IPA terpadu untuk meningkatkan keterampilan
proses sains di SMPN karanganyar. Model pengembangan dalam penelitian ini
diadaptasi dari model pengembangan Borg & Gall.

B. Prosedur Penelitian
1. Model Pengembangan
Penelitian ini akan menggunakan model pengembangan yang diadaptasi dari
model pengembangan Borg & Gall dengan tahap sebagai berikut:
Tahap I : Studi Pendahuluan
19

Melakukan pengumpulan informasi dan penelitian pendahuluan. Pada tahap


ini, pengumpulan informasi dilakukan khusus di SMPN Karanganyar yaitu 9 sekolah
di Karanganyar.
Tahap II : Tahap Pengembangan Model
1. Model Pengembangan (Desain Produk)
Model pengembangan dalam penelitian ini diadaptasi dari model
pengembangan Borg & Gall. Model pengembangan ada 10 langkah yaitu
sebagai berikut:
a. Melakukan pendahuluan
b. Melakukan perencanaan
c. Mengembangkan jenis atau bentuk produk awal
d. Melakukan uji coba lapangan tahap awal, pengumpulan informasi atau
data dengan menggunakan observasi, wawancara, dan kuesioner, dan
dilanjutkan analisis data. inkuiri terbimbing.
e. Melakukan revisi terhadap produk utama, berdasarkan masukan dan
saran-saran dari hasil uji lapangan awal.
f. Melakukan uji coba lapangan utama, dilakukan terhadap 3-5 sekolah,
dengan 30-80 subyek. Tes atau penilaian tentang prestasi belajar siswa
dilakukan sebelum dan sesudah proses pembelajaran.
g. Melakukan revisi terhadap produk operasional, berdasarkan masukan dan
saran-saran hasil uji lapangan utama.
h. Melakukan uji lapangan operasional (dilakukan terhadap 10-30 sekolah,
melibatkan 40-200 subyek), data dikumpulkan melalui wawancara,
observasi, dan kuesioner.
i. Melakukan refisi terhadap produk akhir, berdasarkan saran dalam uji coba
lapangan
j. Mendesiminasikan dan mengimplementasikan produk, melaporkan dan
menyebarluaskan produk melalui pertemuan dan jurnal ilmiah,
bekerjasama dengan penerbit untuk sosialisasi produk untuk komersial,
dan memantau distribusi dan kontrol kualitas.
2. Validasi Desain
a. Validasi Isi
20

Validasi ahli dan revisi produk, direncanakan akan dilakukan validasi


bersama 10 orang ahli, yaitu 3 orang ahli dalam materi yaitu dosen kimia,
fisika dan biologi; 1 orang ahli kurikulum, 1 ahli media pembelajaran, 1 ahli
evaluasi pendidikan dan 3 orang ahli praktisi yaitu guru yang memiliki masa
kerja lebih dari 15 tahun.
Pada penelitian ini validitas isi ditentukan dengan menggunakan
formula Aiken, yaitu:
V = S / [n*(c-1)] di mana S = ni (r-o) (Aiken, 1985: 955)
b. Reliabilitas
Penentuan reliabilitas dari instrument penilaian yang dikembangkan
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan formula Alpha Cronbach.
Untuk mengetahui besarnya reliabilitas dapat digunakan formula Alpa
Cronbach, sebagai berikut:

c. Daya Beda Butir Soal


Daya pembeda dapat diketahui melalui atau dengan melihat besar
kecilnya angka indeks diskiminasi item adalah sebagai berikut:
D = PA - PB
Dengan PA = BA : JA
P B = BB : J B
d. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data berdistribusi normal
atau tidak. Pada penelitian ini uji normalitas menggunakan PASW Statistics
18.
e. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui kesamaan variansi
data. Pada peneltian ini uji homogenitas menggunakan PASW Statistics 18.
f. Uji Efektivitas dan performance Modul Pembelajaran
21

Pada uji efektivitas dan performance didapatkan data kuantitatif hasil


belajar peserta didik. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis
rata-rata. Berikut merupakan rumus untuk mengukur rata-rata:

3. Uji Coba Produk


Pada tahap uji coba produk akan dilakukan dalam tahapan-tahapan
sebagai berikut:
a. Uji coba skala terbatas akan dilakukan pada 5 orang siswa masing-masing
dari sekolah kategori tinggi, sedang, dan kurang di wilayah Karanganyar.
b. Uji coba skala menengah yang akan diterapkan Karanganyar masing-
masing 1 sekolah kategori rendah, sedang dan tinggi.
c. Uji coba skala luas untuk mendapatkan bukti efektifitas dan feasibilitas
produk akhir, direncanakan akan dilakukan pada 2 kelas masing-masing
dari sekolah kategori tinggi, sedang, dan kurang.
d. Sumber data
1. Data primer
2. Data Sekunder
e. Teknik Pengumpulan Data
1) Angket
2) Wawancara
3) Tes
f. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Analisis Angket
2) Analisis Data Tes
a) Uji Normalitas
Pada penelitian ini uji normalitas menggunakan PASW Statistics 18.
Hasil uji normalitas menggunakan hasil pada kolmogorov-smirnova.
b) Uji Homogenitas
Pada peneltian ini uji homogenitas menggunakan PASW Statistics
18. Hasil uji normalitas menggunakan hasil pada kolmogorov-
smirnova.
3) Analisis Afektif
22

Penilaian afektif meliputi: rasa ingin tahu, ketekunan dan


tanggung jawab dalam belajar, kerjasama, menghargai pendapat teman
satu kelompok dan menghargai pendapat teman kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA

Abdi, Ali. (2014). The effect of inquiry-based learning method on students academic
achievement in science course. Universal Journal of Educational
Research. 2(1), 37-41.
Adodo, S.O. (2013). Effect of two-tier multiple choice diagnostic assessment items on
students learning outcome in basic science technology (BST). Academic
Journal of Interdisciplinary Studies. 2(2), pp 201-210.
Aiken, L. R. (1985). Three Coefficient for Analyzing the Reliability and Validity of
Ratings. Educational and Psychological Measurement, 45.
Akinbobola, A.O., & Afolabi, F. (2010). Analysis of science process skills in West
African senior secondary school certificate physics practical examinations
in Nigeria. American Eurasian Journal of Scientific Research, 5(4), pp
234-240.
Amri, S. & Ahmadi K. I. (2010). Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam
Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.
Arifin, Z. (2013). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. (2012). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Asrori, M. (2009). Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: BSNP
Balai Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (BPPPK). (2006). Buram
Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Ball, D., Thames, M. & Phelps, G. (2008). Content knowledge for teaching what
make it special. Journal of Teacher education, 59(5), 389-407.
Bundu, P. (2006). Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam
Pembelajaran Sains SD. Jakarta: Depdiknas.
23

Carrin, AA & Sund, R B. (1985). Teaching Modern Science. Charles E Merril


Publishing Company. London.
Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Dahar, R. W. (2012). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

De Ayala, R. J. (1993). An Introduction to Polytomous Item Response Theory


Models. Measurement and Evaluation in Counceling and Development,
25 127-189.
Depdikbud. (2003). Permedikbud RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 dan 3 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Dimyati & Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Eames, C., Williams, J., Hume, A., & Lockey, J. (2011). Core: a way to build
pedagogical content knowledge for beginning teacher. Waikato:
University of Waikato.
Eggen, P., Jacobsen, D. A., & Kauchak, D. (2009). Methods for Teaching: Metode-
Metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Embretson, S. E & Reise, S.P. (2000). Iem Respon Theory for Phsycologists.
Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Assosiates.
Fogarty. (1991). Ten Way to Integrate Curriculum. Association for Supervision and
Curriculum.
Furchan, A. (1982). Pengantar Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Gall, M.D., Gall, J.P, & Borg, W. (2007). Educational research an introduction (8rd
ed). New York: Pearson Education, Inc.
Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Hamalik, O. (2003). Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Harlen, W. (1999). Purpose da procedures for assessing science process skill.
PreQuest Assessment in education, 6(1), pp 129-144.
Hartati, T., Sudarya, Y., Suratno, T., & Mulyasari, E. (2009). Pedagogic Produktif dan
Subject Specific Pedagogy. Bandung: UPI.
Haryati, M. (2008). Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Joyce, B., & Weil, M. (1996). Model of teaching (5th ed). Boston: Allyn & Bacon.
24

Karsil, F & Sahin, C. (2009). Developing Worksheet Based on Science Process Skills:
Factors Affecting Solubility. Asia-Pacific Forum on Science Learning
and Teaching 10.1.
Kuthlthau, C., C. (2010). Guided Inquiry: Learning in the 21 st Century. School
Libraries Worldwide. 16(1), pp 17-28.
Llewellyn, D. (2011). Defferentiated Science Inquiry. California: Corwin A SAGE.
Maedor, G. (2010). Inquiry Physics: A Modified Learning Cycle Curriculum.
Mc Bride, J. W., Bhatti, M.I, Hanna, A. M., & Feinberg. (2004). Using an inquiry
approach to teach science to secondary school sciens teachers. Physics
Education, 39 (1), pp 1-6.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum yang Disempurnakan Pengembangan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.
Musclich, M. (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
Jakarta: PT. Bumi Angkasa.
Osborne & Dillon. (2008). Science Education in Europe: Critical Reflection. A
Report to the Nuffield Foundation. London: Kings Collage.
Opara & Oguzor. (2011). Inquiry Instructional Method and the Scholl Science
Curriculum. Maxwellsci. 3. pp 188-198.
Poedjiaji, A. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Pendidikan Sains. Jakarta: Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI.
Poedjiaji, A. (2010). Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual
Bermuatan Nilai. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Prastowo, A. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta:
DIVA Press.
Prawirohartono. (1989). Belajar IPA. Bandung: Alfabeta.
Roestiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Rustaman, A. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan
Pendidikan Biologi.
Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Semiawan, C. (1992). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Shahali, E., H., M., & Halim, L. (2010). Development and validation of a test of
integrated science process skills. Elsavier Procedia Sosial and
Behavioral Sciences 9, 142-146.
25

Siregar, S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif dengan perhitungan manual dan


SPSS. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sudjana, N. & Rivai, A. (2007). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sudijono, A. (2005). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sudijono, A. (2009). Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suharsimi, A. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sulistyorini, S. (2007). Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya
dalam KTSP. Semarang: FIP PGSD Universitas Negeri Semarang.
Suparno, P. (2007). Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan
Menyenangkan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Supasorn, S & Anchulee, L. (2013). Enhancement of Grade 7 Students Learning
Achievement of the Matter Separation by using Inquiry Learning
Activities. Procedia-Social and Behavioral Sciences.116, pp 739-743.
Toharudin, U., Hendrawan, S. & Rustaman. A. (2011). Membangun Literasi Sains
Peserta Didik. Bandung: Humaniora.
Thorsten, B., & Detlef, U. (2010). Research Report: Collaborative Inquiry Learning,
Model, Tools, and Challenges. International Journal of Science
Education. 32(3), pp 349-377.
Trianto. (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dam
Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Uno, H. B. (2007). Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran: Pelengkap untuk
Meningkatkan Kompetensi Pedagogis para Guru dan Calon-guru
Profesional. Jakarta: IPA Abong.
Wenno, I. H. (2008). Pengembangan Model Modul IPA Berbasis Problem Solving
Method berdasarkan Karakteristik Siswa dalam Pembelajaran di SMP/
MTS. Cakrawala Pendidikan, XXIX No. 2.
Winkel. (2009). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.
26

Anda mungkin juga menyukai