Anda di halaman 1dari 21

MENGKONSTRUKSI INSTRUMEN PENILAIAN KETERAMPILAN PROSES SAINS (KPS)

PADA PEMBELAJARAN IPA SMP *)


Dr. Das Salirawati, M.Si **)

PENDAHULUAN
Saat ini dunia pendidikan sedang tidak menentu, karena banyaknya masalah yang
dihadapi, baik yang berkaitan langsung dengan pendidikan maupun masalah yang imbasnya
pada pendidikan. Kurikulum 2013 (K-13) yang baru sekitar 1,5 tahun digulirkan, ternyata
harus mengalami pembenahan dan revisi dalam perjalanan implementasinya pada tahun ke-2.
Hal ini wajar saja jika ditinjau dari aspek kebijakan, namun berbeda halnya dengan dampak
yang terjadi di lapangan, terutama bagi sekolah dan guru sebagai penyelenggara dan pelaksana
langsung kurikulum.
Sebagai seorang guru akan lebih bijak jika kita tidak terlalu terganggu dengan ma-
salah tersebut, sebab bagaimanapun keadaan pendidikan kita, tetapi proses pembelajaran harus
tetap berjalan. Inilah hebatnya profesi guru, tidak dapat menangguhkan apalagi menghentikan
aktivitas mengajar, apapun yang terjadi, karena jika hal itu dilakukan kacaulah dunia pendi-
dikan kita.
Berbicara masalah kurikulum, ada empat komponen penting yang selalu menjadi sasar-
an perbaikan kurikulum, yaitu tujuan/kompetensi, isi/materi ajar, metode/proses pembelajaran,
dan evaluasi. Keempatnya mengalami perubahan pada K-13, dan yang paling terlihat jelas
adalah pada proses dan evaluasi. K-13 memperkenalkan metode ilmiah yang dibawa pada
dimensi pedagogik modern menjadi pendekatan saintifik (scientific approach) yang harus
diterapkan dan mewarnai proses pembelajaran untuk seluruh mapel. Meskipun ada beberapa
mapel yang merasa keberatan dengan penerapan pendekatan saintifik, namun pemberlakuan
pendekatan ini tetap diwajibkan.
Ditinjau dari aspek evaluasi, pada K-13 dianjurkan untuk menerapkan penilaian
otentik, yang terdiri dari penilaian tertulis, kinerja, proyek, dan portofolio. Meskipun pada
KTSP penilaian otentik merupakan bagian dari CTL (Contextual Teaching and Learning) yang
dianjurkan, namun pada K-13 lebih dijabarkan dan ditekankan penerapannya.

*) Diberikan pada Pelatihan Mengkonstruksi Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains (KPS)
pada Pembelajaran IPA SMP, pada hari Sabtu, 22 Agustus 2015, di Ruang Sidang I LPPM UNS, Jl. Ir.
Sutami 36A Kentingan, Surakarta.
**) Dosen Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY

1
IPA atau Sains memfokuskan pada pemberian pengalaman langsung dengan memanfa-
atkan dan menerapkan konsep, prinsip, fakta Sains hasil temuan para ilmuwan. Oleh karena itu
peserta didik perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan ilmiah untuk
memahami gejala/fenomena alam. IPA (Sains) merupakan mapel di SMP yang berupaya
mengembangkan keterampilan peserta didik dalam menerapkan metode dan sikap ilmiah,
karena Sains identik dengan pendekatan keterampilan proses yang menekankan pada pembela-
jaran bagaimana memperoleh suatu konsep? bukan pembelajaran apa yang dimaksud
dengan suatu konsep. Dengan kata lain, adanya mapel IPA di SMP diharapkan keterampilan
proses peserta didik semakin berkembang, demikian pula gurunya.
Berkaitan dengan hal itu, bagaimanakah seharusnya mengajarkan IPA (Sains) dengan
pendekatan keterampilan proses yang mudah diikuti, diterapkan, dan dikembangkan oleh
guru-guru IPA SMP yang sejalan dengan anjuran kurikulum dan era yang sedang berkembang
saat ini? Bagaimana pula cara mengembangkan instrumen penilaian yang tepat agar peserta
didik benar-benar terbidik kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilannya secara kom-
prehensif? Pada kesempatan inilah kita akan mendiskusikan bersama.

SEKILAS TENTANG KONDISI PEMBELAJARAN IPA (SAINS) SAAT INI


Berdasarkan laporan hasil TIMSS (Trends in International Mathematics and Science
Study) tahun 2011 menunjukkan rata-rata skor prestasi Sains peserta didik Indonesia sebesar
406 (peringkat 40 dari 42 negara) (Das Salirawati, 2012). Demikian juga rata-rata skor prestasi
matematika peserta didik Indonesia pada tahun yang sama sebesar 389 (peringkat 41 dari 45
negara) (Rosnawati, 2012).
TIMSS merupakan studi internasional yang dilakukan oleh IEA (International Associ-
ation for the Evaluation of Educational Achievement) setiap empat tahunan, sejak tahun 1955.
TIMSS menilai prestasi Matematika dan Sains peserta didik pada grade 4 dan 8, serta
mengumpulkan berbagai informasi berkaitan dengan sekolah, kurikulum, dan pembelajaran.
TIMSS berfungsi antara lain mendeskripsikan atau memberikan gambaran (description or
mirror functions) sebuah perbandingan (a bench marking), memonitoring atau memantau
kualitas pendidikan (monitoring of quality of education), dan sebagai penelitian skala besar
(as a large scale policy research). Indonesia telah empat kali berpartisipasi dalam TIMSS
(Trends in Mathematics and Science Study), yaitu tahun 1999, 2003, 2007, dan 2011, tetapi
hanya mengikutkan peserta didik grade 8 (peserta didik kelas 8 SMP/MTs).

2
Banyak soal yang ditanyakan dalam TIMSS yang memang tidak terdapat dalam
kurikulum Indonesia, menyebabkan kita harus berpikir ulang tentang kecukupan materi yang
kita berikan pada peserta didik (asas adekuasi). Selain itu, peserta didik kita belum terbiasa
memecahkan soal yang berkaitan dengan aplikasi konsep dalam kehidupan dan soal yang
memerlukan penalaran. Oleh karena itu, pada K-13 seorang guru dituntut untuk dapat
menciptakan pembelajaran yang menantang, sehingga mampu membangkitkan sikap kritis,
logis, kreatif, dan inovatif pada peserta didik. Hal ini harus segera dilakukan jika kita tidak
ingin menjadi bangsa yang tertinggal dalam penguasaan sains dan matematika khususnya.
Hampir sebagian besar soal-soal sains dalam TIMSS yang mengungkap aspek aplikasi
(applying) dan penalaran (reasoning) tidak dapat dijawab oleh sebagian besar peserta didik
Indonesia. Soal-soal tersebut hanya dapat dijawab jika peserta didik kita terbiasa diajarkan
untuk menggunakan logika dan penalarannya dan selalu mengaitkan materi pelajaran dengan
aplikasinya dalam kehidupan.

PEMBELAJARAN IPA
Pembelajaran IPA mengandung makna mengajukan pertanyaan, mencari jawaban,
memahami jawaban, menyempurnakan jawaban, baik tentang gejala maupun karakteristik
alam sekitar melalui cara-cara sistematis. IPA (Sains) membantu peserta didik memahami diri,
lingkungan, dan alam sambil mendemonstrasikan pemahamannya ketika menyelesaikan
masalah. Hal ini berarti belajar IPA tidak sekedar belajar informasi tentang fakta, konsep,
prinsip, hukum dalam bentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge), tetapi juga
belajar tentang cara memperoleh informasi, cara dan teknologi (terapan IPA) bekerja dalam
bentuk pengetahuan prosedural (procedural knowledge), termasuk kebiasaan bekerja ilmiah
dengan menerapkan metode dan sikap ilmiah.
IPA sebagai bagian dari pengetahuan lahir dengan diawali rasa ingin tahu dari para
ilmuwan. Oleh karena itu, bila peserta didik ingin menguasai IPA, maka dalam dirinya harus
selalu muncul rasa ingin tahu dan berusaha mencari jawabannya. Selain itu IPA bersifat
dinamis, artinya bahwa kandungan materi IPA selalu berkembang dan bertambah setiap saat,
sehingga dengan mempelajari IPA berarti secara tidak langsung kita mengikuti perkembangan
jaman. Demikian pula perkembangan teknologi dapat diikuti, sebab teknologi merupakan
penerapan ilmu dasar yang tercakup dalam IPA.
Karakteristik IPA lainnya adalah bahwa semua konsep dalam IPA pada bidang telaah
yang sama pada dasarnya bersifat korespondensi (berhubungan) antara konsep yang satu

3
dengan yang lain. Hal ini mengisyaratkan bagi kita bahwa dalam mempelajari IPA harus
secara utuh dan menyeluruh, sebab kehilangan penguasaan suatu konsep berpengaruh terhadap
pemahaman konsep lainnya. Dengan demikian berarti bahwa kesulitan dalam mata pelajaran
IPA harus teratasi dengan segera (tidak boleh ditunda) kalau kita ingin memahami IPA yang
sebenarnya.
Seperti halnya guru bidang studi yang lain, maka guru IPA-pun dituntut untuk dapat
memiliki empat jenis kompetensi yang diamanatkan dalam UU RI No 19/2005 Pasal 28 agar
dapat menjadi tenaga pendidik yang profesional. Dalam kaitannya dengan kompetensi
profesional, maka seorang guru IPA dituntut untuk mampu melaksanakan evaluasi, baik
evaluasi hasil maupun proses belajar. Beberapa kompetensi evaluasi yang harus dikuasai guru
adalah (1) melaksanakan penilaian (asesmen) proses dan hasil belajar secara berkesinam-
bungan dengan berbagai metode, (2) menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar
untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level), (3) menggunakan informasi
ketuntasan belajar untuk merancang program remedi atau pengayaan (enrichment), dan (4)
memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran
secara umum.
Mempelajari IPA berarti mempelajari dua hal, yaitu IPA sebagai produk (aspek teore-
tis) dan IPA sebagai proses (aspek empiris). Produk IPA terdiri atas bangunan pengetahuan IPA
(knowledge dimension) dan kemampuan berpikir kognitif (cognitive process dimension),
sedangkan proses IPA terdiri atas kerja ilmiah (scientific process) dan sikap ilmiah (scientific
attitude). Dalam pembelajaran IPA yang berbasis kompetensi, mempelajari IPA berarti
mempelajari 4 unsur, yaitu produk, proses, sikap dan nilai, serta aplikasinya (pendekatan
kontekstual).
Pada pembelajaran IPA, peserta didik tidak hanya disuguhi konsep-konsep yang
merupakan produk metode ilmiah, tetapi harus pula diarahkan untuk melakukan proses,
sehingga mereka mempunyai keterampilan dan sikap seperti yang dimiliki para ilmuwan
dalam memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Conny Semiawan, 1992: 29). Dengan
kata lain, guru IPA diharapkan menyertakan kegiatan eksperimen dalam proses pembela-
jarannya di kelas, agar pembelajaran menjadi efektif dan komprehensif dalam memenuhi
aspek teoretis dan aspek empiris. Hal ini berarti dalam pembelajaran IPA harus lebih diarahkan
pada kegiatan yang mendorong peserta didik belajar lebih aktif, baik secara fisik, sosial,
maupun psikis dalam memahami dan menguasai konsep, sehingga pengetahuan yang

4
diperoleh menjiwai secara keseluruhan kehidupannya. Belajar IPA tidak boleh terlepas dari
kegiatan praktikum, eksperimen, dan sejenisnya, karena melalui kegiatan itulah anak didik
dibawa pada pembuktian penemuan produk IPA yang sesungguhnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pembelajaran IPA perlu diperhatikan hal-hal (1)
materi pelajaran memperhatikan perkembangan IPA; (2) memberikan pengertian yang baik
dan mendalam tentang IPA, fakta, konsep, dan teori kepada peserta didik; (3) memberikan
wawasan cara berpikir ilmiah; (4) melakukan kerja praktik di lapangan; dan (5) menyadarkan
peserta didik akan penggunaan IPA dalam kehidupan.
Pada pembelajaran IPA juga menuntut adanya guru IPA yang kompeten di bidang ilmu
IPA. Guru IPA hendaknya tidak hanya hafal materi yang akan diajarkan, tetapi lebih daripada
itu harus menguasai berbagai fenomena alam yang berkaitan dengan konsep-konsep IPA dan
juga memahami kerja ilmiah yang merupakan dasar penemuan konsep-konsep IPA. Brown,
LeMay, & Bursten (1991: 28) berpendapat bahwa IPA yang bersifat aplikatif dalam kehidupan
dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat mengharuskan guru untuk
memperluas wawasan bidang IPA yang digelutinya.
Pembelajaran IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat, sehingga dapat membantu
peserta didik memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Selain itu
penerapan inkuiri ilmiah (scientific inquiry) bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir,
bekerja, bersikap ilmiah, dan mengomunikasikan sebagai aspek penting kecakapan hidup.

KETERAMPILAN PROSES SAINS (KPS)


Ditinjau dari segi proses, maka IPA (Sains) memiliki berbagai keterampilan, seperti
keterampilan (a) mengidentifikasi dan menentukan variabel tetap/bebas dan variabel berubah/
tergayut, (b) menentukan apa yang diukur dan diamati, (c) mengamati dan mengguna-kan
sebanyak mungkin indera (tidak hanya indera penglihatan), mengumpulkan fakta yang
relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan, (d) menafsirkan hasil penga-
matan, seperti mencatat secara terpisah setiap jenis pengamatan, dan dapat mengasosiasikan
hasil pengamatan, (e) menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, dan mencari kesimpulan
hasil pengamatan, (f) meramalkan apa yang akan terjadi berdasarkan hasil-hasil pengamatan,
dan (g) menggunakan alat/bahan dan mengapa alat/bahan itu digunakan. Selain itu juga
keteram-pilan dalam menerapkan konsep, baik penerapan konsep dalam situasi baru, menggu-
nakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang terjadi, maupun dalam
menyusun hipotesis.

5
Keterampilan Sains juga menyangkut keterampilan dalam berkomunikasi, seperti
keterampilan (a) menyusun laporan secara sistematis, (b) menjelaskan hasil percobaan atau
pengamatan, (c) cara mendiskusikan hasil percobaan, (d) cara membaca grafik atau tabel, dan
(e) mengajukan pertanyaan, baik bertanya apa, mengapa dan bagaimana, maupun bertanya
untuk meminta penjelasan serta mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis.
Rezba dkk. (1995) dan Bryce dkk (1990) mendeskripsikan keterampilan proses Sains yang
harus dikembangkan pada diri peserta didik mencakup kemampuan yang paling sederhana,
yaitu mengamati, mengukur sampai dengan kemampuan tertinggi, yaitu kemampuan bereks-
perimen.
Penerapan pendekatan saintifik yang dianjurkan oleh K-13, secara umum meliputi
langkah-langkah mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan
diakhiri dengan mengomunikasikan. Dengan adanya penerapan pendekatan saintifik ini, maka
sesungguhnya itulah pembelajaran IPA (Sains) yang benar dan tepat. Peserta didik dibawa
dalam alur belajar yang diawali dengan mengamati keadaan atau fenomena sekitar. Berdasar-
kan hasil pengamatan itulah kemudian menjadi bahan tanya jawab ketika proses pembelajaran
berlangsung. Hasil dari tanya jawab menjadi data-data atau informasi yang terkumpul dalam
struktur kognitifnya yang selanjutnya dianalisis dan diolah dengan cara mengaitkan antar
data/informasi menjadi suatu simpulan tentang konsep, teori, prinsip, maupun hukum tertentu.
Untuk menunjukkan kebenaran simpulan tersebut, maka perlu dikomunikasikan antar teman
dalam kelas. Langkah-langkah inilah yang merupakan prinsip utama pendekatan saintifik.
Pada kenyataannya, ada beberapa guru yang bertanya, apakah tahap-tahap tersebut
harus dilakukan secara berurutan atau tidak, karena dalam kenyataannya kelima tahap tersebut
dapat saja munculnya tidak berurutan, bahkan saling overlapping satu dengan yang lain. Hal
ini tidak perlu diperdebatkan, sebab hal terpenting adalah anak didik belajar mengembangkan
rasa ingin tahunya, sehingga kemudian mengajukan pertanyaan, distimulasi penalarannya, dan
dilatih kemampuan komunikasinya. Jika guru harus berpikir bahwa kelima tahap tersebut
harus urut munculnya, maka pembelajaran akan menjadi kaku dan tidak alami mengalir dalam
suasana yang hangat. Dengan kata lain, secara konsep yang tersirat boleh urut, tetapi praktik-
nya diserahkan pada guru yang memang tahu seluk beluk keadaan di lapangan (kondisional).
Bagaimanakah keterampilan proses sains dapat dikembangkan oleh guru? Selain butuh
perencanaan yang matang dengan menuangkannya dalam RPP, kita juga perlu banyak wawas-

6
an, terutama yang berkaitan dengan perkembangan IPA yang sedang trend (aktual) dan
menarik untuk dikaitkan dengan materi yang akan disampaikan.
Beberapa contoh percobaan sederhana yang dapat menunjukkan keterampilan proses
Sains dapat dicontohkan berikut ini:
1. Struktur Atom
Untuk membuktikan bahwa dalam atom terdapat partikel penyusun atom yang dapat
bergerak, yaitu elektron dapat dilakukan percobaan sederhana sbb:
Kertas adalah contoh sebuah materi yang terdiri dari atom-atom. Tiap atom memiliki
inti atom yang bermuatan positif dan elektron yang mengelilinginya yang bermuatan negatif.
Dengan menggosokkan balon ke rambut, maka elektron pada rambut akan terlepas, sehingga
menyebabkan balon terkena pengaruh muatan negatif elektron. Ketika balon yang bermu-
atan negatif didekatkan pada potongan kertas, maka muatan positif kertas akan tertarik balon.
Gaya tarik antara muatan negatif dan positif ini mampu mengatasi gravitasi bumi, sehingga
potongan kertas melompat ke atas dan menempel pada balon.
Percobaan ini sekaligus dapat menunjukkan pada kita bahwa yang dapat bergerak
dan berikatan dengan atom lain adalah elektron, bukan proton maupun neutron.
Dengan rambut kita dapat menjelaskan banyak konsep kimia, seperti mengapa jika kita
menggunakan conditioner rambut menjadi mudah diatur, mengapa rebonding dapat menye-
babkan kerusakan rambut, mengapa mewarnai rambut berbahaya, dan sebagainya.

2. Keberadaan Molekul dan Ikatan Hidrogen (Materi Ikatan Kimia)


Untuk mengetahui bahwa air terdiri dari molekul-molekul air, maka dapat dilakukan
percobaan sederhana sbb:
Letakkan 2 tusuk gigi secara berhadapan di atas permukaan air dalam sebuah
mangkuk. Celupkan tusuk gigi yang lain dalam larutan sabun, lalu celupkan diantara dua tusuk
gigi yang berhadapan tadi. Cairan sabun mampu mematahkan gaya tarik-menarik antar
molekul air, sehingga tusuk gigi terlempar saling menjauh. Gerakan saling menjauh ini akibat
ikatan hidrogen antar molekul air putus. Percobaan ini membuktikan bahwa meskipun molekul
tidak dapat dilihat tetapi keberadaannya dapat diamati dari gejala yang ditimbulkan.
Ikatan hidrogen antar molekul air dapat diputuskan sementara oleh gugus ionik dari
sabun yang mengandung ion Na+ dari soda kaustik. Percobaan dapat lebih menarik dilakukan
dengan menggunakan cawan petri yang diisi air susu dan diberi beberapa macam warna di
tengahnya. Dengan menggunakan cottonbuds yang dicolekkan pada sabun colek, maka ketika

7
diletakkan di tengah-tengah warna yang ada seketika warna tersebut menjauh keluar. Namun
ketika cottonbuds diangkat, warna akan mengumpul kembali di tengah, pertanda bahwa
putusnya ikatan hidrogen hanyalah sementara.

3. Sistem dalam Kehidupan Tumbuhan


Kita dapat menunjukkan bagaimana tumbuhan memperoleh air dari dalam tanah
melalui daya kapilaritasnya dengan cara memasukkan setangkai seledri ke dalam gelas yang
diberi air berwarna hijau. Setelah didiamkan selama semalam, maka akan nampak daun seledri
yang semakin hijau yang menunjukkan terjadinya kapilaritas warna hijau dari larutan ke daun
seledri tersebut.

4. Berbagai Sifat Fisika Benda


Kita dapat melakukan eksperimen tentang sifat daya hantar panas beberapa benda,
yaitu dengan menyiapkan sendok yang terbuat dari baja, perak, plastik, dan kaca yang
dimasukkan ke dalam gelas secara bersama-sama, lalu ujung gagang masing-masing sendok
dilekatkan sebutir kacang polong dengan sedikit mentega. Setelah gelas dituangi air mendidih,
maka kacang polong yang jatuh terlebih dahulu menunjukkan bahwa bahan sendok tersebut
merupakan penghantar panas yang terbaik.

5. Uji Iodium dalam Garam (Uji Amilum)


Untuk mengetahui ada tidaknya iodium dalam garam, maka dapat dilakukan dengan
cara memanaskan air yang ditambah beberapa sendok garam beryodium (dalam bentuk KIO3).
Selanjutnya pada bagian dalam tutup panci dibasahi dan ditaburkan amilum (tepung kanji) lalu
tutupkan. Diamkan air mendidih 5 10 menit, lalu angkat tutup panci tersebut. Di situ terlihat
adanya warna biru/ungu yang berarti iodium pada garam menguap. Aplikasinya bagi kita
adalah jika menggunakan garam beryodium untuk masakan, maka jangan dimasukkan ketika
masakan mendidih, melainkan setelah api dikecilkan setelah masakan matang.

6. Ciri-ciri Reaksi Kimia (Perubahan Suhu)


Dalam kehidupan sehari-hari kita pernah mengonsumsi minuman penyegar dalam
bentuk sachet (serbuk). Pada kemasan sachet tersebut tertulis prosedur Aduk 18x. Peserta
didik dapat diajak membuat rancangan percobaan sederhana untuk menyelidiki mengapa harus
diaduk 18x. Mula-mula disiapkan beberapa sachet minuman penyegar dan gelas bekas minum-
an, lalu dilakukan pelarutan dengan pengadukan 5x, 10x, 15x, 18x, dan 20x disertai pengukur-

8
an temperatur menggunakan termometer. Berdasarkan hasil percobaan sederhana ini, peserta
didik belajar menyimpulkan dari permasalahan yang diangkat.

7. Ciri-ciri Reaksi Kimia (Pembentukan Gas)


Pada setiap kemasan pemutih selalu tercantum peringatan jangan dicampur dengan
deterjen, dapat menimbulkan gas berbahaya. Bagaimana cara membuktikan terjadinya gas
klorin pada reaksi antara deterjen dengan pemutih, dapat dibuktikan dengan rangkaian perco-
baan sederhana, yaitu mereaksikan deterjen dengan pemutih pada suatu wadah tertutup yang
tutupnya dilubangi untuk tempat sedotan, lalu sedotan dihubungkan dengan wadah lain yang
telah diisi ikan. Dalam waktu beberapa saat, maka ikan akan mulai mabuk karena menghi-
rup gas klorin dan akhirnya mati.

8. Reaksi Netralisasi
Peserta didik dapat diajak percobaan sederhana untuk mengetahui jenis rambut mereka
dengan menerapkan prinsip reaksi netralisasi (reaksi asam basa). Caranya dengan menuangkan
pemutih sekitar setengah gelas bekas aqua. Kemudian dimasukkan sehelai rambut kita dengan
cara ditekan menggunakan kayu hingga seluruh rambut terendam. Natrium hipoklorid
(NaOCl) yang bersifat basa mampu bereaksi dengan rambut yang bersifat asam.
Ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu (1) jika rambut larut dalam waktu singkat
(20 30 menit) berarti termasuk rambut kering (bersifat sangat asam) dan agar rambut tetap
lembab digunakan shampoo yang kandungan proteinnya tinggi, seperti shampoo kuning telur,
lidah buaya, dan seledri, (2) jika rambut larut antara 30 menit sampai 1 jam, maka termasuk
rambut normal yang dapat menggunakan shampoo jenis apa saja (misal ginseng), dan (3) jika
rambut larut lebih dari 1 jam berarti rambut tersebut berminyak (paling banyak masalah),
shampoo dengan sifat asam/basa tinggi yang cocok digunakan untuk mengurangi jumlah
minyak dalam rambut, seperti shampoo merang (bersifat basa) dan jeruk nipis (bersifat asam).

9. Uji Merkuri dalam Skin Whitening (Materi Redoks: Deret Volta)


Untuk menguji ada tidaknya merkuri digunakan kabel listrik yang telah dikupas
bungkusnya, jadi tinggal tembaganya (Cu). Tancapkan tembaga tersebut ke dalam skin
whitening (kalau bisa disiapkan dari berbagai merk), diamkan 1 2 jam, lalu tarik tembaga
tersebut. Jika tembaga yang ditancapkan semula berwarna coklat kemerahan berubah menjadi
putih keperakan, itu tandanya skin whitening mengandung merkuri.

9
Seperti diketahui dalam deret Volta (H) Cu Hg yang berarti Cu dapat mengusir
Hg karena lebih mudah mengalami oksidasi (bersifat reduktor), sebaliknya Hg lebih mudah
mengalami reduksi (bersifat oksidator). Akibatnya merkuri (Hg) akan menempel pada Cu.

10. Keberadaan Zat Besi pada Buah-buahan (Materi Kimia Unsur)


Untuk mengetahui adanya zat besi pada beberapa buah-buahan, seperti anggur, nanas,
apel, arbei, dapat dilakukan percobaan sbb :
Siapkan beberapa buah yang akan diteliti ada tidaknya zat besi, ambil cairannya
dengan cara diperas (tidak perlu pakai blender), lalu tuangkan masing-masing ke dalam gelas
bekas aqua dengan tinggi yang sama. Tambahkan sejumlah yang sama teh kental yang telah
didiamkan kira-kira 1 jam. Aduk dan biarkan sekitar 20 menit. Angkat dan lihat di dasar gelas,
apakah ada endapan. Bila belum ada, biarkan lagi beberapa saat, dan lihat kembali dasar gelas.
Endapan yang terbentuk merupakan zat besi yang terkandung dalam buah yang bereaksi
dengan zat kimia dalam teh (katekin dan tanin). Jumlah dan kecepatan terbentuknya endapan
menandakan banyaknya zat besi di dalam buah tersebut.

Contoh-contoh percobaan tersebut dapat diterapkan di kelas maupun di rumah sebagai


sarana agar peserta didik mengalami keterampilan proses dalam memperoleh konsep-konsep
IPA yang diajarkan. Nampaknya sederhana, tetapi penjelasan dari percobaan yang sederhana
tersebut mampu menggali berbagai pemecahan masalah yang berkaitan dengan konsep-konsep
IPA, sehingga anak didik terkondisikan belajar inkuiri dalam kemasan pendekatan saintifik.

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN KETERAMPILAN PROSES SAINS


Seperti diketahui bahwa dalam KTSP maupun K-13, penilaian terhadap hasil belajar
peserta didik tidak hanya ditekankan pada aspek pengetahuan (kognitif), tetapi juga sikap
(afektif), dan keterampilan (psikomotorik). Oleh karena itu jika kita akan melakukan penilaian
terhadap aspek kognitif, sesungguhnya kita juga dapat sekaligus menilai aspek afektif maupun
psikomotorik.
Selama ini kita terlalu mengkotak-kotakkan ketiga aspek tersebut, sehingga seolah-
olah merupakan kompetensi yang terpisah di dalam diri peserta didik, padahal kenyataannya
tidak. Seperti halnya ketika kita mempelajari otak, pembagian otak kanan dan kiri hanyalah
mempermudah kita untuk mempelajari otak, padahal sesungguhnya tidaklah sekaku itu
pembagiannya. Oleh karena itulah pembelajaran kognitif tidak dapat dipisahkan dari pembela-

10
jaran afektif dan psikomotorik. Format pembelajaran yang berhasil adalah mengetahui,
mengagumi, mempelajari, menyikapi, dan menampilkan apa yang ada di dalam topik yang
dibahas. Dalam format tersebut, anak-anak memperkuat konstruksi pengetahuan baru mereka
sewaktu mereka memperluas pembelajaran kognitif dengan mengenali respons-respons afektif
mereka, dan ditampilkan dalam perilaku yang dapat diukur
Lalu bagaimanakah bentuk penilaian yang sesuai dan dapat mencakup ketiga aspek
tersebut dikemas? Selama ini hampir sebagian besar guru, ketika mengadakan ulangan atau
ujian, jika membuat soal pilihan ganda (bentuk soal yang paling banyak digunakan), maka
instrumen penilaian yang berupa soal pilihan ganda tersebut utamanya untuk mengukur
kemampuan/kompetensi kognitif saja. Informasi yang diperoleh dari pola jawaban peserta
didik hanyalah peserta didik paham jika jawaban benar dan tidak paham jika jawaban
salah. Tidak ada informasi lanjut, apakah mereka menjawab benar karena benar-benar mengu-
asai konsep yang ditanyakan atau hanya spekulasi yang jitu. Demikian juga bagi mereka
yang menjawab salah, apakah benar-benar tidak menguasai atau ada miskonsepsi di dalam
struktur kognitifnya.
Jika demikian, lalu apa gunanya proses pembelajaran kita menerapkan keterampilan
proses, kalau akhirnya ternyata jawaban-jawaban benar tersebut kumpulan dari spekulasi-
spekulasi yang jitu, atau jawaban-jawaban yang salah tersebut kumpulan dari miskonsepsi-
miskonsepsi yang tak terdeteksi? Hal inilah yang harus kita pikirkan agar diperoleh keseja-
lanan atau kerelevanan antara proses pembelajaran dan penilaian yang kita lakukan.
Salah satu faktor yang sangat besar andilnya dalam menghambat pencapaian prestasi
belajar yang memuaskan adalah adanya miskonsepsi dalam diri peserta didik, baik disebabkan
prakonsepsi yang dibawa peserta didik ketika mereka mencoba mengonstruksi sendiri konsep
tersebut di pikirannya maupun miskonsepsi dari sekolah (school made misconception) (Barke,
2009: 7). Miskonsepsi yang berlarut-larut akan merusak sistem pemahaman peserta didik
terhadap konsep secara keseluruhan, mengingat konsep-konsep dalam IPA sebagian besar
saling berkaitan satu sama lain.
Sebagai contoh, konsep massa dan berat yang dipelajari pada Fisika, yang harus
dikuasai dengan benar oleh peserta didik, karena konsep tersebut digunakan pada sebagian
besar perhitungan dalam Fisika. Miskonsepsi konsep massa dan berat akan merusak sistem
pemahaman semua konsep Fisika, terutama materi Fisika yang berisi perhitungan. Ada lagi
miskonsepsi yang disebabkan oleh hasil pengamatan setiap hari anak didik, yaitu kebiasaan

11
kita membeli beras dengan alat yang disebut literan, sehingga kita mengatakan satuan beras
dengan liter, sebaliknya kita membeli minyak goreng curah dengan menimbang, sehingga kita
mengatakan satuan minyak dengan kilogram.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang guru sangat berkepentingan dalam mengatasi
adanya miskonsepsi yang dialami peserta didik, salah satunya dengan cara membuat soal yang
mampu mendeteksi adanya miskonsepsi tersebut. Ada beberapa peneliti yang mencoba
mengembangkan instrumen soal, yang tidak hanya mengukur pemahaman peserta didik, tetapi
juga mampu mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didiknya. Diantara peneliti
tersebut adalah Bergquist & Heikkinen (1990: 1000), Beek & Louters (1991: 389), Menis &
Frase (1992: 132), dan Kim Chwee Daniel Tan, et. al. (2002: 283), Amir, Frankl, & Tamir
(1987: 20).
Beberapa peneliti lainnya mencoba mengembangkan teknik tertentu untuk mendeteksi
miskonsepsi, diantaranya Garnett & Treagust (1992: 1088) melalui wawancara, Nakhleh
(1992: 191) melalui wawancara semi-terstruktur, Odom & Barrow (1995: 53) melalui wawan-
cara dan uji tertulis, Krishnan & Howe (1994: 654) berupa instrumen 4 tipe, yaitu simple
multiple-choice questions, two-tier true-false questions with reasons, two-tier multiple-choice
items, dan problems, Staver & Lumpe (1995: 186) melalui tes tertulis, kumpulan masalah, dan
laporan hasil percobaan, dan Sidauruk (2005: 73) berupa instrumen soal pilihan ganda.
Amir, Frankl, & Tamir (1987: 20), Krishnan & Howe (1994: 654) telah mengem-
bangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi berupa tes pilihan ganda dengan alasan terbuka.
Bentuk instrumen ini memiliki kelemahan, yaitu adanya kemungkinan banyaknya peserta
didik yang tidak mengisi alasan dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan
ganda dengan alasan tertentu yang dikembangkan Treagust (1987: 519), Odom & Barrow
(1995: 53), Birk & Kurtz (1999: 126) memiliki kelemahan, yaitu hilangnya kebebasan peserta
didik dalam mengemukakan alasan di luar yang tersedia dan kemungkinan memilih alasan
secara spekulatif. Berdasarkan hal tersebut, maka ada pengembangan yang merupakan
adaptasi berupa penggabungan kedua bentuk instrumen tersebut agar kelemahan keduanya
dapat diatasi (Das Salirawati, 2011).
Berdasarkan instrumen-instrumen yang telah dikembangkan tersebut, maka instrumen
yang kemungkinan besar mudah diikuti dan dikembangkan oleh guru adalah instrumen yang
berbentuk two-tier multiple choice items, yaitu soal pilihan ganda yang terdiri dari dua
tingkatan atau bagian, meliputi soal inti dan alasan (setengah terbuka)

12
Sama halnya dengan umumnya membuat soal, yaitu diawali dengan membuat kisi-kisi
soal yang bertujuan agar distribusi materi dan juga tingkat kognitif soal yang akan diujikan
proporsional dan representatif (terwakili). Kemudian mulai disusun satu persatu soal inti sesu-
ai dengan kisi-kisi tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat alasan setengah terbuka,
artinya ada alternatif jawaban alasan yang telah tersedia, namun juga disediakan tempat
kosong apabila peserta didik mau menuliskan alasan lain di luar yang disediakan.
Strategi dalam membuat alternatif jawaban alasan adalah untuk soal yang berupa
teoretis (bukan hitungan), maka guru harus menerawang jauh, berandai-andai, menduga-duga
kemungkinan peserta didik memiliki alasan yang menyimpang tetapi boleh jadi itu ada dalam
pikiran peserta didik. Dalam hal ini berarti guru memposisikan andai dia menjadi peserta
didik. Jika soal berupa hitungan, maka alternatif alasannya dapat berupa kesalahan rumus,
kesalahan konsep, atau kesalahan langkah menghitung.
Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan contoh soal-soal berikut ini:
Daun tumbuhan yang bergerak karena diterpa angin tidak termasuk gerak tumbuhan, karena ...
A. daun hanya bergoyang-goyang di tempatnya.
B. gerakan daun sembarang dan tidak beraturan.
C. bentuk daun tidak mengalami perubahan.
D. angin tidak termasuk rangsangan dari lingkungan. *

Alasan, karena pengertian gerak tumbuhan adalah gerakan sebatas menanggapi:


A. perubahan suhu lingkungan.
B. rangsangan dari lingkungan. *
C. perubahan kelembaban udara.
D. pengaruh gravitasi bumi.
E. ............................................................................................................................................
.....

Anak yang memilih A, bisa jadi karena menurutnya gerakan tumbuhan tidak hanya
dapat dilihat dari gerakan daun, tetapi juga diikuti gerakan bagian tumbuhan yang lain,
misalkan batang, cabang, ranting, dan lain-lain. Pilihan option B mungkin dalam struktur
kognitif anak didik tersebut meyakini bahwa yang dimaksud gerakan tumbuhan adalah jika
gerakannya beraturan. Sedangkan anak didik yang memilih option C beranggapan bahwa
gerakan tumbuhan haruslah menyebabkan adanya perubahan bentuk.
Bagi anak didik yang menjawab benar, tetapi alasan yang dipilih tidak tepat, pasti dia
memiliki alasan untuk memilih option alasan tersebut. Misalnya jika dia memilih option
alasan A, berarti dia beranggapan gerakan tumbuhan sebatas disebabkan adanya perubahan
suhu lingkungan, padahal rangsangan yang dapat menyebabkan gerakan tumbuhan dapat

13
berupa sentuhan, cahaya, air, kelembaban, atau zat-zat kimia. Demikian pula anak didik yang
memilih option alasan C dan D memiliki anggapan yang sama dengan anak didik yang menja-
wab option alasan A.
Contoh lainnya, untuk materi kimia dalam IPA SMP adalah:
Nomor atom adalah angka/bilangan yang menyatakan banyaknya ...
A. elektron atau proton dalam atom.
B. proton dalam inti atom. *
C. proton dan neutron dalam inti atom.
D. elektron dalam kulit atom.

Alasan, karena pada setiap atom, baik atom netral maupun bentuk ionnya:
A. jumlah proton selalu sama dengan elektron.
B. inti atom terdiri dari proton dan neutron.
C. jumlah proton tetap, tetapi elektron dapat berubah. *
D. jumlah elektron mengikuti jumlah proton.
E. ................................................................................................................................
.................

Sedangkan contoh soal fisika dalam IPA SMP adalah:


Perhatikan gambar berikut ini:
Sari yang sedang berdiri melihat Roni bersepeda melewatinya.

Pernyataan berikut ini yang tepat mengenai bunyi bel sepeda Roni adalah bunyi bel sepeda ...
A. mendekati Sari dan Roni.
B. tidak mendekati Sari dan Roni.
C. mendekati Roni, tetapi menjauhi Sari.
D. menjauhi Roni tetapi mendekati Sari. *

Alasan, karena ........................................................ (Coba Anda mengisi option alasan ini!)


A. ................................................................................................................................
..................
B. ................................................................................................................................
..................
C. ................................................................................................................................
..................
D. ................................................................................................................................
..................

14
E. ................................................................................................................................
..................

Bagaimanakah cara menganalisis hasil jawaban peserta didik hingga kita dapat menge-
tahui terjadi tidaknya miskonsepsi? Setelah peserta didik menjawab seperangkat soal pende-
teksi miskonsepsi ini, maka diperoleh data yang berupa pola jawaban soal inti dan alasan dari
setiap butir soal yang dikerjakan peserta didik. Data pola jawaban selanjutnya dimasuk-kan ke
dalam kategori tingkat pemahaman sebagai berikut:
Tabel 1.
Kemungkinan Pola Jawaban Peserta Didik dan Kategorinya

No. Pola Jawaban Peserta Didik Kategori Tingkat Pemahaman


1. Jawaban inti tes benar alasan benar memahami (M)
2. Jawaban inti tes benar alasan salah miskonsepsi (Mi-1)
3. Jawaban inti tes salah alasan benar miskonsepsi (Mi-2)
4. Jawaban inti tes salah alasan salah tidak memahami (TM-1)
5. Jawaban inti tes salah alasan tidak diisi tidak memahami (TM-2)
6. Jawaban inti tes benar alasan tidak diisi memahami sebagian tanpa miskonsepsi
(MS-1)
7. Tidak menjawab inti tes dan alasan tidak memahami (TM-3)

Berdasarkan kategori tersebut, maka dapat dianalisis butir-butir tes mana saja yang
menyebabkan peserta didik mengalami miskonsepsi dan seberapa besar persentasenya.
Dengan melihat persentase tiap butir soal, selanjutnya dapat diketahui pula pada materi mana
yang memiliki kecenderungan peserta didik mengalami miskonsepsi. Alasan terbuka (komen-
tar) yang ditulis oleh peserta didik dicek satu persatu untuk ditentukan benar tidaknya, sehing-
ga dapat ditentukan kategorinya.
Selanjutnya hasil kategori dapat menunjukkan kecenderungan miskonsepsi yang terjadi
pada peserta didik sebagian besar mengarah pada option pengecoh (distraktor) yang mana
pada soal inti dan option alasan yang mana dari alasan-alasan yang tersedia maupun isian dari
peserta didik sendiri. Dengan melihat penyebab-penyebab ini, maka dapat dapat dicarikan
solusi yang tepat dan perencanaan strategi pembelajaran yang dapat mengatasi miskonsepsi
yang terjadi.
Dengan soal yang berbentuk demikian, maka seorang guru dapat menelusuri pola pikir
anak didik dan juga keterampilan proses apa yang sebenarnya sudah dikuasainya atau salah
memahaminya, sehingga dia dapat menjawab benar atau salah sekaligus tahu alasannya. Soal

15
seperti ini juga dapat digunakan untuk melihat sejauhmana keterampilan peserta didik dalam
menggunakan alat atau bahan ketika mereka praktikum. Sebagai contoh:

Jika Anda akan mengambil volum suatu larutan dengan ketelitian tinggi, maka jika volum
larutan yang akan diambil sebanyak 4 mL, alat yang tepat digunakan adalah ...
A. Pipet gondok 5 mL. C. Beaker glass 5 mL.
B. Gelas ukur 5 mL. D. Pipet volum 5 mL. *

Alasan, karena untuk pengambilan volum dengan ketelitian tinggi sebanyak 4 mLalat:
A. pipet gondok paling akurat dan dekat dengan volum yang diambil.
B. gelas ukur paling mudah menuang dan memindahkan larutan ke tempat lain.
C. Beaker glass paling lebar mulutnya dan praktis untuk langsung dipakai titrasi.
D. Pipet volum 5 mL paling akurat dan dekat dengan volum yang diambil. *

Apabila soal tersebut hanya berhenti pada soal inti, maka soal hanya mampu mengukur
aspek kognitif peserta didik, artinya mereka akan menjawab option manapun, benar atau salah
jawabannya, kita tidak dapat menelusuri keterampilan proses berpikir mana yang benar atau
yang salah, apakah hanya spekulasi (kebetulan) atau memang benar-benar tahu. Namun jika
pada soal inti ditambahkan alternatif alasan jawaban, maka kita dapat mengetahui pemahaman
sekaligus alasan yang tepat dari jawaban yang dipilih. Secara tidak langsung, jika anak
memilih alasan yang tepat, maka dapat dipastikan ketika mereka praktikum pasti akan
menggunakan alat tersebut dengan tepat pula.
Selain bentuk two-tier multiple choice items, kita sebenarnya dapat mencoba pula
bentuk soal yang mampu mengungkap keterampilan proses sains anak didik, yaitu dengan
menggunakan soal ideational, yaitu bentuk soal yang mampu mengungkap dan mengem-
bangkan cara berpikir anak, dimana setiap jawaban anak didik dipandang sebagai domain
berpikir yang unik yang harus dihargai. Tentu saja tetap dalam koridor jawaban yang masuk
akal (rasional) dan berpegang pada kebenaran konsep.
Biasanya soal ideational berupa pertanyaan divergen yang mengarah pada jawaban
yang bervariasi dalam hal kemampuannya memberikan solusi, merencanakan, memberikan
contoh, memformulasi konsep, memverifikasi, mengritik, merevisi, memberikan ide yang
unik, dan sebagainya. Domain afektif dapat dilihat dari segi keantusiasan mengerjakan dan
mengungkap jawaban, rasa ingin tahu, kepercayaan diri, ketegasan memilih hal-hal yang
positif, kemampuan bereaksi, dan sebagainya. Domain psikomotorik dapat dilihat dari
keterampilan, kecakapan mengungkapkan diri, usaha-usaha untuk melakukan, dan sebagainya.

16
Soal ideational berupa pertanyaan yang dapat merangsang kemampuan berpikir
divergen, yaitu pertanyaan dalam order berpikir yang tinggi dan harus merupakan pertanyaan
yang terbuka (open ended question) (Collette & Chiappetta, 1994: 142-150) yang disertai
dengan pemberian waktu yang cukup bagi peserta didik berkesempatan untuk berpikir
(Croom & Stair, 2005: 12-14).
Soal ideational dapat mengungkap berbagai keterampilan proses sains, seperti
keterampilan melakukan pengamatan, merekam data/informasi, mengikuti instruksi, mengkla-
sifikasi, membuat prediksi, dan melakukan pengukuran. Berikut adalah contoh soal ideational:

Keterampilan Dasar Item


A. Keterampilan melakukan pengamatan
Mencocokkan suatu objek Tuliskan kandungan basa yang terdapat dalam obat maag
dengan beragam representasi yang berfungsi menetralisir asam lambung! Usahakan
visualnya dalam kehidupan Anda tuliskan lebih dari satu macam jenis basa!
sehari-hari.
B. Keterampilan merekam data/informasi
Merekam informasi sederhana Apa yang menyebabkan Anda salah jika mencampurkan
dengan mempresentasikannya pemutih dengan bahan pembersih? Usahakan Anda
dalam bentuk argumentasi. tuliskan lebih dari satu alasan!
Menghasilkan tema yang tepat Gaung terjadi karena adanya gelombang bunyi. Teriak di
beserta informasi yang ada di dalam sumur menghasilkan gema. Telinga terasa sakit jika
dalamnya mendengar bunyi keras. Tuliskan tema yang tepat untuk
ketiga kalimat tersebut! Usahakan lebih dari satu tema!
C. Keterampilan mengikuti instruksi
Menyiapkan peralatan atau Apa yang terjadi jika suatu larutan garam dibiarkan
menyelesaikan suatu prosedur mengering di atas kertas dengan bantuan sinar matahari?
menurut perintah secara tertulis Usahakan Anda tuliskan lebih dari satu jawaban!
D. Keterampilan mengklasifikasi
Menyatukan objek berdasarkan Suatu larutan X jika diuji dengan kertas lakmus merah
informasi yang diberikan tidak berubah warna, jika diuji dengan indikator universal
menunjukkan warna yang sama dengan angka terkecil
dalam skala indikator tersebut, jika diuji dengan alat uji
elektrolit memberikan nyala terang. Berdasarkan data
tersebut, tuliskan sifat dan kekuatan larutan X? Usahakan
Anda tuliskan penjelasan dari setiap data yang ada!
E. Keterampilan membuat prediksi
Membuat perkiraan cara Jika ada dua kalung yang ukuran lingkarnya sama, tetapi
pengukuran volum suatu benda ingin diketahui volum yang lebih besar. Perkirakan bagai-
dengan menggunakan sesuatu mana cara untuk mengukur volum kalung-kalung tersebut?
alat atau bahan tertentu. Upayakan Anda tuliskan lebih dari dua jawaban!
F. Keterampilan melakukan pengukuran
Menyediakan unit/alat pengukur Alat apa yang harus Anda sediakan bila akan mengukur
untuk melakukan pengukuran. volum suatu benda? Upayakan Anda tuliskan lebih dari
dua alat! Jangan lupa diberikan alasannya!

17
Kelebihan soal ideational adalah adanya penghargaan terhadap setiap proses berpikir
peserta didik apapun jawabannya, karena banyaknya alternatif jawaban yang mungkin
memang benar untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian anak didik dibebaskan
proses berpikirnya untuk menemukan solusi dan pemecahan masalah. Tipe soal ideational
banyak dimunculkan dalam soal TIMSS. Berikut ini beberapa contohnya:

Ahmad memasukkan beberapa serbuk ke dalam tabung reaksi. Dia kemudian menambahkan
cairan ke dalam serbuk dan mengocok tabung reaksi. Suatu reaksi kimia terjadi. Uraikan dua
hal yang mungkin teramati ketika reaksi kimia terjadi!

Apa yang terjadi dengan massa dan volum air dalam sebuah wadah ketika air tersebut
membeku?

Beberapa burung memakan siput. Suatu spesies siput yang hidupdi hutan mempunyai
cangkang berwarna gelap. Spesies siput yang sama yang hidup di lapangan mempunyai
cangkang berwarna cerah. Jelaskan bagaimana perbedaan warna cangkang ini menolong
siput-siput tersebut untuk bertahan hidup!

Soal ideational tidak terlalu menfokuskan pada nilai atau prestasi, tetapi lebih mene-
kankan pada penelusuran dan pengungkapan bagaimana sesungguhnya alur pikir, penalaran,
logika berpikir, dan juga keterampilan proses sains anak didik tersebut muncul. Namun
demikian tipe soal ideational layak untuk dicoba guru, agar anak didik terbiasa tertantang
dengan permasalahan-permasalahan yang memerlukan penalaran. Bukankah suatu penilaian
tidak selalu bertujuan untuk menentukan keberhasilan anak didik, tetapi dapat pula digunakan
untuk memperbaiki proses pembelajaran dan juga mendiagnosa kemungkinan kesalahan
pemahaman dan penguasaan anak didik terhadap materi ajar yang sudah dipelajari?

PENUTUP
Mencoba dan berubah adalah dua kata yang harus ada dalam diri guru. Tanpa mencoba
maka guru tak akan berubah dalam rangka pengembangan diri menuju guru yang profesional.
Sebelum mencoba, sadari terlebih dahulu bahwa anda adalah guru IPA dimana dalam proses
pembelajarannya tidak hanya menekankan aspek teoretis, tetapi harus selalu berdampingan
dengan aspek empiris. Nah kalau sudah menyadari, barulah kemudian mencoba melakukan
perubahan, khususnya dalam hal penilaian yang tidak sekedar mengutamakan nilai, tetapi
sekaligus mampu mengungkap alur keterampilan proses hingga munculnya penguasaan materi
yang hakiki.

18
Dengan bentuk soal pilihan ganda tipe two-tier dan ideational harapannya peserta
didik benar-benar dibawa dalam proses pembelajaran yang tidak hanya menjawab apa yang
dimaksud dengan suatu konsep, tetapi mampu menjawab bagaimana memperoleh suatu
konsep?, sehingga keterampilan proses guru dan peserta didik berkembang. Selain itu soal
yang demikian mampu pula membangkitkan sikap kritis, logis, kreatif, dan inovatif pada
peserta didik, serta mampu mengungkap kemampuan aplikatif dan penalaran peserta didik.
Dengan membiasakan anak didik berhadapan dengan soal-soal seperti itu, maka secara tidak
langsung peserta didik dibiasakan menggunakan logika dan penalarannya dan selalu mengait-
kan materi pelajaran dengan aplikasinya dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Frankl, & Tamir. (1987). Justifications of answers to multiple choice items as a means
for identifying misconceptions. In Proceedings of the Second Internati-onal Seminar
on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 15-
25. Ithaca, New York: Cornell University.

Barke, H. D. (2009). Chemistry misconception-diagnosis, prevention, and cure. Paper


Bandung: Second International Seminar on Science Education, IUE.

Beek, K. V. & Louters, L. (1991). Chemical language skills, investigating the deficit. Journal
of Chemical Education, 68(5), 389-392.

Bergquist, W. & Heikkinen, H.. (1990). Student ideas regarding chemical equilibrium, what
written test answers do not reveal. Journal of Chemical Education, 67(12), 1000-1003.

Birk, J. P. & Kurtz, M. J. (1999). Effect of experience on retention and eliminationof


misconceptions about molecular structure and bonding. Journal of Chemical
Education, 76(1), 124-128.

Bryce, T.G.K., McCall, J., MacGregor, J., Robertson, I.J., dan Weston, R.A.J. (1990).
Techniques for assessing process skills in practical science: Teachers guide. Oxford:
Heinemann Educational Books.

Brown, T. L., LeMay, H. E. Jr., & Bursten, B. E. (1991). Chemistry the central science.
Englewood Cliffs, N. J.: Prentice Hall.

Collette, A.T. & Chiappetta, E.L. (1994). Science instruction in the middle and secondary
schools. New York: Macmillan Publishing Company.

Conny Semiawan, et al. (1992). Pendekatan keterampilan proses, bagaimana mengaktifkan


siswa dalam belajar. Jakarta: Gramedia.

19
Croom, B. & Stair, K. (2005). Getting from Q to A: Effective questioning for effective
learning. The Agricultural Education Magazine. 78(1), 12.

Das Salirawati. (2011). Pengembangan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia pada Peserta
Didik SMA. Disertasi. Yogyakarta: PPs UNY.

Das Salirawati. (2012). Profil kemampuan peserta didik indonesia menurut benchmark lnter-
nasional (Bidang Sains). Seminar Nasional Hotel Salak Heritage. Bogor. tanggal 3
Desember 2012.
Garnett, P. J. & Treagust, D. F. (1992). Conceptual difficulties ezperience by senior high
school students of electrochemistry: Electrochemical (Galvanic) and electrolytic cells.
Journal of Research in Science Teaching, 29(6), 1079-1099.

Kim Chwee Daniel Tan, Ngoh Khang Goh, Lian Sai Chia, & David F. Treagust (2002).
Development and application of a two-tier multiple choice diagnostic instrument to
assess high school students understanding of inorganic chemistry qualitative analysis.
Journal of Research in Science Education, 39(4), 283-301.

Krishnan, Shanti R, & Howe, Ann C. (1994). The mole concept: Developing in instrument to
assess conceptual understanding. Journal of Chemical Education, 71(8), 653-655.

Menis, Joseph, & Frase, Barry J. (1992). Chemistry achievement among grade 12 students in
Australia and the United States. Research and Science and Technological Educatio,.
10(2), 131-170.

Nakhleh, M. B. (1992). Why some students dont learn chemistry: Chemical misconceptions.
Journal of Chemical Education, 69(3), 191.

Odom, A. L. & Barrow, L. H. (1995). Development and application of a two-tier diagnostic


test measuring college biology students understanding of diffusion and osmosis after a
course of instruction. Journal of Research in Science Teaching, 32(1), 45-61.

Rezba, R.J., Sparague, C.S., Fiel, R.L., Funk, H.J., Okey, J.R., & Jaus, H.H. (1995). Learning
and assessing science process skills. 3rd ed. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company.

Rosnawati. (2012). Profil kemampuan peserta didik indonesia menurut benchmark


lnternasional (Bidang Matematika). Seminar Nasional Hotel Salak Heritage. Bogor.
tanggal 3 Desember 2012.

Sidauruk, S. (2005). Miskonsepsi stoikiometri pada siswa SMA. Disertasi. Yogyakarta: PPs
UNY.

Staver, John R., & Lumpe, Andrew T. (1995). Two investigations of students understanding of
the mole concept and its use in problem solving. Journal of Research in Science
Teaching, 32(2), 177-193.

20
Treagust, D. (1987). An approach for helping students and teachers diagnose misconceptions
in specific science content area. In Proceedings of the Second International Seminar
on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol II.
519-520. Ithaca, New York: Cornell University.

Tresna Sastrawijaya. (1998). Proses belajar-mengajar kimia. Jakarta: Depdikbud.

21

Anda mungkin juga menyukai