Anda di halaman 1dari 36

61

BAB IV
IMPLEMENTASI GURINDAM XII DALAM
KURIKULUM SEKOLAH

4.1. Membangun Karakter Siswa Sebagai Amanah Pendidikan

Dalam Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 disebutkan bahwa di antara

tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk

memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian pendidikan

tidak hanya membentuk insan cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter

kuat dan berakhlak mulia yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Dalam pendidikan karakter harus melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),

perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tiga aspek tersebut merupakan satu

kesatuan yang utuh. Jika salah satu tidak ada maka pendidikan karakter tidak akan

efektif. Dari proses kesadaran seseorang mengetahui tentang nilai-nilai yang baik

(knowing the good), lalu merasakan dan mencintai kebaikan (feeling and loving

the good) itu sehingga terpatri dan terukir dalam jiwanya yang akhirnya menjadi

berkakter kuat untuk melakukan kebaikan. Feeling and loving the good, yakni

bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi poweryang bisa membuat

orang senantiasa mau berbuat kebaikan. Hakikat loving pasti mengandung unsur

pengorbanan dan keikhlasan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau

melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu.
62

Dari dua aspek kesadaran mengetahui dan mencintai nilai-nilai

kebenaran itu, seseorang akan ringan melakukan hal-hal yang baik. Tiga proses

tersebut secara terus menerus dilakukan dan dialami, sehingga menjadi endapan-

endapan pengalaman. Dari endapan-endapan pengalaman itu berubah menjadi

kebiasaan dan karenanya menjadi karakter yang kuat dan positif. Kebiasan yang

dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh pengetahuan, kesadaran dan

pemahaman akan menjadi sebuah karakter seseorang, heriditas hanya menjadi

salah satu faktor saja dalam pembentukan karakter.

Sebagai basis acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter

dalam Islam ialah QS. Rum (30): 30.

Dari ayat ini dapat ditarik benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah)

manusia dan proses pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi

empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-

aktif.1

Pertama, yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap

individu karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah secara asal, baik

ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian saja. Faktor-faktor

eksternal, termasuk pendidikan tidak begitu berpengaruh karena setiap individu

terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Ketetapan itu dapat

dialirkan kepada hereditas seseorang secara kodrati.


63

_________________________

Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam),


Yogyakarta Nuha Litera, 2010
Dasar argumen yang digunakan aliran ini ialah hadis Nabi SAW dari Abdullah

Ibnu Masud berkata, Rasulullah SAW bersabda (mengomentari) firman Allah,

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka

(QS. Al-Araf [7]: 172). Nabi SAW mengatakan bahwa ketika Allah

mengeluarkan Adam dari surga dan sebelum turun dari langit, Allah mengusap

sulbi Adam sebelah kanan dengan sekali usapan, lalu mengeluarkan darinya anak

keturunan yang berwarna putih seperti mutiara dalam bentuk zur (keturunan).

Allah berfirman kepada mereka: Masuklah ke dalam surga dengan nikmat-Ku.

Lalu Allah mengusap sekali terhadap sulbi Adam sebelah kiri, lalu mengeluarkan

anak turunannya yang berwarna hitam dalam bentuk zur. Allah berfirman:

Masuklah ke neraka dan Aku tidak peduli. Yang demikian itulah maksud Allah

tentang golongan kanan dan golongan kiri. Kemudian Allah mengambil

kesaksian terhadap mereka dengan berfirman, Bukankah Aku ini Tuhan kalian?

Mereka menjawab, Betul, Engkau Tuhan Kami, kami menjadi saksi.(QS. Al-

Araf [7]:172). Seorang pendosa akan masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya

(given). Sifat dasar ini tidak berubah yakni berkaitan dengan karakter seseorang

untuk masuk neraka atau masuk surga, kebahagiaan atau penderitaan, atau

berkarakter positif atau negatif. Implikasi dari pandangan ini bahwa faktor

eksternal termasuk lingkungan dan pendidikan karakter adalah pasif dalam

pembentukan karakter. Karena karakter kuat atau lemah telah ditentukan lebih

dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah. Dengan
64

demikian manusia ibarat berkarakter wayang, mau jadi apa karakternya terserah

kepada Sang Dalang.

Bawaan sejak lahir atau hereditas memberikan penekanan pada determinasi

perilaku menurut struktur genetis riwayat keluarga. Maka sifat-sifat anak tidak

jauh berbeda dengan orang tuanya. Setiap perangai, temperamen, sifat, dan

karakter memiliki kaitan genetis dengan generasi yang mendahuluinya. Hal itu

jauh-jauh sebelum anak lahir sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Persoalan

teori hereditas ini juga dapat disamakan dengan paradigma gender. Paradigma

gender membedakan secara khas karakter seseorang melalui jenis kelamin. Pria

dan wanita secara karakteristik berbeda terutama karena alasan gender, berupa

struktur kromosom yang mempengaruhi perbedaan fisik, perangai, dan pola

prilaku tertentu. Fatalisme-pasif semacam ini berkontradiksi dengan cita-cita

sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan tersruktur agar

manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu menempa dan

membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dan lingkungan sosial

yang mengelilingi dirinya.

Kedua, pandangan netral-pasif yakni anak lahir dalam keadaan suci,

utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran

akan iman atau kufur, berkarakter positif atau berkarakter negatif dan bersifat

pasif menghadapi diterminasi alam lingkungan terutama lingkungan sosial dan

pendidikan. Ini sama dengan teori tabularasa dari John Lock. Manusia lahir

seperti kertas putih tanpa ada sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi

berkarakter baik dan kuat bila pengaruh luar terutama orang tuanya mengajarkan
65

demikian. Sebaliknya berpotensi berkarakter buruk dan lemah bila lingkungannya

mengajarkan, membiasakan, dan menanamkan nilai-nilai negatif.

Dengan demikian pengaruh mana yang lebih dominan dan intensif kepada

seseorang maka hal itulah yang membentuk karakternya. Pandangan ini

mengambil argumen dari QS. Al-Nahl (16):78, Dan Allah mengeluarkan kamu

dari perut ibu kamu dengan keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun; dan dia

mengurniakan kepada kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu

bersyukur. Tidak mengetahui sesuatu apapun dalam ayat tersebut dimaknai

sebagai sesuatu yang kosong.

Dari pendapat netral-pasif ini, maka karakter dapat diubah. Bahkan karakter

seseorang sangat lentur untuk berubah-ubah dan bersifat dinamis. Hal ini sangat

tergantung polesan yang mendominasi pribadi seseorang. Menurut teori netral

pasif ini, pembentukan karakter ini bukan sebagai warisan hereditas orang tua,

bukan dari ketetapan Tuhan, dan bukan pula berasal dari dalam diri seseorang,

tetapi dari pengaruh luar termasuk pendidikan.

Ketiga, pandangan positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia

sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan karakter lemah dan

jahat bersifat aksidental. Artinya seseorang lahir sudah membawa karakter yang

baik dan positif. Karekter positif dan baik itu bersifat dinamis dan aktif

mempengaruhi lingkungan sekitar. Jika seseorang berkatakter negatif dan jelek,

hal itu bukan dari cetakan dari Tuhan, dan bukan pula bagian integral dari dirinya.

Tetapi hal itu sifatnya sementara dan menempel dalam diri seseorang (aksidental).

Para ahli yang berpandangan positif-aktif membangun dasar argumennya dari


66

Alquran yakni dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-

anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa

mereka (seraya berfirman): Bukankah aku ini Tuhanmu? mereka menjawab:

Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian

itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya Kami (Bani

Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS. al-

Araf (7):172). Kalimat Bukankah aku ini Tuhanmu? mereka menjawab: Betul

(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi, dimaknai sebagai pemberian Tuhan

secara asal kepada setiap individu sesuatu yang baik termasuk karakter baik, tidak

ada sedikitpun secara asal sesuatu yang tidak baik. Berarti manusia berasal dari

Tuhan adalah baik, dan menjadi karakter jelek di tangan manusia dan polesan

lingkungan termasuk pendidikan.

Menurut Ibnu Taimiyah, semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,

yaitu dalam keadaaan berpihak kepada kebaikan secara kodrati, dan lingkungan

sosiallah menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini. Sifat dasar

(karakter) manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang

ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepada-Nya dan keinginan

untuk melaksanakan ajaran agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati sesuai

QS. Al-Rum (30):30 (Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama

Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah

itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui). Menurut Shabuni, kebaikan dan

kesucian menyatu pada diri manusia, sementara kejahatan bersifat aksidental.


67

Manusia secara alamiah cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Akan tetapi,

lingkungan sosial, terutama orang tua, bisa memiliki pengaruh merusak terhadap

diri (nafs), akal dan fitrah anak. Fitrah kesucian dan kebaikan sebagai sifat

bawaan lahir bisa saja rusak. Ismail Raji al-Faruqi, memandang bahwa kecintaan

kepada semua yang baik dan bernilai merupakan kehendak ketuhanan sebagai

sesuatu yang Allah tanamkan kepada manusia. Pengetahuan dan kepatuhan

bawaan kepada Allah bersifat alamiah, sementara kedurhakaan tidak bersifat

alamiah.2 Menurut Russeau bahwa secara kodrati manusia itu baik, namun

masyarakatlah yang membelenggu individu itu sehingga ia menjadi manusia yang

bertumbuh semakin menjauhi dari kodratnya. Ada hubungan erat antara lembaga

pendidikan, kultur politik, kehidupan sosial, dan pertumbuhan individu.

Shadr berpendapat bahwa QS. Al-Rum (30):30 ini merupakan

pernyataan dan tidak menggariskan sesuatu aturan atau hukum apa pun. Dengan

demikian, menurutnya manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga agama

menjadi bagian dari fitrahnya, dan bahwa ciptaan Ilahi tidak bisa diubah. Agama

bukanlah materi budaya yang diperoleh manusia sepanjang sejarah. Agama adalah
3
bagian dari fitrah suci manusia, karenanya manusia tidak bisa hidup tanpanya.

Ungkapan tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah dalam QS. al-Rum (30):30

bersifat pemberitahuan, bukan memerintahkan. Selama manusia adalah manusia,

agama adalah norma yang suci baginya.

_________________________
2.
Yasin Mohammad, Insan Yang Suci, Konsep Fitrah Dalam Islam, Bandung, Mizan, 1997
3
. M.Baqir al-Shadr, Sejarah Dalam Perspektif Al-Quran, Sebuah Analisis, Jakarta, Pustaka
Hidayah 1993
68

M. Quraish Shihab cenderung kepada aliran positif ini. Menurutnya

bahwa fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan dasar sejak

lahirnya. Para ulama memahaminya dengan tauhid (QS. al-Rum (30): 30). 4

Kata laa (tidak) pada ayat tersebut, maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat

menghindar dari fitrah. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan

akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak

diakui atau diabaikannya. Melalu teori positif-aktif, manusia menjadi pelaku yang

bertindak serta bereaksi atas dunia di luar dirinya. Dimensi ini berupa disposisi

batin melalui mana determinasi ini diterima, ditolak, atau sintesa atau

dimodifikasi secara aktif. Dimensi internal manusia selalu berkarakter baik dan

kuat, sedangkan karakter lemah dan negatif adalah bukan bagian integral dari

setiap individu.

Keempat, aliran dualis-aktif, berpandangan bahwa manusia sejak

awalnya membawa sifat ganda. Di satu sisi cenderung kepada kebaikan (energi

positif), dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan (energi negatif). Dua unsur

pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh, yaitu ruh dan tanah,

mengakibatkan karakter baik dan karakter jahat sebagai suatu kecenderungan

yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti Tuhan berupa

nilai-nilai etis religius dan kecenderungan mengikuti syetan berupa nilai-nilai a-

moral dan kesesatan.

_________________________
4.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung, Mizan 1997
69

Kecenderungan kepada berkarakter baik dan kuat dibantu oleh energi

positif berupa kekuatan spiritual (fitrah tauhid), kenabian dan wahyu Tuhan,

bisikan malaikat, kekuatan akal sehat, nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram),

dan kalbu yang sehat dalam diri manusia. Sedangkan kecenderungan kepada nilai-

nilai a-moral berupa energi negatif yakni nafsu ammarah bissu (nafsu yang selalu

cenderung destruktif), nafsu lawwamah (nafsu yang tercela), godaan, kesesatan

dan bisikan setan. Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan

melahirkan orang yang berkarakter kuat, yaitu orang yang beriman-bertakwa,

memiliki integritas, komitmen, pengabdian, dan beramal saleh personal dan

sosial. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan

melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena

memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan)

dan competency (kemampuan) serta kinestetik yang professional dan bagus pula.

Sedangkan energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan

orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang selalu mengaktualisasikan

diririnya amal al-sayyiat (destruktif), bahkan syirk (menuhankan selain Allah)

dalam hidupnya. Aktualisasi orang yang bermental seperti ini dalam hidup dan

bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang

memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat, bermuka dua alias

munafik dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan potensi

yang dimilikinya. Khatamallah ala quluubihim dalam QS al-Baqarah: 7 (Allah

telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka[20], dan penglihatan mereka


70

ditutup[21]. dan bagi mereka siksa yang Amat berat), bukanlah Tuhan yang

mumulai mengunci mati hati seseorang menjadi berkarakter lemah dan negatif,

tetapi yang memulai dari kalbu manusia yang menuruti tarikan energi negatif dan

setan yang ada dalam dirinya dan faktor-faktor eksternal di luar dirinya.

Tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan ruh dari

Allah sebagai pembentuk diri. Dengan demikian, manusia adalah makhluk

berdimensi ganda, dengan sifat karakter dasar ganda, tersusun dari dua kekuatan,

bukan saja berbeda, tapi juga berlawanan. Yang satu cenderung turun kepada

materi (energi negatif) dan yang lain cenderung naik kepada Ruh Suci (energi

positif). Kemampuan dan kecenderungan tersebut kemudian saling mempengaruhi

dengan lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau

lebih buruk. Dasar pandangan ini ialah QS. al-Hijr [15]:28-29)[1], al-Balad

[90]:10)[2] dan al-Syams [91]:7-10.[3]

Dalam HR. Tirmidzi, disebutkan bahwa seseorang berada dalam

tuntunan temannya, maka hendaklah salah seorang dari kamu melihat siapa yang

menjadi temannya. Dari hadis ini dapat dimaknai bahwa pergaulan punya

pengaruh besar terhadap pembentukan karakter seseorang. Jika si teman

berkarakter baik dan bertakwa, maka seseorang dapat mengambil sifat baik dan

takwanya. Sebaliknya jika si teman tadi berkarakter jahat dan pendosa, maka

seseorang dapat mengambil sifat jahat dan pendosanya. Maka dua kecendurungan

karakter tersebut berproses secara terus menerus sepanjang hidup. Sesungguhnya

Nabi SAW menyuruh orang tua agar anaknya shalat sewaktu berumur 7 tahun dan

memukulnya kalau belum mau salat sewaktu berumur 10 tahun. Rentang waktu
71

antara 7 sampai dengan 10 tahun (3 tahun) mengandung makna bahwa penanaman

kebiasaan positif terhadap anak, yang akhirnya menjadi karakter kuat dan baik

merupakan keharusan orangtua. Shalat dalam hadis itu tidak dimaknai dengan

arti sempit yakni hanya shalat tetapi sangat luas yakni setiap kebajikan haruslah

ditanamkan orangtua sejak dini dan shalat adalah salah satunya.

4.1.1. Pilar Karakter Dalam Islam

Ada sepuluh pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur

universalitas Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Karakter cinta dan ikhlas terhadap Allah swt dan segenap ciptaan-Nya.

Ibadah pada hakekanya segala sikap dan prilaku yang ditunjukan untuk

mencari ridho Allah, baik itu ibadah personal maupun ibadah sosial.

2. Tanggung jawab dan kemandirian. Setiap orang bertanggungjawab

terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan dalam tindakan manusiawi

secara mandiri. Anugerah Tuhan kepada manusia berupa potensi internal

(akal, nafs, kalbu, dan fitrah yang dihidupi oleh ruh), kesadaran dan

kebebasan memilih untuk bertindak, menjadikan manusia bertanggung

jawab apa yang dikatakan dan dilakukan secara mandiri. Setiap kamu

adalah pemimpin dan bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya.

Paling tidak seseorang bertanggungjawab memimpin dirinya sendiri.

3. Kejujuran dan amanah. Menurut Mohammad Nuh diantara karakter yang

ingin kita bangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan

memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai
72

oleh nilai-nilai kejujuran. Di samping itu apabila seseorang diberi amanah,

maka ia harus mampu memikul dan menunaikan amanah itu sesuai dengan

hak-hak dan kewajiban yang melekat dalam amanah itu.5

4. Saling hormat menghormati dan berlaku santun dalam bersikap dan

berkomunikasi. Kebanyakan orang sukses justru ditentukan sejauh mana

seseorang menghormati, menghargai dan santun dalam berkomunikasi.

Intelegensi hanya salah satu faktor saja untuk menuju sukses.

5. Taawun (tolong menolong), adil (hidup seimbang) dan ihsan (berbuat

lebih baik dan terbaik) dan kerjasama dalam menciptakan tatanan dunia

yang bermoral. Manusia diciptakan dalam posisinya bersosial. Tidak ada

manusia yang dapat hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Bahkan telah

matipun, harus dibantu orang lain, yang dikenal dalam Islam fardu kifayah

(kewajiban kolektif) untuk menyolatkan, memandikan, mengkafani, dan

menanamnya.

6. Percaya diri dan pekerja keras. Setiap muslim diperintahkan, jika

seseorang selesai melakukan suatu pekerjaaan, cepat bergegaslah untuk

mengerjakan lainnya. Dalam Alquran disebutkan: Maka apabila kamu

telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh

(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu

berharap (QS. Insyirah: 7-8). Demikian juga seseorang di larang keras

menggantungkan hidupnya pada orang lain, apalagi meminta-minta.

Tangan pemberi lebih baik daripada tangan peminta.

________________________
73

5.
Mohammad Nuh, Pendidikan Karakter Mendesak Diterapkan (Makalah) Media Center Diknas,
2010

7. Kepemimpinan. Memimpin diri sendiri dan orang lain untuk menata dunia

dalam tatanan moral merupakan suatu keharusan dalam Islam.

8. Berprilaku baik dan rendah hati. Memperjuangkan kebenaran apabila

dilakukan dengan cara yang baik dan rendah hati jauh lebih bermakna dan

lebih efektif, daripada dilakukan dengan cara yang tidak baik dan arogan.

9. Keteladanan. Panji-panji Islam dapat ditegakkan apabila seseorang

menempatkan dirinya sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi

masyarkat dan keluarganya. Tidak akan dapat menciptakan tatanan dunia

yang bermoral apabila terutama para pemimpinnya belum dapat

menjadikan diri mereka menjadi teladan bagi yang dipimpinnya. Presiden

menjadi teladan bagi rakyatnya. Orang tua menjadi teladan bagi anak-

anaknya. Guru menjadi teladan bagi murid-muridnya. Majikan menjadi

teladan bagi para pekerjanya. Supir menjadi teladan bagi penumpangnya.

Pimpinan media menjadi teladan bagi pembacanya dan seterusnya.

10. Toleransi (tasamuh), kedamaian, dan kesatuan. Manusia diciptakan dalam

perbedaan. Yang saudara sekandung dan kembarpun pasti berbeda, apalagi

yang bukan saudara dan bukan pula kembar. Seseorang tidak boleh

bercita-cita untuk menyeragamkan (uniform) setiap orang.


74

4.1.2. Mengukuir Karakter Manusia

Bisakah karakter dibentuk? Jika karakter merupakan seratus persen

turunan atau bawaan sejak lahir, maka karakter tidak bisa dibentuk. Namun, jika

bawaan (hereditas) hanyalah salah satu faktor pembentuk karakter, tentu

jawabannya bisa dibentuk semenjak usia dini. Untuk itu kesepuluh pilar karakter

itu, dapat diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik

menggunakan strategi mengetahui, mencintai, mengerjakan, keteladanan, dan

taubat. Keenam rukun pendidikan karakter tersebut adalah sebuah lingkaran yang

utuh yang dapat diajarkan secara berurutan atau tidak berurutan. Sesuatu tindakan

barulah dapat menghasilkan karakter kuat dan positif, apabila enam rukun

pendidikan karakter ini dilakukan secara utuh dan terus menerus.

Pertama: Knowing the good (mengetahui yang baik) bisa mudah

diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif. Mengajarkan yang baik, yang adil,

yang bernilai, berarti memberikan pemahaman dengan jernih kepada pembelajar

apa itu kebaikan, keadilan, kejujuran, toleransi, nilai dan lain-lain. Boleh jadi

seseorang berprilaku baik, adil, toleransi, tanpa disadarinya sekalipun secara

konseptual tidak mengetahui dan tidak menyadari apa itu perilaku baik, atau apa

itu keadilan, atau apa itu kejujuran. Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada

tindakan sadar subjek, bebas dan berpengetahuan yang cukup tentang apa yang

dilakukan dan dikatakannya. Meskipun tampaknya mereka tidak memiliki konsep

jernih tentang nilai-nilai tersebut, sejauh tindakan itu dilakukan dalam keadaan

sadar dan bebas, tindakan tersebut dalam arti tertentu telah dibimbing oleh
75

pemahaman tertentu. Tanpa ada pemahaman dan pengertian, kesadaran dan

kebebasan tidak mungkin ada sebuah tindakah berkarakter. Dalam Islam pun

sebuah tindakan diminta pertanggungjawabannya apabila yang melakukan itu

sudah dewasa, berakal (berpengetahuan), dalam keadaan sadar, dan ada kebebasan

untuk memilih. Sebuah tindakan yang tidak disadari, tidak dibimbing oleh

pemahaman tertentu, tidak ada kebebasan, maka tidak akan memiliki makna bagi

individu tersebut, sebab ia sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui makna

dan akibat tindakan yang dilakukannya. Demikian juga sebuah tindakan yang

tidak bebas dan tidak disadari serta tidak dibimbing oleh pengetahuan tentangnya,

adalah tindakan instingtif atau ritual yang lebih dekat pada cara bertindak

binatang.

Kedua: Feeling and loving the good. Setelah knowing the good, akan

tumbuh feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai

kebaikan menjadi power dan engine yang bisa membuat orang senantiasa mau

berbuat kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan

perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebaikan itu. Bagaimana

supaya setiap orang cinta kepada kebaikan? Tentu prilaku kebaikan itu harus

dihiasi, dirawat, ditegakkan, dikawal, dilindungi, dihargai dan dikaji implikasinya

dalam waktu jangka panjang, serta keberpihakan kepada kebaikan bagi setiap

orang terutama para pengambil keputusan dan kebijakan. Dengan demikian setiap

orang merasa senang, nyaman dan aman dalam melakukan kebaikan itu.

Ketiga: Acting the good (tindakan kebaikan) setelah melalui proses

mengerti dan mencintai kebaikan yang melibatkan dimensi kognitif dan afektif.
76

Melalui tindakan pengalaman kebaikan ini secara terus menerus, melahirkan

kebiasaan, yang pada akhirnya membentuk karakter yang kuat dan postif.

Tindakan membiasakan melakukan kebaikan, sangat ditekankan dalam pendidikan

Islam. Dalam hadis HR. al-Hakim, disebutkan, Perintahlah anak-anakmu

menjalankan ibadah salat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan jika mereka

sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau

melaksanakannya dan pisahkanlah tempat tidur mereka. Rentang waktu antara 7

sampai dengan 10 tahun (3 tahun) mengandung makna pembiasaan melakukan

ibadah dan kebajikan, karena anak umur sekian itu (belum dewasa) belum ada

kewajiban melaksanakan ibadah salat. Dari perintah salat, dapat disamakan

dengan ibadah puasa, dan perbuatan kebajikan lainnya. Rahasianya adalah agar

anak terbiasa sekaligus menjadi karakternya untuk melakukan yang baik, sehingga

ketika tumbuh dewasa, ia talah terbiasa melakukan dan terdidik untuk menaati

Allah, melaknakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya,

berpegang teguh kepada-Nya, bersandar kepada-Nya dan berserah diri kepada-

Nya. Di samping itu, anak akan mendapatkan kesucian rohani, gerakan refleks

dan kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan, dan perbuatan di dalam

ibadah-ibadah itu. Menurut M. Nuh (Mendiknas) dalam Republika OnLine,

dijelaskan bahwa tradisi pesantren sangat penting di sekolah. Maksudnya ialah

pembiasaan nilai positif menjadi tradisi positif, lalu menjadi budaya positif, yang

pada akhirnya menjadi ukiran karakter positif yang kuat.

Keempat: Keteladanan. Dari aspek knowing the good, feeling and loving

the gooddan acting the good pembelajar butuh keteladanan dari lingkungan
77

sekitarnya. Manusia lebih banyak belajar dan mencontoh dari apa yang ia lihat

dan alami. Keteladanan yang paling berpengaruh adalah yang paling dekat dengan

pembelajar. Orang tua, karib kerabat, pimpinan masyarakat dan siapa pun yang

sering berhubungan dengan pembelajar terutama idola pembelajar, adalah

menentukan proses pembentukan karakter kuat. Jika pendidik jujur, amanah,

berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan

dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa, maka pembelajar akan tumbuh dalam

kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa

dan begitu pun sebaliknya. Seorang anak, bagaimana pun besar usaha yang

dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya fitrah, ia tidak akan

mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan nilai-nilai lurur agama, selama ia

tidak melihat sang pendidik dan para pemimpin lainnya sebagai teladan dari nilai-

nilai moral yang tinggi. Adalah sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik,

termasuk orang tua, yaitu mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan,

akan tetapi adalah sesuatu yang teramat sulit bagi anak untuk melaksanakannya

ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya

tidak mengamalkannya. Itulah sebabnya salah satu keberhasilan Nabi SAW dalam

menyampaikan risalahnya adalah karena dia sendiri menjadi keteladanan

paripurna bagi umatnya. Dalam QS. Al-Ahazab: 21 disebutkan:


78

Kelima: Tobat. Tobat pada hakikatnya ialah kembali kepada Allah

setelah melakukan kesalahan dalam hidup. Tobat Nasuha adalah bertobat dari

dosa/kesalahan yang diperbuatnya saat ini dan menyesal (muhaasabah dan

refleksi) atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berjanji untuk tidak

melakukannya lagi di masa mendatang serta bertekad berbuat kebajikan di masa

yang akan datang. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, Apakah

penyesalan itu taubat?, Ya, kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala

pernah mengatakan: Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan

dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya. Tuhan mencintai hambanya yang

tobat dan tazkiyatu nufus (mensucikan diri) (Al-Baqarah: 222). Dalam tobat,

ingatan, pikiran, perasaan, hati nurani, secara total digunakan untuk menangkap

makna dan nilai yang dilakukan selama ini, menemukan hubungan dengan

Tuhannya, dan kesiapan menanggung konsekwensi dari tindakan taubatnya.

Tobat akan membentuk kesadaran tentang hakikat hidup, melahirkan optimisme,

nilai kebajikan, nilai-nilai yang di dapat dari berbagai tindakannya, manfaat dan

kehampaan tindakannya, dan lain-lain sedemikian rupa, sehingga seseorang

dibawa maju untuk melakukan suatu tindakan dalam paradigma baru di masa-

masa akan datang. Pelaku tobat, secara sadar merendahkan hatinya untuk minta

maaf kepada Tuhan dan siapa saja termasuk anak kandung sendiri, jika kesalahan

itu berasal darinya. Dengan demikian dalam diri pelaku tobat, melebihi

sekedar muhasabah dan refleksi. Tidak ada tobat tanpa dimulai dari pengetahuan,

endapan pengalaman, kecintaan, kesadaran, penyesalan, kebebasan, dan

perubahan perilaku ke arah positif. Seperti Khalid bin Walid si Pedang Tuhan
79

(sahabat Nabi SAW) yang semula berkarakter kuat dan energi negatif, dia menjadi

garda terdepan menentang Islam, berubah menjadi manusia yang berkarakter kuat

dan energi positif sebagai membela kebenaran dengan cara tobat. Karena karakter

itu tidak mudah diubah. Jika sesuatu itu mudah diubah, ia bukanlah karakter.

Mungkin saja ia hanyalah sifat, pandangan, pendapat, atau pendirian.

4.1.3. Mengukir Karakter Sejak Usia Dini

Hakikat pendidikan Islam atau al-tarbiyah al-islamiyah mencakup

makna yang sangat luas yakni (1) al-namaa yang berarti bertambah, berkembang

dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit, (2) aslahahu yang berarti

memperbaiki pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari nilai-nilai

Islam, (3) tawallaa amrahu yang berarti mengurusi perkara pembelajar,

bertanggung jawab atasnya dan melatihnya, (4) raahu yang berarti memelihara

dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiatnya (5) al-

tansyiah yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi (fisiknya) dan

immateri (kalbu, akal, jiwa, dan perasaannya), yang kesemuanya merupakan

aktivitas pendidikan. Lima hakikat pendidikan Islam tersebut harus dimulai sejak

usia dini.

Usia dini berarti pendidikan karakter sejak dalam kandungan. Sewaktu

calon bayi dalam kandungan, keluarga terutama ibu calon bayi, diharapkan

banyak membaca ayat-ayat Alquran, seperti surat Yusuf, surat Maryam, dengan

harapan ibunya tenang dan damai, yang hal itu berpengaruh kepada calon bayi

yang dikandungnya menjadi manusia berkarakter kuat dan energi positif seperti

Nabi Yusuf as dan Maryam. Sewaktu anak lahir disyariatkan mengumandangkan


80

azan di telinga kanan dan ikamat di telinga kirinya, agar bayi dibiasakan

mendengarkan kalimat yang baik yang menggetarkan syaraf dan jiwanya.

Berkebiasaan mendengarkan yang baik akan mengukir dalam jiwa anak, yang

akhirnya menjadi karakter kuat dan positif.

Keluarga merupakan kelembagaan masyarakat yang memegang peranan

kunci dalam proses pendidikan karakter. Jadi ayah, ibu dan seluruh anggota

keluarga adalah demikian penting dalam proses pembentukan dan pengembangan

karakter. Keluarga wajib berbuat sebagai ajang yang diperlukan sekolah dalam hal

melanjutkan pemantapan sosialisasi kognitif. Demikian juga keluarga dapat

berperan sebagai sarana pengembangan kawasan afektif dan psikomotor. Dalam

keluarga diharapkan berlangsungnya pendidikan yang berfungsi pembentukan

karakter sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk

religius. Ada beberapa alasan kenapa pendididikan karakter dalam keluarga ini

penting.

Pertama, dasar-dasar kelakuan dan kebiasaaan anak tertanam sejak di

dalam keluarga, juga sikap hidup serta kebiasaan-kebiasaannya. Kebiasan-

kebiasaan yang baik dalam keluarga ini akan menjadi karakter anak setelah dia

dewasa.

Kedua, anak menyerap adat istiadat dan prilaku kedua orangtuanya

dengan cara meniru atau mengikuti yang disertai rasa puas. Peniruan yang baik

yang diikuti dengan rasa puas akan sangat besar pengaruhnya dalam penanaman

karakter anak.
81

Ketiga, dalam pendidikan keluarga berjalan secara natural, alami dan

tidak dibuat-buat. Kehidupan keluarga berjalan penuh dengan keaslian, akan

terlihat jelas sifat-sifat atau karakter anak yang dapat diamati orang tua terus

menerus dan karenanya orang tua dapat memberikan pendidikan karakter yang

kuat terhadap anak-anaknya.

Keempat, dalam pendidikan keluarga berlangsung dengan penuh cinta

kasih dan keikhlasan. Cinta kasih dan keikhlasan ini dijelaskan Nabi dalam

riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah

seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberikan tiga

potong kurma kepada wanita itu. Diberilah oleh anak-anaknya masing-masing

satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai

habis, lalu mereka menoreh kearah ibunya. Sang ibu membelah kurma

(bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah kepada kedua

anaknya. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW datang, lalu diberitahu oleh Aisyah

tentang hal itu. Nabi Muhammad SAW bersabda: Apakah yang

mengherankanmu dari kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya

berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya.

Kelima, dalam keluarga merupakan unit pertama dalam masyarakat di

mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian besar adalah

bersifat hubungan langsung. Dari keluarga, anak pertama-tama memperoleh

terbentuknya tahap-tahap awal proses sosialisasi, dan melalui interaksi dalam

keluarga, anak memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, emosi, sikap, dan

keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas


82

kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan

30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau

akhir dasawarsa kedua.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter

yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang

terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter

juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama

sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, dipertaruhkan.

Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan

peserta didik.

Sebagaimana dikutip Suyanto bahwa ada dampak pendidikan karakter

terhadap keberhasilan akademik.6 Ringkasan hasil studi Dr. Marvin Berkowitz

dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa

sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan

pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam

pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif

siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Menurut Daniel Goleman

tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi

oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).

Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan

mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya.

________________________
6.
Suyanto, Prof. Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter (makalah), Ditjen Mendikdasmen
Kemenpendiknas, 2009
83

Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-

sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya

para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang

dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks

bebas, dan sebagainya

4.2. Mata Pelajaran Terkait Pembentukan Karakter Akhlak Mulia

Sebagai bagian dari upaya membangun karakter akhlak mulia maka

pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan. Diantara nilai-nilai yang

diberikan dalam pendidikan karakter ialah kepedulian dan kejujuran. Istilah

karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin charakter, yang antara lain

berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak

(Oxford).

Hakikat karakter itu adalah sifat utama yang terukir, baik pikiran, sikap,

prilaku maupun tindakan, yang melekat dan menyatu kuat pada diri seseorang,

yang membedakannya dengan orang lain. Karena karakter tersebut sebuah ukiran

dalam jiwa, maka sulit di ubah. Menurut Suyanto, karakter adalah cara berpikir

dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan

bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.7

________________________
7.
Suyanto, Prof. Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter (makalah), Ditjen Mendikdasmen
Kemenpendiknas, 2009
84

Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat

keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia

buat. Sedangkan menurut Mounier yang dikutip Koesoema bahwa karakter dapat

dilihat dari dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah

diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan

dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah

ada dari asalnya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat

kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut.

Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki

(willed).8

Seseorang yang di dominasi oleh kondisi-kondisi dari asalnya (given),

maka karakternya akan lemah. Karena dia tunduk pada sekumpulan kondisi yang

telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Sebaliknya, karakter yang

kuat ialah bila seseorang yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang

telah ada (given) dari asalnya. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti

seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau

dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya

ia menguasainya, bebas mengembangkannya demi kesempurnaan

kemanusiaannya. Itulah manusia berkarakter kuat.

________________________
8.
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta
PT.Gramedia, 2010.
85

Implementasi pendidikan yang terkait dengan pembentukan karakter

akhlak mulia sesuai dengan pengembangan kurikulum, khususnya pada jenjang

pendidikan dasar yang disusun dengan tetap disesuaikan untuk kepentingan dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan aspek-

aspek mendasar antara lain (a) peningkatan iman dan takwa, (b) peningkatan

akhlak mulia, (c) peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, (d)

keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan

nasional, (f) tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan

seni, (h) agama, (i) dinamika perkembangan global: dan (j) persatuan nasional dan

nilai-nilai kebangsaan.

Integrasi pendidikan nilai ke dalam pembelajaran di sekolah dasar atau

madrasah ibtidaiyyah melalui penanaman dan pembinaan pendidikan karakter,

watak dan kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai domain pendidikan

agama atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi dan

terinternalisasi ke dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS, IPA, bahasa,

matematika, seni dan budaya dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Orientasi

pendidikan nilai melalui sebaran mata pelajaran tersebut ialah berupaya menggali,

menemukan, memahami, mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang

terkandung dari sebaran mata pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran di sekolah dasar atau

madrasah ibtidaiyyah akan jauh lebih bermakna (meaningfull) baik bagi pendidik

maupun anak didik sebagai dua pelaku utama pendidikan.


86

Setiap mata pelajaran pada prinsipnya memiliki bahan ajar (instructional

materials) berdimensi pengetahuan, keterampilan dan sikap/nilai. Depdiknas

(2006) mengartikan bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri

dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam

rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran

apapun termasuk yang ada di sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyyah sarat

dengan kandungan dimensi penanaman dan pembinaan sikap/nilai yang melekat

dalam setiap aktivitas pembelajaran. Jadi, dalam hal ini pendidikan nilai atau budi

pekerti tidak lagi terspesialisasi pada mata pelajaran tertentu yang seringkali pada

prakteknya terjebak pada tradisi hafalan atau sekedar tahu.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran IPS sekolah dasar atau madrasah

ibtidaiyyah, dimensi nilai yang terkandung mengajarkan anak didik untuk

mengembangkan sikap toleran, empati, bertanggungjawab dalam menggunakan

hak dan kewajiban. Sumaatmadja mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat

dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai praktis, nilai teoritis, nilai

filsafat dan nilai ketuhanan.9 Lebih rinci, dijelaskan sebagai berikut.

a. Nilai edukatif, melalui pendidikan ilmu pengetahuan sosial, perasaan,

kesadaran, penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan tanggung jawab sosial

peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggung jawab sosial, secara

nyata dikembangkan dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial untuk

_______________________
9.
Sumaatmadja, Nursid (2005), Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
87

mengubah perilaku peserta didik bekerja sama, gotong royong dan

membantu pihak-pihak yang membutuhkan;

b. Nilai praktis, dalam hal ini tentunya harus disesuaikan dengan tingkat

umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan sosial yang

praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendengakan radio,

membaca majalah, menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari.

c. Nilai teoritis, peserta didik dibina dan dikembangkan kemampuan

nalarnya kearah dorongan mengetahui kenyataan (sense of reality), dan

dorongan menggali sendiri di lapangan (sense or discovery). Kemamuan

menyelidiki, meneliti dengan mengajukan berbagai pernyataan (sense of

inquiry).

d. Nilai filsafat, peserta didik dikembangkan kesadaran dan penghayatan

terhadap keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, bahkan ditengah-

tengah alam raya ini. Dari kesadaran keberadaan tadi, mereka disadarkan

pula tentang peranannya masing-masing terhasap masyarakat, bahkan

terhadap lingkungan secara keseluruhan.

e. Nilai ketuhanan, menjadi landasan kita mendekatkan diri dan

meningkatkan IMTAK kepada-Nya. Kekaguman kita selaku manusia

kepada segala ciptaan-Nya, baik berupa fenomena fisik-alamiah maupun

fenomena kehidupan.
88

Upaya yang dapat dilakukan terkait pembentukan akhlak mulia dalah

mengintegrasikan nilai akhlak dengan menggunakan beberapa pendekatan

diantaranya adalah :

1. Pendekatan penanaman nilai akhlak

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) ialah suatu

pendekatan yang menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai sosial agar

selanjutnya mampu terinternalisasi dalam diri siswa. Menurut pendekatan ini

sejumlah tujuan yang dapat dicapai oleh siswa diantaranya:

Pertama, berupa penerimaan nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa;

Kedua, nilai-nilai yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan dan

kebutuhan siswa dapat dirubah sehingga sesuai dengan nilai-nilai sosial yang

diinginkan oleh siswa. Selanjutnya metode pembelajaran yang dapat

digunakan oleh guru saat menerapkan ke dalam proses kegiatan pembelajaran

diantara melalui penanaman keteladanan, penguatan sikap positif dan negatif,

simulasi, bermain peran, tindakan sosial dan lain-lain. Misalnya disaat guru

menjelaskan tentang materi kebersihan/lingkungan hidup, guru dapat meminta

siswa untuk berkumpul di lapangan atau halaman sekolah, kemudian dari

mulai ujung halaman sekolah secara bersamaan bersama guru memungut dan

membuang sampah pada tempatnya.

2. Pendekatan perkembangan kognitif

Dorothy menyatakan bahwa anak-anak akan mencapai kemampuan

untuk membuat keputusan nilai berdasarkan tingkatan dan tahapan

perkembangan moral. Pendekatan ini memandang bahwa siswa merupakan


89

individu yang memiliki potensi kognitif yang sedang dan akan terus tumbuh

dan berkembang. Karena itu melalui pendekatan ini siswa didorong untuk

membiasakan berifkir aktif tentang seputar masalah-masalah moral yang hadir

di sekeliling mereka dimana siswa dilatih untuk belajar dalam membuat

keputusan-keputusan moral.10. Pada gilirannya diharapkan keputusan yang

diambilnya dapat melatih anak untuk bertanggungjawab terhadap keputusan

yang diambilnya. Melalui pendekatan ini, tujuan yang ingin dicapai antara lain

sebagai berikut. Pertama, sesuai dengan tingkat perkembangannya, siswa

dibantu untuk mampu membuat pertimbangan moral mulai dari yang paling

sederhana menuju tingkatan yang lebih kompleks berdasarkan kepada tata

nilai yang lebih tinggi. Kedua, siswa berikutnya didorong untuk

mendiskusikan rasionalisasi atau alasan-alasan terhadap nilai yang dipilih

kaitannya dengan masalah masalah moral. Metode pembelajaran yang yang

dapat digunakan diantaranya berdasarkan persoalan sederhana yang memiliki

dilema moral dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Pelaksanaan

kegiatan diskusi ini hendaknya diawali dengan penyajian cerita yang

mengandung dilema. Dalam proses keterlibatan diskusi tersebut, siswa

didorong untuk berani menentukan posisi apa yang seharusnya dipilih dan

dilakukan oleh orang yang terlibat serta alasan-alasan apa saja yang mendasari

pemilihan pertimabangan tersebut.

_______________________
10.
Skeel J Dorothy, (1995) Elementery Social Studies-Chalenges for Tomorrows World, Harcourt
Brace College Publisher.
90

Akhirnya setelah siswa mendiskusikan tentang alasan-alasan tersebut

bersama kelompoknya, mereka diminta untuk menyampaikan pandangan

sikapnya yang disertai dengan argumentasi di hadapan teman-teman yang

lainnya.

3. Pendekatan klarifikasi nilai akhlak

Orientasi pendekatan klarifikasi nilai akhal (values clarification

approach) ialah memberi penekanan untuk membantu siswa mengkaji

perasaan dan perbuatannya sendiri, kemudian secara bertahap kemampuan

kesadaran mereka ditingkatkan terhadap nilai-nilai akhlak mereka sendiri.

Adapun tujuan pendidikan nilai akhlak menurut pendekatan ini ada tiga

capaian. Pertama, membantu siswa untuk menggali, menemukan, menyadari

serta mengidentifikasi nilai-nilai akhlak yang terdapat pada diri mereka sendiri

serta nilai-nilai akhlak orang lain; Kedua, mendorong siswa untuk mampu

berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain yang berkaitan

dengan nilai-nilai akhlak yang mereka miliki; Ketiga, mamfasilitasi siswa

agar mereka mampu secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan

kemampuan berpikir rasional dengan disertai kesadaran emosional dalam

memahami hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, nilai-nilai, dan pola

tingkah laku mereka sendiri. Strategi pembelajaran yang dapat dipilih

diantaranya brainstorming, dialog, pengamatan lapangan, wawancara, menulis

pengalaman diri, diskusi baik dalam kelompok besar atau kecil, dan lan

sebagainya.
91

Kosasih Djahiri menyebutkan bahwa menurut pendekatan ini ada tiga

proses klarifikasi nilai.11 Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses

sebagai berikut: Pertama, memilih (1) dengan bebas; (2) dari berbagai alternatif;

(3) setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya. Kedua,

menghargai (1) merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya; (2) mau

mengakui pilihannya itu di depan umum. Ketiga, bertindak (1) berbuat sesuatu

sesuai dengan pilihannya; (2) diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam

hidup.

Jika konsep pendidikan dasar diorientasikan pada pendidikan nilai akhlak,

maka pendidikan tersebut akan harus senantiasa berbasiskan nilai, di mana nilai

akhlak tersebut sengaja ditujukan untuk mengembangkan aspek kepribadian dan

karakter peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan yang berangkat dan

didasarkan pada nilai akhlak yang diyakini akan melahirkan para lulusan yang

berkepribadian, berkarakter dan berwatak baik. Karena itu, tugas utama

pendidikan dasar adalah membangun karakter anak didik yaitu bertujuan agar

anak didik sejak dini tidak gagal menjadi sosok manusia, karena jika manusia

gagal untuk menjadi manusia maka kualitasnya tidak berbeda bahkan lebih rendah

dibandingkan hewan. Dengan demikian, di sinilah letak letak nilai strategis

pendidikan dasar yaitu sebagai pondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan

anak pada tahap-tahap berikutnya, di mana kita yakini bahwa tantangan ke depan

akan besar dan kompleks.

_______________________
11.
Djahiri, A, Kosasih (1995), Strategi Pembelajaran Afektif Nilai Moral dan Games Dalam VCT,
Bandung, Laboratorium Pmpkn IKIP Bandung.
92

Jika pada tahapan ini gagal dilalui, maka surat jalan atau paspor yang

sangat penting ini tidak akan dimiliki anak. Konsekuensinya, tentu anak akan

kesulitan untuk memasuki kehidupan selanjutnya mulai dari konteks lingkungan

terdekat keluarga, masyarakat setempat, sampai masyarakat dunia, termasuk di

dalamnya lembaga satuan pendidikan.

4.3. Relevansi Gurindam XII dengan Pembentukan Karakter Siswa

Karakter (character) sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan

sebelumnya adalah mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku

(behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). Karakter meliputi

sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual

seperti berfikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti berkata jujur dan

bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh

ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan

seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan dan komitmen untuk

berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi

perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional dan etika).

Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal

yang terbaik. 12

_______________________
12.
Battistich, Voctor, 2007, Character Educational, Prevention and Poditive Youth Development,
Illinois, University of Missouri.
93

Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti to mark atau

menandai dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan

dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.13 Karakter menurut Alwisol diartikan

sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benarsalah, baik-buruk,

baik secara eksplisit maupun implisit.14 Karakter berbeda dengan kepribadian,

karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik

kepribadian (personality) maupun karekter berwujud tingkah laku yang

ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relatif permanen menuntun,

mengarahkan dan mengorganisasikan aktivitas individu. Menurut Dewantara

dalam Yus dikatakan bahwa akualisasi karakter dalam bentuk perilaku sebagai

hasil perpaduan antara karakter biologis dengan hasil hubungan atau interaksi

dengan lingkungannya.15 BLickona mengemukakan bahwa karakter berkaitan

dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan perilaku

moral (moral behavior).16 Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat

dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang

kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuata kebaikan.

_______________________
13.
Wyne 1991, Character and Academics in The Elementary School, Moral Character and Civic
Education in the Elementary School, New York: Teachers College Press.
14
. Alwisol, 2006. Psikologi Kepribadian, Malang Universitas Muhammadiyah Malang.
15
. Yus, Anita 2008, Pengembangan Karakter Melalui Hubungan Anak-Kakek-Nenek. Tinjauan
beberapa asepk character building. Yogyakarta Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Negeri
Yogyakarta dan Tiara Wacana
16
. Lickona 1991, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. Bantan Books, NewYork.
94

Relevansi gurindam dua belas dengan pembentukan karakter siswa terlihat

dari analisis (kajian) puisi yang menggunakan pendekatan semiotik. Analisis pada

puisi ini menitikberatkan pada unsur-unsur puisi dan pemaknaan. Unsur-unsur

tersebut diantaranya, makna kata (detonasi, konotasi) citraan dan paparan analisis

atau kajian semiotik gurindam dua belas.

Dari sajak-sajak yang terdapa pada gurindam dua belas ternyata berisi

tuntutan moral yang berbasiskan agama. Kita juga dapat memahami bahwa

gurindam dua belas merupakan bentuk syiar sang penyair. Sesuai dengan prinsip

gurindam yaitu larik pertama adalah syarat sedangkan larik kedua merupakan

jawab, dimana larik kedua pada gurindam dua belas menjelaskan apa yang

sebenarnya terjadi pada seseorang apabila masuk ke dalam kondisi pada larik

pertama. Apabila banyak mencela orang itulah tanda dirinya kurang berarti bila

seseorang berada dalam kondisi sering (banyak) mencela orang lain, berarti ia

adalah orang yang kurang baik atau memiliki cacat yang sebenarnya pantas dicela.

Karena dalam gurindam dua belas mempunyai rima yang sama atau adanya

persamaan bunyi di akhir larik.

Secara keseluruhan dalam pasal pertama menggunakan kata-kata tidak

umum dipergunakan sehingga sulit dipahami. Ada beberapa kata yang perlu

mendapat penegasan khusus berkaitan dengan makna konotatif dan denotative.

Tetapi dalam gurindam dua belas pasal ke satu banyak menggunakan maka

konotatif sehingga perlu pemaknaan khusus untuk memahami arti pada larik-larik

di pasal satu tersebut. Kata yang bermakna konotatif yang ditemukan pada pasal
95

ke satu yaitu memegang agama, dibilangkan nama, mengenal yang empat,

makrifat, mengenal diri, mengenal Allah dan mengenal akhirat. Hubungan ini

menjelaskan kepada kita bahwa gurindam dua belas memuat persoalan dasar dari

sebuah pembentukan karakter diri seorang terhadap agamanya secara hakikat

dengan makrifat kepada pencipta-Nya. Dari pemaknaan tersebut dapat ditafsirkan

bahwa gurindam dua belas baik yang pertama, barang siapa tiada memegang

agama sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama adalah barang siapa atau sesiapa

yang tidak memiliki agama atau beragama itu diibaratkan sebagai seekor hewan

atau binatang. Hewan itu dalam hidupnya tidak mempunyai pegangan hidup, tidak

mempunyai aturan dan tidak mempunyai norma dalam hidupnya, sehingga orang

yang demikian ini dalam kehidupan bermasyarakat dianggap tidak ada atau

manusia lain tidak akan peduli dengan keberadaan orang yang sifat dan tabiatnya

seperti hewan. Dengan kata lain orang yang tidak menjalankan norma atau

ketentuan agama tidak patut ditauladani karena orang ini lebih rendah dari setan

atau hewan.

Demikian semua isi dari gurindam dua belas memiliki makna yang sangat

dalam bagi pembentukan karakter seseorang. pembentukan karakter siswa dalam

hal ini adalah pengamalan-pengamalan ajaran agama Islam. Pengajaran agama

dan ketakwaan merupakan pengajaran yang tertinggi kemudian dijabarkan dengan

pengamalan rukun Islam. Sebagai sebuat tanda dan penanda dalam semiotika

pasal-pasal yang ada adalam gurindam dua belas saling berkaitan antara satu sama

lainnya. Inti dari gurindam dua belas menurut hemat peneliti ada pada pasal
96

pertama dan terakhir, sementara pasal-pasal yang lain adalah pasal penjelasan

atau bagian dari pasal inti.

Dengan demikian posisi pendidikan sebagai pemberi masukan

pengetahuan tentang moral dan kebaikan kepada peserta didiknya, jelas menjadi

rujukan penting untuk pembentukan karakter siswa yang diharapkan. Siswa yang

tumbuh dalam karakter yang baik, maka melakukan sesuatu dengan benar dan

cenderung memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Battistich

bahwa pendidikan karakter yang efektif akan ditemukan di sekolah yang

memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai

tujuan yang sangat penting. Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation

bertujuan membentuk manusia secara utuh (holistic) yang berkarakter, yaitu

mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual

siswa secara optimal. Selain itu juga membentuk manusia yang lifelong learners

(pembelajar sejati). Hal ini menandakan bahwa pendidikan karakter (moral) yang

tercermin dari gurindam dua menandakan bahwa pendidikan karakter tidak

mengenal usia, sepanjang hayat dan sejagad hayat, sejak masih dalam kandungan

sampai tidak ada kesempatan lagi untuk berkehidupan.

Anda mungkin juga menyukai