Penyakit Difteri saat ini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di Jawa Timur.
Betapa tidak, sejak Januari hingga sekarang, ada 328 orang yang terkena difteri di
Jawa Timur. Sebagian besar adalah anak-anak. Dari jumlah itu, 11 orang meninggal
dunia.
Penyakit ini memang terdengar masih asing di telinga kita. Oleh karena itu, untuk
mengetahui lebih dalam tentang penyakit tersebut, berikut adalah kupasan
lengkapnya dari MayoClinic.
Difteri adalah infeksi bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae, yang
biasanya mempengaruhi selaput lendir dan tenggorokan. Difteri umumnya
menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas. Dalam tahap
lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan sistem saraf.
Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan berujung pada
kematian.
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala difteri meliputi, sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat
menelan, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan
terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel,
sulit bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil.
Tanda dan gejala biasanya mulai muncul 2-5 hari setelah seseorang menjadi
terinfeksi. Orang yang terinfeksi C. Diphtheria seringkali tidak merasakan sesuatu atau
tidak ada tanda-tanda dan gejala sama sekali.
Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai carier (pembawa)
difteri. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier.
Tipe kedua dari difteri dapat mempengaruhi kulit, menyebabkan nyeri kemerahan, dan
bengkak yang khas terkait dengan infeksi bakteri kulit lainnya. Sementara itu pada
kasus yang jarang, infeksi difteri juga mempengaruhi mata.
Penularan
Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute:
* Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap
air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri
tersebut.
* Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi
seperti gelas yang belum dicuci.
* Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-
barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau
mainan.
Selain itu, Anda juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila
menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri
dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu -
bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.
Faktor risiko
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:
Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat
Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena
telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri
masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat
imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur.
Komplikasi
Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan:
* Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung
dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan
(psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran
ini dapat menghambat pernapasan.
* Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain
dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti
radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul
sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung
kongestif dan kematian mendadak.
* Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di
mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan
saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi
lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka
otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu
napas.
Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri dapat bertahan dari komplikasi
ini, namun pemulihannya akan berjalan lama.
Perawatan dan obat-obatan
Difteri adalah penyakit yang serius. Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan, ada
beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya:
* Pemberian antitoksin: Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak yang
terinfeksi atau orang dewasa harus menerima suatu antitoksin. Antitoksin itu
disuntikkan ke pembuluh darah atau otot untuk menetralkan toksin difteri yang sudah
terkontaminasi dalam tubuh.
Sebelum memberikan antitoksin, dokter mungkin melakukan tes alergi kulit untuk
memastikan bahwa orang yang terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin.
Dokter awalnya akan memberikan dosis kecil dari antitoksin dan kemudian secara
bertahap meningkatkan dosisnya.
* Antibiotik: Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau
eritromisin. Antibiotik membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan
membersihkan infeksi. Anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi difteri
dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit untuk perawatan.
Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat
menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan
imunisasi penyakit ini.
Pencegahan
Jika Anda telah terpapar orang yang terinfeksi difteri, segeralah pergi ke dokter untuk
mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan. Dokter mungkin akan memberi Anda
resep antibiotik untuk mencegah infeksi penyakit itu.
Di samping juga pemberian vaksin difteri dengan dosis yang lebih banyak. Pemberian
antibiotik juga diperlukan bagi mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa)
difteri.
Difteri adalah penyakit yang umum pada anak-anak. Penyakit ini tidak hanya dapat
diobati tetapi juga dapat dicegah dengan vaksin. Vaksin difteri biasanya
dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan pertusis, yang dikenal sebagai
vaksin difteri, tetanus dan pertusis.
Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan vaksin
Tdap untuk remaja dan dewasa. Pemberian vaksinasi sudah dapat dilakukan saat
masih bayi dengan lima tahapan yakni, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan dan 4-
6 tahun.
Vaksin difteri sangat efektif untuk mencegah difteri. Tapi pada beberapa anak mungkin
akan mengalami efek samping seperti demam, rewel, mengantuk atau nyeri pasca
pemberian vaksin. Pemberian vaksin DTaP pada anak jarang menyebabkan
komplikasi serius, seperti reaksi alergi (gatal-gatal atau ruam berkembang hanya
dalam beberapa menit pasca injeksi), kejang atau shock. Untuk beberapa anak
dengan gangguan otak progresif - tidak dapat menerima vaksin DTaP.
DIFTERIA
CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIA
Baksil menempel di mukosa saluran nafas bagian atas,kulit,mukosa
genital
Menghasilkan toksik yang diabsorsi membrane sel
Penetrasi dan inferensi dengan sintesa protein bersama sel kuman
penghasil NAD (nikoti nemide adenine dinukleosida)
asam amino dan RNA memperpanjang rantai polipepsida
Mekrosa sel menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat
Produksi toksin meningkat dan daerah infeksi makin meluas
Eksudat fibrin perlengketan,membentuk membrane apabila diangkat
terjadi perdarahan
PERTUSIS
Roni wijaya, Sujatmiko
Pendahuluan
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di
Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang
saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif
berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran
pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang
spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk
menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan
penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk.
Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkanattack
rate sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada
abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B. pertussis sebagai
etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906.
Epidemiologi
Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus terjadi
pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis
menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak
itu, imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup,
sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18
tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers of Disease
Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu
angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18
tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian
prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang
menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997
per 100.000.
Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus
berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70%
berusia 10-19 tahun.
Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis
bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani
perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian. Sebuah studi kasus-kontrol
menunjukkan adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya kejadian
luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan 13,9 bila ibu
batuk >7 hari. Hal yang menarik disimpulkan dari penelitian tersebut, bahwa usia ibu yang
lebih tua tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya pertusis.