Anda di halaman 1dari 12

Sindrom Croup BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS

KEDOKTERAN 2010 BAB I PENDAHULUAN Radang akut saluran pernapasan


atas jauh lebih penting pada bayi dan anak kecil dibandingkan pada anak yang
lebih tua, karena jalan napas yang lebih kecil cenderung manghadapkan anak kecil
pada suatu keadaan penyempitan yang relatif lebih berat daripada yang
ditimbulkan oleh tingkat radang yang sama pada anak yang lebih tua (Orenstein,
2000). Sebelum abad ke-20, semua penyakit yang serupa croup diperkirakan
merupakan penyakit difteria (Cherry, 2008). Croup adalah istilah umum yang
meliputi kelompok heterogen keadaan yang ralatif akut (kebanyakan infeksi) yang
ditandai dengan batuk keras dan kasar yang khas atau croupy, yang tidak atau
dapat disertai dengan stridor inspiratoir, suara parau, dan tanda-tanda kegawatan
pernapasan yang disebabkan oleh berbagai tingkat obstruksi laring (Orenstein,
2000). Infeksi tersebut pada bayi dan anak kecil jarang terbatas pada suatu daerah
saluran pernapasan; biasanya mengenai sampai beberapa tingkat laring, takea, dan
bronkus. Bila ada keterlibatan laring yang cukup dapat menimbulkan gejala,
gambaran klinis dari bagian laring mungkin mengaburkan tanda-tanda dari trakea
dan bronkus (Orenstein, 2000). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi
Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan gejala
akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor
inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres pernapasan
(Oma dkk, 2005). 2.2 Epidemiologi Croup umumnya terjadi pada anak yang
berusia diantara 6 bulan sampai 3 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak
berusia 3 bulan dan sampai 15 tahun. Dilaporkan, sindrom ini jarang terjadi pada
orang dewasa (Alberta Medical Association, 2008). Insidensinya lebih tinggi 1,5
kali pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Cherry, 2008). Dalam
penelitian Alberta Medical Association, lebih dari 60% anak yang didiagnosis
menderita croup dengan gejala ringan, sekitar 4% dirawat di rumah sakit, dan
kira-kira 1 dari 4.500 anak yang diintubasi (sekitar 1 dari 170 anak yang dirawat
di rumah sakit) (Alberta Medical Association, 2008). 2.3 Klasifikasi 2.3.1
Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Gejala Anak-anak yang menderita sindrom
croup, secara luas dapat dikategorikan berdasarkan 4 derajat beratnya gejala: 1).
Ringan Gejala batuk menggonggong yang kadang-kadang, tidak terdengar suara
stridor saat istirahat, dan tidak adanya retraksi sampai adanya retraksi ringan
suprastrenal dan/atau interkostal. 2). Sedang Gejala batuk menggonggong yang
lebih sering, suara stidor saat istirahat yang dapat dengan mudah didengar, dan
retraksi suprasternal dan dinding sternal saat istirahat, tetapi tidak ada atau sedikit
gejala distres pernapasan atau agitasi. 3). Berat Gejala batuk menggonggong yang
lebih sering, stridor inspirasi yang menonjol dan kadang-kadang stidor
ekspirasi, retraksi dinding sternal yang jelas, dan adanya gejala distres pernapasan
dan agitasi yang signifikan. 4). Kegagalan pernapasan terjadi segera Batuk
menggonggong (sering tidak menonjol), terdengar stridor saat istirahat (kadang-
kadang sulit di dengar), retraksi dinding sternal (dapat tidak jelas), letargi atau
penurunan kesadaran, dan jika tanpa tambahan oksigen, kulit tampak kegelapan.
(Alberta Medical Association, 2008) 2.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Definisi dan
Klinis Sindrom seluran pernapasan ini terdiri dari spasmodic croup, acute
laryngotracheitis, laryngotracheobronchitis (LTB), laryngotracheobroncho-
pneumonitis (LTBP), dan laryngeal diptheria. 1). Spasmodic Croup Penyakit yang
ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada malam hari menunjukkan
stridor inspirasi; Cirinya, yaitu saat anak mau tidur tampak sehat atau menderita
pilek ringan, tetapi terbangun dengan batuk croup dan stridor. Berhubungan
dengan infeksi saluran pernapasan atas yang ringan, adanya edema subglotis yang
non-inflamasi. Biasanya terjadi pada anak yang memiliki riwayat keluarga dengan
croup atau sebelumnya pernah menderita croup. Manifestasi klinisnya berupa
suara parau dan batuk menggonggong, tanpa disfagia, stridor inspirasi derajat
minimal-sedang. Pemeriksaan fisik diperoleh: tanpa demam, tanpa faringitis,
dengan epiglotis yang normal. Gambaran radiologi berupa penyempitan dari
subglotis pada foto anterior-posterior (AP). Pada laboratorium darah diperoleh
nilai hitung jenis leukosit dalam batas normal. Etiologinya sama dengan etiologi
dari laryngotracheitis. (Cherry, 2008) 2). Acute Laryngotracheitis Keadaan
dimana terjadi proses inflamasi pada laring dan trakea. Dimana terdapat eritema
dan pembengkakan dinding lateral trakea, tepat dibawah pita suara. Biasanya
terjadi pada anak yang memiliki riwayat keluarga dengan croup. Pada awalnya
berupa gejala pilek, seperti hidung tersumbat, batuk dan coryza; demam muncul
pada 24 jam pertama; dan dalam 12-48 jam dapat muncul tanda dan gejala
obstruksi saluran pernapasan atas. Manifestasi klinis berupa suara parau dan batuk
menggonggong, tanpa disfagia, stridor inspirasi derajat minimal-berat; presentasi
toksik yang minimal. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam sekitar 37,8
40,50C, dengan faringitis minimal serta epiglotis yang normal. Gambaran
radiologi berupa penyempitan dari subglotis pada foto anterior-posterior (AP).
Pada laboratorium darah diperoleh leukositosis ringan, dengan sel
polimorfonuklear sebanyak lebih dari 70%. Umumnya disebabkan oleh virus
Parainfluenza 1, Parainfluenza 3, virus Influenza A, Respiratory syncytial virus,
Measles, Adenovirus dan Rhinovirus. (Cherry, 2008) 3). LTB
(Laryngotracheobronchitis) dan LTBP (Laryngotracheobroncho-pneumonitis)
[termasuk bacterial tracheitis] Peradangan pada laring, trakea, dan bronkus atau
paru-paru; Berupa infiltrasi sel-sel radang pada dinding trakea, ditambah
timbulnya ulserasi, pseudomembran, dan mikroabses. Onsetnya serupa dengan
laryngotracheitis, tetapi gejalanya lebih berat. Progresifitasnya terjadi dalam 12
jam 7 hari. Manifestasi klinis berupa suara serak dan batuk menggonggong,
tanpa disfagia, stridor inspirasi derajat berat; presentasi toksik yang tipikal. Pada
pemeriksaan fisik diperoleh hal yang sama seperti pada acute laryngotracheitis,
yaitu adanya demam sekitar 37,8 40,50C, dengan faringitis minimal serta
epiglotis yang normal. Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis
(seperti menara / steeple sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan
lunak yang ireguler pada trakea foto lateral, serta peumonia bilateral. Secara
laboratorium didapatkan kenaikan atau penurunan yang abnormal dari leukosit,
dengan jumlah netrofil > 70% dan adanya kenaikan dari persentase netrofil
batang. Dapat disebabkan oleh virus (Parainfluenza 1, 2, 3, Influenza A atau B),
pada sebagian besar kasus merupakan infeksi sekunder bakteri, terutama
Staphylococcus aureus; bakteri lain termasuk streptococcus grup A, Streptococcus
pneumoninae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. (Cherry, 2008)
4). Laryngeal Diphtheria Infeksi pada laring dan area lain dari saluran pernafasan
berhubungan dengan Corynebacterium diphtheriae, mengakibatkan timbulnya
progresifitas dari obstruksi saluran nafas. Biasanya terjadi pada individu dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap atau tidak adekuat. Onsetnya lebih lambat,
dengan jangka waktu 2 3 hari. Manifestasi klinis berupa suara serak dan batuk
menggonggong, biasanya ada disfagia, stridor inspirasi derajat minimal-berat;
dengan presentasi nontoksik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam,
37,8 38,50C, faringitis membranosa, epiglotis biasanya normal tetapi dapat pula
terselubungi membran. Gambaran radiologi tidak berguna. Secara laboratorium,
ditemukan leukositosis, dengan peningkatan persentasi dari netrofil batang.
(Cherry, 2008) 2.4 Riwayat Penyakit Gejala-gejala croup dapat muncul dengan
atau tanpa didahului gejala-gejala saluran napas atas seperti batuk, pilek dan
demam. Gejala croup seringnya timbul menjelang malam dan pada malam hari
dengan onset yang mendadak. Gejala-gejalanya termasuk: batuk seperti suara
anjing laut (menggonggong) stridor inspirasi suara parau tanpa demam sampai
demam yang sedang Gejala croup ini mengakibatkan anak sering dibawa ke
tempat pelayanan kesehatan dan secara signifikan gejalanya berfluktuasi
tergantung dari apakah anak dalam keadaan tenang atau gelisah (agitasi). Pada
sebagian besar anak, gejala cruop akan menghilang dalam 48 jam, tetapi sebagian
kecil anak, gejala dapat menetap sampai satu minggu. (Alberta Medical
Association, 2008) 2.5 Pemeriksaan Fisik Para dokter harus selalu waspada pada
kemungkinan timbulnya gejala serupa croup, oleh karena itu, mengetahui riwayat
penyakit dan temuan dari pemeriksaan fisik adalah penting. Kunci utama fokus
pemeriksaan yaitu: Terdengarnya suara batuk seperti anjing laut Suara sering kali
parau Variasi derajat dari stridor, terutama saat inspirasi Variasi derajat retraksi
dinding dada Anak sering menjadi gelisah (agitasi) Tidak adanya air liur
Gambaran non-toksik Temuan lain yang diperoleh dari pemeriksaan fisik berupa:
Demam (sampai 400C) Takikardia (dengan gejala obstruksi yang lebih berat)
Takipnea yang sedang (biasanya <> Jika daerah supraglotis dapat dilihat, tampak
gambaran yang normal (Alberta Medical Association, 2008) 2.6 Pemeriksaan
Penunjang Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis croup. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan presentasi
klinis dan kombinasi dengan pemeriksaan riwayat penyakit yang teliti serta
pemeriksaan fisik. Jika ingin dilakukan pemeriksaan laboratorium, hal ini dapat
dibenarkan dan harus ditunda saat pasien dalam distres pernapasan (Alberta
Medical Association, 2008). Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien
dengan riwayat penyakit yang tipikal yang berespon terhadap pengobatan, tetapi
bagaimanapun juga, foto lateral dan anteroposterior (AP) dari jaringan lunak leher
dapat membantu dalam mengklarifikasi diagnosis pada anak dengan gejala serupa
croup (Alberta Medical Association, 2008). Pada foto leher lateral, secara
diagnostik dapat membantu, menunjukkan daerah subglotis yang menyempit serta
daerah epiglotis yang normal (Kerby, 2003). Pemeriksaan saturasi dengan pulse
oxymetre diindikasikan untuk anak-anak dengan croup derajat sedang sampai
berat. Terkadang, anak dengan gejala croup bukan derajat beratpun memiliki
saturasi oksigen yang rendah, berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner.
Kultur virus atau pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan rutin,
khususnya selama periode epidemik (Alberta Medical Association, 2008). 2.7
Penatalaksanaan 2.7.1 Terapi suportif Oleh karena gejala croup sering timbul pada
malam hari, banyak orang tua yang merasa khawatir dengan penyakit ini,
sehingga meningkatkan kunjungan ke unit gawat darurat. Sehingga penting untuk
memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit yang secara alami dapat
sembuh sendiri ini. Melembabkan Udara (Pengabutan) Pada abad ke-20 terapi
dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan dasar dari manajemen croup,
tetapi sekarang ini efektivitasnya masih dipertanyakan. Rumah sakit saat ini
menggunakan peralatan penguapan untuk tujuan ini. Cara yang sederhana
termasuk memaparkan anak pada udara malam yang basah, atau memaparkan
anak pada uap air yang panas (Wikipedia, 2008). Oksigen Tatalaksana pemberian
oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia (dimana saturasi Oksigen
dalam ruangan biasa < style="">Alberta Medical Association, 2008). Gabungan
Oksigen-Helium Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena
potensinya sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam
menurunkan turbulensi udara pada penyempitan saluran pernapasan (Alberta
Medical Association, 2008). 2.7.2 Farmakoterapi Analgesik/Antipiretik Walaupun
belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik pada anak
dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak lebih
nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri (Alberta Medical Association,
2008). Antitusif dan Dekongestan Tidak ada penelitian yang bersifat
eksperimental yang potensial dalam menunjukkan keuntungan pemberian antitusif
atau dekongestan pada anak dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional
dalam penggunaannya, dan karena itu tidak diberikan pada anak yang menderita
croup (Alberta Medical Association, 2008). Antibiotik Tidak ada penelitian yang
potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan croup. Croup sebenarnya
selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara empiris terapi antibiotik
tidak rasional. Lagipula, jika terjadi super infeksi paling sering bacterial
tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000)
sehingga pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional (Alberta
Medical Association, 2008). Epinephrine Berdasarkan data terdahulu, penggunaan
epinephrine pada anak dengan croup berat, dapat mengurangi kebutuhan alat
bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi distres pernapasan dalam waktu
10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan. Beberapa
penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi
epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya
dalam 2-3 jam setelah terapi (Alberta Medical Association, 2008). Bentuk
epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin 1:1.000
memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis
tunggal (0,5 ml epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000)
digunakan untuk semua anak tanpa menghiraukan berat badan (Alberta Medical
Association, 2008; Kerby, 2003). Anak yang hampir mengalami gagal napas,
dapat diberikan epinephrine secara berulang. Pemberian epinephrine yang
kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit perawatan intensif anak
(Alberta Medical Association, 2008). Glucocorticoids Steroid adalah terapi utama
pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan kortikosteroid dapat
menurunkan jumlah dan durasi pemakaian intubasi, reintubasi, angka dan durasi
dirawat di rumah sakit, dan angka kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan,
serta menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala derajat ringan,
sedang dan berat (Alberta Medical Association, 2008). Dexamethasone sama
efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral. Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg
BB merupakan dosis yang umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang
dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan
dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain,
penelitian meta-analisis dengan kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis
lebih tinggi, memberikan respon klinis yang baik pada sebagian besar pasien
(Alberta Medical Association, 2008; Kerby, 2003). Inhalasi budesonide juga
menunjukkan efektivitas yang sama dengan dexamethasone oral, tetapi cara
pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga tidak secara rutin
digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas yang berat, pemberian
budesonide dan epinephrine secara bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv
daripada pemberian epinephrine saja. Pada pasien dengan gejala muntah-muntah
juga merupakan alasan untuk memberikan inhalasi steroid (Alberta Medical
Association, 2008). Penatalaksanaan simdrom croup berdasarkan beratnya gejala
terdapat pada lampiran 1. 2.8 Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul adalah:
Perlunya pemasangan intubasi pada sejumlah kecil pasien (<1%) Bacterial
tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien croup Henti kardiopulmoner
dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor dan tidak diterapi secara adekuat
Serta timbulnya pneumonia yang merupakan komplikasi dari croup yang jarang
terjadi (Alberta Medical Association, 2008). 2.9 Prognosis Oleh karena pada
umumnya penyebab sindrom croup adalah virus, maka sindroma ini dapat sembuh
dengan sendirinya, dan sangat jarang menyebabkan kematian akibat obstruksi
saluran pernapasan total. Gejalanya dapat berlangsung dalam 7 hari, tetapi
puncaknya pada hari kedua dari perjalanan penyakit (Wikipedia, 2008).

DIFTERI dan PERTUSIS


DIFTERI

Penyakit Difteri saat ini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di Jawa Timur.
Betapa tidak, sejak Januari hingga sekarang, ada 328 orang yang terkena difteri di
Jawa Timur. Sebagian besar adalah anak-anak. Dari jumlah itu, 11 orang meninggal
dunia.
Penyakit ini memang terdengar masih asing di telinga kita. Oleh karena itu, untuk
mengetahui lebih dalam tentang penyakit tersebut, berikut adalah kupasan
lengkapnya dari MayoClinic.
Difteri adalah infeksi bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae, yang
biasanya mempengaruhi selaput lendir dan tenggorokan. Difteri umumnya
menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas. Dalam tahap
lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan sistem saraf.
Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan berujung pada
kematian.
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala difteri meliputi, sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat
menelan, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan
terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel,
sulit bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil.
Tanda dan gejala biasanya mulai muncul 2-5 hari setelah seseorang menjadi
terinfeksi. Orang yang terinfeksi C. Diphtheria seringkali tidak merasakan sesuatu atau
tidak ada tanda-tanda dan gejala sama sekali.
Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai carier (pembawa)
difteri. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier.
Tipe kedua dari difteri dapat mempengaruhi kulit, menyebabkan nyeri kemerahan, dan
bengkak yang khas terkait dengan infeksi bakteri kulit lainnya. Sementara itu pada
kasus yang jarang, infeksi difteri juga mempengaruhi mata.
Penularan
Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute:
* Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap
air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri
tersebut.
* Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi
seperti gelas yang belum dicuci.
* Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-
barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau
mainan.
Selain itu, Anda juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila
menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri
dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu -
bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.
Faktor risiko
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:
Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat
Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena
telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri
masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat
imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur.
Komplikasi
Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan:
* Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung
dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan
(psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran
ini dapat menghambat pernapasan.
* Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain
dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti
radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul
sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung
kongestif dan kematian mendadak.
* Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di
mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan
saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi
lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka
otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu
napas.
Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri dapat bertahan dari komplikasi
ini, namun pemulihannya akan berjalan lama.
Perawatan dan obat-obatan
Difteri adalah penyakit yang serius. Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan, ada
beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya:
* Pemberian antitoksin: Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak yang
terinfeksi atau orang dewasa harus menerima suatu antitoksin. Antitoksin itu
disuntikkan ke pembuluh darah atau otot untuk menetralkan toksin difteri yang sudah
terkontaminasi dalam tubuh.
Sebelum memberikan antitoksin, dokter mungkin melakukan tes alergi kulit untuk
memastikan bahwa orang yang terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin.
Dokter awalnya akan memberikan dosis kecil dari antitoksin dan kemudian secara
bertahap meningkatkan dosisnya.
* Antibiotik: Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau
eritromisin. Antibiotik membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan
membersihkan infeksi. Anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi difteri
dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit untuk perawatan.
Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat
menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan
imunisasi penyakit ini.
Pencegahan
Jika Anda telah terpapar orang yang terinfeksi difteri, segeralah pergi ke dokter untuk
mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan. Dokter mungkin akan memberi Anda
resep antibiotik untuk mencegah infeksi penyakit itu.
Di samping juga pemberian vaksin difteri dengan dosis yang lebih banyak. Pemberian
antibiotik juga diperlukan bagi mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa)
difteri.
Difteri adalah penyakit yang umum pada anak-anak. Penyakit ini tidak hanya dapat
diobati tetapi juga dapat dicegah dengan vaksin. Vaksin difteri biasanya
dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan pertusis, yang dikenal sebagai
vaksin difteri, tetanus dan pertusis.
Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan vaksin
Tdap untuk remaja dan dewasa. Pemberian vaksinasi sudah dapat dilakukan saat
masih bayi dengan lima tahapan yakni, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan dan 4-
6 tahun.
Vaksin difteri sangat efektif untuk mencegah difteri. Tapi pada beberapa anak mungkin
akan mengalami efek samping seperti demam, rewel, mengantuk atau nyeri pasca
pemberian vaksin. Pemberian vaksin DTaP pada anak jarang menyebabkan
komplikasi serius, seperti reaksi alergi (gatal-gatal atau ruam berkembang hanya
dalam beberapa menit pasca injeksi), kejang atau shock. Untuk beberapa anak
dengan gangguan otak progresif - tidak dapat menerima vaksin DTaP.

DIFTERIA
CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIA

Baksil menempel di mukosa saluran nafas bagian atas,kulit,mukosa
genital

Menghasilkan toksik yang diabsorsi membrane sel

Penetrasi dan inferensi dengan sintesa protein bersama sel kuman
penghasil NAD (nikoti nemide adenine dinukleosida)

asam amino dan RNA memperpanjang rantai polipepsida

Mekrosa sel menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat

Produksi toksin meningkat dan daerah infeksi makin meluas

Eksudat fibrin perlengketan,membentuk membrane apabila diangkat
terjadi perdarahan

Sesak nafas reaksi peradangan lemah fisik

kekurangan O2 bibir pecah-pecah


lemah fisik tenggorokan sakit
intoleransi aktifitas susah makan / anoreksia
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh

PERTUSIS
Roni wijaya, Sujatmiko

Pendahuluan
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di
Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang
saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif
berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran
pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang
spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk
menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan
penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk.
Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkanattack
rate sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada
abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B. pertussis sebagai
etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906.
Epidemiologi
Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus terjadi
pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis
menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak
itu, imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup,
sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18
tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers of Disease
Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu
angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18
tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian
prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang
menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997
per 100.000.
Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus
berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70%
berusia 10-19 tahun.
Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis
bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani
perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian. Sebuah studi kasus-kontrol
menunjukkan adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya kejadian
luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan 13,9 bila ibu
batuk >7 hari. Hal yang menarik disimpulkan dari penelitian tersebut, bahwa usia ibu yang
lebih tua tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya pertusis.

Gambar 1 Laporan Kasus Pertusis 1922-2004 di AS


Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat
berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra
paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.
Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-
100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65%
mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-
1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi
batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk
akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang,
bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian
prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1
minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak
memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau muntah setelah batuk. Dengan
demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting pada penyebaran pertusis pada bayi
baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit,
meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis.
Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore
dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan
panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat
ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme
tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi
Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat
selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan
bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada
remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai
terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat
terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita
pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak
serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap
untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien
akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk
beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang
berulang.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien
pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis
tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/L
dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena
respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring
dipakai untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan
positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk
mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah diberikan
pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai
sensitivitas yang tinggi, namun belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut
penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA
dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM
serum FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit
atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan
lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau
empisema.
PENYULIT
Peneliti Inggris (1977-1979) melaporkan diantara 2.295 kasus didapatkan penyulit 16,8%
berat badan menurun, 9,8% bronkitis akut, 0,3% atelektasis, 0,88% bronkopneumonia,
1,1% apnea, 0,6% kejang, dan 7,5% otitis media. Pneumonia dapat disebabkan oleh B.
pertussis, namun lebih sering lagi disebabkan infeksi bakteri sekunder (H. influenzae, S.
pneumoniae, S. aureus, S. pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif.
Atelektasis terjadi sekunder dari sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau
muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder
oleh bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstisial/subkutan dan pneumotoraks, termasuk perdarahan subkonjungtiva.
Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis, hiponatremia
sekunder terhadap SIADH (syndrome of inappropiate diuretiuc hormon) juga dapat
terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungkan dengan alkalosis yang disebabkan muntah
persisten.
Tabel 1 Komplikasi Pertusis 1989 - 1991 (CDC), USA
Persentase Komplikasi Pengelolaan
(tanpa penggolongan usia) Pemberian antibiotik tidak
Pneumonia 12% memperpendek stadium
Kejang 2% paroksismal. Pemberian
Ensefalopati 0,1% eritomisin, klaritromisin, atau
Kematian 0,2% azitromisin telah menjadi pilihan
Memerlukan rawat inap 41% pertama untuk pengobatan dan
profilaksis. Eritromisin (40-50
mg/kgbb/hari dibadi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat
mengeleminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat
mengeleminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga
memperpendek periode penularan. Penelitian membuktikan bahwa golongan makrolid
terbaru yaitu azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal 500
mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral, maksimum
1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun memiliki efek
samping lebih sedikit. Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang
menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan
pada distres pernapasan yang akut dan kronik.
Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya
pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan
pasif.
Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata
berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini
tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap
0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis
terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian
vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak
usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari
dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda
bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi,
atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau
setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang
terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis
PROGNOSIS
Prognosis tergantung usia, remaja memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan bayi yang memiliki risiko kematian (0,5-1%) akibat ensefalopati.

Anda mungkin juga menyukai