Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Penyakit ISPA


2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah

bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI) yaitu penyakit infeksi akut yang menyerang

salah satu atau lebih dari saluran pernapasan, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah) beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan

pleura (Hartono dan Rahmawati, 2012).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang dapat

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas)

sampai alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga

bawah dan pleura (WHO, 2011). ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang ditandai

dengan batuk pilek, anak sering sekali terkena 2 sampai 3 kali, namun bila lebih dari satu

minggu terjadi infeksi lanjutan (Dewi, 2011). Infeksi saluran pernafasan akut adalah proses

inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikoplasma), atau aspirasi substansi

asing, yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernafasan (Wong, 2008).

2.1.2 Etiologi ISPA


Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri penyebab

ISPA antara lain adalah Genus Streptokokus, Stafilokkokus, Pnemokokus, Hemofillus,

Bordetella, dan Koneabakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan

Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus (Erlien, 2008).

6
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan (ISPA) disebabkan oleh virus, bakteri, riketsa

atau protozoa. Virus yang termasuk penggolongan infeksi saluran pernafasan akut adalah

rinovirus, koronavirus, adenovirus, koksakievirus, influenza dan virus sinsisial

pernafasan.virus yang mudah ditularkan melalui ludah yang dibatukkan atau dibersinkan

oleh penderita adalah virus influenza, virus sinsisial pernafasan dan rinovirus (Junaidi, 2010).

Etiologi infeksi saluran pernafasan akut tersiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan

riketsia jamur. Virus penyebab Infeksi saluran pernafasan akut antara lain golongan

miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus parainfluensa dan virus campak),

adenovirus. Bakteri penyebab infeksi saluran pernafasan akut misalnya Streptokokus

Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Influenza, Bordetella Pertusis,

Korinebakterium Diffteria (Depkes, 2008).

2.1.3 Klasifikasi ISPA


Berdasarkan P2 ISPA Mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :

a) Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam

(chest indrawing) pada saaat bernapas.

b) Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

c) Bukan pneumonia : ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa

tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan

tonsilitis tergolong bukan pneumonia  (Erlien, 2008).

ISPA terdiri dari sekelompok kondisi klinik dengan etilogi dan perjalanan klinik yang

berbeda. Sampai saat ini ISPA diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Klasifikasi ISPA berdasarkan Lokasi Anatomis

1) Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas

7
Infeksi akut yang menyerang hidung sampai epiglotis dengan organ adneksa misalnya:

rhinitis akut, faringitis akut, sinusitis akut dan sebagainya.

2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Bawah

Dinamakan sesuai dengan organ saluran pernafasan mulai dari bagian bawah epiglotis

sampai alveoli paru, misalnya: trakeitis, bronchitis akut, bronkiolitis, pneumonia dan

lain-lain.

b. Klasifikasi ISPA berdasarkan Etiologi

Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus , bakteri dan riketsia.

1) Virus

Virus penyebab ISPA antara lain: golongan mikrovirus, (termasuk didalamnya virus

influenza, virus parainfluenza dan virus campak), adenovirus, koronavirus,

pikornovirus.

2) Bakteri

Bakteri penyebab ISPA misalnya: streptokokus hemolitikus, stafilokokus,

pneumokokus, hemofilus influenzae, bordetela pertusis, korine bacterium.

c. Klasifiksasi ISPA yang tercantum pada DTD

Dalam DTD (Daftar Tabulasi Dasar) yang disusun berdasarkan ICD (International

Classification of Disease) dan dipakai pada penyusunan laporan data kesakitan dari

puskesmas maupun rumah sakit, ISPA belum disusun dalam satu kelompok penyakit.

Diagnosis ISPA dalam daftar tersebut merupakan gabungan dari klasifikasi anatomi dan

etiologi, antara lain:

a. Difteria                 

b. Laringtis dan trakeitis akut

c. Batuk rejan                       

8
d. Bronkitis

e. Radang tenggorok           

f. Pneumonia

g. Campak                            

h. Influenza

i. Tonsillitis akut

d. Klasifikasi ISPA berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit

Klasifikasi ISPA berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi  3 yaitu:

 ISPA ringan: Satu atau lebih dari tanda berikut: batuk, pilek, serak.

 ISPA sedang: Pernafasan cepat lebih dari 50 per menit.

 ISPA berat: Penarikan dada kedalam (Chest Indrawing).

2.1.4 Tanda dan Gejala


Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan di mulai dengan keluhan-keluhan

dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi

lebih berat  dan  bila  semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan

mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan

penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu

diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat di

tolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan (Rasmaliah, 2004).

Tanda-tanda bahaya ISPA dapat di lihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-

tanda laboratoris. Tanda-tanda klinis menurut WHO (2007), yaitu

9
a) Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi

dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang,

grunting expiratoir dan wheezing.

b) Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan

cardiac arrest.

c) Pada sistem cerebral adalah :  gelisah, mudah  terangsang, sakit kepala, bingung,

papil bendung, kejang dan coma.

d) Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

Adapun yang menjadi Tanda-tanda laboratoris yaitu :

a) Hypoxemia

b) Hypercapnia dan

c) Acydosis (metabolik dan atau respiratorik) (Rosmalia, 2004)

Tanda dan gejala berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi tiga tingkat

menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2008 :

a. ISPA Ringan

Adapun tanda dan gejala ISPA ringan antara lain adalah:

1) Batuk

2) Pilek (keluar ingus dari hidung)

3) Serak (bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara)

4) Demam (panas)

b. ISPA Sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang antara lain:

1) Pernapasan yang cepat :

Umur 2 bulan - <12 bulan : 50 kali atau lebih per menit

10
Umur 12 bulan - <5 tahun : 40 kali atau lebih per menit

2) Wheezing (napas menciut-ciut)

3) Panas 38oC atau lebih

4) Sakit telinga atau keluar cairan

5) Bercak-bercak menyerupai campak

c. ISPA Berat

Tanda dan gejala ISPA berat ditandai dengan gejalagejala ISPA ringan atau ISPA sedang

disertai satu atau lebih gejala-gejal sebagia berikut :

1) Chest indrawng (pernafasan dada kedalam)

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) saat bernafas.

3) Kesadaran menurun

4) Bibir/kulit pucat kebiruan

5) Stidor yaitu suara nafas seperti mengorok

2.1.5 Penyebab penyakit ISPA


ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Secara umum,

pencemaran udara memiliki peranan penting dalam menimbulkan infeksi saluran

peranfasan dan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku

bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi

oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan

daluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibatnya,

penderita akan mengalami kesulitan untuk bernafas sehingga benda asing tertarik dan

bakteri juga tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan tersebut, hal ini akan

mempermudah terjadinya infeksi saluran pernafasan.

11
Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang

biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang

lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu

melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun

minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah mereka hirup sehari-hari, sehingga

banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan

bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur,

Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan.

Menurut WHO (2007), pengeluaran lendir atau gejala pilek terjadi pada penyakit flu

ringan disebabkan karena infeksi kelompok virus jenis rhinovirus dan/atau coronavirus.

Penyakit ini dapat disertai demam pada anak selama beberapa jam sampai tiga hari.

Sedangkan pencemaran udara diduga menjadi pencetus infeksi virus pada saluran napas

bagian atas.

Jumlah penderita infeksi pernapasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi dan

infeksinya mempengaruhi umur anak, daya tahan, musim, kondisi tempat tinggal, dan

masalah kesehatan yang ada. Banyaknya patogen pada sistem pernapasan yang muncul

dalam wabah selama musim semi dan dingin, tetapi mycoplasma sering muncul pada musim

gugur dan awal musim semi. (Hartono dan Rahmawati, 2012).

2.1.6 Faktor risiko terjadinya ISPA


Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA. Hal ini

berhubungan dengan host, agent penyakit dan environment (Gunawan, 2010). Faktor-faktor

yang dapat menyebabkan kejadian ISPA antara lain :

12
a. Faktor Demografi
Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :
1) Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-lakilah yang banyak

terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan perokok dan sering

berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi udara.

2) Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit ISPA. Hal ini

disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga yang memasak sambil menggendong

anaknya.

3) Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kesehatan,

karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta pengetahuan yang

kurang di masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus

ISPA yang datang kesarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena

kurang mengerti bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit

ISPA.

b. Faktor biologis
1) Status gizi
Status gizi merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk

merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA. Hal ini di karenakan adanya gangguan

respon imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan

bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak

daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain

13
perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus di lakukan pula perbaikan terhadap defisiensi

vitamin A untuk mencegah ISPA.

2) Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara

alamiah atau mekanis. Ventilasi disamping berfungsi sebagai lubang pertukaran udara

juga dapat berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alami atau matahari ke dalam

ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan kelembaban yang

tinggi dapat menyebabkan peningkatan resiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan

ventilasi rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA.

3) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu

banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam ruangan rumah, terutama cahaya

matahari di amping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik

untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya

didalam rumah akan menyebabkan silau, dam akhirnya dapat merusakan mata.

Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela

minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri

patogen di dalam rumah misanya, basil TB. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus

mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang

diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan

kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya.

Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh

kuman dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kaca berwarna (Suryo, 2010).

14
4) Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya. Artinya,

luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar

tidak menyebabkan overload . Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan

kurangnya oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan

mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk

seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat

relatif bergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah

sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai

minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi

tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Yusuf,

2008).

5) Berat badan lahir rendah (BBLR)


Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di negara

berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22%

kematian pada pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan

bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan, dan

2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.

6) Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko terkena ISPA

dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak

yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam

kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri

bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan

15
ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25% usaha

global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi

angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin pneomokokus dan H. Influenzae

type B saat ini sudah di berikan pada anak anak dengan efektivitas yang cukup baik.

c. Faktor Polusi
Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri dari 2 aspek yaitu

1) Cerobong asap
Cerobong asap sering kita jumpai diperusahaan atau pabrik-pabrik industri yang

dibuat menjulang tinggi ke atas (vertikal). Cerobong tersebut dibuat agar asap bisa keluar

ke atas terbawa oleh angin. Cerobong asap sebaiknya dibuat horizontal tidak lagi vertikal,

sebab gas (asap) yang dibuang melalui cerobong horizontal dan dialirkan ke bak air akan

mudah larut. Setelah larut debu halus dan asap mudah dipisahkan, sementara air yang

asam bisa dinetralkan oleh media Treated Natural Zeolid (TNZ) yang sekaligus bisa

menyerap racun dan logam berat. Langkah tersebut dilakukan supaya tidak akan ada lagi

pencemaran udara, apalagi hujan asam. Cerobong asap juga bisa berasal dari polusi

rumah tangga, polusi rumah tangga dapat dihasilkan oleh bahan bakar untuk memasak,

bahan bakar untuk memasak yang paling banyak menyebabkan asap adalah bahan bakar

kayu atau sejenisnya seperti arang.

2) Kebiasaan merokok
Satu batang rokok dibakar maka akan mengelurkan sekitar 4.000 bahan kimia seperti

nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, ammonia, acrolein,

acetilen, benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol,

ortcresorperyline dan lainnya, sehingga di bahan kimia tersebut akan beresiko terserang

ISPA.

16
2.1.7 Penyebaran/Epidemologi ISPA
Epidemiologi adalah suatu rangkaian proses yang terus menerus dan sistematik
dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi serta disiminasi informasi
untuk aksi atau perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program kesehatan masyarakat
berdasarkan eridens base (Anonim, 2011).
Program pencegahan dan pemberantasan penyakit akan sangat efektif bila dapat
dukungan oleh sistem yang handal karena fungsi utamanya adalah menyediakan informasi
epidemiologi yang peka terhadap perubahan yang terdapat dalam pelaksanaan program
pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas pembangunan (Anonim, 2011).
Salah satu penyakit yang di derita oleh masyarakat terutama adalah ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Atas), yaitu meliputi infeksi akut saluran pernafasan bagian atas dan
akut saluran pernafasan bagian bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak di derita
oleh anak; baik di negara berkembang maupun di negara maju dan sudah mampu banyak
diantara mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-
penyakit saluran pernafasan pada masa bayi dan anak dapat pula memberi kecacatan
sampai pada masa dewasa (Anonim, 2011).
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan
kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dan 4 kematian yang terjadi.
Setiap anak diperkirakan mengalami 3–6 episode ISPA setiap tahunnya. Data yang diperoleh
dari kunjungan ke puskesmas mencapai 40–60 % adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh
kematian yang disebabkan ISPA adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang 2
bulan (Anonim, 2011).
Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi, kematian
seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan berat dan
sering disertai penyulit-penyulit kurang gizi. Data morbiditas penyakit pneumonia di
Indonesia per tahun berkisar antara 10 – 20 % dan populasi balita. Hal ini didukung oleh
data penelitian di lapangan (kecamatan Kediri, NTB adalah 17,8%). Bila kita mengambil
angka morbiditas 10% pertahun, berarti setiap tahun jumlah penderita pneumonia di
Indonesia berkisar 2,3 juta (Anonim, 2011).
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan
tujuan berupaya untuk menurunkan kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak
balita yang disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian

17
tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah dilaporkan berdasarkan penelitian yang telah
disebutkan di atas (Anonim, 2011).

2.1.8 Trias Atau Segitiga Epidemologi ISPA (Bustan, 2008)


Trias epidemiologi atau segitiga epidemiologi adalah suatu konsep dasar

epidemiologi yang menggambarkan tentang hubungan tiga faktor utama yang berperan

dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Tiga faktor tersebut adalah host

(penjamu), agent (agen, faktor penyebab), dan environment (lingkungan).

Host adalah manusia atau makhluk hidup lainnya, termasuk burung dan antropoda

yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah perkembangan pernyakit. Yang termasuk

dalam faktor penjamu, yaitu usia, jenis kelamin, ras/etnik, anatomi tubuh, status gizi, sosial

ekonomi, status perkawinan, penyakit terdahulu, life style, hereditas, nutrisi, dan imunitas.

Faktor-faktor ini mempengaruhi risiko untuk terpapar sumber infeksi serta kerentanan dan

resistensi manusia terhadap suatu penyakit atau infeksi.

Host atau penjamu memiliki karateristik tersendiri dalam menghadapi ancaman


penyakit, antara lain:
1. Imunitas
Kesanggupan host untuk mengembangkan suatu respon immunologis, dapat secara

alamiah maupun perolehan (non-alamiah), sehingga tubuh kebal terhadap suatu penyakit

tertentu. Selain mempertahankan diri, pada jenis-jenis penyakit tertentu mekanisme

pertahanan tubuh dapat menciptakan kekebalan tersendiri. Misalnya campak, manusia

mempunyai kekebalan seumur hidup, mendapat immunitas yang tinggi setelah terserang

campak, sehingga seusai kena campak sekali maka akan kebal seumur hidup.

18
2. Resistensi
Kemampuan dari pejamu untuk bertahan terhadap suatu infeksi. Terhadap suatu

infeksi kuman tertentu, manusia mempunyai mekanisme pertahanan tersendiri dalam

menghadapinya.

3. Infektifnes (infectiousness)
Potensi pejamu yang terinfeksi untuk menularkan penyakit kepada orang lain. Pada

keadaan sakit maupun sehat, kuman yang berada dalam tubuh manusia dapat berpindah

kepada manusia dan sekitarnya.

Agent adalah suatu unsur, organisme hidup atau infektif yang dapat menyebabkan

terjadinya suatu penyakit. (M.N Bustan: 2008). Agen tersebut meliputi agen biologis, kimia,

nutrisi, mekanik, dan fisika. Agen biologis bersifat parasit pada manusia, seperti metazoan,

protozoa, jamur, bakteri, ricketsia, dan virus. Agen kimia meliputi pestisida, asbes, CO, zat

allergen, obat-obatan, limbah industri, dll. Agen nutrisi meliputi karbohidrat, lemak, protein,

vitamin, mineral, dan air yang jika kekurangan atau kelebihan zat-zat tersebut, maka dapat

menimbulkan penyakit. Agen mekanik meliputi friksi yang kronik, misalnya kecelakaan,

trauma organ yang menyebabkan timbulnya sakit, dislokasi (payah tulang), dll.

Dari segi epidemiologi, konsep faktor agen mengalami perkembangan dengan

mempergunakan terminologi faktor resiko (risk factor). Jadi, tidak hanya unsur-unsur di atas

yang tergolong faktor resiko, tetapi mencakup semua hal yang memberikan kemungkinan

terjadinya penyakit. Contoh faktor resiko yang bersifat tingkah laku yang tidak sehat, yaitu

minum alkohol, drug abuse, merokok, tidak menggunakan tali pengaman (seat bealt),

kurang olah raga, dll.

19
Seperti halnya dengan host, agen juga memiliki karakteristik, yaitu (M.N Bustan:
2006):
1. Infekstivitas
Kesanggupan dari organisme untuk beradaptasi sendiri terhadap lingkungan dari

penjamu untuk mampu tinggal dan berkembang biak (multiply) dalam jaringan pejamu.

Umumnya diperlukan jumlah tertentu dari suatu mikroorganisme untuk mampu

menimbulkan infeksi terhadap penjamunya. Dosis infektifitas minimum (minimum

infectious dose) adalah jumlah minimal organisma yang dibutuhkan untuk menyebabkan

infeksi. Jumlah ini berbeda antara berbagai species mikroba dan antara individu.

2. Patogenesitas
Kesanggupan organisme untuk menimbulkan suatu reaksi klinik khusus yang

patologis setelah terjadinya infeksi pada penjamu yang diserang. Dengan perkataan lain,

jumlah penderita dibagi dengan jumlah orang yang terinfeksi. Hampir semua orang yang

terinfeksi dengan dengan virus smallpox menderita penyakit (high pathogenicity),

sedangkan orang yang terinfeksi poliovirus tidak semua jatuh sakit (low pathogenicity).

3. Virulensi
Kesanggupan organisme tertentu untuk menghasilkan reaksi patologis yang berat

yang selanjutnya mungkin menyebabkan kematian. Virulensi kuman menunjukkan

beratnya (severity) penyakit.

4. Toksisitas
Kesanggupan organisme untuk memproduksi reaksi kimia yang toksis dari substansi

kimia yang dibuatnya. Dalam upaya merusak jaringan untuk menyebabkan penyakit

berbagai kuman mengeluarkan zat toksis.

5. Invasitas
Kemampuan organisme untuk melakukan penetrasi dan menyebar setelah memasuki
jaringan.

20
6. Antigenisitas
Kesanggupan organisme untuk merangsang reaksi immunologis dalam penjamu.

Beberapa organisma mempunyai antigenisitas lebih kuat dibanding yang lain. Jika

menyerang pada aliran darah (misalnya virus measles) akan lebih merangsang

immunoresponse dari yang hanya menyerang permukaan membrane (misalnya

gonococcus).

Faktor environment (lingkungan) adalah bagian dari trias epidemiologi. Faktor ini

memiliki peranan yang sama pentingnya dengan dua faktor yang lain. Faktor lingkungan

meliputi lingkungan fisik, biologi, sosial-ekonomi, topografi dan georafis. Lingkungan fisik

seperti kondisi udara, musim, cuaca, kandungan air dan mineral, bencana alam, dll.

Lingkungan biologi meliputi hewan, tumbuhan, mikroorganisme saprofit, dsb. Lingkungan

sosial-ekonomi yang juga mempengaruhi, yaitu kepadatan penduduk, kehidupan sosial,

norma dan budaya, kemiskinan, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan, dll.

Faktor-faktor trias epidemiologi saling berinteraksi. Keterhubungan antara host,

agent, dan environment ini merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam

keseimbangan (equilibrium) pada seseorang individu yang sehat. Maka dapat dikatakan

bahwa individu yang sehat adalah keadaan dimana ketiga faktor ini dalam keadaan

seimbang. Jika timbul penyakit pada diri individu, maka berkaitan dengan gangguan

interaksi antara ketiga faktor tersebut.

Interaksi trias epidemiologi, antara lain:


- Interaksi Agen-Lingkungan
Keadaan dimana agent dipengaruhi langsung oleh environment (karakteristik host
tidak berpengaruh). Misal: ketahanan bakteri terhadap sinar matahari, stabilitas vit dlm
lemari pendingin, dll.

21
- Interaksi Host-Lingkungan
Keadaan dimana host dipengaruhi langsung oleh environment (karakteristik agen
tidak berpengaruh). Misal: kebiasaan penyiapan makanan, ketersediaan fasilitas kesehatan,
dll.
- Interaksi Host-Agen
Keadaan dimana agent telah berada dalam diri host. Interaksi ini dapat berakhir
dengan kesembuhan, gangguan sementara, kematian atau carier.
- Interaksi Agent-Host-Lingkungan
Keadaan dimana host, agent & environment saling mempengaruhi satu sama lain
sehingga timbul penyakit. Misal: kontaminasi feses penderita tifus pada sumber air minum.
Bentuk interaksi trias epidemiologi juga dikemukakan oleh John Gordon berupa
Timbangan Keseimbangan. Dalam hukum Biologic Laws dikatakan bahwa suatu penyakit
timbul karena terjadi ketidakseimbangan antara agent dan host. Keseimbangan tersebut
tergantung pada sifat alami dan karakteristik dari agent dan host (individu/ kelompok).
Karakteristik dari agent dan host berikut interaksinya secara langsung tergantung pada
keadaan alami dari lingkungan biologi, fisik, dan sosial-ekonomi.
Timbangan kesimbangan, meliputi:
1. Periode Prepatogenesa
Pada periode ini, manusia dalam kondisi sehat, tidak ada pengaruh dari lingkungan
yang buruk atau bibit penyakit. Maka ini merupakan keadaan seimbang.
2. Periode Patogenesa
Pada periode ini, keadaan seimbang terganggu sehingga timbul suatu penyakit.
a. Perubahan Lingkungan
- Posisi ketidakseimbangan pada lingkungan menyebabkan mudahnya penyebaran
agent. Misal: Kasus DBD meningkat  pada musim hujan.
- Posisi ketidakseimbangan pada lingkungan menyebabkan perubahan pada faktor
host. Misal: Kasus ISPA meningkat karena meningkatnya polusi udara.

b. Perubahan Agent
Contohnya peningkatan virulensi agent, terdapat agent baru, jumlah agent
bertambah, dan mutasi agent.

22
c. Perubahan Host
Contoh bertambah banyaknya jumlah orang-orang rentan terhadap suatu agent
mikroorganisme tertentu, misalnya terhadap kuman difteri.

2.1.9 Pencegahan ISPA


ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan atau

mengurangi faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan melakukan

pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal

memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang

benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama

pneumonia berat.

Untuk mencegah anak-anak terserang penyakit ISPA, beberapa tips berikut dapat

dijadikan panduan untuk melakukan pencegahan, antara lain:

• Menjaga kesehatan anak agar memiliki daya tahan tubuh yang kuat dengan

pemberian gizi yang baik

• Pemberian imunisasi pada anak

• Menjaga kebersihan diri dan anak

• Mencegah anak untuk berhubungan dengan seseorang yang sudah terjangkit

penyakit ISPA, tujuannya hanya agar anak tidak tertular penyakit ini.

Bagi orang dewasa, udara dingin bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya

penyakit ISPA, masih ada beberapa hal yang mungkin sudah menjadi gaya hidup yang

kurang sehat, mungkin mereka menyasari bahwa kebiasaan tersebut akan mengganggu

mereka. Bagi laki-laki dewasa, kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor utama

mereka dapat terjangkit penyakit ISPA. Walaupun bukan satu-satunya tetapi tetap saja

menjadi kawan terbesar untuk menimbulkan penyakit ISPA pada orang dewasa.

23
Yang paling penting dalam melakukan penyembuhan terhadap orang dewasa tidak

hanya dengan pengobatan semata, tetapi juga dengan mengubah gaya hidup yang kurang

sehat. beberapa hal sederhana yang mampu membant penyembuhan penyakit ISPA pada

orang dewasa, antara lain :

• Mengurangi rokok

• Menggunakan masker ketika berkendara menggunakan motor, karena ketika

berkendara Anda terkadang melintasi daerah dimana tempat tersebut memiliki

kondisi udara yang kurang baik, berasap atau mungkin melintasi jalan yang memiliki

kapasitas debu yang lumayan banyak

• Memulai mengkonsumsi makanan sehat

• Berkonsultasi ke dokter

Penyakit ISPA pada orang dewasa tidak seperti penyakit ISPA yang mungkin dialami

oleh anak-anak, karena mungkin lebih banyak faktor yang disebabkan karena kebiasaan dari

orang dewasa yang kurang sehat yang menyebabkan mereka lebih sering terserang penyakit

ISPA. Ketika seseorang gagal dalam bernafas, akibatnya akan menjadi fatal bagi nyawa

seseorang.

2.2 Tinjauan Puskesmas


2.2.1 Pengertian
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional yang

menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat

diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan

menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan

biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut

diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna

24
mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada

perorangan. Pengelolaan puskesmas biasanya berada di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten

dan Kota.

Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan dan merupakan

Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Upaya pelayanan

yang diselenggarakan adalah :

a. Pelayanan kesehatan masyarakat, yaitu upaya promotif dan preventif pada

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas.

b. Pelayanan medik dasar yaitu upaya kuratif dan rehabilitatif dengan pendekatan

individu dan keluarga melalui upaya perawatan yang tujuannya untuk

menyembuhkan penyakit untuk kondisi tertentu.

Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara bermutu. Program Puskesmas merupakan

program kesehatan dasar, meliputi :

a. Promosi kesehatan

b. Kesehatan Lingkungan

c. KIA & KB

d. Perbaikan gizi

e. Pemberantasan penyakit menular

f. Pengobatan yang terdiri dari rawat jalan, rawat inap, penunjang medik (laboratorium

dan farmasi)

2.2.2 Konsep Wilayah


Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab pemeliharaan kesehatan

masyarakat dalam wilayah kerjanya. wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi

25
apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah

kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah

(desa/kelurahan). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional

bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2.2.3 Pelayanan Kesehatan Menyeluruh


Pelayanan yang diberikan di Puskesmas adalah pelayanan kesehatan yang meliputi

kuratif, preventif, promotif dan rehabilitatif yang ditujukan kepada semua jenis dan

golongan umur sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia.

2.2.4 Pelayanan Kesehatan Integritas (Terpadu)


Sebelum di Puskesmas, pelayanan kesehatan di dalam suatu kecamatan terdiri dari

balai pengobatan, balai kesejahteraan ibu dan anak, usaha hygiene lingkungan,

pemberantasan penyakit menular dan lain-lain.

Usaha-usaha tersebut masing-masing bekerja sendiri-sendiri dan langsung melapor

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dengan adanya sistem pelayanan melalui

puskesmas, maka berbagai kegiatan pokok puskesmas dilaksanakan bersama di bawah satu

koordinasi dan satu pimpinan.

2.2.5 Tujuan Puskesmas


Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah

mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal

di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan di masyarakat.

26
2.2.6 Fungsi puskesmas
Adapun fungsi puskesmas yaitu:

a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.

b. Pusat pemberdayaan masyarakat.

c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

27

Anda mungkin juga menyukai