Anda di halaman 1dari 12

STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama

: An. AA

Usia

: 1 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki


Alamat

: Jl. Arifin

Tanggal masuk

: 6 Oktober 2016

Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu kandung pasien.
Keluhan Utama : Pasien demam 4 hari
Riwayat Penyakit Sekarang :
4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam naik turun, terutama saat malam; keluhan
disertai batuk pilek. Keluhan ruam kulit, BAB cair, muntah disangkal. 2 hari sebelum masuk
rumah sakit pasien batuk menjadi menggong-gong, nafas bersuara berat ketika menangis dan
mengorok sewaktu tidur. Pasien berobat ke praktek dokter umum, namun keluhan tidak
membaik.
Anamnesis sistem :
Cerebrospinalis : demam (+), kejang (-)
Respirasi

: batuk (+), pilek (+), sesak (+), mengorok (+)

Kardiovaskular : keringat dingin (-), cyanosis (-)


Gastrointestinal : muntah (-), BAB normal
Urogenital

: BAK normal

Muskuloskeletal : kelemahan anggota gerak (-)


Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa (-), riwayat kejang (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan serupa (-)

Riwayat Kehamilan :
Selama kehamilan ibu rutin kontrol kehamilan sesuai anjuran bidan dan dokter. Riwayat
konsumsi asam folat (+). Riwayat sakit dalam masa kehamilan disangkal.
Riwayat Kelahiran :
Bayi lahir dari ibu G1P0A0, cukup bulan, letak kepala, lahir spontan ditolong oleh bidan.
Bayi lahir langsung menangis, gerak aktif. Berat Badan Lahir bayi 3100 gram.
Riwayat Imunisasi :
Pasien menerima imunisasi lengkap sesuai anjuran dokter.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Nadi 192 x/menit
RR 32x/menit
Suhu 38.9C
Berat Badan :
8.9 kg
Status Gizi : -2SD < x < 2SD
Kepala
: normocephali, conjuctiva anemis -/-, sclera icteric -/-, pharynx hyperemis (+),
tonsil T2/T2
Leher
: Pembesaran limph node (-)
Thorax
: I : simetris, retraksi (-)
P : fremitus kanan = kiri
P : sonor +/+
A : stridor inspirasi +/+, S1S2 reguler, bising (-)
Abdomen : I : flat
A : BU (+) normal
P : tympani
P : dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat, nadi kuat, CRT <2s

Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Leukosit : 6,390 /mm3
Hb
: 11.9 g/dl
Hct
: 37%
Platelet : 271,000 /mm3

GDS
Widal

: 120 mg/dl
: non-reaktif

Diagnosis
Croup Syndrome

Tatalaksana
IVFD KaEn 3A 800 cc/24 jam
Inj. Indexon IV 3x1.5mg
Inj. Cefotaxime 3x275mg
Inf. Paracetamol 4x100mg
Syr. Epexol 3x0.5cc

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Pengertian
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit
heterogen yang mengenai laring, infra/ subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik
sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi,
dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas (IDAI, 2008).
Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan
gejala akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa
stridor inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres
pernapasan (Oma dkk, 2005).
Croup (laringotrakeitis)

adalah

suatu

kondisi

yang

menyebabkan

peradangan pada saluran napas atas yaitu laring, trakea. Hal ini sering
menyebabkan batuk menggonggong atau suara serak, terutama ketika anak
menangis (Roosevelt, 2007).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sindrom croup adalah suatu kondisi di mana
terdapat berbagai macam penyakit respiratorik yang mengenai laring hingga
bronkus, dengan karakteristik batuk menggonggong, suara serak, dan stridor
inspirasi.
2. Etiologi
Virus penyebab infeksi akut sindrom croup menyebar melalui inhalasi
langsung dari batuk atau bersin, kontaminasi tangan yang menyentuh muntah, mukosa
hidung ataupun mulut penderita. Virus penyebab paling umum adalah virus
parainfluenza. Tempat masuk utama virus ini adalah hidung dan nasofaring. Infeksi
menyebar dan melibatkan laring dan trakea.
Penyebab infeksi croup lainnya adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
3.

Adenovirus
Respiratory syncytial virus
Enterrovirus
Coronavirus
Rhinovirus
Influenza A dan B

Klasifikasi
a. Klasifikasi secara Umum
Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1) Viral Croup (laringotrakeobronhotis)

Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi


saluran pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Usia 6 tahun. Stridor (+),
Batuk (sepanjang waktu), Demam (+) yang tinggi, durasi 2-7 hari, Keluarga
sejarah (+), kecenderungan oleh asma (-).
2) Spasmodic Croup
Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal,
anak tiba-tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan, biasanya pada
malam hari sebelum menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian
kembali normal.
b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Kegawatan
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat
keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori:
1) Ringan
Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang muncul,
Stridor yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau
tidak ada kegiatan dan teradapat retraksi dada ringan.
2) Moderat/Sedang
Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, Stridor lebih bisa
mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas, retraksi dinding dada
yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan yaitu gawat napas
(repiratory distress).
3) Berat
Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul, Inspirasi
stridor lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang istirahat, akan
tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang
disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga terdapat gangguan
pernapasan.
4) Gagal napas mengancam
Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif (kadang sangat jelas ketika
pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan kesadaran (letargi), dan
kelesuan.
4.

Patofisiologi
Infeksi virus menyebabkan radang dan edema laring serta trakea subglotis,
terutama daerah didekat kartilago krikoid. Secara histologi lokasi yang terinfeksi
menampilkan gambaran bengkak dengan infiltrasi sel yang terletak di lamina propria,
submukosa, dan adventisia. Infiltrasi tersebut mengandung limfosit, histiosit, sel
plasma, dan neutrofil. Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena

inokulasi langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi
besar terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di
laryngotrakeitis, laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia biasanya
dimulai dari nasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea setelah masa
inkubasi 2-8 hari.
Virus tersebut akan mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat penyerapan
natrium di epitel trakea sehingga akan terjadi edema saluran nafas. Pembengkakan
yang terjadi secara signifikan akan mengurangi diameter saluran nafas, sehingga
membatasi aliran udara. Hasil penyempitan inilah yang akan bermanifestasi sebagai
batuk mengonggong, stridor, dan retraksi dinding dada. Selain itu akan teradi
kerusakan endotel dan hilang fungsi silia sehingga terkumpul eksudat yang akan
menyumbat trakea. Timbulnya suara serak karena adanya edema pita suara. Difusi
peradangan yang menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran
pernapasan. Laring adalah bagian tersempit saluran pernafasan atas, yang
membuatnya sangat suspectible untuk terjadinya obstruksi.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm akan
menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan 75% pada
bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan mobilitas pita
suara. Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan gejala sesak napas.
Jalan napas karena turbulensi udara menyebabkan peradangan yang
menyebabkan penyempitan, stridor diikuti retraksi dinding dada dapat terjadi (selama
inspirasi). Di daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada histologis mengandung
infiltrat selular di lamina propria, submukosa dan adventisia. Infiltrat ini berisi
histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil. Pergerakan dinding dada dan juga dinding
abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia
dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi
henti napas.
5.

Tanda dan Gejala


Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi
yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala
obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan
batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu

3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai
dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada
pemeriksaan

toraks

dapat

ditemukan

retraksi

supraklavikular,

suprasternal,

interkostal, epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang
berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi
setelah 7-14 hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika
duduk di tempat tidur atau digendong.
Sistem Skoring Croup telah dikembangkan untuk membantu dokter dalam
menilai tingkat gangguan pernapasan. Salah satu croup keparahan skor penilaian yang
paling sering dikutip adalah skor Westley. Meskipun banyak digunakan untuk tujuan
penelitian dan evaluasi protokol pengobatan, keuntungan klinisnya belum diteliti
secara luas. Skor Westley mengevaluasi keparahan croup dengan menilai 5 faktor
berikut, dengan rentang skor 0 sampai 17:

Menurut skor Westley, skor kurang dari 3 merupakan penyakit croup ringan;
skor 3-6 merupakan penyakit croup sedang; dan skor lebih besar dari 6 merupakan
penyakit croup berat. Penyakit croup ringan terdiri dari sesekali batuk
menggonggong, tidak ada stridor saat istirahat, retraksi suprasternal dan atau
subkostal ringan atau tidak ada sama sekali. Penyakit croup ringan termasuk sering
batuk, stridor terdengar saat istirahat, dan retraksi terlihat, tetapi sedikit kesusahan
atau agitasi. Penyakit croup berat terdiri dari sering batuk, stridor menonjol saat
inspirasi dan kadang-kadang ekspirasi, retraksi mencolok, penurunan masuknya udara
pada saat auskultasi, dan kesusahan yang tampak sekali disertai agitasi. Adanya
kelesuan, sianosis, menurunnya frekuensi nafas merupakan tanda akan terjadinya
gagal nafas.

Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup


(spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup
Karakteristik
Usia
Gejala prodromal
Stridor
Batuk
Demam
Lama sakit
Riwayat keluarga
Predisposisi asma

6.

Viral Croup
6 bulan 6 tahun
Ada
Ada
Sepanjang waktu
Ada (tinggi)
2-7 hari
Tidak ada
Tidak ada

Spasmodic Croup
6 bulan 6 tahun
Tidak jelas
Ada
Terutama malam hari
Bisa ada, tidak tinggi
2-4 jam
Ada
Ada

Komplikasi
Sebagian besar anak-anak sembuh dari croup tanpa komplikasi. Jarang
penyakit croup memancing infeksi sekunder (infeksi bakteri) pada saluran nafas atas
atau pneumonia. Munculnya dehidrasi lebih disebabkan oleh asupan cairan yang tidak
memadai saat anak sakit. Anak-anak yang lahir prematur atau yang memiliki riwayat
penyakit paru-paru (seperti asma) atau penyakit neuromuskuler (seperti cerebral
palsy) lebih mungkin untuk berkembang menjadi gejala croup yang lebih berat dan
sering memerlukan rawat inap. Namun, croup disease jarang menyebabkan
komplikasi jangka panjang.
Komplikasi yang dapat timbul adalah perlunya pemasangan intubasi pada
sejumlah kecil pasien (<1%). Bacterial tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien
croup. Henti kardiopulmoner dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor dan tidak
diterapi secara adekuat. Pada keadaan hipoksia dan hiperkapnea dapat terjadi gagal
napas atau bahkan juga terjadi henti napas. Timbulnya pneumonia yang merupakan
komplikasi dari croup yang jarang terjadi (Alberta Medical Association, 2008).

7.

Tes Diagnostik
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak
perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis,
gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Bila ditemukan peningkatan leukosit
>20.000/mm3 yang didominasi PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi,
misalnya epiglotitis. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk
menegakkan diagnosis croup sindrom ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis
dan CT-Scan.
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara /
steeple sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang ireguler

pada trakea foto lateral, serta peumonia bilateral. Tanda menara terlihat pada
radiografi anteroposterior jaringan lunak leher. Konvektivitas lateral normal trakea
subglottic hilang, dan penyempitan lumen subglottic menghasilkan konfigurasi V
terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin inferior pita suara yang
benar. Penyempitan dari lumen subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom
udara trakea, yang menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja. Mukosa pada
tingkat ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh adanya edema
pada trakea, yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan hilangnya memikul
normal (Convexities lateral) dari kolom udara.
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi posterior-anterior ditemukan
gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan
kolumna subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada
50% kasus saja. Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan
berbagai diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah)
saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:
a. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compangcamping.
b. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
c. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.

8.

Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit

gawat darurat. Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua
tentang penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
1) Melembabkan Udara (Penguapan)
Pada abad ke-20 terapi dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan
dasar dari manajemen croup, tetapi sekarang ini efektivitasnya masih
dipertanyakan. Rumah sakit saat ini menggunakan peralatan penguapan untuk
tujuan ini. Cara yang sederhana termasuk memaparkan anak pada udara
malam yang basah, atau memaparkan anak pada uap air yang panas.
2) Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
b. Farmakoterapi
1) Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau
antipiretik pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini
karena membuat anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.

2) Antitusif dan Dekongestan


Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam
menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak
dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya,
dan karena itu tidak diberikan pada anak yang menderita croup.
3) Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak
dengan croup. Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus,
sehingga secara empiris terapi antibiotik tidak rasional. Lagipula, jika terjadi
super infeksi paling sering bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan
kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian antibiotik
untuk profilaksis juga tidak rasional.
4) Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup
berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat
mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam
waktu 2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan
prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi epinephrine dapat
dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam
setelah terapi.

Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang. Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan
dibeberapa unit perawatan intensif anak.
5) Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian
intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka
kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala
pada anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat (Alberta
Medical Association, 2008). Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan
per oral atau parenteral. Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis
yang umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24
jam. Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis
rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian metaanalisis dengan kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi,
memberikan respon klinis yang baik pada sebagian besar pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Dominic, A. dan Fitzgerald, Henry A.. (2003). Croup: Assesment and Evidence-Based
Management. Medical, Journal The Australia. MJA 2003; 179 (7) : 372-377
IDAI. (2008). Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Junqeira, L.C. & Jose, Carneiro. (2008). Basic Histology. California: Lange Medical
Publications.
Roosevelt, G. E. (2007). Inflamasi akut obstruksi jalan napas atas (batuk, epiglottitis,
laringitis, dan trakeitis bakteri). dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, BF
Stanton. Nelson Textbook of Pediatrics.18 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.
Sindroma Croup, Penyakit Respirologi, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III, Buku satu,
RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008. p 57-61
Van De Graaff, K.M. (2006). Concepts of Human Anatomy and Physiology. 5th-ed. USA: MC
Graw Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai