Anda di halaman 1dari 9

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI DILIHAT DARI TEORI

FIDUCIARY DUTY DAN PIERCING THE CORPORATE VEIL

A. Fiduciary Duty
Prinsip Fiduciary Duty berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya baik dalam
menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan.
Istilah Fiduciary Duty berasal dari 2 kat, yaitu fiduciary dan duty.

Tentang istilah duty banyak dipakai di mana-mana, yang berarti tugas, sedangkan untuk
istilah fiduciary berasal dari bahasa latin fiduciarus dengan akar kata fiducia yang
berarti kepercayaan (trust) atau dengan kata kerja fidere yang berarti mempercayai (to
trust). Sehingga dengan istilah fiduciary diartikan sebagai memegang sesuatu dalam
kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk
kepentingan orang lain tersebut disebut dengan istilah trustee sementara pihak yang
dipegang untuk kepentingannya tersebut disebut dengan istilah beneficiary.

Seseorang mempunyai tugas fiduciary (Fiduciary Duty) manakala dia mempunyai kapasitas
fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis
yang ditransaksikannya atau uang/property yang ditangani bukan miliknya atau bukan untuk
kepentingannya. Melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain tersebut,
dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya.
Sementara itu, dilain pihak dia wajib mempunyai itikad baik yang lebih tinggi (high degree
of good faith) dalam menjalankan tugasnya.

Istilah fiduciary ini dipergunakan baik untuk perjanjian trustee dalam arti technical trust
maupun untuk jabatan atau hubungan hukum dengan direksi dari suatu perusahaan (antara
direksi dengan perseroannya). Antara pihak yang mempuyai kapasitas fiduciary (fiduciary
capacity) dengan pihak yang diasuhnya atau yang harta bendanya diasuh, terdapat suatu
hubungan khusus yang disebut dengan hubungan fidusia (fiduciary relation).

Page 1 of 9
Yang dimaksud dengan fiduciary relation adalah suatu hubungan yang timbul dari hubungan
fiduciary secara teknikal maupun dari hubungan informal yang timbul manakala seorang
percaya (trust) atau bergantung (rely) kepada orang lain. dalam hal ini, seorang percaya
kepada orang lain dimana orang lain tersebut bertindak dengan itikad baik (good faith) dan
dengan penghormatan yang baik (due regard) dan fair kepada kepentingan orang lain
tersebut.

Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan, Fiduciary Duty adalah suatu tugas dari seseorang
yang disebut dengan trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee tersebut
dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary, dimana pihak beneficiary memiliki
kepercayaan yang tinggi kepada pihak trustee dan sebaliknya pihak trustee juga mempunyai
kewajiban yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dengan itikad
baik yang tinggi, fair dan penuh tanggung jawab, dalam menjalankan tugasnya dan untuk
kepentingan beneficiary.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat dilihat bahwa Fiduciary Duty didasarkan pada
kepercayaan, dimana pihak yang diberi kepercayaan tidak boleh berbuat dalam cara-cara
yang merugikan atau bertentangan dengan kepentingan pemberi kepercayaan. Sepanjang
sejarah penerapan teori Fiduciary Duty ini, muncul beberapa pedoman dasar bagi direksi
dalam menjalankan Fiduciary Duty terhadap perseroan yang dipimpinnya. Pedoman dasar
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fiduciary Duty merupakan unsure wajib (mandatory element) dalam hukum
perseroan.
2. Dalam menjalankan tugasnya, seorang direksi bukan hanya harus memenuhi unsure
itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsure tujuan yang layak (proper purpose).
3. Pada prinsipnya direksi dibebani prinsip Fiduciary Duty terhadap perseroan, bukan
terhadap pemegang saham. Karena itu hanya perusahaanlah yang dapat memaksakan
direksi untuk memaksakan direksi untuk melaksanakan tugas fiduciary tersebut.
4. Akan tetapi, dalam menjalankan fungsinya sebagai direksi, secara umum direksi juga
harus memperhatikan kepentingan stakeholders, seperti pihak pemegang saham dan
buruh perseroan.

Page 2 of 9
5. Sungguhpun menyandang tugas sebagai direksi, direksi tetap bebas dalam
memberikan suara dan pendapat sesuai dengan keyakinan dan kepentingannya dalam
setiap rapat yang dihadirinya.
6. Direksi tetap bebas dalam mengambil keputusan sesuai pertimbangan bisnis dan
sense of business yang dimilikinya. Bahkan pihak pengadilan tidak boleh ikut
campur mempertimbangkan sense of business dari direksi.
7. Dalam hal-hal dimana terdapat conflict of interest, seorang direksi dilarang atau
setidak-tidaknya diawasi dan dibatasi dalam menjalankan tugasnya memberlakukan
prinsip keterbukaan informasi (disclousure) terhadap setiap transaksi yang ada
conflict of interest.

Prinsip Fiduciary Duty ini terdapat pada Pasal 97 UU PT, yang menyatakan: ayat (1):
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
92 ayat (1). Ayat (2): Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Ayat (3): setiap
anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ayat (5): anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat
membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;


b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian dan;
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.

Berdasarkan pada Pasal 97 UU PT tersebut, secara tegas menyaratkan bahwa direksi dapat
dimintai pertanggungjawaban atas kerugian dan kepailitan suatu Perseroan Terbatas apabila
direksi telah terbukti melakukan kesalahan dalam pengurusan perseroan. Namun apabila
direksi dengan itikad baik mengurus perseroan terbatas dan terdapat kerugian dan telah

Page 3 of 9
dipailitkan maka direksi tidak bertanggungjawab atas segala kerugian dan utang-utang yang
timbul atas kepailitan perseroan berdasarkan prinsip Fiduciary Duty dan prinsip debt
forgiveness.

Debt forgiveness adalah pranata hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk
meringankan beban yang harus ditanggung oleh Debitor karena sebagai akibat kesulitan
keungan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sesuai
dengan kesepakatan semula dan bahkan sampai pada pengampunan (discharge) atas utang-
utangnya sehingga utang-utangnya tersebut menjadi hapus sama sekali.

Ada tiga macam tanggung jawab hukum dalam arti accountability, responsibility dan
liability. Tnaggung jawab dalam arti accountability adalah tanggung jawab hukum dalam
kaitan dengan keuangan, misalnya akuntan harus bertanggung jawab atas hasil pembukuan,
sedangkan responsibility adalah tanggung jawab dalam arti yang harus memikul beban.
Tanggung jawab dalam arti liability adalah kewajiban menanggung atas kereugian yang
diderita. Pemberlakukan prinsip Fiduciary Duty akan banyak bersentuhan dengan prinsip
pranata-pranata hukum lain, sehingga berbagai pranata hukum tersebut akan berlaku secara
bersamaan.

Di samping itu fungsi direksi sebenarnya unik, dalam arti bahwa hubungan hukum antara
direksi dengan perseroannya dapat dilihat dari berbagai segi dalam struktur teori hukum.
Misalnya dari segi aturan hukum yang mengatur tanggung jawab direksi terhadap pailitnya
suatu perseroan terbatas atas utang pajak yang masih belum terbayarkan sesuai UU KUP dan
PMK No. 68 tahun 2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Penghapusan.

B. Piercing The Corporate Veil


Pengesahan status badan hukum memberikan legitimasi kepada suatu perseroan untuk
menyandang status badan hukum mandiri. Segala perbuatan hukum yang dilakukan dalam
rangka kerja sama perseroan itu dipandang semata mata sebagai perbuatan badan hukum itu
sendiri. Perseroan adalah badan hukum mandiri yang terpisah dari pemegang saham,
karyawan maupun direksi, sehingga perseroan harus bertanggung jawab atas perbuatan
hukum perseroan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perseroan bahwa

Page 4 of 9
perseroan merupakan badan hukum yang terpisah dari pemegang saham dan direksi,
sehingga pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum
perseroan.

Pemegang saham dapat berkomitmen untuk melakukan penyertaan modal dengan jumlah
terbatas pada suatu korporasi dengan jaminan bahwa mereka tidak bertanggung jawab secara
personal atas utang-utang perseroan. Prinsip ini menjadi dasar dari perseroan sebagai badan
hukum buatan atau artificial legal person yang terpisah dari pemegang saham. Lebih lanjut,
prinsip hukum ini didasarkan pada kebijakan ekonomi untuk mendorong investasi dari para
pemegang saham individual dengan resiko yang tidak terlalu besar. Sementara itu, induk
perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan juga memperoleh perlindungan atas
berlakunya limited liability. Prinsip hukum limited liability ini membatasi tanggung jawab
induk perusahaan hanya sebesar nilai sahamnya.

Pengakuan yuridis terhadap perseroan sebagai sunjek hukum mandiri dan pemegang saham
memiliki limited liability merupakan prinsip hukum yang menjadi fondasi hukum perseroan.
Kedua prinsip hukum ini berlaku di Negara common law maupun civil law. Peraturan
perundang-undangan pada kedua sistem hukum di atas telah mengatur prinsip hukum
perseroan sebagai legal person dan pemegang saham memiliki limited liability.

Namun prinsip hukum perseoran sebagai legal person dan pemegang saham memiliki
limited liability tidaklah berlaku mutlak. Pada kondisi tertentu pemegang saham masih
dimungkinkan untuk bertanggung jawab atas perbuatan hukum perseroan. Begitu pula
tanggung jawab hukum pemegang saham juga tidaklah benar-benar terbatas.

Suatu perseroan dipandang sebagai badan hukum sampai terdapat cukup alasan yang
bertentangan ketika konsepsi badan hukum digunakan untuk mengalahkan kepentingan
public, membenarkan yang salah, melindungi perbuatan yang salah atau membela kejahatan,
sehingga hukum akan menganggap korporasi atau perseroan sebagai asosiasi orang. Dalam
praktik hukum ini, kasus Salomon v. A. Salomon & Co, L.R. di inggris pada tahun 1897

Page 5 of 9
menggambarkan putusan pengadilan yang mengakui hapusnya status badan hukum suatu
perseroan.

Untuk tujuan transaksi bisnis sehari-hari, prinsip hukum ini berlaku ssampai muncul alasan
yang memadai sehingga status badan hukum akan diabaikan dan hukum akan mencari pihak
yang bertanggung jawab di belakang perbuatan dari badan hukum ini setiap kali diguakan
untuk menipu kreditur, menghindari kewajiban, melanggar ketentuan perundang-undangan
atau melindungi kecurangan dan kejahatan. Tabir fiksi korporasi atau badan hukum buatan
ini ditembus sehingga pemegang saham perorangan turut menanggung tanggung jawab
hukum misalnya pengadilan menentukan bahwa utang kepada kreditur bukanlah benar-benar
utang korporasi, tetapi dipandang sebagai utang pemegang saham individu.

Pengabaian terhadap kemandirian yuridis terhadap badan hukum mandiri dan/atau tanggung
jawab terbatas pemegang saham terbatas pemegang saham dikenal dengan piercing of the
corporate veil. Piercing of the corporate veil mengacu kepada pemegang saham perseroan
turut bertanggung jawab atas utang perseroan sebagai wujud pengecualian atas berlakunya
prinsip hukum perseroan sebagai badan hukum mandiri dan/atau limited liability. Doktrin
piercing of the corporate veil mengacu kepada pengecualian dari prinsip hukum yang
mengabaikan pemisahan antara pemegang saham dan perseroan terhadap tanggung jawab
pemegang saham atas perbuatan hukum perseroan, sehingga pemegang saham harus
bertanggung jawab atas perbuatan hukum perseroan yang seolah-olah dilakukan oleh
pemegang saham sendiri.

Tuntutan piercing of the corporate veil ini menjadi litigasi yang paling banyak dalam hukum
perseroan. Namun hingga saat ini Piercing The Corporate Veil masih menyisakan
perdebatan terkait konsistensi putusan pengadilan pada berbagai kasus Piercing The
Corporate Veil. Di Negara-negara common law, Piercing The Corporate Veil tidaklah diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan, sebagaimana pengaturan limited liability.
Piercing The Corporate Veil hanyalah norma ciptaan hakim yang berkat keberlakuan stare
decisis mengikat hakim-hakim selanjutnya dan dengan sendirinya terlestarikan, sehingga
Piercing The Corporate Veil diperlakukan sebagai doktrin

Page 6 of 9
Berbeda dengan Negara-negara common law tersebut, Indonesia telah mengadaptasikan
Piercing The Corporate Veil menjadi prinsip hukum yang diatur dalam UU Perseroan
Terbatas. Doktrin Piercing The Corporate Veil telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas
Tahun 1995 yang kemudian dipertahankan dalam UU Perseroan Terbatas Tahun 2007, yang
menggantikan UU Perseroan Terbatas Tahun 1995.

Saat ini, Piercing The Corporate Veil seolah olah menjadi terminology yang generic untuk
menjawab realitas hukum yang bermacam-macam. Namun terminology ini tidak dimaknai
secara seragam di berbagai wilayah yuridiksi. Bahkan penerapan doktrin ini pada suatu
Negara menampilkan realitas yang berbeda. Permasalahan yang muncul dari penerapan
doktrin ini adalah menggambarkan lingkup dari fenomena membuka tabir perseroan, apakah
mengacu atas pengecualian terhadap aturan perseroan sebagai legal person dan atau limited
liability.

Penerapan Piercing The Corporate Veil memerlukan syarat pembuktian yang menghapuskan
tanggung jawab terbatas pemegang saham perseroan. Piercing The Corporate Veil muncul
sebagai respon terhadap prinsip hukum bahwa pemegang saham (investor) tidak
bertanggung jawab atas utang perseroan di luar jumlah investasinya. Piercing The Corporate
Veil merupakan pengecualian atas hapusnya limited liability pemegang saham perseroan.

Doktrin Piercing The Corporate Veil merupakan salah satu cara untuk mengurangi insentif
dari berlakunya prinsip hukum limited liability terhadap perseroan yang terlibat dalam
kegiatan bisnis yang terlalu berisiko. Easterbrook dan Fischel mengajukan argumentasi
bahwa semakin rendah kapitalisasi suatu persuhaan, semakin tinggi kemungkinan
perusahaan yang bersangkutan akan terlibat dalam kegiatan bisnis yang jauh berisiko. Selain
itu, beberapa kasus piercing disebabkan oleh undercapitalization. Untuk itu, legislative
mensyaratkan kecukupan modal minimum sebagai cara untuk menginternalisasikan biaya
dari risiko yang diambil oleh suatu perseroan.

Page 7 of 9
Rasionalisasi undercapitalization, berarti sebagai penyebab lahirnya tuntutan Piercing The
Corporate Veil, semakin rendah kecukupan modal suatu perseroan, semakin tinggi pula
kemungkinan perseroan tersebut terlibat dalam kegiatan bisnis yang lebih berisiko.
Legislative memberlakukan persyaratan minimum kecukupan modal sebagai salah satu cara
untuk menginternalisasikan biaya pengambilan resiko. Namun regulasi semacam ini sering
kali menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti persyaratan kecukupan modal ini akan
menciptakan barrier to entry bagi perusahaan perusahaan baru yang akan memasuki pasar.
Untuk itu agar persyaratan kecukupan modal ini menjadi efektif, perusahaan harus
memasukkan jaminan yang setara dengan kewajiban yang akan muncul atau menahan dana
yang cukup dalam kas perusahaan dan berinvestasi dalam asset bebas resiko.

Sedangkan untuk penerapan piercing the corporate veil dalam praktik peradilan untuk kasus
seperti perusahaan grup di Indonesia ditunjukkan oleh beberapa kasus berikut salah satunya
adalah sengketa dalam Kasus PT Bank Perkembangan Asia melawan PT Djaja Tungal cs,
yang bermula dari pemberian pinjaman kredit oleh PT Bank Perkembangan Asia kepada PT
Djaja Tunggal. Perjanjian kredit diberikan dengan jaminan tanah hak guna bangunan Nomor
39 dan 40, serta bangunan pabrik atas nama PT Djaja Tunggal. Pada saat semua pinjaman
kredit tersebut jatuh tempo, PT. Djaja Tunggal tidak dapat membayar. Perusahaan ini
berhenti beroperasi karena menderita rugi 75 persen dan menyatakan diri tidak mampu
membayar utangnya kepada penggugat dalam keadaan insolvensi.

Gugatan perdata Bank Pengembangan Asia ditujukan kepaada para tergugat yang terdiri dari
PT Djaya Tunggal (tergugat I), Tan Sri Junaida (tergugat II), Koesnaen (Tergugat III), Lee
Darmawan (Tergugat IV), Hery Kianto (tergugat V), Jahya (tergugat VI), Samadi mantan
notaries PPAT (Tergugat VII), Walikota Bogor/Kepala Kantor Agraria (Tergugat VIII).

Dalam eksepsinya para tergugat menyatakan bahwa utang tersebut adalah utang PT Djaja
Tunggal, sebatas harta kekayaan perusahaan tersebut. oleh karena itu Tergugat II dan sampai
V secara pribadi tidak harus dimitai tanggung jawab terhadap utang PT Djaja Tunggal.
Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Bogor menyatakan bahwa PT. Djaja Tunggal telah

Page 8 of 9
ingkar janji atau wanprestasi dan menghukum PT. Djaja Tunggal untuk mengembalikan
seluruh pinjamannya berikut bunga sebesar Rp. 5.502.293.038,83.

Namun, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Majelis
Hakim MA berpandangan bahwa tanggung jawab hukum suatu perseroan dapat dibebankan
pada para pengurus apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama
perseroan mengandung itikad buruk, sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
keterkaitan dalam perusahaan grup yang sama ditujukkan oleh rangkap jabatan direktur dan
komisaris PT. Perkembangan Asia sebagai kreditur dan PT. Djaja Tunggal sebagai debitur.
Bukti adanya keterkaitan dalam perusahaan grup yang sama antara PT Perkembangan Asia
dan PT Djaja Tunggal juga ditunjukkan oleh Putusan MARI Nomor 693K/Pdt/2009. PT
Bank Perkembangan Asia telah memberikan kredit kepada perusahaan grup terdakwa antara
lain PT Madona, PT Djaja Tunggal dan PD Guna Motor, tanpa mengindahkan ketentuan
Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok pokok perbankan dan atau
kepatutan yang lazim dalam dunia perbankkan dan atau dengan cara yang tidak sesuai
dengan praktik perbankan yang sehat, yaitu tanpa adanya aplikasi kredit dan atau tanpa
analisis kredit atau tanpa jaminan kredit atau jaminan kredit tidak sesuai secara hukum
sebagaimana mestinya yang mengakibatkan kredit macet.

Rangkap jabatan ini menyebabkan kreditur meminjamkan uang kepada debitur tanpa disertai
analisis kredit. Selanjutnya para tergugat dalam kasus ini sudah mengetahui jika Hak Guna
Bangunan dari Agunan Kredit sudah habis masa berlakunya dan sudah menjadi tanah
Negara tetapi secara diam diam, Presiden Komisaris PT Djaya Tunggal telah melakukan
pengalihan hak kepemilikan dua bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit tersebut kepada
pihak ketiga. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal
12 Februari 1990 dan memutuskan PT Djaya Tunggal (Tergugat I), Tan Sri Junaida
(tergugat II), Koesnaen (Tergugat III), Lee Darmawan (Tergugat IV), Hery Kianto (tergugat
V), berutang kepada Penggugat sebesar Rp. 5.502.293.038,83. Serta menghukum PT. Djaya
Tunggal (Tergugat I), Tan Sri Junaida (tergugat II), Koesnaen (Tergugat III), Lee Darmawan
(Tergugat IV), Hery Kianto (tergugat V) untuk membayar utang tersebut secara tanggung
renteng.

Page 9 of 9

Anda mungkin juga menyukai