Anda di halaman 1dari 21

Manajemen Anestesi Pada Fistula Trakheoesofageal

I. Pendahuluan

Fistula trakheoesofageal (FTE) bermanifestasi pada neonates dalam beberapa


jam hingga beberapa kehidupan. Dinaggap merupakan anomali yang dapat diperbaiki
dengan pembedahan pada system gastrointestinal dan respirasi. FTE dan
pertimbangan perioperatif anestesi merupakan hal yang sangat penting untuk ahli
anestesi. Sebelum kesuksesan pertama dari pembedahan FTE pada tahun 1939,
atresia esophagus (AE) dan yang berhubungan dengan FTE selalu gagal. Kemajuan
pada teknik dan monitoring anestesi pediatric, pembedahan pada neonatologi, dan
pediatric menurunkan angka mortalitas dan angka kelangsungan hidup meningkat
hingga 90%. Prematuritas dan abnormalitas berat yang berhubungan dengan kelainan
kongenital menjadi kontributor yang terbesar kematian pada pasien dengan FTE.(1,2)

Pada tahun 1941 Haight sukses melakukan operasi repair primer FTE dan
diikuti oleh keberhasilan operator lain, yang meningkatkan survive pada dua dan tiga
kasus operasi sampai akhir tahun 1960. Perjalanan dari 100% mortalitas saat kelainan
ini pertama kali ditemukan sampai sekarang menjadi 90% kasus survive merupakan
suatu hal yang mengagumkan. Bahkan saat ini di Amerika Serikat, hamper 100%
bayi dengan kelaianan esophagus, yang tidak berhubungan dengan malformasi yang
fatal seperti kelainan jantung, bisa diharapkan survive dan hidup mendekati normal.(3)

Beberapa system klasifikasi dari AE dan FTE telah dikembangkan


berdasarkan adanya atresia dan lokasi hubungan fistula dengan atresia. System
klasifikasi Gross menjelaskan AE dengan dan tanpa TFE, jenis A hingga F3. System
klasifikasi lain dikenal dengan membagi lima jenis FTE termasuk jenis I,II,IIIA,IIIB,
dan IIIC. Terlepas dari jenis system klasifikasi, bentuk paling umum dari anomaly ini
adalah AE dengan FTE distal.(1,4)
Dengan semakin banyaknya kasus dan penelitian yang dilakukan, atresia
esophagus dapat memiliki keluaran yang lebih baik, terutama jika dapat didiagnosis
dan ditatalaksana secara dini dan adekuat. Bayi dengan atresia esophagus tidak dapat
bertahan tanpa terapi pembedahan untuk menyambung esophagus. Hasil operasi
biasanya cukup baik, apabila prosedurnya dilakukan secepat mungkin kecuali apabila
terdapat prematuritas, adanya defek lahir atau komplikasi dari pneumonia aspirasi
yang memerlukan sedikit penundaan.(5)

II. Epidemiologi

Fistula trakheoesofageal terjadi pada sekitar 1 dari 3000-4500 kelahiran dan


tetap menjadi salah satu tantangan utama dalam operasi neonatal. Dengan koreksi
pembedahan, tingkat kelangsungan hidup melebihi 90% bahkan dengan berat badan
lahir yang rendah.Mortalitas yang signifikan kini terbatas pada bayi dengan kelainan
congenital yang berat atau abnormalitas kromosom. Penyakit jantung bawaan
merupakan komorbid yang paling umum dan menjadi penentu utama dalam
kelangsungan hidup.(1,2,6)

Neonatus dengan FTE dan anomaly AE sering dikaitkan dengan singkatan


VACTERL. Anomali ini dan insidennya berhubungan dengan kelainan vertebra 17%,
Anal 12%, Cardiac 20%, Tracheoesophageal fistula dan esophageal atresia, Renal
16%, Limb 10% dan defek midline lainnya (bibir sumbing dan palatum
2%,disgenesis sacral 2%, abnormalitas urogenital 5%.(1,2,4,6)
Tabel 1. Kelaianan congenital yang berhubungan dengan FTE

Tipe Insiden Contoh


Vertebral 17% Scoliosis, vertebral defects
Anal 12% Imperforate anus malrotation, ateresia duodenal
Cardiac 20% ASD,VSD, PDA, TOF
Renal 16% Renal agenesis/dysplasia, hypospadia
Limb 10% Polydactyly, lower-limb defects
Dikutip dari: Gayle JA, Gomez SL, Baluch A, et al. Anesthetic considerations for the neonate with
tracheoesophageal fistula.

III. Etiologi

Etiologi FTE sampai saat ini masih belum jelas dan pengaruh genetik pun
masih menjadi pertanyaan. Pada awal kehamilan, trakhea dan esophagus masih
merupakan satu saluran yang disebut foregut. Pada usia kehamila antara 23-28 hari,
saluran ini terbagi menjadi dua yaitu trakhea dan esophagus. Kegagalan pemisahan
foregut menjadi dua saluran yang terpisah ini menyebabkan kelainan yang dikenal
sebagai atresia esophagus. Kelainan ini sudah dapat dideteksi pada usia kehamilan 5
minggu menggunakan ultrasonografi. Penyebab kegagalan pemisahan saluran ini
diperkirakan karena:

1. Defek pada foregut primitive


2. Gangguan perkembangan entodermal
3. Penyatuan inkomplit pada dinding samping foregut selama pemisahan trakhea
dan esophagus(2,6)
IV. Klasifikasi

FTE diklasifikasikan berdasarkan anatomi menurut Gross menjadi 6 tipe,


yaitu:

1. Tipe A, atresia esophagus tanpa fistel


2. Tipe B, atresia esophagus dengan fistel trakheoesofageal proksimal
3. Tipe C, atresia esophagus dengan fistel di distal
4. Tipe D, atresia esophagus dengan dobel fistel, proksimal dan distal
trakheoesofageal
5. Tipe H, fistel trakheoesfageal tanpa atresia
6. Stenosis esofagus

Tabel 2. Klasifikasi Tipe Gross

No Tipe % Insiden Tipe Gross


1 Atresia esophagus tanpa FTE 7,8 Tipe A
2 Atresia esophagus dengan FTE proksimal 0,8 Tipe B
3 Atresia esophagus dengan FTE distal 85,6 Tipe C
Atresia esophagus dengan fistula ganda, proksimal dan
4 1,4 Tipe D
distal terhadap FTE
5 Fistula tipe H, FTE tanpa atresia 4,2 Tipe E
6 Stenosis esofagus Tipe F
Dikutip dari : Gayle JA, Gomez SL, Baluch A, et al. Anesthetic considerations for the neonate with
tracheoesophageal fistula.

Klasifikasi Gross dari AE dan FTE menjelaskan 6 jenis kelainan. Tipe A


merupakan atresia esophagus tanpa fistula. Tipe B menggambarkan atresia esophagus
dengan fistula proksimal. Atresia esophagus dengan fistula distal diklasifikasikan
sebagai tipe C dan tipe ini yang paling umum terjadi sekitar 80% sampai 90% kasus.
Tipe D mewakili AE di proksimal dan fistula di distal. FTE tanpa atresia
diklasifikasikan sebagai tipe E. Jenis F mewakili stenosis esophagus.
Gambar 1.Lima tipe FTE

Dikutip dari:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ:Clinical Anesthesiology, 5 th Edition

Lima jenis FTE telah dijelaskan berdasarkan karakteristik anatomi dari


esophagus dan trakhea. Tipe I merupakan atresia esophagus tanpa fistul. Pada tipe II,
tidak ada atresia dan ada hubungan antara trakea dan esophagus (fistula tipe H). tipe
IIIA memiliki atresia esophagus dan hubungan antara bagian atas esophagus dengan
trakea. Dalam tipe IIIB (tipe C dalam klasifikasi Gross), atresia esophagus terjadi
pada kantong bagian atas dan hubungan dengan trakea terjadi padacsegmen bawah.
Ini merupakan bentuk paling umum dari FTE. Jenis IIIC memiliki atresia baik pada
atas maupun segmen yang lebih rendah yang berhubungan dengan trakea.

V. Gejala dan tanda


5.1. Antenatal

Atresia esophagus dapat dicurigai dengan pemeriksaan ultrasonografi pada:

Kehamilan dengan polihidramnion (peningkatan volume cairan amnion), sebesar


40% kejadian hidramnion berhubungan dengan dugaan adanya atresia
esophagus.
Tidak terdapatnya cairan di dalam lambung. Hal ini kadang tidak teridentifikasi
pada pemeriksaan USG tunggal.
5.2.Postnatal
Jika kateter digunakan saat untuk persalinan untuk membersihkan jalan napas,
tidak dapat dimasukkan sampai lambung.
Bayi akan mengalami kesulitan menelan saliva dan terjadi sekresi yang banyak
hingga memerlukan penyedotan (suctioning). Terjadi perbaikan setelah
penyedotan tetapi keluhan dengan cepat berulang.
Tidak terjadi muntah
Tersedak, sianosis dan batuk saat diberi susu. Apabila terjadi aspirasi, neonates
dapat mengalami sianosis, takipnu dan hipoksia. Jika fistula menghubungkan
esophagus proksimal dengan trakhea, dengan muntah segera dapat terjadi
aspirasi massif.
Perut yang penuh dan distensi. Jika fistula menghubungkan trakhea dengan
esophagus distal, udara masuk abdomen, sehingga bunyi timpani bergerak sesuai
pernapasan.

Sayangnya diagnosis tidak ditegakkan sampai timul gejala aspirasi. Atresia


tanpa fistula menghasilkan gambaran udara tidak tampak di abdomen. Untuk fistula
tanpa atresia (tipe H), sering timbul pneumonia aspirasi rekuren dan diagnosis
terlambat bahkan sampai bulanan. Aspirasi sekresi faring hamper biasa timbul pada
pasien dengan atresia esophagus, tetapi aspirasi isi lambung dengan fistula distal
menimbulkan pneumonitis kimiawi yang mengancam jiwa.

Lebih dari 50% bayi dengan atresia esophagus menderita anomaly lainnya.
Kelaianan-kelainan tersebut bisa berupa :

1. Trisomi 13,18, atau 21


2. Gangguan pencernaan lainnya, seperti: hernia diafragmatika, atresia duodenum,
atau anus imperforate
3. Gangguan jantung, seperti: defek septum ventrikel (VSD), tetralogi fallot (TOF),
atau patent ductus arteriosus (PDA)
4. Ganguan otot dan skeletal
5. VATER sindrom, yang merupakan singkatan dari: vertebral dan vascular, ana,
tracheal, esophageal, renal. Sindrom ini merupakan yang paling sering muncul
pada atresia esophagus. VATER saat ini berkembang menjadi VACTERL yaitu:
vertebral, anal, cardiac,tracheal, esophageal, renal dan limb.
6. Abnormalitas esophagus dapat pula terjadi pada CHARGE (colobomata, heart
disease, choanal atresia, mental retardation, genital hypoplasia, dan ear
anomalies with deafness).
VI. Diagnosis

Secara ideal diagnosis ditegakkan saat di kamar bersalin atau di ruang operasi.
Pemasangan pipa nasogastrik (NGT), biasanya nomor 10-12F, tidak akan melewati
10-13 cm dari nares, atau 10-11 cm dari upper gum line, dapat diduga terdapatnya
atresia. Dari X-ray thoraks, ditemukan gambaran lingkaran kateter di bagian atas
lumen esophagus, dengan esophagus distensi dengan udara, terletak di atas carina
setinggi T4.

Ditemukannya udara di abdomen menunjukaan fistula antara trakhea dan


esophagus distal, sementara gassless abdomen menunjukkan atresia murni. Video
esophagus saat pengisian esophagus dengan media kontras yang larut dalam air
biasanya efektif. Muara dari fistula trakeha dapat dideteksi dengan menggunakan
bronkoskopi. Rontgen abdomen untuk melihat udara dalam gaster yang melewati
fistula.
Gambar 2. Gambaran rontgen thorax pasien FTE

Dikutip dari: Gayle JA, Gomez SL, Baluch A, et al. Anesthetic considerations for the neonate with
tracheoesophageal fistula.

USG memiiki keterbatasan dalam diagnosis AE dan FTE. Kecurigaan USG


prenatal pada AE biasanya didasarkan pada adanya polihidramnion dan tidak
terlihatnya atau pengurangan isi perut janin. Ketika diagnosis didasarkan pada dua
tanda-tanda ini, hasilnya tidak bisa dipredikasi sebelum lahir. Namun diagnosis USG
prenatal memungkinkan orangtua harus siap untuk kelahiran dan pengobatan pada
anak mereka (termasuk dirujuk ke pusat neonatal), dan manajemen neonatal dan
identifikasi anomaly yang mungkin terjadi.

VII.Penatalaksanaan

Tatalaksna tergantung dari tipe abnormalitas, apakah dapat langsung


dilakukan repair primer atau dilakukan tindakan bertahap dengan melakukan
gastrostomi terlebih dahulu. Pada atresia esophagus dengan FTE distal perlu tindakan
awal untuk menghindari aspirasi pulmonum yang lebih lanjut dengan tindakan
gastrostomi. Terdapat beberapa kriteria yang memenuhi syarat untuk tindakan repair
primer, antara lain adalah:
1. Paru-paru bersih pada auskultasi
2. Paru-paru normal pada rontgen dada
3. Tidak ditemukan abnormalitas jantung
4. PaO2 arterial lebih dari 60 mmHg pada udara kamar

Atresia tanpas fistel juga lebih baik dilakukan gastrostomi dahulu, dengan
tindakan bronkoskopi. Pada FTE kemungkinan aspirasi pulmonum telah ada sejak
awal, sehingga tindakan gastrostomi juga yang pertama diambil, sambil memperbaiki
pneumonia dengan terapi antibiotic dan perbaikan nutrisi.

Diagnosis dini dan pengobatan yang agresif pada anomaly yang ada
khususnya malformasi jantung, dapat menurunkan secara signifikan angka kematian.
Klasifikasi Waterson memungkinkan untuk evaluasi resiko untuk memprediksi hasil
dan menentukan waktu pembedahan. Tiga factor utama yang berkontribusi untuk
evaluasi ini termasuk berat badan lahir, adanya kelainan congenital lain dan
pneumonia. Berat badan lahir kurang dari 1500 gram dan adanya penyakit jantung
bawaan merupakan predictor yang signifikan dari peningkatan morbiditas dan
mortalitas.

Neonates pada kategori A memiliki berat lahir yang lebih besar dari 2500
gram dan dapat menjalani pembedahan secara cepat. Neonates dalam kategori B
memiliki berat lahir dari 1800-2500 gram atau dengan pneumonia dan kelainan
congenital memerlukan penundaan untuk koreksi pembedahan. Neonates dalam
kategori C yang memiliki berat badan lahir kurang dari 1800 gram atau pneumonia
berat dan kelainan congenital. Pasien-pasien ini memerlukan perbaikan secara
bertahap.(table 2).
Tabel 3. Klasifikasi Waterson

Kriteria Angka keberhasilan


Grup A Berat lahir lebih dari 2500 gram dan normal 95 %
Berat lahir kurang dari 1500 gram atau terdapat
Grup B 59 %
kelainan jantung mayor
Berat lahir kurang dari 1800 gram, atau berat
Grup C lahir lebih dari 1800 gram dengan pneumonia 6%
berat atau anomaly kongenital berat
Dikutip dari:Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology 5 th ed

Kecuali pada neonates dengan kondisi klinis yang berat, perlu memerlukan
terapi awal untuk perbaikan klinis sebelum pembedahan. Adanya neonates dengan
berat badan lahir kurang dari 1500 gram dan kelainan congenital jantung menrunkan
angka bertahan hidup FTE dari 97% menjadi 22%.

VIII.Manajemen Anestesi

Neonates yang datang untuk koreksi AE dan FTE merupakan tantangan besar
untuk ahli anestesi. Beberapa penyulit ditemui selama manajemen anestesi termasuk
ventilasi tidak efektif karena letak ETT berada di fistula, dilatasi lambung, adanya
komplikasi paru-paru yang berat karena aspirasi isi lambung sebelumnya dan atau
sindrom gangguan pernapasan karena prematuritas, dan kelainan congenital lainnya,
terutama jantung.

Manajemen anestesi dan pembedahan berfokus pada ventilasi paru-paru tanpa


ventilasi pada fistula. Teknik ini meliputi intubasi trakea secara sadar dan
menghindari penggunaan relaksan otot dan tekanan positif yang berlebihan hingga
fistula sudah diligasi. Perhatian utama pada saat penempatan ETT secara benar, dan
gastrostomi, baik dengan anestesi local atau segera setelah induksi yang digunakan
untuk dekompresi lambung dan mencegah distensi lambung.
8.1. Perioperatif

Masalah preoperative yang paling berbahaya adalah pneumonitis karena


aspirasi yang dapat mempengaruhi terapi selanjutnya bahkan prognosisnya. Oleh
karenanya manajemen yang sesegera mungkin perlu dilakukan untuk menghindari
aspirasi lebih lanjut dan memberi terapi pneumonitis.

Persiapan pre operatif dari neonates yang akan menjalani koreksi pembedahan
AE dan FTE meliputi stabilisasi pasien sebelum operasi. Cairan intravena pre operasi
harus diberikan untuk menghindari dehidrasi dan hipoglikemia. Cairan isotonic
(normal salin) harus digunakan untuk memperbaiki hipovolemia diikuti oleh cairan
pemeliharaan yang mengandung glukosa (dekstrosa 5% dalam normal salin )
dengan kebutuhan 4ml/kgBB/jam. Gangguan keseimbangan asam basa harus
dikoreksi dan gangguan pernapasan harus diterapi secara tepat. Antibiotic profilaksis
diberikan untuk mengurangi resiko infeksi pernapasan perioperatif. Pemantauan
standard pemasangan arterial line harus dilakukan.

Pada pasien yang akan ditatalaksana secara operatif, preoperative perlu


diperhatikan hal-hal berikut:

1. Hindari pemberian makan


Setelah diagnose ditegakkan, sambil menunggu terapi definitive, bayi harus
diberi masukan melalui jalur intravena. Yang biasa diberikan adalah dextrose
10% dan cairan salin hipotonik sebagai rumatan kebutuhan cairan, elektrolit dan
balans glukosa.
2. Penghisapan kontinyu dengan tube lumen multiple (replogle)
Mukus dan saliva perlu dihisap secara kontinyu. Kateter yang dapat digunakan
adalah kateter Replogle lumen ganda, karena kateter ini dapat mengurangi
kemungkinan penghisapan oksigen pada jalan napas.
3. Posisi kepala lebih tinggi
Beberapa pendapat menyebutkan posisi upright sitting, ada pula yang
menyebutkan posisi prone dengan tujuan yang sama untuk meminimalisasi
refluks.
4. Atasi pneumonia
Perlu pemberian antibiotic spectrum luas disertai fisioterapi paru. Jika terdapat
pneumonia, berikan terapi, tunda operasi sampai pneumonitis mengalami
perbaikan atau sembuh. Saturasi oksigen menjadi indikasi awal terjadi
perburukan, sehingga perlu pemasangan saturasi oksigen.

Pemasangan pipa endotrakheal (ETT) tidak perlu dilakukan segera apabila


tatalaksana di atas sudah cukup mempertahanakan jalan napas. Hal ini karena ETT
dapat memperberat depresi pernapasan, juga meningkatkan resiko perforasi gaster
karena kelainan dengan fistel trakheoesofageus mengakibatkan abdomen makin
distensi karena ventilasi yang diberikan.

Pemeriksaan rutin secara sistematis terhadap system organ sebelum operasi


meliputi:

a.Respirasi

Penghisapan kontinyu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan aspirasi, yang


dapat menyebabkan sindorm distress pernapasan. Pemeriksaan yang diperlukan
berupa rontgen thoraks dan analisa gas darah.

b.Kardiovaskuler

Kelainan atresia esophagus dapat disertai oleh anomaly jantung seperti: VSD, PDA,
TOF, ASD atau koartasio aorta, hingga right to left shunt. Oleh karenanya neonates
perlu menjalani pemeriksaan EKG, ekokardiografi, kateterisasi bila perlu sesuai
konsul kardiologi anak.
c.Gastrointestinal

Dapat berhubungan dengan anomali gastrointestinal, misalnya: VACTERL, stenosis


pilorik, atresia duodenum.

d.Hematologi

Pemeriksaan yang perlu dikerjakan adalah darah rutin, evaluasi fungsi ginjal,kadar
gula darah, profil elektrolit dan analisa gas darah

8.2. Intraoperatif

a. Premedikasi:

Atropine (0,02 mg/kgBB/iv) berfungsi untuk mengurangi reflek vagal,


mengatasi efek hipotensi dari agen inhalasi yang diberikan serta sebagai anti
sialogogue yang baik.

b. Intubasi:

Intubasi dilakukan secara sadar karena dianggap paling aman terutama pada
kasus dengan fistel karena dapat mengurangi distensi karena gas anestesi yang
dihirup melewati fistel. Jika intubasi sadar dilakukan, perlu hati-hati memberikan
ventilasi yang adekuat tanpa menyebabkan distensi lambung sebelum induksi dengan
anestesi umum. Posisi yang tepat dari ETT adalah dengan memasukkan ETT sedalam
mungkin dan kemudian perlahan-lahan ETT ditarik sampai auskultasi ventilasi
bilateral simetris. Jika fistula besar dan berada di atas karina, ujung ETT dapat masuk
ke fistula. ETT harus secara bertahap di evaluasi untuk menghindari ventilasi dari
fistula. Kateter Fogarty dapat digunakan untuk menutup fistula sampai diligasi atau
cuff pada ETT neonates dapat digunakan untuk menutup fistula pada FTE.
Preoperaatif dengan bronkoskopik sering digunakan untuk melihat posisi fistula dan
mendeteksi kelainan jalan napas lainnya.
Saat ahli bedah telah meligasi fistula, obat pelumpuh otot dan ventilasi
tekanan positif bisa diberikan. Narkotik bisa digunakan untuk analgetik dengan agen
inhalasi untuk pemeliharaan. Posisinya dengan lateral kanan torakotomi untuk ligasi
fistula dan melakukan anastomosis esophagus. Sebuah pendekatan ekstrapleural ke
mediastinum posterior digunakan oleh ahli bedah bila memungkinkan. Desaturasi
dapat terjadi saat ahli bedah memfiksir paru-paru bagian bawah saat anastomosis
esophagus. Pengembangan paru perlu dilakukan untuk memperbaiki saturasi oksigen
yang rendah. Hipoksemia mungkin terjadi karena intubasi bronchus kanan, obstruksi
ETT karena secret, perdarahan, bronkus atau trakea yang kinking, dan atelektasis.

Anestesi inhalasi dapat digunakan sebagai alaternatif dari intubasi sadar.


Setelah neonates tidur dalam, intubasi dapat dilakukan tanpa pelumpuh otot diikuti
dengan ventilasi tekanan positif secara hati-hati. Posisi ETT berada di bawah fistula
dan di atas karina. Lokasi fistula diidentifikasi pertama kali dengan membandigkan
suara napas pada paru-paru dan perut. Bronkoskopi dapat dilakukan oleh ahli bedah
untuk mencari letak fistula. Hal ini memungkinkan ahli bedah untuk menentukan
posisi FTE dan untuk mendeteksi kelainan jalan napas lainnya. Intubasi dari FTE
dengan kateter dapat membantu ahli bedah mengidentifikasi letak fistula dan
mengeluarkan udara dari perut. Setelah bronkoskopi dan pemasangan kateter, ETT
ditempatkan pada ujung bawah fistula. Pelumpuh otot dapat diberikan jika ventilasi
dapat dicapai tanpa inflasi lambung. Sebuah kateter kaudal hingga T6-T7 dapat
diberikan untuk kombinasi yang sangat baik dengan anestesi umum, serta
memberikan analgesia paska operasi. Penggunaan opioid dikurangi untuk
mempercepat ekstubasi. Namun neonates dengan berat badan kurang dari 2000 gram
mungkin memerlukan ventilasi paska operasi.

Selama operasi suhu ruangan dipertahankan sekitar 26-28oC dan


mempertahankan suhu tubuh sekitar 37oC dengan memasang blanket penghangat
meyelimuti sebagian besar permukaan kulit bayi dan sirkuit anestesi dengan udara
yang dihangatkan.
Monitoring selama operasi meliputi:

1. Pulse oksimetri untuk memonitor oksigenisasi. Saturasi oksigen berkisar antara


92-99%.
2. EKG
3. Tekanan darah kontinyu dan analisa gas darah, hematokrit, glukosa dan elektrolit.
Semua hal ini dapat dilakukan dengan pemasanagan kanul arteri.
4. Temperature. Cegah jangan terjadi hipotermi.
5. Kebutuhan cairan dan darah.

Spesial intraoperatif:

Ahli anestesi harus memperhatikan lapangan operasi, perhatikan maneuver


ahli bedah yang dapat menimbulkan gangguan ventilasi. Penghisapan lender
intermitten melalui ETT untuk mencegah akumulasi secret trakhea.

c. Ekstubasi:

Kriteria ekstubasi meliputi fungsi neuromuskuler yang normal dibuktikan


dengan klonus ekstremitas yang menetap atau fleksi hip spontan, ola napas yang
normal, dapat membuka mata. Apabila neonates tidak memenuhi criteria ini, maka
ekstubasi ditunda sampai di ICU pediatric dengan monitoring intensif. Alasan lain
ditundanya ekstubasi adalah kemungkinan terjadi trakheomalasia atau defek dinding
trakhea pada tempat terjadinya fistel, bayi dengan riwayat kondisi paru
terkontaminasi serta prematuritas.

Kontroversi akan resiko reintubasi kebanyakan terjadi pada neonates bayi


dengan berat badan kurang dari 2000 gram. Abrasi di daerah fistula lebih mungkin
terjadi bila ETT dipertahankan. Namun bila laringoskopik dan reintubasi diperlukan,
trauma pada daerah fistula dan traksi pada esophagus yang telah diperbaiki mungkin
bisa terjadi. Komplikasi paska operasi meliputi kebocoran pada tempat anastomosis,
striktur, refluks gastroesofageal, trakeomalasia, dan FTE berulang.

8.3.Pasca operatif

Setelah repair atresia esophagus dengan atau tanpa fistel trakheoesofageal,


bayi masih memerlukan bantuan ventilator postoperative. Hal ini bertujuan
mengurangi resko disrupsi anastomosis. Sekresi di saluran napas juga menjadi
masalah lainnya, hingga nebulasi perlu diberikan. Cairan intravena dan nutrisi
parenteral dipertahankan beberapa hari sampai anastomosis terbukti intak dan paten.
Biasanya dipertahankan antara 4-5 hari postoperative, biasa berkisar antara 3 sampai
10 hari.

IX. Komplikasi

Dapat berupa apnu, pneumothoraks, hipoventilasi, kebocoran trakhea,


inadekuat neuromuskuler, kerusakan nervus larigeal rekuren, pneumonia, refluks
gastroesofageal, FTE berulang serta benda asing di esophagus.

X. Prognosis

Prognosis pada neonates yang sehat setelah koreksi AE dan FTE sangat baik.
System Spitz adalah system klasifikasi berbasis hasil berdasarkan berat lahir dan ada
tidaknya penyakit jantung bawaab yang mendasari. Tingkat kematian untuk AE dan
FTE kuran dari 1,5% untuk pasien tanpa kelainan jantung bawaan dan berat lahir
yang lebih besar dari 1500 gram.
Tabel 4. Klasifikasi Sistem Spitz

Grup Kriteria Angka


keberhasilan

I Berat lahir > 1.500 gram tanpa kelainan jantung mayor 98%

II Berat lahir < 1.500 gram atau dengan kelainan jantung 82%
mayor

III Berat lahir < 1.500 gram dengan kelainan jantung mayor 50%

Dikutip dari: Gayle JA, Gomez SL, Baluch A, et al. Anesthetic considerations for the neonate with
tracheoesophageal fistula.

Komplikasi pernapasan dan pencernaan dapat bertahan seumur hidup. Gejala


sisa pernapasan termasuk trakeomalasia, pneumonia berulang, gangguan ventilasi
berupa obstruksi dan retriksi, dan reaktifitas jalan napas. Pada anak-anak dan orang
dewasa dengan riwayat AE dan FTE, aspirasi dapat bermanifestasi sebagai gejala
pernapasan dan atau infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang berulang.

Setelah koreksi AE dan FTE, refluks gastroesofageal terjadi sekitar 35%


sampai 58% dari pasien karena disfungsi intrinsic esophagus. Gangguan motilitas
esophagus paska operasi termasuk peristaltic yang abnormal dan gangguan tonus
sfingter esophagus bagian bawah. Pada beberapa pasien dengan gangguan motilitas
esophagus berat dan pengosongan esophagus, disfagia mungkin menjadi masalah
jangka panjang.

XI. Ringkasan

Neonates yang datang untuk koreksi AE dan FTE bisa sangat menantang
untuk ahli anestesi. Mengantisipasi masalah potensial pada perioperatif dan
komunikasi dengan ahli bedah sangatlah penting dalam pengobatan neonates dengan
cacat bawaan. Meskipun pasien dengan kelainan VACTERL memiliki prognosis
yang lebih buruk, tingkat kelangsungan hidup paska operasi lebih dari 90%. Pada
umumnya anak memiliki kualitas hidup jangka panjang yang baik tetapi cenderung
untuk kembali ke ruang operasi dikemudian hari. Oleh karena itu, ahli anestesi harus
terbiasa dengan manajemen perioperatif dari neonates yang membutuhkan koreksi
FTE dan gejala sisa jangka panjang setelah pembedahan. Masalah seumur hidup
meliputi refluks gastroesofageal, trakeomalasia, gangguan ventilasi baik obstruksi
dan retriksi, reaktifitas saluran napas, dan pneumonia berulang harus dicurigai pada
pasien dengan riwayat koreksi FTE.
Daftar Pustaka

1. Gayle JA, Gomez SL, Baluch A, et al. Anesthetic considerations for the neonate
with tracheoesophageal fistula. M.E.J.Anesthesia. 2008;1241-1254. Tersedia
dari: www.anesthesiologynews.com
2. Motshabi P. Anaesthesia for oesophageal atresia with or without trachea-
oesohageal atresia. Southern African Journal of Anaesthesia and Analgesia.
2014;202-208. Tersedia dari:
www.tandfonline.com/action/journalinformation.com
3. Charlotte B, Zeev NK. The urgent operative patient. Dalam: The pediatric
anesthesia handbook.2nd ed. St. Louis Mosby; 1997. Hlm. 374-377
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam : Clinical
anesthesiology. 5th ed. McGraw-Hill; 2013. Hlm:899-901
5. Carrol M, Arnold G. congenital anomalies of the esophagus. Dalam: James OM,
Marc L, et.al. Pediatric surgery. Vol I, 5th. St. Louis Mosby; 1998. Hlm: 941-951
6. Kovesi T, Rubin S. long term complication of congenital esophageal atresia
and/or tracheoesophageal fistula. American College Chest Physician. 2009.
Tersedia dari: www.chestjournal.org
7. Gupta A. Tracheooesophageal fistula oesophageal atresia & anaesthetic
management. Indian J. Anaesthesia. 2002; 353-355
8. Lerman J, Cote CJ, Steward DJ. Manual of pediatric anesthesia. 7th ed. Springer;
2016. Hlm: 340-347
BAGIAN ANESTESIOLOGI REFERAT I1

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2017

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MANAJEMEN ANESTESI PADA FISTULA


TRAKHEOESOFAGEAL

Oleh :

Rully Chandra Antuli

Pembimbing :

Dr. Wahyudi, Sp.An-KAP

BAGIAN ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

Anda mungkin juga menyukai