PENDAHULUAN
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang
atau muara (buntu), pada esofagus. Pada sebagian besar kasus atresia esofagus
ujung esofagus buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian
bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia
esophagus dengan fistula). Atresia esophagus adalah malformasi yang disebabkan
oleh kegagalan esophagus untuk mengadakan pasase yang kontinyu. Esophagus
mungkin saja membentuk sambungan dengan trachea (fistula
trakheaesofagus).(Wong, Donna L. 2003: 512)
Fistula trakeo esophagus adalah hubungan abnormal antara trakeo dan esofagus.
Dua kondisi ini biasanya terjadi bersamaan, dan mungkin disertai oleh
anomaly lain seperti penyakit jantung congenital. Untuk alasan yang tidak
diketahui esophagus dan trakea gagal untuk berdeferensiasi dengan tepat selama
gestasi pada minggu keempat dan kelima. Atresia Esofagus termasuk
kelompok kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus
dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.
Gambar 2.1 Primodial gut, dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu foregut, midgut
dan hindgut. Dimana ketiga bagian tersebut memiliki perbedaan dalam hal
fungsi, inervasi dan vaskularisasi ( Gaman A, et al. Esophageal
cancer:principles and practices 2009.p3-10).
G
a
m
b
a
r
2
2.3 Perkembangan septum trakeoesofageal selama masa embrional (A) Penonjolan
laringotrakeal terbentuk dari kantong luar bagian kaudal dari faring primitif, (B) lipatan
trakeoesofageal longitudinal di sepanjang garis tengah, dimulai untuk membentuk
septum trakeoesofageal, (C) septum trakeoesofageal telah terbentuk komplit. (D) jika
septum trakeoesofageal mengalami defviasi ke arah posterior, maka akan terjadi atresia
esofgus dengan fistula trakeoesofageal (Clak DC. Am Fam physician 1999;59(4):910-
6).
(Gambar 2.3). Fistel trakeoesofagesal ini juga dapat terlihat pada sindrom
Down, yang bahkan dapat berhubungan dengan atresia esofagus. Pasien –pasien
sindrom Down, memiliki insiden 0,9% dan resiko 30 kali lipat memiliki atresia
esofagus.
Jika atresia esofagus memiliki fistula trakeoesofageal, maka cairan amnion dapat
bersikulasi dan masuk ke dalam lambung tidak terjadi keadaan polihidramnion. Pasien-
pasien dengan kondisi ini, biasanya menunjukan retardasi pertumbuhan dan 40% kasus
dengan berat badan kurang dari 2500 gram saat dilahirkan.
Pada saat lahir, esofagus memiliki panjang sekitar 8-10 cm, dan akan bertambah
dua kali lipat pada awal-awal kehidupan. Esofagus yang sudah terbentuk sempurna
terpisah dari trakea minggu ke-7 gestasi, memiliki tiga lapisan penyusun, yaitu lapisan
mukosa, submukosa dan muskularis. Esofagus tidak memiliki lapisan serosa.
Perkembangan embriologi dari lapisan muskularis esofagus dipengaruhi oleh factor-
faktor yang merangsang transformasi mesenkimal. Sepertiga atas esofagus, memiliki
otot lurik yang dipengaruhi oleh control oleh control volunteer, yang berasal dari
mesenkim lengkung ke-4, 5 dan 6 faringeal bagian kaudal, dan hal ini juga yang
menjelaskan inervasi dari daerah ini yang dipengaruhi oleh nervus laringeus rekuren
dan nervus vagus. Dua pertiga bagian bawah esofagus, dikelilingi oleh otot polos
dibawah control otonom, yang berasal dari mesenkim somatik yang mengelilingi
foregut. Diferensiasi otot polos ini dimulai setelah sel-sel neural crest berkolonisasi
membentuk intestinal. Esofagus mulai melakukan peristaltik pertama kali saat trimester
pertama. Ketika bayi baru lahir, peristaltik esofagus belumlah matang sepenuhnya, hal
ini yang menyebabkan seringnya terjadi regurgitasi makanan pada bayi.
Terdapat dua buah sfingter yang mengatur makanan masuk melewati esofagus,
yaitu sfingter esofagus atas (UES = upper Eshophageal Sphincter), yang merupakan
suatu sfingter yang fisiologis (LES = lower Eshophageal sphincter). Sfingter esofagus
bagian atas ini, terdiri otot-otot konstriksi krikofaringeus dan faringeal inferior,
sedangkan dengan komponen otot yang membentuk esofagus tersebut.
Aliran darah pada esofagus juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu, aliran darah
ke daerah proksimal, di daerah servikal esofagus, didapatkan dari arteri tiroidalais
inferior, yang merupakan cabang dari arteri subklavia, dan kelanjutan dari cabang
brakhialis ke-4. Vaskularisasi esofagus di daerah torakal didapatkan dari cabang langsung
aorta descenden, dimana pleksus submukosannya sangat baik sehingga memungkinkan
dilakukannya mobilisasi yang eksensif tanpa mengganggu suplai darah ke daerah
tersebut. Adapun bagian yang terakhir adalah vaskularisasi esofagus bagian abdominal,
didapat dari cabang arteri frenikus dan pembuluh-pembuluh darah gaster, yang
membentuk anyaman, sehingga sulit dilakukan mobilisasi yang ekstensif di bagian distal
tersebut.
3.1.4. Epidemiologi
Angka kejadian atresia esophagus dengan atau tana fistel trakeoesofageal
yaitu 1 dalam setiap 2500 sampai 4500 kelahiran hidup. Artinya, dengan
3.1.5. Etiologi
Penyebab atresia kongenital esofagus dan trakeoesofagus tidak diketahui.
Diperkirakan insidensinya berkisar dari 1 dalam 3000 kelahiran hidup hingga
1 dalam 3500 kelahiran hidup. Insidensis seksual tampaknya sama, namun
kelahiran berat badan kebanyakan bayi yang terkena malformasi ini lebih
rendah secara bermakna dibandingkan berat badan bayi rata-rata, insidensi
tinggi yang tidak lazim dari prematuritas yang abnormal terdapat di antara
bayi-bayi yang menyandang atresia esophagus. Anomali kongenital lainnya
seperti sindrom VATER atau VACTERL dapat terjadi. Sindrom ini meliputi
kombinasi abnormalits vertebra, anorektal, kardiovaskular, trakeoesofagus,
renal, dan ekstremitas. (Wong/ Donna L. Wong, 2008 : hal 1037)
Esofagus dan trakea terbentuk saling berdekatan satu sama lain selama 4-6
minggu kehidupan fetus. Defek pada mesenkim yang memisahkan kedua
struktur ini mengakibatkan fistula trakeoesofagus (FTE), dan seringkali
berkaitan dengan anomali lain (melibatkan ginjal, jantung, tulang belakang,
atau ekstremitas). Defek ini terjadi pada sekitar 1:3000 kelahiran hidup. FTE
tidak dipikirkan sebagai defek karena angka keseuaian (konkordansi) antara
kembar monozigot lemah.(Karen J, dkk, 2014, Nelson Ilmu kesehatan Anak
Esensial. Hal.469)
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2
% jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab
genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esophagus menurut
sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan
tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut.
Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan
esophagus dapat terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka
fistula trakeoesofagus akan terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel
sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan belakang maka trakea akan membentuk
atresia esophagus.
Trisomi
Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia
duodenal, dan anus imperforata).
Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan
patent ductus arteriosus).
Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau
horseshoe kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia).
Gangguan Muskuloskeletal
Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac,
tracheosofagealfistula, ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening).
VACTERL – anomaly vertebra (70%), atresia ani (anus imperforata)
(50%), anomali jantung (30%), FTE (70%), anomaly ginjal (50%) dan
anomaly ekstremitas (polidaktili, defek lengan bawah, tidak adanya ibu
jari, sindaktili) (70%). (Karen J, dkk, 2014.Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Essensialhlm. 469)
Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki
kelainan lahir
Tapi tidak semua bayi yang lahir premature mengalami penyakit ini. Dan
ada alasan yang tidak diketahui mengapa esefagus dan trakea gagal untuk
berdiferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu ke empat dan ke
lima. (Asuhan Keperawatan pada bayi atresia esophagus)
3.1.6. Klasifikasi
Klasifikasi tipe atresia esophagus dibuat oleh beberapa ahli, yang pertama adalah
oleh Vogt pada tahun 1929, Ladd pada tahun 1944, dan Gross di tahun 1953
Penanganan awal para bayi ini adalah insersi kateter orogastrik plastik lunak
yang berlumen ganda pada jarak 7 cm kedalam kantong esofagus atas yang
buntu. Memplester kateter dalam posisi ini dan menghubungkannya ketekanan
negatif yang rendah dan konstan agar air liur yang menumpuk dapat terus
dikeluarkan sehingga aspirasi dari atas dapat dicegah. Menjaga kepala tegak,
akan mempermudah drainase sekresi kedalam kantong untuk dihisap dan
mencegah refluks isi lambung kedalam paru.
3. Fistula esofagus tanpa atresia esofagus
T
e
r
d
a
terdapat hubungan seperti fistula anata esophagus yang secara anatomi dengan
trakea.Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/ sempit dengan diameter
3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah.
Tipe E
Tipe C
Tipe B
Tipe A
Tipe D
3.1.7. Patofisiologi & Pathway
Embryogenesis atresia esophagus belum diketahui secara baik, bisa disebabkan
oleh radiasi yang mengakibatkan kelainan kongenital.Pada bentuk yang paling
sering ditemukan, bagian proksimal esophagus mempunyai ujung berupa kantung
buntu, sementara bagian distal berhubungan dengan trakea melalui fistula.
Atresia esophagus menahan jalannya cairan amnion yang normal menuju saluran
usus, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang banyak sekali di kantong
amnion (polihidramnion).Polihidramnion dapat menyebabkan kelahiran
premature. Janin mendapatkan banyak keuntungan nutrisi yang berasal dari
mencerna cairan amnion, sehingga janin dengan atresia esophagus mungkin
memiliki berat badan yang cukup kecil untuk usia mereka.
Pada periode post natal, bayi tidak akan mampu untuk menelan hasil sekresinya
sendiri, saliva ataupun makanan dan menghasilkan banyak air liur. Muntahnya
dapat masuk ke dalam jalan napas dan parenkim paru yang menyebabkan
gangguan respirasi.
Bila fistula menghubungkan trakea dengan esophagus distal, maka abdomen akan
terisi udara ketika bayi menangis atau saat mendapatkan ventilasi dan terjadi
distensi. Distensi ini cukup berat hingga menimbulkan kesulitan bernapas.Refluks
gastroenterofagus pada bayi dan EA/TEF distal umum terjadi dan terjadi
diakibatkan oleh imaturitas spinkter esophagus bagian bawah dan mortilitas
esophagus bagian bawah yang buruk.Refluks asam lambung atau kandung
empedu ke dalam traktus respiratori melalui fistula dapat menyebabkan
pneumonia kimiawi.
Trakea juga dipengaruhi oleh gangguan embryogenesis pada atresia
esophagus.Membrane trakea seringkali melebar dengan bentuk D bukan C seperti
biasanya.Perubahan ini menyebabkan kelemahan struktur anteroposterior trakea.
Kelemahan ini akan menyebakan gejala batuk dan dapat menyebabkan kolaps
parsial pada eksirasi penuh. Trakea juga dapat kolaps bila diberikan makanan atau
air susu dan ini menyebabkan pernapasan tidak efektif, hipoksia, pneumonia
aspirasi atau bahkan bisa menjadi apnea.
Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini
dapat terjadi polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan
kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion,
sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
3.1.9. Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi atresia esophagus dibagi atas dua kelompok yaitu
komplikasi segera dan komplikasi lambat.
Komplikasi Segera
1. Kebocoran Anastomosis (Anastomosis Leakage)
Dari beberapa penelitian dan juga jurnal-jurnal, menyatakan bahwa
kebocoran anastomosis ini, memiliki insiden 17-35%, dari
keseluruhan kasus pascaoperasi atresia esofagus. Beberapa faktor
ditenggarai sebagai penyebabnya, yaitu eksternal, dalam artian teknik
operasi (tarikan yang berlebihan pada kedua ujung esofagus),
kemampuan operator dan waktu dilakukannya operasi. Adapun faktor
internal yaitu kondisi sistemik neonatus, iskemik pada kedua ujung
esofagus.
2. Striktur esofagus
Didefinisikan sebagai adanya gejala-gejala disfagia, masalah respirasi
yang berulang, yang didapat dari adanya obstruksi benda asing, dan
penyempitan lumen esofagus, yang dipastikan dari hasil endoskopi
atau esofagografi dengan kontras. Faktor-faktor pencetus komplikasi
ini adalah, teknis anastomosis yang tidak baik, adanya penarikan
kedua ujung esofagus yang berlebih, anastomis dua-lapis,
pengggunaan benang silk/ziede. Insidensi komplikasi ini, bervariasi
mulai dari 1% sampai dengan 59% kasus.
Komplikasi Lambat
1. Refluk gastroesofageal (Gastroesophaeal Refluk Disease = GERD )
Merupakan komplikasi pascaoperasi atresia esofagus yang paling
umum ditemukan berkisar 30% sampai 70%. Diagnosis GERD,
ditegakkan apabila ditemukan gejala-gejala muntah, disfagia dan
stenosis anastomosis berulang, disertai dengan kesulitan menelan
makanan, ditambah dengan pemeriksaan Ph saliva -24 jam.
Penanganan komplikasi ini adalah dengan medikamentosa dengan
pemberian agen-agen pengurang asam, penghambat histamin-2 (
histamine-2 blockers), dan inhibitor pompa proton (proton pump
inhibitor). Jika medikamentosa tidak membantu, maka akan dilakukan
tindakan operasi dengan fundoplikasi teknik Nissen.
2. Trakeomalasia
Tercatat, trakeomalasia ini pernah terjadi sampai dengan 75%
pascaoperasi atresia esofagus, tetapi umumnya, kejadian
trakeomalasia ini terjadi 10-15% pasien pascaoperasi atresia esofagus.
Dan tindakan penanganannya berupa aortopeksi atau gastropeksi.
3. Keganasan
Pada beberapa penelitian, yang dilakukan selama lebih dari 20 tahun
pengamatan, terhadap neonatus pascaoperasi atresia esofagus, ternyata
dapat terjadi karsinoma esofagus. Adenokarsinoma esofagus ini,
tampak pada usia 20 dan 22 tahun atau berkisar 21% pada keseluruhan
dewasa yang pernah menjalani operasi atresia esophagus saat
neonatus.
Adapun komplikasi lain setelah tindakan operasi pada atresia esophagus dan fistula
atresia esophagus ;
a) Dismotilitas esophagus Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin
esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini.
Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum.
b) Disfagia atau kesulitan menelan Disfagia adalah tertahannya makanan
pada tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan
menelan air untuk tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
c) Kesulitan bernafas dan tersedak Komplikasi ini berhubungan dengan
proses menelan makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam
trakea.
d) Batuk kronis Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi
perbaikan atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
e) Meningkatnya infeksi saluran pernafasan Pencegahan keadaan ini adalah
dengan mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan
meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.
Penanganan atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus terdiri atas tindakan untuk
mencegah pneumonia serta pembedahan untuk mengoreksi anomali. Bila terdapat
kecurigaan adanya fistula trakeoesofagus, pemberian makanan per oral bayi harus
segera di hentikan dan pemberian cairan intravena (infus) dimulai. Bayi harus di
tempatkan dalam posisi yang paling kecil kemngkinannya untuk menimbulkan
aspirasi sekret yang berasal dari dalam mulut maupun lambung. Pengeluaran sekret
dari dalam rongga mulut dan kantong bagian atas memerlukan tindakan pengisapan
yang frekuen atau kontinu. Karena pnemonia aspirasi hampir selalu tidak bisa
dielakan dan timbul secara dini pada kasus ini, terapi antibiotik bersprektum luas
harus segera dilaksanakan.
Operasi primer untuk koreksi terdiri atas torakotomi dengan pemotongan
serta pengikatan fistula trakeoesofagus dan anastomosis esofagus end to end. Bagi
bayi prematur dengan anomali multipel atau dengan keadaan umum yang sangat
jelek, lebih disukai prosedur pembedahan bertahap yang meliputi gastrostomi,
ligasi fistula trakeosesofagus, dan pembuatan saluran untuk drainase kantong
esofagus yang kontinu. Anastomosis esofagus yang di tunda biasanya dibiasakan
diupayakan pelaksanaannya sesudah bayi berusia beberapa minggu ketika
kantong proksimalnya sudah memanjang sedangkan kantong distalnya mengalami
hipertrofi.
Ada beberapa kasus yang jarng dijumpai saat anastomosis primer tidak dapat
dikerjakan karena panjang kedua segmen esofagus yang tidak mencukupi. Pada
kasus ini, defek tersebut harus dijembatani dengan interposisi kolon, slang gastrik
atau prosedur interposisi lambung. Intubasi endotrakea mungkin diperlukan
karena banyak di antara bayi-bayi ini yang juga mengalami trakeomalasia, yaitu
kelemahan pada dinding trakea yang terjadi ketika kantong proksimal yang
berdilatasi itu menekan trakea sejak awal usia janin atau ketika trakea tidak bisa
berkembang secara normal karena tidak adanya tekanan intratrakea.
Komplikasi pada operasi koreksi primer ini meliputi kebocoran pada tempat
anastomosis, pembentukan struktur akibat regangan atau iskemia, gangguan
motilitas esofagus yang menyebabkan disfagia, dan refluks gastroesofagus.
Gangguan motolitas sering terjadi sesudah dilakukan operasi koreksi atresia
esofagus atau fistula trakeoesofagus.
a. Penatalaksanaan pre operasi
1. Penentuan diagnosis dan tipe anomali
2. Evaluasi keadaan paru – paru, mengobati adanya masalah pada paru – paru
dan mencegah kontaminasi trakea lebih lanjut
3. Mencari dan bila memungkinkan sekaligus mengobati kelainan lain yang
berhubungan
b. Pendekatan operatif
1. Penyambungan end to end anastomose dilakukan pada bayi dengan analisa
gas darah yang normal, berat badan diatas > seribu dua ratus gram dan tidak
ada kelainan kongenital yang lain. Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana
fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit kemudian dibuat anastomosis
esophageal antara kedua ujung proksimal dan distal dari esophagus. Pada
atresia esophagus dengan trakeoesfageal hamper selalu jarak antara
esophagus proksimal dan distal dapat disambul lagi. Ini disebut dengan
primary repair, yaitu apabila kedua ujung esophagus dibawa dua ruas
vertebra. Bila jaraknya tiga sampai enam ruas vertebra, dilakukan primary
delayed repair. Operasi ditunda selama paling lama 12 minggu sambil
dilakukan sunction rutin dan pemberian makanan melalui gastrotomi, maka
jarak kedua ujung esophagus akan menyempit kemudian dilakukan primer
repair. Apabila jarak kedua ujung esophagus lebih dari 6 ruas vertebra, maka
dicoba dilakukan tindakan diatas, apabila tidak bisa juga maka esophagus
disambung dengan menggunakan sebagian kolon.
2. Perbaikannya berupa torakotomi dengan menutup fistula trakeoesofagus
3. Esofagogram dilakukan setelah 7 – 1 hari settelah operasi
4. Prediksi keberhasilan operasi sangat tergantung pada keadaan berat bayi,
beratnya disfungsi pulmonal, dan adanya kelainan kongenital yang lainnya.
c. Koreksi bedah
1. Koreksi esofagus primer dengan atau tanpa gastrotomi
2. Gastrotomi dengan koreksi beberapa waktu kemudian
3. Gastrotomi dengan pemisahan fistula atau prosedur bertahap lainnya
4. Tidak ada tindakan bedah segera
d. Perawatan pasca operasi
Merupakan perawatan suportif :
1. Antibiotika diberikan sampai beberapa hari
2. Pelepasan endotrake tube dapat dilakukan segera mungkin pada bayi yang sehat,
sedangkan bayi yang kecil dengan keadaan umum lemah diperlukan bantuan
respiratory untuk beberapa hari
3. Penghisapan melalui hidung harus dilakukan secara teratur untuk mencegah
terjadinya atelektasis. Hal ini dilakukan sampai bayi dapat menean ludah. Panjang
slang penghisap diukur agar jangan sampai merusak anastomose (kira– kira dari
hidung sampai ke daun telinga).
4. Drain toraks dipertahankan sampai sampai hari kesepuluh karena kebocoran dari
anastomose dapat terjadi sampai hari kesepuluh
5. Diet melalui mulut dapat dimulain bila bayi sudah dapat menelan ludah. Bila
terpasang gastrotomi maka pemberian diet sudah dapat diberikan segera setelah
bising usus pada pasca operasi. Ada yang melakukan esofagogram sebelum
memberikan diet per oral untuk melihat ada ata tidaknya kebocoran dan mengukur
diameter esofagus.
6. Bila terjadi kesulitan menelan atau muntah atau perkiraan terjadinya kebocoran
maka di lakukan esofagogram
3.1.12. Prognosis
Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit
pada paru. Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko,
antara lain berat badan lahir bayi, atau adanya kelainan kongenital lainnya yang
menyertai. Angka kelangsungan hidup terbaru dari setelah dilakukan operasi
perbaikan adalah sebesar > 90%.
3.2. Labio Palato Sczhizis
2.2.1. Pengertian
Labio/palato skisis merupakan kongenital anomaly yang berupa adanya kelainan
bentuk struktur wajah. (Suriadi & Rita Y, 2010, Askep pada Anak)
Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah langit-langit mulut/palatum)
merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam perkembangan embrio. Keadaan ini
serig dijumpai pada semua populasi dan dapat menjadi disabilitas yang berat pada
orang yang terkena. Keduanya dapat terjadi secara terpisah atau yang lebih sering
lagi, secara bersamaan. Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua
prosesus nasalis maksilaris dan mediana; palatoskizis merupakan fisura pada garis
tengah palatum akibat kegagala penyatuan kedua sisinya. (Donna L.Wong, 2008)
Labiopalatoskisis (Celah bibir dan langit-langit) merupakan kelainan kongenital
berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Kelainan bawaan yang dapat
terjadi dimulut.
Palatoskisis adalah asdanya celah pada garis tengah palate yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu. (Asuhan
kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus).
LabioPalatoskisis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palatosisis (sumbing palatum), dan labiosisis (sumbing pada bibir) yang terjadi
akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embroil. (Aziz Alimul Hidayat, 2006)
Jadi labio palato skisis (Bibir sumbing) adalah malformasi yang disebabkan oleh
gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan
embriotik.
2.2.2. Anatomi Fisiologi
Perkembangan janin
1) Minggu ke 9
Empedu disekresi usus halus terpisah dari medulla spinalis dan mulai menempati tempat
yang khusus
2) Minggu ke 13
Mikonium didalam usus mulai menyekresi beberapa enzim anus terbuka
3) Minggu ke 17
Deposit enamel dan dentin, kolon asenden dapat dikenali.
2.2.3. Epidemiologi
Celah bibir (bibir sumbing) dan langit-langit dapat terjadi secara
terpisah atau bersamaan, dan mengenai sekitar dari 700 bayi. Celah
(sumbing) lebih sering ditemukan pada ras Asia (1:500) dan paling jarang
padas ras Afro-Amerika (1:2500). Celah ini terjadu dengan dua
kemungkinan pola; defek tunggal celah langit-langit pada palatum molle,
atau celah bibir dengan atau tanpa celah pada palatum durum. Pada defek
tunggal celah langit-langit berisiko lebih tinggi terdapat malformasi
kongenital lainnya. Tipe kombinsi celah bibir/langit lebih banyak
ditemukan pada laki-laki.
2.2.4. Etiologi
Celah bibir disebabkan oleh hypoplasia jaringan mesenkim yang selanjutnya
menyebabkan kegagalan fusi. Terdapat komponen genetic yang kuat risiko tertinggi
terjadi pada anak dengan keluarga inti yang mengalami hal yang sama. Kembar monozigot
hanya menunjukan kesamaan sebanyak 60%, sehingga menimbulkan dugaan terdapat
faktor nongenom lainnya. Faktor lingkungan selama getasi juga meningkatkan risiko,
termasuk obat (fenitoin, asam valproate, talidomid), ibu mengkonsumsi alkohol dan
merokok, dioksin dan herbisida lain, dan kemungkinan ketinggian dataran juga berperan.
Sindrom kromosomal dan non kromosomal berkaitan dengan kejadian celah, demikian
juga gen spesifik pada beberapa keluarga. (Karen J., dkk, 2014, Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial).
2. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional, baik
kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi foto maternal).
Zat –zat yang berpengaruh adalah:
Asam folat
Vitamin C
Zn
3. Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat, vitamin C dan
Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat tersebut dibutuhkan dalam
tumbuh kembang organ selama masa embrional. Selain itu gangguan sirkulasi
foto maternal juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
4. Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik adalah:
Jamu.
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin,
terutama terjadinya labio palatoschizis. Akan tetapi jenis jamu apa yang
menyebabkan kelainan kongenital ini masih belum jelas. Masih ada
penelitian lebih lanjut
Kontrasepsi hormonal.
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, terutama
untuk hormon estrogen yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hipertensi sehingga berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan
sirkulasi fotomaternal.
Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama
labio palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
Aspirin (Obat – obat analgetika)
Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream
pemutih)
Tampak ada celah pada tekak (uvula), palate lunak, dan keras dan atau
foramen incisive
Adanya rongga pada hidung
Distorsi hidung
Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
Kesukaran dalam menghisap atau makan
Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
Gangguan komunikasi verbal
Pada sumbing yang luas, dan terutama bila disertai celah palatum, muncul
dua masalah; mengisap mungkin tidak efektif dan saliva serta susu dapat bocor ke
dalam ronggga hidung, dan mengakibatkan refleks gag atau tersedak ketika bayi
bernapas.
Bicara dapat terhambat dan bila berkembang, dapat ada hipernasalitas dan
artikulasi yang jelek. Sebagai akibat defisiensi pada fungsi otot palatum mole,
fungsi tuba eustachius dapat terganggu, dan keterlibatan telinga tengah memalui
otitis akut berulang atau otitis media menetap dengan efusi lazim terjadi.
Anak yang mengalami celah palatum sering berkembang infeksi sinus masalis dan
hipertrofi tonsil dan adenoid. Infeksi ini lazim terdapat bahkan sesudah perbaikan
bedah sekalipun, dan dapat turut menyebabkan sering terkenanya telinga tengah.
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan
adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran
sehingga suara yang keluar menjadi sengau.
Maloklusi( – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang
alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan
didaerah celah sering terjadi erupsi.
Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya
celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya
dapat terjadi otitis media rekurens sekunder.
Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek
menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong
secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh,
sehingga kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran
pernafasan.
Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada
bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan
terganggu. Akibatnya bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga
menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago ” dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan
asimetris wajah.
Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah
yang tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di
dekat aspek distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan
terjadinya penyakit peri odontal.
Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya
menonjol dan lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya
dapat menyebabkan terjadinya crosbite.
Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan
palatum serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga
diri dan citra tubuh.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan dewngan melakukan foto rontgen
pada tengkorak. Pada penderita dapat ditemukan celah processus
maxilla dan processus nasalis media.
c. MRI untuk evaluasi abnormal
2.2.10. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang
melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya
kemajuan teknik bedah, orbodantis,dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir
tindakan koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung
dari berat ringan yang ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan
secara bertahap.
Biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila
bayi tersebut telah berumur 1-2 bulan.Setelah memperlihatkan penambahan
berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau
sistemis. Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Hal
itu mengacu pada pada Ralph Millard’s Rule Over Ten yaitu berat badan anak
harus lebih dari 10 pounds atau sekitar 5 kg atau usia bayi/anak lebih dari 10
minggu selain itu kadar hemoglobih darah harus 10 gr % dan jumlah sel darah
putih kurang dari 10.000 per mL. Pada kebanyakan kasus, pembedahan pada
hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia pubertas. Karena celah-celah
pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk dan derajat cerat yang cukup
besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus disesuaikan bagi masing-
masing penderita.Waktu optimal untuk melakukan pembedahan langit-langit
bervariasi dari 6 bulan – 5 tahun.Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga
berumur 3 tahun, maka sebuah balon bicara dapat dilekatkan pada bagian
belakang geligi maksila sehingga kontraksi otot-otot faring dan velfaring
dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan balon tadi untuk
menghasilkan penutup nasoporing.
2. Pentalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan Pra-Operasi :
1) Fasilitas penyesuaian yang positif dari orangtua terhadap bayi.
a. Bantu orangtua dalam mengatasi reaksi berduka.
b. Dorong orangtua untuk mengekspresikan perasaannya.
c. Diskusikan tentang pembedahan.
d. Berikan informasi yang membangkitkan harapan dan perasaan
yang positif terhadap bayi.
e. Tunjukkan sikap penerimaan terhadap bayi.
2) Berikan dan kuatkan informasi pada orangtua tentang prognosis dan
pengobatan bayi.
a. Tahap-tahap intervensi bedah.
b. Teknik pemberian makan.
c. Penyebab devitasi
3) Tingkatkan dan pertahankan asupan dan nutrisi yang adekuat.
a. Fasilitasi menyusui dengan ASI atau susu formula dengan botol
atau dot yang cocok.Monitor atau mengobservasi kemampuan
menelan dan menghisap dengan menggunakan obituary.
b. Tempatkan bayi pada posisi yang tegak dan arahkan aliran susu
ke dinding mulut.
c. Arahkan cairan ke sebalah dalam gusi di dekat lidah.
d. Sendawakan bayi dengan sering selama pemberian makan
e. Kaji respon bayi terhadap pemberian susu.
f. Akhiri pemberian susu dengan air.
4) Tingkatkan dan pertahankan kepatenan jalan nafas.
a. Pantau status pernafasan
b. Posisikan bayi miring kekanan dengan sedikit ditinggikan
c. Letakkan selalu alat penghisap di dekat bayi.
b. Perawatan Pasca-Operasi
1. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
a. Berikan makan cair selama 3 minggu menggunakan alat
penetes atau sendok.
b. Lanjutkan dengan makanan formula sesuai toleransi.
c. Lanjutkan dengan diet lunak
d. Sendawakan bayi selama pemberian makanan.
2. Tingkatkan penyembuhan dan pertahankan integritas daerah insisi
anak.
a. Bersihkan garis sutura dengan hati-hati.
b. Oleskan salep antibiotik pada garis sutura (Keiloskisis).
c. Bilas mulut dengan air sebelum dan sesudah pemberian makan.
d. Hindari memasukkan obyek ke dalam mulut anak sesudah
pemberian makan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
e. Pantau tanda-tanda infeksi pada tempat operasi dan secara
sistemik.
f. Pantau tingkat nyeri pada bayi dan perlunya obat pereda nyeri.
g. Perhatikan perdarahan, edema, drainase
h. Monitor keutuhan jaringan kulit.
i. Perhatikan posisi jahitan, hindari jangan kontak dengan alat-
alat tidak steril, missal alat tensi
2.2.11. Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat
dimodifikasi/ disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan
operasi saatusia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah
secara signifikan.Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang,
80% anak denganlabioschisis yang telah ditatalaksana mempunyai
perkembangan kemampuan bicarayang baik. Terapi bicara yang
berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-
masalah berbicara pada anak labioschisis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Labio palato skisis (Bibir sumbing) adalah malformasi yang disebabkan oleh
gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan
embriotik sedangkan atresia esophagus adalah kelainan atau kegagalan esophagus untuk
membentuk saluran dari faring kelambung.
Beberapa faktor menjadi penyebab dari kedua penyakit tersebut diantaranya
faktor lingkungan : tetragenik. Dimana, perilaku ibu ketika hamil menjadi penentu
kesehatan sang janin. Maka dari itu, harus dilakukan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil
agar mengetahui resiko yang akan terjadi jika perilaku atau nutrisi ketika hamil tidak
baik. Hal tersebut diharapkan bisa mengurangi klien atau anak dengan penyakit atresia
esophagus dan labio palate skizis.
Kedua penyakit ini sering ditemukan dimasyarakat, maka dari itu sebagai tenaga
kesehatan kita harus mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada kedua penyakit
tersebut.
3.2 Saran
Kepada para ibu hamil sebaiknya lebih menjaga kondisi janin dengan memberikan
nutrisi yang baik serta tidak berperilaku yang menimbulkan resiko terhadap janin seperti
merokok dan mengkonsumsi alkohol untuk menghindari terjadinya penyakit seperti
atresia esophagus dan labio palato skizis.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=etiologi+atresia+esofagus+pdf&start=20 (di unggah tanggal 13 april 2017 jam 20.08 wib)
Kyle Terri & Susan Carman . 2016 . Buku ajar keperawatan pediatric . Jakarta . EGC
Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak Gangguan gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta:
Salemba Medika