Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan pada sistem pencernaan merupakan masalah yang sering terjadi
dilingkungan masyarakat ataupun dilingkungan rumah sakit. Sebagai perawat kita harus
bisa mengaplikasikan asuhan keperawatan pada semua sistem yang mengalami gangguan
khususnya pada sistem yang sangat sering terjadi dimasyarakat yaitu sistem pencernaan.
Beberapa penyakit yang sering muncul yaitu diantaranya diare, typoid dan gastritis.
Gangguan pada sistem pencernaan tidak hanya itu, tapi banyak sekali dan ada beberapa
gangguan yang kurang menjadi sorotan yaitu salah satunya kelainan-kelainan pada bayi
yang mengganggu sistem pencernaan mereka.
Kelainan-kelainan bayi baru lahir ini yang sering terjadi dan menjadi masalah yang
perlu diberi perhatian khusus. Kelainan tersebut berupa struktur tubuh atau organ yang
tidak sempurna layaknya bayi yang lain. Kelainan pada sistem pencernaan merupakan
kelainan yang sangat sering terjadi terutama kelainan pada struktur tubuh bagian bibir atau
langit-langit mulut. Karena tanpa disadari, kelainan pada bayi itu telah menganggu sistem
pencernaan. Maka dari itu sebagai perawat kita perlu melakukan asuhan keperawatan pada
bayi baru lahir dengan kelainan seperti itu.
Kelainan yang terjadi dinamakan Atresia oesophagus dan labio palato skizis, kedua
penyakit ini sangat sering ditemukan pada anak-anak dan menjadi perhatian khusus bagi
para tenaga kesehatan. Maka dari itu, kami sebagai penulis mengambil dua penyakit
tersebut sebagai bahasan dalam makalah ini.
Atresia esophagus merupakan suatu kelainan congenital dimana esophagus tidak
terbentuk secara sempurna. Pada kebanyakan kasus, kelainan ini disertai dengan
terbentuknya hubungan antara esophagus dengan trakea yang disebut fistula
trakeaoesophageal (Tracheoesophageal Fistula/ TEP). Fistula trakeoesofageal (TEF) dan
esophagus atresia (EA) adalah darurat bedah, menyajikan selama pertama saat setelah lahir.
Thomas Gibson adalah yang pertama, yang di 1696 dijelaskan deskrips klinis dan patologis
yang akurat dari anomali yang paling umum, di mana EA dikaitkan dengan TEF.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mahasiswi STIKes Santo Borromeus dapat memahami dan
mengaplikasi asuhan keperawatan sistem pencernaan yang telah diberikan dan telah
dipelajari dalam praktek nantinya
1.2.2 Tujuan Khusus
Agar mahasiswa mahasiswi dapat memahami dan menjelaskan kembali serta
mengaplikasikan kembali tentang;
1) Pengertian Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
2) Anatomi dan Fisiologi beserta embriologi
3) Etiologi Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
4) Klasifikasi Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
5) Patofisiologi Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
6) Manifestasi Klinis Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
7) Komplikasi Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
8) Tes diagnostik Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
9) Penatalaksanaan medis Atresia Oesophagus & Labio Palato Schizis
10) Konsep asuhan keperawatan pada pasien Atresia Oesophagus & Labio
Palato Schizis

1.3 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode penulisan deskripsi dengan
studi kepustakaan, browsing internet.

1.4 Sistematika Penulisan


Makalah ini disusun dalam 3 BAB, yang terdiri dari:
BAB I : PENDAHULUAN yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan serta sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN TEORITIS yang terdiri dari, pengertian, anatomi fisiologi,
embriologi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi
klinis, komplikasi, test diagnostic, penatalaksanaan medis, prognosis dan
konsep asuhan keperawatan.
BAB III : PENUTUP yang terdiri dari, kesimpulan dan saran
3.1 Atresia Oesophagus
3.1.1. Pengertian
Atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus adalah anomaly
gastrointenstinal dengan kondisi esophagus dan trakea tidak memisah secara
normal selama perkembangan embrionik. (Terri Kyle, 2014 Buku Ajar
Keperawatan pediatri)

Athresia Esophagus adalah perkembangan embrionik abnormal esophagus yang


menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen berkurang
tidak memadai yang mecegah perjalanan makanan / sekresi dari faring ke perut.

Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang
atau muara (buntu), pada esofagus. Pada sebagian besar kasus atresia esofagus
ujung esofagus buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian
bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia
esophagus dengan fistula). Atresia esophagus adalah malformasi yang disebabkan
oleh kegagalan esophagus untuk mengadakan pasase yang kontinyu. Esophagus
mungkin saja membentuk sambungan dengan trachea (fistula
trakheaesofagus).(Wong, Donna L. 2003: 512)

Atresia esofagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus


untuk mengadakan pasase yang kontinu : esophagus mungkin saja atau mungkin
juga tidak membentuk sambungan dengan trakea ( fistula trakeoesopagus) atau
atresia esophagus adalah kegagalan esophagus untuk membentuk saluran kotinu
dari faring ke lambung selama perkembangan embrionik adapun pengertian lain
yaitu bila sebuah segmen esofagus mengalami gangguan dalam pertumbuhan nya
(congenital) dan tetap sebagai bagian tipis tanpa lubang saluran.

Fistula trakeo esophagus adalah hubungan abnormal antara trakeo dan esofagus.
Dua kondisi ini biasanya terjadi bersamaan, dan mungkin disertai oleh anomaly lain
seperti penyakit jantung congenital. Untuk alasan yang tidak diketahui esophagus
dan trakea gagal untuk berdeferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu
keempat dan kelima. Atresia Esofagus termasuk kelompok kelainan kongenital
terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan persisten
dengan trachea.

Jadi dapat disimpulkan bahwa atresia esophagus adalah kelainan esophagus dimana
esophagus terjadi kegagalan untuk membentuk saluran kontinu dari faring ke
lambung selama masa embrionik

3.1.2. Anatomi Fisiologi


Esofagus merupakan tabung berotot dengan panjang 25 cm. Dimulai dari tengah
leher sampai ujung bawah rongga dada di
belakang trakea, menembus diafragma
dan masuk ke dalam abdomen bersambung
dengan lambung.Terletak di belakang trakhea
di depan vertebra.

Esofagus dibagi menjadi 3 bagian:

1. Bagian superior (sebagian besar


adalah otot rangka).
2. Bagian tengah (campuran otot rangka
dan otot halus).
3. Bagian inferior (terutama terdiri dari
otot halus).
3.1.3. Embriologi
Untuk menyatakan perkembangan embriologi ini, pada masa embrional,
sistem pencernaan diawali sebagai primodial gut atau disebut juga sebagai sistem
intestinal primitif, yang di bagi menjadi tiga bagian, yaitu foregut,

Gambar 2.1 Primodial gut, dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu foregut, midgut
dan hindgut. Dimana ketiga bagian tersebut memiliki perbedaan dalam hal fungsi,
inervasi dan vaskularisasi ( Gaman A, et al. Esophageal cancer:principles and
practices 2009.p3-10).

midgut dan hindgut, dimana masing-masing bagian ini memiliki perbedaan dalam
fungsi, inervasi dan juga vaskularisasnya ( gambar 2.1). Awal masa embriologi,
perkembangan trakea dan esofagus sangat berdekatan. Trakea dan esofagus ini
berasal dari foregut sebagai penonjolan ventral bagian medialnya, berlangsung
sekitar hari ke-22 sampai ke-23 setelah konsepsi, dimana panjang embrio baru
sekitar 3mm. Lapisan endodermal foregut berdiferensiasi menjadi bagian ventral
merupakan awal saluran respirasi, dan bagian dorsal menjadi esofagus. Esofagus
sendiri berasal dari perkembangan segmen foregut, yang membentuk cekungan
yang berhubungan dengan kejadian awal bentuknya lumen foregut (Gambar 2.2).
Pemisahan bagian respirasi dengan bagian esofagus, didapat dari pembentukan
lipatan trakeoesofageal longitudinal bagian lateral. Awalnya pemanjang trakea
dan esofagus tersebut kea rah distal, kemudian naik ke proksimal. Pada minggu
ke-6 sampai ke-7, pemisahan trakea dengan esofagus telaj komplit. Selain
esofagus, foregut juga merupakan asal dari faring, sistem pernafasan atas dan
bawah, lambung dan duodenum bagian proksimal dari saluran biliari, hati, sistem
biliari dan pancreas.

Kegagalan septum menutup komunikasi antara esofagus secara komplit


tersebut, akan menghasilkan suatu kondisi yang disebut fistula trakeoesofageal
(TEF), yang terlihat pada sindrom congenital seperti VACTERL ( vertebral
abnormalities, anal atresia, cardiac defects,TE fistula, renal abnormalities, limb
abnormalities) dan dengan trisomi 18 ( sindrom patau)

Gambar 2.2 Tahapan perkembangan dari penonjolan sistem respirasi dan


esofagus melalui pemisahan foregut. (A) akhir minggu ke-3 (tampak samping),
(B,C) Perkembangan selama minggu ke-4.
Gambar 2.3 Perkembangan septum trakeoesofageal selama masa embrional (A)
Penonjolan laringotrakeal terbentuk dari kantong luar bagian kaudal dari faring primitif,
(B) lipatan trakeoesofageal longitudinal di sepanjang garis tengah, dimulai untuk
membentuk septum trakeoesofageal, (C) septum trakeoesofageal telah terbentuk komplit.
(D) jika septum trakeoesofageal mengalami defviasi ke arah posterior, maka akan terjadi
atresia esofgus dengan fistula trakeoesofageal (Clak DC. Am Fam physician
1999;59(4):910-6).

(Gambar 2.3). Fistel trakeoesofagesal ini juga dapat terlihat pada sindrom
Down, yang bahkan dapat berhubungan dengan atresia esofagus. Pasien –pasien
sindrom Down, memiliki insiden 0,9% dan resiko 30 kali lipat memiliki atresia
esofagus.

Jika atresia esofagus memiliki fistula trakeoesofageal, maka cairan amnion


dapat bersikulasi dan masuk ke dalam lambung tidak terjadi keadaan
polihidramnion. Pasien- pasien dengan kondisi ini, biasanya menunjukan retardasi
pertumbuhan dan 40% kasus dengan berat badan kurang dari 2500 gram saat
dilahirkan.

Pada saat lahir, esofagus memiliki panjang sekitar 8-10 cm, dan akan
bertambah dua kali lipat pada awal-awal kehidupan. Esofagus yang sudah
terbentuk sempurna terpisah dari trakea minggu ke-7 gestasi, memiliki tiga lapisan
penyusun, yaitu lapisan mukosa, submukosa dan muskularis. Esofagus tidak
memiliki lapisan serosa. Perkembangan embriologi dari lapisan muskularis
esofagus dipengaruhi oleh factor-faktor yang merangsang transformasi
mesenkimal. Sepertiga atas esofagus, memiliki otot lurik yang dipengaruhi oleh
control oleh control volunteer, yang berasal dari mesenkim lengkung ke-4, 5 dan
6 faringeal bagian kaudal, dan hal ini juga yang menjelaskan inervasi dari daerah
ini yang dipengaruhi oleh nervus laringeus rekuren dan nervus vagus. Dua pertiga
bagian bawah esofagus, dikelilingi oleh otot polos dibawah control otonom, yang
berasal dari mesenkim somatik yang mengelilingi foregut. Diferensiasi otot polos
ini dimulai setelah sel-sel neural crest berkolonisasi membentuk intestinal.
Esofagus mulai melakukan peristaltik pertama kali saat trimester pertama. Ketika
bayi baru lahir, peristaltik esofagus belumlah matang sepenuhnya, hal ini yang
menyebabkan seringnya terjadi regurgitasi makanan pada bayi.

Terdapat dua buah sfingter yang mengatur makanan masuk melewati


esofagus, yaitu sfingter esofagus atas (UES = upper Eshophageal Sphincter), yang
merupakan suatu sfingter yang fisiologis (LES = lower Eshophageal sphincter).
Sfingter esofagus bagian atas ini, terdiri otot-otot konstriksi krikofaringeus dan
faringeal inferior, sedangkan dengan komponen otot yang membentuk esofagus
tersebut.

Aliran darah pada esofagus juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu, aliran
darah ke daerah proksimal, di daerah servikal esofagus, didapatkan dari arteri
tiroidalais inferior, yang merupakan cabang dari arteri subklavia, dan kelanjutan
dari cabang brakhialis ke-4. Vaskularisasi esofagus di daerah torakal didapatkan
dari cabang langsung aorta descenden, dimana pleksus submukosannya sangat
baik sehingga memungkinkan dilakukannya mobilisasi yang eksensif tanpa
mengganggu suplai darah ke daerah tersebut. Adapun bagian yang terakhir adalah
vaskularisasi esofagus bagian abdominal, didapat dari cabang arteri frenikus dan
pembuluh-pembuluh darah gaster, yang membentuk anyaman, sehingga sulit
dilakukan mobilisasi yang ekstensif di bagian distal tersebut.
3.1.4. Epidemiologi
Angka kejadian atresia esophagus dengan atau tanpa fistel trakeoesofageal
yaitu 1 dalam setiap 2500 sampai 4500 kelahiran hidup. Artinya, dengan jumlah
penduduk Indonesia 240 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan
setiap tahunnya akan lahir 1867-3360 bayi dengan atresia esophagus dengan atau
tanpa fistel trakeoesofageal. Oleh karena itu pengenalan terhadap risiko-risiko
penyebab tingginya angka mordibitas dan mortalita, serta penanganan lanjut dapat
menurunkan kejadian risiko-risiko tesebut sangat diperlukan.
3.1.5. Etiologi
 Penyebab atresia kongenital esofagus dan trakeoesofagus tidak diketahui.
Diperkirakan insidensinya berkisar dari 1 dalam 3000 kelahiran hidup hingga
1 dalam 3500 kelahiran hidup. Insidensis seksual tampaknya sama, namun
kelahiran berat badan kebanyakan bayi yang terkena malformasi ini lebih
rendah secara bermakna dibandingkan berat badan bayi rata-rata, insidensi
tinggi yang tidak lazim dari prematuritas yang abnormal terdapat di antara
bayi-bayi yang menyandang atresia esophagus. Anomali kongenital lainnya
seperti sindrom VATER atau VACTERL dapat terjadi. Sindrom ini meliputi
kombinasi abnormalits vertebra, anorektal, kardiovaskular, trakeoesofagus,
renal, dan ekstremitas. (Wong/ Donna L. Wong, 2008 : hal 1037)
 Esofagus dan trakea terbentuk saling berdekatan satu sama lain selama 4-6
minggu kehidupan fetus. Defek pada mesenkim yang memisahkan kedua
struktur ini mengakibatkan fistula trakeoesofagus (FTE), dan seringkali
berkaitan dengan anomali lain (melibatkan ginjal, jantung, tulang belakang,
atau ekstremitas). Defek ini terjadi pada sekitar 1:3000 kelahiran hidup. FTE
tidak dipikirkan sebagai defek karena angka keseuaian (konkordansi) antara
kembar monozigot lemah.(Karen J, dkk, 2014, Nelson Ilmu kesehatan Anak
Esensial. Hal.469)

Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 %
jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab
genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esophagus menurut
sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan
tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut.

Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan


esophagus dapat terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka
fistula trakeoesofagus akan terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel
sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan belakang maka trakea akan membentuk
atresia esophagus.

Atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika bayi


memiliki kelainan kelahiran seperti :

 Trisomi
 Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia
duodenal, dan anus imperforata).
 Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan
patent ductus arteriosus).
 Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau
horseshoe kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia).
 Gangguan Muskuloskeletal
 Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, cardiac,
tracheosofagealfistula, ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening).
VACTERL – anomaly vertebra (70%), atresia ani (anus imperforata) (50%),
anomali jantung (30%), FTE (70%), anomaly ginjal (50%) dan anomaly
ekstremitas (polidaktili, defek lengan bawah, tidak adanya ibu jari,
sindaktili) (70%). (Karen J, dkk, 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Essensial hlm. 469)
 Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki
kelainan lahir
Atresia Esophagus dapat disebababkan oleh beberapa hal, diantaranya sebagai
berikut :

 Faktor obat  Salah satu obat yang dapat menimbulkan kelainan kongenital
yaitu thali domine .
 Faktor radiasi  Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin yang dapat menimbulkan
mutasi pada gen
 Faktor gizi
 Deferensasi usus depan yang tidak sempurna dan memisahkan dari masing
- masing menjadi esopagus dan trachea.
 Perkembangan sel endoteal yang lengkap sehingga menyebabkan terjadinya
atresia.
 Perlengkapan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga
terjadi fistula trachea esophagus
 Tumor esophagus.
 Kehamilan dengan hidramnion
 Bayi lahir prematur,

Tapi tidak semua bayi yang lahir premature mengalami penyakit ini. Dan
ada alasan yang tidak diketahui mengapa esefagus dan trakea gagal untuk
berdiferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu ke empat dan
ke lima. (Asuhan Keperawatan pada bayi atresia esophagus)

3.1.6. Klasifikasi
Klasifikasi tipe atresia esophagus dibuat oleh beberapa ahli, yang pertama adalah
oleh Vogt pada tahun 1929, Ladd pada tahun 1944, dan Gross di tahun 1953

1. Atresia esophagus dengan fistua trakeoesofageal distal (Gross C ,Vogt IIIb,


Ladd III), 85%-87%. Merupakan suatu kelainan yang paling sering terdapat,
dimana esophagus bagian proksiimal mengalami dilatasi, dan didnding
muscular menebal di daerah mediastinum superior setinggi vertebra torakal
II atau IV. Sedangkan esophagus bagian distal menipis dan menyempit,
memasuki dinding posterior trakea setinggi karina atau lebih sering terdapat
satu atau dua sentimeter lebih tinggi. Jarak antara kedua ujung esophagus
bervariasi, mulai dari overlapping sampai dengan jarak yang lebar (widegap).
2. Atresia esophagus yang terisolasi tanpa fistula (Gross A, Vogt II, Ladd I), 7%
insidensi. Bagian proksimal dan distal esophagus yang atretik tanpa disertai
adanya hubngan dengan trakea. Bagian esophagus yang proksimal, dilatasi
dengan penebalan pada dindingnya, dan biasanya berujung lebih tinggi dari
mediastinum bagian posterior, disekita vertebra torakal II. Bagian esophagus
yang distal lebih pendek dan memiliki ujung yang bervariasi diatas diafragma.
Jarak kedua ujung ini, akan menentukan apakan tindakan operasi primer dapat
dilakukan (sangat jarang) atau apakah suatu anastomosis bertahap atau
dengan penggantian esophagus (esophageal replacement) akan dilakukan.
3. Fistula Trakeoesofageal tanpa Atresia (Gross E atau H-Type, Vogt IV),
insidensi 4%. Tipe ini secara anatomis memiliki esophagus dengan trakea
intak, namun terdapat hubungan antara keduanya, dimana fistula yang
terdapat sangat kecil, berdiameter 3-5mm, dan biasanya berlokasi di region
servikal bagian bawah. Biasanya terdapat tunggal, namun pada laporan kasus
pernah didapatkan dua sampai tiga fistula pernah dilaporkan.
4. Atresia esophagus dengan fistula trakeoesofageal bagian proksimal (Gross B,
Vogt IIIA, Ladd II), insidensi 1%. Fistula terdapat pada 1-2 cm diatas ujung
esophagus proksimal pada dinding anterior esophagus.
5. Atresia esophagus dengan fistula trakeoesofageal bagian proksimal dan distal
(Gross D, Vogt IIIc, Ladd V), insidensi 1%. Pada beberapa neonates, anomaly
ini sering menjadi misdiagnosus dan diperlakukan sebagai atresia bagian
proksimal atau distal. (Leecarlo M. Lumban Gaol, dkk, 2016, Ilmu Bedah
Anak kasus harian UGD, Bangsal, & Kamar Operasi. hlm.12-13)
Gambar 2.4 Pembagian tipe atresia esophagus dengan atau tanpa fistula
trakeoesofageal bersama insidensi kejadian paling pada neonatus. (Clark DC.
Am Fam Physician 1999;59(4):910-6).

Terdapat variasi dalam atresia esofagus berdasar klasifikasi anatomi. Menurut


Gross of Boston, variasi atresia esofagus beserta frekuensinya adalah sebagai
berikut:

 Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%).
Kumpulan makanan dan cairan pada esofagus bagian atas menyebabkan
aspirasi ke dalam laring
 Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)
 Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
 Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)
 Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)
 Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)
Gambar 2.5 Variasi Atresia Esofagus

Pada anak-anak defek ini mengakibatkan air susu memasuki trakea baik secara
langsung (B,D, dan E) ataupun secara refluks (A dan C); hal ini menyebabkan batuk
dan sianosis selama pemberian ASI, dan diikuti terjadinya aspirasi
bronkopnemonia. Kelainan trakea yang berhubungan dengan bagian bawah
esofagus (C,D, dan E) mengakibatkan dilatasi lambung akibat penelanan udara.

1. Fistula trakeoesofagus dan atresia esofagus

Delapan puluh sampai 90% anak dengan anomali trakeoesofagus memiliki


kantong esofagus atas yang buntu dengan fistula antara segmen esofagus bawah
dan bagian bawah trakea di regio karina. Variasi umum yang lain adalah atresia
esofagus dengan dua kantong buntu. Tanpa adanya fistula trakeoesofagus dan
terdapat sebuah fistula antara esofagus dan trakea yang utuh. Mungkin manifestasi
yang samar dari keseluruhann spektrum anomali esofagus kongenital adalah
stenosis esofagus kongenital, yang mungkin terjadi akibat tidak adekuatnya
rekanalisasi lumen esofagus.

2. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus distal

Bayi sering memperlihatkan sekresi oral yang berlebihan, dengan episode


tersedak. Saat dilakukan usaha memasang selang nasogastrik untuk menghisap
lambung, selang tidak dapat dimasukkan kedalam lambung dan radiografi toraks
memperlihatkan bahwa kateter bergulung dikantong esofagus yang buntu.
Konstelasi temuan ini menyebabkan diangnosis atresia esofagus dengan fistula
trakeoesofagus dapat ditegakkan dengan kepastian yang tinggi.

Penanganan awal para bayi ini adalah insersi kateter orogastrik plastik lunak yang
berlumen ganda pada jarak 7 cm kedalam kantong esofagus atas yang buntu.
Memplester kateter dalam posisi ini dan menghubungkannya ketekanan negatif
yang rendah dan konstan agar air liur yang menumpuk dapat terus dikeluarkan
sehingga aspirasi dari atas dapat dicegah. Menjaga kepala tegak, akan
mempermudah drainase sekresi kedalam kantong untuk dihisap dan mencegah
refluks isi lambung kedalam paru.

3. Fistula esofagus tanpa atresia esofagus

Bayi dengan fistula “tipe- H” mugkin datang dengan serangan-serangan tersedak


sewaktu diberi makan selama masa neonatus, yang lain datang dengan serangan
tersedak persisten, batuk kronik, pneumonia mirip aspirasi yang berulang atau
jalan nafas yang reaktif. Diangnosis mungkin sulit; radiografi rutin disertai barium
sering tidak dapat mendeteksi fistula ini. Fistula paling baik diidentifikasi dengan
penetesan barium melalui ujung selang nasogastrik dengan tekanan moderat untuk
meregangkan esophagus sembari menarik secara berlahan selang dari lambung
kedalam esofagus. Tindakan ini cenderung memaksa fistula terbuka sehingga
dapat dilihat.mungkin diperlukan radiografi dan/atau esofagoskopi berulang dan
bronkoskopi untuk memastikan diangnosis. Pemotongan fistula secara bedah
dapat dilakukan melalui pendekatan servikal. Gastrostomi tidak diperlukan, dan
pasien umumnya tidak banyak mengalami morbiditas. Namun, fistula kadang-
kadang kambuh.

 Klasifikasi menurut Gross of Boston antara lain:


1. Tipe A
Didapati proksimal dan distal esophagus berakhir tanpa adanya hubungan
dengan trakea.Segmen esophagus dilatasi dan dindingnya menembal, biasanya
ujungnya terletak diposterior mediastinum setinggi vertebra thorakal 2.Esophagus
distal pendek dan berakhir dengan jarak yang berbeda-beda diatas diafragma.
2. Tipe B
Didapati adanya fistel trakeoesofagus bukan pada ujung kantong esophagus
yang dilatasi, tetapi kira-kira 1-2 cm diatas dinding anterior esophagus.
3. Tipe C
Merupakan tipe yang paling umum dan sering ditemukan, dimana
proksimal dari esophagus berdilatasi dan dinding muskularnya menebal, ujungnya
terleletak di superior mediastinum kira-kira setinggi vertebra thorakal 3 atau
4.Esophagus bagian distal yang lebih tipis dan sempit masuk ke dinding posterior
dari trakea pada carina.
4. Tipe D
Adanya fistel pada kedua ujung proksimal dan distal esophagus.
5. Tipe E
Adanya fistula antara esophagus dengan trakea.Fistula biasanya sangat
sempit 3-5 mm.
Klasifikasi menurut Joseph A Cox dalam buku ajar pediatric dibagi menjadi :
1. Atresia esophagus dengan fistula tracheoesophageal distal (Tipe C)
Merupakan gambaran yang paling sering proksimal esophagus, terjadi
dilatasi dan penembalan dinding otot berujung pada mediastinum superior
setinggi vertebra thorakalis 3 atau 4. Esophagus distal (fistel), yang mana lebih
tips an sempit, memasuki dinding posterior trakea setinggi carina atau 1-2 cm
diatasnya. Jarak antara esophagus prosimal yang buntu dan fistula
trakheoesofageal distal bervariasi mulai dari bagian overlap hingga berjarak
jauh.
2. Atresia Esofagus tanpa fistula trakeoesofagus( Tipe A)
Esophagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan
dengan segmen esophagus proksimal, dilatasi dinding menebal dan biasanya
berakhir dengan setinggi mediastinum posterior sekitar vertebra thorakalis
2.Esophagus distal pendek dan berakhir pada jarak yang berbeda diatas
diafragma. Pada bayi aatresia Esofagus tanpa fistula trakeoesofagus
memperlihatkan sekresi oral yang berlebihan serta mengiler.
3. Fistula trakeo tanpa atresia (Tipe E)
Terdapat hubungan seperti fistula anata esophagus yang secara anatomi
dengan trakea.Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/ sempit dengan
diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah.
Tipe E
Tipe C

Tipe B
Tipe A

Tipe D
3.1.7. Patofisiologi & Pathway
Embryogenesis atresia esophagus belum diketahui secara baik, bisa disebabkan
oleh radiasi yang mengakibatkan kelainan kongenital.Pada bentuk yang paling
sering ditemukan, bagian proksimal esophagus mempunyai ujung berupa kantung
buntu, sementara bagian distal berhubungan dengan trakea melalui fistula.
Atresia esophagus menahan jalannya cairan amnion yang normal menuju saluran
usus, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang banyak sekali di kantong
amnion (polihidramnion).Polihidramnion dapat menyebabkan kelahiran premature.
Janin mendapatkan banyak keuntungan nutrisi yang berasal dari mencerna cairan
amnion, sehingga janin dengan atresia esophagus mungkin memiliki berat badan
yang cukup kecil untuk usia mereka.
Pada periode post natal, bayi tidak akan mampu untuk menelan hasil sekresinya
sendiri, saliva ataupun makanan dan menghasilkan banyak air liur. Muntahnya
dapat masuk ke dalam jalan napas dan parenkim paru yang menyebabkan gangguan
respirasi.
Bila fistula menghubungkan trakea dengan esophagus distal, maka abdomen akan
terisi udara ketika bayi menangis atau saat mendapatkan ventilasi dan terjadi
distensi. Distensi ini cukup berat hingga menimbulkan kesulitan bernapas.Refluks
gastroenterofagus pada bayi dan EA/TEF distal umum terjadi dan terjadi
diakibatkan oleh imaturitas spinkter esophagus bagian bawah dan mortilitas
esophagus bagian bawah yang buruk.Refluks asam lambung atau kandung empedu
ke dalam traktus respiratori melalui fistula dapat menyebabkan pneumonia
kimiawi.
Trakea juga dipengaruhi oleh gangguan embryogenesis pada atresia
esophagus.Membrane trakea seringkali melebar dengan bentuk D bukan C seperti
biasanya.Perubahan ini menyebabkan kelemahan struktur anteroposterior trakea.
Kelemahan ini akan menyebakan gejala batuk dan dapat menyebabkan kolaps
parsial pada eksirasi penuh. Trakea juga dapat kolaps bila diberikan makanan atau
air susu dan ini menyebabkan pernapasan tidak efektif, hipoksia, pneumonia
aspirasi atau bahkan bisa menjadi apnea.
Biasanya Trakea dan Kerongkongan sepenuhnya lumen terpisah dengan ada
hubungan antara mereka. Oleh karena itu, anak dapat makan dengan baik tanpa
pernapasan apapun distress dan masalah dalam makan

Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini dapat
terjadi polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran
prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion, sehingga janin
dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.

Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan


banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur.
Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari
trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima
ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali
mematikan. Penelitian mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan
esofagus distal seringkali dismotil, dengan peristaltik yang jelek atau anpa
peristaltik. Hal ini akan menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah manipulasi
yang berkelanjutan menuju refluks esofagus.

Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada atresia


esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti
biasa. Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur
anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala
batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk
dibersihkan dan dapat menjurus ke pnemona berulang. Trakea juga dapat kolaps
secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks
gastroesofagus; yang daat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bakan apnea.

Menurut Price, Sylvia A. 2005. Atresia esophagus merupakan penyakit pada bayi
baru lahir dan merupakan kelainan bawaan. Resiko tinggi terhadap atresia
esophagus yaitu bayi baru lahir secara premature dan menangis terus disertai batuk-
batuk sampai adanya sianosis. Malformasi struktur trakhea menyebabkan bayi
mengalami kesulitan dalam menelan serta bayi dapat mengalami aspirasi berat
apabila dalam pemberian makan tidak diperhatikan.

Pada perkembangan jaringan,terjadi gangguan pemisahan antara trakhea dan


esofagus pada minggu ke 4 sampai minggu ke 6 kehidupan embrional. Resiko
tinggi dapat terjadi pada ibu hamil dengan hidramnion yaitu amniosentesis harus
dicurigai. Bayi dengan hipersaliva ; berbuih, sulit bernafas, batuk dan sianosis.
Tindakan pembedahannya segera dilakukan pembedahan torakotomi kanan retro
pleural.
3.1.8. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala Atresia Esofagus yang mungkin timbul:
 Batuk ketika makan atau minum
 Bayi menunjukkan kurangnya minat terhadap makanan atau
ketidakmampuan untuk menerima nutrisi yang cukup (pemberian makan
yang buruk
 Memiliki kesulitan bernapas
 Liur yang berlebihan (hipersekresi cairan dari mulut)
 Cairan lambung dapat masuk kedalah paru
 Sianosis sentral dan perifer
 Sering ditemukan arteri tunggal pada tali pusat
 Bayi dengan atresia esophagus memiliki riwayat polihidromion  tampak
liur, mucus dan saliva berbusa keluar dari hidung dan mulut.
 Biasanya disertai hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari anamnesis
didapatkan keterangan bahwa kehamilan ibu diertai hidramnion hendaknya
dilakukan kateterisasi esofagus. Bila kateter terhenti pada jarak ≤ 10 cm,
maka di duga atresia esofagus.

Tanda dan gejala pada Fistula Trakeoesophagus:


 Pasien FTE rentan mengalami pneumonia aspirasi, ketika diduga terdapat
FTE, asupan minum pertama harus ditunda sampai dilakukan
pemerikasaan penunjang diagnostic ((Karen J, dkk, 2014. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Essensial hlm. 469)
 Biasanya sianosis karena laringospasme yang disebabkan oleh aliran air
ludah (saliva) berlebihan dari kantong esophagus proksimal ke dalam
laring, keadaan ini biasanya akan kembali normal setelah sekret tersebut
dikeluarkan dari dalam orofaring dengan tindakan pengisapan.
 Posisi paling disukai bagi bayi baru lahir dengan suspek fistula
trakeoesophagus adalah berbaring terlentang (supinasio) dengan kepala
ditinggikan pada sebuah papan penyangga dengan sudut sedikitnya 30
derajat. Posisi ini akan meminimalkan refluks sekret lambung yang naik
sampai esophagus distal dan dapay memasuki trakea serta bronkus.
(Donna L. Wong, et al, Buku ajar keperawatan pediatrik hlm.1038)
 Pada FTE, cairan lambung juga dapat masuk ke dalam paru, oleh karena
itu bayi sering sianosis. Pemberian minum dapat menyebabkan batuk atau
seperti tercekik dan bayi sianosis.
 Jika terdapat FTE perut bayi tampak membuncit karena berisi udara.

3.1.9. Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi atresia esophagus dibagi atas dua kelompok yaitu
komplikasi segera dan komplikasi lambat.
 Komplikasi Segera
1. Kebocoran Anastomosis (Anastomosis Leakage)
Dari beberapa penelitian dan juga jurnal-jurnal, menyatakan bahwa
kebocoran anastomosis ini, memiliki insiden 17-35%, dari keseluruhan
kasus pascaoperasi atresia esofagus. Beberapa faktor ditenggarai
sebagai penyebabnya, yaitu eksternal, dalam artian teknik operasi
(tarikan yang berlebihan pada kedua ujung esofagus), kemampuan
operator dan waktu dilakukannya operasi. Adapun faktor internal yaitu
kondisi sistemik neonatus, iskemik pada kedua ujung esofagus.

2. Striktur esofagus
Didefinisikan sebagai adanya gejala-gejala disfagia, masalah respirasi
yang berulang, yang didapat dari adanya obstruksi benda asing, dan
penyempitan lumen esofagus, yang dipastikan dari hasil endoskopi atau
esofagografi dengan kontras. Faktor-faktor pencetus komplikasi ini
adalah, teknis anastomosis yang tidak baik, adanya penarikan kedua
ujung esofagus yang berlebih, anastomis dua-lapis, pengggunaan
benang silk/ziede. Insidensi komplikasi ini, bervariasi mulai dari 1%
sampai dengan 59% kasus.
3. Fistula Trakeoesofageal Berulang
Insidensi kejadian ini, bervariasi, mulai dari 3% samapi 15% pada
pasien atresia esofagus setelah operasi awal pemisahan atau ligasi.
Berulangnya fistula trakeoesofageal ini, ditenggarai akibat adanya
kebocoran anastomosis dengan inflamasi lokal dan adanya erosi
melalui tempat awal repair fistula. Beberapa teknik yang dapat
digunakan untuk meminimalisasi terjadinya fistula yang berulang ini,
adalah dengan menggunakan flap pleural, flap vaskularisasi perikardial,
dan flap vena azigos.

 Komplikasi Lambat
1. Refluk gastroesofageal (Gastroesophaeal Refluk Disease = GERD )
Merupakan komplikasi pascaoperasi atresia esofagus yang paling
umum ditemukan berkisar 30% sampai 70%. Diagnosis GERD,
ditegakkan apabila ditemukan gejala-gejala muntah, disfagia dan
stenosis anastomosis berulang, disertai dengan kesulitan menelan
makanan, ditambah dengan pemeriksaan Ph saliva -24 jam. Penanganan
komplikasi ini adalah dengan medikamentosa dengan pemberian agen-
agen pengurang asam, penghambat histamin-2 ( histamine-2 blockers),
dan inhibitor pompa proton (proton pump inhibitor). Jika
medikamentosa tidak membantu, maka akan dilakukan tindakan
operasi dengan fundoplikasi teknik Nissen.
2. Trakeomalasia
Tercatat, trakeomalasia ini pernah terjadi sampai dengan 75%
pascaoperasi atresia esofagus, tetapi umumnya, kejadian trakeomalasia
ini terjadi 10-15% pasien pascaoperasi atresia esofagus. Dan tindakan
penanganannya berupa aortopeksi atau gastropeksi.
3. Keganasan
Pada beberapa penelitian, yang dilakukan selama lebih dari 20 tahun
pengamatan, terhadap neonatus pascaoperasi atresia esofagus, ternyata
dapat terjadi karsinoma esofagus. Adenokarsinoma esofagus ini,
tampak pada usia 20 dan 22 tahun atau berkisar 21% pada keseluruhan
dewasa yang pernah menjalani operasi atresia esophagus saat neonatus.

Pada penelitian serial yang dilakukan di Finlandia, diteliti mengenai


kemungkinan kejadian keganasan pada pasien pascaoperasi atresia
esophagus ditenggarai oleh adanya komplikasi GER (Gastro
Esophageal Reflux) yang berulang, menyebabkan perubahan sel epitel
kolumner dari bentuk metaplasia menjadi dysplasia dan akhirnya
berubah enjadi adenokarsinom esophageal melalui jalur sekuensi
metaplasia-diplasia-karsinoma. Metaplasia kolumner pada esophagus
merupakan bentuk lesi preneoplastik, yang diakibatkan oleh GER.
Epitel kolumner esophagus merupakan kondisi patologis yang
merupakan karakteristik dari perubahan fenotipik dari sel skuamosa
bertingkat menjadi epitel kolumner.

Adapun komplikasi lain setelah tindakan operasi pada atresia esophagus dan fistula
atresia esophagus ;
a) Dismotilitas esophagus  Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin
esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini.
Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum.
b) Disfagia atau kesulitan menelan  Disfagia adalah tertahannya makanan pada
tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air
untuk tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
c) Kesulitan bernafas dan tersedak  Komplikasi ini berhubungan dengan
proses menelan makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam
trakea.
d) Batuk kronis  Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan
atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
e) Meningkatnya infeksi saluran pernafasan  Pencegahan keadaan ini adalah
dengan mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan
daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.

3.1.10. Tes Diagnostik

Gambar 2.6 Babygram neonatus dengan atresia esophagus dengan kecurigaan


fistel trakeoesofageal distal. Nampak panah kuning menunjukan selang
nasogastric yang melingkar, tidak dapat masuk ke dalam lambung. (Sumber :
Buku Ilmu Bedah Anak : Kasus Harian UGD, Bangsal dan Kamar Operasi
hlm.14)

 Hasil Sonogram Ibu : terdapat polihidramnion


 Memasukan selang kateter nasogastric tube atau feeding tube yang
radiopaque berukuran 8 French atau 10 French melalui mulut atau hidung.
Pada pasien atresia esophagus, biasanya selang ini akan berhenti pada
kedalaman 10 sampai 12 cm (Gambar 2.6). Pada bayi normal, jarak mulai
dari mulut sampai dengan ke kardia gaster, kurang lebih 17 cm.
 Kemudian untuk melengkapi data, dilakukan pemeriksaan radiologi
keseluruhan tubuh bayi, mencakup toraks dan abdomen, dari posisi
anteroposterior dan lateral. Pada pasien atresia esophagus, adanya
gambaran udara di gaster pada foto abdomen, menunjukan tidak adanya
atresia duodenum.
 Gambaran foto toraks memberikan informasi mengenai bayangan jantung,
posisi lengkung aorta, da nada atau tidaknya kelaia pada vertebra dan tulang
iga, termasuk juga ada atau tidaknya gambaran infiltrat pulmonari.
 Beberapa pusat penelitian di luar negeri juga melakukan pemeriksaan
ekokardiografi pada neonatus dengan atresia esophagus ini, untuk
menentuan ada atau tidaknya kelainan bawaan pada jantung, dan untuk
menentukan posisi dari lengkung aorta. Dimana pemeriksaan
ekokardiografi ini menemukan sekitar 2,5% bayi dengan atresia esophagus,
memiliki lengkung aorta ke sebelah kanan. Hal ini sangat diperlukan untuk
menentukan tindakan operasi torakotomi.
 Pemeriksaan paling sederhana untuk FTE adalah dengan memasang pipa
nasogastrik. Pipa nasogastrik akan terhambat setinggi letak atresia.
Konfirmasi dilakukan melalui foto toraks yang memperlihatkan pipa
melingkar di dalam lumen esofagus. Udara dapat dimasukkan melalui pipa
untuk melihat gambaran kantong atresia. Barium sebaiknya tidak
digunakkan karena risiko aspirasi sangat besar. Zat kontras larut air dapat
diberikan dalam jumlah kecil setelah di encerkan secara hati-hati.
 Pemeriksaan dengan menggunakan kontras, sangat jarang diperlukan,
walaupun dapat secara akurat menentukan posisi ujung distal esophagus
bagian proksimal, tetapi sering juga menimbulkan komplikasi aspirasi
pneumonia sampai dengan edema pulmoner reaktif.
 Foto X-ray
Hasil temuan pada pemeriksaan foto dada poteroanterior dan lateral
akan mengkonfirmasikan diagnose atresia. Pada atresia esophagus saja
ujung tabung akan terlihat terletak didalam esophagus dan tidak ada gas
yang terlihat di abdomen. Jika terlihat adanya gas dalam abdomen hal ini
menunjukkan adanya sebuah fistula tracheoesophageal.
Kewaspadaan yang tinggi harus diberikan jika cairan kontras
dimasukan ke kantung esophagus bagian proksimal.Yang pertama, hanya
sekitar 1 ml kontras cairan isotonic yang diserap harus digunakan untuk
mencegah masuknya cairan kontras masuk ke dalam jalan napas.Sebaiknya
digunakan kateter dengan lubang diujungnya.Yang kedua, jika terdapat
fistula di bagian atas kantung, cairan kontras langsung mengalir masuk ke
dalam jalan napas.Pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras adalah
pemeriksaan pilihan untuk menegakkan diagnosis.
 Kateter NGT
Pada atresia esophagus kateter masuk hingga esophagus. pada hasil foto X-
ray akan terlihat tabung nasogastric yang tergulung dikantong esophagus
bagian proksimal anak-anak yang mengalami atresia esophagus atau akan
terlihat ujung kateter yang tertahan.
 CT-Scan
CT tidak dipakai ada evaluasi dari EA, akan tetapi CT
menggambarkan 3 dimensioril (3D) dari kerongkongan dalam hubungan
dengan struktur berdekatan.
Diagnose dari EA dengan 3D CT sangat dapat dipercaya, dengan
100% sensitivity dan specificity.
 MRI
Tidak mempunyai peran rutin pada gambaran EA dan TEF, akan
tetapi, MRI memberikan kemampuan untuk meggambarkan seluruh panjang
dari esophagus pada kedua potongan saginattal dan coronal, dan MRI
mempunyai resolusi kontras yang lebih unggul dibandingkan CT scan. MRI
dapat digunakan untuk mendiagnosa bentuk cacat kongenital.Prenatal MRI
menggambarkan visualisasi dari lesi keseluruhan dan hubungan
anatomi.pada janin MRI mempunyai sensitivitas 100% di prenatal dalam
mendiagnosa EA di bayi resiko tinggi.
 Ultrasonografi (USG)
Prenatal sonografi adalah salah satu alat pemeriksaan berkala untuk
EA dana tau TEF. Penemuan ultrasonographic dapat tidak terlihat atau
terlihat lambung kesil dengan gelembung (stomach bubble) di kombinas
dengan maternal polihydramnion petanda dari EA da/ atau TEF.

3.1.11. Penatalaksanaan Medik


Penanganan atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus terdiri atas tindakan untuk
mencegah pneumonia serta pembedahan untuk mengoreksi anomali. Bila
terdapat kecurigaan adanya fistula trakeoesofagus, pemberian makanan per oral
bayi harus segera di hentikan dan pemberian cairan intravena (infus) dimulai. Bayi
harus di tempatkan dalam posisi yang paling kecil kemngkinannya untuk
menimbulkan aspirasi sekret yang berasal dari dalam mulut maupun lambung.
Pengeluaran sekret dari dalam rongga mulut dan kantong bagian atas memerlukan
tindakan pengisapan yang frekuen atau kontinu. Karena pnemonia aspirasi hampir
selalu tidak bisa dielakan dan timbul secara dini pada kasus ini, terapi antibiotik
bersprektum luas harus segera dilaksanakan.

Operasi primer untuk koreksi terdiri atas torakotomi dengan pemotongan serta
pengikatan fistula trakeoesofagus dan anastomosis esofagus end to end. Bagi bayi
prematur dengan anomali multipel atau dengan keadaan umum yang sangat jelek,
lebih disukai prosedur pembedahan bertahap yang meliputi gastrostomi, ligasi
fistula trakeosesofagus, dan pembuatan saluran untuk drainase kantong esofagus
yang kontinu. Anastomosis esofagus yang di tunda biasanya dibiasakan diupayakan
pelaksanaannya sesudah bayi berusia beberapa minggu ketika kantong
proksimalnya sudah memanjang sedangkan kantong distalnya mengalami
hipertrofi.

Teknik bougineage (proses pembusian dengan menggunakan alat logam yang


tumpul guna melebarkan fistula atau memperpanjang jaringan membranosa)
kantong proksimal dapat dilakukan untuk memperpanjang segmen ini. Jika
anastomosis esofagus masih belum dapat dikerjakan, maka dilakukan tindakan
esofagostomi servikal (untuk memungkinkan drainase saliva) dan gastrostomi.

Ada beberapa kasus yang jarng dijumpai saat anastomosis primer tidak dapat
dikerjakan karena panjang kedua segmen esofagus yang tidak mencukupi. Pada
kasus ini, defek tersebut harus dijembatani dengan interposisi kolon, slang gastrik
atau prosedur interposisi lambung. Intubasi endotrakea mungkin diperlukan karena
banyak di antara bayi-bayi ini yang juga mengalami trakeomalasia, yaitu
kelemahan pada dinding trakea yang terjadi ketika kantong proksimal yang
berdilatasi itu menekan trakea sejak awal usia janin atau ketika trakea tidak bisa
berkembang secara normal karena tidak adanya tekanan intratrakea.

Komplikasi pada operasi koreksi primer ini meliputi kebocoran pada tempat
anastomosis, pembentukan struktur akibat regangan atau iskemia, gangguan
motilitas esofagus yang menyebabkan disfagia, dan refluks gastroesofagus.
Gangguan motolitas sering terjadi sesudah dilakukan operasi koreksi atresia
esofagus atau fistula trakeoesofagus.
a. Penatalaksanaan pre operasi
1. Penentuan diagnosis dan tipe anomali
2. Evaluasi keadaan paru – paru, mengobati adanya masalah pada paru – paru
dan mencegah kontaminasi trakea lebih lanjut
3. Mencari dan bila memungkinkan sekaligus mengobati kelainan lain yang
berhubungan
b. Pendekatan operatif
1. Penyambungan end to end anastomose dilakukan pad bayi dengan analisa gas
darah yang normal, berat badan diatas > seribu dua ratus gram dan tidak ada
kelainan kongenital yang lain. Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana
fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit kemudian dibuat anastomosis
esophageal antara kedua ujung proksimal dan distal dari esophagus. Pada
atresia esophagus dengan trakeoesfageal hamper selalu jarak antara esophagus
proksimal dan distal dapat disambul lagi. Ini disebut dengan primary repair,
yaitu apabila kedua ujung esophagus dibawa dua ruas vertebra. Bila jaraknya
tiga sampai enam ruas vertebra, dilakukan primary delayed repair. Operasi
ditunda selama paling lama 12 minggu sambil dilakukan sunction rutin dan
pemberian makanan melalui gastrotomi, maka jarak kedua ujung esophagus
akan menyempit kemudian dilakukan primer repair. Apabila jarak kedua ujung
esophagus lebih dari 6 ruas vertebra, maka dicoba dilakukan tindakan diatas,
apabila tidak bisa juga maka esophagus disambung dengan menggunakan
sebagian kolon.
2. Perbaikannya berupa torakotomi dengan menutup fistula trakeoesofagus
3. Esofagogram dilakukan setelah 7 – 1 hari settelah operasi
4. Prediksi keberhasilan operasi sangat tergantung pada keadaan berat bayi,
beratnya disfungsi pulmonal, dan adanya kelainan kongenital yang lainnya.
c. Koreksi bedah
1. Koreksi esofagus primer dengan atau tanpa gastrotomi
2. Gastrotomi dengan koreksi beberapa waktu kemudian
3. Gastrotomi dengan pemisahan fistula atau prosedur bertahap lainnya
4. Tidak ada tindakan bedah segera
d. Perawatan pasca operasi
Merupakan perawatan suportif :
1. Antibiotika diberikan sampai beberapa hari
2. Pelepasan endotrake tube dapat dilakukan segera mungkin pada bayi yang sehat,
sedangkan bayi yang kecil dengan keadaan umum lemah diperlukan bantuan
respiratory untuk beberapa hari
3. Penghisapan melalui hidung harus dilakukan secara teratur untuk mencegah
terjadinya atelektasis. Hal ini dilakukan sampai bayi dapat menean ludah. Panjang
slang penghisap diukur agar jangan sampai merusak anastomose (kira– kira dari
hidung sampai ke daun telinga).
4. Drain toraks dipertahankan sampai sampai hari kesepuluh karena kebocoran dari
anastomose dapat terjadi sampai hari kesepuluh
5. Diet melalui mulut dapat dimulain bila bayi sudah dapat menelan ludah. Bila
terpasang gastrotomi maka pemberian diet sudah dapat diberikan segera setelah
bising usus pada pasca operasi. Ada yang melakukan esofagogram sebelum
memberikan diet per oral untuk melihat ada ata tidaknya kebocoran dan mengukur
diameter esofagus.
6. Bila terjadi kesulitan menelan atau muntah atau perkiraan terjadinya kebocoran
maka di lakukan esofagogram

3.1.12. Prognosis
Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada
paru. Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko, antara
lain berat badan lahir bayi, atau adanya kelainan kongenital lainnya yang
menyertai. Angka kelangsungan hidup terbaru dari setelah dilakukan operasi
perbaikan adalah sebesar > 90%.
3.1.13. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Keperawatan
1. Lakukan pengkajian pada bayi baru lahir
2. Identitas klien
3. Kaji riwayat sebelum kehamilan, khususnya polihidramnion
Polihidramion sering kali merupakan tanda pertama atresia esophagus
karena janin tidak dapat menela dan mengabsorpsi cairan amnion uterus
sehingga menyebabkan akumulasi.
4. Observasi manifestasi dari atresia esofagus dan fistula trakeoesofageal :
a) Sistem Pencernaan :Produksi air liur berlebihan (Bayi baru lahir
dapat mengeluarkan gelembung mucus yang berbusa dan banyak di
mulut dan hidung, disertai dengan mengeluarkan liur.
Tersedak, gangguan menelan, anoreksia, muntah dan rasa terbakar
di daerah esophagus dan distensi abdomen.
b) Sistem Pernapasan : Bayi baru lahir dapat mengalami respirasi
yang berisik (rattling), saliva berlebihan dan mengeluarkan air
liur, serta “Tiga C” (coughing, chocking, and, cyanosis [ batuk,
tersedak, dan sianosis]) jika pemberian makan coba dilakukan.
Apneu, kolaps, peningkatan distres pernapasan. Adanya fistula
meningkatkan risiko komplikasi pernafasan seperti pneumonitis
dan atelectasis akibat aspirasi makanan dan sekresi.
c) Sistem Integumen : Sianosis
d) Kaji dengan tes diagnostik (radiografi perut dan dada, kateterisasi
esophagus. Pada atresia esophagus, slang gastric tidak dapat
dimasukkan melebihi titik tertentu karena esophagus berakhir
dan tampak melengkung dalam kantong buntu. (mengindikasikan
atresia esophagus).
e) Distensi abdomen, karena udara menumpuk di lambung atau di
dalam saluran gastrointentinal (mengindikasikan adanya fistula
antara trakea dan esophagus).
f) Monitoring tanda-tanda vital.
3.2. Labio Palato Sczhizis
3.2.1. Pengertian
 Labio/palato skisis merupakan kongenital anomaly yang berupa adanya
kelainan bentuk struktur wajah. (Suriadi & Rita Y, 2010, Askep pada Anak)
 Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah langit-langit mulut/palatum)
merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam perkembangan embrio.
Keadaan ini serig dijumpai pada semua populasi dan dapat menjadi disabilitas
yang berat pada orang yang terkena. Keduanya dapat terjadi secara terpisah
atau yang lebih sering lagi, secara bersamaan. Labioskizis terjadi karena
kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis maksilaris dan mediana;
palatoskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum akibat kegagala
penyatuan kedua sisinya. (Donna L.Wong, 2008)
 Labiopalatoskisis (Celah bibir dan langit-langit) merupakan kelainan
kongenital berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Kelainan
bawaan yang dapat terjadi dimulut.
 Palatoskisis adalah asdanya celah pada garis tengah palate yang disebabkan
oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu.
(Asuhan kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus).
 LabioPalatoskisis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palatosisis (sumbing palatum), dan labiosisis (sumbing pada bibir) yang
terjadi akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embroil. (Aziz Alimul Hidayat, 2006)
 Jadi labio palato skisis (Bibir sumbing) adalah malformasi yang disebabkan
oleh gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama
perkembangan embriotik.
3.2.2. Embriologi
Labio palate schizis disebabkan oleh kesalahan pada proses perkembangan.
Tiga area yang terlibat dalam pembentukan bibir bagian atas yaitu prosessus
frontonasal yang terletak di tengah dan 2 tonjolan maksila yang terletak
dibagian lateral. Melalui sebuah langkah-langkah yang berurutan, prosessus
frontonasal berkembang menjadi premaksila. Pada janin yang telah berkembang
sempurna premaksila menjadi bagian tengah bibir atas, alveolus anterior, dan
palatum primer. Dua tonjolan maksila yang terletak dibagian lateral bertumbuh dan
berkembang menjadi bagian lateral bibir.
Prosessus frontonasal yang terletak di bagian tengah dan dua prosessus maksila
yang terletak di lateral membesar dan bersatu untuk membentuk bibir secara utuh.
Prosesus maksilaris bertumbuh dari posterolateral ke aanteromedial untuk bersatu
dengan prosesus frontonasal yang terletak di bagian sentral. Bibir bagian atas adalah
sebuah lengkungan dan prosesus frontonasal adalah dasarnya dan kedua prosesus
maksilaris adalah lengan dari lengkungan tersebut. Kegagalan penyambungan dapat
terjadi pada salah satu sisi dasar lengkungan ini sehingga defek celah bibir dapat
uniteral atau bilateral.
Bagian bibir atas berkembang selama minggu ke 4-6 gestasi, dimulai dengan
pembentukan prosesus frontonasal adalah sebuah tumpukan jaringan di tengah-
tengah muka yang sedang berkembang. Kemudian, muncul dua cekungan dangkal
pada masing-masing sisi tumpukan ini yang membentuk nasal placode. Setelah
itu, nasal placode menjadi lebih dalam untuk membentuk cavitas nasal dan
nasofaring. Cekungan yang dibentuk oleh nasal placode membentuk tonjolan pada
bagian lateral dan medial nasal placode. Secara keseluruhan, terdapat empat
elevasi nasal yaitu dua medial dan dua lateral. Kemudian, elevasi nasal medial
bergabung dan membentuk premaksila. Struktur ini membentuk dasar lengkungan.

Pada minggu ke-5 gestasi, kedua lengkungan maksila mulai membesar dan
bertumbuh ke arah garis tengah dimana mereka akan bergabung dengan tonjolan
nasal. Lengkungan maksila dibentuk oleh lengkungan brachial yang pertama.
Mereka mulai berkembang pada setiap sisi mulut primitive dan bergerak ke arah
tengah. Akhirnya, mereka cukup besar hingga dapat bertemu di kedua sisi
gabungan elevasi nasal medial. Penyatuan dikatakan lengkap ketika lekukan antara
tonjolan nasal medial dan tonjolan maksila dihilangkan oleh mesoderm. Kegagalan
penyatuan pada salah satu sisi elevasi nasal medial akan menyebabkan celah bibir.
3.2.3. Epidemiologi
Celah bibir (bibir sumbing) dan langit-langit dapat terjadi secara terpisah atau
bersamaan, dan mengenai sekitar dari 700 bayi. Celah (sumbing) lebih sering
ditemukan pada ras Asia (1:500) dan paling jarang padas ras Afro-Amerika
(1:2500). Celah ini terjadu dengan dua kemungkinan pola; defek tunggal celah
langit-langit pada palatum molle, atau celah bibir dengan atau tanpa celah pada
palatum durum. Pada defek tunggal celah langit-langit berisiko lebih tinggi terdapat
malformasi kongenital lainnya. Tipe kombinsi celah bibir/langit lebih banyak
ditemukan pada laki-laki.

3.2.4. Etiologi
Celah bibir disebabkan oleh hypoplasia jaringan mesenkim yang
selanjutnya menyebabkan kegagalan fusi. Terdapat komponen genetic yang kuat
risiko tertinggi terjadi pada anak dengan keluarga inti yang mengalami hal yang
sama. Kembar monozigot hanya menunjukan kesamaan sebanyak 60%, sehingga
menimbulkan dugaan terdapat faktor nongenom lainnya. Faktor lingkungan selama
getasi juga meningkatkan risiko, termasuk obat (fenitoin, asam valproate,
talidomid), ibu mengkonsumsi alkohol dan merokok, dioksin dan herbisida lain,
dan kemungkinan ketinggian dataran juga berperan. Sindrom kromosomal dan non
kromosomal berkaitan dengan kejadian celah, demikian juga gen spesifik pada
beberapa keluarga. (Karen J., dkk, 2014, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial).

Menurut Suriadi, 2010 Etiologi dari Labiopalatoskisis;


 Kegagalan fase embrio penyebabnya belum diketahui
 Faktor herediter
 Dapat dikaitkan dengan abnormal kromosom, mutasi gen, dan terato E (agen
atau faktor yang menimbulkan cacat pada masa embrio.
Faktor Resiko
1. Faktor Genetik
Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak dapat
ditentukan dengan pasti karena berkaitan dengan gen kedua orang tua. Diseluruh
dunia ditemukan hampir 25 – 30 % penderita labio palatoscizhis terjadi karena
faktor herediter. Faktor dominan dan resesif dalam gen merupakan manifestasi
genetik yang menyebabkan terjadinya labio palatoschizis. Faktor genetik yang
menyebabkan celah bibir dan palatum merupakan manifestasi yang kurang
potensial dalam penyatuan beberapa bagian kontak.

2. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional, baik
kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi foto maternal).
Zat –zat yang berpengaruh adalah:
 Asam folat
 Vitamin C
 Zn
3. Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat, vitamin C dan
Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat tersebut dibutuhkan dalam
tumbuh kembang organ selama masa embrional. Selain itu gangguan sirkulasi
foto maternal juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
4. Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik adalah:
Jamu.
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin,
terutama terjadinya labio palatoschizis. Akan tetapi jenis jamu apa yang
menyebabkan kelainan kongenital ini masih belum jelas. Masih ada
penelitian lebih lanjut
Kontrasepsi hormonal.
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, terutama
untuk hormon estrogen yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hipertensi sehingga berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan
sirkulasi fotomaternal.
Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama labio
palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
 Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
 Aspirin (Obat – obat analgetika)
 Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream
pemutih)
Faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
Labio palatoschizis, yaitu:
Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi
rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat
toksik yang terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu
pertumbuhan organ selama masa embrional.
Gangguan metabolik (DM). Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit
diabetessangat rentan terjadi kelainan kongenital, karena dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang
tinggi dapat berpengaruh padatumbuh kembang organ selama masa
embrional.h
Penyinaran radioaktif. Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak
dianjurkan terapi penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut
dapat mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.
Infeksi, khususnya virus (toxoplasma) dan klamidial. Ibu hamil yang
terinfeksi virus (toxoplasma) berpengaruh pada janin sehingga dapat
berpengaruh terjadinya kelainan kongenital terutama labio palatoschizis.
3.2.5. Klasifikasi
 Klasifikasi menurut struktur – struktur yang terkena menjadi :
a. Palatum primer : meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum
dibelahan foramen incivisium.
b. Palatum sekunder : meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap
foramen.
c. Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer
dan palatum sekunder dan dapat unilateral atau bilateral.
d. Kadang – kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini
mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot
palatum.

 Klasifikasi menurut organ yang terlibat :


1. Celah bibir (labioskizis)
2. Celah di gusi (gnatoskizis)
3. Celah dilangit (Palatoskizis)
4. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit
– langit (labiopalatoskizis).
 Klasifikasi menurut lengkap/ tidaknya celah yang terbentuk :
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang
berat, beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :
1. Unilateral incomplete : Jika celah sumbing terjadi hanya di salah
satu bibir dan tidak memanjang ke hidung
2. Unilateral complete : Jika celah sumbing yang terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan memanjang
hingga ke hidung
3. Bilateral complete : Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
(A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral
dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al. BMC
Medical genetics. 2004, 154.)

 Derajat Deformitas Bibir dan Palatum Sumbing


 Sumbing pra-alveolar, dimana melibatkan bagian bibir atau bibir dan hidung
(merupakan derajat keempat).
 Sumbing alveolar , dimana bibir sumbing mengenai bibir, tonjolan alveolar, dan
biasanya palatum(derajat ketiga).
 Sumbing pasca alveolar, dimana sumbing pada derajat ini hanya melibatkan
palatum (derajat pertama dan kedua).
3.2.6. Patofisiologi & Pathway
 Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang
selama fase embrio pada trimester pertama.
 Sumbing adalah terbelahnya/ bibir dan atau hidung karena kegagalan
proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan
6-8 minggu.
 Palato skisis adalah celah pada garis tengah palate yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu.
 Penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7 dan 8 minggu masa
kehamilan

Labio/palatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris


dan premaksilaris selama awal usia embrio. Labio dan palatoskizis
merupakan malformasi yang berbeda secara embrional dan terjadi pada
waktu yang berbeda selama proses perkembangan embrio. Penyatuan bibir
atas pada garis tengah selesai dilakukan pad kehamilan antara minggu
ketujuh dan kedelapan. Fusi palatum sekunder (palatum durum dan mole)
terjadi kemudian dalam proses perkembangan, yaitu pada kehamilan antara
minggu ketujuh dan kedua belas. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal,
palatum tersebut dipisahkan oleh lidah untuk waktu yang singkat. Jika
terjadi kelambatan dalam migrasi atau pemindahan ini, atau bila lidah tidak
berhasil turun dalam waktu yang cukup singkat, bagian lain proses
perkembangan tersebut akan terus berlanjut namun palatum tidak pernah
menyatu.
3.2.7. Manifestasi Klinis
1. Deformitas pada bibir
2. Kesukaran dalam menghisap/makan
3. Kelainan susunan archumdentis.
4. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
5. Gangguan komunikasi verbal
6. Regurgitasi makanan.

Pada Labio Skizis:


 Distorsi pada hidung
 Tampak sebagian atau keduanya
 Adanya celah pada bibir

Pada Palato Skizis:

 Tampak ada celah pada tekak (uvula), palate lunak, dan keras dan atau
foramen incisive
 Adanya rongga pada hidung
 Distorsi hidung
 Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
 Kesukaran dalam menghisap atau makan
 Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
 Gangguan komunikasi verbal

Pada sumbing yang luas, dan terutama bila disertai celah palatum, muncul
dua masalah; mengisap mungkin tidak efektif dan saliva serta susu dapat bocor ke
dalam ronggga hidung, dan mengakibatkan refleks gag atau tersedak ketika bayi
bernapas.

Bicara dapat terhambat dan bila berkembang, dapat ada hipernasalitas dan
artikulasi yang jelek. Sebagai akibat defisiensi pada fungsi otot palatum mole,
fungsi tuba eustachius dapat terganggu, dan keterlibatan telinga tengah memalui
otitis akut berulang atau otitis media menetap dengan efusi lazim terjadi.

Anak yang mengalami celah palatum sering berkembang infeksi sinus


masalis dan hipertrofi tonsil dan adenoid. Infeksi ini lazim terdapat bahkan sesudah
perbaikan bedah sekalipun, dan dapat turut menyebabkan sering terkenanya telinga
tengah.

3.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
 Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan
adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran
sehingga suara yang keluar menjadi sengau.
 Maloklusi( – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang
alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan
didaerah celah sering terjadi erupsi.
 Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya
celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat
terjadi otitis media rekurens sekunder.
 Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek
menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
 Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong
secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
 Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh,
sehingga kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran
pernafasan.
 Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada
bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan
terganggu. Akibatnya bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga
menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi.
 Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago ” dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan
asimetris wajah.
 Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah
yang tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat
aspek distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya
penyakit peri odontal.
 Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya
menonjol dan lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya
dapat menyebabkan terjadinya crosbite.
 Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum
serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri dan
citra tubuh.

3.2.9. Tes Diagnostik


Labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis dapat terlihat dengan mudah
pada saat lahir dan merupakan defek pada bayi yang menimbulkan reaksi
emosional yang berat bagi orang tuanya. Labioskizis bisa uniteral atau bilateral,
dan terdapat variasi pada luas celah serta derajat yang terpisah atau yang
menyertai labioskizis. Palatoskizis yang lebih jarang dijumpai daripada labiokizis
mungkin tidak dapat terdeteksi jika tidak dilakukan pemeriksaan yang cermat
untuk menilai rongga mulut bayi. Deformitas dapat dikenali dengan meletakkan
langsung jari tangan pemeriksa pada palatum. Celah pada palatum durum
membentuk lubang yang kontinu antara mulut dan kavum nasi. Intensitas
palatoskizis akan memberikan dampak pada proses menyusui; bayi tidak mampu
menghasilkan tekanan negative dalam kavum oral yang memberikan kepadanya
kemampuan mengisap air susu. Keadaan ini akan mempengaruhi pemberian
susunya kendati pada kebanyakan kasus, kemampuan bayi untuk menelan masih
normal.
a. Rontgen
 Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun
tidak terdapat skrining sistemik untuk celah orofasial. Diagnosa prenatal
untuk celah bibir baik unilateral maupun bilateral, memungkinkan
dengan USG pada usia janin 18 minggu. Celah palatum tersendiri tidak
dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG prenatal. KEtika diagnosa
prenatal dipastikan, rujukan kepada ahli bedah plastik tepat untuk
konseling dalam usaha mencegah.
 Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu menentukan perawatan
terbaik untuk seorang anak, khususnya jika celah tersebut dihubungkan
dengan kondisi genetik. Pemeriksaan genetik juga memberi informasi
pada orangtua tentang resiko mereka untuk mendapat anak lain dengan
celah bibir atau celah palatum.

b. Radiologi
 Pemeriksaan radiologi dilakukan dewngan melakukan foto rontgen pada
tengkorak. Pada penderita dapat ditemukan celah processus maxilla dan
processus nasalis media.

c. MRI untuk evaluasi abnormal


3.2.10. Penatalaksanaan
Tujuan dan intervensi bedah dan pembedahan adalah memulihkan struktur
anatomi, mengoreksi cacat dan memungkinkan anak mempunyai fungsi yang
normal dalam menelan, bernapas dan berbicara. Pembedahan biasanya dilakukan
ketika anak berumur ± 3 bulan, tetapi pada beberapa rumah sakit dilakukan segera
setelah lahir.

1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang
melibatkan bebera pa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya
kemajuan teknik bedah, orbodantis, dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir
tindakan koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari
berat ringan yang ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan
secara bertahap.
Biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila
bayi tersebut telah berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan
berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau
sistemis. Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Hal
itu mengacu pada Ralph Millard’s Rule Over Ten yaitu berat badan anak
harus lebih dari 10 pounds atau sekitar 5 kg atau usia bayi/anak lebih dari
10 minggu selain itu kadar hemoglobih darah harus 10 gr % dan jumlah
sel darah putih kurang dari 10.000 per mL. Pada kebanyakan kasus,
pembedahan pada hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia pubertas.
Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk dan derajat
cerat yang cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus
disesuaikan bagi masing-masing penderita.Waktu optimal untuk melakukan
pembedahan langit-langit bervariasi dari 6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan
pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah balon bicara dapat
dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga kontraksi otot-otot
faring dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan
balon tadi untuk menghasilkan penutup nasoparing.
 Prinsip perawatan secara umum;
1. Lahir : bantuan pernafasan dan pemasangan NGT (Naso Gastric Tube)
bila perlu untuk membantu masuknya makanan kedalam lambung.
2. Umur 1 minggu: pembuatan feeding plate untuk membantu menutup
langit-langit dan mengarahkan pertumbuhan, pemberian dot khusus.
3. Umur 3 bulan: labioplasty atau tindakan operasi untuk bibir, alanasi
(untuk hidung) dan evaluasi telingga.
4. Umur 18 bulan - 2 tahun: palathoplasty; tindakan operasi langit-langit
bila terdapat sumbing pada langit-langit.
5. Umur 4 tahun : dipertimbangkan repalatorapy atau pharingoplasty.
6. Umur 6 tahun: evaluasi gigi dan rahang, evaluasi pendengaran.
7. Umur 11 tahun : alveolar bone graft augmentation (cangkok tulang pada
pinggir alveolar untuk memberikan jalan bagi gigi caninus). perawatan
otthodontis.
8. Umur 12-13 tahun: final touch, perbaikan-perbaikan bila diperlukan.
9. Umur 17-18 tahun : orthognatik surgery bila perlu.

2. Pentalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan Pra-Operasi :
1) Fasilitas penyesuaian yang positif dari orangtua terhadap bayi.
a. Bantu orangtua dalam mengatasi reaksi berduka.
b. Dorong orangtua untuk mengekspresikan perasaannya.
c. Diskusikan tentang pembedahan.
d. Berikan informasi yang membangkitkan harapan dan perasaan
yang positif terhadap bayi.
e. Tunjukkan sikap penerimaan terhadap bayi.
2) Berikan dan kuatkan informasi pada orangtua tentang prognosis dan
pengobatan bayi.
a. Tahap-tahap intervensi bedah.
b. Teknik pemberian makan.
c. Penyebab devitasi
3) Tingkatkan dan pertahankan asupan dan nutrisi yang adekuat.
Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung pada derajat
deformitas yang dialami pada kasus ringan, ada kemungkinan memberi
ASI langsung kepada bayi. Jika tidak, pemberian susu botol mudah
dilakukan. Akan tetapi, bila menghisap susu dari botol sulit dilakukan
bayi, makanan dapat diberikan menggunakan sendok atau biarkan bayi
menghisap dari sendok.

a. Fasilitasi menyusui dengan ASI atau susu formula dengan botol


atau dot yang cocok. Monitor atau mengobservasi kemampuan
menelan dan menghisap dengan menggunakan obituary/ obturator
(feeding plate) terbuat dari bahan arkilik yang elastis, semacam gigi
tiruan tapi lebih lunak, jadi pembuatannya khusus dan memerlukan
pencetakan di mulut bayi.

b. Tempatkan bayi pada posisi yang tegak dan arahkan aliran susu ke
dinding mulut.
c. Arahkan cairan ke sebalah dalam gusi di dekat lidah.
d. Sendawakan bayi dengan sering selama pemberian makan
e. Kaji respon bayi terhadap pemberian susu.
f. Akhiri pemberian susu dengan air.
4) Tingkatkan dan pertahankan kepatenan jalan nafas.
a. Pantau status pernafasan
b. Posisikan bayi miring kekanan dengan sedikit ditinggikan
c. Letakkan selalu alat penghisap di dekat bayi.
5) Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan menjamin bahwa
pada masa pascabedah, anak tidak mengalami bahaya yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang telah ada ataupun yang masuk selama masa
bedah dan pascabedah .

b. Perawatan Pasca-Operasi (Labioplasty/ Palatoplastys)


1. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
a. Berikan makan cair selama 3 minggu menggunakan alat penetes
atau sendok.
b. Lanjutkan dengan makanan formula sesuai toleransi.
c. Lanjutkan dengan diet lunak
d. Sendawakan bayi selama pemberian makanan.
2. Tingkatkan penyembuhan dan pertahankan integritas daerah insisi
anak.
a. Bersihkan garis sutura dengan hati-hati.
b. Oleskan salep antibiotik pada garis sutura (Keiloskisis).
c. Bilas mulut dengan air sebelum dan sesudah pemberian makan.
d. Hindari memasukkan obyek ke dalam mulut anak sesudah
pemberian makan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
e. Pantau tanda-tanda infeksi pada tempat operasi dan secara
sistemik.
f. Pantau tingkat nyeri pada bayi dan perlunya obat pereda nyeri.
g. Perhatikan perdarahan, edema, drainase
h. Monitor keutuhan jaringan kulit.
i. Perhatikan posisi jahitan, hindari jangan kontak dengan alat-alat
tidak steril, misal alat tensi

3.2.11. Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang
telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan
tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko
terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan
perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari
celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu.
Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga
perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan adanya
dukungan publik dan politik tingkat yang relatif rendah untuk upaya
pengendalian tembakau. (Aghi et al.,2002). Banyak laporan telah
mendokumentasikan bahwa tingkat prevalensi merokok pada kalangan
perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat secara global pada dekade
terakhir (Windsor, 2002). Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, 12-14 juta
perempuan di seluruh dunia merokok selama kehamilan mereka dan, ketika
merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan hamil, dari total 130 juta
terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka (Windsor, 2002).
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi
tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan
memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom
alkohol fetal (fetal alcohol syndrome). Pada tinjauan yang dipresentasikan di
Utah Amerika Serikat pada acara pertemuan konsensus WHO (bulan Mei
2001), diketahui bahwa interpretasi hubungan antara alkohol dan celah
orofasial dirumitkan oleh biasa yang terjadi di masyarakat. Dalam banyak
penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping,
namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alkohol.25,30
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan
sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial
yang normal dari fetus.

4. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial sulit untuk
ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber
makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya
diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen lainnya yang juga
mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya celah orofasial. Folat
merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk
monoglutamat sintetis. Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting
pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat
memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam
proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan
lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang
embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil
memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti
bibir dan/atau langit-langit sumbing.
5. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah
orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian
juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin,
atau antagonis vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan
defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-
langit mulut sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban. Namun
penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6
dalam terjadinya celah.
6. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan
resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah
peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu
menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada
babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap
retinoid dan diet tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan
kraniofasial yang gawat. Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran
pada wanita di Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya
umum terjadi pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A
pada masa perikonsepsional.
7. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada
hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai
kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur). Teratogenesis karena
trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan
dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini
diketahui dari beberapa penelitian, namun tidak semua. Maka sebaiknya pada
wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait. Pekerjaan
ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam
kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah
orofasial.
8. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia
untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang
dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik
yang dilakukan pada percobaan pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun
1958 di Amerika Serikat namun penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan
tidak ada analisis statistik yang dilaporkan. Penelitian lainnya dalam usaha
memberikan suplemen multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan
di Eropa dan penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi
adalah efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi
untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian
pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak wanita
dengan resiko tinggi pada masa produktifnya.

3.2.12. Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat
dimodifikasi/ disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan
operasi saatusia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah
secara signifikan.Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang,
80% anak denganlabioschisis yang telah ditatalaksana mempunyai perkembangan
kemampuan bicarayang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan
menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-masalah berbicara pada
anak labioschisis.
3.2.13. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat kesehatan
 Riwayat kehamilan
Pasien menderita insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ
selama masa embrional. Pengaruh obat tetalogik termasuk jamu dan
kontrasepsi hormonal, kecanduan alkohol.
 Riwayat keluarga
Anggota keluarga apakah ada yang menderita kelainan yang sama
c. Inspeksi palatum, secara visual dan dengan menempatkan jari secara
langsung di atas palatum
d. Observasi perilaku makan
e. Observasi interaksi bayi-keluarga
f. Pemeriksaan fisik
1) Sistem Pencernaan : Deformitas pada bibir, kesukaran dalam
menghisap/makan, kelainan susunan archumdentus, BB menurun,
perut kembung
2) Sistem Persepsi sensori : Keadaan konjungtiva, skera, lensa,
kemampuan penglihatan, kepekaan penciuman, adanya
polip/hambatan lain pada hidung, adanya pilek.
3) Aktivitas/ istirahat : Sulit menghisap ASI, sulit menelan ASI,
Bayi rewel, menangis, Tidak dapat beristirahat dengan tenang dan
nyaman
4) Sirkulasi : Pucat, turgor kulit jelek
5) Nyaman/nyeri : Adanya resiko tersedak, disfungsi tuba
eustachius, adanya garis jahitan pada mulut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Labio palato skisis (Bibir sumbing) adalah malformasi yang disebabkan oleh
gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan
embriotik sedangkan atresia esophagus adalah kelainan atau kegagalan esophagus untuk
membentuk saluran dari faring kelambung.
Beberapa faktor menjadi penyebab dari kedua penyakit tersebut diantaranya faktor
lingkungan : tetragenik. Dimana, perilaku ibu ketika hamil menjadi penentu kesehatan sang
janin. Maka dari itu, harus dilakukan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil agar mengetahui
resiko yang akan terjadi jika perilaku atau nutrisi ketika hamil tidak baik. Hal tersebut
diharapkan bisa mengurangi klien atau anak dengan penyakit atresia esophagus dan labio
palate skizis.
Kedua penyakit ini seriatrng ditemukan dimasyarakat, maka dari itu sebagai tenaga
kesehatan kita harus mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada kedua penyakit
tersebut.

3.2 Saran
Kepada para ibu hamil sebaiknya lebih menjaga kondisi janin dengan memberikan nutrisi
yang baik serta tidak berperilaku yang menimbulkan resiko terhadap janin seperti merokok
dan mengkonsumsi alkohol untuk menghindari terjadinya penyakit seperti atresia
esophagus dan labio palato skizis.

DAFTAR PUSTAKA
Bobak,Jensen,lowdermilk.2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas.Jakarta:EGC
Dongoes Marylin.1999.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC

https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=etiologi+atresia+esofagus+pdf&start=20 (di unggah tanggal 13 april 2017 jam 20.08 wib)

Kyle Terri & Susan Carman . 2016 . Buku ajar keperawatan pediatric . Jakarta . EGC

M. Lumban Gaol, dkk. 2017 . Ilmu bedah anak . Jakarta . EGC

Mansjoer Arif.2001.Kapita selekta kedokteran,edisi ketiga jilid I. Jakarta:EGC

Marmi,S.ST,dan Kukuh Rahardjo . 2012 . Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah
. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Newman, Dorlan. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorlan. Jakarta: EGC

Ngastina. 2005.Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Ngastiyah . 2005 . Perawatan Anak Sakit . Jakarta . EGC


Rudolph. 2006. Buku Ajar pediatri Rudolph. Jakarta: EGC

Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak Gangguan gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta:
Salemba Medika

Wong Donna L. 2004 . pedoman klinis keperawatan pediatric . Jakarta : EGC

Wong,dkk.2008.Buku Ajar Keperawatan Pediatrik ed 6. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai