Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan gigi pada penderita cacat telah lama diabaikan, sedikit sekali
dokter gigi terekspos terhadap tantangan merawat penderita cacat ini. Tidak
banyak dokter gigi yang telah memperoleh pendidikan khusus dalam perawatan
gigi pada penderita cacat. Karena dasar rasa takut dari ketidakmampuan untuk
menghadapi situasi, mendorong banyak dokter gigi untuk menolak perawatan gigi
pada penderita cacat ini.
Jumlah penderita cacat di Indonesia oleh WHO diperkirakan antara 5-9%,
yang berarti 7-11 juta dari seluruh penduduk Indonesia, tetapi data yang tepat
belum ada. Beberapa keadaan yang menimbulkan kecacatan anatara lain :
1. Kebutaan total dan kebutaan sebagian.
2. Ketulian total dan ketulian sebagian
3. Kelainan jantung akibat demam reumatik atau cacat bawaan
4. Tuberkolose
5. Retardasi mental dan gangguan sosio-emosional
6. Ketidakmampuan ortopedik yang terutama disebabkan oleh dasar-
dasar neuromuscular.
Dari sudut pandang kedokteran gigi, bahwa penderita cacat mempunyai
banyak hambatan karena kurangnya kemampuan, termasuk perawatan oleh dokter
gigi. Kebutuhan perawatan gigi dari penderita cacat ini tidak banyak berbeda dari
perawatan penderita normal lainnya, tetapi tata pelaksanaan perawatan biasanya
lebih sulit. Penerimaan perawatan gigi dapat dipengaruhi oleh satu atau lebih
permasalahan medis, mental, fisik, dan emosi.
Kebutuhan dasar perawatan gigi pada penderita cacat dapat dicapai jika
objek dan sumber permasalahan yang terdapat di masyarakat dapat diketahui, dan
dapat ditangani melalui hasil-hasil suatu studi sistematis dari permasalahan yang
menyangkutnya. Kesulitan pelaksanaan perawatan gigi pada penderita cacat dapat
diatasi jika dokter gigi memperoleh pengetahuan yang baik dari kondisi
manifestasi fisik dan psikologis pasien. Tindakan perawatan gigi dan mulut dari
penderita cacat ini dapat ditempuh dengan cara yang sama pada penderita (anak)
normal. Sebagian besar penderita cacat ini mempunyai kesehatan mulut yang
buruk dari penderita normal.
Banyak kemajuan dalam bidang kesehatan telah dicapai pada dua dekade
ini, banyak anak yang semestinya meninggal pada usia muda, sekarang dapat
tumbuh sampai dewasa. Kelompok penderita cacat makin meningkat, karena
kemajuan ilmu kedokteran yang dapat memperpanjang usia hidup mereka.
Dengan semakin tingginya kesadaran terhadap masalah kesehatan gigi dan
mulut oleh orang tua dan para medis, maka banyak penderita cacat ini telah mulai
berobat ke praktek dokter gigi, dan memerlukan bukan saja perawatan darurat,
tetapi pemeliharaan berkala yang baik dan teratur.
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain adalah :
Untuk mengetahui beberapa jenis kecacatan yang tersebar di
masyarakat khususnya anak-anak baik kecacatan fisik dan
gangguan mental
Untuk Mengetahui beberapa gambaran kesehatan gigi dan mulut
pada anak penderita cacat.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai masalah penanganan
kesehatan gigi dan mulut pada anak penderita cacat.
BAB II
PEMBAHASAN
Kelainan pada anak terjadi akibat perkembangan abnormal yang dialami
oleh anak tersebut dalam fase tumbuh kembangnya, fase ini tidak hanya terbatas
pada keadaan postnatal dari anak tersebut, tetapi kondisi prenatal juga
berpengaruh penting terhadap perkembangan abnormal yang dialami oleh anak.
Perkembangan dilukiskan sebagai suatu proses yang dinamis, oleh karena
itu jika terjadi ketidakdinamisan perkembangan maka akan terjadi gangguan
perkembangan. Gangguan perkembangan ini sering disebut sebagai kecacatan
atau handicap. Kecacatan dapat berupa fisik, cacat mental, cacat motorik, cacat
social dan lain sebagainya. Tidak jarang kecacatan itu dianggap sebagai kesalahan
orang tua, misalnya: anak yang lahir dengan tangan yang tidak normal
dihubungkan dengan dosa orangtua yang pernah mencelakakan orang lain dan
memotong tangannya pada saat istrinya sedang hamil.
Gangguan perkembangan antara lain meliputi gangguan fisik dan
psikomotorik, gangguan fungsi intelektual dan gangguan yang nampak pada
prilaku psikososial dan moral yang dicakup dalam pengertian devisiensi. Untuk
lebih jelasnya akan diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut:
2.1 Gangguan Fungsi Fisik dan Motorik
Menurut Sukarman, cacat fisik adalah cacat yang ada hubungannya
dengan tulang sendi dan pergerakan otot. Cacat fisik adalah jenis cacat dimana
salah satu atau lebih anggota tubuh bagian tulang atau persendian mengalami
kelainan, sehingga timbul rintangan dalam melakukan fungsi gerak. Cacat fisik
seperti ini disebut ortopedi. Sedangkan menurut kedokteran, disebutkan bahwa
cacat tubuh adalah kelainan pada anggota gerak yang meliputi tulang, otot dan
persendian baik dalam struktur maupun fungsinya sehingga dapat menjadi
rintangan pada penderita untuk melakukan kegiatan secara layak.
Sementara itu analitasi (1995) menyatakan bahwa gangguan fungsi fisik
dan psikomotor pada umumnya disebabkan pada kerusakan-kerusakan otak atau
organ perifer yaitu kerusakan pada susunan syaraf pusat atau pada anggota badan,
urat daging atau panca indra. Dalam ruang lingkup ini sering digunakan
terminology cacat (handicap) dan meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Impairement
Adalah suatu kehilangan atau keadaan abnormalitas dari psikis atau fisik
baik struktur atau fungsinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan
mata yaitu buta keseluruhan maupun sebagian, gangguan pendengaran baik yang
sukar mendengar maupun tuli, gangguan bicara atau tuna wicara, dan lumpuh atau
tuna grahita. Beberapa sebab kecacatan antara lain cacat fisik sejak lahir yang
disebabkan oleh pemakaian obat-obatan tertentu pada ibu hamil; cacat karena
trauma pada proses persalinan (misalnya paralisa plexus brakhialis, cacat karena
kecelakaan, dsb)
b. Disability
Adalah suatu hambatan atau gangguan dari kemampuan untuk
melaksanakan aktifitas yang biasanya dapat dikerjakan oleh orang yang normal
sebagai akibat dari impairement.Macam/Jenis Cacat Pada Manusia (Disabilitas) :
1. Buta (Tuna Netra)
Orang buta adalah orang yang tidak bisa melihat dengan kedua
matanya. Orang yang buta bisasnya memiliki kemampuan mendeteksi benda-
benda yang ada di sekitarnya dengan memaksimalkan kemampuan
pendengarannya lewat suara atau getaran yang didengarnya. Selain buta total, ada
juga orang yang mengalami kebutaan parsial yang tidak dapat mengidentifikasi
tes menghitung jumlah jari dari jarak tiga meter.
2. Tuli (Tuna Rungu)
Orang tuli adalah orang yang tidak memiliki kemampuan mendengar
sebagaimana orang normal pada umumnya. Orang yang mempunyai cacat
pendengaran yang belum parah masih bisa menggunakan alat bantu pendengaran
sehingga bisa kembali mendengar dengan baik.
3. Bisu (Tuna Wicara)
Orang bisu adalah orang yang tidak bisa berbicara dengan orang
lain. Orang yang bisu biasanya disebabkan oleh masalah pendengaran sejak lahir
yang tidak terdeteksi sehingga menyebabkan anak menjadi kesulitan
untuk belajar berbicara dengan normal. Seseorang bisa juga mengalami bisu
selektif yang hanya menjadi bisu ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi
tertentu.
3. Cacat Fisik (Tuna Daksa)
Orang yang tuna daksa adalah orang yang mengalami kecacatan fisik,
cacat tubuh, kelainan, kerusakan dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh
kerusakan otak, kerusakan syaraf tulang belakang, kecelakaan, cacat sejak lahir,
dan lain sebagainya. Contoh yang paling mudah dari tuna daksa adalah orang
yang tangannya buntung, kakinya buntung, lumpuh, kakinya kecil sebelah, dan
lain sebagainya.
c. Handicaped
Adalah suatu kerugian yang diderita oleh individu akibat impairement dan
disabiility. Kerugian ini dapat timbul dari dirinva sendiri (intrinsik handicapped )
dan dapat puia timbul dari lingkungan ( Extrinsik handicapped).
2.2 Gangguan Mental/ Cacat Mental
a. Sindroma Down
Sindrom Down merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk
saling memisahkan diri saat terjadinya pembelahan. Kelainan kromosom ini
dipengaruhi oleh umur ibu, kelainan kehamilan , kelainan endokrin pada ibu.
Gambaran umum rongga mulut anak sindroma down
Oral hygiene sesuai dengan meningkatnya usia, baik pada lidah maupun bibir
terbentuk celah dan fissure. Ini merupakan hasil dari mouth breathing yang kronis.
Pembentukan fissure pada lidah dapat menjadi berat dan merupakan faktor
konstribusi pada terjadinya halitosis.Pasien diinstruksikan untuk menyikat pada
saat menyikat gigi. Pernapasan mulut kronik lainnya dapat menurun dalam saliva
dengan mengeringnya mulut. Terjadi penurunan pembersihan alamiah pada
kavitas mulut dapat menjadi faktor konstribusi pada perkembangan karies.
Pernapasan melalui mulut dapat menyebabkan iritasi pada sudut mulut ( angular
cheilitis ).
a) Keadaan jaringan lunak
menurunnya muscule tone umumnya ditemukan pada sindroma down. Hal
ini mempengaruhi otot-otot kepala dan rongga mulut sesuai dengan otot-otot
tengkorak yang lebar. Menurunnya muscule tone pada bibir dan pipi
memepengaruhi tekanan yang tidak seimbang pada gigi dan tekanan pada lidah
menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan terjadinya open bite pada penderita
sindroma down. Selain itu, berkurangnya muscule tone menyebabkan efisiensi
mengunyah dan natural cleansing dari gigi. Kemungkinan makanan tertinggal
pada gigi setelah makan yang diakibatkan oleh pengunyahan yang tidak
sempurna.
Insiden dari mouth breathing sangat tinggi disebabkan oleh jalan nasal
yang kecil. Lidah dapt protrusi dan membesar atau makroglosia atau berfissura
pada permukaan dorsal 2/3 anterior dengan panjang dan kedalaman yang
bervariasi. Pada penderita sindroma down, hal ini dapat terjadi dengan kombinasi
geographic tongue. Permukaan dorsal lidah biasanya kering dan merekah serta
tepinya mempunyai pola cetakan gigi yang dinamakan scalloped tongue.
Kebiasaan menjulurkan lidah selama waktu minum, menghisap dot,
makan, dan bicara terjadi pada lidah hipotonus. Jaringan lidah pada bagian tengah
bersifat hipotonus dengan cekungan berlebihan dibagian 2/3 anterior lidah dan
hipotonus pada frenulum lidah. Makroglosia sebenarnya sangat jarang ditemukan,
makoglosia hanya relatif ditemukan bilamana lidah berukuran normal tetapi
ukuran rongga mulut yang kecil disebabkan karena tidak berkembangnya
pertumbuhan dari wajah bagian tengah.
Pada pemeriksaan palatum penderita sindroma down terlihat sempit
dengan cekungan yang tajam. Cekungan tersebut normal tingginya, namun ukuran
dari palatum durum yang abnormal tebal. Keadaan ini mengakibatkan kurangnya
ruangan pada kavitas oral untuk lidah, yang akan mempengaruhi fungsi bicara dan
mastikasi.
b) Keadaan jaringan keras
Erupsi gigi pada anak sindroma down biasanya tertunda. Waktu erupsi
berbeda-beda bagi anak sindroma down dan beberapa anak, gigi primernya tidak
erupsi hingga berumur 2 tahun. Pada beberapa kasus masalah erupsi dapat
disebabkan oleh gingival hiperplasia yang dihasilkan dari beberapa medikasi
seperti phenytoin dan cyclosporin. Pemeriksaan gigi secara rutin pada saat anak
sindroma down berumur satu tahun dapat membantu dalam mengidentifikasi
ketidakteraturan pola erupsi gigi.
Bruksism terjadi pada anak sindroma down dan dapat dipicu oleh
maloklusi gigi, disfungsi TMJ dan tidak berkembangnya nervus kontrol.
Mikrodontia dan malformasi gigi juga dapat ditemukan. Crowding yang berat
dapat terjadi pada penderita sindroma down yang telah erupsi semua gigi
permanennya.
Masalah kesehatan rongga mulut pada sindroma down
Orang-orang dengan sindrom down tidak memiliki masalah rongga mulut yang
unik. Akan tetapi, beberapa masalah cenderung sering terjadi dan bisa menjadi
parah. Perwatan professional secara dini dan perawatan harian di rumah dapat
mengurangi keparahannya dan membuat penderita sindroma down memiliki
perbaikan kesehatan rongga mulut.
c) Penyakit periodontal
Merupakan masalah rongga mulut yang paling utama pada penderita
sindrom down, dimana anak cepat mengalami penyakit periodontal. Sebagai
akibatnya, kehilangan banyak gigi permanen anterior di usia muda. Faktor lain
yang mendukung termasuk oral hygiene buruk, maloklusi, bruksism, bentuk akar
yang konus, dan respon host yang abnormal, karena sistem imun yang menurun.
d) Karies gigi
Anak-anak dan dewasa muda penderita sindrom down memiliki insidensi
lebih tinggi terkena karies dibandingkan dengan orang tanpa cacat mental.
Beberapa gambaran rongga mulut anak dengan sindroma down menunjukkan
bahwa erupsi gigi sulung dan permanen yang terlambat, kehilangan gigi permanen
dan ukuran gigi yang kecil dengan space atau jarak satu sama lain yang
memberikan kemudahan untuk menghilangkan plak.
e) Maloklusi
pada sebagian besar penderita sindrom down ditemukan maloklusi karena
erupsi dari gigi permanen yang terganggu dan tidak berkembangnya maksilla.
Kecilnya maksilla menyebabkan terjadinya open bite, posisi gigi yang jelek dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit periodontal dan karies gigi.
f) Anomali gigi
Keadaan anomali gigi umumnya terjadi pada sindrom down misalnya
kongenitalis missing teeth lebih sering terjadi pada penderita sindrom down
daripada populasi umum. Gigi yang lebih sering tanggal umumnya insisivus
lateral dan premolar kedua rahang bawah.
Penanganan gigi dan mulut pada penderita sindroma down
Pada penderita sindroma down dapat ditemukan adanya perubahan mental dan
fisik yang akan berpengaruh pada rongga mulut sebelum menentukan perawatan,
medical history pasien harus diketahui. Konsultasi antara dokter, keluarga dan
perawat sangat penting unutk mendapatkan medical history yang akurat. Selain
itu, harus ditentukan siapa yang akan dimintai informed consent untuk
pelaksanaan perawatan pasien sindroma down.
Secara umum penanganan gigi dan mulut untuk sindroma down yang
dapat dilakukan dokter gigi:
1. Speech Pathologist dapat menolong untuk mengajari posisi lidah
dan meningkatkan penyesuaian terhadap otot-otot orofacial. Pada
kasus-kasus berat, pembedahan lidah dapat diindikasikan.
2. Alat orthodonsi diperlukan unutk mengawasi pencabutan gigi pada
saat penanganan crowding.
3. Ahli anastesi diperlukan pada kasus-kasus tertentu yang
memerlukan perawatan yang lebih luas, dengan obat-obatan anastesi,
baik sedasi ringan maupun anastesi umum.
4. Ahli gizi menginstruksikan kepada orang tua atau penjaga anak
tentang makanan siplemen, sehubungan dengan keterbatasan otot-otot
pengunyahan anak sindroma down.
Secara khusus penanganan gigi dan mulut anak sindroma down yang dapat
dilakukan dokter gigi:
Tindakan preventif
a. Pemberian fluor
Pemberian fluor secara sistemik pada anak sindroma down dapat
berbentuk cairan, tablet maupun obat kumur. Pemberian fluor dengan topikal
diberikan setelah pembersuhan gigi yang rutin.
b. Kontrol Plak
Dalam hal ini perlu diperhatikan diet anak sindroma down termasuk disini
adalah kualitas makanan dan macam makanannya. Meskipun umumnya anak
sindroma down cepat menelan makanannya dengan hanya sedikit mengunyahnya,
tetapi sisa makanan sering kali masih terkumpul disekitar giginya, terlebih dengan
keadaan hipotonia ototnya, maka sulit dicapai self cleansing yang baik. Untuk itu
obat kumur dapat digunakan unutk membantu membersihkan sisa makanan
tersebut, disamping obat kumur berperan sebagai antiseptik.
c. Scalling dan root planing
Keberadaan calculus supra dan subgingiva, inflamasi gingiva dan poket
periodontal (lebih besar atau sama dengan 5 mm) dan kehilangan tulang alveolar
ditemukan pada anak-anak (10 19 tahun) dengan sindroma down pada grup
kontrol berdasarkan usia dan jenis kelamin. Anak-anak sindroma down menderita
oleh karena inidensi yang tinggi dari penyakit Rapid Destructive Periodontitis
yang dapat disebabkan oleh faktor lokal, seperti morfologi gigi, bruksism,
maloklusi dan oral hygiene yang rendah. Faktor-faktor sistemik tertentu diyakini
memberikan konstribusi yang penting terhadap penyakit periodontal, seperti
sistem sirkulasi yang buruk, penurunan respon humoral, kemunduran fisik secara
umum pada usia dini, dan pengaruh genetik.Oral hygiene yang bagus dan semi
annual prophylaxis appoitment mungkin tidak mencukupi untuk mencegah
terjadinya penyakit periodontal pada pasien ini. Perawatan yang cepat dan agresif
diperlukan. Pasien ini perlu dikontrol sedikitnya 3 bulan sekali untuk scaling dan
root planing dan juga menguntungkan bila diberikan obat kumur Chlorhexidine
dan terapi antibiotik sistemik.
d. Penutupan pit dan fissure sealant
Penutupan pit dan fissure sealant secara efektif dapat mengurangi karies
oklusal. Sealant cocok digunakan dalam populasi anak sindrom down dan
sebaiknya digunakan apabila dibutuhkan. Pasien yang membutuhkan prosedur
gigi dibawah anastesi umum sebaiknya memiliki pit dan fissure oklusal yang
dalam yang direstorasi dengan amalgam atau komposit pemakaian jangka panjang
untuk mencegah kerusakan gigi lebih lanjut.
Tindakan kuratif
a. Pemberian tumpatan
b. Pencabutan gigi
Tindakan rehabilitatif
a. Perawatan orthdonsi
b. Pembuatan gigi tiruan
Pemberian tumpatan, pencabutan gigi, perawatan orthodonsi dan
pembuatan gigi tiruan dapat dilakukan sama seperti halnya anak normal. Namun
hal yang perlu diingat adalah penderita sindrom down mempunyai masalah
retardasi mental dan hipotonia otot yang perlu penanganan khusus dalam
perawatan. Masalah tersebut menyangkut komunikasi, kooperatif anak, mulut
yang selalu terbuka, lidah yang menjulur atau saliva yang berlebihan. Untuk anak
yang masih kecil sering kali dilakukan perawatan dengan knee to knee, yaitu
dokter gigi dan orang tua duduk berhadapan dengan lutut saling beradu dan anak
ditidurkan diatas pangkuan sehingga perawatan dapat dilakukan dengan lebih
stabil.
Perawatan ortodontik pada anak-anak sindroma down perlu
dipertimbangkan secara hati-hati karena beberapa mungkin menguntungkan
sementara yang lainnya tidak. Kemampuan dari pasien atau perawat untuk
menjaga kebersihan oral hygiene sangat berpengaruh terhadap kesuksesan
perawatan.
2. Retardasi mental
Retardasi mental dan gejalanya timbul pada masa perkembangan anak usia
dibawah 18 tahun dan apabila munculnya setelah umur 1 tahun, maka bukan
merupakan retardasi mental tetapi merupakan penyakit lain sesuai dengan gejala
klinisnya, biasanya anak seperti ini tidak bisa mengikutipendidikan sekolah biasa
karena cara berfikirnya secara sederhana daya tangkap dan daya ingatannya
rendah, demikian pula dengan cara berhitung dan bahasanya terlalu lemah,
sehingga menyebabkan dia ketinggalan dari teman-temannya. Gangguan adaptif
yang menonjol pada anak ini adalah kesulitan diri untuk menyesuaikan diri
dengan masyarakat di sekitarnya, tingkah lakunya kekanak-kanakan dan tidak
sesuai dengan umurnya. Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan
multifactor yaitu factor non organic meliputi factor kemiskinan, keluarga yang
tidak harmonis, factor sosio cultural, selain itu terdapat juga factor organic yang
berperan, yaitu:
Faktor prakonsepsi ( abnormalitas gen, penyakit metabolic, dan kelainan
kromosom seks)
Faktor prenatal yaitu gangguan pertumbuhan otak pada trimester 1 akibat zat-zat
tetatogen, idiopatik dan disfungsi plasenta, gangguan otak trimester II dan
gangguan otak trimester III,
Faktor prenatal premature asfiksi, meningitis dan hiperbilirubin.
Faktor post natal yang berupa trauma berat pada kepala, neurotoksin, kecelakaan
otak, infeksi otak dan metabolik.
Dalam keadaan seperti ini, anak yang lemah ingatan harus sebanyak
mungkin diasuh dalam lingkungan yang normal dengan sejauh mungkin
memperhatikan keadaan anak tersebut. Hal ini mengandung pengertian bahwa
tidak hanya anak lemah mental, yang harus menyesuaikan diri terhadap
masyarakat yang juga harus menyesuaikan diri terhadap mereka.
a. Kesehatan mulut pasien retardasi mental
Pada umumnya pasien dengan retardasi mental memiliki kesehatan rongga
mulut dan oral hygiene yang lebih rendah dibanding dengan orang-orang yang
tanpa cacat perkembangan. Data menunjukkan bahwa pasien dengan retardasi
mental memiliki karies yang lebih banyak dan prevalensi gingivitis yang lebih
tinggi serat penyakit-penyakit periodontal lainnya dibanding dengan masyarakat
umum.
Penyakit Periodontal Early, Severe periodontal (gum disease) dapat terjadi
pada anak-anak dengan gangguan sistem imun atau gangguan jaringan
penghubung dan oral hygiene yang adekuat. Gingivitis ringan diakibatkan oleh
suatu akumulasi bakteri plak dan terjadinya peradangan, pembengkakan gusi yang
mudah berdarah. Periodontitis yang lebih berat dan menyebabkan kehilangan gigi
jika tidak dirawat. Pembersihan secara profesional oleh penyedia layanan
kesehatan mulut, antibiotik sistemik dan instruksi di rumah diperlukan untuk
menghentikan infeksi.
Penanganan:
Jelaskan kepada orangtua tentang perlunya membantu untuk menyikat gigi
dan menggunakan dental floss serta dibutuhkan untuk sering membuat janji
bertemu dengan penyedia layanan kesehatan mulut.
b. Karies Gigi
Pasien dengan retardasi mental memiliki penigkatan karies yang sama
dengan orang-orang tanpa keterbelakangan mental. Meskipun demikian prevalensi
karies gigi yang tidak dirawat lebih tinggi pada pasien dengan retardasi mental
terutama bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang tidak mendukung,12
Karies gigi atau kerusakan gigi dapat berhubungan dengan frekuensi muntah atau
gastroesophangeal refluks, kurang dari jumlah saliva normal, pengobatan yang
mengandung gula atau diet khusus yang memerlukan pemberian susu botol yang
diperpanjang atau makanan ringan. Ketika oral hygiene rendah, terjadi
peningkatan resiko karies gigi.
Penanganan
Beritahukan kepada orangtua bahwa pemeliharaan oral hygiene yang dilakukan
setiap hari meliputi frekuensi berkumur dengan air dan penggunaan pasta gigi
yang mengandung fluoride atau obat kumur,
Menjelaskan perlunya mengawasi anak-anak untuk mengindari menelan
fluoride.
Berikan pengobatan tanpa gula bila memungkinkan
c. Maloklusi
Prevalensi maloklusi pada pasien dengan retardasi mental serupa dengan
yang ditemukan pada masyarakat umum. Hampir 25 % dari 80% kelainan anomali
craniofacial dapat mempengaruhi perkembangan oral yang dihubungkan dengan
retardasi mental. Gigi yang berjejal atau keluar dari lengkung rahang lebih sulit
untuk menjaga kebersihannya, menyebabkan penyakit periodontal dan karies gigi.
Kemampuan pasien atau orangtua untuk menjaga oral hygiene setiap hari dengan
baik mempengaruhi keberhasilan dan kesuksesan dan perawatan. Gangguan
perkembangan yang dialami seharusnya tidak dirasa sebagai suatu penghalang
untuk perawatan ortodonsi.
Tidak adanya benih gigi permanen, delayed erupsi, dan hipoplasia email
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan retardasi mental erupsi gigi dapat
tertunda, dipercepat atau tidak menentu pada anak-anak dengan gangguan
pertumbuhan. Gusi dapat berwarna merah atau ungu kebiru-biruan sebelum gigi
erupsi. erupsi gigi bergantung pada genetik, pertumbuhan rahang, aksi otot dan
faktor-faktor lain.
d. Bruksism
Kebiasaan menggerinding gigi, merupakan suatu kebiasaan yang umum
pada pasien dengan retardasi mental berat. Pada kasus-kasus yang ekstrim,
bruksism menyebabkan gigi abrasi dan permukaan oklusal menjadi datar.
Penanganan :
Untuk menangani bruksism dapat digunakan bite guard.
e. Trauma dan injuri
Trauma dan injuri pada mulut akibat jatuh atau kecelakaan pada pasien
yang retardasi mental.
Penanganan :
Disarankan menyiapkan kotak penyimpanan gigi di rumah
Jika gigi avulsi atau patah segera antar pasien atau bawa giginya ke dokter gigi.
Instruksikan juga kepada orang tua untuk mengumpulkan setiap potongan gigi
yang patah.
Tekankan kepada orang tua bahwa trauma memerlukan perhatian segera dan
jelaskan prosedur yang dilakukan jika gigi permanen patah.
Beritahukan kepada orang tua cara mencegah trauma dan apa cara yang
dilakukan jika terjadi trauma.
f. Anomali gigi
Anomali gigi merupakan vareiasi dalam ukuran dan bentuk dari gigi.
Pasien dengan retardasi mental dapat mengalami kehilangan benih gigi, gigi
berlebih atau malformasi gigi.
g. Diskolorisasi gigi
Cacat perkembangan dapat mengakibatkan diskolorisasi pada gigi.
Demam yang sangat tinggi agtau pengobatan tertentu dapat mengganggu
pembentukan gigi dan dapat mengakibatkan kecacatan. Banyak gigi dengan suatu
cacat cenderung mengakibatkan karies gigi dan sulit untuk menjaga kebersihan.
h. Infeksi virus
Infeksi virus biasanya disebabkan oleh virus herpes simplek. Anak-anak
jarang mengalami ginggivostomatitis atau herpes herpetik labialis sebelum usia 6
bulan. Herpetik ginggivostomatitis paling umum pada anak-anak tetapi dapat
terjadi pada remaja dan dewasa muda. Infeksi virus biasanya terasa sakit dan
disertai demam.
i. Cerebral palsy
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada
suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel saraf motorik di
dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau
cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.
Perawatan gigi di rumah untuk anak cerebral palsy:
Pilih posisi yang nyaman sehingga dapat melihat ke dalam mulut anak.
Bagaimanapun posisi orang tua saat menyikat gigi anaknya, ingatlah selalu untuk
menyangga kepala anak.
Beri pujian sewaktu menyikat gigi anak.
Orang tua sebaiknya menolong menggosok gigi anak setiap hari, tiap selesai
makan, menyikat lidah, karena hal ini dapat mencegah terjadinya halitosis.
Orang tua dapat menolong agar gigi anaknya lebih resisten terhadap decay
dengan menggunakan pastagigi anak-anak yang diakui oleh ADA. Tempatkan
pastagigi seukuran kacang polong di atas sikat gigi.
Gambaran umum yang berhubungan dengan celebral palsy antara
lain:Retardasi mental,gangguan sensori,gangguan belajar dan emosi,gangguan
berbicara dan komunikasi,berkurangnya refleks mengunyah
Kondisi rongga mulut yang berhubungan dengan cerebral palsy antara lain
:Meningkatnya periodontitis dan hiperplasia ginggiva.
Frekuensi penyakit periodontal terjadi lebih besar pada penderita cerebral palsy.
Secara fisik penderita tidak dapat menggosok dan membersihkan giginya secara
adekuat. Penderita cerebral palsy umumnya mempunyai derajat pembesaran
ginggiva hal ini disebabkan karena komsumsi phenytoin untuk mengontrol
serangan tiba-tiba.
Maloklusi
Prevalensi maloklusi pada penderita cerebral palsy kira-kira 2 kali lebih besar
dibandingkan populasi umum. Kondisi umum yang banyak diamati seperti
protrusi gigi anterior rahang atas, excessive overbite dan overjet, open bite dan
unilateral open bite. Penyebab utamanya mungkin disebabkan hubungan
disharmonis antara otot intraoral dan perioral. Tidak terkoordinasi dan tidak
terkontrolnya pepindahan rahang,bibir,dan lidah juga diamati pada penderita
cerebral palsy.menjulurkan lidah dan bernafas lewat mulut,meningkatnya
karies,enamel hipoplasia,trauma gigi, fraktur gigi
Penderita cerebral palsy lebih mudah terserang trauma, terutama pada gigi
anterior rahang atas. Situasi ini dihubungkan dengan seringnya jatuh, dan
kurangnya reflex otot extensor untuk menghindari jatuh.
Gangguan TMJ dan bruksism
Bruksism umumnya diamati pada pasien cerebral palsy dengan atheoid.
Parahnya atrisi permukaan oklusal dari gigi susu dan hermanen, juga hilangnya
vertical dimensi antar rahang.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Macam-macam Gangguan perkembangan abnormal pada anak antara lain ;
a. Gangguan Fungsi Fisik dan Motorik yang terdiri dari
- Impairement adalah suatu kehilangan atau keadaan abnormalitas dari psikis atau fisik
baik struktur atau fungsinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan mata yaitu
buta keseluruhan maupun sebagian, gangguan pendengaran baik yang sukar mendengar
maupun tuli, gangguan bicara atau tuna wicara, dan lumpuh atau tuna grahita.
- Disability Adalah suatu hambatan atau gangguan dari kemampuan untuk melaksanakan
aktifitas yang biasanya dapat dikerjakan oleh orang yang normal sebagai akibat dari
impairement.
- Handicaped adalah suatu kerugian yang diderita oleh individu akibat impairement dan
disabiility. Kerugian ini dapat timbui dari dirinva sendiri (intrinsik handicapped ) dan
dapat puia timbul dari lingkungan ( Extrinsik handicapped ).
b. Cacat Mental
Sindrom Down merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik
dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan
diri saat terjadinya pembelahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. S Noerdin. Masalah penanganan perawatan gigi pada penderita cacat. Jurnal


Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. 1999; 6 (1):36-41.

2. Mustafa Nuhoni., Krismanto Prawirosumarto,dkk. Rehabilitasi anak yang cacat


tubuh. Jakarta: Universitas Indonesia, 2008

3. Anonim. Perkembangan abnormal pada anak. [serial online] 2008 : [internet].


Available from: http://www.kalbe.co,id/files/cdk/files/cdk/files/cdk_27_masalah
anak-anak.pdf. Accessed Maret 13, 2008.

4. Akhiruddin. Tugas keterampilan belajar dan teknologi informasi : syndroma


down. Jakarta: Universitas Islam Indonesia.2008.

5. Hartini Soemartono,Sri. Penanggulangan anak takut dalam perawatan gigi. J


kedokteran gigi Universitas Indonesia. 10 (1).2003:35-40.

Anda mungkin juga menyukai