Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN PENGGUNAAN SEKS FEROMON UNTUK MENGENDALIKAN

HAMA ULAT BAWANG MERAH (Spodoptera exigua)

KAJIAN PENGGUNAAN SEKS FEROMON UNTUK


MENGENDALIKAN HAMA ULAT
BAWANG MERAH (Spodoptera exigua)

Agus Nurawan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon no.80, Lembang, Bandung. 40391
email : a_nurawan@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pengkajian penggunaan seks feromon untuk mengendalikan hama ulat
bawang merah dilakukan di Desa Astanajapura, Kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon. Kegiatan dilakukan pada Mei 2011 sampai Agustus
2011. Pelakuan terdiri dari pemasangan seks feromon sebanyak 16-18
perangkap per ha dan dibandingkan dengan perlakuan petani. Perangkap
dipasang pada saat tanam dan berakhir saat panen, luas pengkajian yang
menggunakan perlakuan seks feromon adalah 5 ha, dibandingkan dengan
kebiasaan petani. Hasil pengkajian menunjukkan, seks feromon efektif
dalam mengendalikan ulat bawang merah (Spodoptera exigua) dan dapat
menangkap 41,10- 83,83 ekor per perangkap per minggu, sehingga dapat
mengurangi populasi hama tersebut dan menurunkan persentase serangan
terhadap tanaman. Rata-rata kerusakan tanaman pada penggunaan seks
feromon sebesar 23,13%; kerusakan tanaman perlakuan petani 39,93%.
Pengendalian hama tersebut menggunakan seks feromon lebih efisien dan
menghabiskan produksi Rp.21.060.000,/0,5 ha, sedangkan perlakuan petani
yang menggunakan pestisida mencapai Rp.29.906.620,- Analisis ekonomi
penggunaan seks feromon memperoleh keuntungan lebih besar dengan B/C
rasio 1,14 sedangkan cara petani 0,03. Efisiensi biaya produksi yang
berkontribusi besar adalah dalam hal penggunaan insektisida sintetis dan
pupuk.
Kata kunci : seks feromon, bawang merah, pengendalian hama,
Spodoptera exigua

PENDAHULUAN
Dewasa ini, pertanian di Indonesia dalam upaya meningkatkan
produksi dan produktivitas umumnya masih menggunakan senyawa kimia
untuk memacu pertumbuhan, mengendalikan organisme pengganggu

145
Nurawan, A. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011

tanaman (OPT) dan mengendalikan gulma. Budidaya seperti ini dapat


menimbulkan residu bagi produk, pengaruh negatif terhadap lingkungan dan
dampak lainnya yang dapat mengganggu kesehatan bagi manusia. Praktek
perlindungan tanaman konvensional sangat tergantung pada penggunaan
pestisida kimia sintetik. Pestisida kimia masih dianggap sebagai teknik
pengendalian OPT yang ampuh (Untung 2002). Selain meningkatkan biaya
pengendalian, penggunaan insektisida secara berlebih berdampak kurang
baik terhadap lingkungan, sehingga menimbulkan residu yang berlebih pada
produk dan mengganggu kesehatan (Nurawan dan Yati 2010).
Berkembangnya tingkat pengetahuan masyarakat, yang
menginginkan pangan yang aman dikonsumsi, maka paradigma saat ini
yang berkembang adalah masyarakat menginginkan konsumsi yang bebas
dari pencemar dan aman juga terhadap lingkungan (Budianto 2002). Para
produsen berusaha mengejar pasar dengan mengusahakan pertanian ramah
lingkungan, seperti pertanian dengan menggunakan insektisida nabati,
entomopatogen, petrogenol, seks feromon dan bahan lain yang aman.
Menurut Samudra (2010), pada dekade belakangan ini, telah banyak
feromon serangga yang telah dianalisa secara kimiawi. Namun
pemanfaatannya sebagai salah satu teknik pengendalian serangga hama
yang potensial, masih sangat terbatas. Sebagai salah satu teknologi
feromon dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Feromon
adalah zat kimia yang berasal dari endokrin dan digunakan oleh mahluk
hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok dan untuk
membantu proses reproduksi. Feromon merupakan senyawa yang dilepas
oleh salah satu jenis serangga yang dapat mempengaruhi serangga lain
yang sejenis dengan adanya tanggapan fisiologi tertentu. Berbeda dengan
hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi
dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies). Secara umum,
proses perkawinan serangga dipengaruhi oleh seks feromon yang diproduksi
oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan (Allison dan Carde
2007). Hal ini dapat dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yaitu sebagai perangkap masal,
mengganggu perkawinan (matting distruption) dan bila feromon sebagai
atraktan dikombinasikan dengan insektisida dapat bersifat sebagai
146
KAJIAN PENGGUNAAN SEKS FEROMON UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA ULAT BAWANG MERAH (Spodoptera exigua)

pembunuh (attracticide) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian


2007). Seks feromon dapat juga dimanfaatkan sebagai (1) alat monitor
keberadaan dan perkembangan populasi serangga hama di lapangan, (2)
untuk penangkapan massal serangga jantan dan (3) membantu proses
penyebaran entomopatogen (Jackson 1992 dalam Permana dan Rostaman
2006). Berdasarkan data yang ada, penggunaan seks feromon telah sukses
mengendalikan beberapa jenis serangga hama. Hal ini dapat diasumsikan,
bahwa penggunaan feromon dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
pengendalian serangga hama yang potensial, karena mempunyai beberapa
keunggulan seperti dapat diaplikasikan dengan taktik pengendalian non
toksik/pengendalian biologi, mengurangi penggunaan insektisida, sehingga
teknologi dan strategi aplikasi feromon ke depan sangat prospektif
(Samudra 2006). Keistimewaan penggunaan seks feromon adalah
kemampuannya untuk menarik serangga dalam jumlah yang sangat besar.
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui efektifitas seks feromon dalam
mengendalikan hama ulat bawang merah (Spodoptera exigua) dan analisis
usahatani yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan di Desa Astanajapura, Kecamatan


Astanajapura, kabupaten Cirebon dari bulan Mei sampai dengan Agustus
2011, jenis bawang merah yang digunakan adalah Bima Brebes. Metodologi
yang digunakan adalah metode Demfarm dengan membandingkan
perangkap yang sudah dilengkapi dengan formula seks feromon dan air
sabun diletakan menyebar di areal pertanaman dengan maksud untuk
menangkap serangga hama S. exigua dari berbagai arah. Perangkap
diletakkan segera setelah tanam dilakukan, dan jumlahnya 18-20 buah
perangkap per ha, karena letaknya 5 ha dalam satu hamparan (Samudra
2006). Perangkap diletakkan tegak dengan menggunakan bambu, dengan

147
Nurawan, A. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011

tinggi antara 75 100 cm. Beberapa hal dilakukan adalah mengamati


keadaan air sabun dalam perangkap, bila kering langsung diisi kembali,
pengamatan serangga hama dilakukan 1 (satu) minggu sekali, dengan cara
menghitung serangga jantan yang tertangkap dengan cara menuangkan air
sabun ke dalam saringan kemudian serangga yang terperangkap dihitung,
persentase serangan antara perlakuan feromon dan cara petani, produksi
saat panen. Pengontrolan perangkap dilakukan setiap hari, untuk mencek
keadaan air dan memperbaiki posisi bila roboh akibat terjangan angin. Untuk
menghitung persentase serangan S. exigua, dengan cara menghitung
jumlah tanaman yang terserang hama dalam petak sampel ukuran 4 x 1 m
yang jumlahnya sebanyak 20 petak yang letaknya tersebar dalam areal 5
ha. Hal lain yang diamati adalah analisis usahatani antara perlakuan seks
feromon dan cara petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan insektisida secara terus menerus dapat menimbulkan


ekses yang kurang baik terhadap lingkungan biotik maupun abiotik,
sehingga penggunaan insektisida tersebut tidak menjamin perlindungan
tanaman yang berkesinambungan. Penggunaan insektisida juga dapat
menyebabkan kematian serangga bukan sasaran. Karakter hama ulat
bawang merah yang merusak adalah bentuk larva/ulat yang makan dan
bersembunyi di dalam daun bawang merah, sehingga penggunaan
insektisida kurang efektif. Sehingga memacu peneliti untuk menggunakan
cara lain yang lebih aman, yaitu penggunaan seks feromon. Perangkap
berferomon ini hanya menangkap serangga jantan, sehingga serangga
betina tidak dibuahi yang selanjutnya akan mengurangi populasi hama di
lapangan.

Persentase serangan hama ulat bawang merah ( S. exigua)


Hasil pengamatan, menunjukkan bahwa rata-rata persentase
serangan hama ulat bawang merah dengan melihat jumlah terhadap
tanaman yang terserang hama dari 20 petak sampel adalah 23,12%,
sedangkan cara petani rata-rata persentase serangannya lebih tinggi yaitu
39,93% (Tabel 1).
148
KAJIAN PENGGUNAAN SEKS FEROMON UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA ULAT BAWANG MERAH (Spodoptera exigua)

Tabel 1. Persentase tanaman yang terserangan hama ulat bawang merah


No.petak Populasi Jumlah tanaman Serangan
sampel tanaman Terserang hama hama(%)
1. 100 20 20,00
2. 98 25 25,51
3. 95 15 15,70
4. 90 30 50.00
5. 89 10 11,23
6. 100 14 14,00
7. 94 15 15,96
8. 93 43 46,24
9. 96 22 22,92
10. 90 24 26,67
11. 95 23 24,21
12. 98 32 32,65
13. 97 10 10,31
14. 97 9 9,28
15. 100 18 18,00
16. 96 24 25,00
17. 98 21 21,43
18. 97 14 14,43
19. 96 28 29,17
20. 98 29 29,59
Rata-rata 23,12
1. 100 30 30,00
2. 94 40 42,55
3. 98 46 46,94
4. 99 35 35,35
5. 96 43 44,79
Rata-rata 39,93

Menurut Cheng et al. (1996) dalam Samudra (2010), hasil penelitian


menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua minggu populasi S. exigua
menurun 97% dan perangkap massal berferomon memberikan kontribusi
24% terhadap penurunan kerusakan tanaman bawang daun (green onion).
Hasil penelitian Samudra (2006) menunjukkan, bahwa penggunaan seks
feromon dapat menurunkan intensitas serangan hama ulat bawang merah
hingga 8% di sentra produksi Brebes, Jawa Tengah. Tingkat kerusakan daun
bawang merah akibat serangan hama sangat bervariasi, sehingga untuk
149
Nurawan, A. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011

yang serangannya rendah tanaman dapat tumbuh kembali dengan baik


kembali. Di samping itu, karena kebiasaan petani yang datang ke kebun
untuk memelihara tanaman, larva yang terlihat langsung dibunuh, sehingga
turut mengurangi tingkat serangan serangga hama di lapangan.

Daya tangkap terhadap serangga hama S exigua


Penanaman bawang merah pada yang dilakukan saat pengkajian
adalah pada musim kemarau, tetapi pada musim ini populasi hama ulat
bawang (S. exigua) tidak terlampau tinggi. Hal ini dikarenakan hampir
seluruh sentra bawang merah menanam secara bersamaan. Perangkap
berferomon yang dipasang di areal pertanaman bawang ternyata dapat
menangkap serangga jantan S exigua tertinggi adalah 83,83 ekor per
perangkap per minggu dan terendah adalah 41,10 ekor (Tabel 2). Hasil
penelitian Samudra (2006) hasil tangkapan tertinggi penggunaan perangkap
berferomon di lahan petani Brebes mencapai 3,750 ekor serangga hama
dewasa dari 22 alat perangkap yang dipasang selama satu malam.
Walaupun demikian, pada petak yang menggunakan perangkap berferomon
masih juga dilakukan aplikasi insektisida sebanyak 3 kali dengan maksud
untuk mengendalikan hama pengirik daun (Lyriomyza sp.) yang memang
bukan target penggunaan feromon. Hasil tangkapan serangga hama S.
exigua tidak mempunyai pola tertentu, artinya setiap minggu pengamatan
hasil tangkapan selalu berfluktuasi.

Tabel 2. Petani, jumlah perangkap dan hasil tangkapan serangga jantan


dewasa (imago).

Daya Daya
Jumlah Hasil tangkapan serangga jantan dewasa (ekor) Per
tangkap tangkap
Luas perangkap pada minggu ke : ......
perang Per - kumu-
Petani lahan
-kap 1 2 3 4 5 6 7 perang- latif per
(ha)
(buah) kap ha
(ekor) (ekor)
H. Anas 1,00 18 38,3 17,0 40,9 39,5 2,4 29,3 125,0 41,77 751,88
Ade 0,50 9 55,0 4,7 31,0 33,7 33,5 43,2 92,3 83,83 754,46
H. Amin 1,00 18 - 32,2 31,6 38,6 28,4 25,6 108,2 44,11 793,89
Agus 1,00 17 - 6,1 50,5 52,1 45,0 29,3 63,4 41,10 698,13
Edi 0,50 9 - 26,5 25,2 25,2 19,0 43,0 89,2 76,03 684,30
Wahib 0,50 8 - 15,6 21,4 21,4 21,5 25,0 68,5 57,8 462,40
Zaenal 0,50 8 - 15,5 29,3 48,5 25,5 35,0 96,7 83,50 668,00

150
KAJIAN PENGGUNAAN SEKS FEROMON UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA ULAT BAWANG MERAH (Spodoptera exigua)

Analisis Usahatani.
Di Desa dan Kecamatan ini yang memang merupakan sentra
bawang merah, dan sebagian besar petani dalam mengendalikan serangga
hama menggunakan pestisida yang dioplos, dosis tinggi dan interval yang
singkat, dan banyak biaya yang dikeluarkan tidak kurang dari Rp. 9 - 10 juta
per ha. Berdasarkan hasil pengamatan, cara petani dengan luasan 0,5 ha,
biaya produksinya lebih tinggi, yaitu sebesar Rp.29.906.620,- dan komponen
terbesar dari pembelian pestisida yaitu sebesar Rp. 4.529.620,-. Karena
keuntungannya hanya Rp. 934.380,-, hal ini menyebabkan B/C rasio menjadi
rendah yaitu hanya 0,03. Kontribusi terbesar, adalah akibat harga bawang
merah pada saat panen murah yaitu Rp.5.000,-, akibat panen raya di sentra
produksi (Tabel 3).
Penggunaan inovasi teknologi seks feromon dalam pengendalian
serangga hama ulat bawang merah lebih menguntungkan karena dapat
menghemat dalam hal pembelian insektisida dan penggunaan pupuk
buatan. Total biaya produksi menggunakan seks feromon dengan komponen
sarana produksi, tenaga kerja dan iuran mitra cai sebesar Rp.21.060.000,-.
Walaupun dengan harga bawang merah hanya Rp.5.000,-/kg masih dapat
memperoleh keuntungan Rp.23.940.000,- (Tabel 4).

151
Nurawan, A. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011

Tabel 3. Analisis usahatani cara petani dalam 0,50 ha di Desa Astanajapura


Uraian Vol Satuan Harga Jumlah
satuan (Rp.)
(Rp)
Sarana produksi
Sewa lahan 1 musim 1.000.000 1.000.000
Benih (Bima) 930 kg 16.000 14.880.000
urea 50 kg 1.600 80.000
TSP 100 kg 2.100 210.000
Pupuk Mutiara 225 kg 6.300 1.416.000
Phonska 225 kg 2.228 515.000
Kamas 70 kg 9.000 630.000
Kalsium 20 kg 20.000 400.000
Dap 50 kg 4.300 215.000
Sendawa 25 kg 9.200 230.000
Pestisida (berbagai jenis) 4.529.620
Jumlah 24.105.620
Tenaga Kerja
Pengolahan tanah 57 HOK 20.000 1.140.000
Tanam 23 HOK 20.000 460.000
Penyiangan 23 HOK 20.000 460.000
Penyiraman 23 HOK 20.000 460.000
Pemupukan 27 HOK 20.000 540.000
Pengendalian OPT 36 HOK 20.000 720.000
Jaga malam 6 HOK 20.000 120.000
Panen 27 HOK 20.000 540.000
Pengangkutan 6 HOK 20.000 120.000
Penjemuran 12 HOK 20.000 240.000
Pengikatan 8 HOK 20.000 160.000
Jumlah 4.960.000
Biaya lain-lain
Iuran mitra cai 250.000
Total 29.906.620
Produksi 6.000 kg 5.000 30.000.000
Keuntungan 934.380
R/C 1,03
B/C 0,03

Dengan B/C sebesar 1,14 artinya dengan modal satu bagian akan
diperoleh keuntungan sebesar 1,14 bagian. Hal ini sependapat dengan
penelitian Haryati dan Agus (2010), biaya budidaya bawang merah di Desa
Playangang, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon dengan cara petani
mencapai Rp. 36.665.000,- sedangkan dengan menggunakan inivasi
teknologi seks feromon hanya Rp. 32.365.000,-, penurunan biaya produksi
disebabkan penggunaan insektisida dan dosis pupuk lebih rendah dibanding
dengan cara petani.
152
KAJIAN PENGGUNAAN SEKS FEROMON UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA ULAT BAWANG MERAH (Spodoptera exigua)

Tabel 4. Analisis usahatani menggunakan inovasi seks feromon dalam 0,50


ha di Desa Astanajapura
Harga
Jumlah
Uraian Vol Satuan satuan
(Rp.)
(Rp)
Sarana produksi
Sewa lahan 1 musim 1.000.000 1.000.000
Benih (Bima) 750 kg 16.000 12.000.000
urea 200 kg 1.400 280.000
TSP 100 kg 1.800 180.000
KCL 100 kg 2.900 290.000
ZA 100 kg 1.200 120.000
Insektisida untuk Lyriomyza sp 3 l 600.000 1.800.000
Perangkap berferomon 9 unit 20.000 180.000
Jumlah 15.850.000
Tenaga Kerja
Pengolahan tanah 57 HOK 20.000 1.140.000
Tanam 23 HOK 20.000 460.000
Penyiangan 23 HOK 20.000 460.000
Penyiraman 23 HOK 20.000 460.000
Pemupukan 27 HOK 20.000 540.000
Pengendalian OPT 36 HOK 20.000 720.000
Jaga malam 6 HOK 20.000 120.000
Panen 27 HOK 20.000 540.000
Pengangkutan 6 HOK 20.000 120.000
Penjemuran 12 HOK 20.000 240.000
Pengikatan 8 HOK 20.000 160.000
Jumlah 4.960.000
Biaya lain-lain
Iuran mitra cai 250.000
Total 21.060.000
Produksi 9.000 kg 5.000 45.000.000
Keuntungan 23.940.000
R/C 2,14
B/C 1,14

KESIMPULAN
Teknologi seks feromon dapat dijadikan alternatif pengendalian hama
ulat bawang merah (S. exigua) yang ramah lingkungan dan efisien.
Teknologi seks feromon dapat menekan penggunaan insektisida
yang selama ini diaplikasikan oleh petani secara tidak bijaksana.

153
Nurawan, A. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan inovasi teknologi seks


feromon lebih besar dibandingkan dengan cara petani.

DAFTAR PUSTAKA
Allison, D.J dan T.R. Carde. 2007. Male pheromone blend preference
function measured in choice and no-choice wind tunnel with almonds
moths, Cadra cautella. Anim, Behaviour 75: 259-266.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Feromon exi Sukses
kendalikan Ulat bawang merah di Cirebon. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Budianto, J. 2002. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian
organik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik.
Jakarta, 2-3 Juli 2002. Puslitbang Perkebunan-Balittro-Dinas
Perkebunan dan Kehutanan DKI dan Masyarakat Pertanian Organik
(Maporina)
Haryati dan N. Agus. 2009. Peluang pengembangan feromon seks dalam
pengendalian hama ulat bawang merah (Spodoptera exigua) pada
bawang merah. Jurnal litbang Pertanian. 28: 72-77.
Nurawan, A. dan Y. Haryati. 2010. Kajian penggunaan insektisida nabati
terhadap ulat jengkal (Hyposidra talaca) pada tanaman teh di
kabupaten Bandung. Jurnal pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. XIII (3). Nop. 2010. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 185-191 hal.
Permana, A.D. dan Rostaman. 2006. Pengaruh jenis perangkap dan feromon
seks terhadap tangkapan ngengat jantan Spodoptera exigua. Jurnal
HPT Tropika 6 : 9-13
Samudra, IM. 2006. Pengendalian ulat bawang merah ramah lingkungan.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28: 3-5.
Samudra, I.M. 2010. Feromon serangga dan aplikasinya dalam pengelolaan
serangga hama. Prosiding seminar nasional V pemberdayaan
keanekaragaman seranggauntuk peningkaan kesejahteraan
masyarakat. Perhimpunan Entomologi Indonesia. 351-360 hal.
Untung, K. 2002. Strategi implementasi PHT dalam pengembangan
perkebunan rakyat berbasis agribisnis. Risalah simposium nasional
penelitian PHT perkebunan rakyat.

154

Anda mungkin juga menyukai