Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Lumpuh Layu Akut atau Acute Flaccid Paralysis (AFP)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. A. Septiarko, Sp. A
dr. Hj. Elief Rohana, Sp.A, M.Kes

Diajukan Oleh :
Aulia Luthfi Kusuma, S.Ked
J500100059

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya membebaskan indonesia dari penyakit polio, pemerintah telah
melaksanakan program eradikasi polio yang terdiri dari pemberian imunisasi rutin
pada balita, dan surveilans accute flaccid paralysis (AFP). Surveilans AFP
merupakan pengamatan terhadap kelumpuhan yang terjadi mendadak, dan bersifat
flaccid (layu).
Lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis (AFP), didefinisikan sebagai
kelumpuhan yang bersifat lemas pada anak usia di bawah 15 tahun, terjadi mendadak
dalam waktu 14 hari, bukan karena rudapaksa atau trauma.
Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun. Target
minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172 penderita. Di jawa
tengah menururut data pada tahun 2012 menemukan 196 penderita AFP, data ini
membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita dibandingan pada tahun 2011 (215
orang). Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari 196 kasus yang diperiksa
semua menunjukan negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio).

Gambar. 1 (Angka Penemuan Kasus AFP Provinsi Jawa Tengah 2008-2012)

2
B. Tujuan
Tulisan ini akan membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis serta penatalaksanaan lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis
(AFP).

C. Manfaat
Tulisan ini diharapkam dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi
tenaga kesehatan ataupun masyarakat mengenai lumpuh layu akut atau AFP ( acute
flaccid paralysis).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis (AFP) didefinisikan sebagai
kelumpuhan yang terjadi secara akut bersifat lemas (flaccid). Istilah flaccid
menunjukan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN), mengenai pada final
common path, motor end plate dan otot yaitu pada otot, syaraf, neuromuscular
junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Kelumpuhan ini tidak menunjukan
adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada gangguan susunan syaraf pusat yang
lain misalnya hiperreflek, klonus, atau respon ekstensor pada plantar. Pada gejala
klinis menunjukan kelumpuhan yang timbul dengan cepat termasuk kelemahan otot-
otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih cepat dalam beberapa hari
sampai minggu.
Acute flaccid paralysis (AFP) kelumpuhan yang terjadi fokal, biasanya
mengenai usia dibawah 15 tahun, terjadi mendadak dalam waktu 1-14 hari,bukan
disebabkan karena rudapaksa atau trauma.

B. Epidemiologi
Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun. Target
minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172 penderita. Di jawa
tengah menururut data pada tahub 2012 menemukan 196 penderita AFP, data ini
membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita dibandingan pada tahun 2011 (215
orang). Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari 196 kasus yang diperiksa
semua menunjukan negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio).

C. Etiologi
Penyebab utama lumpuh layu akut adalah virus. Penyebab tersering adalah virus
polio dan GBS (Guillane Bare Syndrom). Penyebab lain terjadinya lumpuh layu akut
atau AFP adalah mumps virus (gondongan), epstein-Barr virus, Humam

4
Immunodeficiency virus (HIV), dan West Neilevirus.

D. Patogenesis
Susunan saraf manusia terbagi menjadi dua, yaitu susunan syaraf pusat atau
upper motor neuron/UMN ( dari batang otak hingga sumsum tulang
belakang/medula spinalis yang disebut dengan jaras kortikospinal), dan susunan
syaraf tepi atau lower motor neuron/ LMN (dari kornu anterior sampai
otot).Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri flacid, atoni, atrofi, fasikulasi,
reflek fisiologis menurun tapi tidak ditemukan reflek patologis.

Lower Motor Neuron (LMN) Upper Motor Neuron (UMN)


flaccid Spasticity(kaku)
Reflek fisiologis menurun/hilang Reflek fisiologis meningkat
Reflek patologis negatif Reflek patologis positif
Pengecilan otot Tidak ada pengecilan otot kecuali sudah
lama

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada AFP atau lumpuh layu akut adalah munculnya kelumpuhan
yang mendadak, gangguan gaya berjalana, kelemahan atau gangguan koordinasi dari
satu atau beberapa anggota gerak tubuh, lesi yang timbul berkaitan dengn LMN
(Lower Motor Neuron). Lesi pada LMN dapat mengenai kornu anterior
(Poliomeilitis, atrofi otot), radiks, akson, mielin (Sindrom Guillain Bare),
neuromuscular junction atau pada otot dan syaraf (Miastenia Gravis), ataupun
mengenai otot itu sendiri (Gambar1). Lesi tersebut merusak motor neuron, akson,
motor end plate, dan otot skeletal sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsangan
motorik yang disampaikan ke motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan
gejala lower motor neuron yaitu :
1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon
hilang dan reflek patologik tidak muncul.
2. Tonus otot hilang.
3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang
dan terjadi atrofi otot.

5
Gambar.1
Tanda-tanda AFP atau lumpuh layu akut harus dievaluasi klinis secara lengkap
dengan pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kekuatan motorik, reflek tendon,
fungsi syaraf cranial, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk melihat laju sedimen sel darah merah dan pemeriksaan elektrofisiologi
diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan prognosis dari penyakit motor neuron.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan kelumpuhan, harus ditentukan derajat (grading) kelumpuhan.
Kekuatan motorik dinilai dengan skala 0-5:
Skala 5: kekuatan motorik normal, dapat berjalan, berlari, dan
sebagainya, serta dapat menahan tahanan maksimal yang diberikan
pemeriksa.
Skala 4: dapat melawan tahanan namun tidak maksimal, anak dapat
berjalan dan berlari namun tidak cepat dan mudah jatuh.
Skala 3: anak dapat mengangkat tungkai namun tidak dapat melawan
tahanan.
Skala 2: ekstremitas tidak dapat diangkat namun masih dapat digeser.

6
Skala 1: hanya terdapat kontraksi otot namun ektremitas tidak dapat
digerakan.
Skala 0: tidak dapat digerakan sama sekali dan tidak terdapat kontraksi
otot.
Pada bayi atau balita, derajat kekuatan motorik lebih sulit ditentukan karena
belum kooperatif. Observasi dan pemeriksaan perlu dilakukan lebih teliti dengan
mengangkat ektremitas, melawan gravitasi, menilai tonus, melihat simetrisitas
gerakan. Untuk menilai kelemahan otot, anak dapat diminta duduk dilantai dan
kemudian berdiri. Anak yang tidak mampu langsung berdiri, atau berdiri sambil
merambat pada kakinya umumnya menandakan kelemahan otot. Ini merupakan
gower sign merupakan tanda distrofi muskular (gambar 2).

Gambar.2
Cara anak berjalan atau berdiri harus diperhatikan. Anak dapat diminta untuk
berjalan jinjit atau jalan bertumpu pada tumit. Anak yang mengalami lesi LMN atau
masalah neuromuskular umumnya tidak dapat jalan jinjit atau jalan dengan tumit.
Dalam posisi terlentang ditempat tidur, posisi seorang bayu yang mengalami
lumpuh layu akut terlihat seperti katak (frog leg posisition), dengan sedikit gerakan,
lutut menyentuh tempat tidur, hipotoni, dan tidak dapat melawan gravitasi (Gambar
3).

7
Gambar. 3

G. Diagnosis Banding
1. Poliomielitis (Kornu Anterior)
Definisi : Penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi virus dengan
predileksi pada sel anterior medula spinalis dengan akibat kelumpuhan dan atrofi
otot.
Etiologi: virus poliomelitis merupakan golongan enterovirus. Virus polio
memiliki masa inkubasi 5-35 hari.
Patogenesis: virus masuk melalui orofaring masuk tractus digestivus, kelenjar
getah bening, dan sistem retikuloendotel virus berkembang, tubuh membentuk
antibodi spesifik. Bila respon tubuh cepat gejala klinis yang muncul ringan.
Manifestasi klinis: lumpuh layu asimetris (monoparesis). Pada fase abortif
pasien mengeluh demam, lemas, anoreksia, sakit kepala. Pada fase non-paralitik,
terdapat kekakuan leher dan penurunan reflek. Fase paralitik, kelumpuhan asimetris,
dapat mengenai syaraf otak, dan reflek menghilang.
Tatalaksana: istirahat cukup. Fase abortif ( istirahat 7 hari, bila tidak terdapat
gejala dapat beraktivitas), fase paralitik/non paralitik ( istirahat mutlak 2 minggu,
perlu pengawasan yang teliti karena tiap saat dapat terjadi paralisis pernafasan.
Terapi kasual tidak ada).
Prognosis: tergantung pada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung

8
pada bagian yang terkena. Otot-otok yang lumpuh tidak dapat pulih kembali dan
menunjukan flaccid.

2. Sindrom Guillain Bare (Akar syaraf tepi)


Definisi: sindrom akut yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala
yang mengenai syaraf perifer dan cranial.
Etiologi: penyebabnya masih belum diketahui dengan pasti dan masih menjadi
bahan perdebatan. Teori sekarang ini ialah kelainan imunobiologik, baik secara
primary immune responsee maupun immune mediated process. Beberpa kelainan
mungkin infeksi virus atau bakteri, vaksinasi, pembedahan/anastesi, penyakit
sistemik.
Patogenesis: diduga karena kelainan imun melewati mekaisme limfosit mediated
delayed hypersensity atau lewat antibody mediated. Banyak ahli menyimpulkan
karena kerusakan syaraf yang terjadi karena mekanisme imunologi (respon tubuh
terhadap virus atau bakteri).
Manifestasi klinis: demam, gangguan motorik dan sensorik, kelumpuhan yang
bersifat simetris dan asending, mulai dari ekstremitas bawah naik keatas, sampai
tidak jarang menyebabkan kelumpuhan otot pernafasan dan memerlukan pemasangan
alat bantu nafas. Sering juga terjadi gangguan miksi, defekasi, dan gangguan otonomi
lain seperti hipertensi.
Tatalaksana: pengobatan bersifat simtomatik. Pengobatan pada GBS yang parah
dapat diberikan Imunoglobulin IV atau gamaglobulin dapat mempercepat
penyembuhan. Dosis pada dewasa dapat diberikan 0,4kg/kg/hari selama 5 hari,
sepanjang perjalanan penyakit, bila pasien bertahan, kelumpuhan tetap bersifat layu
karena lesi mengeni akson dan mielin.
Prognosis: 60-80% penderita dapat sembuh sempurna dalam waktu 6 bulan.
Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 12 bulan.

3. Miastenia gravis (Neuromuscular junction)


Definisi: suatu kelainan autoimun yang ditandai suatu kelemahan abnormal dan
progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus disertai dengan

9
kelelahan saat beraktifitas. Gangguan ini terjadi dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular juction.
Patogenesis: mekanisme imunogenik memegang peranada reseptor yang penting.
Observasi klinis yang mendukung mencakup timbulnya kelainan autoimun misalnya
autoimun tiroiditis, lupus eritematosus, arthritis rheumatoid. Antibody pada reseptor
nikotinik aseilkolin mereupakan penyebab utama kelemahan otot pada pasien
miastenia gravis. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai " penyakit yang berkaitan
dengan sel B". Dimana antibody merupakan produk sel B justru melawan asetilkolin.
Manifestasi Klinis: mistenia gravis dikarakteristik melalui adanya kelemahan
yang berfluktuatif pada otot rangka dan kelemahan otot akan meningkat apabila
sedang beraktifitas. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis( kelumpuhan
nervus okulomotorius yang sering menjadi keluhan utama miastenia gravis),
kelemahan otot semakin lama semakin meningkat ( kelemahan otot akan menyebar
dari otot acular, otot wajah, otot leher, hingga otot ekstremitas).
Penegakan diagnosis: penderita di minta untuk berhitung keras-keras lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi afonia,
penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus-menerus lama kelamaan
akan ptosis.
Klasifikasi mysthenia gravis:
Kelas I: adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup
mata, dan kekuatan otot lain normal.
Kelas II: kelemahan otot okular yang semakin parah, dan kelemahan pada
otot-otot lain.
Kelas IIa: mempengaruhi otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Dan
kelemahan otot orofaringeal.
Kelas IIb: mempegaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya.
Kelas III: kelemahan berat pada otot okular. Sedangkan otot-otot lain
kelemahan sedang.
Kelas IIIa: mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot aksial, atau
keduanya secara predominan.
Kelas IIIb: mempegaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya

10
secara predominan.
Kelas VI: selain otot okuler optot-otot lain juga mengalami kelemahan
derajat berat.
Kelas VIa: otot orofaringeal mengalami kelemahan derajat ringan.
Kelas VIb: mengalami kelemahan derajat ringan dari semua otot-otot tubuh.
Kelas V: penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Pemeriksaan penunjang: Uji tensilo, uji prostigmin, uji kinin.
Penatalaksanaan : Mempengaruhi transmisi neuromuskular (Istirahat, memblokir
pemecahan Ach), mempengaruhi proses imunologik (Plasma exchange, intervenosus
immunoglobulin, kortikosteroid, imunosupresif, thymectomy.

4. Meilitis Transversa (Sumsum ulang belakang)


Definisi: suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula
spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut
dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom
dan traktus saraf di medula spinalis.
Etiologi: tidak dapat menentukan secara pasti penyebab mielitis transversa.
Inflamasi yang menyebabkan kerusakan yang luas pada serabut saraf dari medula
spinalis dapat disebabkan oleh infeksi viral, reaksi autoimun yang abnormal atau
menurunnya aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak pada medulla
spinalis.
Patogenesis: terjadi karena infeksi virus seperti varicella zoster, harpes simplex.
Virus ini menyerang secara autoimun.
Manifestasi klinis: menyerang pada medula spinali secara mendadak, gejala awal
pasien mengeluh demam, batuh-pilek, kelumpuhan simetri akut, terkadang
mengalami gangguan miksi dan defekasi.
Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan awal menunjukan reflek fisiologis atau
reflek patologis yang menurun atau negatif, tetapi pada pemeriksaan lanjut dapat
ditemukan peningkatan reflek. Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis
transversa biasanya tidak didapati blokade aliran likuor, pleoitosis moderat ( antara
20 200 sel/mm3 ) terutama jenis limposit, protein sedikit meninggi ( 50 120 mg /

11
100ml) dan kadar glukosa norma. Berbeda dengan sindroma gullain barre dimana
dijumpai peningkatan kadar protein tanpa diertai pleositosis.
Penatalaksanaan: Tujuan pengobatan pertama ditujukan untuk meredakan
respon immun yang disebabkan oleh trauma medulla spinalis pemberian
kartikosteroid selama 1-2 minggu atau dengan imunoglobulin intravena. Pemberian
glukokortikoid atau ACTH , biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan
gejala awitannya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi
progresivitas defisit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk
prednisolon oral 1 mg / kg berat badan / hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu
lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari.
Prognosis: Perbaikan dari mielitis tansversa biasanya dimulai antara 2 sampai 12
minggu dari onset gejala dan mungkin berlangsung sampai 2 tahun. Bagaimanapun
bila tidak ada perbaikan dalam 3 6 bulan pertama, maka tidak dijumpai
penyembuhan yang signifikan. Sekitar sepertiga dari orang orang yang terinfeksi
mielitis transversa akan mengalami penyembuhan yang sempurna dari gejala
klinisnya, mereka kembali dapat berjalan normal dan gejala yang minimal pada
kandung kemih,buang air besar dan parastesia.

5. Miositis(otot)
Definisi: peradangan pada otot yang dapat disebabkan oleh infeksi, cedera, obat-
obatan tertentu, olahraga, dan penyakit kronis. Pada miositis inflamasi menyerang
serabut-serabut otot.
Etiologi: inflamasi (karena autoimun, dimana tubuh menyerang jaringanya
sendiri), infeksi (virus adalah infeksi yang paling umum menyebabkan myositis,
bakteri, jamur. Virus atau bakteri dapat menyerang jaringan otot secara langsung,
atau mengeluarkan zat yang merusak otot), obat-obatan (statins, colchicine,
plaquenil hydroxychloroquine), cedera (olahraga terlalu berat dapat menyebabkan
nyeri otot, pembengkakan, dan kelemahan selama berjam-jam atau berhari-hari).
Manifestasi klinis: kelemahan otot merupakan manifestasi pertama. Kelemahan
mungkin di dapatkan dengan pemeriksaan. Nyeri otot (Myalgia)bisa ada atau tidak.,
dermatomiositis juga timbul pada bayi. Kelemahan dari miositis dapat menyebabkan

12
jatuh dan sulit untuk bangun dari kursi atau setelah jalan. Gejala lain dengan kondisi
inflamasi:
Ruam (rush)
Kelelahan (fatique)
Penebalan kulit pada tangan.
Kesulitan menelan (disfagia)
Kesulitan bernafas (dispneu)
Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan elektromiografi (EMG) umumnya
memberikan hasil miopati, sedangkan hasil biopsi otot menunjukan gambaran
inflamasi otot.
Penatalaksanaan: pemberian kortikosteroid, dan akan sembuh sempurna.

6. Erb's palsy (Tangan)


Definisi: kelumpuhan otot-otot di lengan bayi yang di sebabkan oleh luka saraf
dibahu waktu lahir, biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan berat lahir > 4000
gram. Kelumpuhan terjadi karena partus lama dan trauma persalinan berupa proses
tarikan pada daerah pleksus brakhialis.
Etiologi: terjadi karen kerusakan syaraf yang mengontrol gerakan lengan
dikarekan adanya injuri pada proses kelahiran. Injuri biasanya terjadi karena adanya
kerusakan syaraf antara spne dengan lengan atau tngan. Dapat juga terjadi karena
tarikan yang berlebihan pada leher bayi ketika proses persalinan.
Patogenesis: adanya traksi dalam proses persalinan kemungkinan bisa
menyebabkan injury, atau trauma pleksus brachialis pada nervi C5 dan C6 reseptor
sensori berupa paralisis, atrofi, anastesia. Tipe kerusakan syaraf (extaction, rupture,
neuroma, praxis).
Manifestasi klinis: paralisis dan atrofi pada musculus deltoid, biceps, brachialis,
brachioradialis, disertai dengan menghilangnya gerakan abduksi dan eksternal rotasi
shoulder serta melemahnya gerakan fleksi dan supinasi forearm.
Tatalaksana: bayi yang mengalami kondisi ini perlu menjalani rehabilitasi dan
fisioterapi.
Prognosis: 75%-90% bayi dengan Erb's palsy dapat sembuh sempurna setelah

13
beberapa bulan.

H. Pencegahan
Program pengembangan imunisasi (PPI) di dunia dimulai sejak 1974. Pada tahun
1988diputuskan untuk melalukan eradikasi polio global yang selesai pada tahu 2000.
Dalam program eradikasi polio setiap negara harus melaksanakan 4 (empat) langkah
strategi pembasmian polio:
Mencapai dan memelihara target imunisasi rutin polio untuk anak <1 tahun
sebanyak 3-4 dosis (target minimal 90% dari sasaran).
Melaksanakan imunisasi tambahan termasuk didalamnya pekan imunisasi
nasional (PIN). PIN dianggap berhasil bila bisa mencapai target cakupan
>90% dari target populasi.
Melakukan surveilans AFP atau deteksi lumpuh layu akut. Tujuanya
medeteksi anak dengan lumpuh layu yang mungkin terinfeksi virus polio.
Program ini merupakan usaha untuk mencari dan membuktikan bahwa
setiap anak yang menderita lumph layu berumur <15 tahun bukan
disebabkan karena polio liar dengan memeriksa tinja pasien AFP.
Mopping up yaitu melaksanakan imunisasi polio tambahan bagi balita dari
rumah ke rumah di daerah yang di curigai masih ada transmisi virus polio
liar atau yang mengalami KLB polio liar.

BAB III

14
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Lumpuh layu akut atau accute flaccid paralysis (AFP) adalah kelumpuhan yang
terjadi mendadak, disebabkan karena virus. Terjadi pada anak dengan usia <15 tahun,
terjadi bukan karena trauma. Kelumpuhan terjadi pada sistem syaraf Lower motor
neuron ( susunan syaraf tepi), kelumpuhan bersifat flaccid, reflek fisiologis menurun
atau hilang, reflek patologis negatif, dan terjadi pengecilan otot.

B. SARAN
1. Memperbaiki hygiene yang jelek dan memperbaiki sanitasi air.
2. Melakukan imunisasi polio untuk pencegahan.

Edited
DAFTAR PUSTKA

15
1. Behman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics, 17th
edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40
2. Dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah. 2012. Semarang, page 13-14.
3. DSS Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Jakarta: Gajah Mada University
Press; 2007.p. 119-26; 137-43
4. Handryastuti S, Menuju Tumbuh Kembang Anak Yang Optimal. IDAI. 2013
5. Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan
ke-2. Jakarta, 1999:190-241

16

Anda mungkin juga menyukai