Anda di halaman 1dari 49

LIGNIN TERLARUT ASAM DAN DELIGNIFIKASI

PADA TAHAP AWAL PROSES PULPING ALKALI

DIAN OKTAVENI
E24051752

DEPARTEMEN HASIL HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN

DIAN OKTAVENI. Lignin Terlarut Asam dan Delignifikasi pada Tahap Awal
Proses Pulping Alkali. Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Di bawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.

Dalam proses pulping, kemudahan suatu kayu untuk diproses menjadi pulp
sangat bergantung pada jumlah lignin yang terdapat dalam bahan baku dan
reaktifitasnya. Kadar lignin secara kuantitatif merupakan faktor yang banyak
berpengaruh terhadap konsumsi bahan kimia selama proses pulping, sementara itu
tingkat reaktifitas lignin dapat diduga melalui pendekatan terhadap karakteristik
molekul kimia lignin. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara rasio siringil-guaiasil dengan pembentukan lignin
terlarut asam. Berdasarkan hal tersebut, muncul dugaan bahwa lignin terlarut
asam sangat dimungkinkan bisa menjadi parameter penduga laju delignifikasi
serta menduga kemudahan kayu tersebut untuk diproses pulping. Penelitian ini
bertujuan untuk mengukur kadar lignin terlarut asam enam jenis kayu daun lebar
(tiga jenis kayu Eukaliptus dan tiga jenis kayu Akasia) dan hubungannya dengan
kelarutan lignin dan polisakarida kayu selama delignifikasi pada tahap awal
proses pulping alkali.
Penentuan kadar lignin terlarut asam dilakukan bersamaan dengan
penentuan kadar lignin klason. Serbuk yang digunakan untuk penentuan kadar
lignin diperoleh dari hasil ekstraksi dengan larutan etanol-benzene (1:2) dan hasil
perlakuan pemasakan alkali dengan waktu pemasakan berbeda, yaitu 30 menit, 60
menit dan 90 menit. Residu tersebut kemudian dihidrolisis dalam larutan asam
sulfat 72% selama 3 jam dan dilanjutkan pada konsentrasi asam sulfat 3% pada
suhu 121 oC selama 30 menit dengan menggunakan autoclave. Filtrat hasil
pengujian lignin klason digunakan untuk penentuan lignin terlarut asam.
Pengujian lignin terlarut asam dilakukan dengan menggunakan alat
spectrophotometer pada panjang gelombang 205 nm dengan koefisien adsorpsi
110 L/g.cm, sementara laju delignifikasi dihitung berdasarkan perubahan kadar
lignin klason.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan menurunnya
kadar lignin klason dan kandungan polisakarida setelah diberi perlakuan alkali
dan meningkatnya konsumsi permanganat seiring meningkatnya waktu
pemasakan. Lignin terlarut asam juga mempunyai korelasi yang erat dengan laju
delignifikasi. Hubungan ini mengarah pada dugaan bahwa lignin terlarut asam
dapat menjadi parameter penduga kemudahan suatu jenis kayu untuk
didelignifikasi selama proses pulping dan akan memberikan informasi yang
mendukung bagi industri pulp dan kertas terkait optimalisasi proses pulping.

Kata kunci: Lignin Terlarut Asam, Delignifikasi, Lignin Klason, Pulping Alkali
LIGNIN TERLARUT ASAM DAN DELIGNIFIKASI
PADA TAHAP AWAL PROSES PULPING ALKALI

DIAN OKTAVENI
E24051752

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Lignin Terlarut Asam
dan Delignifikasi pada Tahap Awal Proses Pulping Alkali adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2009

Dian Oktaveni
NRP E24051752
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Lignin Terlarut Asam dan Delignifikasi pada Tahap Awal Proses
Pulping Alkali
Nama : Dian Oktaveni
NRP : E24051752

Menyetujui:
Dosen Pembimbing,

Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc


NIP. 19660113 199103 1 001

Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr


NIP. 19611126 198601 1 001

Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun karya ilmiah yang
berjudul Lignin Terlarut Asam dan Delignifikasi pada Tahap Awal Proses
Pulping Alkali dengan baik. Pembuatan karya ilmiah ini ditujukan sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Mengingat penelitian mengenai hubungan antara lignin terlarut asam dan
delignifikasi masih sangat jarang dilakukan, maka penulis berharap hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan yang kiranya dapat
mendukung penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya penelitian yang
berhubungan dengan komponen kimia kayu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi,
M.Sc selaku pembimbing. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ayah, Ibu, Kakak-kakak, sahabat, dan teman-teman tercinta serta semua pihak
yang telah membantu kelancaran penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan karya
ilmiah ini. Karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Oktober 2009

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Depok, pada tanggal 14 Oktober 1987.


Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan
Masdar Darwis dan Ermanita.
Pendidikan penulis dimulai dari SDN Mekarjaya XV Depok tahun
1993-1999, SMP Negeri 6 Depok tahun 1999-2002 dan SMA Yaspen Tugu Ibu
Depok tahun 2002-2005. Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur SMPB dan baru mendapatkan jurusan di
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2006.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di kegiatan
kemahasiswaan yaitu FORCES (Forum for Scientific Studies) IPB, DKM
Ibaadurrahman Fakultas Kehutanan dan berbagai kegiatan kepanitiaan. Penulis
juga merupakan finalis dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXI
bidang Penulisan Karya Mahasiswa Ilmiah (PKMI) yang dilaksanakan di
Semarang tahun 2008. Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem
Hutan (P2EH) di BKPH Gunung Slamet KPH Banyumas Timur daerah
Baturaden, BKPH Rawa Timur KPH Banyumas Barat daerah Cilacap pada tahun
2007 dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat
(TNGP), Sukabumi pada tahun 2008 serta mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL)
di PT Andatu Lestari Plywood, Bandar Lampung pada bulan Februari-April 2009.
Selama masa kuliah, penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata kuliah
Pendidikan Agama Islam tahun 2007-2008 dan Asisten Praktikum Mata Ajaran
Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2008.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan karya ilmiah (skripsi) yang berjudul Lignin Terlarut Asam dan
Delignifikasi pada Tahap Awal Proses Pulping Alkali di bawah bimbingan Ir.
Deded Sarip Nawawi, M.Sc.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI.................................................................................................viii
DAFTAR TABEL...........................................................................................x
DAFTAR GAMBAR......................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................1
1.2 Tujuan...........................................................................................2
1.3 Manfaat Penelitian......................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lignin...........................................................................................3
2.2 Delignifikasi.................................................................................4
2.3 Lignin Terlarut Asam...................................................................4
2.4 Karakteristik Kayu Eucalyptus spp..............................................6
2.5 Karakteristik Kayu Acacia spp....................................................7
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat....................................................................9
3.2 Alat dan Bahan...........................................................................9
3.3 Desain Penelitian......................................................................9
3.4 Metode Penelitian...................................................................10
3.4.1 Persiapan Contoh Uji.......................................................10
3.4.2 Ekstraksi Ethanol-Benzene..........................................11
3.4.3 Perlakuan Pemasakan Alkali.........................................11
3.4.4 Penentuan kadar lignin klason (Dence 1992)................11
3.4.5 Lignin Terlarut Asam (Acid-Soluble Lignin).................12
3.4.6 Penentuan Kadar Holoselulosa.......................................12
3.4.7 Penentuan Kadar -selulosa...........................................13
3.4.8 Pengujian Konsumsi Permanganat.................................14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelarutan Lignin (Delignifikasi)............................................15
4.2 Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin....20
4.3 Kelarutan Polisakarida...............................................................23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan................................................................................27
5.2 Saran........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................28
LAMPIRAN....................................................................................................31
DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komponen Kimia Kayu Acacia mangium dan Acacia auriculiformis......8


DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perubahan Kadar Lignin Klason pada Eucalyptus spp.............................16


2. Perubahan Kadar Lignin Klason pada Acacia spp....................................16
3. Perubahan Kadar Lignin Terlarut Asam pada Eucalyptus spp..................18
4. Perubahan Kadar Lignin Terlarut Asam pada Acacia spp........................18
5. Konsumsi Permanganat pada Eucalyptus spp...........................................19
6. Konsumsi Permanganat pada Acacia spp..................................................20
7. Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin
pada Pemasakan 30 menit.........................................................................21
8. Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin
pada Pemasakan 60 menit.........................................................................22
9. Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin
pada Pemasakan 90 menit........................................................................22
10. Perubahan Kadar Holoselulosa pada Eucalyptus spp...............................24
11. Perubahan Kadar Holoselulosa pada Acacia spp......................................24
12. Perubahan Kadar Alpha selulosa pada Eucalyptus spp.............................25
13. Perubahan Kadar Alpha selulosa pada Acacia spp...................................26
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kandungan Lignin Enam Jenis Kayu Daun Lebar


pada Berbagai Perlakuan Pemasakan.........................................................32
2. Data Sebelum Perlakuan Pemasakan (Kontrol).........................................33
3. Data Perlakuan Pemasakan Selama 30 Menit.........................................33
4. Data Perlakuan Pemasakan Selama 60 Menit..........................................34
5. Data Perlakuan Pemasakan Selama 90 Menit............................................34
6. Persentase Kelarutan Ethanol-Benzene
dan Perlakuan Pemasakan Alkali...............................................................35
7. Konsumsi Permanganat Lindi Hitam........................................................35
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses pulping adalah proses pemisahan serat selulosa dari bahan
berlignoselulosa secara mekanis, semi kimia dan kimia. Proses pulping alkali
tergolong ke dalam proses pembuatan pulp secara kimia dengan reaksi utamanya
adalah reaksi delignifikasi atau reaksi degradasi dan pelarutan lignin. Proses
pulping dikatakan baik apabila tingkat kerusakan selulosa yang terjadi kecil dan
tingkat pelarutan ligninnya tinggi (Fengel dan Wegener 1995).
Gullichsen dan Paulapuro (2000) mengatakan bahwa selama proses
pulping alkali, lignin akan terlarut dari dinding sel sekunder pada tahap initial
delignification (delignifikasi awal) dari pemasakan. Lignin memegang peranan
penting selama proses pulping. Oleh karena itu pengetahuan tentang lignin
sebagai salah satu komponen kimia penyusun kayu diperlukan terkait dengan
optimalisasi proses pulping dalam industri pulp dan kertas.
Dalam proses pulping, kemudahan suatu kayu untuk diproses menjadi
bahan baku pulp sangat bergantung pada jumlah lignin yang terdapat dalam bahan
baku dan reaktifitasnya. Kadar lignin secara kuantitatif merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi bahan kimia selama proses pulping sementara
reaktifitasnya tidak dapat dijelaskan hanya dengan mengetahui faktor ini. Pada
banyak kasus ditemukan bahwa kayu yang memiliki kadar lignin yang hampir
sama ternyata memiliki laju delignifikasi yang berbeda. Adanya perbedaan laju
delignifikasi pada berbagai jenis kayu daun lebar dilaporkan berkaitan erat dengan
rasio siringil-guaiasil penyusun lignin. Semakin tinggi proporsi siringil penyusun
lignin, laju delignifikasi akan semakin tinggi (Gonzales et al. 1999 dan del Rio et
al. 2005). Pernyataan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa kadar lignin
ternyata bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi proses pulping alkali.
Tingkat reaktifitas lignin dapat diduga melalui pendekatan terhadap
karakteristik molekul kimia lignin. Komposisi monomer penyusun polimer lignin,
kelimpahan jenis ikatan dominan dalam polimer lignin dan stereokimia struktur
molekul lignin yang merupakan karakteristik kimia lignin kayu daun lebar
dianggap lebih menentukan tingkat reaktifitas lignin. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara rasio siringil-guaiasil
dengan pembentukan lignin terlarut asam (Syafii dan Nawawi 2008, Mahmudi
2008). Dence (1992), Musha dan Goring (1974) dalam Akiyama et al. (2005)
menyatakan bahwa kayu daun lebar memiliki proporsi lignin terlarut asam yang
tinggi pada jenis yang memiliki kandungan metoksil yang tinggi. Dari hal
tersebut, muncul dugaan bahwa lignin terlarut asam sangat dimungkinkan bisa
menjadi parameter penduga laju delignifikasi serta menduga kemudahan kayu
tersebut untuk diproses pulping.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kadar lignin terlarut
asam enam jenis kayu daun lebar (tiga jenis kayu Eukaliptus dan tiga jenis kayu
Akasia) dan hubungannya dengan kelarutan lignin dan polisakarida kayu selama
delignifikasi pada tahap awal proses pulping alkali.

1.3 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai
hubungan antara lignin terlarut asam dengan tingkat delignifikasi kayu daun lebar.
Data mengenai hubungan lignin terlarut asam (acid-soluble lignin) dengan
reaktifitas kelarutan lignin dari hasil penelitian ini selanjutnya juga diharapkan
dapat digunakan dalam menduga kemudahan suatu jenis kayu daun lebar dalam
proses pulping.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lignin
Lignin terbentuk dari gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan
rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Lignin merupakan komponen kimia
kayu yang sangat tidak diharapkan kehadirannya dalam produk pulp karena dapat
menurunkan ketahanan fisik pulp dan menyebabkan warna pulp gelap sehingga
meningkatkan konsumsi bahan kimia dalam proses pemutihan (Casey 1980). Dari
segi morfologi, lignin merupakan senyawa amorf yang terdapat dalam lamela
tengah majemuk maupun dalam dinding sekunder. Selama perkembangan sel,
lignin dikategorikan sebagai komponen terakhir dalam dinding sel yang dapat
menembus di antara fibril-fibril sehingga dapat memperkuat dinding sel (Fengel
dan Wegener 1995).
Lignin terdapat di antara sel-sel dan dalam dinding sel serta berfungsi
sebagai perekat untuk mengikat sel-sel agar tetap bersama. Keberadaan lignin
dalam dinding sel sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi untuk
memberikan ketegaran pada sel, berpengaruh dalam memperkecil perubahan
dimensi sehubungan dengan perubahan air kayu dan mengurangi degradasi
terhadap selulosa. Konsentrasi lignin tertinggi terdapat dalam lamella tengah dan
akan semakin mengecil pada lapisan dinding sekunder (Haygreen dan Bowyer
1989; Sjostrom 1995).
Menurut Achmadi (1990), berdasarkan unsur strukturalnya, lignin dapat
dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu Lignin guaiasil dan Lignin guaiasil-
siringil. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum (23-32%), dengan prazat
koniferil alkohol sedangkan lignin guaiasil-siringil terdapat pada kayu daun lebar
(20-28%, pada kayu tropis >30%), dengan prazat koniferil alcohol dan sinapil
alkohol dengan nisbah 4:1 sampai 1:2.
Penyusun utama lignin kayu daun lebar (Hardwood) adalah unit-unit
trans-conyferil alcohol dan trans-sinapyl alcohol. Struktur bangun lignin adalah
ikatan bersama dari rantai/ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Ikatan
antar unit tersebut pada lignin hardwood dan softwood membentuk struktur -O-4
(Gullichsen dan Paulapuro 2004).

2.2 Delignifikasi
Delignifikasi merupakan proses pelarutan lignin dalam proses pulping.
Gullichsen (2000) mengatakan bahwa prinsip proses delignifikasi terkait erat
dengan struktur kayu, metode pulping yang digunakan serta komponen bahan
kimia. Dalam proses pulping alkali, terdapat tiga tahap proses delignifikasi, yaitu
delignifikasi awal (initial delignification), delignifikasi curah (bulk
delignification) dan delignifikasi sisa (residual delignification). Lignin yang
terlarut atau terdegradasi pada tahap awal delignifikasi sangat sedikit
dibandingkan pada tahap delignifikasi curah. Lignin yang terlarut pada tahap awal
delignifikasi berkisar 15%-25% dari total kandungan lignin sedangkan pada tahap
delignifikasi curah, lignin yang terlarut bisa mencapai hingga 90% (Gullichsen
dan Paulapuro 2000).
Suhu, tekanan dan konsentrasi larutan pemasak selama proses pulping
merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kecepatan reaksi pelarutan
lignin, selulosa dan hemiselulosa. Selulosa tidak akan rusak saat proses pelarutan
lignin jika konsentrasi larutan pemasak yang digunakan rendah dan suhu yang
yang digunakan sesuai. Pemakaian suhu di atas 180 oC menyebabkan degradasi
selulosa lebih tinggi, dimana pada suhu ini lignin telah habis terlarut dan sisa
bahan pemasak akan mendegradasi selulosa (Casey 1980).

2.3 Lignin Terlarut Asam


Lignin memiliki gugus fungsi yang mengandung oksigen pada posisi
benzylic yang sensitif terhadap media asam dan memiliki kecenderungan berubah
pada saat prosedur penentuan kadar lignin (Yasuda et al. 2001). Achmadi (1990)
menerangkan bahwa pada suasana asam, lignin cenderung melakukan kondensasi.
Peristiwa ini menyebabkan bobot molekul lignin bertambah dan dalam keadaan
yang sangat asam, lignin yang telah terkondensasi ini akan mengendap. Lignin
sebagian akan terlarut di dalam asam pada tahap hidrolisis kedua dari prosedur
lignin klason.
Metode ini berfungsi untuk menentukan nilai absorpsi sinar UV pada
larutan asam yang diencerkan dari prosedur lignin Klason. Hidrolisis dari tahap
kedua pada prosedur lignin Klason dibaca pada standar cuvette UV (1 cm panjang
alur) pada panjang gelombang 200-205 nm. Swan (1965) menyatakan bahwa
pengukuran absorbsi UV pada hidolisat dapat dilakukan secara berkala pada
panjang gelombang 205 nm dan 280 nm. Namun, hasil degradasi karbohidrat
seperti hidroksimetilfurfural dari heksosa, furfural dari pentosa dan asam uronik
akan mengganggu proses analisis khususnya pada panjang gelombang 280 nm.
Oleh karena itu, panjang gelombang yang direkomendasikan untuk pengukuran
lignin terlarut asam yaitu 205 nm walaupun faktor lain akan menjadi penghambat
pengukuran pada panjang gelombang yang lebih rendah.
Selain menggunakan cara spektrofotometri, penentuan lignin terlarut asam
juga dapat dilakukan dengan cara penentuan sisa lignin total menggunakan
metode asetil bromida. Lignin sisa dengan persentase yang kecil umumnya tetap
berada dalam holoselulosa. Bagian sisa lignin ini berubah selama delignifikasi
yaitu menjadi larut selama penentuan sisa lignin yang tidak telarut dalam asam
dengan hidrolisis asam terhadap holoselulosa. Dalam analisis kayu, lignin yang
larut dalam asam dapat menyebabkan kesalahan hingga 9%. Hanya ketika lignin
terlarut asam dan lignin tidak terlarut asam sudah ditentukan, maka hasil analisis
dapat mencapai 100% (Fengel dan Wegener 1995).
Musha dan Goring (1974) dalam Akiyama et al. (2005) menjelaskan
bahwa proporsi lignin terlarut asam dalam hardwood lebih besar dengan
kandungan lignin Klason yang lebih rendah dan kandungan metoksil yang lebih
tinggi. Fengel dan Wegener (1995) juga menjelaskan bahwa kayu daun lebar
memiliki jumlah lignin terlarut asam sampai 4% sementara kayu daun jarum
sekitar 1%. Dalam penentuan lignin, kesalahan yang disebabkan oleh adanya
senyawa-senyawa dan hasil-hasil reaksi yang tetap tinggal dengan lignin yang
tersisa dan tidak dapat dihidrolisis bisa saja terjadi sehingga nilai lignin
mengalami bias seolah-olah menjadi lebih tinggi.
Lignin terlarut asam merupakan salah satu sifat kimia yang menunjukkan
kandungan serta reaktifitas lignin dalam kondisi asam. Adanya lignin terlarut
asam dalam jumlah besar akan memberikan pengaruh terhadap kandungan total
lignin kayu sehingga penentuan lignin terlarut asam sangat penting dalam
kaitannya dengan struktur kimia kayu dan reaktifitas lignin.

2.4 Karakteristik Kayu Eucalyptus spp.


Tumbuhan Eucalyptus spp. pada umumnya berupa pohon kecil hingga
besar, tingginya 60-87 meter. Batang utamanya berbentuk lurus dengan diameter
hingga 200 cm. Marga Eucalyptus termasuk kelompok yang berbuah kapsul
dalam suku Myrtaceae dan dibagi menjadi 7-10 anak marga, setiap anak dibagi
lagi menjadi beberapa seksi dan seri (Sutisna dkk 1998).
Kayu Eukaliptus umumnya digunakan untuk bangunan di bawah atap,
kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus, korek api, bubur kayu
(pulp), dan kayu bakar (Sutisna dkk 1998). Eukaliptus merupakan spesies pohon
tropika cepat tumbuh yang sebenarnya telah digunakan sebagai sumber biomassa
untuk bioenergi dan pembuatan pulp dan kertas. Beberapa jenis Eukaliptus yang
dapat dijadikan bahan baku pulp dan kertas ialah Eucalyptus camaldulensis,
Eucalyptus urophylla dan Eucalyptus grandis.
Eucalyptus camaldulensis dapat tumbuh setinggi 45 meter, berdiameter
besar dan merupakan jenis spesies cepat tumbuh. Pohon ini dapat tumbuh lurus
dibawah kondisi yang sesuai (Wikipedia 2008). E. camaldulensis memiliki kulit
batang halus, berwarna putih, abu, hijau kekuningan, hijau keabuan. Daerah
penyebaran alaminya mencakup sebagian besar daratan Australia, yang terletak
pada kisaran 1248`S pada tropis Northern Territory hingga 3815`S di Victoria.
Jenis ini banyak ditanam di negara-negara tropis dan sub-tropis, dan diperkirakan
merupakan tanaman yang paling luas ditanam di tanah-tanah arid dan semi-arid.
Batang E. camaldulensis memberikan manfaat terutama sebagai kayu bakar, arang
dan bubur kertas. Kayu-kayu gelondongan Eukaliptus yang telah berbentuk papan
merupakan bahan untuk konstruksi bangunan (jembatan, kapal), jalan, furnitur,
lantai atau kotak kemas (Prosea 2008).
Eucalyptus urophylla sangat serupa dengan Eucalyptus alba. Jenis ini
merupakan pohon cepat tumbuh yang dapat mencapai ketinggian 15-20 meter dan
berdiameter 40 cm (dbh). Meskipun E. urophylla toleran terhadap tanah yang
miskin hara, pohon ini tetap tumbuh di tanah yang memiliki tekstur lepas. E.
urophylla sangat tidak toleran terhadap tanah yang mengandung tanah liat dengan
lapisan phreatic yang dangkal (Nieto dan Rodriguez 2004). Pohon berdaun hijau
ini juga bisa mencapai ketinggian 45 meter dan mampu bertahan dalam kondisi
yang kurang baik. Batangnya biasa dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan
pembuatan arang. Serat kayu E. urophylla terutama yang berkerapatan sedang
hingga rendah cocok dijadikan sumber bahan baku pembuatan pulp dan kertas.
Kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan berat, penghubung, bahan
untuk lantai dan bingkai (Prosea 2008).
Eucalyptus grandis memiliki nama botani Eucalyptus grandis Hill ex
Maiden. E. grandis adalah nama lain dari Eucalyptus saligna var. pallidivalvis
Baker et Smith. Di dunia perdagangan sering disebut Flooded gum, rose gum. E.
grandis merupakan pohon yang memiliki ketinggian 45-55 meter. Jenis ini telah
digunakan untuk berbagai tujuan, salah satunya yaitu sebagai bahan pembuatan
pulp sulfat. Selain itu, E. grandis juga dapat digunakan sebagai bahan kayu
pertambangan, bahan bangunan, transmission and telephone poles, box shooks,
panel board dan sebagainya (Hillis dan Brown 1978).

2.5 Karakteristik Kayu Acacia spp.


Tumbuhan Acacia spp. merupakan jenis pohon yang umum digunakan
untuk pembuatan bahan konstruksi ringan sampai berat, perabot rumah tangga,
lantai, papan dinding, papan partikel, papan serat, batang korek api, pulp dan
kertas, kayu bakar dan arang. Kayu dari jenis Akasia umumya memiliki serat
lurus, kadang-kadang berpadu, tingkat kekerasan yang sedang sampai keras
dengan tesktur yang halus sampai agak kasar dan merata, berwarna coklat dan
memiliki batas yang jelas antara kayu gubal dengan kayu terasnya (Prosea 2008).
Beberapa jenis Akasia yang dapat dijadikan bahan baku pulp dan kertas ialah
Acacia mangium, Acacia auriculiformis, dan Acacia sp. (hybrid).
Acacia mangium adalah tumbuhan asli yang banyak tumbuh di wilayah
Papua Nugini, Papua Barat dan Maluku. Tumbuhan ini dipilih sebagai salah satu
jenis favorit untuk ditanam di areal HTI. Pada mulanya jenis ini dikelompokkan
ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat terutama
untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Akan tetapi pemanfaatan kayu
mangium hingga saat ini telah mengalami spektrum yang lebih luas, baik untuk
kayu serat, kayu pertukangan maupun kayu energi (bahan bakar & arang).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjang perluasan pemanfaatan kayu
mangium dalam bentuk kayu utuh, partikel, serat ataupun turunan kayu (Malik et
al. 2007)
Acacia auriculiformis A.Cunn ex Benth merupakan jenis pohon cepat
tumbuh yang berasal dari family Fabaceae. Tumbuhan ini asli berasal dari
Austria-Australia tetapi dapat juga ditemukan di Indonesia dan Papua Nugini dan
mampu tumbuh hingga ketinggian 30 m. Kayu dari jenis tumbuhan ini umumnya
cocok digunakan untuk pembuatan kertas dan mebel. Di India, kayu ini biasa
dijadikan arang untuk penggunaan bahan bakar. Selain kayu, getah dari jenis
tumbuhan ini juga memiliki nilai komersil (Wikipedia 2008).

Tabel 1. Komponen Kimia Kayu Acacia mangium dan Acacia auriculiformis

Komponen Kimia (%) Acacia mangium Acacia auriculiformis


Alfa Selulosa 39,92 45,52
Holoselulosa 73,12 75,52
Pentosa 16,50 17,20
Ekstraktif 3,00 2,73
Lignin 23,14 23,98
Abu 0,64 0,53
Sumber: Uzair dan Sugiharto (1989) dalam Purba (1990)

Acacia sp. (hybrid) merupakan jenis cangkokan alami dari hasil


persilangan antara Acacia mangium dengan Acacia auriculiformis. Pohon ini
merupakan jenis pohon cepat tumbuh yang volumenya bisa mencapai 2-3 kali
lebih besar dari A. mangium bahkan 3-4 kali lebih besar dari A. auriculiformis
pada usia yang sama. Jenis ini memiliki keistimewaan dalam hal efisiensi
pembuatan pulp. Jika ditujukan untuk pembuatan kertas, jenis ini mampu
menghasilkan rendemen lebih banyak dengan kekuatan mekanis kertas seperti
kekuatan tarik dan lipat kertas yang lebih baik dibandingkan jenis A. mangium dan
A. auriculiformis (Kha 2008).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan
dan di Laboratorium Kimia Bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2009
sampai dengan Juli 2009.

3.2 Alat dan Bahan


Bahan baku yang digunakan adalah sampel kayu yang diambil dari tiga
jenis kayu daun lebar yaitu Eucalyptus urophylla (Vietnam), Eucalyptus
camaldulensis (Thailand), dan Eucalyptus grandis (Afrika Selatan), Acacia
mangium (Indonesia), Acacia auriculiformis (Vietnam), dan Acacia sp. (hybrid)
(Vietnam). Contoh uji dalam bentuk chips diambil dari campuran bagian kayu
gubal dan kayu teras. Contoh uji chips diperoleh dari industri pulp dan kertas Oji
Paper Co. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Ethanol
95%, Benzena (C6H6 grade), Asam asetat (CH3COOH), Asam sulfat (H2SO4),
Sodium Klorit (NaClO2), Sodium hidroksida (NaOH), Kalium permanganat
(KMnO4), Kalium iodida (KI), Thiosulfat, larutan kanji, dan aquades.
Adapun peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain willey
mills, oven, autoclave, UV Visible Spektrophotometer SHIMADZU UV Pharma
Sp.ec. 1700, timbangan analitik, soxhlet, gelas ukur, desikator, penangas air,
wadah, erlenmeyer, labu ukur, pipet, kertas saring, aluminium foil, corong, dan
pengaduk kaca.

3.3 Desain Penelitian


Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perubahan kandungan
komponen kimia lignin akibat perlakuan alkali panas. Pengukuran delignifikasi
dilakukan dengan cara membandingkan hasil dari perbedaan kadar lignin sebelum
dan setelah perlakuan pemasakan alkali. Tingkat delignifikasi tersebut selanjutnya
dianalisis hubungannya dengan lignin terlarut asam (acid-soluble lignin). Selain
itu, dilakukan juga pengukuran kelarutan komponen polisakarida kayu untuk
mengetahui laju degradasi polisakarida. Penelitian ini dirancang dengan skema
sebagai berikut:

Sampel Kayu
(40-60 mesh)

Perlakuan NaOH
pada suhu 120 oC,
selama 30, 60, 90
menit

Ekstraksi
Ethanol/Benzene Residu Filtrat (Black
Liquor)

Pengujian : Pengujian : Pengujian :


Lignin Klason Lignin Klason Konsumsi
Lignin Terlarut Asam Lignin Terlarut Asam Permanganat
Holoselulosa Holoselulosa
Alpha-selulosa Alpha-selulosa

3.4 Metode Penelitian


3.4.1 Persiapan Contoh Uji
Sampel kayu dibuat serpihan-serpihan kecil dan digiling setelah dalam
kondisi kering udara dengan Willey mills. Sampel kayu untuk analisis kimia
disiapkan dalam bentuk partikel halus untuk memungkinkan reaksi yang
sempurna antara kayu dengan larutan pereaksi yang diinginkan dalam analisis.
Kayu digiling sampai didapatkan ukuran partikel lolos saringan 40-60 mesh.
Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup.
3.4.2 Ekstraksi Ethanol-Benzene
Untuk pengujian kadar lignin klason, holoselulosa, dan alpha-selulosa
dalam sampel kayu awal, contoh uji terlebih dahulu diekstraksi dengan ethanol
benzene. Ekstraksi dilakukan dengan metode standar TAPPI T 204 om 88. Serbuk
kayu sebanyak 10 gram diekstraksi dengan 300 ml ethanol-benzene (1:2) selama
6-8 jam dengan alat soxhlet. Setelah itu sampel dicuci dengan ethanol hingga
larutan bening, dan diangin-anginkan. Sampel kemudian dioven pada suhu 105
3 oC hingga beratnya konstan.
Kadar zat ekstraktif yang larut dalam ethanol-benzene (1:2)

BKTA - BKTE
% kelarutan = x 100%
BKTA
BKTA = berat kering serbuk sebelum ekstraksi
BKTE = berat kering serbuk setelah ekstraksi

3.4.3 Perlakuan Pemasakan Alkali


Pengujian delignifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan alkali
panas. Sebanyak 6 gram serbuk kayu 40-60 mesh diekstraksi dengan 60 ml
larutan NaOH ekuivalen dengan alkali aktif 20% dari bobot sampel kayu.
Pemasakan dilakukan pada suhu 120 oC dengan tiga perlakuan waktu reaksi, yaitu
selama 30, 60, dan 90 menit. Setelah diberi perlakuan pemasakan alkali, sampel
disaring dan dicuci dengan 400 ml air destilata kemudian digenapkan hingga
volume filtrat mencapai 500 ml. Residu selanjutnya dioven dan ditimbang untuk
pengujian lignin klason, acid-soluble lignin, holoselulosa, dan alpha-selulosa.
Filtrat digunakan untuk pengujian konsumsi permanganat untuk menentukan
asumsi lignin yang terdegradasi.

3.4.4 Penentuan Kadar Lignin Klason (Dence 1992)


Serbuk kayu sebanyak 500 mg dihidrolisis dengan asam sulfat (H2SO4)
72% selama 3 jam pada suhu ruangan. Hidrolisis dilanjutkan pada konsentrasi
asam sulfat 3% pada suhu 121 oC selama 30 menit dengan menggunakan
autoclave. Padatan lignin disaring dengan kertas saring dan filtrat ditampung.
Padatan lignin klason dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105 oC hingga
beratnya konstan.
Kadar lignin dihitung berdasarkan rumus berikut ini:

B
% Lignin = x 100%
A
A = berat serbuk awal (g)
B = berat lignin (g)

3.4.5 Lignin Terlarut Asam (Acid-Soluble Lignin)


Dari filtrat pengujian lignin klason, volume filtrat digenapkan menjadi
1000 ml. Lignin terlarut asam diuji dengan menggunakan alat spectrophotometer
pada panjang gelombang 205 nm dengan koefisien absorpsi 110 L/g.cm.
Konsentrasi lignin terlarut asam dihitung:
C = (A/110) x (Vf/Vi)
Dimana : A = nilai absorpsi pada alat sp.ectrophotometer
Vf /Vi = Faktor pengenceran larutan

Kadar lignin terlarut asam dihitung :


ASL = (CV/(1000 x BKT)) x 100%
Dimana : CV = Konsentrasi acid-soluble lignin dalam liter
BKT = Berat sampel kayu

3.4.6 Penentuan Kadar Holoselulosa


Pengujian kadar holoselulosa dilakukan dengan merujuk pada Browning
(1967). Sampel serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 2 gram berat kering
ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian ditambahkan 100 ml air
destilata, 1 gram sodium klorit dan 0,5 ml asam asetat glasial. Sampel dipanaskan
dengan waterbath pada suhu maksimal 80 oC. Setiap penambahan waktu reaksi
selama 1 jam pemanasan, ditambahkan 0,5 ml asam asetat glasial dan 1 gram
sodium klorit sampai sebanyak 4 kali penambahan sehingga waktu reaksi total
yaitu 5 jam. Sampel kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui
beratnya. Sampel dicuci dengan air destilata panas sampai filtrat berwarna bening,
kemudian sampel dibilas dengan 25 ml asam asetat 10%, lalu dicuci kembali
dengan air destilata panas hingga bebas asam. Sampel dikeringkan pada suhu 105
3 oC selama 24 jam, didinginkan dan ditimbang sampai beratnya konstan.
Kadar Holoselulosa dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
A
Holoselulosa (%) = x 100%
B

A = berat holoselulosa (g)


B = berat sampel kering oven (g)

3.4.7 Penentuan Kadar -Selulosa


Sebanyak 1,5 gram holoselulosa ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml,
lalu ditambahkan 10 ml NaOH 17,5% pada suhu 20 oC dan diaduk-aduk hingga
terbasahi merata. Setelah reaksi selama 5 menit, setiap interval 5 menit
ditambahkan lagi 5 ml NaOH 17,5% sebanyak tiga kali, dan biarkan selama 30
menit sehingga total waktu menjadi 45 menit. Setelah 45 menit, ditambahkan 33
ml air destilata dan diaduk, kemudian dibiarkan selama 1 jam. Sampel kemudian
disaring dan dibilas dengan 100 ml larutan NaOH 8,3%. Sampel selanjutnya
dicuci dengan air destilata kemudian dibilas dengan 15 ml asam asetat 10%.
Sampel lalu dicuci kembali hingga bebas asam kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 105 3 oC hingga beratnya konstan, didinginkan dan ditimbang.
Kadar -selulosa dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
A
Alpha selulosa (%) = x 100%
B

A = berat alpha selulosa (g)


B = berat kering serbuk (g)
3.4.8 Pengujian Konsumsi Permanganat
Sekitar 60 ml air destilata ditempatkan ke dalam gelas piala 300 ml, lalu
sebanyak 10 ml filtrat hasil pemasakan alkali ditambahkan ke dalam gelas piala
berisi air. Sampel diaduk dengan menggunakan stirrer kemudian ditambahkan
berturut-turut 4 ml H2SO4 4N, dan 10 ml KMnO4 0,1N kemudian catat waktu
sebagai waktu mulai reaksi. Lakukan pengukuran suhu pada menit kelima setelah
penambahan KMnO4. Setelah reaksi berjalan selama 10 menit, ditambahkan 2 ml
KI 1M untuk menghentikan reaksi, kemudian segera dititrasi dengan Thiosulfat
(Na2S2O3) 0,05N. Penitaran dilakukan juga terhadap blanko.
Konsumsi Permanganat:

P = (b a) x N Thiosulfat) / 0,1 x 100%


ml KMnO4

P = Permanganat yang dikonsumsi


b = ml thiosulfat pada blanko
a = ml thiosulfat pada contoh uji
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelarutan Lignin (Delignifikasi)


Setiap jenis kayu memiliki persentase kelarutan lignin atau tingkat
delignifikasi yang berbeda-beda. Total lignin yang terkandung pada kayu
merupakan jumlah dari lignin tidak terlarut asam (lignin Klason) dan lignin
terlarut asam (acid soluble lignin). Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan
bahwa prinsip dari proses delignifikasi antara lain terkait dengan struktur kayu,
metode pulping yang digunakan serta komponen bahan kimia yang digunakan
dalam proses pulping. Delignifikasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain waktu pemasakan, komponen lignin pada sel kayu, suhu dan tekanan saat
proses pemasakan serta jenis dan kondisi kayu.
Penambahan waktu pemasakan akan mempengaruhi proses delignifikasi.
Semakin lama waktu pemasakan maka lignin yang terlarut akan semakin banyak
sehingga proporsinya dalam serbuk kayu akan semakin berkurang. Sjostrom
(1995) menjelaskan bahwa konsentrasi lignin tertinggi pada kayu berada pada
bagian lamela tengah. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menambahkan pula
bahwa tujuan utama proses pulping adalah pemisahan komponen lignin yang tidak
hanya terdapat pada dinding sel melainkan juga yang terdapat pada lamela tengah.
Selama proses pulping alkali, lignin akan terlarut dari dinding sel sekunder pada
tahap delignifikasi awal dari pemasakan. Ada dua tahap yang terjadi dalam
mengisolasi lignin pada lamela tengah, yaitu fase impregnasi pada saat
pencampuran antara larutan pemasak dengan kayu sebelum terjadi reaksi
delignifikasi dan tahap pada saat pergerakan bahan kimia menuju kayu melalui
reaksi kimia selama pemasakan.
Perubahan kadar lignin kayu daun lebar dapat dilihat berdasarkan hasil
perbandingan antara persentase lignin sebelum diberi perlakuan pemasakan
(ekstraksi ethanol-benzene) dengan lignin setelah diberi perlakuan pemasakan.
Lignin yang diperoleh setelah kayu diekstraksi dengan ethanol-benzene digunakan
sebagai kontrol. Semakin menurunnya kadar lignin pada kayu setelah perlakuan
alkali menandakan bahwa lignin yang terlarut semakin banyak atau kelarutan
lignin semakin tinggi.
Perubahan kadar lignin yang terjadi pada kayu Eukaliptus berkisar antara
5,27-6,73% pada pemasakan 30 menit dan 1,13-5,87% untuk jenis kayu Akasia.
Sementara pada saat pemasakan 60 menit, kadar lignin pada kayu Eukaliptus
mengalami penurunan sekitar 6,50-7,36% dan kayu Akasia mengalami penurunan
kadar lignin sekitar 1,1-4,97%. Kadar lignin pada pemasakan 90 menit juga
mengalami perubahan dengan persentase kelarutan berkisar 6,24-6,61% untuk
kayu Eukaliptus dan 0,91-6,11% untuk kayu Akasia. Hasil ini menunjukkan
bahwa secara umum kayu Eukaliptus memiliki tingkat delignifikasi yang lebih
tinggi dibandingkan kayu Akasia (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1 Perubahan Kadar Lignin Klason pada Eucalyptus spp.

Gambar 2 Perubahan Kadar Lignin Klason pada Acacia spp.


Laju delignifikasi selama proses pulping sangat dipengaruhi oleh reaktifitas
lignin. Pada lignin kayu daun lebar, banyaknya unit monomer siringil penyusun
lignin banyak berkontribusi pada laju delignifikasi. Hal ini sesuai dengan
penelitian Tsutsumi et al. (1995) yang menyatakan bahwa siringil memiliki
reaktifitas yang lebih tinggi dibanding unit guaiasil lignin, sehingga kayu dengan
rasio siringil-guaiasil yang lebih tinggi akan memiliki laju delignifikasi yang lebih
tinggi pula. Hal yang serupa dilaporkan oleh Gonzales et al. (1999) dan del Rio et
al. (2005) bahwa kemudahan jenis kayu Eukaliptus untuk diproses pulping
berkaitan dengan proporsi unit siringil penyusun ligninnya. Hal inilah yang
kemungkinan menyebabkan jenis kayu Eukaliptus memiliki kelarutan lignin yang
lebih tinggi dibandingkan kayu Akasia karena secara umum kayu Eukaliptus
memiliki nilai rasio siringil-guaiasil yang lebih tinggi dibanding kayu Akasia
(Agustina 2009 dan Rachmalia 2009).
Di antara jenis kayu Eukaliptus sendiri terdapat perbedaan kelarutan lignin
selama perlakuan alkali. Kelarutan lignin terbesar terjadi pada tahap perlakuan 30
menit awal kemudian cenderung konstan dengan bertambahnya waktu pemasakan.
Perilaku kelarutan lignin seperti ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi
pemasakan yang belum memfasilitasi terjadinya pelarutan yang lebih besar.
Mekanisme utama yang mungkin terjadi pada tahap awal proses pulping alkali
adalah impregnasi dan ekstraksi sehingga kelarutan lignin masih relatif kecil. Laju
delignifikasi yang lebih besar dapat diperoleh dengan cara meningkatkan suhu
pemasakan hingga sekitar 170 oC (Fengel dan Wegener 1995). Saat pemasakan
awal dengan waktu pemasakan terendah, larutan pemasak berhasil mendegradasi
lignin yang terdapat di antara sel-sel kayu sementara lignin yang berada pada
dinding sel kayu baru terlarut sebagian setelah waktu pemasakan ditingkatkan.
Perubahan kadar lignin kayu akibat perlakuan tidak hanya terjadi pada
kadar lignin klason akan tetapi juga terjadi pada kadar lignin terlarut asam. Pada
jenis kayu Eukaliptus terdapat kecenderungan kadar lignin terlarut asam sampel
kayu lebih rendah setelah perlakuan alkali (Gambar 3). Hal ini menguatkan
dugaan bahwa fraksi lignin yang lebih mudah terlarut adalah unit siringil lignin
yang memiliki reaktifitas yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Syafii
dan Nawawi (2008) terdapat hubungan yang linier antara rasio siringil-guaiasil
lignin dengan pembentukan lignin terlarut asam. Berdasarkan hal tersebut diduga
bahwa lebih rendahnya kadar lignin terlarut asam dari sampel kayu setelah
perlakuan alkali berhubungan dengan lebih tingginya kelarutan lignin dari fraksi
siringil lignin. Dengan kata lain lignin terlarut asam bisa menjadi salah satu
parameter reaktifitas lignin. Secara umum kondisi yang sama terjadi pula pada
kayu Akasia walaupun kemudian kadar lignin terlarut asam dari sampel kayu
setelah perlakuan sedikit meningkat dengan bertambahnya waktu pemasakan
(Gambar 4). Hal ini bisa disebabkan oleh karena relatif kecilnya reaktifitas lignin
kayu Akasia yang ditunjukkan oleh kecilnya nilai rasio siringil-guaiasil yang
berkisar 0,96-1,27 atau karena adanya perbedaan karakter lignin dari fraksi lignin
yang terlarut dengan residu (Agustina 2009).

Gambar 3 Perubahan Kadar Lignin Terlarut Asam pada Eucalyptus spp.

Gambar 4 Perubahan Kadar Lignin Terlarut Asam pada Acacia spp.


Secara tidak langsung, kemungkinan lain yang dapat menjadi penyebab
rendahnya nilai lignin terlarut asam beberapa jenis kayu Akasia pada waktu
pemasakan yang lebih rendah yaitu pada saat penentuan lignin Klason, hanya
sedikit jumlah lignin yang dapat larut dari total lignin yang berada pada lamela
tengah maupun pada lapisan dinding sekunder. Dengan kata lain, sedikit sekali
lignin yang berada pada lamella tengah mampu larut dan bahkan tidak sampai
melarutkan lignin yang berada pada lapisan dinding sekunder. Padahal menurut
Sjostrom (1995) konsentrasi tertinggi lignin justru berada pada lamella tengah
kemudian konsentrasinya mengecil pada lapisan dinding sekunder.
Kelarutan lignin setelah perlakukan alkali dapat diduga melalui konsumsi
permanganat lindi hitam. Pada dasarnya black liquor (lindi hitam) terdiri atas tiga
bagian yang berbeda, yaitu lignin, produk-produk degradasi karbohidrat, resin dan
asam-asam lemak (Sjostrom 1995). Semakin tinggi kelarutan lignin setelah
pemasakan menyebabkan konsumsi permanganat akan semakin tinggi pula.
Konsumsi permanganat yang tinggi menunjukkan bahwa dalam filtrat hasil
pemasakan terdapat lignin yang terlarut. Permanganat memiliki sifat mampu
berikatan dengan lignin yang berasal dari lindi hitam pada filtrat hasil pemasakan,
akan tetapi permanganat juga memiliki kemampuan untuk dikonsumsi atau
berikatan dengan kelompok-kelompok fenolik seperti lignan. Hal ini akan
berimplikasi pada tingginya konsumsi permanganat.

Gambar 5 Konsumsi Permanganat pada Eucalyptus spp.


Gambar 6 Konsumsi Permanganat pada Acacia spp.

Konsumsi permanganat akan meningkat seiring dengan meningkatnya


waktu pemasakan karena semakin tinggi waktu pemasakan, kelarutan lignin
dalam serbuk kayu semakin tinggi (Gambar 5 dan 6). Hal tersebut membuktikan
bahwa konsumsi permanganat memiliki korelasi positif dengan kelarutan lignin.
Kadar lignin yang rendah menunjukkan bahwa kelarutan lignin semakin tinggi
sehingga dengan menurunnya kadar lignin, laju delignifikasi semakin meningkat
dan konsumsi permanganat pun meningkat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa delignifikasi pada tahap awal
proses pulping alkali pada kayu Eukaliptus berbeda dengan kayu Akasia.
Perbedaan tersebut jelas terlihat pada perubahan kadar lignin, lignin terlarut asam
dan konsumsi permanganat yang terjadi sebelum dan setelah perlakuan alkali.
Faktor-faktor inilah yang secara tidak langsung berimplikasi pada penilaian mutu
kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas dan akan berkaitan erat dengan
optimalisasi proses pulping dalam industri pulp dan kertas.

4.2 Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin


Musha dan Goring (1974) dan Akiyama et al. (2005) menyatakan bahwa
terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara lignin Klason dengan lignin
terlarut asam antar spesies kayu. Kandungan lignin terlarut asam yang tinggi pada
hardwood mengindikasikan bahwa terdapat korelasi antara rasio siringil-guaiasil
dalam lignin dengan lignin terlarut asam. Semakin tinggi kandungan siringil
dibandingkan guaiasil dalam kayu akan menyebabkan kandungan metoksil yang
semakin tinggi pula sehingga lignin menjadi lebih reaktif dan berimplikasi pada
semakin cepatnya laju delignifikasi dan semakin mudahnya proses pulping
berlangsung. Hal inilah yang menandakan adanya korelasi yang positif antara
lignin terlarut asam dengan reaktifitas lignin atau kelarutan lignin. Proporsi
siringil yang tinggi memudahkan penghilangan lignin pada pulping alkali,
akibatnya konsumsi alkali menjadi lebih rendah, degradasi selulosa rendah dan
rendemen pulp tinggi.
Sudah dilaporkan sebelumnya bahwa lignin terlarut asam kayu Eukaliptus
dan Akasia memiliki korelasi yang erat dengan rasio siringil-guaiasil penyusun
lignin (Agustina 2009 dan Rachmalia 2009). Sementara hasil penelitian ini
menunjukkan adanya korelasi antara lignin terlarut asam dengan kelarutan lignin
pada kayu Eukaliptus dan Akasia (Gambar 7, 8 dan 9). Hubungan lignin terlarut
asam dan kelarutan lignin memberikan koefisien determinasi sebesar 0,59 pada
pemasakan 30 menit, 0,86 pada pemasakan 60 menit dan 0,75 pada pemasakan 90
menit. Hasil perhitungan koefisien determinasi ini membuktikan bahwa lignin
terlarut asam memiliki korelasi positif dengan kelarutan lignin.

Gambar 7 Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin


pada Pemasakan 30 menit.
Gambar 8 Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin
pada Pemasakan 60 menit.

Gambar 9 Hubungan Lignin Terlarut Asam dengan Kelarutan Lignin


pada Pemasakan 90 menit.

Grafik hubungan di atas menunjukan adanya kecenderungan kelarutan


lignin yang meningkat seiring dengan semakin tingginya nilai lignin terlarut asam.
Kecenderungan inilah yang menunjukkan bahwa lignin terlarut asam dapat
berperan sebagai penduga kelarutan lignin selama delignifikasi. Lignin terlarut
asam merupakan faktor yang berpengaruh terhadap laju delignifikasi sebagai
implikasi dari adanya keterkaitan antara pembentukan lignin terlarut asam dengan
rasio siringil-guaiasil lignin. Korelasi antara delignifikasi dengan komponen kimia
penyusun lignin seperti rasio siringil dan guaisil sudah banyak dilaporkan
(Gonzales et al. 1999; del Rio et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut, lignin
terlarut asam bisa menjadi parameter penting dalam pendugaan reaktifitas lignin
terkait dengan delignifikasi selama proses pulping.
Rahmawati (1999) menjelaskan bahwa selama proses delignifikasi, larutan
menyerang lignin yang terdapat pada lamela tengah dan menyerang hingga ke
lapisan dinding sekunder. Pada fase delignifikasi awal, alkali dikonsumsi dalam
reaksi deacetylasi, menetralkan asam-asam dalam kayu, pelarutan zat-zat
ekstraktif, komponen karbohidrat kayu, tetapi sangat kecil terjadi delignifikasi
aktual. Delignifikasi kayu oleh basa dipengaruhi oleh beberapa peubah dalam
proses, ditambah pula keragaman sifat dasar kayu, antara lain jenis dan sifat dasar
kayu, peubah proses dalam hal ini waktu pemasakan, suhu maksimum pemasakan,
jumlah alkali aktif yang digunakan dan sulfiditas.

4.3 Kelarutan Polisakarida


Keberhasilan proses pemasakan dalam mendegradasi komponen kimia
kayu sangat dipengaruhi oleh penetrasi bahan kimia pemasak ke dalam kayu
(Sjostrom 1995). Dalam proses pulping, peranan waktu pemasakan juga akan
berpengaruh terhadap hasil yang didapat.
Tahapan awal dalam proses pemasakan adalah tahap impregnasi. Tahapan
ini meliputi penetrasi cairan ke dalam rongga-rongga kayu dan difusi bahan-bahan
kimia pemasak yang terlarut (Sjostrom 1995). Selama proses pemasakan, suhu
dan tekanan juga menjadi faktor penting yang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan proses penetrasi bahan kimia ke dalam kayu (Gullichsen dan
Pauloparo 2000). Selama pemasakan tahap awal proses pulping alkali, larutan
pemasak tidak hanya mampu melarutkan sebagian lignin akan tetapi polisakarida
kayu juga mengalami degradasi dan pelarutan (Sjostrom 1995).
Hasil pengujian holoselulosa pada tiga jenis kayu Eukaliptus menunjukkan
perubahan yang bervariasi. Pada pemasakan 30 menit, kadar holoselulosa
Eukaliptus mengalami penurunan sekitar 15,73-21,07% sementara Akasia
mengalami penurunan sekitar 14,86-17,70%. Saat pemasakan 60 menit, kadar
holoselulosa pada Eukaliptus berkurang sekitar 16,06-21,15% dan 14,99-18,02%
untuk Akasia. Kadar holoselulosa pada pemasakan 90 menit juga mengalami
perubahan dengan persentase kelarutan sebesar 15,42-20,57% untuk kayu
Eukaliptus dan 15,73-20,82% untuk kayu Akasia. Berikut grafik perubahan kadar
holoselulosa pada setiap waktu pemasakan (Gambar 10 dan 11).
Gambar 10 Perubahan Kadar Holoselulosa pada Eucalyptus spp.

Gambar 11 Perubahan Kadar Holoselulosa pada Acacia spp.

Hal yang tidak dapat dihindari selama proses pulping ialah terjadinya
degradasi dan pelarutan polisakarida kayu. Di dalam kayu, lignin selalu
berasosiasi dengan polisakarida sehingga selama reaksi delignifikasi dapat
menyebabkan terjadinya reaksi samping terhadap polisakarida. Oleh karena itu
seringkali terjadi tingkat delignifikasi yang tinggi disertai oleh degradasi
polisakarida kayu yang tinggi pula.
Casey (1980) menyatakan bahwa polisakarida bereaksi dengan alkali
dalam beberapa cara, diantaranya larut dalam lindi hitam sebagai polisakarida,
terdegradasi menjadi produk dengan berat molekul rendah yang larut atau tetap
dalam serat, baik dalam bentuk asli maupun produk terdegradasi yang tidak larut
tetapi mempunyai derajat polimerisasi yang rendah. Khususnya pada tahap awal
delignifikasi, kemungkinan yang terjadi adalah ekstraksi dan pelarutan fraksi
polisakarida berbobot molekul rendah, serta terjadinya reaksi pemutusan polimer
melalui reaksi pengelupasan ujung reaktif aldehida.
Berdasarkan perubahan kadar alpha selulosa pada Gambar 12 dan 13 yang
relatif kecil, maka dapat dipastikan fraksi polisakarida kayu yang terlarut selama
perlakuan alkali ini terutama ialah hemiselulosa. Kelarutan alpha selulosa yang
relatif kecil ini kemungkinan berkaitan dengan sifat kimianya yang berupa
polimer linier dengan derajat kristalin yang tinggi, sehingga relatif tahan terhadap
pelarut alkali. Sementara itu hemiselulosa yang merupakan polimer pendek
dengan percabangan memiliki sifat yang lebih mudah terdegradasi dan terlarut
(Sjostrom 1995).
Peningkatan waktu pemasakan akan meningkatkan konsumsi alkali yang
kemudian akan berimbas pada menurunnya komposisi kimia polisakarida yang
tersisa di dalam kayu seperti hemiseluloa (Barnett dan George 2003). Proporsi
hemiselulosa tinggi pada lamela tengah dan dinding primer, dimana pada dinding
tersebut kandungan selulosa paling rendah. Hemiselulosa juga diduga
berkontribusi dalam pembentukan lignin terlarut asam selama perlakuan asam
sulfat 72%. Yasuda et al. (2001) dan Matsushita et al. (2004) menyatakan bahwa
hemiselulosa mungkin berperan penting dalam pembentukan lignin terlarut asam.
Ikatan antara lignin dengan hemiselulosa ini dinamakan lignin carbohydrate
complex (LCC) atau lignin hemicelulloses complex (LHC).

Gambar 12 Perubahan Kadar Alpha selulosa pada Eucalyptus spp.


Gambar 13 Perubahan Kadar Alpha selulosa pada Acacia spp.

Adanya perbedaan kandungan alpha selulosa pada keenam jenis kayu


tersebut sebagian besar disebabkan oleh banyak sedikitnya kristalin dalam
selulosa (Sjostrom 1995). Dari grafik di atas diduga bahwa jenis kayu yang
memiliki kandungan alpha selulosa tinggi artinya memiliki kristalin yang banyak
pada selulosa yang terkandung di dalam kayu. Sjostrom (1995) juga mengatakan
selektifitas delignifikasi dapat dinyatakan sebagai nisbah lignin dan karbohidrat
yang dihilangkan dari kayu setelah waktu pemasakan tertentu atau pada derajat
delignifikasi yang ditentukan. Kelarutan yang tinggi pada holoselulosa dan alpha
selulosa saat pemasakan menunjukkan bahwa selektifitas delignifikasi rendah.
Gullichsen dan Pauloparo (2000) mengatakan bahwa degradasi selulosa
dapat terjadi selama tahap delignifikasi awal (initial delignification). Pada tahap
ini, lignin yang terlarut sebelum suhu pemasakan < 140 oC relatif lebih sedikit
dibanding tahap setelah ini. Degradasi polisakarida tidak tergantung pada
sulfiditas larutan pemasak akan tetapi lebih dipengaruhi oleh konsentrasi alkali,
lamanya waktu pemasakan dan suhu saat pemasakan.
Secara umum perubahan kadar holoselulosa dan alpha selulosa pada kayu
Eukaliptus dan Akasia tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kayu
Eukaliptus maupun kayu Akasia akan menghasilkan kualitas pulp dan kertas yang
hampir sama jika kedua jenis kayu tersebut dijadikan bahan baku pulp dan kertas.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Kadar lignin klason dan lignin terlarut asam kayu menurun setelah diberi
perlakuan pemasakan alkali.
2. Terdapat korelasi positif antara lignin terlarut asam dengan delignifikasi
pada tahap awal pemasakan alkali
3. Lignin terlarut asam dapat dijadikan parameter penduga laju delignifikasi.

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara lignin
terlarut asam dengan delignifikasi pada jenis kayu yang lebih beragam dan
jumlah sampel yang lebih banyak sehingga bisa diperoleh korelasi yang
lebih akurat.
2. Pengujian korelasi antara lignin terlarut asam dan delignifikasi perlu
dilakukan dengan waktu pemasakan alkali yang lebih lama dan atau pada
tahap delignifikasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat Institut Pertanian Bogor.

Agustina D. 2009. Kadar Lignin Terlarut Asam dan Tipe Monomer Penyusun
Lignin pada Kayu Akasia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
`
Akiyama T, H Goto, DS Nawawi, W Syafii, Y Matsumoto, G Meshitsuka. 2005.
Erythro/threo ratio of -O-4-structure as an important structural
characteristic of lignin. Part 4. Variation in the erythro/threo ratio in
softwood and hardwood lignins and its relation to syringyl/guaiacyl ratio.
Holzforschung 59:276-281.

Barnett JR dan J George. 2003. Wood Quality and Its Biological Basic. United
Kingdom: CRC Press.

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. Vol. I and II. New York:
Willey Interscience Publisher.

Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. 3rd edition
Vol. I A. New York: Willey Interscience Publisher.

del Rio JC, A Guitierez, M Hernando, P Landin, J Romero, AT Martinez. 2005.


Determining the effluence of eucalypt lignin composition in paper pulp
yield using py-GC/MS. J. Anal. Appl. Pyrolysis 74:110-115.

Dence CW. 1992. The Determination of Lignin. In; Lin SY, Dence CW (Eds).
Method in Lignin Chemistry. Spinger-Verlag. Berlin Pp.33-61.

Fengel D dan G Wegener. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur dan Reaksi-reaksi.


Yogjakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood;
Chemistry, Ultrastructure, Reactions.

Gonzalez-Vila FJ, G Almendros, JC del Rio, F Martin, A Gutierez, J Romero.


1999. Ease of delignification assessment of wood from different
eucalyptus species by pyrolisis (TMAH)-GC/MS and CP/MAS 13C-NMR
Spectrometry. J. Anal. Appl. Pyrolisis 49:295-305.

Gullichsen J dan H Paulapuro. 2000. Chemical Pulping. USA: TAPPI Press.

_____. 2004. Papermaking Science and Technology: Forest Products Chemistry,


Book 3. Helsinki: Finnish Paper Engieneers Association and TAPPI.
Haygreen JG dan JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar.
Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hillis WE dan AG Brown. 1978. Eucalyptus for Wood Production. Australia:


Common Wealth Scientific and Industrial Research Organization.

Kha LD. 2008. The role of acacia hybrids in the reforestation program in
Vietnam. Forest Science Institute of Vietnam. http://www.acacia-
world.net/html/vietnam.html [11 Desember 2008].

Mahmudi A. 2008. Keragaman Lignin Terlarut Asam (Acid Soluble Lignin) Pada
Empat Jenis Kayu Cepat Tumbuh [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.

Malik J, A Santoso dan O Rachman. 2007. Sari Hasil Penelitian Mangium


(Acacia mangium Willd). Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Tasikmalaya. http://www.dephut.go.id [12 Mei 2008].

Matsushita Y, A Kakehi, S Miyawaki, S Yasuda. 2004. Formation and chemical


structures of acid-soluble lignin II: reaction of aromatic nuclei model
compounds with xylan in the presence of a counterpart for condensation,
and behavior of lignin model compounds with guaiacyl and syringyl nuclei
in 72% sulfuric acid. Journal of Wood Science 50:136-141.

Musha Y dan DAI Goring. 1974. Klason and acid-soluble lignin content of
hardwoods. Wood Sci. 7:133-134.

Nieto VM dan J Rodriguez. 2004. Eucalyptus urophylla S.T. Blake.


http://www.rngr.net/publications/ttsm/Folder.2003-07-11.4726/PDF.2004-
03-03.1432/file/html [23 Desember 2008]

Prosea. 2008. Eucalyptus camaldulensis Dehnh.


http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php!docsid=918 [23 Desember
2008].

_____. 2008. Eucalyptus urophylla, a tree species reference and selection guide.
http://www.worldagroforestryentre.org/sea/products/AFDbases/AF/asp./se
pciesInfo.asp.?sp.ID=821 [23 Desember 2008]

Purba F. 1990. Sifat Fisik Pulp Acacia Mangium Willd Hasil Proses Soda Aq.
Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Rachmalia R. 2009. Lignin Terlarut Asam dan Rasio Siringil-Guaiasil Lignin


pada Enam Jenis Kayu Eukaliptus [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati N. 1999. Struktur Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya
Terhadap Laju Delignifikasi [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Terjemahan.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sutisna U, T Kalima dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di


Indonesia. Disunting oleh Soetjipto, N.W dan Soekotjo. Bogor: Yayasan
PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai & SDM Kehutanan.

Swan B. 1956. Isolation of acid soluble lignin from the klason lignin
determination. Svensk Papperstindning arg 68:791-795.

Syafii W dan DS Nawawi. 2008. Ratio Stereoisomer Erythro dan Threo Struktur
-O-4 dan Hubungan dengan Cincin Aromatik Penyusun Makromolekul
Lignin. Laporan Penelitian Fundamental. Bogor: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat IPB.

TAPPI. 1996. TAPPI Test Methods. Atlanta: TAPPI Press.

Tsutsumi Y, R Kondo, K Sakai, H Imamura. 1995. The difference of reactivity


between syringyl lignin and guaiacyl lignin in alkaline system.
Holzforschung 49:423-428.

Wikipedia. 2008. Acacia auriculiformis, from Wikipedia, The Free Encyclopedia.


http://www.wikipedia.org/wiki/Eucalyptus_camaldulensis.html [11
November 2008].

_____. 2008. Eucalyptus camaldulensis, from Wikipedia, The Free Encyclopedia.


http://www.wikipedia.org/wiki/Acacia_auriculiformis.html [23 Desember
2008].

Yasuda S, K Fukushima, A Kakehi. 2001. Formation and chemical structures of


acid soluble lignin I: sulfuric acid treatment time and acid soluble lignin
content of hardwood. Journal of Wood Science 47:69-72.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kandungan Lignin Enam Jenis Kayu Daun Lebar pada Berbagai
Perlakuan Pemasakan
Waktu Lignin (%)
Jenis Kayu
*) Klason ASL Total
Eucalyptus camaldulensis 0 26,95 3,50 30,45
Thailand 30 21,68 3,32 25,00
60 19,59 2,97 22,56
90 20,71 3,00 23,71
Eucalyptus grandis 0 25,11 3,31 28,42
Afrika Selatan 30 18,38 2,77 21,15
60 18,61 2,78 21,39
90 18,61 2,77 21,38
Eucalyptus urophylla 0 26,61 3,25 29,86
Vietnam 30 20,83 2,84 23,67
60 19,58 2,54 22,12
90 20,00 2,68 22,68
Acacia mangium 0 23,80 1,21 25,01
Indonesia 30 22,12 1,11 23,24
60 21,62 1,20 22,82
90 21,94 1,22 23,17
Acacia auriculiformis 0 19,30 2,04 21,34
Vietnam 30 13,43 1,73 15,15
60 14,33 1,75 16,07
90 13,19 2,06 15,25
Acacia sp. (hybrid) 0 21,00 1,41 22,41
Vietnam 30 19,87 1,30 21,18
60 19,90 1,42 21,31
90 20,09 1,63 21,72
*) waktu perlakuan pemasakan alkali (menit)
Lampiran 2. Data Sebelum Perlakuan Pemasakan (Kontrol)
Tanpa perlakuan pemasakan
Lignin Total -
Jenis kayu Asal Klason ASL Lignin Holoselulosa selulosa
E. camaldulensis Thailand 26,94 3,48 30,42 73,60 36,21
26,96 3,52 30,48 73,70 37,00
Rataan 26,95 3,50 30,45 73,65 36,60
E. grandis Afrika Selatan 25,12 3,27 28,39 73,80 37,20
25,09 3,35 28,44 74,05 36,73
Rataan 25,11 3,31 28,42 73,93 36,96
E. urophylla Vietnam 26,70 3,08 29,78 73,90 37,79
26,52 3,42 29,94 72,80 37,42
Rataan 26,61 3,25 29,86 73,35 37,60
A. mangium Indonesia 24,20 1,18 25,38 75,75 41,26
23,40 1,23 24,63 76,20 42,01
Rataan 23,80 1,21 25,01 75,98 41,64
A . auriculiformis Vietnam 19,20 2,07 21,27 78,45 39,49
19,40 2,00 21,40 78,05 37,67
Rataan 19,30 2,04 21,34 78,25 38,58
Acacia sp.
(hybrid) Vietnam 21,00 1,30 22,30 76,65 41,60
21,00 1,53 22,53 75,60 40,62
Rataan 21,00 1,41 22,41 76,13 41,11

Lampiran 3. Data Perlakuan Pemasakan Selama 30 Menit


Perlakuan pemasakan 30 menit
Jenis kayu Asal Total -
Lignin Klason ASL Lignin Holoselulosa selulosa
E. camaldulensis Thailand 22,27 3,95 26,22 52,53 36,92
21,10 2,68 23,78 52,62 37,14
Rataan 21,68 3,32 25,00 52,58 37,03
E. grandis Afrika Selatan 16,75 2,96 19,71 57,55 40,27
20,01 2,59 22,60 58,86 42,74
Rataan 18,38 2,77 21,15 58,20 41,51
E. urophylla Vietnam 20,85 2,94 23,79 55,30 38,67
20,81 2,74 23,55 55,76 38,95
Rataan 20,83 2,84 23,67 55,53 38,81
A. mangium Indonesia 21,25 1,12 22,37 60,75 42,58
22,99 1,10 24,09 58,94 40,26
Rataan 22,12 1,11 23,23 59,84 41,42
A. auriculiformis Vietnam 13,57 1,77 15,34 61,02 40,18
13,28 1,68 14,96 60,07 39,81
Rataan 13,43 1,73 15,16 60,55 39,99
Acacia sp.
(hybrid) Vietnam 20,68 1,36 22,04 61,85 42,31
19,06 1,25 20,31 60,69 42,11
Rataan 19,87 1,30 21,17 61,27 42,21
Lampiran 4. Data Perlakuan Pemasakan Selama 60 Menit
Perlakuan pemasakan 60 menit
Jenis kayu Asal Total -
Lignin Klason ASL Lignin Holoselulosa selulosa
E. camaldulensis Thailand 18,39 2,98 21,37 52,49 37,49
20,79 2,95 23,74 52,50 36,90
Rataan 19,59 2,97 22,56 52,50 37,19
E. grandis Afrika Selatan 18,47 2,86 21,33 57,96 39,91
18,75 2,70 21,45 57,79 39,62
Rataan 18,61 2,78 21,39 57,87 39,77
E. urophylla Vietnam 18,92 2,58 21,50 56,36 39,14
20,25 2,49 22,74 56,00 38,76
Rataan 19,58 2,54 22,12 56,18 38,95
A. mangium Indonesia 20,89 1,20 22,09 60,89 41,46
22,34 1,21 23,55 61,02 41,90
Rataan 21,62 1,20 22,82 60,96 41,68
A. auriculiformis Vietnam 14,34 1,84 16,18 59,83 39,87
14,31 1,65 15,96 59,63 39,57
Rataan 14,33 1,75 16,08 59,73 39,72
Acacia sp.
(hybrid) Vietnam 18,96 1,44 20,40 61,03 46,89
20,84 1,40 22,24 61,24 43,92
Rataan 19,90 1,42 21,32 61,14 45,40

Lampiran 5. Data Perlakuan Pemasakan Selama 90 Menit


Perlakuan pemasakan 90 menit
Jenis kayu Asal Total -
Lignin Klason ASL Lignin Holoselulosa selulosa
E. camaldulensis Thailand 20,71 3,15 23,86 53,20 38,96
20,71 2,86 23,57 52,97 38,35
Rataan 20,71 3,00 23,71 53,08 38,65
E. grandis Afrika Selatan 18,96 2,77 21,73 58,60 41,19
18,27 2,77 21,04 58,42 41,60
Rataan 18,61 2,77 21,38 58,51 41,40
E. urophylla Vietnam 20,53 2,71 23,24 55,89 39,68
19,47 2,65 22,12 55,72 40,03
Rataan 20,00 2,68 22,68 55,81 39,85
A. mangium Indonesia 21,97 1,27 23,24 60,00 43,08
21,92 1,17 23,09 60,49 42,82
Rataan 21,94 1,22 23,16 60,24 42,95
A. auriculiformis Vietnam 13,05 1,84 14,89 57,53 39,94
13,33 2,27 15,60 57,33 39,65
Rataan 13,19 2,06 15,25 57,43 39,79
Acacia sp.
(hybrid) Vietnam 19,66 1,82 21,48 60,40 41,18
20,53 1,43 21,96 60,32 40,95
Rataan 20,09 1,63 21,72 60,36 41,07

Lampiran 6. Persentase Kelarutan Ethanol-Benzene dan Perlakuan Pemasakan


Alkali
Perlakuan Pemasakan Alkali - Perlakuan Ethanol Benzene (%)
Waktu Pemasakan (menit)
Jenis Kayu 0 30 60 90
Kontrol kelarutan kelarutan kelarutan
(a) (b) (b-a) (b) (b-a) (b) (b-a)
Eucalyptus
calamdulensis 6,39 19,92 13,53 21,17 14,78 21,51 15,12
Eucalyptus grandis 7,89 20,13 12,24 21,07 13,17 21,04 13,15
Eucalyptus urophylla 9,14 22,11 12,97 22,99 13,85 23,24 14,10
Acacia mangium 9,04 19,38 10,34 21,08 12,04 21,18 12,14
Acacia auriculiformis 7,78 19,46 11,67 20,62 12,84 20,81 13,02
Acacia sp.(hybrid) 6,53 26,36 19,83 27,74 21,21 28,86 22,33

Lampiran 7. Konsumsi Permanganat Lindi Hitam


Waktu Pemasakan
Jenis Kayu
30 menit 60 menit 90 menit
Eucalyptus camaldulensis 50,50 53,25 57,50
Eucalyptus grandis 52,50 56,25 59,25
Eucalyptus urophylla 52,75 55,75 59,50
Acacia mangium 53,00 55,75 59,75
Acacia auriculiformis 60,00 65,25 67,50
Acacia sp. (hybrid) 58,25 62,50 61,75

Anda mungkin juga menyukai